Proposal

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 20

REDUKSI BESI HEMATIT (Fe2O3) MENJADI MAGNETIT (Fe3O4)

DARI BIJIH BESI SUNGAI BAKAR MENGGUNAKAN REDUKTOR


KARBON ARANG AKTIF ENCENG GONDOK

I. LATAR BELAKANG
Indonesia memiliki potensi dan sumber daya alam yang sangat melimpah
pada sektor pertambangan, dengan persebaran mineral di berbagai daerah dan
memiliki jenis yang berbeda dari tiap wilayahnya. Menurut Direktorat Jendral
Mineral dan Batubara Kementerian ESDM produksi logam setengah jadi dari
komoditas besi masih jauh dari kebutuhan. Adapun jumlah produksi logam
setengah jadi dari komoditas besi di Indonesia per tahun 2019 yaitu 1.33 juta ton
Fe dalam bentuk sponge iron yang dihasilkan oleh satu smelter dan 36.367 ton Fe.
Dan yang telah diketahui, kebutuhan riil industri baja dalam negeri mencapai 7,1
juta ton Fe per tahun. Artinya, jumlah produksi logam setengah jadi dari
komoditas besi masih kurang 5.73 juta ton Fe per tahun.
Bijih besi merupakan campuran mineral yang mengandung besi dengan
mineral-mineral lainnya yang disebut gaunge. Bijih besi merupakan bijih yang
sangat penting karena mengandung bahan baku pembuatan logam besi yang
sangat diperlukan dalam berbagai bidang (Llewellyn, 2000). Berdasarkan bentuk,
bijih besi dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu bongkahan (lump) dan pasir.
Sumber daya keseluruhan pasir besi di Indonesia yaitu 3,36 miliar ton dengan
kandungan bijih logam sekitar 1.01 miliar ton. Cadangan bijih besi Indonesia
diperkirakan sekitar 87,2 juta ton dimana kandungan logamnya sekitar 21,8 juta
ton. Karakteristik pasir besi di Indonesia memiliki komposisi kimia seperti Fe2O3
(hematite), Fe3O4 (magnetite), FeTiO3 (ilmenite), SiO2 (kuarsa) dan beberapa
senyawa lain (Darmayanti et al., 2000; Bilalodin et al., 2013).
Salah satu daerah penghasil besi terbesar di Indonesia adalah Kalimantan
Selatan. Cadangan bijih besi di Kalimantan Selatan mencapai 7.472.600 ton
(Pardiarto, 2009). Endapan Bijih besi tersebar di Propinsi Kalimantan Selatan dari
Hulu Sungai Utara, Balangan, Tapin, Tanah Laut, Tanah Bumbu hingga
Kotabaru. Endapan bijih besi ini ada yang masih berupa sumberdaya endapan ada
yang sudah ditambang. Endapan yang sudah ditambang terdapat di Kabupaten
Tanah Laut, khususnya di Kecamatan Pelaihari. Endapan mineral logam besi ini
terdapat bersamaan dengan mineral logam kromit yang juga terdapat di
Kecamatan Pelaihari. Secara genesa maka endapan bijih ini merupakan endapan
bijih primer berukuran kerikil seperti di Sungai Bakar hingga bongkah besar
seperti di Pemalongan. Tujuan utama ekspor bijih besi dari Kabupaten Tanah Laut
pada tahun 2008 yaitu China sejumlah 307.195,56 ton; Malaysia sebesar 4.444,79
ton; Hongkong 250 tondan Taiwan 20 Ton. Di dalam negeri bijih besi ini dikirim
ke Surabaya sebanyak 2.000 ton (Tresnadi, 2009).
Salah satu mineral yang terkandung dalam bijih besi adalah magnetit.
Magnetit merupakan mineral yang mengandung unsur besi (Fe) dan oksigen (O2),
dengan rumus kimia Fe3O4. Magnetit bersifat tertarik oleh magnet (disebut
sebagai bahan magnetik). Magnetit (Fe3O4) merupakan salah satu bentuk oksida
besi di alam selain maghemit (γ-Fe2O3) dan hematit (α-Fe2O3). Magnetit dikenal
sebagai oksida besi hitam (black iron oxide), magnetic iron ore, loadstone,
ferrous ferrite, atau Hercules stone. Magnetit merupakan oksida logam yang
paling kuat sifat magnetisnya di antara oksida-oksida lainnya (Teja & Koh, 2009).
Bijih besi didapatkan dengan proses reduksi, di mana proses reduksi ini
terbagi menjadi dua yaitu reduksi langsung dan tidak langsung. Reduksi langsung
menggunakan gas reduktor seperti gas hidrogen atau gas CO. Reduksi tidak
langsung menggunakan tungku pelebur yang biasa disebut tanur tinggi (blast
furnace). Dalam dunia industri proses reduksi ini menggunakan reduksi tidak
langsung menggunakan tanur tinggi di mana proses reduksi tidak langsung terjadi
di dalam tanur tinggi. Secara umum reaksi reduksi merupakan reaksi pelepasan
oksigen pada suatu senyawa. Konsep ini berlaku biasanya pada proses
pembakaran dan pengambilan oksidan dari logamnya. Reaksi reduksi didapatkan
dengan membutuhkan pereduktor yang berfungsi sebagai sumber oksigen dan zat
yang mengalami reduksi. Reduksi bijih besi berlangsung pada temperatur yang
sangat tinggi. Pada proses reduksi dibutuhkan bahan lain sebagai reduktor yang
akan mengubah oksida besi dengan muatan tinggi menjadi oksida besi dengan
muatan yang lebih rendah atau bahkan menjadi logam (Mardhatillah, 2017).
Reduktor yang digunakan dapat berupa C atau CO yang berfungsi sebagai sumber
oksigen dan zat yang mengalami reduksi, salah satu reduktor yang digunakan
dalam penelitian ini adalah arang aktif enceng gondok.
Penelitian ini mengacu pada penelitian Lukmanul Hakim et al. (2021) yaitu
menggunakan arang sebagai sumber alternatif untuk mereduksi bijih besi, bahan
baku yang dibuat menjadi arang aktif adalah semua bahan yang mengandung
karbon, diantaranya limbah kayu, sekam padi, tulang binatang, tempurung kelapa
dan batubara. Menurut Yunus et al., (2021) melaporkan bahwa arang aktif dapat
dibuat dari eceng gondok. Hasil karakterisai arang aktif eceng gondok
menunjukan bahwa kadar air sebesar 6,41% kadar abu 6,36%, kadar zat volatil
15,36% dan kadar karbon terikat sebesar 78,82%. Berdasarkan uraian tersebut,
maka penelitian ini sangat penting untuk dilakukan dengan memanfaatkan arang
aktif eceng gondok sebagai reduktor bijih besi sungai bakar.
Hasil reduksi besi pada penelitian ini dikarakterisasi dengan menggunakan
X-ray fluorescence (XRF) untuk mengetahui komposisi senyawa yang terkandung
dalam bijih besi. Karakterisasi untuk mengetahui struktur kristalnya dengan
menggunakan X-ray Difractometer (XRD). Kemudian untuk mengetahui ukuran
partikel dengan menggunakan persamaan Debye Scherrer.
II. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan hal-hal di atas dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana hasil reduksi hematit menjadi magnetit berdasarkan analisis
XRD?
2. Bagaimana hasil kristalinitas reduksi magnetit?
3. Bagaimana hasil ukuran kristal besi magnetit?
4. Bagaimana hasil homogenitas (Keseragaman) reduksi magnetit?
III. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui hasil reduksi hematit menjadi magnetit berdasarkan analisis
XRD.
2. Mengetahui hasil kristalinitas reduksi magnetit.
3. Mengetahui hasil ukuran kristal besi magnetit.
4. Mengetahui hasil homogenitas (keseragaman) reduksi magnetit.
IV. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah memberikan
informasi tentang proses reduksi besi hematite (Fe2O3) menjadi magnetite (Fe3O4)
dengan reduktor karbon arang aktif enceng gondok.

