Asas-Asas Hukum Indonesia
Asas-Asas Hukum Indonesia
Asas-Asas Hukum Indonesia
Disusun Oleh:
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Swt. atas segala Rahmat dan hidayah-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Asas-Asas Hukum Indonesia” tepat waktu.
Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Sistem
Hukum Indonesia dan pihak-pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Kami sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca. Bahkan
kami berharap lebih makalah ini bisa menjadi bahan referensi belajar bagi pembaca.
Bagi kami penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna dan masih banyak
kekurangan karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami, oleh karena itu bagi kami
penulis sangat mengharapkan saran dan kritikan yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.
Penulis
i
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan ........................................................................................ 9
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Asas hukum merupakan aturan dasar dan prinsip-prinsip hukum yang abstrak dan pada
umumnya melatar belakangi peraturan konkrit dan pelaksanaan hukum. Apabila dalam
sistem hukum terjadi pertentangan, maka asas hukum akan tampil untuk mengatasi
pertentangan tersebut. Misalnya, terjadi pertentangan antara satu Undang-Undang dengan
Undang-Undang lainnya, sehingga memungkinkan untuk mengidentifikasi asas hukum
secara universal.
Berbicara mengenai asas-asas hukum, dalam sebuah asas hukum dapat muncul
peraturan-peraturan hukum yang jumlahnya tidak terbatas. Oleh karena itu, penulis akan
menguraikan pembahasan yang berkaitan dengan masalah ini dengan harapan dapat
mendekatkan pemahaman kita tentang asas-asas hukum.
B. RUMUSAN MASALAH
Pada makalah ini penulis akan merumuskan mengenai asas-asas hukum yang ada di
Indonesia.
C. TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan pembahasan makalah ini adalah untuk memgetahui asas-asas yang
berlaku di Indonesia serta pemenuhan tugas mata kuliah Sistem Hukum Indonesia.
1
BAB II
PEMBAHASAN
G. W. Paton, mendefinisikan: “ a principle is the broad reason, which lies at the base
of rule of law”. Asas adalah suatu pikiran yang dirumuskan secara luas yang menjadi dasar
bagi aturan atau kaidah hukum. Dengan demikian, asas bersifat lebih abstrak, sedangkan
aturan atau kaidah hukum sifatnya konkret mengenai perilaku atau tindakan hukum
tertentu.1
Paul Scholten mengartikan asas hukum sebagai tendensi yang disyaratkan kepada
hukum oleh paham kesusilaan, artinya, asas hukum sebagai pikiran-pikiran dasar yang
terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum. Masing-masing pikiran dasar dirumuskan
dalam aturan perundang-undangan dan putusan hakim.3
1
Dwi Handayani, Kajian Filosofis Prinsip Audi Et Alteram Partem dalam Perkara Perdata, Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, Vol. 14, No. 2,
2020;
2
Guido Alpa, General Principles of Law, Vol. 1, No. 1, 1994;
3
Harry Purwanto, Keberadaan Asas Rebus Sic Stantibus dalam Perjanjian Internasional, Mimbar Hukum, Edisi Khusus November, 2011;
4
Ibid.
2
Kesimpulannya, bahwa asas hukum merupakan dasar-dasar yang bersifat umum yang
terkandung dalam peraturan hukum untuk mengatur perilaku manusia yang menimbulkan
akibat hukum.
Asas hukum secara umum berfungsi sebagai kerangka dasar dalam terbentuknya
peraturan-peraturan konkrit. Untuk mempersempit fungsi asas hukum tersebut, maka asas
dapat digolongkan berdasarkan jenisnya. Penggolongan asas hukum berdasarkan jenis,
dibedakan juga fungsinya berdasarkan sudut pandang hukum dan ilmu hukum. Fungsi asas
hukum dalam hukum dan ilmu hukum dapat dilihat dari penjelasan Klanderman (Sudikno
Mertokusumo, 2010:44) yang menyatakan bahwa terdapat dua fungsi asas hukum:
3
b. Asas lex posterior derogat legi priori artinya bahwa hubungan antar norma
merupakan hubungan antara “superordinasi” dan “subordinasi” dimana validitas
norma yang lebih rendah selalu bersumber dari norma yang lebih tinggi. 5 Contoh
dari asas lex posterior derogat legi priori adalah dicabutnya UU 3/1997 sejak
diresmikan atau diberlakukannya UU 11/2012. Sehingga semua tindak pidana yang
dilakukan anak akan dijerat dan diproses dengan menggunakan ketentuan UU
11/2012 dan bukan UU 3/1997.
c. Asas lex superior derogat legi inferiori memiliki makna bahwa undang-undang
(norma/aturan hukum) yang lebih tinggi dapat meniadakan keberlakuan undang-
undang (norma/aturan hukum) yang lebih rendah. Artinya, peraturan yang lebih
tinggi dapat mengenyampingkan peraturan yang lebih rendah. Asas lex superior
derogat legi inferiori ini hanya berlaku terhadap dua peraturan yang secara hierarki
tidak sederajat dan saling bertentangan.
