Etika Keutamaan Virtue Ethics Sebagai Da

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 19

ETIKA KEUTAMAAN (VIRTUE ETHICS)

SEBAGAI DASAR FILOSOFIS BAGI PENGEMBANGAN DAN PEMBANGUNAN KARAKTER MANUSIA*

Oleh:
M Nur Prabowo S
Universitas Brawijaya
Maslahatur Rohmah Yusman.
Universitas Ahmad Dahlan

Pendahuluan

Barangkali salah satu sudut pandang penting filsafat pasca-modern yang menjadi kritisisme
terhadap modernitas adalah etika keutamaan. Memang keutamaan bukan konsep baru, karena
sudah diperkenalkan sejak Nicomachean Ethics Aristoteles, bahkan oleh filsuf-filsuf Pra-Sokratik,
dan tumbuh subur di berbagai tradisi filsafat. Bukan semangat pembaharuan yang ia bawa,
melainkan semacam upaya ‘renaissans’, untuk mewujudkan kesadaran dan memberi pijakan
kembali, bahwa pemikiran etis yang dikembangkan berabad-abad oleh pemikir modern ternyata
tidak cukup menyelesaikan problem etis utama manusia tentang kebaikan. Bukanlah moralitas itu
pertama-tama

Tentang Etika Keutamaan atau Virtue Ethics

Keutamaan dalam bahasa Inggris adalah virtue, terjemahan dari arête dalam bahasa Yunani. Salah
satu teori yang paling penting dalam etika normatif adalah etika keutamaan: etika yang mengkaji
tentang ajaran-ajaran keutamaan. Etika keutamaan dalam bahasa Inggris adalah virtue ethics, yang
diterjemahkan juga sebagai “etika kebajikan”. Etika keutamaan adalah etika yang mempelajari
keutamaan, artinya, karakter utama yang dimiliki manusia. Karena objek penyelidikannya adalah
karakter, maka etika ini tidak begitu menyoroti soal perbuatan satu demi satu, apakah perbuatan
tersebut sesuai dengan norma moral ataukah tidak; bukan menyelidiki apakah perbuatan seseorang
itu baik atau buruk; melainkan apakah orang itu sendiri baik ataukah buruk. Asumsinya adalah, jika
karakter orang itu baik, maka akan melahirkan perbuatan yang baik, begitu pula sebaliknya. Dengan
kata lain, etika keutamaan adalah etika yang mengarahkan fokus perhatiannya pada being manusia,
berbeda dengan etika yang lain yang memfokuskan pada doing manusia. Etika ini ingin menjawab
pertanyaan dasar: saya harus menjadi orang yang bagaimana?, bukan saya harus melakukan apa?1

Etika keutamaan atau virtue ethics merupakan varian teori dalam cabang etika normatif, salah satu
cabang terbesar etika, tempat dimana para filsuf berdiskusi tentang normativitas dan idealitas

* Tulisan ini telah diterbitkan dalam Waskita: Jurnal Pendidikan Nilai dan Pembangunan Karakter. Vol. 1. No. 2. Tahun
2017. Universitas Brawijaya
1
Bertens, Etika (edisi revisi) (2013: 166)
moral. Sekali lagi, etika ini tertarik pada pertanyaan moral paling mendasar yang ingin dijawab,
yakni: saya harus menjadi orang yang seperti apa? atau karakter semacam apakah yang membuat
seseorang menjadi pribadi yang baik?2 Dengan demikian, etika ini secara normatif
mempreskripsikan suatu pencapaian seseorang sampai pada kadar kebaikan dan kualitas pribadi
tertentu. Tuntutan pokok dari etika ini adalah menjadi manusia yang baik, manusia optimal, yang
memiliki kepribadian dan perilaku etis yang utama.

Thompson, salah satu etikawan pemerhati keutamaan Yunani, menjelaskan bahwa etika keutamaan
adalah cabang etika yang berbicara tentang keutamaan yang menjadikan kehidupan orang menjadi
utama. Pokok pembicaraannya adalah soal disposisi, karakter atau kualitas yang dimiliki individu.
Etika ini dibedakan dari pendekatan cabang-cabang etika yang lain yang berfokus pada aturan,
bukan pada disposisi individu. Etika keutamaan membahas lebih dalam tentang orang atau pelaku
moral, bukan pada jenis tindakan moralnya. Moralitas adalah tentang orangnya, bukan soal
tindakannya. Moralitas adalah soal bagaimana membangun pribadi yang baik sehingga konsisten
untuk berperilaku baik dan nantinya menghasilkan tindakan yang baik pula.3

Dalam literatur filsafat, etika keutamaan disebut juga dengan etika kebajikan. Kebajikan (virtues)
adalah suatu keadaan yang unggul yang dimiliki, sehingga memungkinkan orang atau manusia bisa
berfungsi secara bajik. Keunggulan ini lazimnya tertanam dari kualitas akal dan terbangun dari
latihan dan kebiasaan. Kebajikan ini menjadi asas moral, sekaligus sebagai ciri kualitatif yang
melekat pada diri seseorang, sehingga membuat seseorang tersebut menjadi baik karakternya,
pemikirannya, perbuatannya. Jadi, etika kebajikan merupakan etika yang mengkaji ihwal
keunggulan karakter, keunggulan yang dimiliki oleh pribadi yang bajik.4

Pendekatan etika keutamaan bisa dikatakan juga bersifat aksiologis, karena mendekati nilai
kebaikan. Etika keutamaan mengkaji kebaikan sebagai ciri-ciri atau unsur-unsur keutamaan, tetapi
kebaikan yang dikaji bukanlah kebaikan yang atributif semata, yang seringkali menyebabkan orang
mudah terjebak ke dalam subjektivisme moral karena menjustifikasi kebaikan sesuatu berdasarkan
selera subjektif dirinya, sebagai ekspresi atas kesenangan dan pilihan pribadi, melainkan kebaikan
yang bersifat predikatif, yang lebih luas lagi sehingga membentuk klaim dan pandangan tertentu
mengenai dunia. Kebaikan predikatif adalah berupa nilai-nilai yang tebal, sebagaimana yang
dikonsepsikan Aristoteles, misalnya, sebagai ciri dari keutamaan atau virtue yang menghantarkan
manusia kepada kebahagiaan, seperti: keberanian, pengendalian diri, kecerdasan, kebijaksanaan,
persahabatan, kemurahan hati, keadilan, dan lain sebagainya.5

2
Ibid., (2013: 166); Rachels, The Elements of Moral Philosophy, (2003: 174).
3
Thompson, “Some Basic notes on Virtue Ethics” (lecture series) (2010: 1)
4
Ali Mudhofir, Kamus Etika, (2009: 495)
5
Gordon Graham, Teori-Teori Etika: Eight Theories of Ethics, (2014: 80)
Gordon Graham, etikawan Inggris, melihat pengkajian terhadap konsep-konsep moral yang tebal
seperti keberanian, keadilan dan sebagainya tersebut lebih memberikan manfaat yang banyak
daripada kajian yang tipis yang selama ini, di Eropa, telah banyak menyita perhatian, seperti baik-
buruk dan salah-benar. Secara teoritis setidaknya ada tiga signifikansi dari pendekatan etika
keutamaan sekarang ini. Pertama, pendekatan teori keutamaan memberikan alternatif bagi
perdebatan antara subjektivisme etis dan realisme moral. Kedua, pengkajian teori keutamaan akan
memberikan deskripsi yang sebenar-benarnya mengenai suatu fenomena, terlepas dari unsur
subjektivitas seseorang. Ketiga, tidak berhenti pada tataran dekriptif, konten deskriptif dari kata-
kata nilai atau keutamaan memiliki elemen normatif yang lebih bersifat preskriptif bagi seseorang
atau bagi orang lain.6

