Laporan Elektif Rosdiana Saragih

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 63

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN

GANGGUAN SISTEM PERKEMIHAN : GAGAL


GINJAL KRONIK DENGAN TERAPI
HEMODIALISA DAN PEMBERIAN
PENKES PEMBATASAN CAIRAN

Elektif

Oleh :

ROSDIANA SARAGIH
NIM. 20040064

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KESEHATAN UNIVERSITAS AUFA ROYHAN
DI KOTA PADANGSIDIMPUAN
2021
LAPORAN ELEKTIF
KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN


GANGGUAN SISTEM PERKEMIHAN : GAGAL
GINJAL KRONIK DENGAN TERAPI
HEMODIALISA DAN PEMBERIAN
PENKES PEMBATASAN CAIRAN

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh


Gelar Profesi Ners

Disusun Oleh :

ROSDIANA SARAGIH
NIM. 20040064

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KESEHATAN UNIVERSITAS AUFA ROYHAN
DI KOTA PADANGSIDIMPUAN
2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas

berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah akhir (elektif)

dengan judul “Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem

Perkemihan : Gagal Ginjal Kronik Dengan Terapi Hemodialisa dan Pemberian

Penkes Pembatasan Cairan”, sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Profesi

Ners di Program Studi Pendidikan Ners Program Profesi Fakultas Kesehatan

Universitas Aufa Royhan di Kota Padangsidimpuan.

Dalam proses penyusunan karya ilmiah ini penulis banyak mendapat

bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini

penulis mengucapkan ucapan terimakasih dan penghargaan yang setinggi-

tingginya kepada yang terhormat :

1. Dr. Anto, SKM, M.Kes, MM, selaku Rektor Universitas Aufa Royhan di

Kota Padangsidimpuan.

2. Arinil Hidayah, SKM, M.Kes, selaku Dekan Fakultas Kesehatan

Universitas Aufa Royhan di Kota Padangsidimpuan.

3. Ns. Nanda Suryani Sagala, S.Kep, MKM, selaku Ketua Pogram Studi

Pendidikan Ners Program Profesi Fakultas Kesehatan Universitas Aufa

Royhan di Kota Padangsidimpuan.

4. Ns. Sukhri Herianto Ritonga, M.Kep, selaku pembimbing yang telah

meluangkan waktu untuk membimbing dalam menyelesaikan karya tulis

ilmiah ini.

5. Klien yang bersedia menjadi responden untuk studi kasus dalam karya

ilmiah ini.

iii
6. Seluruh dosen dan staf Universitas Aufa Royhan di Kota

Padangsidimpuan.

7. Orang tua saya, kakak, adik dan seluruh keluarga tercinta yang turut

membantu atas dukungan, semangat, perhatian, pengertian dan nasehat

yang tiada henti dan sangat berarti bagi saya sehingga karya tulis ilmiah

ini dapat diselesaikan.

8. Sahabat-sahabatku tercinta (yang tidak dapat kusebutkan satu per satu

namanya) atas dukungan, bantuan, dan kesediaan sebagai tempat berkeluh

kesah dan berbagi ilmu.

9. Berbagai pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan karya tulis

ilmiah ini baik langsung maupun tidak langsung.

Penulis berharap agar karya tulis ilmiah ini dapat memberikan manfaat

bagi semua pihak, terutama bagi dunia keperawatan. Adapun kritik dan saran yang

bersifat membangun sangat penulis butuhkan dalam rangka perbaikan di masa

yang akan datang.

Padangsidimpuan, 29 Oktober 2021

Penulis

iv
v
DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL .................................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................. ii
IDENTITAS PENULIS ......................................................................... iii
KATA PENGANTAR ............................................................................ iv
DAFTAR ISI ........................................................................................... vi
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................... 4
1.3 Tujuan .............................................................................. 5
1.3.1 Tujuan Umum ......................................................... 5
1.3.2 Tujuan Khusus ........................................................ 5
1.4 Manfaat ............................................................................ 6
1.4.1 Manfaat Teoritis ..................................................... 6
1.4.2 Manfaat Praktikum ................................................. 6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Konsep Gagal Ginjal Kronik .......................................... 7
2.1.1 Definisi ................................................................. 7
2.1.2 Etiologi ................................................................. 7
2.1.3 Patofisiologi .......................................................... 8
2.1.4 Klasifikasi ............................................................. 10
2.1.5 Manifestasi Klinik ................................................. 11
2.1.6 Penatalaksanaan .................................................... 12
2.1.7 Pemeriksaan Diagnostik ......................................... 15
2.1.8 Pencegahan ............................................................ 17
2.2 Konsep Cairan ................................................................. 18
2.2.1 Kebutuhan Cairan .................................................. 18
2.2.2 Pengaturan Volume Cairan Tubuh ........................ 19
2.2.3 Mengukur Intake dan Output Cairan ..................... 21
2.2.4 Pembatasan Cairan ................................................ 22
2.3 Konsep Hemodialisa ...................................................... 23
2.3.1 Pengertian Hemodialisa ........................................ 23
2.3.2 Prinsip-prinsip yang Mendasari Hemodialisa ....... 24
2.3 Konsep Asuhan Keperawatan .......................................... 25
2.3.1 Pengkajian ............................................................. 25
2.3.2 Pathway ................................................................. 30
2.3.3 Diagnosa Keperawatan .......................................... 31
2.3.4 Diagnosa, Tujuan, Kriteria Hasil dan Intervensi ... 31

BAB 3 TINJAUAN KASUS


3.1 Pengkajian ....................................................................... 35
3.2 Analisa Data ..................................................................... 40
3.3 Diagnosa Keperawatan ..................................................... 41
3.4 Tujuan, Kriteria Hasil dan Intervensi ............................... 41

vi
3.5 Implementasi dan Evaluasi ............................................... 42
3.6 Catatan Perkembangan ..................................................... 43

BAB 4 PEMBAHASAN ..................................................................... 45

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN


5.1 Kesimpulan ...................................................................... 49
5.2 Saran ................................................................................. 50

DAFTAR PUSTAKA

DOKUMENTASI KEGIATAN

vii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

PTM (Penyakit Tidak Menular) adalah penyakit yang cara penularannya

tidak ditularkan dari manusia kemanusia, dan perkembangan penyakit ini tidak

menular, cenderung lambat dan berdurasi panjang. Penyakit tidak menular antara

lain adalah asma, penyakit paru obstruksi kronis (PPOK), kanker, stroke, batu

ginjal, penyakit sendi, jantung koroner, hipertiroid, hipertensi dan gagal ginjal

kronis (Riskesdas, 2018). Salah satu Penyakit Tidak Menular (PTM) yang

memiliki angka kesakitan cukup tinggi yaitu Gagal Ginjal Kronis (GGK)

(Permatasari & Maliya, 2019).

Menurut World Health Organization (WHO), penyakit gagal ginjal kronis

berkontribusi pada beban penyakit dunia dengan angka kematian sebesar 850.000

jiwa per tahun (Pongsibidang, 2016). Hasil penelitian Global Burden of Disease

tahun 2010, penyakit gagal ginjal kronis merupakan penyebab kematian peringkat

ke-27 di dunia, tahun 1990 dan meningkat menjadi urutan ke-18 pada tahun 2010

(Kemenkes RI, 2013).

Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 dan 2018 menunjukan bahwa

prevalensi penyakit gagal ginjal kronis di Indonesia ≥ 15 tahun berdasarkan

diagnosis dokter pada tahun 2013 adalah 0,2% dan terjadi peningkatan pada tahun

2018 sebesar 0,38%. Prevelensi Kejadian Gagal Ginjal kronis di Indonesia pada

tahun 2013 adalah 2,0 % permil dan pada tahun 2018 meningkat menjadi 3,8%

permil (Riskesdas, 2018). Hal ini membuktikan bahwa penyakit ini semakin

meningkat disebabkan oleh beberapa penyakit penyerta sebelumnya diantaranya

1
2

adalah hipertensi sebesar 36% dan nefropati diabetika 28% melitus yang

merupakan kasus tersering di Indonesia (PERNEFRI, 2018). Jumlah pasien yang

baru yang menjalani hemodialisis dari 2017-2018 mengalami kenaikan 2 kali lipat

yaitu dari 30.831 menjadi 66.433 pasien, hal ini berdampak pada jumlah total

seluruh pasien aktif hemodialisis sampai tahun 2018 berjumlah 132.142 pasien

(PERNEFRI, 2018).

Berdasarkan data World Health Organization (WHO) menghasilkan

penderita gagal ginjal baik akut maupun kronik mencapai 50%, sedangkan yang

mendapatkan pengobatan hanya 25% dan 12,5% yang tidak mendapat pengobatan

(Hutagaol, 2017). Prevelensi tertinggi di Sulawesi Tengah sebesar 0,5%, diikuti

Aceh, Gorontalo dan Sulawesi Utara masing-masing 0,4%. Sementara Nusa

Tenggara Timur, Sulawesi Selatan Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI

Yogyakarta, dan Jawa Timur masing- masing 0,3%. Provinsi Sumatra Utara

sebesar 0,2% (Hutagaol, 2017). Di Jawa Timur, menurut data (Riskesdas,2018)

Prevalensi penyakit gagal ginjal tertinggi berada di Kalimantan Utara sebesar

6,4% sedangkan Jawa Timur sebesar 1,9% sedangkan untuk prevalensi

berdasarkan umur tertinggi berumur 65-74 tahun sebesar 8,23%. Berdasarkan data

Rumah Sakit Umum Sipirok tahun 2021 pasien yang mengalami gagal ginjal

kronik dan menjalankan terapi hemodialisa cukup banyak, yaitu sebanak 34 orang.