V. TINJAUAN PUSTAKA

5.1 Besi (Fe)


Besi merupakan logam yang sangat murah di antara logam-logam yang lain.
Besi termasuk logam yang lebih aktif dibandingkan dengan tembaga, oleh karena
itu bijih besi tidak direduksi menjadi logam dengan pemanasan saja. Besi
merupakan logam kedua yang paling banyak di bumi. Abad besi dimulai sekitar
2000 tahun setelah mulainya abad perunggu. Senyawa besi ini kebanyakan
terdapat dalam bentuk batuan dari tanah. Bijih besi yang diolah harus
mengandung senyawa besi dengan persentase yang besar (Achmad, 2001) yaitu
sekitar 5% (Prabowo, 2011).
Besi atau ferum tergolong unsur logam dengan lambang Fe yang memiliki
nomor atom 26, dan termasuk pada golongan VIII B. Bentuk senyawa murni dari
besi yaitu berwarna gelap, abu-abu keperakan dengan kilap logam. Logam besi
sangat mudah bereaksi dan mudah teroksidasi membentuk karat. Sifat magnetik
dari besi sangat kuat dan sifat dalamnya dapat ditempa. Tingkat kekerasannya
sekitar 4-5 dengan berat jenis 7,3-7,8. Besi dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu
besi primer dan besi sekunder (Prabowo, 2011). Besi juga mudah larut dalam
larutan seperti HCl dan H2SO4.
Bijih besi utama terdiri dari mineral hematit (Fe2O3) dan magnetit (Fe3O4).
Mineral bijih besi seperti magnetit adalah mineral dengan kandungan besi yang
paling tinggi, akan tetapi jumlah yang terdapat yaitu sedikit sementara itu hematit
merupakan mineral bijih besi utama yang diperlukan dalam bidang industri besi
(Prabowo, 2011).
Besi oksida yang berada di tanah dan batuan menunjukkan warna merah,
jingga, hingga kekuningan. Sifat fisika dari besi dapat dilihat pada Tabel 1:
Tabel 1. Sifat Fisika Logam Besi
Lambang Fe
Nomor atom 26
Massa atom relatif 55,847
Konfigurasi elektron 3d6 4s2
Jari-jari atom (nm) 0,116
Jari-jari ion M3+ (nm) 0,064
Keelektronegatifan 1,7
Energi ionisasi pertama (kJ mol-1) 768
Kerapatan (g cm-3) 7,87
Titik leleh (°C) 1535
Titik didih (°C) 2735
Bilangan oksidasi 2, 3, 6
Potensial elektroda (V)
M2+(aq) + 2e → M (s) - 0,44
M3+(aq) + e → M2+(aq) + 0,74
(Sumber: Achmad, 2001).
Pada suatu material batuan yang terdiri dari gabungan mineral bijih dengan
mineral non logam yang dapat diambil hanya satu atau lebih logam yaitu disebut
bijih/ore. Bijih yang diambil hanya satu jenis logam, maka disebut single ore dan
apabila yang diambil lebih dari satu jenis logam, maka disebut complex-ore.
Mineral non logam yang terkandung pada suatu bijih umumnya tidak
menguntungkan bahkan biasanya hanya mengotori saja, sehingga mineral tersebut
sering dibuang. Beberapa mineral yang bernilai ekonomis, dapat dilihat pada
Tabel 2:
Tabel 2. Mineral Yang Bernilai Ekonomis
Kandungan
Mineral Susunan Kimia Klasifikasi Komersil
Fe (%)
Magnetit Fe3O4 72,4 Magnetik atau bijih
hitam
Hematit Fe2O3 70,0 Bijih merah
Limonit Fe2O3.nH2O 59-63 Bijih coklat
Siderit FeCO3 48,2 Spathic, black band,
clay ironstone
(Sumber: Prabowo, 2011).
5.2. Oksida Besi Hematit (Fe2O3)
Bijih besi secara umum memiliki komposisi utama besi oksida (Fe2O3 dan
Fe3O4), silikonoksida (SiO2), serta unsur-unsur lain seperti Ni, Mg, Ca, Si, Ti, Cr
dan Zn dengan kadarrendah. Komposisi kandungan bijih besi dapat ketahui
dengan pengujian, misalnya denganXRF (X-Ray Flouresence). Beberapa sifatsifat
oksida besi antara lain besi (II) oksida (FeO) atau oksida besi, bubuk oksida
berwarna hitam, besi (III) oksida (Fe2O3) atau oksida besi juga dikenal sebagai
bijih besi hematite (α-Fe2O3) atau maghemite (γ-Fe2O3) dalam bentuk mineral
(septiayana, 2013).
Hematit mempunyai warna abu–abu sampai merah cerah merah atau coklat
merah dengan variasi yang disebut specularit. Sebagai mineral primer, hematit
seringkali didapatkan sebagai asesori dalam batuan beku dan sebagai penyusun
minor dalam urat hydrothermal bersuhu tinggi dan endapan kontak metamorfik
yang berasosiasi dengan magnetit (Prasetyanto, 2008). Bijih besi primer jenis
hematit mempunyai struktur kristal yang sama dengan magnetit dan juga termasuk
ferit spinel serta bagian dari feromagnetik. Sifat fisik dari bijih besi ini
mempunyai warna abu-abu (grey shade), putih, dan coklat. Hematit mempunyai
bentuk struktur kristal yang isometrik.
Terdapat beberapa fasa pada bijih besi hematit (Fe2O3), yakni fasa alpha (α-
Fe2O3), fasa beta (β-Fe2O3), fasa gamma (γ- Fe2O3), dan fasa epsilon (ε-Fe2O3).
Fasa alpha (α-Fe2O3) memiliki struktur rhombohedral dan terjadi secara alami
sebagai mineral hematit yang merupakan hasil utama dari penambangan, serta
memiliki sifat antifferromagnetik. Fasa beta (β-Fe2O3) memiliki struktur kristal
FCC yang bersifat metastabil, pada temperatur 500˚C dapat berubah menjadi fasa
alpha. Fasa gamma (γ-Fe2O3) memiliki struktur kristal kubik, bersifat metastabil,
dapat berubah menjadi fasa alpha pada temperatur yang tinggi. Di alam berbentuk
sebagai maghemit, bersifat ferrimagnetik. Fasa gamma dapat dibuat dengan
dekomposisi termal dari besi (III) oksalat (Prasetyo et al., 2014).

