0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
27 tayangan15 halaman

Uts Intan

Dokumen tersebut membahas tiga akad ekonomi syariah yaitu: 1) Akad Murabahah yang merupakan jual beli dengan keuntungan yang disepakati di awal. 2) Akad Wadiah yang merupakan penitipan barang/uang tanpa imbalan. 3) Akad Qardhul Hasan yang merupakan pinjaman dana tanpa bunga dengan janji mengembalikan sejumlah pokok pinjaman.

Diunggah oleh

Deden Maryadin
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Kami menangani hak cipta konten dengan serius. Jika Anda merasa konten ini milik Anda, ajukan klaim di sini.
Format Tersedia
Unduh sebagai DOCX, PDF, TXT atau baca online di Scribd
0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
27 tayangan15 halaman

Uts Intan

Dokumen tersebut membahas tiga akad ekonomi syariah yaitu: 1) Akad Murabahah yang merupakan jual beli dengan keuntungan yang disepakati di awal. 2) Akad Wadiah yang merupakan penitipan barang/uang tanpa imbalan. 3) Akad Qardhul Hasan yang merupakan pinjaman dana tanpa bunga dengan janji mengembalikan sejumlah pokok pinjaman.

Diunggah oleh

Deden Maryadin
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Kami menangani hak cipta konten dengan serius. Jika Anda merasa konten ini milik Anda, ajukan klaim di sini.
Format Tersedia
Unduh sebagai DOCX, PDF, TXT atau baca online di Scribd
Anda di halaman 1/ 15

Nama : Intan Arizka

NIM : 4012021057

1. Akad Murabaha

Menurit Al-Zuhaili dalam bukunya pada tahun 1084, mengartikan murabahah adalah jual
beli dengan harga pokok dengan tambahan keuntungan.

Salah satu skim fiqh yang paling populer digunakan oleh perbankan syariah adalah skim
jual beli murabahah. Transaksi pembiayaan murabahah ini lazim dilakukan oleh Rasulullah
SAW dan para sahabatnya. Secara sederhana, murabahah berarti suatu penjualan barang
seharga barang tersebut ditambah dengan margin yang disepakati.

a. Rukun Murabahah
1) Ba’i atau penjual, penjual disini adalah orang yang mempunyai barang dagangan
atau orang yang menawari suatu barang
2) Musytari atau pembeli, adalah orang yang melakukan permintaan terhadap suatu
barang yang ditawarkan oleh penjual
3) Mabi’ atau barang, adalah komoditi, benda, objek yang diperjualbelikan
4) Tsaman atau harga jual, adalah sebagai alat ukur untuk menentukan nilai suatu
barang
5) Ijab dan Qabul yang dituangkan dalam akad
b. Syarat Murabahah
1) Adanya pihak yang berakad (penjual dan pembeli)
2) Adanya objek yang diperjualbelikan
3) Sughad
4) Harga

Murabahah juga dapat diartikan sebagai salah satu bentuk jual beli amanah yang dikenal
dalam syari’at Islam, karena penjual disyaratkan melakukan kontrak terlebih dahulu dengan
menyatakan harga barang yang akan dibeli. Dalam pembiayaan murabahah bank menetapkan
harga jual barang yaitu harga pokok perolehan barang ditambah sejumlah margin keuntungan
bank. Harga jual yang telah disepakati di awal akad tidak boleh berubah selama jangka waktu
pembiayaan. Contoh aplikasi di perbankan syariah:

a. Pembiayaan konsumtif, yaitu seperti Pembiayaan Kepemilikan Rumah, Pembiayaan


kepemilikan Mobil, Pembiayaan Pembelian Perabot Rumah Tangga.
b. Pembiayaan Produktif, yaitu seperti Pembiayaan Investasi Mesin dan Peralatan,
Pembiayaan Investasi Gedung dan Bangunan, Pembiayaan Persediaan Barang
Dagangan, dan Pembiayaan Bahan Baku Produksi.