Mel Thompson juga mendefinisikan etika keutamaan dengan agak mirip. Etika keutamaan
merupakan etika yang bicara tentang keutamaan, yang membuat kehidupan orang menjadi baik.
Pokok pembicaraannya adalah mengenai disposisi atau kualitas yang dimiliki individu. Etika ini
dibedakan dari pendekatan cabang-cabang etika yang lain yang fokus pada peraturan (rules), bukan
pada karakter individual. Etika keutamaan membahas lebih dalam tentang orang atau pelaku moral,
bukan pada tindakannya, sehingga etika ini memandang bahwa moralitas adalah tentang orangnya,
bukan soal tindakannya.7

Ada yang melihat etika ini sebagai bagian dari pemikiran aristotelianisme. Aristoteles filsuf yang
lebih banyak fokus pada evaluasi terhadap agen, sikap dan karakter daripada tentang evaulasi
tindakan. Aristoteles yang lebih banyak melihat bahwa suatu tindakan adalah mulia atau bagus jika
tindakan itu dilakukan oleh orang yang mulia atau yang baik (bijaksana, utama, virtuous), dan
Aristoteles pula yang menyatakan bahwa keutamaan pribadi atau manusia utama dan bijaksana,
adalah ukuran bagi tindakan yang bijaksana pula. Aristoteles menjelaskan bahwa individu yang
bijaksana dan yang utama adalah seseorang yang mampu melihat, merasakan dan
mempertimbangkan apa yang baik dan benar untuk dilakukan pada setiap situasi dan kondisi yang
dihadapi.8

Ahli etika Inggris Rachels9 juga menulis bahwa seruan untuk kembali kepada pendekatan
Aristotelian dan kembali kepada teori tentang keutamaan mengemuka kembali pada abad pasca
modern, terutama melalui artikel terkenal Elisabeth Anscombe “Modern Moral Philosophy” (1958).
Artikelnya ini mengajak untuk mengembangkan kembali teori etika keutamaan pasca dianggap
gagalnya bangunan hukum moral yang dibangun sejak abad pertengahan hingga modern, seperti
etika kewajiban, etika utilitarian, etika kontraktarian dan lain-lain, yang berkutat pada

6
Ibid., (2014: 88)
7
Thompson, “Some Basic notes on Virtue Ethics”, (2010: 1)
8
Slote, Morals from Motives, (2001: 5)
9
Rachels, Filsafat Moral (2004: 175)
permasalahan tindakan benar-salah dan bukan pada karakter manusianya sendiri yang
menghasilkan tindakan yang baik dan yang benar. Teori keutamaan sejauh ini dikembangkan lagi
dan sedang menjadi bahan diskursus di Eropa kontemporer. Arah baru teori etika ini, yang berbeda
dari etika deontologi Kant dan utilitarianisme Bentham, mempengarui kajian etika kekinian,
sehingga sering disebut dalam diskursus etika sebagai aretaic turn: ‘pembalikan kembali arah
diskursus kepada etika keutamaan, kembali kepada warisan nenek moyang’.

Distingsi Pertimbangan Etika Keutamaan (Aretaic Judgement)

Sedikitnya literatur bahasa Indonesia yang membahas tentang etika keutamaan menuntut penulis
untuk membuat sistematika secukupnya. Etika keutamaan memiliki beberapa prinsip-prinsip
pertimbangan dasar tentang moral. Secara umum dapat dikatakan, bahwa etika keutamaan lebih
memfokuskan pada ke-diri-an (self) seseorang, bukan kepada tindakan yang dilakukan (action).10

Pertama, etika keutamaan lebih fokus kepada subjek moral. Etika keutamaan memahami moralitas
dengan melihat pribadi manusia itu sendiri sebagai agen yang ada di balik moralitas (the man
behind morality). Asumsinya adalah bahwa orang yang baik akan melahirkan perilaku yang baik
pula, membentuk hukum perilaku moralnya sendiri. Etika keutamaan tidak menawarkan software
moral yang akan memberi petunjuk-petunjuk yang memuaskan bagi pengguna program moral
tersebut, melainkan memberikan ruang pilihan etis bagi putusan yang tepat secara moral yang
dapat diambil oleh seseorang di setiap situasi dan kondisi; ketepatan putusan tersebut hanya dapat
diambil oleh orang baik, yang secara moral adalah pribadi yang utama. Software moral tersebut
juga tampak jelas dalam prinsip etika-etika kontemporer yang lain. Demikian istilah dan analogi
yang dipakai oleh Kupperman.11

Manusia sebagai subjek moral juga bisa dipahami, dalam pengertian yang lain, sebagai objek moral,
yang menjadi pihak yang dikenai (objek) dari predikat baik atau buruk. Sesuatu yang bisa
mendapatkan predikat baik atau buruk adalah manusia, sekelompok manusia, sikap dan karakter
manusia, disposisi atau watak, emosi, motif, maksud, dan lain-lain (singkat kata: manusia,
sekelompok manusia, dan elemen-elemen yang melekat dalam diri manusia). Hal ini berbeda
dengan objek non-moral yang tidak dapat dikenai ikatan moral, seperti benda-benda fisik,
pengalaman jiwa manusia seperti kesenangan dan kesedihan, atau bentuk pemerintahan seperti
demokrasi dan lain-lain. Objek ini hanya bersifat instrumental dan ekstrinsik, tidak mengandung
kebaikan instrinsik.12

10
Salah satu posisi yang penulis pertahankan di dalam penelitian sebelumnya, bahwa salah satu filsuf UGM, Damardjati
Supadjar, dengan konsepsi yang ditawarkan mengenai kedirian yang “mawas diri” atau “mulat sarira satunggal-sari rasa
tunggal” yang dicapai melalui laku-laku atau exercise tertentu merupakan bentuk tawaran jalan keutamaan.
11
Kupperman, “Virtue in Virtue Ethics” dalam The Journal of Ethics (2009: 250)
12
Frankena, Ethics, (1973:62)
Beberapa sumber lain juga mengatakan bahwa salah satu prinsip etika keutamaan adalah
memandang kedudukan manusia (subjek dan sekaligus objek moral) sebagai sosok pribadi yang
utuh, yang sedang dalam proses perkembangannya sebagai manusia yang alamiah dan
mengembangkan seluruh potensi dan bakat kehidupannya secara optimal. Etika keutamaan dengan
demikian melihat manusia secara lebih dinamis dan optimistis. Michael Slote menyatakan bahwa
hal pertama dari etika keutamaan yang membedakannya dari pendekatan-pendekatan yang lain
dalam etika adalah fokusnya pada agen-moral (agent-focused), sehingga Slote menyebut etika ini
dengan sebutan agent-based virtue ethics.13