(a) (b) (c)


Gambar 1. Hematit alami α-Fe2O3 (a), β-Fe2O3 (b), dan γ-Fe2O3 (c) (Raya, 2014).
5.3 MAGNETIT
Magnetit mempunyai rumus kimia Fe3O4 atau (FeO.Fe2O3). Magnetit
merupakan salah satu senyawa besi oksida yang mempunyai nilai ekonomis yang
tinggi. Partikel nano Fe3O4 merupakan salah satu material yang banyak
dikembangkan karena memiliki potensi aplikasi yang besar di bidang farmasi,
biomedis, alutsista, dan lain-lain (Sunaryono dkk., 2015). Magnetit (Fe 3O4)
merupakan oksida besi campuran yang terbentuk dari reaksi antara oksida besi (II)
dan besi (III) dimana hasil pencampuran ini memberikan sifat yang unggul
dibandingkan oksida besi (II) dan oksida besi (III) masing-masing. Keunggulan
yang dimiliki magnetit dibandingkan oksida besi adalah sifat magnetiknya yang
lebih kuat, hal ini yang menyebabkan magnetit popular di kalangan material sains
maupun material terapan (Sari, 2017). Magnetit banyak dikembangkan mulai dari
kebutuhan industri sampai pada pembuatan jaringan tiruan tubuh manusia dengan
memanfaatkan sifat elektromagnetik dari material tersebut (Kirschvink, 1981).
Pada awalnya, magnetit digolongkan sebagai material feromagnetik, akan tetapi
pada tahun 1940-an, Neel memunculkan teori tentang material ferimagnetik
dimana material ini mempunyai senyawa ionik dan struktur kristal yang kompleks.
Sebagai material ferimagnetik tentunya Fe3O4 mempunyai spin magnetik yang
secara sederhana dapat direpresentasikan pada Gambar 2

Gambar 2 Spin magnetik material ferrimagnetik


(Moskowitz, 1991)
Magnetit mempunyai struktur spinel, dimana atom-atom oksigen yang lebih
besar membentuk struktur kubik, sedangkan atom Fe yang lebih kecil mengisi
situs tetrahedral dan oktahedral. Pada situs tetrahedral, atom Fe dikelilingi oleh 4
atom oksigen, sedangkan pada situs oktahedral atom Fe dikelilingi oleh 6 atom
oksigen. Magnetit tergolong ke dalam Space Group no. 227 (F d -3m) dengan
parameter kisi (a = b = c = 8,3122 Å) dan sudut (α = β = γ = 90˚) seperti Gambar
2.3.