Contoh dari asas lex superior derogat legi inferiori adalah Putusan Mahkamah
Agung Nomor 68 P/HUM/2019 yang menyatakan Pasal 2 ayat (1) dan (2) Peraturan
Bupati Kepulauan Aru Nomor 53 Tahun 2018 bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu Pasal 5 huruf c, Pasal 6 ayat (1) huruf
i UU 12/2011. Oleh karena itu, amar putusan kemudian menyatakan pasal yang
bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
d. Lex specialis derogat legi generali adalah asas penafsiran hukum yang menyatakan
bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang
bersifat umum (lex generalis).6
5
Irfani, N. (2020). Asas Lex Superior, Lex Specialis, Dan Lex Posterior: Pemaknaan, Problematika, Dan Penggunaannya Dalam
Penalaran Dan Argumentasi Hukum. Jurnal Legislasi Indonesia, 16(3), 305–325.
6
Bagir Manan dalam bukunya yang berjudul Hukum Positif Indonesia (hal. 56)
4
Contoh kasus penerapan lex specialis derogat lex generalis, yakni kasus pencurian
uang oleh anak berusia 12 tahun. Kasus ini merupakan kasus tindak pidana yang
diatur dalam Pasal 362 KUHP dengan ancaman pidana penjara paling lama lima
tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah. Namun, karna usia
pelaku masih berada dibawah umur yakni 12 tahun, maka proses penyidikannya
menggunakan Undang-Undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak (UU Peradilan Anak). Pada dasarnya setiap anak yang masuk ke dalam Sistem
Peradilan Pidana sebagai pelaku, harus memenuhi prinsip-prinsip non diskriminasi,
yang terbaik untuk kepentingan anak, kelangsungan hidup dan pengembangan anak
serta penghargaan terhadap pendapat anak.7
a. Asas kepastian hukum ( asas pacta sunt servanda) merupakan asas yang
berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas
7
Ernis, Y. (2016). Diversi Dan Keadilan Restoratif Dalam Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Anak Di Indonesia. Jurnal Ilmiah
Kebijakan Hukum, 10(2), 163–174.
5
bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat
oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh
melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.
Asas pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPer.
Asas ini pada mulanya dikenal dalam hukum gereja. Dalam hukum gereja itu
disebutkan bahwa terjadinya suatu perjanjian bila ada kesepakatan antar pihak yang
melakukannya dan dikuatkan dengan sumpah. Hal ini mengandung makna bahwa
setiap perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang sakral
dan dikaitkan dengan unsur keagamaan. Namun, dalam perkembangan selanjutnya
asas pacta sunt servanda diberi arti sebagai pactum, yang berarti sepakat yang tidak
perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya. Sedangkan istilah
nudus pactum sudah cukup dengan kata sepakat saja.
b. Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPer. Pada
pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya
kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang
menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal,
melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan
adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah
pihak.
Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman. Di
dalam hukum Jerman tidak dikenal istilah asas konsensualisme, tetapi lebih dikenal
dengan sebutan perjanjian riil dan perjanjian formal. Perjanjian riil adalah suatu
perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata (dalam hukum adat disebut
secara kontan). Sedangkan perjanjian formal adalah suatu perjanjian yang telah
ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta otentik maupun akta bawah
tangan). Dalam hukum Romawi dikenal istilah contractus verbis literis dan
contractus innominat. Artinya, bahwa terjadinya perjanjian apabila memenuhi
bentuk yang telah ditetapkan. Asas konsensualisme yang dikenal dalam KUHPer
adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian.
6
c. Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1)
KUHPer, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Asas ini merupakan suatu asas
yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
Pada akhir abad ke-19, akibat desakan paham etis dan sosialis, paham individualisme
mulai pudar, terlebih-lebih sejak berakhirnya Perang Dunia II. Paham ini kemudian
tidak mencerminkan keadilan. Masyarakat menginginkan pihak yang lemah lebih
banyak mendapat perlindungan. Oleh karena itu, kehendak bebas tidak lagi diberi
arti mutlak, akan tetapi diberi arti relatif, dikaitkan selalu dengan kepentingan umum.
Pengaturan substansi kontrak tidak semata-mata dibiarkan kepada para pihak namun
perlu juga diawasi. Pemerintah sebagai pengemban kepentingan umum menjaga
keseimbangan kepentingan individu dan kepentingan masyarakat. Melalui
penerobosan hukum kontrak oleh pemerintah maka terjadi pergeseran hukum
kontrak ke bidang hukum publik. Oleh karena itu, melalui intervensi pemerintah
inilah terjadi pemasyarakatan hukum kontrak/perjanjian.
d. Asas Itikad baik dalam arti subyektif bisa diartikan kejujuran seseorang dalam
melakukan suatu perbuatan hukum yaitu apa yang terletak pada sikap batin
seseorang pada waktu diadakan perbuatan hukum. Itikad baik dalam arti subyektif
ini diatur dalam Pasal 531 Buku II KUHPerdata. Tak hanya itu saja, di dalam
beberapa peraturan perundang-undangan juga mencantumkan tentang kejujuran,
antara lain Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal.