Kedua, prioritas yang utama adalah pembentukan karakter, pengembangan watak dan kepribadian.
Fokus perhatian etika keutamaan adalah pada interior jiwa seseorang. Joel Kupperman melihat,
dalam “Virtue in Virtue Ethics”, etika keutamaan menawarkan interpretasi yang berbeda mengenai
apa yang seharusnya menjadi fokus atau prioritas dalam etika. Fokus etika keutamaan adalah
kebaikan individu beserta manifestasinya. Beberapa dari tokoh etika ini juga memberikan perhatian
yang besar terhadap hubungan sejajar antara karakter individu utama tersebut dengan kualitas
hidup yang didapatkan dari perilaku utama yang dihasilkan, sebagaimana tampak pada ajaran
eudomonisme Aristoteles dan Confucious. Ini disebut pandangan yang longitudinal, dan tampak
sangat berbeda dengan beberapa pandangan etika yang cenderung atomistik.14

William K. Frankena melihat, berbeda dengan etika-etika yang sejak lama menjadi perhatian dalam
etika normatif yang menggunakan deontic judgement atau pertimbangan deontologis, prinsip-
prinsip dasar, kriteria dan standar-standar untuk menentukan tindakan benar atau salah, etika
keutamaan menggunakan apa yang disebut sebagai aretaic judgement atau pertimbangan
keutamaan, pertimbangan yang lebih menonjolkan aspek personal, sikap karakter, motif, intensi
(maksud atau niat), dan perbuatan yang secara moral baik atau buruk, bisa dipertanggungjawabkan
atau tidak secara moral, terpuji atau tercela, terhormat dan pantas ataukah tidak, saleh ataukah
sekedar heroik, utama atau buruk.15

Ketiga, etika keutamaan berorientasi pada nilai-nilai moral (moral values), pada apa yang secara
moral memang baik atau buruk, bukan kepada kewajiban moral (moral obligatoriness), atau bukan
pula pada nilai-nilai non-moral. Etika keutamaan tidak menggali prinsip-prinsip moral, sebab
moralitas disini dipahami sebagai penggalian karakter. Pendasaran moralitas bukan diambil dari
prinsip-prinsip kewajiban, tetapi pada nilai-nilai keutamaan dan menggunakan pertimbangan-
pertimbangan keutamaan. Pertimbangan ini bukan, misalnya: apakah yang harus kita lakukan?,
melainkan seperti: tindakan seseorang dikatakan utama, atau keberanian adalah keutamaan,
“cintailah sesama manusia”, manusia yang baik secara moral adalah yang baik terhadap sesama

13
Slote, Morals from Motives, (2001:4)
14
Kupperman, “Virtue in Virtue Ethics” dalam The Journal of Ethics, (2009:250)
15
Frankena, Ethics, (1973:61)
manusia atau hanya sekedar “cintailah sesamamu!”. Itulah manifestasi dari areteic judgments, atau
pertimbangan-pertimbangan keutamaan.16

Mel Thompson menjelaskan bahwa bagi etika keutamaan moralitas melampaui pembahasan
tentang aturan (rules) dan regulasi, tetapi concern pada pertanyaan-pertanyaan tentang nilai dan
tujuan hidup manusia. Etika keutamaan menggeser perdebatan dari perdebatan tentang aturan-
aturan umum dan prinsip-prinsip tindakan, kepada pertanyaan yang lebih general tentang nilai dan
makna kehidupan, dan tentang kualitas-kualitas yang harus dan patut untuk dikembangkan dan
diperjuangkan sehingga hidup ini menjadi kian bermakna. Etika keutamaan adalah tentang
keutamaan-keutamaan yang menjadikan hidup menjadi baik. Penting untuk dicatat, bahwa
pendekatan-pendekatan yang lain (seperti utilitarianisme dan etika deontologi) juga mengakui
keutamaan, akan tetapi mereka menjadikannya sebagai tujuan kedua atau sekunder; yang mereka
utamakan adalah upaya memformulasikan prinsip-prinsip umum dan aturan-aturan untuk tindakan
moral. Etika keutamaan, berbeda dengan mereka, menjadikan keutamaan sebagai tujuan primer
dan bukan sekunder.17

Keempat, etika keutamaan memahami moralitas sebagai moralitas keutamaan sikap dan karakter
(morality of virtue), sebagai manifestasi dari moral on being, bukan moralitas yang mengikuti
prinsip-prinsip umum tertentu (morality of principles) atau manifestasi dari moral on doing.18 Etika
keutamaan mementingkan perkara laku daripada sekedar perilaku: yang pertama identik dengan
kontinuitas tindakan, yang kedua identik dengan ketidakstabilan. Realisasi dari moralitas
keutamaan adalah laku perbuatan yang dilakukan secara berulang-ulang, dan kembali lagi menjadi
karakter, bukan perilaku yang mengikuti prinsip tertentu untuk kondisi tertentudan bersifat
pragmatis.Prinsip filsofis mendasarnya adalah: to be ataukah to do?

Etika keutamaan memandang bahwa sulit kiranya moralitas dibangun melalui deduksi prinsip moral
tertentu; prinsip moral tidak bisa menjadi dasar moralitas kecuali dengan dibangun terlebih dahulu
disposisi karakter atau watak untuk bisa menjamin nalar seseorang berbuat sesuai dengan prinsip
tersebut. Moralitas yang dibangun dengan fondasi prinsip moral tertentu hanya memberikan
motivasi kebaikan yang bersifat ad hoc atau sementara, daripada kebaikan yang bersifat prudensial
bahkan alturistik. Moralitas tidak hanya dipuaskan dengan semangat konformitas terhadap aturan
tertentu, seberapapun menariknya aturan tersebut, kalau tidak ada semangat atau spirit (ruh) yang
mendasari konformitas tersebut; semangat tersebut tidak didapatkan dengan pemahaman tekstual
terhadap aturan tertentu.19 Dua fondasi moralitas tersebut, moralitas utama dan moralitas prinsip,
menurut beberapa ahli termasuk Frankena sendiri dan Rachels, tidak perlu dioposisikan satu sama

16
Ibid., (1973:63)
17
Mel Thompson, “Some basic notes on Virtue Ethics” (2010: 1)
18
Frankena, Ethics, (1973: 65)
19
Ibid., (1973: 65)
lain, melainkan komplomenter satu sama lain. Bedanya hanya bahwa moralitas prinsip berorientasi
pada motivasi eksternal (seperti ingin disanjung, ingin dipuji, ingin mendapat hadiah, dengan
mentaati peraturan), sementara moralitas keutamaan berorientasi pada motivasi internal
(ruhaniah, menciptakan ruh atau karakter yang mendasari pelaku dengan semangat being, seperti
jujur, menjadi orang yang sungguh-sungguh, rendah hati, dan sebagainya.