Penyakit gagal ginjal kronis yang sudah mencapai stadium akhir dan ginjal

tidak berfungsi lagi, diperlukan cara untuk membuang zat-zat racun dari tubuh

dengan terapi pengganti ginjal yaitu dengan cuci darah (Hemodialisis), Continous

Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD), dan pencangkokan (Transplantasi)

ginjal. Terapi pengganti yang paling banyak digunakan di Indonesia adalah


3

hemodialisis. Hemodialisis adalah salah satu terapi pengganti ginjal yang

menggunakan alat khusus dengan tujuan mengeluarkan toksin uremik dan

mengatur cairan akibat penurunan laju filtrasi glomerulus dengan mengambil alih

fungsi ginjal yang menurun (Djarwoto, 2018). Faktor pendukung dalam

keberhasilan hemodialisa antara lain membatasi konsumsi cairan dan juga diet

rendah kalium.

Indikasi untuk dialisis meliputi; kegagalan penanganan konservatif, mual,

muntah, nafsu makan hilang, kadar ureum dan kreatinin tinggi, hiperkalemia,

asidosis berat, kelebihan cairan, dan perikarditis (Cahyaningsih, 2014). Asupan

cairan pada penderita gagal ginjal yang melakukan terapi hemodialisis asupan

cairan dan natrium adalah salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam

penatalaksanaan gagal ginjal untuk mencegah komplikasi akibat kelebihan volume

cairan seperti edema, hipertensi, dan penyakit kardiovaskular (Sudoyo et al.,

2009).

Pada pasien gagal ginjal kronik diberikan pengaturan diet, pembatasan

protein karena terjadinya disfusi ginjal atau terjadinya uremia sehingga terjadinya

penumpukan ureum didalam darah, sehingga ginjal tidak mampu mengeluarkan

serta menjadikannya semakin tinggi (Rustiana, 2015). Selain itu, pasien gagal

ginjal kronik diberikan diet rendah kalium, karena pada pasien GGK biasanya

hiperkalemia sehingga mengakibatkan distrimia (henti jantung), ammonia ginjal

menurun, eksresi hydrogen menurun dan asidosis (Nurmadilla, 2015)

Pentingnya menjaga cairan adalah untuk menjaga aliran darah ke ginjal

juga meningkat yang juga meningkatkan laju filtrasi sehingga produksi urin juga

bertambah banyak (Hardisman 2015). Selain itu tanpa adanya pembatasan cairan,
4

akan mengakibatkan cairan menumpuk dan akan menimbulkan edema diseluruh

tubuh, kondisi ini akan membuat tekanan darah meningkat dan memperberat kerja

jantung. Penumpukan cairan juga akan masuk ke paru-paru sehingga membuat

pasien mengalami sesak napas, secara tidak langsung berat badan pasien juga

mengalami peningkatan berat badan yang cukup tajam (Ratnawati, 2016).

Ketidakpatuhan menjadi masalah utama pada pasien yang menjalani terapi

hemodialisa. Secara keseluruhan, bahwa sebanyak 77,1% tidak patuh dalam

pembatasan cairan (Fitriani, Krisnansari, & Winarsi, 2017). Sedangkan Wulan &

Emaliyawati menyatakan bahwa lebih banyak yang tidak patuh terhadap

pembatasan cairan dan diet rendah garam (natrium) dibandingkan dengan pasien

yang patuh (Wulan & Emaliyawati, 2018).

Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan

karya tulis ilmiah tentang asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem

perkemihan : gagal ginjal kronik dengan terapi hemodialisa dan pemberian penkes

pembatasan cairan. Implementasi yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan

pengetahuan penderita bisa menghasilkan outcme untuk diterapkan bagi penderita

gagal ginjal kronik..

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari penulisan karya ilmiah ini yaitu :

bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem perkemihan :

gagal ginjal kronik dengan terapi hemodialisa dan pemberian penkes pembatasan

cairan ?
5

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk melaksanakan asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan

sistem perkemihan : gagal ginjal kronik dengan terapi hemodialisa pemberian

penkes pembatasan cairan.

1.3.2 Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus dari penulisan karya ilmiah ini adalah :

1. Mengetahui konsep dasar penyakit gagal ginjal kronik

2. Mengetahui konsep dasar keperawatan tentang gangguan sistem perkemihan :

gagal ginjal kronik.

3. Melakukan pengkajian pada klien dengan gangguan sistem perkemihan : gagal

ginjal kronik.

4. Melakukan analisa data dan mengangkat diagnosa keperawatan pada klien

dengan gangguan sistem perkemihan : gagal ginjal kronik.

5. Menyusun perencanaan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem

perkemihan : gagal ginjal kronik.

6. Melakukan tindakan/implementasi keperawatan pada klien dengan gangguan

sistem perkemihan : gagal ginjal kronik melalui terapi hemodialisa dan

pemberian penkes pembatasan cairan

7. Melakukan evaluasi keperawatan pada klien dengan gangguan sistem

perkemihan : gagal ginjal kronik.


6

1.4 Manfaat

1.4.1 Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis studi kasus ini adalah untuk pengembangan ilmu

keperawatan terkait asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan sistem

perkemihan : gagal ginjal kronik melalui terapi hemodialisa dan pemberian penkes

pembatasan cairan.

1.4.2 Manfaat Praktikum

Hasil penelitian ini dapat menjai tambahan referensi bagi mahasiswa dan

pengajar, dalam meningkakan ilmu pengetahuan tentang proses keperawatan pada

kasus gagal ginjal kronik, juga dapat meningkatkan mutu pelayanan pada kasus

gagal ginjal kronik dan bisa memperhatikan kondisi serta kebutuhan pasien

dengan implementasi berdasarkan evidence based nursing practice yaitu dengan

pembatasan cairan. Serta dapat digunakan sebagai dasar untuk penelitian

selanjutnya dengan masalah keperawatan yang sama, dari tema yang berbeda

dapat meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Gagal Ginjal Kronik (GGK)

2.1.1 Definisi

Gagal ginjal merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai dengan

penurunan fungsi ginjal yang ireversibel pada suatu derajat dimana memerlukan

terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis 14 atau transplantasi ginjal.

Salah satu sindrom klinik yang terjadi pada gagal ginjal adalah uremia. Hal ini

disebabkan karena menurunnya fungsi ginjal (Rahman,dkk, 2013).

Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah penurunan faal ginjal yang menahun

mengarah pada kerusakan jaringan ginjal yang tidak reversible dan progresif.

Adapun GGT (Gagal Ginjal Terminal) adalah fase terakhir dari Gagal Ginjal

Kronik (GGK) dengan faal ginjal sudah sangat buruk. Kedua hal tersebut bisa

dibedakan dengan tes klirens kreatinin (Irwan, 2016).

Gagal ginjal kronik adalah suatu derajat yang memerlukan terapi

pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Uremia

adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat

penurunan fungsi ginjal pada gagal ginjal kronik (Suwitra, 2014).

2.1.2 Etiologi

Diabetes mellitus merupakan penyebab utama GGK pada pasien yang

memulai terapi penggantian ginjal. Penyebab utama kedua adalah hipertensi,

diikuti oleh glomerulonefritis dan pielonefritis, gangguan polikistik, herediter atau

bawaan dan kanker ginjal (Smeltzer et al., 2012). Penyebab tersering penyakit

GGK yang membutuhkan terapi penggantian ginjal adalah diabetes mellitus 40%,

7
8

hipertensi 25%, glomerulonefritis 15%, penyakit ginjal polikistik 4%, urologis

6%, tidak diketahui dan lain – lain (O’callaghan, 2009).

Penyebab lain dikelompokkan sebagai berikut penyakit ginjal penyakit

pada saringan (glumorelunefritis), infeksi kuman (pyelonefritis, ureteritis), batu

ginjal (nefrolitiasis), kista di ginjal (polcystis kidney), trauma langsung pada

ginjal, keganasan pada ginjal, sumbatan (batu, tumor, penyempitan/ striktur)

penyakit umum diluar ginjal (penyakit sistemik (diabetes mellitus, hipertensi,

kolesterol tinggi), dyslipidemia, SLE, infeksi di badan (TBC paru, sifilis, malaria,

hepatitis), preeklampsi, obat – obatan, kehilangan banyak cairan yang mendadak

(luka bakar) (Muttaqin & Sari, 2011)

2.1.3 Patofisiologi

Patofisiologi GGK beragam, bergantung pada proses penyakit penyebab.

Tanpa melihat penyebab awal, glomeruloskerosis dan inflamasi interstisial dan

fibrosis adalah cirri khas GGK dan menyebabkan penurunan fungsi ginjal (Nuari

&Widayati, 2017). Seluruh unit nefron secara bertahap hancur. Pada tahap awal,

saat nefron hilang, nefron fungsional yang masih ada mengalami hipertrofi. Aliran

kapiler glomerulus dan tekanan meningkat dalam nefron ini dan lebih banyak

pertikel zat larut disaring untuk mengkompensasi massa ginjal zat yang hilang.