Gambar 2.1 Struktur kristal magnetit (Fe3O4) (Cullity dan


Graham, 2009)
Magnetit memiliki sifat magnetik yang sangat baik, yakni dapat merespon
medan magnet luar sehingga memiliki hubungan yang kuat dengan medan
magnetnya sendiri (Jonal, 2014). Selain itu, magnetit juga mempunyai sifat khas
yaitu keras, tahan terhadap panas dan zat kimia, mempunyai tahanan jenis listrik
yang tinggi, sehingga banyak digunakan dalam bidang elektronika dan dapat
termagnetisasi secara spontan pada temperatur curie dan bersifat paramagnetik
untuk temperatur di atas temperatur curie (Sholihah, 2010).
Magnetit telah dimanfaatkan secara luas di berbagai bidang antara lain
sebagai perekat, drug delivery, tinta magnetik, media perekam magnetik, dan
katalis. Magnetit diaplikasikan sebagai katalis dari sejumlah reaksi kimia di
industri seperti sintesis amoniak (proses Harber), desulfurisasi gas alam,
dehidrogenasi etil benzena menjadi stirena, sintesis hidrokarbon dengan proses
Fisher-Tropsch dan oksida alkohol (Teja & Koh, 2009; Berry & Curtis, 2003).
Material ferimagnetik seperti Fe3O4 mempunyai sifat tertentu, seperti rapuh,
keras, tahan panas, dan tahanan jenis listrik yang tinggi. Material ferimagnetik
dapat termagnetisasi secara spontan pada temperatur Currie dan berubah menjadi
paramagnetik pada temperatur di atas temperatur Currie (Chrismant, 1988).
5.3 ARANG
Arang adalah produk yang diperoleh dari pembakaran tidak sempurna.
Pembakaran tidak sempurna terhadap tempurung kelapa akan menyebabkan
senyawa karbon kompleks tidak teroksidasi menjadi karbon dioksida. Peristiwa
tersebut disebut sebagai pirolisis. Pada saat pirolisis, energi panas mendorong
terjadinya oksidasi sehingga sebagian besar molekul karbon yang kompleks
terurai menjadi karbon atau arang. Pirolisis untuk pembentukan arang terjadi pada
temperatur 150–3000oC (Wasik, 2016).
Pembentukan arang tersebut lebih lanjut menjadi karbon monoksida, gas
hidrogen, dan gas-gas hidrokarbon disebut sebagai pirolisis sekunder. Makin
rendah kadar abu, air, dan zat yang menguap maka makin tinggi pula kadar fixed
karbonnya maka mutu arang tersebut akan semakin tinggi pula. Peristiwa
terbentuknya arang dapat terjadi dengan cara memanasi secara langsung atau tidak
langsung terhadap bahan berkarbon di dalam timbunan, kiln, oven, atau di udara
terbuka. Pada umumnya untuk menghasilkan arang, bahan baku dipanaskan
dengan suhu di atas 500ºC (Wasik, 2016).
Faktor yang berpengaruh terhadap proses karbonisasi adalah kecepatan
pemanasan dan tekanan. Pemanasan yang cepat sukar untuk mengamati tahapan
karbonisasi yang terjadi dan rendemen arang yang dihasilkan dan rendemen arang
yang dihasilkan lebih rendah. Pemakaian tekanan yang tinggi akan mampu
meningkatkan rendemen arang. Ada banyak sekali jenis arang yang diproduksi di
Indonesia, antara lain: arang tempurung kelapa, sekam padi, kayu asem, kayu
alaban, kayu besi, kayu putih, cangkang kelapa sawit, Tandan Kosong Kelapa
Sawit (TKKS), dan sebagainya. Berbagai macam jenis arang tersebut yang layak
digunakan sebagai agen reduktor dalam proses Direct Reduction Iron harus
memperhatikan hal hal berikut:
1. Kandungan fixed carbon yang cukup tinggi,
2. Kandungan sulfur dan phospor yang rendah,
3. Kandungan ash yang rendah,
4. Kandungan volatile meter yang rendah, dan
5. Ketersediaan yang melimpah.
Arang dapat digunakan sebagai pengganti batubara, dimana kandungan
fixed carbon yang dibutuhkan dalam proses pembakaran Direct Reduction Iron
tercukupi. Kandungan fixed carbon sangat menentukan dalam proses Direct
Reduction Iron. Semakin tinggi kandungan fixed carbon maka pembakaran
semakin maksimal (Wasik, 2016).
Arang adalah residu hitam berisi karbon tidak murni yang dihasilkan dengan
menghilangkan kandungan air dan komponen volatil dari hewan atau tumbuhan.
Arang umumnya didapatkan dengan memanaskan kayu, gula, tulang, dan benda
lain. Arang yang hitam, ringan, mudah hancur, dan menyerupai batu bara ini
terdiri dari 85% sampai 98% karbon, sisanya adalah abu atau benda kimia lainnya
(Supriyatna, 2012).
Arang sendiri dapat diperbaharui dan ramah lingkungan. Arang dapat
diperbaharui karena memiliki siklus karbon yang jauh lebih pendek (5-10 tahun)
dibandingkan batu bara (sekitar 100 juta tahun) (Norgate et al., 2012). Di sisi lain,
karena bahan bakar fosil sudah berada di bumi ratusan juta tahun yang lalu, maka
CO2 yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil akan menghasilkan CO 2
“baru” yang mana tidak tersedia jumlah tumbuhan yang seimbang untuk
memanfaatkannya dalam reaksi fotosintesis. CO2 “baru” tadi akan berlebih dan
tidak seimbang. Akibatnya, CO2 berlebih tersebut akan menyebabkan efek rumah
kaca (McKendry, 2002).
Bahan dasar pereduktor biomassa mulai dikembangkan untuk mengganti
bahan dasar pereduktor fosil yang digunakan dalam blast furnace. Bahan bio-
reduktor adalah pereduktor yang menggunakan biomassa dalam bentuk liquid,
solid, dan gas yang berasal dari biomassa dan cocok untuk mereduksi oksida besi
pada blast furnace. Bio-kokas didefinisikan sebagai produk yang dihasilkan dari
campuran batubara kokas dan turunan dari produk biomassa, yaitu arang dalam
bentuk karbon komposit. Beberapa penelitian telah dilakukan termasuk
eksperimen menggunakan arang sebagai reduktor tambahan pada proses blast
furnace. Penggunaan potongan arang pada bagian atas blast furnace telah
dilakukan dan bisa menggantikan 20% penggunaan kokas (Isnugroho, 2015).
5.4 Reduksi Langsung Besi
Proses penghilangan oksigen dan pengotor bijih besi disebut reduksi. Proses
reduksi secara umum terbagi atas dua metode, yaitu reduksi langsung dan reduksi
tidak langsung. Proses reduksi bijih besi secara tidak langsung dilakukan dalam
tanur tinggi dengan reduktor berupa kokas batu bara dan suhu di atas titik lebur
besi. Produk berupa lelehan logam Fe yang selanjutnya diumpankan ke dalam
BOF (Basic Oxygen Furnace) dan sebagian kecil akan dicetak menjadi pig iron.
Sementara Proses reduksi langsung merupakan proses pemisahan Fe dari oksigen
dengan reduktor berupa padatan seperti batu bara atau gas seperti metana (CH4).
Proses reduksi ini dilakukan di bawah titik lebur sehingga produk yang dihasilkan
dalam bentuk padatan (Sun, 1997).
Proses ini menggunakan reduktor padatan berupa batu bara atau batu arang
untuk mereduksi bijih besi. Keseluruhan reaksi yang terjadi dapat dituliskan
sebagai berikut :
3Fe2O3 + C → 2Fe3O4 + CO, ...(1)
Fe3O4 + C → 3FeO + CO, ...(2)