Keenam, etika keutamaan menggunakan acuan idealitas-idealitas moral sebagai unsur atau bahan
pengayaan diri yang utama. Berharap menjadi individu yang memiliki idealitas moral berarti ingin
menjadi seseorang yang punya karakter tertentu, seperti, memiliki keberanian dan integritas yang
tinggi. Mengandalkan idealitas moral tersebut terkadang bisa melampaui daripada apa yang
sekedar dipersyaratkan untuk bebas dari tanggungan kewajiban. Etika keutamaan juga
menggunakan figur-figur teladan seperti Sokrates, Yesus, Marthin Luther King, sebagai elemen yang
sangat penting dalam proses pendidikan moral keutamaan dan pengembangan diri, dan karena itu
pula penulisan biografi tokoh menjadi sangat penting agar dapat dibaca dan diteladani. Sumber-
sumber yang lain berupa novel atau karya epos kepahlawanan juga menjadi sumber ajaran
keutamaan dimana karakter dan watak seseorang dapat diperhatikan dengan seksama.20

Kehadiran tokoh suri teladan sangat penting dalam prinsip keutamaan. Mereka menjadi motivasi
untuk hidup dengan gaya hidup tertentu, bahkan menuntunnya secara langsung dalam pencapaian
idealitas moral. Orang tersebut tentu adalah orang yang dianggap baik secara moral atau orang
yang sempurna, bahkan orang suci yang lebih dari sekedar orang baik. Mereka berperan sebagai
pahlawan moral dan pemberi inspirasi. Inspirasi yang muncul dari pribadi tokoh tersebut seringkali
lebih bersifat natural, bukan berupa aturan perintah kewajiban tertentu. Inspirasi tersebut agar
orang berbuat baik, atau lebih baik lagi dari sekedar yang sudah dicapai.21

Ketujuh, idealitas moral tersebut di atas juga bisa berupa nilai-nilai moral tertinggi. Contohnya
adalah kebajikan atau keadilan, sebagai acuan bagi tindakan moral dalam makna yang sangat luas.
Nilai tersebut juga bisa dipahami sebagai tingkat disposisi tertinggi dalam individu: dalam arti
kuantitas, apakah satu disposisi atau keutamaan itu wujud partikular dari keutamaan yang satu; dan
dalam arti kualitas, apakah satu disposisi atau keutamaan itu manifestasi dari kualitas keutamaan
yang lebih tinggi. Prinsip semacam ini bisa dilihat dalam pemikiran Plato dan Aristoteles.22
Pertanyaan sokratik tentang apakah keutamaan itu hakikatnya banyak atau tunggal mengundang
perdebatan beberapa filsuf.

20
Ibid., (1973:67)
21
Ibid., (1973:68)
22
Ibid., (1973:68)
Beberapa pandangan mengenai konvigurasi keutamaan moral dalam diri ini menurut R. J. Devettere
adalah sebagai berikut (dua yang pertama bercorak monistik, dan dua yang terakhir bercorak
pluralistik).23

a. Keutamaan adalah realitas tunggal. Keutamaan adalah satu entitas, yang berbeda
hanya perbedaan nama bagiannya saja, seperti satu wajah memiliki beberap nama
bagian. Ini tampak pada pandangan Sokrates (kebajikan), Protagoras dan Zeno
(stoisis awal). Idealitas di sini tampak dalam moral kebajikan. (Pandangan Socrates
terlihat dalam buku Protagoras Plato. Salah satu yang menjadi perdebatan antara
Sokrates dan Protagoras adalah tentang apakah keutamaan itu dapat diajarkan.24
b. Keutamaan merupakan realitas tunggal dengan manifestasi dan kualitasnya yang
beragam. Analogi mengenai hal ini adalah sarang lebah, beehive of virtues. Ini adalah
pandangan Chrysippus, tokoh Stoa pasca Zeno dan Cleanthes (stoisis akhir).
Memisah-misahkan keutamaan hanya kecenderungan natural manusia saja. Moral
yang ideal tampak dalam kesatuan.
c. Keutamaan merupakan keutamaan-keutamaan individual, sifatnya kompleks, dan
disatukan oleh keadilan. Ini merupakan pandangan Plato sebagaimana dituliskan
dalam Republik. Keadilan mengikat keutamaan pengendalian diri (dalam epithumia),
keberanian (dalam thumos), dan kebijaksanaan (dalam logsitikon). Moral yang ideal
di sini tampak dalam nilai keadilan.
d. Keutamaan merupakan keutamaan-keutamaan individual, sifatnya kompleks, dan
disatukan oleh kebijaksanaan (phronesis). Hal ini tampak dalam pandangan
Aristoteles. Keutamaan intelektual dan keutamaan moral saling terkait. Pertama
untuk aspek rasional, dan kedua aspek non-rasional. Unsur-unsur jiwa non-rasional
adalah nafsu, emosi, perasaan, sehingga di sini muncul keutamaan seperti
pengendalian diri, cinta, kedermawanan, keberanian, keadilan dan seterusnya.
Sementara bagian jiwa rasional terdiri dari unsur-unsur rasionalitas seperti pernah
dijelaskan sebelumnya (episteme, nous, sophia, phronesis, techne). Satu keutamaan
rasional yang relevan dengan etika adalah phronesis atau prudence. Moral yang ideal
di sini tampak dalam pengetahuan kebijaksanaan praktis: phronesis, yang
menggerakkan keutamaan-keutamaan yang lain.

Nilai-nilai pokok keutamaan yang tertinggi itu sering juga disebut sebagai Cardinal Virtues yang
empat. Keempat keutamaan pokok tersebut dapat ditemukan dalam ajaran Plato, Aristoteles,
beberapa filsuf Stois dan Aquinas, yaitu: pengendalian diri, keadilan, keberanian dan kebijaksanaan.
Keempatnya merepresentasikan kualitas yang diperlukan oleh manusia agar hidup yang bermoral

23
Devettere, Introduction to Virtue Ethics: Insights of the Ancient Greeks, (2002:78)
24
Lih. Melling, Jejak Langkah Pemikiran Plato, (2002: 68)
dan mencapai ‘kausa final’ atau tujuan tertinggi manusia: pencapaian kebahagiaan. Lawan dari
keutamaan pokok tersebut adalah tujuh keburukan pokok (Seven Capital Vices) yaitu: berbangga
diri (pride), tamak (avarice), syahwat (lust), envy (iri), rakus (gluttony), marah (anger), dan
kemalasan (sloth). Ketujuh sifat itu sering disebut juga dengan Seven Deadly Sins atau ‘Tujuh Dosa-
Dosa yang Mematikan’.25

Beberapa filsuf menjadikan Cardinal Virtues tersebut sebagai titik tumpu bagi keutamaan yang lain.
Ibnu Miskawaih, misalnya, menjadikan keutamaan kebijaksanaan mendasari dan mengandung
keutamaan cabang, yaitu: intelegensi (al-zaka’/intelligence), kuat ingatan (al-zukr/retention),
rasionalitas (ta’aqqul/rationality), ketangkasan (sur’at al-fahm/quickness), jernih ingatan dan
pemahaman (shaf’a al-dzihn/soundness of understand-ding), jernih pikiran (jaudat al-zihn/clarity of
mind), mudah dalam belajar (suhulat al-ta’allum/capacity of learning).26 Keberanian mengandung
keutamaan jiwa besar (kibar al-nafs), pantang ketakutan (al-najdat), ketenangan (‘izham al-
himmat), keuletan (al-sabat), kesabaran (al-shabr), kemurahan hati (al-hilm), tangguh (adam al-
thaisy), perkasa (al-syahamat), daya tahan kuat dan senang bekerja berat (ihtimal al-kadd).27
Pengendalian diri atau menjaga kesucian diri (‘iffah/temperance) mengandung keutamaan cabang
yang lebih banyak lagi dan sub-sub cabang yang lain. Keutamaan keadilan menjadi tumpuan ketiga
keutamaan pokok tersebut, yang menyatukan dan menyeimbangkan ketiga keutamaan yang lain
sehingga menghasilkan keseimbangan atau i’tidal dalam diri.28

