Proposal
Proposal
Proposal
I. LATAR BELAKANG
Indonesia memiliki potensi dan sumber daya alam yang sangat melimpah
pada sektor pertambangan, dengan persebaran mineral di berbagai daerah dan
memiliki jenis yang berbeda dari tiap wilayahnya. Menurut Direktorat Jendral
Mineral dan Batubara Kementerian ESDM produksi logam setengah jadi dari
komoditas besi masih jauh dari kebutuhan. Adapun jumlah produksi logam
setengah jadi dari komoditas besi di Indonesia per tahun 2019 yaitu 1.33 juta ton
Fe dalam bentuk sponge iron yang dihasilkan oleh satu smelter dan 36.367 ton Fe.
Dan yang telah diketahui, kebutuhan riil industri baja dalam negeri mencapai 7,1
juta ton Fe per tahun. Artinya, jumlah produksi logam setengah jadi dari
komoditas besi masih kurang 5.73 juta ton Fe per tahun.
Bijih besi merupakan campuran mineral yang mengandung besi dengan
mineral-mineral lainnya yang disebut gaunge. Bijih besi merupakan bijih yang
sangat penting karena mengandung bahan baku pembuatan logam besi yang
sangat diperlukan dalam berbagai bidang (Llewellyn, 2000). Berdasarkan bentuk,
bijih besi dikelompokkan menjadi dua jenis yaitu bongkahan (lump) dan pasir.
Sumber daya keseluruhan pasir besi di Indonesia yaitu 3,36 miliar ton dengan
kandungan bijih logam sekitar 1.01 miliar ton. Cadangan bijih besi Indonesia
diperkirakan sekitar 87,2 juta ton dimana kandungan logamnya sekitar 21,8 juta
ton. Karakteristik pasir besi di Indonesia memiliki komposisi kimia seperti Fe2O3
(hematite), Fe3O4 (magnetite), FeTiO3 (ilmenite), SiO2 (kuarsa) dan beberapa
senyawa lain (Darmayanti et al., 2000; Bilalodin et al., 2013).
Salah satu daerah penghasil besi terbesar di Indonesia adalah Kalimantan
Selatan. Cadangan bijih besi di Kalimantan Selatan mencapai 7.472.600 ton
(Pardiarto, 2009). Endapan Bijih besi tersebar di Propinsi Kalimantan Selatan dari
Hulu Sungai Utara, Balangan, Tapin, Tanah Laut, Tanah Bumbu hingga
Kotabaru. Endapan bijih besi ini ada yang masih berupa sumberdaya endapan ada
yang sudah ditambang. Endapan yang sudah ditambang terdapat di Kabupaten
Tanah Laut, khususnya di Kecamatan Pelaihari. Endapan mineral logam besi ini
terdapat bersamaan dengan mineral logam kromit yang juga terdapat di
Kecamatan Pelaihari. Secara genesa maka endapan bijih ini merupakan endapan
bijih primer berukuran kerikil seperti di Sungai Bakar hingga bongkah besar
seperti di Pemalongan. Tujuan utama ekspor bijih besi dari Kabupaten Tanah Laut
pada tahun 2008 yaitu China sejumlah 307.195,56 ton; Malaysia sebesar 4.444,79
ton; Hongkong 250 tondan Taiwan 20 Ton. Di dalam negeri bijih besi ini dikirim
ke Surabaya sebanyak 2.000 ton (Tresnadi, 2009).
Salah satu mineral yang terkandung dalam bijih besi adalah magnetit.
Magnetit merupakan mineral yang mengandung unsur besi (Fe) dan oksigen (O2),
dengan rumus kimia Fe3O4. Magnetit bersifat tertarik oleh magnet (disebut
sebagai bahan magnetik). Magnetit (Fe3O4) merupakan salah satu bentuk oksida
besi di alam selain maghemit (γ-Fe2O3) dan hematit (α-Fe2O3). Magnetit dikenal
sebagai oksida besi hitam (black iron oxide), magnetic iron ore, loadstone,
ferrous ferrite, atau Hercules stone. Magnetit merupakan oksida logam yang
paling kuat sifat magnetisnya di antara oksida-oksida lainnya (Teja & Koh, 2009).
