Transformasi Fiqh Melalui Per Uud-An
Transformasi Fiqh Melalui Per Uud-An
Transformasi Fiqh Melalui Per Uud-An
Disusun Oleh :
Kelompok 4
Dosen Pengampu :
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat karunia dan
hidayahNya kepada kita semua sehingga akhirnya tugas karya tulis ini dapat
terselesaikan. Shalawat serta salam senantiasa tercurah pada Nabi Muhammad
SAW beserta para pengikutnya yang setia menemani hingga akhir zaman. Tugas
makalah yang diberi judul “Transformasi Fiqh Melalui Per UUD-an” ini ialah
suatu karya tulis yang terbentuk dari hasil kerja penulis dimana tugas ini merupakan
syarat dari aspek penilaian mata kuliah Hukum Administrasi Negara.
Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini tentunya tidak terlepas dari
kekurangan, terutama disebabkan oleh kurang spesifiknya informasi dan sumber
yang penulis dapatkan, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun dari
pembaca sangat penulis perlukan untuk perbaikan penulisan makalah ini.
Semoga Allah SWT selalu mencurahkan rahmat dan karunia-Nya serta
keridhoan-Nya kepada kita semua, Aamiin.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam era globalisasi dan perkembangan teknologi informasi, tantangan
sosial dan hukum yang dihadapi oleh umat Islam semakin kompleks. Pergeseran
paradigma masyarakat dan dinamika kemajuan ilmu pengetahuan menuntut
keterlibatan Fiqh (ilmu hukum Islam) dalam merespons perubahan-perubahan
tersebut. Salah satu aspek yang menjadi sorotan dalam transformasi Fiqh adalah
peran Perundang-undangan (Per UUD-an) dalam membentuk dan mengadaptasi
hukum Islam dalam konteks kehidupan kontemporer.
Transformasi Fiqh melalui Per UUD-an menciptakan dinamika baru dalam
proses ijtihad (penalaran hukum Islam) dan penyesuaian hukum Islam dengan
konteks masyarakat modern. Perubahan dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan
politik menuntut Fiqh untuk terus berkembang agar relevan dan dapat
memberikan panduan yang akurat bagi umat Islam. Oleh karena itu, penelusuran
sejauh mana Per UUD-an telah menjadi sarana untuk merumuskan dan
mentransformasi Fiqh menjadi sebuah wacana hukum yang dapat menjawab
tuntutan zaman menjadi perlu untuk dilakukan.
Dalam konteks ini, memahami bagaimana Per UUD-an dapat menjadi
instrumen untuk transformasi Fiqh menjadi aspek yang dinamis dan responsif
terhadap perubahan zaman menjadi sangat penting. Analisis mendalam terhadap
peran Per UUD-an dalam membentuk hukum Islam dapat memberikan
pemahaman yang lebih mendalam tentang dinamika hubungan antara norma
hukum Islam dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di suatu
negara.
Dengan menggali lebih jauh mengenai transformasi Fiqh melalui Per
UUD-an, diharapkan makalah ini dapat memberikan pandangan yang kaya dan
berimbang tentang bagaimana hukum Islam dapat tetap relevan dan merespons
perubahan zaman melalui proses perundang-undangan. Dengan demikian,
makalah ini akan memberikan kontribusi pada pengembangan pemikiran hukum
1
Islam dan memfasilitasi diskusi tentang peran Per UUD-an dalam membentuk
landasan hukum yang inklusif dan dapat mengakomodasi keberagaman
masyarakat kontemporer.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Hukum Islam (Fiqh) dalam perkembangan Hukum Modern?
2. Bagaimana Upaya Transformasi Hukum Islam kedalam Sistem Perundang-
undangan Negara?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui Hukum Islam (Fiqh) dalam perkembangan Hukum
Modern.
2. Untuk mengetahui Upaya Transformasi Hukum Islam kedalam Sistem
Perundang-undangan Negara.
2
BAB II
PEMBAHASAN
1
Nasarudin Umar, “Konsep Hukum Modern: Suatu Perspektif Keindonesiaan, Integrasi
Sistem Hukum Agama dan Sistem Hukum Nasional,” Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial
Keagamaan 22, no. 1 (2014): 167.
2
Sumarni Sumarni, “Kedudukan Hukum Islam dalam Negara Republik Indonesia,” Al-
’Adalah 10, no. 2 (2012): 489.