Beberapa pertanyaan pokok dan mendasar yang lain yang diajukan dalam etika keutamaan selain
saya harus menjadi orang seperti apa?29 dan karakter macam apakah yang membuat seseorang
menjadi pribadi yang baik?30, menurut Mel Thompson, adalah: apakah kita memiliki ‘esensi’ yang
tetap? Adakah kualitas partikular lain yang harus kita upayakan untuk terekspresikan?; apakah sifat
alamiah kita bergantung kepada apa yang di sekitar kita? (seperti agama, budaya, atau
pengelaman-pengalaman tertentu), apakah kita bertanggungjawab atas tindakan-tindakan kita?;
apabila ada jalan yang berbeda mengekspresikan keutamaan yang sama (misalnya karena cinta,
orang mungkin memilih euthanasia atau mempertahankan hidup lebih lama), apakah harus
memilih di antara keduanya?31

25
Thomson, “Some basic notes on Virtue Ethics”, (2010: 1)
26
Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih, (2004: 98)
27
Ibid., (2004:101)
28
Ibid., (2004:108)
29
Bertens, Etika, (2013:166)
30
Rachels, Filsafat Moral, (2004:174)
31
Thomson, “Some basic notes on Virtue Ethics, (2010: 1)
Makna Keutamaan Menurut Para Filsuf (Pra-Sokratik- Pasca-Sokratik)

Ajaran keutamaan merupakan salah satu yang menjadi inti dari pusaran filsafat Yunani. Ada yang
menyebut etika keutamaan sebagai warisan dari tradisi Yunani. Secara historis teori etika
keutamaan merupakan teori yang sangat tua, sejak dipopulerkan oleh para filsuf Yunani, terutama
Plato dan Aristoteles.Tidak dipungkiri keduanya memberikan pengaruh yang besar terhadap
lahirnya teori ini, meski keduanya memiliki dua corak pemahaman yang berbeda mengenai konsep
kebaikan moral. Etika Yunani memposisikan akal di tempat yang sangat tinggi sebagai ciri
keutamaan, seperti keutamaan rasional dalam pemikiran Plato dan keutamaan intelektual (aretai
dianoetikai) dalam Aristoteles. Keutamaan, arête, menjadi konsep pokok dalam pandangan etika
kedua filsuf besar tersebut; namun, figur utama sebagai manusia unggul dalam tradisi Yunani
tetaplah Sokrates. Ia mempertaruhkan nyawa untuk mempertahankan prinsip keutamaan yang
diyakini.

Keutamaan atau arête dalam konteks historis pada zaman Yunani awal memiliki beberapa makna.
Filsuf etika keutamaan, Raymond J. Devettere, melacak makna kata ini dan mengkategorikan secara
historis ke dalam tahap pra-filsafat dan lalu tahap pembaharuan makna oleh para filsuf keutamaan
(virtuous philosophers). Makna keutamaan mengalami perubahan. Masyarakat Yunani pra-Sokratik
pada awalnya memandang atau memaknai keutamaan sebagai berikut:

1. Keutamaan berarti sesuatu yang terhormat dan terpuji


Karakter yang terhormat dan terpuji tampak dalam beberapa tokoh yang diperankan dalam
karya-karya Epos, seperti oleh Odysseus di dalam karya Homerus, yang berperan sebagai orang
yang rajin dan cerdas.

2. Keutamaan itu terkait dengan tindakan atau perilaku seseorang


Keutamaan adalah tindakan yang dilakukan seseorang, sebagaimana yang tampak dalam peran
para pejuang pemberani dalam perang. Masyarakat di Yunani memahami keutamaan sebagai
‘tindakan yang utama’, tindakan yang terpuji dan terhormat, bukan yang memalukan.

3. Keutamaan juga mengacu kepada peran sosial individu


Keutamaan adalah tindakan yang terpuji dan terhormat, berdasarkan pada kondisi dan peran
sosialnya dalam kehidupan masyarakat. Keutamaan itu bervariasi. Keutamaan bisa dilakukan
oleh seorang laki-laki sebagai kepala rumah tangga, wanita sebagai istri, anak sebagai anggota
rumah tangga. Tindakan utama seseorang bervariasi sesuai peran mereka masing-masing.

4. Keutamaan itu saling terpisah satu sama lain


Menurut pandangan umum masyarakat Yunani, tindakan yang utama itu tidak mengikat satu
sama lain. Tindakan utama di satu bidang tidak harus menuntut tindakan utama di bidang yang
lain. Prajurit yang pemberani, misalnya, boleh ‘berlebih-lebihan’ ketika minum arak dan urusan
seksual.

5. Keutamaan bisa saja bertentangan dengan kepentingan terbaik seseorang.


Seorang prajurit yang pemberani tetap saja mungkin mengalamai kematian saat peperangan,
meski kepentingan terbaiknya adalah tetap memenangkan pertempuran dalam kondisi hidup.
Seorang penjual yang jujur bisa saja dikalahkan oleh kompetitornya yang tidak lebih terampil
dalam berdagang.

6. Kebijaksanaan dan pengetahuan praktis hanyalah salah satu dari sekian keutamaan yang
lain.

Beberapa keutamaan lain yang dikenal oleh masyarakat umum Yunani saat itu adalah keadilan,
pengendalian diri dan keberanian. Keempat macam keutamaan tersebut dianggap sebagai
keutamaan pokok.32

Sokrates, guru yang bijaksana, melakukan pembaharuan terhadap pandangan-pandangan umum


yang didominasi oleh sofisme tersebut, sehingga pada masa Sokratik pemahaman terhadap ide
keutamaan menjadi lebih konseptual, filosofis dan semakin luas. Para filsuf, Sokrates dan
sesudahnya, mengadopsi, memodifikasi dan merevisi beberapa hal mengenai makna keutamaan:
bahwa keutamaan bukan semata-mata soal tindakan melainkan juga kondisi psikologis; keutamaan
bukan hanya didasarkan pada peran sosial semata; keutamaan bukan tidak terkait satu sama lain;
keutamaan tidak pernah kompatibel dengan kepentingan terbaik seseorang; kebijaksanaan praktis
bukanlah salah satu keutamaan di antara keutamaan yang lain, melainkan menjadi fondasi bagi
keutamaan-keutamaan yang lain.33

1. Keutamaan berarti sesuatu yang terhormat dan terpuji.


Para filsuf tidak melakukan pembaruan terhadap corak keutamaan ini, dan mengadopsinya
begitu saja.