Bijih besi didapatkan dengan proses reduksi, di mana proses reduksi ini
terbagi menjadi dua yaitu reduksi langsung dan tidak langsung. Reduksi langsung
menggunakan gas reduktor seperti gas hidrogen atau gas CO. Reduksi tidak
langsung menggunakan tungku pelebur yang biasa disebut tanur tinggi (blast
furnace). Dalam dunia industri proses reduksi ini menggunakan reduksi tidak
langsung menggunakan tanur tinggi di mana proses reduksi tidak langsung terjadi
di dalam tanur tinggi. Secara umum reaksi reduksi merupakan reaksi pelepasan
oksigen pada suatu senyawa. Konsep ini berlaku biasanya pada proses
pembakaran dan pengambilan oksidan dari logamnya. Reaksi reduksi didapatkan
dengan membutuhkan pereduktor yang berfungsi sebagai sumber oksigen dan zat
yang mengalami reduksi. Reduksi bijih besi berlangsung pada temperatur yang
sangat tinggi. Pada proses reduksi dibutuhkan bahan lain sebagai reduktor yang
akan mengubah oksida besi dengan muatan tinggi menjadi oksida besi dengan
muatan yang lebih rendah atau bahkan menjadi logam (Mardhatillah, 2017).
Reduktor yang digunakan dapat berupa C atau CO yang berfungsi sebagai sumber
oksigen dan zat yang mengalami reduksi, salah satu reduktor yang digunakan
dalam penelitian ini adalah arang aktif enceng gondok.
Penelitian ini mengacu pada penelitian Lukmanul Hakim et al. (2021) yaitu
menggunakan arang sebagai sumber alternatif untuk mereduksi bijih besi, bahan
baku yang dibuat menjadi arang aktif adalah semua bahan yang mengandung
karbon, diantaranya limbah kayu, sekam padi, tulang binatang, tempurung kelapa
dan batubara. Menurut Yunus et al., (2021) melaporkan bahwa arang aktif dapat
dibuat dari eceng gondok. Hasil karakterisai arang aktif eceng gondok
menunjukan bahwa kadar air sebesar 6,41% kadar abu 6,36%, kadar zat volatil
15,36% dan kadar karbon terikat sebesar 78,82%. Berdasarkan uraian tersebut,
maka penelitian ini sangat penting untuk dilakukan dengan memanfaatkan arang
aktif eceng gondok sebagai reduktor bijih besi sungai bakar.
Hasil reduksi besi pada penelitian ini dikarakterisasi dengan menggunakan
X-ray fluorescence (XRF) untuk mengetahui komposisi senyawa yang terkandung
dalam bijih besi. Karakterisasi untuk mengetahui struktur kristalnya dengan
menggunakan X-ray Difractometer (XRD). Kemudian untuk mengetahui ukuran
partikel dengan menggunakan persamaan Debye Scherrer.
II. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan hal-hal di atas dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana hasil reduksi hematit menjadi magnetit berdasarkan analisis
XRD?
2. Bagaimana hasil kristalinitas reduksi magnetit?
3. Bagaimana hasil ukuran kristal besi magnetit?
4. Bagaimana hasil homogenitas (Keseragaman) reduksi magnetit?
III. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui hasil reduksi hematit menjadi magnetit berdasarkan analisis
XRD.
2. Mengetahui hasil kristalinitas reduksi magnetit.
3. Mengetahui hasil ukuran kristal besi magnetit.
4. Mengetahui hasil homogenitas (keseragaman) reduksi magnetit.
IV. MANFAAT PENELITIAN
Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah memberikan
informasi tentang proses reduksi besi hematite (Fe2O3) menjadi magnetite (Fe3O4)
dengan reduktor karbon arang aktif enceng gondok.
V. TINJAUAN PUSTAKA
(Rosenqvist 1983).