Dalam suatu teknis yang ada diperbankan syariah, murabahah merupakan akad jual dan
beli yang terjadi antara pihak bank syariah selaku penyedia barang yang menjual kepada
nasabah yang memesan dalam rangka pembelian barang itu. Keuntungan yang diperoleh dari
pihak bank syariah dalam transaksi ini merupakan keuntungan jual beli yang telah disepakati
secara bersama. Jual beli dengan bentuk murabahah ini terdapat dalam bentuk pesanan, yang
diistilahkan oleh Imam Syafi’I sebagai al- amir bi al- shira. Ia juga dapat disamakan dengan
Bay’ bi Tsaman Ajil atau Bay’ Mu’ajal yaitu jual beli yang barangnya diserahkan segera dan
pembayaran ditangguhkan atau dilakukan secara berangsur. Oleh sebab itu, murabahah
merupakan salah satu bentuk jual beli yang dihalalkan.
2. Akad Wadiah
Kata Wadhi’ah berasal dari wada asy syai-a yaitu meninggalkan sesuatu. Sesuatu yang
ditinggalkan seseorang pada orang lain agar dijaga disebut wadi’ah, karena dia
meninggalkannya pada orang yang sanggup menjaga. Secara harfiah, Al-wadi’ah dapat
diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak yang lain, baik individu maupun
badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendakinya.

a. Jenis Akad Wadiah


1) Yad Dhammah
yaitu akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima titipan (Wadi’i) dengan
atau tanpa ijin pemilik barang/uang (Muwaddi), dapat memanfaatkannya dan
bertanggung jawab terhadap kehilangan atau kerusakan barang/uang titipan tersebut.

2) Yad Amanah
Adalah akad penitipan barang/uang dimana pihak penerima (Wadi’i) tidak
diperkenankan penggunaan barang/uang dari si penitip (Muwaddi) tersebut dan tidak
bertanggung jawab atas kerusakan atau kelalaian yang bukan disebabkan oleh
kelalaian si penerima titipan (Wadi’i). Dan sebagai gantinya si penitip (Muwaddi)
wajib untuk membayar kepada orang yang dititipi (Wadi’i), namun boleh juga untuk
tidak membayar asalkan orang yang dititipi tidak merasa keberatan dan
menganggapnya sedekah.

b. Rukun Wadiah
Rukun wadi`ah adalah hal-hal yang terkait atau yang harus ada didalamnya yang
menyebabkan terjadinya Akad Wadi`ah yaitu :
1) Muwaddi ( orang yang menitipkan )
2) Wadi’i ( orang yang dititipi barang )
3) Wadi’ah ( barang yang dititipkan )
4) Shigot ( Ijab dan qobul )
c. Dalam perbankan syariah

Ada 2 pola Akad Al-Wadi’ah , yaitu al-wadi’ah yad al-amanah dan alwadi’ah yad
adh-dhamanah.

1) Al-wadiah yad amanah adalah pihak yang menerima tidak boleh menggunakan
dan memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan, tetapi harus benar-benar
menjaganya sesuai kelaziman. Pihak penerima titipan dapat membebankan biaya
kepada penitip sebagai biaya penitipan.
2) Al-Wadi’ah yad adh-dhamanah adalah pihak yang menerima titipan boleh
menggunakan dan memanfaatkan barang titipan atau uang yang dititipkan.
Tentunya pihak bank dalam hal ini mendapat bagi hasil dari pengguna dana. Bank
dapat memberikan intensif kepada penitip dalam bentuk bonus.

