Critical Thinking
Critical Thinking
Prawacana
Kader PMII harus wajib memiliki sikap kritis dan kemampuan berpikir kritis. Hal itu
yang membedakan kader PMII dengan anggota organisasi lainnya. Terlebih sebagai
mahasiswa tidak diijinkan untuk memisahkan diri kegiatan-kegiatan intelektual, sebagai
contoh beradu argumen dengan basis teori matang dan cenderung menemukan sebuah solusi
dalam problem sosial masyarakat. Melalui pandangan Richard W Paul berpikir harus kritis
dalam artian proses disiplin secara intelektual dimana person secara aktif dan tekun
memahami, mengaplikasikan, menganalisis, mensintesakan, mengevaluasi berbagai informasi
dan secara pendekatan empiris, secara observasi, refleksi diri, secara penalaran, dan dari
komunikasi yang person lakukan. Sikap kritis terbentuk karena habitus1 yang dipikirkan oleh
Pierre Fellix Bourdieu, merupakan hasil proses latihan yang tidak berwujud sedemikian
rupa setelah kelahiran person, namun sikap kritis adalah terjadi karena gerakan kebiasaan
diri. Berpikir kritis adalah upaya mengolah daya pikir agar dapat memiliki keterampilan
berpikir.
Perlu diingat dan dilaksanakan oleh Kader PMII, bahwa berpikir kritis tidak sama
sekali menyerang dan menjatuhkan subjek lainnya. Namun, adalah kemampuan
berargumentasi menggunakan akal secara rasional sehingga menemukan kebenaran sebuah
informasi. Penjelasan secara komprehensif menurut tiga filsuf dan ahli logika kontemporer,
perlu memahami gagasan John Dewey, Edward Glaser, Richard W Paul. Menurut
pandangan John Dewey, berpikir kritis adalah “pertimbangan yang aktif, terus menerus dan
teliti mengenai sebuah keyakinan atau bentuk pengetuhuan yang diterima begitu saja dengan
menyertakan alasam yang mendukung dan kesimpulan-kesimpulan rasional”. Hemat Dewey
berpikir kritis itu berpikir aktif tidak pasif. Penjelasan Dewey lebih lanjut diakomidir oleh
Edward Glaser dalam bukunya An Experment in the Deveploment of Critical Thinking,
beliau menghaturkan bahwa person dapat dikatakan memiliki kemampuan berpikir kritis, jika
kerja nalar dan kemampuan argumentasi melibatkan tiga hal, yakin (1) sikap menanggapi
persoalan atau informasi dengan menimbang berbagai problematika yang terjadi melalui
empirik dan radikal. (2) pengetahuan akan berpikir secara inkuiri atau sistematis logis (3)
Keterampilan menerapkan metode-metode dalam realita sosial.2 Sedangkan menurut Richard
W Paul, secara mengakar menjelaskan definisi dari berpikir kritis melalui bukunya Logic as
Theory of Validation: An Essay in Philosophical Logic. Berpikir kritis adalah proses disiplin
secara intelektual di mana seorang secara aktif dan terampil memahami, mengaplikasikan,
menganalisis, mensintesakan, dan/atau mengevaluasi berbagai informasi yang dia kumpulkan
1
Cara orang memahami dan menanggapi dunia sosial yang mereka tinggali, melalui kebiasaan pribadi,
keterampilan, dan watak karakter mereka.
2
Edward Glaser, An Experment in the Deveploment of Critical Thinking, Teacher’s College, Columbia
University, 1941
atau yang dia ambil dari pengalaman dari observasi, dari refleksi yang dilakukannya, dari
penalaran, atau dari komunikasi yang dilakukan.3
Dewey, Glaser, Paul membuat bangunan atas landasan dari “berpikir kritis”, yakni (1)
seperangkat keterampilan yang wajib dimiliki person untuk memperoses dan memahami
informasi serta keyakinan. (2) habit intelektual yang didasarkan oleh komitmen untuk
mengambil keputusan yang kritis dalam proses-proses akal. Maka, berpikir kritis tidak
bertujuan untuk melawan atau menyerang argumen secara person, namun hikmahnya berpikir
kritis adalah menolong dan membuatnya lebih kritis lagi terhadap apa yang dia ketahui dan
keyakinannya. Semua titik fokus berpikir kritis adalah rasionalitas, secara moral person harus
bertanggung jawab atas rasionalnya. Hal yang paling penting adalah berpikir kritis dapat
membantu diri untuk mengetahui kelemahan dan kelebihan pengetahuan. Pada intinya
bertujuan untuk mendapatan pengetahuan yang komprehensif, bukan untuk menunjukkan
keunggulan individu.