Reduksi langsung dengan reduktor gas memerlukan bahan baku bijih besi dengan
kadar Fe yang relatif tinggi (60-67%) dan pengotor serendah mungkin (P ≤
0,017%, S ≤ 0,011%) baik dalam bentuk pelet ataupun batuan bisa.
5.5 Karakterisasi Oksida Besi
5.5.1. X-Ray Diffraction (XRD)
X-ray Diffraction (XRD) atau difraksi sinar-X adalah suatu teknik analisis
yang biasa digunakan untuk mengetahui struktur kristal suatu material. Teknik ini
digunakan untuk mengidentifikasi suatu material berdasarkan fasa kristalin dalam
material dengan cara menentukan parameter kisi serta untuk mendapatkan ukuran
partikel suatu material. Difraksi sinar-X terjadi pada hamburan elastis foton-foton
sinar-X oleh atom dalam sebuah kisi periodik. Hamburan monokromatis sinar-X
dalam fasa tersebut memberikan interferensi yang konstruktif (Ismunandar, 2006).
Karakterisasi dengan metode difraksi sinar-X menggunakan sumber radiasi
sinar-X yang merupakan radiasi elektromagnetik dengan panjang gelombang
sekitar 1 Å (10-10 m). Sinar-X berada di antara sinar-γ dan ultraviolet. Sinar-X
dihasilkan dari partikel bermuatan yang berenergi tinggi, seperti elektron yang
dipercepat pada 30.000 volt mengenai suatu materi. Elektron diperlambat atau
dihentikan dengan suatu tumbukan hingga sebagian akan kehilangan energi yang
akan dikonversikan menjadi radiasi elektromagnetik (West, 1989).
Berkas sinar-X yang jatuh pada sebuah kristal akan dihamburkan ke segala
arah, tetapi karena keteraturan letak atom-atom pada arah tertentu gelombang
hamburan itu akan berinterferensi konstruktif, sedangkan yang lain akan
berinterferensi destruktif (Beiser, 1992). Sinar-X dimunculkan dari sebuah tabung
dengan dua buah elektroda. Elektron dari katoda dipercepat oleh medan listrik
bertegangan tinggi menuju ke anoda (target). Ketika sampai di anoda, elektron
mengalami perlambatan dan kehilangan energinya. Energi elektron sebagian
berubah menjadi sinar-X dan sebagian lainnya didisipasikan pada logam target
berupa termal (Darminto, 2004). Pada waktu material dikenai sinar-X, maka
intensitas sinar yang ditransmisikan akan lebih rendah dari intensitas sinar datang.
Hal ini disebabkan adanya penyerapan oleh material dan juga penghamburan oleh
atom-atom dalam material tersebut. Berkas sinar-X yang dihamburkan tersebut
ada yang saling menghilangkan karena fasanya yang berbeda dan ada juga yang
saling menguatkan karena fasanya sama. Berkas sinar-X yang saling menguatkan
itulah yang disebut sebagai berkas difraksi (interferensi konstruktif). Interferensi
konstruktif ini merupakan peristiwa difraksi seperti pada Gambar 3.
Sampel besi dari hasil penelitian Wulandari (2019) dan Fitriana (2019)
ditimbang sebanyak 5 gram untuk analisis XRF (X-Ray Fluorescence) yang
dilakukan di Laboratorium Mineral dan Material Maju FMIPA Universitas Negeri
Malang untuk mengetahui komposisi dan kadar mineral yang terkandung dalam
sampel besi tersebut. Preparasi arang dilakukan dengan cara diremukkan arang
menggunakan mortar dan dihancurkan sampai menjadi halus. Selanjutnya arang
diayak menggunakan ayakan lolos 200 mesh untuk mendapatkan partikel lebih
kecil.