Pada dasarnya penerima simpanan adalah yad al-amanah (tangan amanah), artinya
ia tidak bertanggung jawab atas kehilangan atau kerusakaan yang terjadi pada aset
titipan selama hal ini bukan akibat dari kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan
dalam memelihara barang titipan (karena faktor-faktor diluar batas kemampuan). Hal
ini telah dikemukakan oleh Rasulullah dalam suatu hadis: “Jaminan
pertanggungjawaban tidak diminta dari peminjam yang tidak menyalahgunakan
(pinjaman) dan penerima titipan yang tidak lalai terhadap titipan tersebut”

Akan tetapi, dalam aktivitas perekonomian modern, si penerima simpanan tidak


mungkin akan meng-idle-kan aset tersebut, tetapi mempergunakannya dalam aktivits
perekonomian tertentu. Karenanya, ia harus meminta izin dari si pemberi titipan
untuk kemudian mempergunakan hartanya tersebut dengan catatan ia menjamin akan
mengembalikan aset tersebut secara utuh. Dengan damikian, ia bukan lagi yad al-
amanah, tetapi yad adh-dhamanah (tangan penanggung) yang bertanggungjawab atas
segala kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada barang tersebut.
Mengacu pada pengertian yad adh-dhamanah, bank sebagai penerima simpanan
dapat memanfatkan al-wadi’ah untuk tujuan :

- currunt account (giro)


- saving account (tabungan bejangka)

beberapa ketentuan yad adh-dhamanah, antara lain:

- penyimpan memiliki hak untuk menginvestasikan aset yang dititipkan


- penitip berhak mengetahui bagaimana assetnya diinvestasikan
- penyimpanmenjamin hanya nilai pokok jika modal berkurang karena rugi
- untung dapat dibagi sebagai hisbah(hadiah)
- penitip tidak memilii suara.

Sebagai konsekuensi dari yad adh-dhamanah, semua keuntungan yang dihasilkan


dari dana titipan tersebut menjadi milik bank (demikian juga ia adalah penanggung
seluruh kemungkinan kerugian). Sebagai imbalan, si pemyimpan mendapat jaminan
keamanan terhadap hartanya, demikian juga fasilitas-fasilitas giro lainnya. Sungguhpun
demikian, bank sebagai penerima titipan, sekaligus juga pihak yang telah memanfaatkan
dana tersebut, tidak dilarang untuk memberikan semacam insentif berupa bonus dengan
catatan tidak disyaratkan sebelumnya dan jumlahnya tidak ditetapkan dalam nominal atau
persentase secara advance, tetapi betul-betul merupakan kebijaksanaan dari manajemen
bank.
3. Akad Qardhul Hasan

Pengertian qardhul hasan menurut bahasa ada dua suku kata qardhu artinya potongan dari
harta yang diberikan kepada orang yang meminjam atau muqaridh sedangkan kata hasan
yaitu berarti kebaikan.

Para ahli fiqh mengartikan qardh menurut hukum syara’ adalah sebagai berikut:

a. Madzab Hanafi mengertikan qardh artinya harta benda yang kamu serahkan atau
kamu pinjamkan kepada seseorang dengan berharap kamu mendapatkan
pengembalian barang yang sesuai dengan brang yang dipinjamkannya, karena dalam
ilmu qardh harus sesuai benda yang mempunyai persamaan.
b. Madzhab Maliki, mengartikan jika seorang menyerahkan pinjaman kepada pihak lain
sesuatu yang meiliki nilai harta yang dimilki semata- mata untuk lebih
mengutamakan kepentingan, dalam artian tidak menghendaki pinjaman yang tidak
halal, dengan janji si pemberi modal dengan syarat tidak berbeda dari benda atau
pinjaman yang diberikan.
c. Madzhab hambali, mengartikan qardhul hasan adalah menyerahkan harta kepada
seorang yang dapat mengambil keuntungan atau manfaat dari pinjamannya tersebut
dan mengembalikan gantinya.
d. Madzhab syafi’ii, qardhul hasan merupakan akad perjanjian yang dibut khusus oleh
pemberi dana atau pemberi pinjaman untuk mengalihkan kepemilikan hartanya
kepada sipeminjam, dan si peminjam berjanji akan segera mengembalikan semua
barang yang dipinjaminya.
e. Menurut Muhammad Muslehudin, qardhul hasan adalah suatu jenis akad pinjaman
yang digunakan umyuk kepentingan peminjaman dana. Pinjaman harus dikemblikan
sesuai nilai awal saat peminjaman karena jika dilebihkan maka tersebut merupakan
riba yang sangat dilarang keras