FeO + C → Fe + CO, ...(3)


(Stephenson & Smailer, 1980).
Reaksi ini berjalan secara endotermik atau memerlukan panas. Panas yang
diperlukan berasal dari udara dan pembakar. Bijih besi yang digunakan dalam
proses reduksi langsung dengan reduktor karbon relatif berkadar Fe rendah (53%≤
Fe) serta tidak memerlukan energi panas untuk mereformasi gas alam sehingga
penggunaan energi lebih efisien.
Persamaan reaksi reduksi bijih besi oleh gas CO dan H 2 ditunjukkan oleh
persamaan reaksi sebagai berikut:
3Fe2O3 + CO → 2Fe3O4 + CO2, ...(4)

Fe3O4 + CO → 3FeO + CO2, ...(5)

FeO + CO → Fe + CO2, ...(6)


atau
3Fe2O3 + H2 → 2Fe3O4 + H2O, ...(7)
Fe3O4 + H2 → 3FeO + H2O, ...(8)
FeO + H2 → Fe + H2O, ...(9)

(Rosenqvist 1983).
Reduksi langsung dengan reduktor gas memerlukan bahan baku bijih besi dengan
kadar Fe yang relatif tinggi (60-67%) dan pengotor serendah mungkin (P ≤
0,017%, S ≤ 0,011%) baik dalam bentuk pelet ataupun batuan bisa.
5.5 Karakterisasi Oksida Besi
5.5.1. X-Ray Diffraction (XRD)

X-ray Diffraction (XRD) atau difraksi sinar-X adalah suatu teknik analisis
yang biasa digunakan untuk mengetahui struktur kristal suatu material. Teknik ini
digunakan untuk mengidentifikasi suatu material berdasarkan fasa kristalin dalam
material dengan cara menentukan parameter kisi serta untuk mendapatkan ukuran
partikel suatu material. Difraksi sinar-X terjadi pada hamburan elastis foton-foton
sinar-X oleh atom dalam sebuah kisi periodik. Hamburan monokromatis sinar-X
dalam fasa tersebut memberikan interferensi yang konstruktif (Ismunandar, 2006).
Karakterisasi dengan metode difraksi sinar-X menggunakan sumber radiasi
sinar-X yang merupakan radiasi elektromagnetik dengan panjang gelombang
sekitar 1 Å (10-10 m). Sinar-X berada di antara sinar-γ dan ultraviolet. Sinar-X
dihasilkan dari partikel bermuatan yang berenergi tinggi, seperti elektron yang
dipercepat pada 30.000 volt mengenai suatu materi. Elektron diperlambat atau
dihentikan dengan suatu tumbukan hingga sebagian akan kehilangan energi yang
akan dikonversikan menjadi radiasi elektromagnetik (West, 1989).
Berkas sinar-X yang jatuh pada sebuah kristal akan dihamburkan ke segala
arah, tetapi karena keteraturan letak atom-atom pada arah tertentu gelombang
hamburan itu akan berinterferensi konstruktif, sedangkan yang lain akan
berinterferensi destruktif (Beiser, 1992). Sinar-X dimunculkan dari sebuah tabung
dengan dua buah elektroda. Elektron dari katoda dipercepat oleh medan listrik
bertegangan tinggi menuju ke anoda (target). Ketika sampai di anoda, elektron
mengalami perlambatan dan kehilangan energinya. Energi elektron sebagian
berubah menjadi sinar-X dan sebagian lainnya didisipasikan pada logam target
berupa termal (Darminto, 2004). Pada waktu material dikenai sinar-X, maka
intensitas sinar yang ditransmisikan akan lebih rendah dari intensitas sinar datang.
Hal ini disebabkan adanya penyerapan oleh material dan juga penghamburan oleh
atom-atom dalam material tersebut. Berkas sinar-X yang dihamburkan tersebut
ada yang saling menghilangkan karena fasanya yang berbeda dan ada juga yang
saling menguatkan karena fasanya sama. Berkas sinar-X yang saling menguatkan
itulah yang disebut sebagai berkas difraksi (interferensi konstruktif). Interferensi
konstruktif ini merupakan peristiwa difraksi seperti pada Gambar 3.