Kebutuhan yang meningkat ini menyebabkan nefron yang masih ada mengalami

sklerosis (jaringan parut) glomerulus, menimbulkan kerusakan nefron pada

akhirnya. Proteinuria akibat kerusakan glomelurus diduga menjadi penyebab

cedera tubulus. Proses hilangya fungsi nefron yang kontinu ini dapat terus

berlangsung meskipun setelah proses penyakit awal teratasi (Nuari & Widayati,

2017).
9

Perjalanan GGK beragam, berkembang selama periode bulanan hingga

tahunan. Pada tahap awal, seringkali disebut penurunan cadangan ginjal, nefron

yang tidak terkena mengkompensasi nefron yang hilang. GFR sedikit turun dan

pada pasien asimtomatik disertasi BUN dan kadar kreatinin serum normal. Ketika

penyakit berkembang dan GFR (Glomelulaar Filtration Rate) turun lebih lanjut,

hipertensi dan beberapa manifestasi insufisiensi ginjal dapat muncul. Serangan

berikutnya pada ginjal ditahap ini (misalnya infeksi, dehidrasi, atau obstruksi

saluran kemih) dapat menurunkan fungsi dan memicu awitan gagal ginjal atau

uremia nyata lebih lanjut. Kadar serum kreatinin dan BUN naik secara tajam,

pasien menjadi oguria, dan manifestasi uremia muncul. Pada (ESRD), tahap akhir

GGK, GFR kurang dari 10% normal dan tetapi penggantian ginjal diperlukan

untuk mempertahankan hidup (LeMone, dkk, 2015).

Secara ringkas patofisiologi gagal ginjal kronis dimulai pada fase awal

gangguan keseimbangan cairan, penanganan gram, serta penimbunan zat-zat sisa

masih bervariasi yang bergantung pada bagian ginjal yang sakit. Sampai fungsi

ginjal turun kurang dari 25% normal, manifestasi kinis gagal ginjal kronik

mungkin minimal karena nefronnefron yang sehat mengambil alih fungsi nefron

yang rusak. Nefron yang tersisa meningkatkan kecepatan filtrasi, reabsorpsi, dan

sekresinya, serta mengalami hipertrofi (Muttaqin & Sari, 2011).

Seiring dengan makin banyaknya nefron yang mati, maka nefron yang

tersisa menghadapi tugas yang semakin berat sehingga nefron-nerfon yang ada

untuk meningkatkan reabsorpsi protein. Pada saat penyusutan progresif nefron-

nefron, terjadi pembentukan jaringan parut dan aliran darah ginjal akan berkurang.

Pelepasan renin akan meningkat bersama dengan kelebihan beban cairan sehingga
10

dapat menyebabkan hipertensi. Hipertensi akan memperburuk kondisi gagal

ginjal, dengan tujuan agar terjadi peningkatan filtrasi protein-protein plasma.

Kondisi akan bertambah buruk dengan semakin banyak terbentuk jaringan parut

sebagai respon dari kerusakan nefron dan secara progresif fungsi ginjal menurun

secara derastis dengan manifestasi penumpukan metabolit-metabolit yang

seharusnya dikeluarkan dari sirkulasi sehingga akan terjadi sindrom uremia berat

yang memberikan banyak manifestasi pada setiap organ tubuh (Muttaqin & Sari,

2011).

2.1.4 Klasifikasi

Menurut (Smeltzer et al., 2012) stadium GGK didasarkan pada laju filtrasi

glomerulus (LFG). LFG normal adalah 125 mL/min/1.73 m2 :

1. Stadium 1 LFG >90 mL/min/1.73 m2 , kerusakan ginjal dengan LFG normal

atau meningkat.

2. Stadium 2 LFG = 60 – 89 mL/min/1.73 m2 , terjadi penurunan ringan pada

LFG.

3. Stadium 3 LFG = 30 – 59 mL/min/1.73 m2 , terjadi penurunan sedang pada

LFG.

4. Stadium 4 LFG = 15 – 29 mL/min/1.73 m2 , terjadi penurunan berat pada LFG

5. Stadium 5 LFG < 15 mL/min/1.73 m2 , gagal ginjal tahap akhir terjadi ketika

ginjal tidak dapat membuang sisa metabolisme tubuh atau menjalankan fungsi

pengaturan dan memerlukan terapi penggantian ginjal untuk mempertahankan

hidup.
11

Menurut (Suharyanto & Madjid, 2009), gagal ginjal kronik (GGK) selalu

berkaitan dengan penurunan progresif LFG. Stadium – stadium GGK didasarkan

pada tingkat LFG yang yang tersisa dan meliputi hal – hal berikut :

1. Penurunan cadangan ginjal, yang terjadi apabila LFG turun 50% dari normal.

2. Insufisiensi ginjal, yang terjadi apabila LFG turun 20 – 35% dari rentang

normal. Nefron – nefron yang tersisa sangat rentan mengalami kerusakan

sendiri karena beratnya beban yang mereka terima.

3. Gagal ginjal, yang terjadi apabila LFG kurang 20% dari rentang normal.

Semakin banyak nefron yang mati.

4. Gagal ginjal terminal, yang terjadi apabila LFG kurang 5% dari rentang

normal. Hanya sedikit nefron fungsional yang tersisa. Pada seluruh ginjal

ditemukan jaringan parut dan atrofi tubulus.

2.1.5 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada pasien GGK berupa peningkatan kadar kreatinin

serum menunjukkan penyakit ginjal yang mendasarinya, ketika kadar kreatinin

meningkat, gejala penyakit GGK dimulai. Anemia, karena penurunan produksi

erythropoietin oleh ginjal. Metabolisme metabolik dan kelainan dalam kalsium

dan fosfor menandakan perkembangan gagal ginjal konik (GGK). Retensi cairan,

dibuktikan dengan edema dan gagal jantung kongestif, berkembang. Ketika

penyakit berkembang, kelainan pada elektrolit terjadi, gagal jantung memburuk,

dan hipertensi menjadi lebih sulit untuk dikendalikan (Smeltzer et al., 2012). Pada

pasien GGK akan terjadi rangkaian perubahan. Bila LFG menurun 5 – 10% dari

keadaan normal dan terus mendekati nol, maka pasien akan menderita sindrom

uremik, yaitu suatu kumpulan gejala yang diakibatkan atau berkaitan dengan
12

retensi metabolik nitrogen akibat gagal ginjal. Dua kelompok gejala klinis dapat

terjadi pada syndrome uremik, yaitu: gangguan fungsi pengaturan dan ekskresi

(kelainan volume, cairan dan elektrolit, ketidakseimbangan asam basa, retensi

metabolik nitrogen serta metabolic lainnya, serta anemia akibat defisiensi sekresi

ginjal (eritropoitin) dan gabungan kelainan kardiovaskuler, neuromuskuler,

saluran cerna, dan kelainan lainnya (Suharyanto & Madjid, 2009).

Pasien GGK stadium 1 sampai 3 (dengan GFR ≥ 30 mL/menit/1,73 m2 )

biasanya memiliki gejala asimtomatik. Pada stadium-stadium ini masih belum

ditemukan gangguan elektrolit dan metabolik. Sebaliknya, gejala-gejala tersebut

dapat ditemukan pada GGK stadium 4 dan 5 (dengan GFR < 30 mL/menit/1,73

m2) bersamaan dengan poliuria, hematuria, dan edema. Selain itu, ditemukan juga

uremia yang ditandai dengan peningkatan limbah nitrogen di dalam darah,

gangguan keseimbangan cairan elektrolit dan asam basa dalam tubuh yang pada

keadaan lanjut akanmenyebabkan gangguan fungsi pada semua sistem organ

tubuh (Rahman,dkk, 2013).

2.1.6 Penatalaksanaan

a) Kepatuhan diet. Kepatuhan diet merupakan satu penatalaksanaan untuk

mempertahankan fungsi ginjal secara terus menerus dengan prinsip rendah

protein, rendah garam, rendah kalium dimana pasien harus meluangkan waktu

menjalani pengobatan yang dibutuhkan (Sumigar, Rompas, & Pondang,

2015).

b) Terapi konservatif, tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah

memburuknya faal ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan


13

akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal

dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit (Husna, 2010).

c) Terapi Pengganti Ginjal, terapi pengganti ginjal, dilakukan pada penyakit

ginjal kronik stadium 5, yaitu pada GFR kurang dari 15 mL/menit. Terapi

tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan transplantasi ginjal

(Husna, 2010)

Manajemen medis pasien GGK termasuk pengobatan penyebab yang

mendasari. Penilaian klinis dan laboratorium secara teratur penting untuk menjaga

tekanan darah dibawah 130/80 mmHg. Manajemen medis juga termasuk rujukan

dini untuk memulai terapi penggantian ginjal seperti yang ditunjukkan oleh status

ginjal pasien. Pengurangan komplikasi dicapai dengan mengendalikan faktor

resiko kardiovaskular, mengobati hiperglikemia, mengobati anemia, berhenti

merokok, penurunan berat badan, program olahraga sesuai kebutuhan dan

pengurangan asupan garam serta alcohol (Smeltzer et al., 2012).