2. Keutamaan pada dasarnya berupa karakter atau personalitas.


Keutamaan adalah soal kondisi kepribadian dan bentuk personalitas, bukan hanya soal
tindakan. Keutamaan mengacu kepada disposisi, kebiasaan, dan karakter pribadi seseorang
(kecuali mungkin kebijaksanaan praktis). Dua aspek tersebut, karakter dan tindakan,

32
Devettere, Introduction to Virtue Ethics: Insights of the Ancient Greeks, (2002: 61-62)
33
Ibid., (2002: 63)
memiliki hubungan yang resiprokal. Karakter mempengaruhi tindakan, tindakan
mempengaruhi karakter.

3. Keutamaan itu berbasis pada kemanusiaan.


Keutamaan bukan berdasar pada peran sosial melainkan pada kondisi jiwa manusia. Peran
sosial sebenarnya tidak relevan dengan keutamaan. Seperti keadilan dan pengendalian diri,
misalnya, dapat dilakukan oleh siapapun yang memegang peran sosial apapun. Siapapun
bisa menjadi orang yang utama atau yang baik.

4. Keutamaan itu saling terkait satu sama lain.


Doktrin utama dalam teori filsafat Yunani adalah bahwa keutamaan itu bersifat kesatuan,
tidak bisa dipisah-pisahkan, yang semua itu didasarkan pada kebijaksanaan praktis.

5. Keutamaan selalu menjadi kepentingan terbaik dalam hidup seseorang.


Apabila dipahami dengan benar, keutamaan sebenarnya tidak bertentangan dengan
kepentingan personal. Antara keutamaan dan kepentingan individu yang terbaik terjalin
kompatibilitas yang baik.

6. Kebijaksaan dan pengetahuan praktis merupakan fondasi keutamaan.


Sokrates dan kaum Stoisis melihat kebijaksanaan praktis merupakan satu-satunya
keutamaan, tetapi bagi Plato dan Aristoteles, kebijaksanaan praktis merupakan keutamaan
yang menciptakan keutamaan-keutamaan yang lain. Pengetahuan praktis diperlukan agar
orang mengetahui tentang apa tujuan hidup yang utama, untuk kemudian kebijaksanaan
praktis diperlukan agar ia mampu memilih secara tepat tindakan yang tepat untuk
mencapainya.

7. Keutamaan memerlukan kebebasan untuk mengaktualisasikannya.


Keutamaan hanya bisa tercapai apabila seseorang diberi ruang kebebasan untuk
mewujudkannya di dalam diri. Kebebasan personal perlu diberikan agar orang bebas
memilih tindakan yang tepat, yang jujur, sehingga bisa menciptakan disposisi dan karakter
serta membentuk keutamaan karakter yang otentik. Apabila orang dikekang kebebasannya,
maka seluruh potensi itu juga akan hancur. Kebebasan juga tidak memberikan jaminan
secara langsung bagi terwujudnya keutamaan.Konsepsi mengenai kebebasan dan fungsinya
yang penting ini merupakan karakter tambahan oleh para filsuf Yunani pasca-Sokratik.34

34
Ibid., (2002: 63-65)
Di samping itu, etikawan kontemporer, Kees Bertens, memberikan penjelasan tentang apa yang
saat ini dipahami dalam diskursus etika sebagai “keutamaan”. Bertens melihat keutamaan dipahami
sebagai lima hal pokok: a) Keutamaan sebagai disposisi atau watak; b) keutamaan terkait dengan
kehendak; c) keutamaan hasil dari suatu proses pembiasaan diri; d) keutamaan dibedakan dari
sekedar skill atau keterampilan individu biasa; dan, e) keutamaan merupakan lawan dari
keburukan.35

1. Keutamaan adalah tentang disposisi atau watak seseorang


Keutamaan dipahami sebagai kecenderungan tetap dari karakter yang baik yang melekat
pada diri seseorang. Bagaimana kepribadian yang selalu stabil dan tetap yang tampak pada
diri seseorang, itulah keutamaan. Tetap berarti tak berubah-ubah, tidak mudah goyah dan
luluh oleh keadaan yang senantiasa berubah setiap waktu. Stabil dapat juga berarti
konsisten, pagi dan siang begitu, malam pun demikian. Ketetapan moral yang demikian
menjadikan orang memiliki kualitas berupa keutamaan sehingga mendapat predikat sebagai
orang yang utama (virtuous person).36

Kata disposisi juga khas Aristotelian. Buku-buku terjemahan bahasa Inggris Nicomachean
Ethics juga banyak memakai kata disposition untuk menyebut sesuatu karakter diri yang
terbentuk oleh kebiasaan (habitual). Karakter merupakan habitual disposition. Dalam
kerangka Aristotelian, keutamaan merupakan istilah umum (genus) yang merangkum jenis
sifat-sifat khusus pribadi seseorang. Aneka jenis kebaikan-kebaikan dirangkum menjadi satu
karakter tertentu yang disebut dengan kebaikan yang lebih universal, keutamaan.

Frankena menulis, karakter bukan hanya sekedar satu sikap tertentu melainkan suatu
keutamaan (virtue), artinya disposisi atau karakter yang tidak seluruhnya merupakan
bawaan alami, melainkan harus diupayakan, setidaknya sebagian, dengan mengajarkannya,
mempraktekannya, atau, mungkin juga, menjadi semacam anugerah (dari Tuhan). Sikap
karakter bukan hanya sekedar sikap personalitas, yang merupakan sikap seseorang yang
diambil dalam situasi tertentu dengan baik.37

2. Keutamaan itu berkaitan dengan kehendak atau hasrat


Keutamaan juga memiliki relasi internal dengan kehendak manusia. Konfigurasi yang baik
pada kepribadian diri seseorang yang utama akan membuat orang tersebut konsisten pada
kehendak atau maksud yang baik pula dalam kehidupannya. Dengan kata lain, secara positif,
disposisi yang baik pada diri seseorang akan melahirkan maksud dan kehendak yang baik

35
Bertens, Etika, (2013: 169)
36
Ibid., (2013: 169)
37
Frankena, Ethics, (1973: 63)
pula dalam setiap aktivitas hidupnya. Secara negatif, disposisi yang baik pada diri seseorang
akan cenderung menegasikan kehendak dan maksud yang buruk untuk berbuat jahat.38

Sebaliknya, kehendak atau maksud yang baik seseorang untuk selalu melakukan sesuatu
yang baik, yang bermanfaat lahir dari kualitas disposisi yang baik pula dari orang tersebut.
Kehendak atau maksud seseorang yang tidak ingin melakukan sesuatu yang buruk, yang
melahirkan kerugian bagi dirinya dan orang lain, lahir dari kualitas diposisi internal pribadi
tersebut yang baik. Dengan demikian, ada semacam “lingkaran hermeneutis” yang muncul
antara disposisi atau keutamaan diri seseorang dengan kehendak, keinginan atau maksud
yang dilahirkan.39

Dalam istilah yang lain, maksud adalah intensi (intention). Kehendak dalam diri subjek untuk
melakukan sesuatu, itulah maksud. Di dalam ilmu keagamaan akan lebih udah dipahami
sebagai niat. Niat itulah kehendak terdalam yang mendasari suatu tindakan manusia.
Keutamaan juga identik dengan kesesuaian antara kehendak terdalam yang baik, niat yang
baik, dengan perbuatan objektif yang juga baik. Niat yang baik dan perbuatan yang baik
menunjukkan karakter dan disposisi yang baik dari si pelaku.