Arti lain dari akad qardhul hasan merupakan sesuatu pinjaman dana yang tidak dikenakan
biaya tambahan lagi atau hanya saja membayar sebesar pokok pinjamannya saja, pinjaman
dana yang berupa uang seperti ini yang harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan ilmu islam
karena tidak membuat terjadinya riba didalamnya.
a. Rukun Qarhul Hasan
1) Dua belah pihak antara sipemilik dana dan peminjam dana
2) Objek dari qardhul hasan, berupa uang atau alat tukar yang lain.
3) Ijab qabul atau bisa kita sebut dengan serah terima pinjaman antara kedua belah
pihak.
b. Syarat Qardhul Hasan
1) Pelaku harus cakap hukum dan sudah baligh
2) Objek akad
3) Ijab Qabul

c. Praktek dalam bank Syariah


Pihak bank dan nasabah melakukan perjanjian pembiayaan dengan akad qardhul
hasan kemudian bank memberikan modal 100% kepada nasabah atau pengusaha yang
memiliki skill dan sebagai pengelola dana. Selanjutnya, nasabah melakukan kegiatan
usaha dengan keuntungan yang didapatkan 100% menjadi milik nasabah dan bank
mendapatkan pengembalian modal usaha 100%

Pelaksanaan program qardh dan qardhul hasan didasarkan pada fatwa DSN-MUI
Nomor: 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang qardh, Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.
7/46/PBI/2005 tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana bagi Bank yang
Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah dan Peraturan Bank
Indonesia (PBI) No. 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan
Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah.

Satu-satunya akad berbentuk pinjaman yang diterapkan dalam perbankan syariah


adalah Qardh dan turunannya Qardhul Hasan. Karena bunga dilarang dalam Islam, maka
pinjaman Qardh maupun Qardhul Hasan merupakan pinjaman tanpa bunga. Lebih khusus
lagi, pinjaman Qardhul Hasan merupakan

pinjaman kebajikan yang tidak bersifat komersial, tetapi bersifat sosial. Pinjaman
kebaikan, qardh digunakan untuk membantu keuangan nasabah secara cepat dan
berjangka pendek. Produk ini digunakan untuk membantu usaha kecil dan keperluan
sosial. Dana ini diperoleh dari dana zakat, infaq dan sodaqoh. Ketentuan mengenai
Qardhul Hasan telah diatur dalam Fatwa DSN No. 19/DSN-MUI/IX/2000.

Dalam menjalankan fungsinya bertujuan untuk menunjang pelaksanaan pembangunan


nasional dalm rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan dan pemerataan
kesejahteraan rakyat. Sebagai salah satu implementasi tujuan tersebut perbankan syariah
dapat menjalankan fungsi sosialnya dalam bentuk baitul mal, yaitu menerima dana yang
berasal dari zakat, infak, sedekah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada
masyarakat.

Implementasi produk sosial didasarkan pada fatwa MUI No. 19/DSNMUI/IV/2001


tentang Qardh yang dananya bersumber dari bagian modal dan keuntungan yang
disisihkan dari Lembaga Keuangan Syariah (LKS), serta lembaga lain atau individu yang
mempercayakan penyaluran infaqnya lewat LKS. Pada tahun 2011, MUI kembali
mengeluarkan fatwa Qardh dengan No. 79/DSNMUI/III/2011 yang sumber dananya
berasal dari nasabah. Jika dibandingkan dengan fatwa MUI tahun 2001, fatwa MUI 2011
ini dimungkinkan dapat menimbulkan kemudharatan yang lebih besar apabila terjadi
piutang Qardh yang tidak tertagih karena sumber dananya dari nasabah.