Penatalaksanaan gagal ginjal kronik (GGK) dibagi menjadi dua tahap yaitu

penanganan konservatif dan terapi penggantian ginjal. Penanganan GGK secara

konservatif terdiri dari tindakan untuk menghambat berkembangnya gagal ginjal,

menstabilkan keadaan pasien, dan mengobati setiap faktor yang reversible.

Sedangkan penanganan dengan pengganti ginjal dapat dilakukan dialisis

intermitten atau transplantasi ginjal yang merupakan cara paling efektif untuk

penanganan gagal ginjal (Haryanti & Nisa, 2015).

Penanganan secara konservatif bertujuan untuk mencegah memburuknya

faal ginjal secara progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi

toksin, memperbaiki metabolisme secara optimal, dan memelihara keseimbangan


14

cairan elektrolit. Beberapa tindakan konservatif yang dapat dilakukan dengan

pengaturan diet pada pasien GGK. Terapi pengganti ginjal dilakukan pada saat

penyakit GGK sudah berada pada stadium 5 yaitu saat LFG kurang dari 15 ml/

menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, continuous ambulatory

peritoneal dialysis (CAPD) serta transplantasi ginjal (Haryanti & Nisa, 2015).

Hemodialisis merupakan cara untuk mengeluarkan produk sisa

metabolisme melalui membran semipermiable atau yang disebut dengan dyalizer.

Sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dari peredaran darah manusia itu dapat

berupa air, natrium, kalium, hidrogen, urea, kreatinin, asam urat, serta zat zat lain.

Hemodialisis telah menjadi rutinitas perawatan medis untuk pasien dengan GGK

stadium 5. Salah satu langkah penting sebelum memulai hemodialisis yaitu

mempersiapkan access vascular beberapa minggu atau beberapa bulan sebelum

hemodialisis. Access vascular memudahkan dalam perpindahan pembuluh darah

dari mesin ke tubuh pasien. Hemodialisis umumnya dilakukan dua kali seminggu

selama 4-5 jam per sesi pada kebanyakan pasien GGK Stadium 5 (Haryanti &

Nisa, 2015).

Continuous Ambulatory Peritoneal Dyalisis (CAPD) merupakan terapi

alternatif dialisis untuk pasien GGK Stadium 5 dengan 3-4 kali pertukaran cairan

per hari. Pertukaran cairan terakhir dilakukan pada jam tidur sehingga cairan

peritoneal dibiarkan semalam. Terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat pada pasien

dialisis peritoneal. Indikasi pasien-pasien yang telah menderita penyakit sistem

kardiovaskular, pasien-pasien yang cenderung akan mengalami perdarahan jika

dilakukan hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke


15

pasien GGT (gagal ginjal terminal) dengan residual urin masih cukup dan pasien

nefropati diabetic disertai co-morbidity dan comortality (Haryanti & Nisa, 2015).

Transplantasi ginjal merupakan cara pengobatan yang lebih disukai untuk

pasien gagal ginjal stadium akhir. Namun kebutuhan transplantasi ginjal jauh

melebihi jumlah ketersediaan ginjal yang ada dan biasanya ginjal yang cocok

dengan pasien adalah yang memiliki kaitan keluarga dengan pasien. Kebanyakan

ginjal diperoleh dari donor hidup karena ginjal yang berasal dari kadaver tidak

sepenuhnya diterima karena adanya masalah sosial dan masalah budaya. Karena

kurangnya donor hidup sehingga pasien yang ingin melakukan transplantasi ginjal

harus melakukan operasi diluar negeri. Transplantasi ginjal memerlukan dana dan

peralatan yang mahal serta sumber daya manusia yang memadai. Transplantasi

ginjal ini juga dapat menimbulkan komplikasi akibat pembedahan atau reaksi

penolakan tubuh (Haryanti & Nisa, 2015).

Menurut National Kidney And Urologic Disease Information Clearing

House tahun 2006 hemodialisis merupakan terapi yang paling sering digunakan

pada pasien GGK. Berdasarkan data PERNEFRI (Perhimpunan Nefrologi

Indonesia) tahun 2012, jenis fasilitas yang diberikan oleh renal unit adalah

hemodialisis (78%), Continous Ambulatory Peritoneal Dyalisis (3%),

transplantasi (16%) dan continuous renal replacement therapy (3%) (Haryanti &

Nisa, 2015).

2.1.7 Pemeriksaan Diagnostik

Hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium yang mendukung diagnosis

GGK, antara lain (Bayhakki, 2012) :

1) Peningkatan kadar ureum dari kreatinin serum.


16

2) Hiperkalemia, penurunan bikarbonat serum, hipokalsemia, hiperfosfatemia,

hiponatremia (pada GGK tanpa overload).

3) Hipoalbuminemia tersebab oleh banyak protein yang keluar bersama urin.

4) Anemia normokrom normostik tersebab oleh penurunan produksi hormone

eritropoetin.

5) Urinalisis : Proteinuria, diduga akibat gangguan pada glomerulus atau

tubulointerstitial.

6) Sel darah merah pada sedimen ureine, diduga ada glomerulonefritis

proliferative. Piuria dan atau sel darah merah dalam urine, diduga adalah

nefritis interstitial (terutama jika terjadi eosinofiluria) atau infeksi saluran

kemih.

7) Urin 24 jam untuk memeriksa CCT (clean coal technology) dan protein total.

8) Elektroforesis protein urin dan serum untuk melihat protein monoklon,

kemungkinan adanya myeloma multiple.

9) Antibody antinuklir (antinuclear antibody, ANA), kadar anti- double-stranded

DNA untuk melihat adanya lupus eritematosus sistemik (systemic lupus

erythematosus, SLE).

10) Kadar komplemen serum untuk menunjukkan glomerulonephritis.

11) C-ANCA (cytoplasmic anti-neutrophilic cytoplasmic antibody) and P-ANCA

(perinuclear anti-neutrophilic cytoplasmic antibody) untuk diagnosis

granulomatosis Wegener dan poliartritis nodosa atau poliangitis mikroskopik.

12) Serologi Hepatitis B dan C, HIV, Venereal Disease Research Laboratory

(VDRL) : Berhubungan dengan glomerulonefritis.


17

Pemeriksaan atau hasil pemeriksaan diagnostic yang mendukung diagnosis

GGK adalah (Bayhakki, 2012) :

1) Sinar-X Abdomen

Melihat gambaran batu radio atau nefrokalsinosis.

2) Pielogramintravena

Jarang dilakukan karena potensi toksin, sering digunakan untuk diagnosis batu

ginjal.

3) Ultrasonografi ginjal

Untuk melihat ginjal polikistik dan hidronefrosis, yang tidak terlihat pada

awal obstruksi, Ukuran ginjal biasanya normal pada nefropati diabetic.

4) CT Scan

Untuk melihat massa dan batu ginjal yang dapat menjadi penyebab GGK

5) MRI

Untuk diagnosis thrombosis vena ginjal. Angiografi untuk diagnosis stenosis

arteri ginjal, meskipun arteriografi ginjal masih menjadi pemeriksaan standart.

6) Voding cystourethogram (VCUG)

Pemeriksaan standart untuk diagnosis refluk vesikoureteral.

2.1.8 Pencegahan

Penyakit Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah salah satu jenis penyakit

tidak menular yang memiliki angka cukup tinggi, namun demikian penyakit ini

dapat dihindari melalui upaya pencegahan yang meliputi (Irwan, 2016) :

a) Mengendalikan penyakit diabetes, tekanan darah tinggi, dan juga penyakit

jantung dengan lebih baik. Penyakit ginjal merupakan salah satu penyakit

sekunder akibat dari penyakit primer yang mendasarinya. Oleh sebab itulah,
18

perlunya mengendalikan dan mengontrol penyakit primer agar tidak

komplikasi menjadi gagal ginjal.

b) Mengurangi makanan yang mengandung garam adalah salah satu jenis

makanan dengan kandungan natrium yang tinggi. Natrium yang tinggi bukan

hanya bisa menyebabkan tekanan darah meningkat, namun juga akan memicu

terjadinya proses pembentukan batu ginjal.

c) Minumlah banyak air setiap harinya. Air adalah salah satu komponen

makanan yang diperlukan tubuh agar bisa terhindar dari dehidrasi. Selain itu,

air juga bisa berguna dalam membantu untuk mengeluarkan racun dari dalam

tubuh dana kan membantu mempertahankan volume serta konsentrasi darh.

Selain itu air juga bisa berguna dalam memelihara sistem pencernaan dan

membantu mengendalikan suhu tubuh.

d) Jangan menahan buang air kecil. Penyaringan darah merupakan salah satu

fungsi yang paling utama yang dimiliki ginjal. Disaat proses penyaringan

berlangsung, maka jumlah dari kelebihan cairan akan tersimpan di dalam

kandung kemih dan setelah itu harus segera dibuang. Walupun kandung kemih

mampu menampung lebih banyak urin, tetapi rasa ingin buang air kecil akan

dirasakan di saat kandung kemih sudah mulai penuh sekitar 120 – 250 ml urin.