Keutamaan, dalam kaitannya dengan kehendak, juga bisa dimaknai secara positif
(keutamaan positif) dan secara negatif (keutamaan negatif). Keutamaan secara positif
mudah dipahami. Tetapi menurut Franz Magnis, keutamaan yang negatif adalah hal
berbeda, yakni kemampuan untuk tidak mau tergoda atau menolak digoda untuk bertindak
tidak utama, tidak jujur, tidak etis, dan lain sebagainya.40 Niat dan kehendak yang kuat baik
untuk mengafirmasi perilaku keutamaan atau menegasi perilaku ketidakutamaan tertanam
dalam disposisi pribadi yang mantab.

3. Keutamaan adalah hasil dari pembiasaan diri


Keutamaan yang melekat pada diri seseorang bukan sesuatu yang bisa tercipta secara
instan. Keutamaan tercipta melalui proses pembentukan diri secara simultan dan terus-
menerus; dibutuhkan juga jangka waktu yang panjang. Kualitas disposisi tersebut terbentuk
oleh latihan-latihan khusus dan tidak serta merta didapatkan manusia sejak lahir (innate
disposition). Setidaknya demikian juga asumsi Aristoteles, yang menjadikan keutamaan
sebagai sesuatu yang bersifat habitual, artinya membutuhkan pembiasaan. Menurut Franz,
pemahaman Aristoteles pun demikian, bahwa keutamaan bukan merupakan nafsu ataupun

38
Bertens, Etika, (2013:170)
39
Ibid., (2013:170)
40
Suseno, Menjadi Manusia: Belajar dari Aristoteles, (2009:46)
sebuah bakat yang alamiah, melainkan sesuatu yang harus dicapai dengan dipelajari.
Bagaimana cara memperoleh keutamaan, adalah dengan pembiasaan.41

Oleh karena itulah pendidikan memiliki hubungan yang erat dengan hadirnya kualitas
keutamaan dalam diri seseorang. Pendidikan menjadi medium untuk melatih diri,
memperbaiki diri, menyempurnakan karakter yang baik, dan menghilangkan karakter atau
kecenderungan yang buruk. Pendidikan bisa mengarah pada pembentukan keutamaan
intelektual, tapi juga yang lebih penting lagi, pembentukan keutamaan moral (keutamaan
yang terkait afektivitas). Lebih luas lagi, menurut pemahaman keutamaan aristotelian,
wahana pendidikan itu perlu agar orang bisa mengembangkan dirinya secara wajar atau
alamiah.

Ibnu Miskawaih, seorang filsuf etik Persia, memiliki pandangan yang sama terkait
pentingnya pendidikan atau pelatihan diri untuk melahirkan sifat-sifat yang utama. Baginya,
pendidikan karakter tersebut diistilahkan dengan tahdzîb. Bukunya Tahdzîb al-Akhlȃq wa
Tathîr al-A’rȃq adalah ulasannya tentang pembentukan karakter keutamaan diri.

4. Keutamaan dan skill keterampilan: keutamaan bukan sekedar skill atau talenta
Orang yang utama (virtuous person) tidak begitu saja dapat disamakan dengan orang yang
terampil di aneka bidang (skilfull person). Keutamaan merupakan optimalisasi bukan saja
dalam satu bidang praktis, tetapi juga optimalisasi pada seluruh aspek dari seorang yang
lahir dan batin. Orang yang memiliki keterampilan pada suatu bidang tertentu tidak serta-
merta bisa disebut sebagai orang yang utama. Keutamaan juga bukan sekedar skill atau
kemampuan tertentu yang dimiliki oleh seseorang terlepas dari skill atau kemampuan
tersebut digunakan atau tidak.42

Hubungan antara keutamaan dan keterampilan dapat dipahami dalam kerangka pemikiran
aristotelian mengenai potensi dan aktulisasi. Proses perwujudan aksi atau aktualisasi
potensi dalam diri itulah pengembangan diri. Menurut Franz Magnis, keutamaan diri
menurut Aristoteles diperoleh ketika seseorang mengembangkan diri, menjadikan nyata
kemampuan dan bakat dalam hidupnya. Apabila seseorang memiliki bakat skill dalam satu
bidang, maka ia aktualisasikan dan ia kembangkan bakat dirinya agar nanti menjadi orang
yang unggul di bidang tersebut.43 Namun pencapaian keterampilan itu tidak menjamin
bahwa dirinya menemukan keutamaan secara utuh, menjadi bahagia. Kemampuan skill
masih menjadi bagian dari keutamaan, yaitu techne (dalam unsur keutamaan Aristoteles).

41
Ibid., (2009:44)
42
Bertens, Etika, (2013: 171)
43
Suseno, Menjadi Manusia: Belajar dari Aristoteles, (2009: 24)
5. Keutamaan (virtue) merupakan lawan dari keburukan (vices)
Keutamaan (virtue) dilawankan dengan keburukan (vice). Keburukan merupakan perbuatan
yang memang dalam dirinya sendiri adalah hal yang jahat dan buruk. Keburukan, menurut
Bertens, adalah lawan keutamaan, sesuatu yang membuat orang bertingkah laku buruk
secara moral. Setiap keutamaan memiliki keburukan sebagai oposisinya.44 Ini merupakan
pemahaman biner terhadap keutamaan. Sebagaimana terdapat kategori amoral yang
dilawankan dengan bermoral, ada pula istilah vice yang dilawankan dengan virtue.

Penutup: Pembalikan Neo-Aristotelian (Aretaic Turn), Arah Baru Kajian Etika?

Dalam tradisi filsafat Barat klasik, ajaran keutamaan berkembang pada masa hellenisme melalui
pemikiran Stoisisme. Zeno, pendiri Stoisisme, mempertahankan ajaran tentang prudensia atau
phronesis yang ditemukan dalam ajaran Sokrates, Plato dan juga Aristoteles. Orang yang bijak dan
utama dalam tradisi Stoisisme dikenal sebagai Sophos atau Sage. Prudensia, dalam tradisi Stoisisme,
dipahami sebagai skill, sebagai disposisi yang benar (diathesis), dan keutamaan didapatkan melalui
hidup secara alamiah. Kehidupan utama Stoisisme juga bernuansa deterministik.45 Singkatnya,
keutamaan atau virtue dalam tradisi aristotelian dan platonian adalah kondisi kesempurnaan jiwa
(excellency), ketenangan jiwa (peace of soul), begitu pula dalam tradisi stoisisme sebagai
ketenangan pikiran tanpa rasa (apatheia), yang kesemuanya itu merupakan buah dari pengenalan
terdalam dan manajemen hubungan manusia dengan internal dirinya sendiri.