3
Relevansi aturan hukum dengan persoalan masyarakat merupakan hal
yangesensial demi terciptanya keadilan danketertiban di masyarakat. Aturan
hukumyang tidak relevan, akan menciptakan kekacuan dan ketidakadilan,
dan menjadipersoalan karena tidak dapat menjawabpersoalan-persoalan yang
ada dalam masya- rakat. Relevansi di sini mengandung pengertian, bahwa
hukum harus bisamemecahkan suatu persoalan dari suaturealitas baru
masyarakat. Sehingga jikatidak, akan menyebabkan terjadinya apayang
disebut dengan bankruptcy of justice yakni suatu konsep yang mengacu
kepadakondisi dimana hukum tidak dapat menyelesaikan suatu perkara akibat
ketiadaan aturan hukum yang mengaturnya.Penerimaan hukum Islam ke dalam
sebuah sistem politik digam-barkan kedudukannya menjadi dua bentuk
sikap penerimaan yakni; Pertama, sikap persuasive source dimana
setiap orang Islam diyakini maumenerima pemberlakuan hukumIslam;
dan Kedua, periode authoritysource di mana setiap orang Islammenyakini
bahwa hukum Islam memiliki kekuatan yang harus dilak-sanakan. Dengan
kata lain, hukum Islam dapat berlaku secara yuridis formal apabila
dikodifikasikan dalam perundang-undangan negara.
Transformasi hukum Islam ke dalam hukum nasional, dan
selanjut-nya diupayakan untuk mewujudkan- nya sebagai sebuah
produk hukum yang memiliki fungsi sebagai social countrol, pada
dasarnya sangat tergantung pada partisipasi dari semua pihak dan
lembaga terkait. Demikian halnya hubungan hukum Islam dengan
badan kekuasaan negara diharapkan mengacu kepada kebija- kan
politik hukum yang ditetapkan (adatrechts politiek).3
Ketika elite politik Islam memi- liki daya tawar yang kuat dalam
interaksi politik, maka peluang bagi pengembangan hukum Islam
untuk ditransformasikan kedalam sistem hukum Positif semakin jelas.
Syahrul Harahaf dalam politik theori hukum Islam, mengemukakan
tiga bentukpelaksanaan hukum Islam, yaitu; Per-tama, pelaksanaan
3
Ronald Saija dan Iqbal Taufik, Dinamika Hukum Islam Indonesia (Deepublish, 2016), 56.
4
hukum Islam melalui intervensi negara, dengan melakukan
formalisasi hukum islam dalam perundang-undangan negara. Kedua,
Pelaksanaan hukum Islam melalui cara transformasi nilai-nilai hukum
Islam dalam tata peraturan kenegaraan, tanpa memformalisasikan
secara simbolik. Ketiga, Pelaksanaan hukum Islam dengan
memisahkan antara urusan agama dengan struktur kenegaraan,
sehingga pelaksanaan hukum Islam lebih dikategorikan sebagai
masalah individual.
Pelaksanaan hukum Islam dalam per- kembangan hukum modern, terdapat
beberapa hal yang terkait dengan keper- dataan sudah mendapat tempat, seperti;
perkawinan, infaq, zakat, shadaqah, kewari- san dan ekonomi Islam. Kondisi
sepert ini tanpak bahwa hukum Islam hadir dalam panggung hukum di beberapa
negara Islam sebagai hukum yang hidup, dan mampu memberikan solusi terbaik
terhadap beberapa persoalan tersebut.10 Meskipun demikian, dari aspek lain
masih terdapat penilaian negatif terhadap hukum Islam, sebagai hukum yang
masih memilikibanyak kelemahan, karena dianggapmandul dan tidak memiliki
kekuatan untuk memberikan sanksi hukum.
Deskripsi seperiti ini, akan melahir-kan kesan bahwa hukum islam tidak
akomodatif karena tidak mampu mener- tibkan asyarakatnya. Dampak dari per-
soalan tersebut secara psikologis akan menambah tingkat penyelewengan dan
pelanggaran terhadap hukum atau undang- undang, serta penyalahgunaan hak
atau wewenang, bahkan lebih jauh ada yang menggunakan haknya secara
berlebihan atau wewenang itu akan merugikan orang lain, sehingga Legalitas
hukum ada pada upaya penyusunan perundang-undangan, yang terkesan
diciptakan karena kepen- tingan sesaat dan tidak memperhatikansistem hukum,
sehingga akibatnya undang- undang itu tidak berlangsung lama dan dicabut.