Dalam melaksanakan fungsinya bank syariah melaksanakan transaksi yang sifatnya


tolong - menolong yaitu pinjaman Qardh atau Qardhul Hasan, yaitu pinjaman uang cuma-
cuma. Sesuai karakteristik ekonomi syariah uang bukan komoditi sehingga tidak
diperkenalkan uang menghasilkan atau bertambah uang. Pinjaman dengan akad ini
dilakukan oleh Bank Syariah dalam transaksi yang bersifat tolong menolong, penyaluran
Zakat Nasional (BAZNAZ), bisa juga untuk talangan Haji, talangan cerukan atau
overdraf dari rekening wadiah, transaksi rahn, hawalah dan sejenisnya. Jika peminjam
dana mengembalikan pokok uang tunai pada waktu yang ditentukan atau yang sudah dia
sepakati dimasa yang akan datang maka atas pemikiran si peminjam dapat
mengembalikan lebih besar dengan hati sukarela yang lebih besar dari rasa terimaksih .
Karena objek dari pinjaman qardh adalah kebanyakan dari transaksi uang atau alat tukar
lainnya.
Akad Qardh biasanya diaplikasikan di perbankan syariah seperti:

1) Penyaluran dan zakat yang bersifat produktif (dana bergulir) yang diperuntukan
sesuai syariat yaitu diberikan kepada delapan hasnaf. Biasanya penyaluran zakat
ini merupakan produk Kerja sama antara BAZNAS dengan bank syariah,
BAZNAS sebagai lembaga penghimpun dana dan penyalurannya melewati model
transaksi bank.
2) Pembiayaan pengurusan haji, berdasarkan Fatwa DSN No: 29/DSN-MUI/VI/2002
tentang Pembiayaan Pengurusan Haji Lembaga Keuangan Syariah, menetapkan
ketentuan sebagai berikut:
a) Dalam pengurusan haji bagi nasabah, LKS dapat memperoleh imbalan jasa
(ujrah) dengan menggunakan prinsip al-ijarah sesuai Fatwa DSN-MUI No.
9/DSNMUI/IV/2000
b) Apabila diperlukan, LKS dapat membantu menalangi pembayaran BPIH
nasabah dengan menggunakan prinsip al-Qardh sesuai Fatwa DSN-MUI No.
19/DSNMUI/IV/2001
c) Jasa pengurusan haji dilakukan LKS tidak boleh dipersyaratkan dengan
pemberian talangan haji.
d) Besar imbalan jasa al-Ijarah tidak boleh didasarkan pada jumlah talangan al-
Qardh yang diberikan LKS kepada nasabah.
3) Anjak piutang yang berlandaskan pada Fatwa DSN No. 67/DSN-MUI/III/2008
tentang Anjak piutang syariah.
4) Letter of Credit (L/C) Impor dan Letter of Credit Ekspor, yang berlandaskan pada
Fatwa DSNMUI No. 34/DSNMUI/IX/2002 tentang L/C Impor Syariah dan Fatwa
DSN-MUI No. 35/DSNMUI/IX/2002 tentang L/C Ekspor Syariah.
5) Sebagai produk pelengkap kepada nasabah yang telah terbukti loyalitas dan
bonefiditasnya yang menumbuhkan dana talangan segera untuk masa yang relatif
pendek. Nasabah tersebut akan mengembalikan secepatnya sejumlah dana yang
dipinjamnya tersebut.
6) Sebagai fasilitas yang memerlukan dana cepat sedangkan ia tidak bisa menarik
dananya karena misalnya pengusaha tersimpan dalam bentuk deposito.
7) Sebagai pinjaman kepada pengusaha kecil, dimana menurut perhitungan bank
akan memberatkan si pengusaha bila diberikan pembiayaan dengan skema jual
beli, ijarah, atau bagi hasil.
8) Sebagai produk untuk menyumbang ke sektor kecil atau membantu sektor sosial.