Dalam sebuah forum intelektual tidak dapat dipungkiri akan timbul kesesatan dalam
berfikir, karena setiap pemaparan materi dalam waktu yang sama tetap saja menimbulkan
konklusi berbeda pada setiap person. Pemateri harus sangat tepat dalam memaparkan materi
untuk menghindari hermeneutik multitafsir dan konklusi yang sesat. Perkara yang juga
termasuk penting adalah penarikan konklusi yang sesuai dengan dasar pemikiran. Pada
intinya, kawasan atas kesesatan berpikir terdapat pada penyampaian yang sesat dan
pengambilan konklusi yang sesat. Mengambil konklusi yang salah dengan dasar pemikiran
adalah kesesatan berpikir. Pemakaian argumentasi yang menyesatkan sangat sulit untuk
diidentifikasi. Bahkan sangat mengecewakan pemakaian argumentasi ini untuk meyakinkan
person melalui kemasan retorika-retorika dan penekanan psikologis yang membuat lawan
bicara kehilangan sikap kritis dan merasa terasingkan secara intelektual. Apabila kesasatan
berpikir ini tidak dikoreksi, maka lawan bicara akan menjadi korban yang tidak terbiasa
berpikir kritis. Lawan bicara akan menerima begitu saja apa yang disampaikan pemateri
karena terkesan logis. Maka, hal ini harus diberantas secara reformasi oleh pihak pemateri
maupun peserta forum tersebut. Tidak hanya permasalahan suksesi kekuasaan yang harus
terus dipikirkan, namun perbaikan intelektual harus lebih diutamakan.
3
Richard W Paul, Logic as Theory of Validation: An Essay in Philosophical Logic, University if California,
Santa Barbara, 1968
4
Martin Heiddegger, Letter on Humanism, French December 1946
yang dipakai mampu mengungkapkan pikiran kita. Kesesatan penggunaan bahasa disebabkan
kurang tepatnya diksi, kelirunya pernyataan, hal ini dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-
hari, dalam media massa, dalam tulisan-tulisan ilmiah. Jenis-jenis kesesatan informal akan
dikemukan sedikit dibawah ini:
1. Kesesatan diksi, terjadi karena bahasa yang digunakan tidak cukup menjelaskan
apa yang ada dalam pikiran person. Kalimat yang cendurung rancu dan
menyesatkan pikiran dapat memperlemah argumentasi, alhasil akan mudah
dipatahkan dan dianggap keliru oleh lawan bicara. Sebagai contoh, “Bagi mereka
yang telah lulus ujian harus mendaftar ulang”. Subjek dari kalimat tersebut
adalah “mereka”, maka diksi “bagi” sangat tidak berguna karena mempunyai
fungsi apapun selain mengganggu posisi subjek, dan cendurung mengalihkan
fungsi subjek menjadi tujuan. Perbaikan kalimatnya adalah menghapus diksi
“bagi”
2. Kesesatan persumsi, kesesatan ini muncul apabila kebenaran dari konklusi
seharusnya dibuktikan, diandaikan saja tanpa bukti atau tanpa argumen, atau
apabila isu yang sudah dilontarkan malah diabaikan, atau apabila konklusi itu
ditarik dari premis-premis (asumsi) yang tidak dapat diandalkan. Sebagai contoh,
“Ideologi Komunisme merupakan ideologi terbaik apabila dimanifestasikan
dalam bentuk pemerintahan, karena humanis dan egaliter”. Masih perlu
pembuktian apakah ideologi Komunisme itu dapat dimanifestasikan secara
mutlak, dan pembuktian sifatnya yang humanis dan egaliter.
3. Kesesatan retorika, argumentasi yang aslinya lemah dapat menjadi sangat
meyakinkan apabila dikemas dengan bahasa yang bagus. Person seringkali
terpukau dengan kemasan bahasa sehingga tidak melihat substansi. Retorika dapat
dijadikan upaya untuk membujuk atau meyakinkan lawan bicara, yang dikemas
dengan rumusan bahasa yang mengecoh. Retorika identik dengan mengeksploitasi
psikilogis yang akan meredam sikap kritis. Argumentasi dalam kesesatan retorika
tidak lebih adalah hanya untuk meyakinkan lawan bicara. Sebagai contoh, “aborsi
adalah pembunuhan bayi yang belum lahir di dunia” lawan bicara akan mudah
menyimpulkan bahwa “aborsi” salah dan tidak dapat diterima secara moral.
