Resume Hip Orell
Resume Hip Orell
Resume Hip Orell
NIM : 25000223240050
Kelas : 1A – K3
Inovasi teknologi telah memperluas batas kemampuan manusia (Forsythe et al., 2014). Namun,
seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin kompleks, batasan yang dapat kita capai tidak
lagi ditentukan oleh teknologi, melainkan oleh kapasitas kognitif dan fisik manusia, serta kemampuan
kita untuk mengatasi tekanan yang diakibatkannya. Kemajuan teknologi lebih lanjut memerlukan
pertimbangan menyeluruh terhadap dimensi manusia dalam perancangan sistem, produk dan layanan
serta pemahaman yang lebih baik tentang otak dan bagaimana operasinya membentuk kemampuan
dan pengalaman kita. Pemrosesan informasi manusia dan psikologi kognitif menjadi bidang yang
semakin penting dalam kualitas, keselamatan, dan manajemen risiko karena memungkinkan kita
memprediksi kinerja manusia dalam sistem, memahami cara orang memecahkan masalah, dan
mengapa kesalahan terjadi.
Human Information Processing atau Proses Informasi pada Manusia merupakan teori bagaimana
manusia menerima, menyimpan, mengintegrasikan, mengambil, dan menggunakan informasi. Proses
mental ini mencakup diterimanya stimulus dari sistem kerja, proses pengubahan stimulus menjadi
informasi yang berarti, hingga pengambilan keputusan yang sejalan dengan informasi yang diperoleh.
Human information processing (HIP) adalah salah satu bidang penting ergonomi yang secara khusus
mengkaji rangkaian proses kerja mental yang kompleks yang dilakukan manusia ketika berinteraksi
dengan suatu sistem kerja. Melalui kajian HIP, dapat dipahami kapasitas, keterbatasan, serta
karakteristik kerja mental manusia yang selanjutnya dapat dimanfaatkan dalam merancang interaksi
yang optimal.
Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk memahami interaksi manusia-mesin adalah
dengan cara memodelkan bagaimana otak manusia memproses informasi. Setidaknya terdapat 3
tahapan besar dalam memproses informasi (Wickens dkk.. 2004) yaitu: (1) memahami informasi apa
yang diberikan oleh lingkungan, (2) memproses informasi tersebut pada tingkatan yang lebih tinggi,
serta (3) memberikan respons atas informasi tersebut. Pendekatan dengan permodelan bukanlah satu-
satunya cara, namun cara tersebut dapat membantu dalam menganalisis rangkaian proses mental yang
terjadi, memahami keterbatasan operator dalam memproses informasi, serta mengkaji kesesuaian
antara karakteristik operator dan sistem kerja. Model HIP tersebut dapat dilihat pada Wickens dan
Hollands (2000) sera Wickens dkk (2004). yang diilustrasikan pada gambar berikut.
Model tersebut menggambarkan rangkaian tahapan proses yang berjalan secara serial, diawali oleh
proses sensasi atas stimulus fisik yang datang dari lingkungan. Stimulus fisik ini membangkitkan
aktivitas saraf, yang bisa maupun tidak bisa diproses lebih lanjut. Proses selanjutnya bersifat kognitif,
proses ini mencakup persepsi dan pengambilan keputusan, yang dibantu oleh proses penyimpanan
informasi (working memory dan long-term memory). Proses persepsi (memahami apa yang terjadi)
merupakan gabungan antara proses top-down, di mana stimulus dirasakan oleh indra kita, serta proses
buttom-up di mana ingatan jangka panjang (pengetahuan dan pengalaman) membantu member arti
atas stimulus yang diperoleh.
Akhir dari model HIP ini adalah proses eksekusi atas keputusan yang dipilih. Efektifitas proses-proses
tersebut dibatasi oleh attention resources, yang menunjukkan kapasitas berbagai proses mental yang
dapat dilakukan secara bersamaan. Terakhir, respon yang dipilih dan dilakukan oleh manusia akan
menghasilkan masukan (feedback), yang bersama-sama dengan stimulus dari lingkungan dirasakan
kembali oleh indra dan bermanfaat dalam menentukan apakah tujuan aktivitas yang dilakukan telah
tercapai. Model HIP yang dijelaskan disini menganggap bahwa terdapat kotak-kotak yang membagi
rangkaian kerja mental ke dalam fungsi-fungsi yang bersifat unik serta memiliki batas yang
membedakan antara satu tahap pemrosesan informasi dan tahap lainnya. Pengelompokan ini tidak
serta-merta menggambarkan secara fisik anatomi otak manusia.