St. Agustinus pada abad pertengahan (354M) kurang mempercayai akal, dan mengajarkan bahwa
kebaikan moral tergantung pada subordinasi diri kepada kehendak Allah. Pada abad pertengahan,
ketika para filsuf mendiskusikan tentang keutamaan, diskusi itu masih dalam konteks hukum ilahi,
dan menjunjung tinggi keutamaan-keutamaan teologis, tentang iman, harapan, cinta, dan tentu
ketaatan kepadaTuhan.46 Penafsir Aristoteles sekaligus juga pengikut Augustinus, Thomas Aquinas,
memadukan etika keutamaan eudominis Aristoteles dengan teologi Kristen melalui Commentaries
on the Nicomachean Ethics.

Tetapi, pengembangan pemikiran etika pada abad modern lebih didominasi oleh teori-teori non-
keutamaan. Dirkursus yang dikembangkan berupa hukum-hukum moral yang dapat dijustifikasi
secara rasional. Teori yang mendominasi peradaban modern dalam bidang etika antara lain: etika
utilitarianisme sejak Verri, Cesare Beccaria, Bentham hingga Mill, dan etika kewajiban atau
deontologi melalui Kant dan pengikutnya. Sentimenisme Hume juga menjadi warna lain dari
pemikiran etika abad modern.

44
Bertens, Etika, (2013:172)
45
Devettere, Introduction to Virtue Ethics: Insights of the Ancient Greeks, (2002: 126)
46
Rachels, Filsafat Moral, (2004: 307)
Namun kini, pembalikan orientasi etika untuk kembali kepada semangat keutamaan ala Yunani
terjadi pasca-modern oleh beberapa filsuf moral. Gerakan baru ini sering disebut dengan Aretaic
Turn. Pembalikan tersebut adalah perubahan arah orientasi dari kajian moralitas (morality) berupa
hukum-hukum dan tindakan moral kepada keutamaan atau virtue, sebagaimana dikemukakan
beberapa prinsip-prinsip teoritisnya di awal. Michael Slote, pembela teori etika keutamaan, dalam
bukunya From Morality to Virtue, mengatakan bahwa sejak lama kajian etika telah didominasi oleh
pembahasan tentang benar dan salah, yang menjadi fokus utama etika Kant, utilitarianisme dan
intuisionisme moral common-sense. Para filsuf kini berupaya untuk mengkaji hakikat dari salah satu
bentuk moral yang lain, yakni keutamaan, untuk menghubungkan keutamaan-keutamaan yang
berbeda-beda, atau menentukan karakter umum dari keutamaan.47 Banyak yang berpandangan
bahwa pengantar yang terbaik untuk menuju etika adalah melalui diskusi tentang keutamaan-
keutamaan (virtues), atau, menempatkan kajian soal baik dan buruk pada tempat yang kedua atau
minor dari seluruh kajian terhadap fenomena-fenomena moral. Melalui pembalikan kepada etika
keutamaan ini pula kritisime moralitas modern di Eropa mulai dibangun kembali, dan menjadi arah
baru dalam kajian etika kekinian.

47
Sederet nama yang dikenal sebagai pembela aliran teori keutamaan dan patut diselidiki selanjutnya di antaranya:
Elisabeth Anscombe (Inggris), Alasdair MacIntyre (Skotlandia), Michael Slote (Amerika), Philippa Foot (Inggris), Michael
Stocker (Amerika), Rosalind Hursthouse (New Zeland), Martha Nussbaum (Amerika), Stanley Hauerwas (Amerika),
Raymond J. Devettere (Amerika), Linda Zagzebski (Amerika), Lawrence Becker (Amerika), Julia Annas (Inggris), dan lain-
lain.
Referensi

Anscombe, “Modern Moral Philosophy”, Philosophy 33, No. 124 January 1958.
Bertens , Kees, Etika (edisi revisi), (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2013)
Devettere, Raymond J., Introduction to Virtue Ethics: Insights of the Ancient Greeks, (Washington
DC: Georgetown University Press, 2002)
Frankena, William K., Ethics, (New Jersey: Prentice-Hall, INC, 1973)
Graham, Gordon, Teori-Teori Etika: Eight Theories of Ethics, (Bandung: Nusa Media, 2014)
Kupperman, Joel J., “Virtue in Virtue Ethics” dalam The Journal of Ethics, Vol. 13, No. 2/3, Virtue
Ethics and Moral Psychology: The Situationism Debate (2009), pp. 243-255Published by:
Springer.
Melling, David, Jejak Langkah Pemikiran Plato, (Yogyakarta: Penerbit Bentang, 2002)
Mudhofir, Ali, Kamus Etika, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar, 2009)
Rachels, James, The Elements of Moral Philosophy, (New York: McGraw-Hill, 2003)
_________________, Filsafat Moral (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2004)
Slote, Michael, Morals from Motives, (Oxford: Oxford University Press, 2001)
Suwito, Filsafat Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih, (Yogyakarta: Belukar, 2004)
Suseno, Franz Magnis, Menjadi Manusia: Belajar dari Aristoteles, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius,
2009)
Thompson, Mel, “Some Basic notes on Virtue Ethics” (lecture series) (online publication, 2010)

Bacaan Tidak Langsung tentang Virtue Ethics

Bejczy, Istvan P. (ed.), Virtue Ethics in the Middle Ages: Commentaries on Aristotle’s Nicomachean
Ethics, 1200-1500, (Boston, Leiden: Brill, 2008)
Betzler, Monika (ed), Kant’s Ethics of Virtue, (New York, Berlin: Walter de Gruyter, 2008)
Csikszentmihalyi, Mark, Material Virtue: Ethics and the Body in Early China, (Boston, Leiden: Brill,
2004)
Foot, Philippa, Virtues and Vices and Other Essays in Moral Philosophy, (Oxford: Oxford University
Press, 2002)
Hughes, Gerard J., Aristotle on Ethics, (Routledge: Taylor & Francis e-Library, 2003)
Hursthouse, Rosalind, On Virtue Ethics, (online publication, ISBN 9780199247998)
MacIntyre, Alasdair, After Virtue: a Study in Moral Theory, (3rd Edition), (Nortre Dame: University of
Notre Dame Press, 2007)
Slote, Michael, From Morality to Virtue, (Oxford: Oxford University Press, 1992)
Thompson, Mel (comp.), the Wisdom of the Ancient Greeks, (Oxford: Oneworld, 2002)
Referensi Beberapa Versi Nicomachean Ethics
Aquinas, Thomas, C.I. Litzinger O.P. (ed.) Commentary on Nicomachean Ethics, (Henry Regnery
Company, 1962)

Aristoteles, Nicomachean Ethics, W.D. Ross (trans.), (Kitchener: Botache Books, 1999)
Barlett, Robert C. & Collins, Susan D. (eds. Intros.), Aristotle’s Nicomachean Ethics, (Chicago &
London: The University of Chicago Press, 2011)
Brown, Lesley (ed. Intro.), Aristotle the Nicomachean Ethics, David Ross (trans.), (Oxford: Oxford
University Press, 2009)
Crisp, Roger, Aristotle Nicomachean Ethics, (Cambridge: Cambridge University Press, 2004)
Pakaluk, Michael, Aristotle’s Nicomachean Ethics: An Introduction, (Cambridge: Cambridge
University Press, 2005)

Anda mungkin juga menyukai