Biaya administrasi dari peminjaman ini bukanlah merupakan dari keuntungan


melainkan biaya actual yang dikeluarkan oleh sang pemberi dana atau pinjaman seperti
halnya sewa gedung gaji pegawai dan peralatan sebuahh kantor karena ulama ulama
tertentu emperbolehkan dari si pemberi dana atau pinjaman untuk membebankan biaya
ini. Agar biaya administrasi ini tidak menjadi biaya tambahan yang terselubung yang
mengakibatkan timbulnya riba maka hukum islam memperbolehkan pemberi dana atau
pinjaman untuk meminta kepada peinjam dana untuk membayar biaya – biaya diluar
pinjaman pokoknya.
4. Akad Mudharabah

Mudharabah berasal dari kata al- darbu fi ardhi yaitu berpergian untuk urusan
perdagangan.

Hendi Suhendi juga menyebutkan qiradh yang berasal dari kata al-qardhu yang berarti al-
qath’u (potongan), karena pemilik pemotong sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan
memperoleh sebagian keuntungan (Hendi Suhendi, 2007: 135). Dapat dipahami mudharabah
adalah akad antara kedua belah pihak yang mana salah satu pihak menyerahkan uang kepada
pihak lain untuk diperdagangkan, sedangkan keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan
oleh pihak yang melakukan akad.

Mudharabah menurut ulama fiqh adalah pemilik modal menyerahkan modalnya kepada
pekerja (pedagang) untuk diperdagangkan, sedangkan keuntungan dagang itu menjadi milik
bersama dan dibagi menurut kesepakatan berasal. Hal ini menunjukan bahwa mudharabah itu
suatu bentuk kerjasama dalam bidang perniagaan yang mana salah satu pihak menyerahkan
modal/ shahib mal/ investor dan pihak lain untuk dikelola dan keuntungan dibagi menurut
kesepakatan dan bila rugi ditanggung oleh pemilik modal.

a. Rukun Mudharabah
1) Pemilik barang menyerahkan barang-barangnya.
2) Orang yang bekerja , yaitu mengelola barang yang diterima dari pemilik barang
3) Akad mudharah dilakukan oleh pemilik dengan pengelola barang
4) Mal yaitu harga pokok atau modal
5) amal yaitu pekerjaan mengelola harta sehingga menghasilkan laba
6) keuntungan
b. Mudharabah dalam perbankan syariah

Berkaitan dengan pembuatan akad tersebut, Hirsanuddin mengatakan bahwa,


Penerapan prinsip-prinsip syariah dalam pembuatan akad di perbankan syariah, adalah
sebagai berikut:

1) Subyek hukum atau para pihak yang membuat akad.


a) Para pihak harus cakap melakukan perbuatan hukum, artinya orang dewasa
dan bukan berada di bawah pengampuan dan perwalian. Seorang yang belum
dewasa atau berada di bawah perwalian, di dalam membuat akad wajib
diwakili oleh wakil atau pengampunya.
b) Identitas para pihak dan kedudukannya masing- masing pihak dalam akad
harus jelas, apakah bertindak untuk dirinya sendiri atau mewakili sebuah
badan hukum.
c) Tempat dan syarat akad dibuat untuk kebaikan, seyogyanya disebutkan
dengan jelas
2) Tujuan dan Obyek Akad.
a) Tujuan dibuatnya akad harus disebut secara jelas, misalnya jual beli, bagi
hasil dan seterusnya yang telah dijelaskan oleh ajaran Islam.
b) Obyek akad tidak boleh yang dilarang oleh ketentuan hukum Islam atau ‘urf
(kebiasaan/kepatuhan) yang sejalan dengan ajaran Islam. Dengan kata lain,
obyek akad harus halal dan thayyib.
3) Adanya Kesepakatan dalam hal yang berkaitan.
a) Waktu akad ; baik bermula atau berakhirnya akad, jangka waktu angsuran dan
berakhirnya harus diketahui dan disepakati sejak awal akad oleh bank atau
nasabah. Tidak boleh berubah di tengah atau di ujung pelaksanaan
kesepakatan, kecuali disepakati kedua belah pihak.
b) Jumlah dana : dana yang dibutuhkan, nisbah atau margin yang disepakati,
biaya-biaya yang diperlukan dan hal-hal emergency yang memerlukan biaya-
biaya lain.
c) Mekanisme kerja : disepakati sejauh mana kebolehan melakukan operasional
pengawasan dan penilaian terhadap suatu usaha (khususnya pembiayaan
mudharabah dan musyarakah).
d) Jaminan : kedudukan jaminan, seberapa besar jumlah dan kegunaan jaminan
tersebut serta hal- hal lain yang berkaitan dengannya.
e) Penyelesaian : Cara penyelesaian yang disepakati, tahapan-tahapan apa yang
harus dilalui, jika terjadi perselisihan /ketidaksesuaian para pihak.
f) Obyek yang diperjanjikan.
4) Pilihan Hukum
Harus dinyatakan dengan jelas pilihan hukum dalam akad tersebut.
5. Akad Musyarakah