Forsythe dkk. (2014) berpendapat bahwa kekuatan dan kelemahan otak manusia paling terlihat dalam
proses berpikir sadar yang mendasari pemecahan masalah sehari-hari. Dapat dikatakan bahwa
kekuatan terbesar otak manusia adalah kapasitasnya yang tak ada habisnya dalam menyimpan
informasi yang diperoleh sepanjang hidup, yang meskipun sering kali tidak sempurna, namun
nantinya dapat diambil dan diterapkan secara efisien dalam memecahkan masalah-masalah yang ada.
Kelemahan otak manusia yang paling menonjol adalah terbatasnya kapasitas kesadaran meskipun
sebagian besar pemrosesan informasi terjadi pada tingkat bawah sadar di dalam otak. Proses bawah
sadar dapat mempengaruhi keputusan kita dan mempengaruhi reaksi kita terhadap situasi yang
berbeda, namun kita umumnya tidak memiliki kesadaran mengenai informasi apa yang telah diproses
atau bagaimana informasi tersebut mempengaruhi proses berpikir sadar kita. Keberhasilan
pengoperasian otak memerlukan banyak elemen berbeda yang beroperasi dalam koordinasi satu sama
lain. Oleh karena itu, relatif mudah untuk mengamati bagaimana berbagai gangguan dan peristiwa
penting secara emosional dapat mengganggu keseimbangan dan sangat membatasi kapasitas kita
untuk mengakses simpanan memori kita.
Ada banyak mekanisme yang kita gunakan untuk mengatasi kelemahan yang melekat pada otak
manusia, diantaranya yaitu :
1. Rutinitas, ketergantungan kita pada rutinitas memanfaatkan kapasitas otak kita untuk
menyimpan kumpulan besar rangkaian perilaku dan operasi kognitif. Hal ini membebaskan
kita dari analisis mendalam dari waktu ke waktu yang seharusnya diperlukan. Hasilnya, otak
kita bebas memikirkan pertimbangan lain.
2. Konvensi, seperti halnya rutinitas, otak kita memiliki kapasitas tak terbatas untuk
mempelajari berbagai konvensi yang berfungsi untuk memastikan konsistensi ekspektasi dan
perilaku, dan sering kali melakukannya secara implisit dengan sedikit usaha sadar. Konvensi-
konvensi tersebut menjadi sangat mengakar dan dilaksanakan hampir secara refleks.
3. Jargon, jargon memiliki kemampuan untuk menangkap ide-ide kompleks dalam satu kata,
akronim, atau frasa dengan kepadatan informasi yang jauh lebih besar. Dalam mencapai
komunikasi yang lebih efisien melalui penggunaan jargon, seseorang mengurangi tuntutan
yang dibebankan oleh komunikasi, membebaskan sumber daya untuk fokus pada aktivitas
lain.
4. Simbol, representasi gambar memungkinkan informasi kompleks tertanam dalam gambar
sederhana, sehingga mencapai kepadatan informasi tingkat tinggi. Simbol dan ikon sering kali
mencapai tingkat universalitas tertentu sehingga orang-orang dari latar belakang berbeda
dapat melihatnya dan mengenali maknanya.
5. Menelusuri kembali, dengan menelusuri kembali langkah-langkah, orang terbebas dari
tuntutan kognitif untuk menelusuri jalur baru serta ketidakpastian rute yang tidak diketahui
disertai kebutuhan untuk memantau kemajuan di sepanjang jalan. Secara umum, kita
cenderung mengikuti rute yang sama tanpa mempertimbangkan apakah ada pilihan yang lebih
optimal
6. Kebiasaan, dengan menyukai produk, layanan, perusahaan, dan orang-orang yang kita kenal,
kita mengandalkan ingatan kita akan pengalaman masa lalu untuk mempermudah pilihan kita,
menghindari risiko hal-hal yang tidak diketahui, dan mengurangi tuntutan kognitif yang
terkait dengan suatu aktivitas. Meskipun menstimulasi, hal-hal baru dapat menuntut secara
kognitif.
7. Penerapan aturan sederhana atau heuristik yang secara teratur memberikan solusi yang
memuaskan, meskipun belum tentu merupakan solusi terbaik, menjadikan kita bebas dari
tuntutan mempertimbangkan keunikan.
8. Chunking atau proses memecah informasi. Dalam konteks ini, chunking mengacu pada proses
pengambilan informasi individual seperti huruf, kata, angka, atau situasi dan
mengelompokkannya ke dalam satuan yang lebih besar. Hal ini tidak terlalu menuntut untuk
beroperasi dengan unit informasi yang lebih besar daripada memproses setiap item secara
individual.