Sebaiknya jangan pernah menahan buang air kecil. Hal ini akan berdampak

besar dari terjadinya proses penyaringan ginjal.

2.2 Konsep Cairan

2.2.1 Kebutuhan Cairan

Kebutuhan cairan merupakan bagian dari kebutuhan dasar manusia secara

fisiologis yang memiliki peranan besar di dalam tubuh, hampir 90% dari total
19

berat badan tubuh. Secara keseluruhan persentase cairan tubuh berdasarkan umur

adalah : bayi baru lahir 75% dari total berat badan, pria dewasa 75%, wanita

dewasa 55%, dan dewasa tua 45%. Persentase cairan tubuh bervariasi, bergantung

pada faktor usia, lemak tubuh, dan jenis kelamin. Jika lemak tubuh sedikit maka

cairan dalam tubuh lebih besar. Wanita dewasa mempunyai jumlah cairan tubuh

lebih sedikit dibanding pria karena pada wanita dewasa jumlah lemak dalam

tubuh lebih banyak dibanding pada pria.

2.2.2 Pengaturan Volume CairanTubuh

Menurut Haswita dalam buku Kebutuhan Dasar Manusia (2017)

Keseimbangan cairan dalam tubuh dihitung dari keseimbangan antara cairan yang

masuk dan cairan yang keluar.

a) Asupan Cairan

Asupan (intake) cairan untuk kondisi normal pada rang dewasa adalah ±2500

cc per hari. Pengaturan mekanisme keseimbangan cairan ini menggunakan

mekanisme rasa haus. Pusat pengaturan haus adalah hipotalamus. Apabila

terjadi ketidakseimbangan volume cairan tubuh di mana asupan cairan kurang

atau adanya perdarahan, maka curah jantung menurun, menyebabkan

terjadinya penurunan tekanan darah.

b) Pengeluaran Cairan

Pengeluaran (output) cairan sebagai bagian dalam mengimbangi asupan cairan

pada orang dewasa dalam kondisi normal adalah ±2300 cc. Jumlah cairan

yang paling banyak keluar berasal dari ekskresi ginjal (berupa urine),

sebanyak ±1500cc perhari pada orang dewasa. Hal ini juga begantung pada
20

banyaknya asupan air melalui mulut. Pengeluaran cairan juga dapat dilakukan

melalui kulit (berupa keringat) dan saluran pencernaan (berupa feses).

Pasien dengan ketidakadekuatan pengeluaran cairan memerlukan

pengawasan asupan dan pengeluaran cairan secara khusus. Peningkatan jumlah

dan kecepatan pernapasan, demam, keringat, dan diare dapat menyebabka

kehilangan cairan secara berlebihan. Kondisi lain yang dapat menyebabka

kehilangan cairan secara berlebihan adalah muntah secara terus menerus.

Hasil-hasil pengeluaran cairan adalah :

1. Urine, pembentukan urine terjadi di ginjal dan dikeluarkan melalui vesika

urinaria (kandung kemih). Proses ini merupakan proses pengeluaran cairan

tubuh yang utama. Cairan dalam ginjal disaring pada glomerulus dan dalam

tubulus ginjal untuk kemudian diserap kembali ke dalam aliran darah. Hasil

ekskresi terakhir proses ini adalah urine. Jika terjadi penurunan volume urine

dalam sirkulasi darah, reseptor atrium jantung kiri dan kanan akan

mengirimkan impuls ke otak, emudian otak akan mengirimkan impuls kembali

ke ginjal dan memproduksi ADH sehingga memengaruhi pengeluaran urine.

2. Keringat, terbentuk bila tubuh menjadi panas akibat pengaruh suhu. Keringat

mengandung banyak garam, urea, asam laktat, dan ion kalium. Banyaknya

jumlah keringat yang keluar akan memengaruhi kadar natrium dalam plasma.

3. Feses, yang keluar mengandung air dan sisanya berbentuk padat. Pengeluaran

air melalui feses merupakan pengeluaran cairan paling sedikit jumlahnya. Jika

cairan yang keluar melalui feses jumlahnya berlebihan, maka dapat

mengakibatkan tubuh lemas. Jumlah rata-rata pengeluaran cairan melalui feses

adalah 100ml/hari.
21

2.2.3 Mengukur Intake dan Output Cairan

Pengukuran intake dan output cairan merupakan suatu tindakan yang

dilakukan untuk mengukur jumlah cairan yang masuk kedalam tubuh (intake) dan

jumlah cairan yang keluar dari tubuh (output). Tujuan pengukuran intake dan

output cairan, antara lain :

a) Menentukan status keseimbangan cairan tubuh klien.

b) Menentukan tingkat dehidrasi ataupun tingkat kelebihan cairan klien.

Prosedur pengukuran adalah sebagai berikut :

a) Tentukan jumlah cairan yang masuk kedalam tubuh. Cairan yang masuk

kedalam tubuh melalui air minum, air dalam makanan, air hasil oksidasi

(metabolism), dan cairan intravena.

b) Tentukan jumlah cairan yang keluar dari tubuh klien. Cairan yang keluar dari

tubuh terdiri atas urine, insensible water loss (IWL), feses, dan muntah

c) Tentukan keseimbangan cairan tubuh klien dengan rumus :

Balance Cairan = intake - output

Hal yang perlu diperhatikan :

a) Rata-rata intake cairan per hari :

1. Air minum : 1500-2500 ml

2. Air dari makanan : 750 ml

3. Air hasil metabolism oksidatif : 300 ml

b) Rata-rata output cairan per hari :

1. Urine : 1-2 cc/kgBB/jam

2. Insensible water loss (IWL) :

a. Dewasa : 10-15 cc/kgBB/hari


22

b. Anak-anak : 30-umur (th) cc/kgBB/hari

c. Bila ada kenaikan suhu : 200 (suhu sekarang-36,80C)

3. Feses : 100-200 ml Sumber : Horne dan Swearingen 2001 dalam

(Asmadi, 2009)

2.2.4 Pembatasan Cairan

Pasien yang telah mengalami penurunan fungsi ginjal terutama tahap akhir

mengalami keadaan dimana ginjal tidak mampu mempertahankan keseimbangan

kadar cairan dan elektrolit. Cairan dalam tubuh tidak mampu dikeluarkan oleh

ginjal akibat kerusakan bagian ginjal yaitu tubulus yang berfungsi melakukan

reasbsorpsi dan ekskresi cairan dan elektrolit, yang pada akhirnya membuat cairan

tertahan didalam tubuh sehingga terjadi penimbunan cairan dan elektrolit terutama

natrium dan kalium (O’ Callaghan, 2007).

Untuk menghindari keadaan yang dapat memperburuk kondisi pasien

penyakit ginjal kronik akibat kelebihan cairan (overload) dan retensi natrium

maka perlu dilakukan pembatasan dan kontrol atau diet yang tepat terhadap

jumlah asupan cairan dan natrium yang dikonsumsi oleh pasien penyakit ginjal

kronis yang menjalani hemodialisa. Pembatasan jumlah asupan cairan

berdasarkan jumlah urin yang keluar, yaitu jumlah urin 24 jam ditambah 500 mL

sebagai IWL atau kehilangan cairan yang tidak disadari berupa keringat dan

pernapasan, begitu juga dengan natrium melihat jumlah urin yang keluar dengan

jumlah tidak lebih dari 2,3 gram natrium atau berdasarkan takaran yaitu 4,7-5,8

gram garam (Hartono, 2008).

Hartono (2008) juga menyatakan banyak cara yang dilakukan untuk

melaksanakan kontrol terhadap jumlah cairan dan natrium yang bisa dilakukan
23

seperti menggunakan sedikit saja garam pada saat memasak dan jangan

menambahkan lagi pada saat makan, mengukur urin dalam 24 jam secara rutin,

mengukur jumlah cairan yang diperbolehkan kedalam botol yang mempunyai

skala ukur, membagi cairan dengan jumlah yang sama banyaknya dalam waktu 24

jam, menggunakan cangkir atau gelas yang kecil untuk minum, jika mungkin

minumlah separuhnya saja, mengulum es batu untuk mengurangi rasa haus, sering

berkumur tetapi tidak menelan air yang dipakai berkumur.

Untuk asupan natrium klien Penyakit Ginjal Kronis (PGK) yang

mengalami penurunan produksi air seni dan menjalani cuci darah umumnya harus

mengurangi asupan garam kurang dari 6 gr garam perhari dengan jumlah ukuran

4,7-5,8 gr garam(NaCl) yang setara dengan 1840-2300 mg natrium, demikian juga

dengan klien penyakit ginjal kronis dengan komplikasi hipertensi, edema, acites,

dan gagal jantung.

2.3 Konsep Hemodialisa

2.3.1 Pengertian Hemodialisa

Hemodialisa adalah suatu teknologi tinggi sebagai pengganti fungsi ginjal

untuk mengeluarkan sisa metabolisme atau racun tertentu dari peredaran darah

manusia seperti air, natrium, kalium, hydrogen, urea, kreatinin, dan zat lainnya

melalui membran semi permiabel sebagai pemisah darah dan cairan dialisa pada

ginjal buatan dimana terjadi proses difusi, osmosi dan ultra filtrasi (Brunner dan

Suddart , dalam Rikoyani 2018).