Munawwir menjelaskan Musyarakah atau sering disebut syarikah atau syirkah berasal
dari fi’il madhi, yang mempunyai arti: sekutu atau teman peseroan, perkumpulan,
perserikatan. Syirkah dari segi etimologi, berarti mempunyai arti: campur atau percampuran.
Maksud dari percampuran disini adalah seseorang mencampurkan hartanya dengan harta
orang lain sehingga antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya sulit untuk
dibedakan lagi.

Definisi syirkah menurut mazhab Maliki adalah suatu izin ber-tasharruf bagi masing-
masing pihak yang bersertifikat. Menurut mazhab Hambali, syirkah adalah persekutuan
dalam hal hak dan tasharruf. Sedangkan menurut Syafi’i, syirkah adalah berlakunya hak atas
sesuatu bagi dua pihak atau lebih dengan tujuan persekutuan (Ghufron A, 2002: 192). Sayyid
Sabiq mengatakan bahwa syirkah adalah akad antara orang Arab yang berserikat dalam hal
modal dan keuntungan. M. Ali Hasan mengatakan bahwa syirkah adalah suatu perkumpulan
atau organisasi yang beranggotakan orang-orang atau badan hukum yang bekerja sama
dengan penuh kesadaran untuk meningkatkan kesejahteraan anggota atas dasar sukarela
secara kekeluargaan (Hasan, 2003: 161). Jadi, syirkah adalah kerjasama antara dua orang
atau lebih dalam suatu usaha perjanjian guna melakukan usaha secara bersama-sama serta
keuntungan dan kerugian juga ditentukan sesuai dengan perjanjian.

a. Syarat Musyarakah
1) mengeluarkan kata-kata yang menunjukkan izin masing-masing anggota serikat
kepada pihak yang akan mengendalikan harta serikat,
2) anggota serikat itu saling mempercayai, sebab masing-masing mereka adalah
wakil dari yang lain,
3) mencampurkan harta sehingga tidak dapat dibedakan hak masing-masing, baik
berupa mata uang maupun bentuk yang lain (Ahmad, 1969: 66).
b. Rukun Musyarakah
1) Sighat (Ijab dan Qabul).
2) Al-‘Aqidain (subjek perikatan).
3) Mahallul Aqd (objek perikatan).
c. Praktik dalam Perbankan Syariah
Implementasi musyarakah dalam perbankan syariah dapat dijumpai pada
pembiayaan-pembiayaan seperti:
1) Pembiayaan Proyek Musyarakah biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan
proyek dimana nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai
proyek tersebut, dan setelah proyek itu selesai nasabah mengembalikan dana
tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank.
2) Modal Ventura Pada lembaga keuangan khusus yang dibolehkan melakukan
investasi dalam kepemilikan perusahaan, musyarakah diaplikasikan dalam skema
modal ventura. Penanaman modal dilakukan untuk jangka waktu tertentu dan
setelah itu bank melakukan divestasi atau menjual bagian sahamnya, baik secara
singkat maupun bertahap.

Anda mungkin juga menyukai