Dengan demikian sebuah undang-undang akan Ideal ketika undang-undang
itu mampu bersifat futuristik yang berarti bahwa undang-undang itu dapat ber-
langsung dalam kurun waktu yang lama. bukan kasuistik; belum berapa lama
berlakusudah direvisi, diamandemen atau dicabut. Fenomena hukum seperti ini
5
banyak terjadi pada beberapa negara Islam, karena terkadang kodifikasi
dilakukan berdasarkan madzhab penguasa
4
H. Zainuddin Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia (Sinar Grafika,
2022), 34.
6
penggunaan illat dalam qiyas serta perubahan hukum jika kemudian ditemukan
illat yang baru. (3) Pola Istilahi (pertim- bangan kemaslahatan atau kepen-
tingan masyarakat), bagian ketiga ini lebih menitikberatkan pada kajian yang
berhu- bungan dengan masalah-masalah baru yang tidak ada dalam al-Qur‟an
dan sunnah Nabi, yang biasanya muncul karena adanya kemajuan ilmu dan
teknologi.
Dari kontruksi hukum Islam di ataskemudian para ahli hukum melakukan
penggalian dan penemuan hukum. Namun dalam penerapannya tidak
sesederhana itu perlu pemahaman dan keberanian para mujtahid, karena
persoalan hukum yang timbul dalam masyarakat sangat kompleks. Padahal teks-
teks nas itu terbatas sedangkan problematika hukum yang memerlukan solusi
tidak terbatas, hal ini disebabkan olehperubahan sosial budaya yang terus ber-
gerak karena pengaruh ilmu pengeta-huan dan teknologi. Oleh karenanya
hukum Islam harus senantiasa mampu mengikuti dan menjawab persoalan-
persoalan yang dihadapi melalui pengembangan danpembaharuan metodologi
hukum Islam itu sendiri.5
Hukum Islam merupakan sarana yangditujukan untuk mengubah perilaku
warga-warga muslim. Kedudukan hukum Islam sebagai sarana ini menganut
asas law is the tool of social engineering bahwa hukum sebagai alat untuk
merubah masyarakat. Dalam suatu masyarakat hukum dijadikan sebagai alat
(Instrumen). Hukum harus digunakan secara sadar tidak saja dipakai untuk
mengukuhkan pola-pola kebiasaan masyarakat, melainkan harus mengarahkan
kepada tujuan yang dikehendaki, yaitu mengarahkan pola-pola kebiasaan
masya- rakat kepada tujuan yang dikehendaki dan menghapuskan kebiasaan
kebiasaan yang tidak sesuai dengan menciptakan pola-pola baru yang serasi
dengan tingkah laku manusia dalam masyarakat tersebut.
Dilihat dari sudut pandang metodo- logi, fenomena pemikiran hukum
Islam secara umum menunjukkan bahwa setidak- nya terdapat dua cara berpikir
yang antagonistik. Pertama, pemikiran hukum Islam liberal. Kemunculannya
5
Tajul Arifin, Antropologi Hukum Islam (Pusat Penelitian dan Penerbitan UIN Sunan
Gunung Djati, 2016), 29.
7
diantaranya didasari oleh argumen bahwa pemikiran hukum Islam yang ada
selama ini dianggap tidak mampu menjawab persoalan kon- temporer. Kedua,
pemikiran hukum Islam konservatif tekstual yang berorientasi pada masa lalu
dan pemahaman normatif.Pemikiran ini di dasari bahwa hukum Islam yang telah
ada sudah sangat lengkap dan dapat menjawab semua persoalan umat.