Tujuan hemodialisis adalah untuk mengambil zat-zat nitrogen yang toksik

dari dalam darah dan mengeluarkan air yang berlebihan. Pada hemodialisis, aliran

darah yang penuh dengan toksik dan limbah nitrogen dialihkan dari tubuh pasien
24

ke dialise tempat darah tersebut dibersihkan dan kemudian dikemabalikan lagi ke

tubuh pasien (Brunner & Suddarths, 2015).

Hemodialisa dilakukan dengan mensirkulasi darah klien melalui mesin

yang berada di luar tubuh dengan menggunakan kanula khusus atau pirau yang

akan menghubungkan klien dengan mesin. Hemodialisa dilakukan dalam mesin

dialisis dengan mengalirkan darah dari klien (Rosdahl & Caroline, 2015).

2.3.2 Prinsip-prinsip yang Mendasari Hemodialisa

Terdapat 3 prinsip yang mendasari kerja hemodialisis, yaitu osmosis,

difusi dan ultrafiltrasi (Brunner & Suddarths, 2015).

a) Difusi

Pada proses ini toksik dan zat limbah didalam darah dikeluarkan dengan

cara: darah yang memiliki konsentrasi tinggi bergerak menuju ke darah yang

memiliki konsentrasi rendah. Cairan dialisat tersusun dari semua elektrolit yang

penting dengan konsentrasi ekstrasel yang idela.

b) Osmosis

Prinsip yang kedua adalah osmosis, pada prinsip ini terjadi pengeluaran air

yang berlebihan. Pengeluaran air dapat dikendalikan dengan menciptakan gradien

tekanan; dengan kata lain, air bergerak dari tekanan yang lebih tinggi (tubuh

pasien) ke tekanan yang lebih rendah (cairan dialisat).

c) Ultrafiltrasi

Ultrafiltrasi dikenal juga dengan meningkatkan gradien melalui

penambahan tekanan negatif. Tekanan negatif yang diterapkan pada alat ini

sebagai pengisap pada membran dan memfasilitasi pengeluaran air. Karena pasien
25

tidak dapat mengekskresikan air, kekuatan ini diperlukan untuk mngeluarkan

cairan hingga tercapai isovolemia (keseimbangan cairan).

2.4 Konsep Asuhan Keperawatan

2.4.1 Pengkajian

Pengkajian fokus keperawatan yang perlu diperhatikan pada penderita

gagal ginjal kronik menurut Prabowo (2014) dan Le Mone & Burke (2016) :

a) Anamnesa

1. Biodata

Tidak ada spesifik khusus untuk kejadian gagal ginjal, namun laki-laki

sering memiliki resiko lebih tinggi terkait dengan pekerjaan dan pola hidup

sehat.

2. Keluhan Utama

Keluhan sangat bervariasi, terlebih jika terdapat penyakit sekunder yang

menyertai. Keluhan bisa berupa urin output yang menurun dari oliguria-

anuria, penurunan kesadaran karena komplikasi pada sistem sirkulasi-

ventilasi, anoreksia, mual dan muntah, diaforesis, fatigue, napas berbau

urea, dan pruritus.

3. Riwayat Kesehatan

Keluhan anoreksia, mual, kenaikan berat badan, atau edema, penurunan

output urin, perubahan pola napas, perubahan fisiologis kulit dan bau urea

pada napas.
26

4. Riwayat Penyakit Dahulu

Kaji riwayat penyakit terdahulu seperti penyakit ISK, payah jantung,

penggunaan obat-obat berlebihan, diabetes melitus, hipertensi atau batu

saluran kemih.

5. Riwayat Kesehatan Keluarga

Gagal ginjal kronis bukan penyakit menular dan menurun, sehingga silsilah

keluarga tidak terlalu berdampak pada penyakit ini. Namun pencetus

sekunder seperti DM dan hipertensi memiliki pengaruh terhadap kejadian

penyakit gagal ginjal kronis, karena penyakit tersebut bersifat herediter.

6. Riwayat Psikososial

Kondisi ini tidak selalu ada gangguan jika klien memiliki koping adaptif

yang baik. Pada klien gagal ginjal kronis, biasanya perubahan psikososial

terjadi pada waktu klien mengalami perubahan struktur fungsi tubuh dan

menjalani proses dialisa.

7. Keadaan Umum Dan Tanda-Tanda Vital

Kondisi klien gagal ginjal kronis biasanya lemah (fatigue), tingkat

kesadaran bergantung pada tingkat toksisitas. Pada pemeriksaan TTV

sering didapatkan RR meningkat (Tachypneu), hipertensi/hipotensi sesuai

dengan kondisi.

8. Sistem Pernafasan

Adanya bau urea pada bau napas. Jika terjadi komplikasi asidosis/alkalosis

respiratorik maka kondisi pernapasan akan mengalami patalogis gangguan.

Pola napas akan semakin cepat dan dalam sebagai bentuk kompensasi

tubuh mempertahankan ventilasi (Kusmaul).


27

9. Sistem Hematologi

Ditemukan adanya friction rub pada kondisi uremia berat. Selain itu,

biasanya terjadi TD meningkat, akral dingin, CRT >3 detik, palpitasi

jantung, chest pain, dyspnue, gangguan irama jantung dan gangguan

sirkulasi lainnya. Kondisi ini akan semakin parah jika zat sisa metabolisme

semakin tinggi dalam tubuh karena tidak efektif dalam eksresinya. Selain

itu, pada fisiologi darah sendiri sering ada gangguan anemia karena

penurunan eritropoetin.

10. Sistem Neuromuskuler

Penurunan kesadaran terjadi jika telah mengalami hiperkarbic dan sirkulasi

cerebral terganggu. Oleh karena itu, penurunan kognitif dan terjadinya

disorientasi akan dialami klien gagal ginjal kronis.

11. Sistem Kardiovaskuler

Penyakit yang berhubungan langsung dengan kejadian gagal ginjal kronis

salah satunya adalah hipertensi. Tekanan darah yang tinggi diatas ambang

kewajaran akan mempengaruhi volume vaskuler. Stagnansi ini akan

memicu retensi natrium dan air sehingga akan meningkatkan bebanjantung.

12. Sistem Endokrin

Berhubungan dengan pola seksualitas, klien dengan gagal ginjal kronis

akan mengalami disfungsi seksualitas karena penurunan hormon

reproduksi. Selain itu, jika kondisi gagal ginjal kronis berhubungan dengan

penyakit diabetes militus, makan akan ada gangguan dalam sekresi insulin

yang berdampak pada prosesmetabolisme.


28

13. Sistem Perkemihan

Dengan gangguan/ kegagalan fungsi ginjal secara kompleks (filtrasi,

sekresi, reabsorbsi dan ekskresi), maka manifestasi yang paling menonjol

adalah penurunan urin output < 400 ml/hr bahkan sampai pada anuria.

14. Sistem Pencernaan

Gangguan sistem pencernaan lebih dikarenakan efek dari penyakit (stress

effect). Sering ditemukan anoreksia, mual, muntah dan diare.

15. Sistem Muskuloskeletal

Dengan penurunan/ kegagalan fungsi sekresi pada ginjal maka berdampak

pada proses demineralisasi tulang, sehingga resiko terjadinya osteoporosis

tinggi.

b) Pemeriksaan Fisik

1. Tanda vital : tekanan darah meningkat, suhu meningkat, nadi lemah,

disritmia, pernapasan kusmaul, tidakteratur.

2. Kepala :

i. Mata: konjungtiva anemis, mata merah, berair, penglihatan kabur,

edemaperiorbital.

ii. Rambut: rambut mudah rontok, tipis dan kasar.

iii. Hidung : pernapasan cupinghidung

iv. Mulut : ulserasi dan perdarahan, nafas berbau ammonia, mual,muntah

serta cegukan, peradangangusi.

3. Leher : pembesaran vena leher.


29

4. Dada dan toraks : penggunaan otot bantu pernafasan, pernafasan dangkal

dan kusmaul serta krekels, nafas dangkal, pneumonitis, edema pulmoner,

friction rubpericardial.

5. Abdomen : nyeri area pinggang, asites

6. Genital : atropi testikuler,amenore.

7. Ekstremitas : capirally refill time > 3 detik,kuku rapuh dan kusam serta

tipis, kelemahan pada tungkai, rasa panas pada telapak kaki, foot drop,

kekuatanotot.