Gambar 3. Pola difraksi sinar-X (Callister & Rethwisch, 2009)


Dasar dari penggunaan XRD untuk mempelajari kisi kristal adalah
berdasarkan persamaan Bragg (Ismunandar, 2006):
2 d sin θ = n λ ...(10)
dimana :
d = jarak antara dua bidang kisi (nm)
θ = sudut antara sinar datang dengan bidang normal
n = orde difraksi
λ = panjang gelombang sinar-X yang digunakan (nm)
Hukum Bragg merupakan perumusan matematika tentang persyaratan yang harus
dipenuhi agar berkas sinar-X yang dihamburkan tersebut merupakan berkas
difraksi. Sinar-X dihasilkan dari tumbukan antara elektron berkecepatan tinggi
dengan logam target. Pada prinsip dasar ini, maka alat untuk menghasilkan sinar-
X harus terdiri dari beberapa komponen utama antara lain yaitu sumber elektron
(katoda), tegangan tinggi untuk mempercepat elektron, dan logam target (anoda).
Ketiga komponen tersebut merupakan komponen utama suatu tabung sinar-X
(Bayuwati & Bambang, 2002).
Menurut Bayuwati dan Bambang (2002), persamaan Bragg dapat digunakan
untuk mengetahui parameter sel dan tipe struktur kristal sederhana secara akurat.
Dengan persamaan Bragg suatu bidang dianggap lapisan permukaan atom. Untuk
mengetahui struktur kristal dari suatu pola difraksi digunakan metode komputasi.
Letak puncak dan sifat-sifat dari puncak dapat ditentukan setelah melakukan
koreksi terhadap data mentah yang diperoleh dengan urutan sebagai berikut:
1. Smoothing, yaitu penghalusan puncak difraksi dari ripple yang disebabkan oleh
noise dan statistik pencacahan.
2. Background substraction, yaitu pengurangan komponen cacah latar belakang
dari pola difraksi.
3. Pemisahan komponen Kα1-Kα2 (Kα1-Kα2 separation), yaitu pemisahan secara
teoritis komponen puncak difraksi dari kontribusi panjang gelombang Kα1-
Kα2.
4. Penentuan letak puncak menggunakan metode least square fitting terhadap
puncak dengan fungsi distribusi parabola (polinomial derajat 2).
Data hasil difraksi sinar-X (difraktogram) yang didapatkan dapat
dibandingkan dengan data base Powder Difraction File (PDF) sehingga dapat
diketahui apakah senyawa oksida logam hasil telah terbentuk.
5.5.2. X-Ray Fluorescence (XRF)

Analisa X-Ray Fluorescence (XRF) merupakan analisa yang berdasarkan


pada perilaku atom yang terkena radiasi (Setiabudi et al., 2012). X-Ray
Fluoresence dapat menganalisis unsur-unsur logam dan non logam secara
keseluruhan (Karyasa, 2013). Adanya interaksi atom dengan cahaya dapat
menyebabkan fenomena-fenomena yang dipengaruhi oleh kuatnya intensitas
cahaya yang berinteraksi dengan atom tersebut. Pada saat material berinteraksi
dengan cahaya yang memiliki energi tinggi seperti sinar-X, maka pada suatu atom
akan mengalami terpentalnya elektron yang berada pada tingkat energi paling
rendah.
Radiasi flourescence memiliki energi yang khas akan tetapi tergantung dari
elektron yang tereksitasi atau elektron yang terdeeksitasi pada atom penyusun
sebuah material. Oleh karena itu, kekhasan energi dari radiasi flourescence pada
setiap unsur ini dapat dilakukan analisa kualitatif untuk mengidentifikasi unsur-
unsur yang berbeda. Sementara itu, berdasarkan intensitas dari radiasi
flourescence yang dipancarkan dapat dilakukan dengan analisa kuantitatif untuk
menentukan konsentrasi dari unsur yang akan dianalisis. Pada analisa XRF ini
memanfaatkan sinar-X yang berenergi tinggi untuk mementalkan elektron pada
tingkat energi yang lebih rendah pada sampel, dan menyebabkan terjadinya
transisi elektron untuk mengisi posisi elektron yang telah tereksitasi (Setiabudi et
al., 2012).
5.5.3. Persamaan Debye Scherrer
Difraksi sinar-X dapat digunakan untuk menentukan ukuran kristal dengan
fase tertentu. Penentuannya merujuk pada puncak-puncak utama pola
difraktogram melalui pendekatan persamaan Debye Scherrer yang dirumuskan:
Kλ ...(11)
D=
β cos θ
Hasil modifikasi persamaan Debye Scherrer digunakan untuk menentukan satu
nilai ukuran kristal. Persamaan modifikasi Debye Scherrer dirumuskan sebagai
berikut:
Kλ ...(12)
ln β=ln
D cos θ
Kλ 1 ...(13)
ln β=ln +ln
D cos θ
Keterangan:
D = ukuran kristal
K = faktor bentuk dari kristal (0,89)
λ = panjang gelombang dari sinar-X (0,154056 nm)
β = nilai dari Full Width at Half Maximum (FWHM) (rad)
θ = sudut difraksi (derajat)
Dari persamaan modifikasi Debye Scherrer dibuat grafik hubungan ln (1/Cosθ)
sebagai sumbu x dan ln β sebagai sumbu y sehinggga diperoleh garis lurus dengan
slope sekitar satu dan nilai intersep yang nilainya sama dengan ln (Kλ/D). Secara
teoritis garis lurus ini memiliki kemiringan 45° yang dapat dilihat pada Gambar 4.
Dengan mengetahui hubungan nilai intersep, nilai K dan λ maka dapat dihitung
ukuran kristal.

ln =intersep ...(14)
D

D= Intsersep ...(15)
e
Partikel yang berukuran nanometer, biasanya satu partikel hanya
mengandung satu kristalinitas. Dengan demikian, ukuran kristalinitas yang
diprediksi dengan metode Debye Scherrer juga merupakan ukuran partikel dari
material (Abdullah et al., 2009).
VI. METODE PENELITIAN
6. 1. Waktu dan Tempat Penelitian