6.4.2. Reduksi Bijih Besi
Sampel besi hematit dicampurkan dengan arang yang telah dihancurkan ke
dalam cawan alumina dengan perbandingan 1:1, kemudian diaduk sampai
homogen selama 1 jam dengan batang pengaduk. Masukkan campuran bahan
tersebut pada cawan alumina ke dalam tanur pada suhu 700 oC, lalu dilakukan lagi
untuk suhu 750oC, 800oC selama 60 menit. Kemudian didinginkan sampai suhu
ruang dan sampel akan diseparasi dengan menggunakan magnet batang.
Selanjutnya dilakukan pencucian sampel dengan aqua DM untuk menghilangkan
sisa karbon arang yang masih menempel, setelah itu dilanjutkan dengan
pemanasan ada suhu 110oC untuk mengeringkan air. Sampel setelah kering
kemudian dilakukan analisis data.
6.5 Analisis Data
VII. Kristal oksida besi yang telah diperoleh dikarakterisasi menggunakan X-ray
Diffraction (XRD) dari sumber sinar logam Cu-Kα1 dengan panjang
gelombang 1,540598 Å. Karakterisasi senyawa oksida besi magnetit (Fe3O4)
dilakukan dengan X-ray Diffraction Powder dengan jangkauan pengukuran
sudut 2θ. Data hasil X-ray Diffraction (difraktogram) yang didapatkan
kemudian dibandingkan dengan data base Powder Difraction File (PDF)
yang dikeluarkan oleh JCPDS (Joint Committee for Powder Diffraction
Standard) menggunakan software search Match agar senyawa oksida besi
magnetit (Fe3O4) yang telah terbentuk dapat diketahui strukturnya.
Kemudian untuk menentukan ukuran partikel dapat menggunakan
persamaan Debye scherrer.
VIII. DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M., & Khairurrijal. 2009. Karakterisasi nanomaterial. Jurnal nanosains
dan Nanoteknologi. 2 : 1-9.
Achmad, & Hiskia. 2001. Kimia Unsur dan Radio Kimia. PT. Citra Aditya Bakti.
Bandung.
Bayuwati, D., & S. Bambang. 2002. Karakterisasi Difraksi Sinar-X dari Lapisan
Epiteksi Berbasis GaInAsP/GaAs untuk Divais Fotonik. Jurnal Fisika
Himpunan Fisika Indonesia. A5: 0579(1)-0579(5).
Beiser, A. 1992. Konsep Fisika Modern Edisi ke-4. Terjemahan The Houw Liong.
Erlangga, Jakarta.
Callister, Jr., & W.D. Rethwisch. 2009. Materials Science and Engineering An
Introduction 8th. John Wiley & Sons, New York.
Darminto. 2004. Pengantar Kristalografi dan Difraksi Kristal. Workshop Difraksi
Sinar-X, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Terhadap Masyarakat. Institut
Teknologi Sepuluh November, Surabaya.
Fatmaliana, A., A. Rahwanto, & Z. Jalil. 2016. Synthesis And Characterization Of
Hematite (Fe2O3) Extracted From Iron Ore By Precipitation Method. Jurnal
Natural. 16: 1-3.
Fitriana, K. 2019. Karakteristik Senyawa Hematit (α-Fe2O3) Dari Bijih Besi Desa
Pemalongan, Kecamatan Bajuin, Kabupaten Tanah Laut Melalui Sintesis
Dengan Metode Presipitasi Pada Berbagai Temperatur Kalsinasi. Skripsi.
Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lambung
Mangkurat, Banjarbaru.
Gunawan, H., & A. Budiman. 2014. Penentuan Persentase Dan Nilai
Suseptibilitas Mineral Magnetik Bijih Besi Yang Berasal Dari Tiga Lokasi
Tambang Bijih Besi Di Sumatera Barat. Jurnal Fisika Unand. 3: 249-250.
Handayani, M., S. Oediyani, & A. Milandia. 2016. Pengaruh Temperatur Dan
Jenis Reduktor Terhadap Perolehan Persen Metalisasi Hasil Reduksi Bijih
Besi Dari Kalimantan. Jurnal Furnace.2(1).
Husain, S., E. Suarso, A. Maddu, & Sugianto. 2016. Karakterisasi Kandungan
Bijih Besi Alam Sebagai Bahan Baku Magnetit Nanopartikel, hal. 19-21.