8. Kulit : ecimosis, kulit kering, bersisik, warnakulit abu-abu, mengkilat atau

hiperpigmentasi, gatal (pruritas), kuku tipis dan rapuh, memar (purpura),

edema. Derajat edema :

i. Derajat I: Kedalamannya 1-3 mm dengan waktu kembali 3 detik.

ii. Derajat II: Kedalamannya 3-5 mm dengan waktu kembali 5 detik.

iii. Derajat III: Kedalamannya 5-7 mm dengan waktu kembali 7 detik.

iv. Derajat IV: Kedalamannya 7 mm dengan waktu kembali 7 detik


30

2.4.2 Pathway

Penyakitdrginjal:
(glomerulonefritis, pyelonefritis, Penyakitdrluarginjal:
ureteritis, nefrolitiasis, polcystis (DM, hipertensi,
kidney, trauma pdginjal, obstruksi
kolesterol,dyslipidemia
(batu,tumor, penyempitan)

GAGAL GINJAL KRONIK/


CHRONIC KIDNEY DISEASES

BUN
Retensi cairan, Peningkatan per- dan kreatinin meningkat
natrium aktivasiRAA meabilitas vaskular

Peradangan pd mukos
Filtrasi cairan ke asal uran GI oleh urea Penumpukkan
Penumpukancairan/
intertisial yg berlebihan kristal urea di kulit
cairanberlebih

Retensi sodium, Pemecahan urea Pluritus/ gatal-


Responasidosismetabolik&sindr peningkatan volume oleh bakteri gatal, kulit kering
omuremipada RR: pernapasan cairan ekstrasel,
kussmaul, dyspnea, odema hipernatremia,
pulmonary, pleurisy, efusi Pe
pleura ammonia
Edema Kerusakan
integritas
kulit
Ketidakefektifn Anoreksia,
pola napas Kelebihan volume mual, muntah
cairan

Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
Penurunan kebutuhan tubuh
eritropoetin,

Defesiensi
nutrisi

Anemia

Intoleransi
aktivitas
31

2.4.3 Diagnosa Keperawatan

Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul antara lain :

1. Ketikakefektifan pola nafas berhubungan dengan adanya efusi pleura.

2. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan filtrasi cairan ke interstisial

3. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

peradangan muskosa saluran GI (gastrointestinal)

4. Intoleransi aktivitas berhubungan anemia

5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penumpukan kristal urea di kulit.

2.4.4 Diagnosa, Tujuan dan Kriteria Hasil Serta Intervensi

No Diagnosa NOC NIC


Keperawatan
1. Ketikakefektifan Setelah dilakukan - Monitor tanda-tanda vital
pola nafas tindakan keperawatan - Posisikan pasien untuk
berhubungan selama 3 x 24 jam memaksimalkan ventilas
dengan adanya diharapkan pola nafas - Auskultasi suara nafas, catat
efusi pleura. efektif dengan kriteria area yang ventilasinya
hasil : menurun atau tidak ada dan
- Tidak adanya dyspnea adanya suara nafas tambahan
- Irama pernafasan teratur - Identifikasi kebutuhan aktual
- Frekuensi pernafasan atau potensial pasien untuk
dalam batas normal memasukkan alat bantu untuk
- Tanda-tanda vital dalam membuka jalan napas
batas normal - Monitor respirasi dan status
O2
- Pertahankan jalan nafas yang
paten
- Atur peralatan oksigenasi
- Monitor aliran oksigen
- Observasi adanya tanda-tanda
hipoventilasi
- Monitor adanya kecemasan
pasien terhadap terapi oksigen.
2 Kelebihan volume Setelah dilakukan tindakan - Tentukan riwayat jumlah dan
cairan keperawatan selama 3 x 24 tipe intake cairan dan
berhubungan jam diharapkan eliminasi
dengan filtrasi keseimbangan cairan baik - Tentukan kemungkinan faktor
cairan ke dengan KH : resiko dan ketidakseimbangan
interstisial - Edema berkurang atau cairan (Hipertermia, terapi
32

tidak ada diuretik, kelainan renal, gagal


- Tekanan darah tidak jantung, diaporesis, disfungsi
terganggu hati, dll)
- Denyut nadi radial tidak - Monitor berat badan, BP,
terganggu HR, dan RR
- Kelembaban membran - Monitor serum dan elektrolit
mukosa tidak terganggu urine
- Turgor kulit tidak - Monitor serum dan
terganggu osmilalitas urine
- Pusing tidak ada - Monitor tekanan darah
- Kram otot tidak ada orthostatik dan perubahan
irama jantung
- Monitor parameter
hemodinamik infasif
- Catat secara akurat intake dan
output
- Monitor adanya distensi
leher, rinchi, eodem perifer
dan penambahan BB
- Monitor tanda dan gejala dari
odema
- Berikan penkes tentang
pembatasan cairan
3. Ketidakseimbangan Setelah dilakukan asuhan - Tentukan status gizi pasien
nutrisi : kurang dari keperawatan selama 3x24 dan kemampuan untuk
kebutuhan tubuh jam diharapkan memenuhi kebutuhan nutrisi
berhubungan pemenuhan kebutuhan - Bantu pasien dalam
dengan peradangan pasien tercukupi dengan menentukan pedoman yang
muskosa saluran GI kriteria hasil : cocok dalam memenuhi nutrisi
(gastrointestinal) • Manajemen Nutrisi : dan preferensi
- Intake nutrisi tercukupi - Tentukan jumlah kalori yang
- Asupan makanan dan dibutuhkan.
cairan tercukupi - Anjurkan pasien
• Nausea dan vomiting mengkonsumsi makanan
severity : tinggi zat besi atau Fe seperti
- Penurunan intensitas sayuran hijau
terjadinya mual muntah - Pastikan makanan disajikan
- Penurunan frekuensi dengan cara yang menarik
terjadinya mual dan pada suhu yang cocok untuk
muntah dikonsumsi.
• Weight Body Mass : - Ciptakan lingkungan yang
- Pasien mengalami optimal pada saat
peningkatan berat badan mengkonsumsi makanan.
- Kaji frekuensi mual, durasi,
tingkat keparahan, faktor
frekuensi, presipitasi yang
menyebabkan mual.
- Anjurkan pasien makan sedikit
tapi sering
33

- Anjurkan pasien makan selagi


hangat
- Mengendalikan faktor
lingkungan yang
memungkinkan
membangkitkan mual seperti
bau yang tidak menyenangkan
- Mengajari teknik non-
farmakologi untuk mengontrol
mual seperti dengan teknik
relaksasi tarik nafas dalam.
- Hitung berat badan klien
- Diskusikan pada klien
mengenai hubungan anatara
asupan makanan dan
penurunan berat badan
4. Intoleransi aktivitas Setelah diberikan tindakan - Tentukan penyebab keletihan
berhubungan keperawatan 3x24 jam - Gunakan teknik relaksasi
anemia pasien menunjukkan distraksi, selama aktivitas
toleransi terhadap aktivitas - Pantau respon kardiorepiratori
yang biasa dilakukan terhadap aktivitas (takipnea,
dengan daya tahan, dispnea, takikardia, pucat,
penghematan energi dan berkeringat).
perawatan diri Kriteria - Kaji respon emosi, sosial, dan
hasil : spiritual terhadap aktivitas
- Mengidentifikasi - Evaluasi motivasi dan
faktro-faktor yang keinginan subjek untuk
menurunkan meningkatkan aktivitas
intoleransi aktivitas. - Ajarkan kepada pasien dan
- Menunjukkan keluarga teknik perawatan diri
penghematan energi yang meminimalkan konsumsi
(menyadari oksigen selama aktivitas
keterbatasan energi, - Ajarkan pengaturan waktu
menyeimbangkan aktivitas dan istirahat
aktivias dan istirahat) - Monitor tanda-tanda vital dan
- Melaporkan status nutrisi
penurunan gejala- - Berikan pengobatan nyeri
gejala intoleransi sesuai program dokter sebelim
aktivitas aktivitas
- Nadi, tekanan darah, - Rujuk ke ahli fisioterapi
respirasi dalam batas
normal
5. Kerusakan Setelah dilakukan - Observasi ekstremitas edema,
integritas kulit tindakan keperawatan, ulserasi, kelembaban.
berhubungan diharapkan menunjukkan - Monitor kulit yang sering
dengan integritas jaringan kulit mendapattekanan dan gesekan.
penumpukan kristal dan membran mukosa - Monitor warna kulit. 4
urea di kulit. baik dengan kriteria hasil - Monitor temperatur kulit.
: - Monitor kulit pada daerah
34

- Sensasi normal kerusakan dan kemerahan.


- Elastisitas normal - Monitor infeksi dan edema.
- Jaringan bebas lesi - Jaga agar luka tetap lembab
- Keutuhan kulit untuk membantu proses
- Granulasi penyembuhan.
- Penyusutan luka - Bersihkan luka dengan cairan
yang tidak berbahaya, lakukan
pembersihan dengan gerakan
sirkuler dari dalam ke luar.
- Pasang balutan adesif yang
elastik pada luka, jika
memungkinkan.
- Berikan saline untuk
menggosok, jika diperlukan
- Berikan salep jika dibutuhkan
- Lakukan pembalutan dengan
tepat.
- Ubah posisi setiap 1-2 jam
sekali untuk mencegah
penekanan
- Yakinkan asupan nutrisi yang
adekuat
- Monitor status nutrisi.
- Pastikan bahwa pasien
mendapat diet tinggi kalori
tinggi protein.
- Ajarkan pasien dan keluarga
mengenal perawatan luka.
35
BAB 3

TINJAUAN KASUS

3.1 Pengkajian

A. Identitas Klien

Nama : Ny.D

Umur : 41 tahun

Alamat : Jl. Pasang Garahan No 16 Pasar Sipirok

Agama : Kristen

Pendidikan : SMA sederajat

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Diagnosa Medis : Gagal Ginjak Kronis

B. Identitas Penanggung Jawab

Nama : Ny. M

Umur : 37 tahun

Alamat : Jl. Pasang Garahan

Pekerjaan : Wiraswasta

Agama : Kristen

Hub. dengan klien : Saudara

C. Riwayat Kesehatan

1. Keluhan Utama

Klien mengatakan sakit di punggung

2. Riwayat Kesehatan Sekarang

35
36

Klien mengatakan nyeri di punggung, lengan kiri, dan gatal di seluruh

tubuh setelah dilakukan hemodialisa

P : proses penyakit

Q : seperti ditimpa beban berat, klien tampak meringis

R : punggung dan lengan kiri

S : skala nyeri 7

T : setelah dilakukan hemodialisa

3. Riwayat Kesehatan Dahulu

Klien mengatakan saat hemodialisa sebelumnya mengalami pegal, kebas

dan rambut rontok.