Waktu Penelitian telah dilaksanakan selama 3 bulan yang dimulai bulan


April sampai dengan bulan Juni. Tempat pelaksakan penelitian yaitu di
Laboratorium Dinas ESDM Banjarbaru Kalimantan Selatan. Analisis X-ray
Fluorescense (XRF) dan analisis X-ray Diffraction (XRD) dilakukan di
Laboratorium Mineral dan Material Maju FMIPA Universitas Negeri Malang.
6.2. Alat
Alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu peralatan gelas (pyrex), neraca
analitik OHAUSS, cawan alumina, Chipmunk Crusher, sudip, oven, furnace
Nabertherm modell LE 4/11/R6, XRF PANALYTICAL Type: Minipal 4, XRD
PANALYTICAL Type: E’xpert Pro, dan komputer serta, Phasanx, software search
Match.
6.3. Bahan

Bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu aquades, aqua


demineral(DM), sampel besi hematit dan arang Enceng Gondok.
6.4. Prosedur Penelitian

6.4.1. Preparasi sampel

Sampel besi dari hasil penelitian Wulandari (2019) dan Fitriana (2019)
ditimbang sebanyak 5 gram untuk analisis XRF (X-Ray Fluorescence) yang
dilakukan di Laboratorium Mineral dan Material Maju FMIPA Universitas Negeri
Malang untuk mengetahui komposisi dan kadar mineral yang terkandung dalam
sampel besi tersebut. Preparasi arang dilakukan dengan cara diremukkan arang
menggunakan mortar dan dihancurkan sampai menjadi halus. Selanjutnya arang
diayak menggunakan ayakan lolos 200 mesh untuk mendapatkan partikel lebih
kecil.
6.4.2. Reduksi Bijih Besi
Sampel besi hematit dicampurkan dengan arang yang telah dihancurkan ke
dalam cawan alumina dengan perbandingan 1:1, kemudian diaduk sampai
homogen selama 1 jam dengan batang pengaduk. Masukkan campuran bahan
tersebut pada cawan alumina ke dalam tanur pada suhu 700 oC, lalu dilakukan lagi
untuk suhu 750oC, 800oC selama 60 menit. Kemudian didinginkan sampai suhu
ruang dan sampel akan diseparasi dengan menggunakan magnet batang.
Selanjutnya dilakukan pencucian sampel dengan aqua DM untuk menghilangkan
sisa karbon arang yang masih menempel, setelah itu dilanjutkan dengan
pemanasan ada suhu 110oC untuk mengeringkan air. Sampel setelah kering
kemudian dilakukan analisis data.
6.5 Analisis Data
VII. Kristal oksida besi yang telah diperoleh dikarakterisasi menggunakan X-ray
Diffraction (XRD) dari sumber sinar logam Cu-Kα1 dengan panjang
gelombang 1,540598 Å. Karakterisasi senyawa oksida besi magnetit (Fe3O4)
dilakukan dengan X-ray Diffraction Powder dengan jangkauan pengukuran
sudut 2θ. Data hasil X-ray Diffraction (difraktogram) yang didapatkan
kemudian dibandingkan dengan data base Powder Difraction File (PDF)
yang dikeluarkan oleh JCPDS (Joint Committee for Powder Diffraction
Standard) menggunakan software search Match agar senyawa oksida besi
magnetit (Fe3O4) yang telah terbentuk dapat diketahui strukturnya.
Kemudian untuk menentukan ukuran partikel dapat menggunakan
persamaan Debye scherrer.
VIII. DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M., & Khairurrijal. 2009. Karakterisasi nanomaterial. Jurnal nanosains
dan Nanoteknologi. 2 : 1-9.
Achmad, & Hiskia. 2001. Kimia Unsur dan Radio Kimia. PT. Citra Aditya Bakti.
Bandung.
Bayuwati, D., & S. Bambang. 2002. Karakterisasi Difraksi Sinar-X dari Lapisan
Epiteksi Berbasis GaInAsP/GaAs untuk Divais Fotonik. Jurnal Fisika
Himpunan Fisika Indonesia. A5: 0579(1)-0579(5).
Beiser, A. 1992. Konsep Fisika Modern Edisi ke-4. Terjemahan The Houw Liong.
Erlangga, Jakarta.
Callister, Jr., & W.D. Rethwisch. 2009. Materials Science and Engineering An
Introduction 8th. John Wiley & Sons, New York.
Darminto. 2004. Pengantar Kristalografi dan Difraksi Kristal. Workshop Difraksi
Sinar-X, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Terhadap Masyarakat. Institut
Teknologi Sepuluh November, Surabaya.
Fatmaliana, A., A. Rahwanto, & Z. Jalil. 2016. Synthesis And Characterization Of
Hematite (Fe2O3) Extracted From Iron Ore By Precipitation Method. Jurnal
Natural. 16: 1-3.
Fitriana, K. 2019. Karakteristik Senyawa Hematit (α-Fe2O3) Dari Bijih Besi Desa
Pemalongan, Kecamatan Bajuin, Kabupaten Tanah Laut Melalui Sintesis
Dengan Metode Presipitasi Pada Berbagai Temperatur Kalsinasi. Skripsi.
Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lambung
Mangkurat, Banjarbaru.
Gunawan, H., & A. Budiman. 2014. Penentuan Persentase Dan Nilai
Suseptibilitas Mineral Magnetik Bijih Besi Yang Berasal Dari Tiga Lokasi
Tambang Bijih Besi Di Sumatera Barat. Jurnal Fisika Unand. 3: 249-250.
Handayani, M., S. Oediyani, & A. Milandia. 2016. Pengaruh Temperatur Dan
Jenis Reduktor Terhadap Perolehan Persen Metalisasi Hasil Reduksi Bijih
Besi Dari Kalimantan. Jurnal Furnace.2(1).
Husain, S., E. Suarso, A. Maddu, & Sugianto. 2016. Karakterisasi Kandungan
Bijih Besi Alam Sebagai Bahan Baku Magnetit Nanopartikel, hal. 19-21.
Simposium Fisika Nasional 2016 (SFN XXIX)., Makassar.
Ishlah, T. 2009. Potensi Bijih Besi Indonesia Dalam Kerangka Pengembangan
Klaster Industri Baja. Buletin Sumber Daya Geologi.
Ismunandar. 2006. Padatan Oksida Logam: Struktur, Sintesis dan Sifat-sifatnya.
ITB, Bandung.
Isnugroho, K., & D.C. Birawidha. 2015. Production of Wood Charcoal as Bio-
reductor in Blast Furnace. Teknologi Indonesia. 38(3): 126-134.
Kartika, D.L. & S. Pratapa. 2014. Sintesis Fe2O3 dari Pasir Besi Dengan Metode
Logan Terlarut Asam Klorida. Jurnal Sains dan Seni Pomits. 3(2): 2337-
3520.
Karyasa, I. W. 2013. Studi X-Ray Fluoresence Dan X-Ray Diffraction Terhadap
Bidang Belah Batu Pipih Asal Tejakula. Jurnal Sains dan Teknologi. 2: 205.
Kosidahrta, R., S.C. Wahyono, & E. Suarso. 2016. Identifikasi Bijih Besi
Menggunakan Metode Geolistrik Schlumberger di Kabupaten Tanah Laut.
Jurnal Fisika FLUX. 13: 133-134.
Lovel, R.R., K.R. Vining, & M. Dell'amico. 2009. The influence of fuel reactivity
on iron ore sintering. ISIJ Inter. 49 :195-202.
Lu, L., M. Adam, M. Kilburn, S. Hapugoda, M. Somerville, S. Jahanshahi, & J.G.
Mathieson. 2013. Substitution of charcoal for coke breeze in iron ore
sintering. ISIJ Inter. 53 :1607-1616.
McKendry, P. 2002. Energy production from biomass (part 1) : overview of
biomass. Biosource Technology. 83(1): 37-46.
Ningrum, N.S. & H. Prijono. 2003. Transformasi Katalis Besi menjadi Pyrrhotite
Pada Proses Pencairan Batubara. Prosiding Kolokium Energi dan Sumber
Daya Mineral. Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara, Departemen
Energi dan Sumber Mineral, Indonesia.
Ningrum, N.S., M. Huda, & I.E.R. Hutabarat. 2010. Kajian Pemanfaatan Ampas
Pengolahan Bijih Besi Tembaga PT. Freeport Indonesia sebagai Katalis
pada Proses Pencairan Batubara. Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara.
06(1) : 1-12.
Norgate, T, N. Haque, M. Somerville, & S. Jahashahi. 2012. Biomass as a source
of renewable carbon for iron and steelmaking. ISIJ Inter. 52(8): 1472-1481.
Pangestu, I.A., S.T. Atmadja, & Y. Umardani. 2015. Reduksi Pasir Besi Pantai
Sigandu Kabupaten Batang Menjadi Sponge Iron Menggunakan Burner Gas
Asetilin. Jurnal Teknik Mesin S-1. 3 : 102-103.
Pardiarto, B. 2009. Tinjauan Rencana Pembangunan Industri Besi Baja Di
Kalimantan Selatan. Buletin Sumber Daya Geologi.
Pelton, D., & Christopher W. 2000. Direct Reduced Iron Technology and
Economics of Productions and Use. Warrendale : The Iron and Steel
Society.
Prabowo, H. 2011. Bijih Besi, hal. 2-17. Makalah Jurusan Teknik Pertambangan
Fakultas Teknik Universitas Negeri Padang. Sumatera Barat.
Prasetyo, A.B., P. Prasetiyo, & I. Matahari. 2014. Pembuatan α-Fe 2O3 Dari Hasil
Pengolahan Bijih Besi Primer Jenis Hematit Untuk Bahan Baku Baterai
Lithium. Majalah Metalurgi. 5: 179-189.