Kemudian menurut Munir Fuady, rumusan dari Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata
tersebut mengidentifikasikan bahwa sebenarnya itikad baik bukan merupakan syarat
sahnya suatu perjanjian sebagaimana syarat yang terdapat dalam Pasal 1320 KUH
Perdata. Unsur itikad baik hanya diisyaratkan dalam hal “pelaksanaan” dari suatu
7
perjanjian, bukan pada “pembuatan” suatu perjanjian. Sebab unsur “itikad baik”
dalam hal pembuatan suatu perjanjian sudah dapat dicakup oleh unsur “kausa yang
legal” dari Pasal 1320 tersebut.8
C. TUJUAN HUKUM
Tujuan hukum menurut teori etis ini adalah semata-mata untuk mencapai keadilan
dan memberikan haknya kepada setiap orang. Sedangkan tujuan hukum menurut teori
utilities adalah untuk memberikan manfaat atau faedah bagi setiap orang dalam
masyarakat.
L.J. Van Apeldoorn berpendapat bahwa hukum bertujuan untuk mengatur
pergaulan hidup secara damai. Hukum menghendaki perdamaian. Perdamaian tersebut
dipertahankan dengan cara melindungi kepentingan-kepentingan hukum manusia
tertentu, kehormatan, kemerdekaan, jiwa, dan harta benda dari pihak yang
merugikannya.9
Immanuel Kant merupakan penganut Aliran Hukum Alam yang berpendapat
bahwa tujuan hukum adalah sebagai pelindung hak-hak asasi dan kebebasan warganya.
Lebih lanjut Kant mengemukakan bahwa manusia merupakan makhluk yang berakal
dan berkehendak bebas, sehingga negara bertugas untuk menegakkan hak-hak dan
kebebasan warganya tersebut. Kemakmuran dan kebahagiaan rakyat menjadi tujuan
negara dan hukum.
Jeremy Bentham memiliki pandangan sebagai penganut aliran utilitarianisme,
bahwa hukum bertujuan semata-mata apa yang berfaedah bagi banyak orang.
Seringkali apa yang bermanfaat bagi seseorang bisa jadi merugikan orang lain,
sehingga menurut Aliran Utilitarianisme tujuan hukum adalah untuk menjamin adanya
kebahagiaan yang sebanyak-banyaknya bagi orang sebanyak-banyaknya (the
greateshappada hal-hal yang bermanfaat bagi banyak orang, namun tidak
memperhatikan soal keadilan.10
8
Munir Fuady, 2001, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hlm 81.
9
L.J. van Apeldorn; Oetarid Sadino, 2005, Pengantar Ilmu Hukum (inleiding tot de studie van het Nederlandse recht), Jakarta: Pradnya
Paramita, hlm 16.
10
University College of London, “About Jeremy Bentham,” University College of London, https://www.ucl.ac.uk/bentham-project/about-
jeremy-bentham, diakses 24 Maret 2023.
8
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Asas hukum merupakan aturan dasar dan prinsip-prinsip hukum yang abstrak dan
pada umumnya melatar belakangi peraturan konkrit dan pelaksanaan hukum. Asas
hukum memiliki cakupan yang luas, artinya dapat menjadi dasar ilmiah berbagai aturan
atau kaidah hukum untuk mengatur perilaku manusia yang menimbulkan akibat hukum
yang diharapkan. Asas hukum secara umum berfungsi sebagai kerangka dasar dalam
terbentuknya peraturan-peraturan konkrit. (Sudikno Mertokusumo, 2010:44)
menyatakan bahwa terdapat dua fungsi asas hukum yaitu fungsi asas hukum dalam
hukum dan fungsi asas hukum dalam ilmu hukum.
Asas hukum menjadi dasar-dasar yang bersifat umum yang terkandung dalam
peraturan hukum untuk mengatur perilaku manusia yang menimbulkan akibat hukum.
Dalam melakukan batasan atas konsep asas hukum, maka diperlukan penggolongan
konsep jenis yang berbeda untuk memilah konsep asas hukum yang berlaku dalam
sebuah peraturan. Penggolongan asas hukum dibedakan menjadi dua jenis yang
berbeda, yaitu asas hukum umum dan asas hukum khusus. Tujuan hukum menurut teori
etis ini adalah semata-mata untuk mencapai keadilan dan memberikan haknya kepada
setiap orang. Sedangkan tujuan hukum menurut teori utilities adalah untuk memberikan
manfaat atau faedah bagi setiap orang dalam masyarakat.