Pola pikir dengan corak konser- vatif tekstual dengan ketentuan mutlak
dari hasil interpretasi terhadap nash, ditemukan pada beberapa Negara Islam
seperti; Arab Saudi dan wilayah utara Nigeria yang keduanya masih tetap
menghargai syari’ah sebagai hukumyang mengatur seluruh aspek kehidupan,
dan terkesan tertutup dengan sistem hukum lain, serta sangat sedikit sekali
menerima hukum yang lahir dari insfirasi Barat.6
Sebaliknya, untuk corak liberal dapat ditemukan pada sebagian besar
negara-negara Islam yang kadang- kadang meninggalkan syari’ah dan
menggantikannya dengan hukum sekuler atau bahkan dengan
mengkompromikan keduanya dengan melalui interpretasi mereka. Upaya
seperti itu, didasari oleh karena hukum Islam terkendala dengan; ragam
mazhab atau bahkan beragam agama, yang turut berpengaruh ter- hadap
pelaksanaan ijtihad pada sebuah negara. Sementara itu hukum Islam
walaupun mempunyai sumber-sumber tertulis pada Al-Quran, Sunnah dan
pendapat para fuqaha (doktrin fikih) padaumumnya tidak terkodifikasi dalam
bentuk buku yang tertuang dalam perundang- undangan yang mudah dirujuk.
Dampak dari fenomena ini, ijtihad selalu ber- ujung pada kelahiran undang-
undang baru yang berbeda dengan ketentuanhukum dalam kitab-kitab fikih.
Kendala lain adalah asumsi terhadap hukum Islam sebagai fenomena
sakral yangeternal, yang tidak bisa menerima inter- pretasi. Pada hal jika Wahyu
Tuhan tersebutdikemas dengan pendekatan metode istimbath, maka rangkaian
hukum-hukum- nya akan tetap berada pada program pemerataan kemaslahatan,
keadilan, dan kesejahteraan manusia berdasarkan Al- Qur’an dan Hadits, dan
senantiasa berada dibawah pengawasan dan perlindungan Tuhan serta dijamin
6
Kana Kurniawan, Perempuan dalam Perspektif Hukum Islam dan HAM (Publica
Indonesia Utama, 2022), 45.
8
kebal dari intervensiyang merusak sakralitasnya.
Kehawatiran atas kendala yang dikemukan, ternyata tidak
sepenuhnya menghambat upaya transformasi hukum Islam kedalam
perundang- undangan di satu negara, berdasarkan hasil penelitian
J.N.D. Anderson, yang menilai bahwa dalam hukum perdata pada
beberapa negara Islamsudah di berlakukan. Hal mana dapat dilihat
dalam beberapapersoalan hukum keluarga di negara- negara Islam
seperti Mesir, Yordania, Indonesia, Malaisia, Brunai dan lain- lain,
eksistensinya dapat dikaji padabeberapa persoalan diantaranya;
1. Pengadilan mengkui hak-hak isteri untuk menuntut perceraian
dengan alasan-alasan tertentu.
2. Perceraian yang tidak disengajatidak diakui. Dalam hal ini
perceraian dianggap tidak sah jika dilakukan di luar Pengadilan.
3. Batas waktu kehamilan maksimalsatu tahun.
4. Pembatasan kekuasaan dan otoritas wali nikah
5. Dalam hal waris, saudara (laki-laki atau perempuan) atau kakek
tidak menghalangi (mahjub) saudara seayah atau se ibu.
6. Membolehkan memberi pusaka atau wasiat pada ahli waris.
7. Keharusan washiat wajibah bagi setiap orang yang meninggal
dengan ketentuan tidak lebih dari1/3 harta.
8. Cucu mendapat warisan, meski ayahnya dan ibunya meninggal
sebelum kakek/nenek meninggal.
Aspek lain dari keperdataan yang marak dibicarakan dalam forum diskusi
simposium dan seminar adalah upaya menggiring bank konvensional Menuju
Bank Syari’ah. Hal menarik yang perlu dicermati adalah apakah persentuhan
hukum Islam dengan modernitas tersebut telah mampu menciptakan
kesejahteraan bagi masyarakat ataukah belum. Untukmengetahui hal tersebut
maka perlu dicermati terlebih dahulu tentang perkem- bangan perbankan
Syari'ah dibeberapa negara Islam dan kontribusinya terhadap peningkatan
kesejahteraan ummat, sebagai bahan evaluasi untuk melahirkan undang- undang
baru, baik berupa undang-undangyang pemerintah atau individu muslim tidak
9
boleh melampaui sumber-sumber pengam- bilannya atau mempertimbangkan
yang lainnya (al-qanun al-tasyri’), atau denganundang-undang dan hukum yang
tidak disinggung oleh syariat, sehingga pemerin- tah atau individu Muslim boleh
meng- adopsinya dari sumber manapun selain syariah demi mewujudkan
kemaslahatan, dengan syarat tidak bertentangan dengan syariat Islam (al-qanun
al-ijra’i).