Raya, I. 2014. Kimia Anorganik Fisik Dan Material. Universitas Hasanuddin.


Makassar.
Rosenqvist T. 1983. Principles of Exstractive Metallurg second edition. Singapura
: McGraw- Hill Book Co.
Setiabudi, A., R. Hardian, & A. Muzakir. 2012. Karakterisasi Material; Prinsip
dan Aplikasinya Dalam Penelitian Kimia. UPI Press. Bandung.
Sun S. 1999. A Study of Kinetics and Mechanism of Iron Ore Reduction in
Ore/Coal Composites. Kanada: McMaster University.
Supriyatna, Y. I., M. Amin, & Suharto. 2012. Study Penggunaan Reduktor pada
Proses Reduksi Pellet Bijih Besi Lampung Menggunakan Rotary Kiln.
Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan PKM : Sains, Teknologi, dan
Kesehatan.
Wasik, H. 2016. Studi Variasi Jenis Arang Pada Briket Pasir BesiI Terhadap
Kandungan Fe Total Dan Derajat Metalisasi Pada Proses Pembuatan
Sponge Iron. Tugas Akhir. Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi
Sepuluh Nopember, Surabaya.
West. 1989. Solid State Chemistry and It’s Application. Department Chemistry of
Abenden, New York.
Wulandari, R. 2019. Penambahan Variasi Rasio Volume Polietilena Glikol (PEG)
Pada Ekstraksi Dan Sintesis Senyawa Hematit (Fe2O3) Dari Bijih Besi Desa
Pemalongan Menggunakan Metode Presipitasi. Skripsi. Fakultas
Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lambung Mangkurat,
Banjarbaru.

Anda mungkin juga menyukai