Definisi “aborsi” mempengaruhi sikap dan keputusan moral person.
4. Kesesatan psikologis, kesesatan secara psikologis atau emosional konklusi dalam
argumen yang berkaitan dengan isu, namun sesungguhnya tidak mendukung
pernyataan yang seharusnya didukung. Kesesatan ini psikologis terkesan ingin
menawarkan dukungan dengan memberikan alasan semu (tipu daya). Sebagai
contoh Peristiwa kekerasan di Monas tanggal 1 Juni 2008 dianggap sebagai
rekayasa elit politik untuk mengalihkan perhatian rakyat dari isu kenaikan BBM.
C. Mengenal Argumen
Sebelum masuk pada pengertian, kita perlu menganalisa isu yang menjadi persoalan
beberapa waktu lalu. “Kenaikan harga BBM telah menimbulkan banyak kontroversi didalam
rakyat Indonesia, padahal baru saja masyarakat menderita akibat dilanda pandemi COVID
19, hal ini akan membuat rakyat semakin menderita. Saya sebagai Kader PMII harus
mengorganisir rakyat untuk menolak regulasi tersebut”. Dalam argumentasi diatas “saya”
mempertimbangkan apakah harus mengorganisir masyarakat untuk menolak regulasi atau
tidak. Pertimbangannya adalah kenaikan harga BBM akan semakin membuat rakyat
menderita, “saya” menyimpulkan untuk mengorganisir rakyat demi menolak regulasi
tersebut. Argumen dapat diuraikan sebagai berikut:
Melalui kasus diatas, secara singkat argumen adalah penalaran yang memberikan
alasan untuk mendukung kebenaran sebuah klaim, klaim yang didukung kesimpulan. Secara
pengertian terkadang argumen dan persuasi (meyakinkan) dianggap hal yang sama. Contoh
diatas memang memperlihatkan kesan bahwa argumen dibangun untuk meyakinkan person.
Alasan bahwa kenaikan BBM akan membuat rakyat menderita dapat meyakinkan untuk
menarik sebuah kesimpulan mengorganisir rakya untuk menolak regulasi tersebut. Hal ini
sedikit benar, namun tidak tepat apabila menyamakan begitu saja sebuah argumen dengan
persuasi. Tidak semua argumen merupakan usaha meyakinkan person, meskipun argumen
dan persuasi bisa saja memilik efek yang sama, namun keduanya tetap merupakan dua hal
yang berbeda. Argumen adalah upaya pembuktian atau mendukumg sebuah klaim, argumen
yang bersifat rasional akan terasa kaku dan tak berdaya persuasif. Maka, untuk benar-benar
dapat mengorganasir rakyat perlu terdapat kekuatan persuasif dengan memperlihatkan
penderitaan. “banyak yang kurang mampu untuk membeli BBM dengan harga yang naik,
anak-anak Indonesia masih banyak yang belum mengenyam pendidikan diakibatkan
kemiskinan, secara apa yang konsumsi masih tergolong belum memenuhi standar 4 sehat 5
sempurna, padahal banyak sekali sekelompok masyarakat kecil yang hidup dalam kekayaan,
jika memang kenaikan BBM ini tetap dipaksakan maka rakyat akan semakin terpuruk akibat
masalah ekonomi, pendidikan, bahkan kesehatan”
Argumen, “Saya percaya kepada Tuhan, itu karena segala sesuatu tidak mungkin
terjadi secara kebetulan”. Perhatikan bahwa argumen ini membuktikan klaim “Tuhan
ada” sebagai benar.
Penjelasan, “Saya percaya kepada Tuhan, itu karena kedua orang tua saya tidak
berhenti mengenalkan-Nya pada saya”. Ini adalah penjelasan yang hanya ingin
memperlihatkan mengapa saya pecaya pada Tuhan.5
5
Critical Thinking: Membangun Pemikian Logis, Kasdin Sitohang dkk, PT Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,
2012, hlm 58-62