Simposium Fisika Nasional 2016 (SFN XXIX)., Makassar.
Ishlah, T. 2009. Potensi Bijih Besi Indonesia Dalam Kerangka Pengembangan
Klaster Industri Baja. Buletin Sumber Daya Geologi.
Ismunandar. 2006. Padatan Oksida Logam: Struktur, Sintesis dan Sifat-sifatnya.
ITB, Bandung.
Isnugroho, K., & D.C. Birawidha. 2015. Production of Wood Charcoal as Bio-
reductor in Blast Furnace. Teknologi Indonesia. 38(3): 126-134.
Kartika, D.L. & S. Pratapa. 2014. Sintesis Fe2O3 dari Pasir Besi Dengan Metode
Logan Terlarut Asam Klorida. Jurnal Sains dan Seni Pomits. 3(2): 2337-
3520.
Karyasa, I. W. 2013. Studi X-Ray Fluoresence Dan X-Ray Diffraction Terhadap
Bidang Belah Batu Pipih Asal Tejakula. Jurnal Sains dan Teknologi. 2: 205.
Kosidahrta, R., S.C. Wahyono, & E. Suarso. 2016. Identifikasi Bijih Besi
Menggunakan Metode Geolistrik Schlumberger di Kabupaten Tanah Laut.
Jurnal Fisika FLUX. 13: 133-134.
Lovel, R.R., K.R. Vining, & M. Dell'amico. 2009. The influence of fuel reactivity
on iron ore sintering. ISIJ Inter. 49 :195-202.
Lu, L., M. Adam, M. Kilburn, S. Hapugoda, M. Somerville, S. Jahanshahi, & J.G.
Mathieson. 2013. Substitution of charcoal for coke breeze in iron ore
sintering. ISIJ Inter. 53 :1607-1616.
McKendry, P. 2002. Energy production from biomass (part 1) : overview of
biomass. Biosource Technology. 83(1): 37-46.
Ningrum, N.S. & H. Prijono. 2003. Transformasi Katalis Besi menjadi Pyrrhotite
Pada Proses Pencairan Batubara. Prosiding Kolokium Energi dan Sumber
Daya Mineral. Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara, Departemen
Energi dan Sumber Mineral, Indonesia.
Ningrum, N.S., M. Huda, & I.E.R. Hutabarat. 2010. Kajian Pemanfaatan Ampas
Pengolahan Bijih Besi Tembaga PT. Freeport Indonesia sebagai Katalis
pada Proses Pencairan Batubara. Jurnal Teknologi Mineral dan Batubara.
06(1) : 1-12.
Norgate, T, N. Haque, M. Somerville, & S. Jahashahi. 2012. Biomass as a source
of renewable carbon for iron and steelmaking. ISIJ Inter. 52(8): 1472-1481.
Pangestu, I.A., S.T. Atmadja, & Y. Umardani. 2015. Reduksi Pasir Besi Pantai
Sigandu Kabupaten Batang Menjadi Sponge Iron Menggunakan Burner Gas
Asetilin. Jurnal Teknik Mesin S-1. 3 : 102-103.
Pardiarto, B. 2009. Tinjauan Rencana Pembangunan Industri Besi Baja Di
Kalimantan Selatan. Buletin Sumber Daya Geologi.
Pelton, D., & Christopher W. 2000. Direct Reduced Iron Technology and
Economics of Productions and Use. Warrendale : The Iron and Steel
Society.
Prabowo, H. 2011. Bijih Besi, hal. 2-17. Makalah Jurusan Teknik Pertambangan
Fakultas Teknik Universitas Negeri Padang. Sumatera Barat.
Prasetyo, A.B., P. Prasetiyo, & I. Matahari. 2014. Pembuatan α-Fe 2O3 Dari Hasil
Pengolahan Bijih Besi Primer Jenis Hematit Untuk Bahan Baku Baterai
Lithium. Majalah Metalurgi. 5: 179-189.