Transformasi hukum Islam dalam beberapa bentuk perundang-undangan
(takhrij al-ahkam fî al-nash al-qanun) merupakan produk interaksi antar elit
politik Islam (para ulama, tokoh ormas, pejabat agama dan cendekiawan
muslim) dengan elit kekuasaan (the rulling elite) yakni kalangan politisi dan
pejabat negara. Karena itu, Untuk menjadi hukum yang berlaku umum, hukum
Islam haruslah mengalami proses adaptasi dengan kondisi lingkungan yang ada.
Atas dasar itu, aktualisasi hukum Islam harus dilakukan secara sistemik dan
dengan tindakan- tindakan nyata.
Dengan demikian proses transformasi hukum Islam ke dalam qanun dauli
dusturi, dapat dilakukan dengan baik, dengan langkah-langkah antara lain;
menumbuh- kan kesadaran bahwa aktualisasi hukum Islam tidak dapat
dilaksanakan hanya dengan pernyataan politik bahwa Syariat Islam berlaku bagi
umat Islam, merumus-kan prinsip-prinsip hukum Islam sebagai acuan dalam
pengembangan sistem hukum yang berlaku secara keseluruhan, melaku- kan
pembahasan berdasarkan prinsip hierarki makna dan elaborasi Syariat Islam dan
kaidah fikih untuk menentukan masalah-masalah hukum yang harus diatur dan
ditegakkan oleh penguasa, serta menyikapi masalah-masalah hukum yang harus
diatur dan ditegakkan pada negara plural, harus dipilah mana yang berlaku
khusus bagi umat Islam dan mana yang dapat diberlakukan secara umum sebagai
hukum fositif.
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, makadapat dirumuskan beberapa kesimpulan
sebagai berikut:
1. Fenomena Hukum Islam di beberapanegara modern dapat dilihat dari dua
segi; Hukum Islam yang berlaku secarayuridis formal dan secara normatif,
yang dijabarkan dengan tiga bentuk Pelaksanaan hukum Islam yaitu:
(1) pelaksanaan hukum Islam melalui intervensi negara, dengan
melaku- kan formalisasi hukum islam dalam perundang-undangan
negara. (2) Pelaksanaan hukum Islam melalui cara transformasi nilai-
nilai hukum Islam dalam tata peraturan kenega- raan, tanpa
memformalisasikan secara simbolik. (3) Pelaksanaan hukum Islam
dengan memisahkan antara urusan agama dengan struk- tur
kenegaraan, sehingga pelaksa- naan hukum Islam lebih dikategori- kan
sebagai masalah individual.
2. Kontruksi metodologi hukum Islam secara garis besar terdiri dari: (1) Pola
Bayani,Ta’lili dan Istilahi. Dilihat darisudut pandang metodologi, fenomena
pemikiran hukum Islam secara umum menunjukkan bahwa setidaknya
terdapat dua cara berpikir yakni; pemikiran hukum Islam liberal dan
pemikiran hukum Islam konservatif tekstual. Corak konservatif tekstual,
ditemukan pada sebagian kecil dari negara Islam seperti; Arab Saudi dan
wilayah utaraNigeria, sementara corak liberal dapat ditemukan pada sebagian
besar negara-negara Islam seperti; Mesir, Yordania, Indonesia, Malaisia,
Brunai dan lain-lain. Upaya transformasihukum Islam dalam perundang-
undangan negara tersebut, umummya terkendala dengan; ragam mazhab
atau bahkan beragam agama, pen- dapat para fuqaha (doktrin fikih) pada
umumnya tidak terkodifikasi dalam ben- tuk buku yang tertuang dalam per-
undang-undangan serta adanya asumsi terhadap hukum Islam sebagai
fenomenasakral yang eternal, yang tidak bisa menerima interpretasi.
11
DAFTAR PUSTAKA
Ali, H. Zainuddin. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia. Sinar
Grafika, 2022.
Arifin, Tajul. Antropologi Hukum Islam. Pusat Penelitian dan Penerbitan UIN
Sunan Gunung Djati, 2016.
Kurniawan, Kana. Perempuan dalam Perspektif Hukum Islam dan HAM. Publica
Indonesia Utama, 2022.
Saija, Ronald, dan Iqbal Taufik. Dinamika Hukum Islam Indonesia. Deepublish,
2016.
12