4. Riwayat Kesehatan Keluarga

Klien mengatakan orang tua maupun anggota keluarga lainnya tidak

mengalami penyakit seperti yang dialami klien.

5. Pengkajian Pola Fungsional

a) Pola Persepsi dan Manajemen Kesehatan

Klien mengatakan sangat ingin sembuh, sehingga klien selalu

melakukan anjuran yang diberikan dokter termasuk dalam mengikuti

jadwal terapi hemodialisa

b) Pola Nutrisi dan Metabolik

Klien mengatakan mampu menghabiskan porsi makanan.

c) Pola Eliminasi

Klien mengatakan BAB dan BAKnya masih merasa normal.


37

d) Pola Aktivitas dan Kebersihan Diri

Klien mengatakan masih mampu bearkitvitas tanpa dibantu orang lain

tapi tidak melakukan aktivitas yang berat

e) Pola Istirahat dan Tidur

Klien mengatakan masih mampu tidur dengan nyenyak

f) Pola Kognisi dan Persepsi Sensori

Klien mampu berkomunikasi atau berbicara dengan baik saat diajak

berinteraksi, klien berespon dengan baik

g) Pola Konsep Diri

Klien mengatakan menerima apapun keadaan yang dia alami dan klien

mengatakan dia adalah orang yang baik serta tidak pemarah.

h) Pola Peran Hubungan

Klien berperan sebagai ibu dari anaknya sekaligus kepala keluarga

karena suaminya telah pergi, klien juga menjalin hubungan yang baik

antara keluarga maupun masyarakat.

i) Pola Seksual dan Seksualitas

Klien mengatakan tidak ada masalah akan hal itu

j) Pola Mekanisma Koping

Klien mengatakan tidak banyak stres karena takut sakitnya semakin

parah.
38

k) Pola Nilai Kepercayaan

Klien menganut agama kristen, cukup rajin dalam beribadah, dan

selalu berdoa kepada Tuhan, karena ia percaya Tuhan akan

memberikan kesembuhan padanya.

D. Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan Umum : Lemah

2. Penampilan : baik

3. Kesadaran : composmentis

4. GCS : 15

5. TTV : TD : 130/90 mmHg, RR : 20 x/i, N : 80 x/i,

T : 36,70C

6. TB : 156 cm, BB : 57 kg

7. Kepala :

a) Rambut : bentuk wajah oval, rambu tidak acak-

acakan, rambu gelombang, warna hitam

b) Mulut : mukosa bibir tidak kering, tidak ada

sariawan

c) Konjungtiva dan mata : konjungtiva merah, masih mampu melihat

dengan baik

d) Hidung : tidak mancung, fungsi penciuman baik

e) Telinga : masih mampu mendengar dengan baik,

tidak ada serumen menumpuk

f) Leher : tidak ada pembesaran kelenjar tiroid,


39

g) Dada :

1. Paru-paru :

Inspeksi : tidak ada jejas

Palpasi : taktil premitus : getaran seimbang, ekspansi

dada : kembang-kempis seimbang

Perkusi : suara sonor

Auskutasi : vesikuler

2. Jantung :

Inspeksi : iktus cordis tampak

Palpasi : iktus kordis teraba di ICS 5

Perkusi : batas atas ICS 2 kiri, bawah iCS

midklavikula kiri

Auskulasi : Aortik (S1>S2)

Pulmonik (S1 > S2)

Trikuspid (S1 = S2)

Erbpoint (S1 < S2)

PMI (S1 < S2)

Tidak ada bunyi jantung tambahan

h) Abdomen :

Inspeksi : Bentuk abdomen flat, tidak ada asites

Auskultasi : peristaltik usus 10 x/i

Perkusi : Timpani

Palpasi : Tidak ada nyeri tekan


40

i) Genetalia : bersih, tidak terpasang kateter, tidak ada

keluhan

j) Anus : tidak ada benjolan

k) Ekstremitas : tampak kemerahan tangan dan kaki, klien

tampak resah dan ingin menggaruk

Atas : gerakan masih aktif

Inferior : gerakan aktif, tidak ada deformitas, kulit

Tampak kemerahan

l) Kuku dan kulit : tampak kemerahan tangan dan kaki, klien

tampak resah dan ingin menggaruk warna

kulit putih, lembab, turgor kulit kembali

cepat, tidak ada lesi

3.2 Analisa Data

No Data Etiologi Masalah


Keperawatan
1. DS : Klien mengatakan nyeri Proses penyakit Nyeri akut
dibagian punggung dan lengan kiri
seperti di timpa beban berat Pengobatan
DO : klien tampak meringis, dengan terapi
keadaan umum lemah, skala nyeri hemodialisa
7
Nyeri pada
tubuh, badan
pegal
2. DS : Klien mengatakan gatal di BUN dan Kerusakan integritas
seluruh tubuh kreatinin kulit
DO : tangan dan kaki tampak meningkat
kemerahan dan klien tampak selalu
ingin menggaruk Penumukan
kristal urea di
kulit

Pruritus, gatal
41

3.3 Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri akut berhubungan dengan proses penyakit ditandai dengan nyeri

punggung dan lengan

2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penumpukan kritsal urea di

kulit ditandai dengan gatal

3.4 Tujuan dan Kriteria Hasil Serta Intervensi

No Diagnosa NOC NIC


Keperawatan
1 Nyeri akut Setelah dilakukan - Ajarkan penggunaan non
berhubungan dengan tindakan keperawatan farmakologi : jus labu siam
proses penyakit selama 3 x 24 jam - Gunakan keluarga dalam
ditandai dengan nyeri diharapkan kontrol mencari dan menyediakan
punggung dan lengan nyeri meningkat dukungan
dengan KH : - Berikan informasi yang
- Mengenali kapan akurat untuk meningkatkan
nyeri terjadi secara pengetahuan dan respon
konsisten keluarga terhadap
menunjukkan pengalaman nyeri
- Menggambarkan - Ajarkan metode
faktor penyebab farmakologi menurunkan
secara konsisten nyeri
- Menggunakan - Monitor TTV
tindakan - Berikan pendidikan
pencegahan secara kesehatan tentang penyakit :
konsisten pembatasan cairan untuk
- Menggunakan pasien GGK
tindakan secara
konsisten
2 Kerusakan integritas Setelah dilakukan - Observasi ekstremitas edema,
kulit berhubungan tindakan keperawatan ulserasi, kelembaban.
dengan penumpukan selama 3 x 24 jam, - Monitor kulit yang sering
kritsal urea di kulit diharapkan mendapat tekanan dan
ditandai dengan gatal menunjukkan gesekan.
integritas jaringan - Monitor warna kulit. 4
kulit dan membran - Monitor temperatur kulit.
mukosa baik dengan - Monitor kulit pada daerah
kriteria hasil : kerusakan dan kemerahan.
- Sensasi normal - Monitor infeksi dan edema.
- Elastisitas normal - Berikan salep jika dibutuhkan
- Jaringan bebas lesi - Yakinkan asupan nutrisi yang
- Keutuhan kulit adekuat
- - Ajarkan pasien dan keluarga
mengenal perawatan kulit.
42

3.5 Implementasi dan Evaluasi

Hari Diagnosa Implementasi Evaluasi


dan Keperawatan
Tanggal
Senin, Nyeri akut 1. Mengkaji skala S : Klien mengatakan
25 berhubungan nyeri badannya masih sakit dan
Oktober dengan proses 2. Memberikan pegal
2021 penyakit ditandai informasi tentang O : TD : 140/90 mmHg, HR :
dengan nyeri penyakit yang 88x/i, RR : 20 x/i, T :
punggung dan dialami klien 36,70C, klien masih tampak
lengan 3. Mengajarkan meringis
tentang terapi non A : Masalah belum teratasi
farmakologi untuk P : Intervensi dilanjutkan
mengurangi nyeri
teknik relaksasi
nafas dalam
4. Menganjurkan
keluarga untuk ikut
membantu dalam
penanganan
masalah klien
5. Memonitor TTV
6. Memberikan penkes
tentang pembatasan
cairan untuk pasien
GGK
7. Berkolaborasi
dengan dokter
dalam pemberian
obat farmakologi
Senin, Kerusakan 1. Mengobservasi S : Klien mengatakan
25 integritas kulit warna, temperatur badannya masih gatal
Oktober berhubungan dan adanya edema O : Kulit masih tampak
2021 dengan 2. Menganjurkan kemerahan, tidak ada lesi
penumpukan untuk mengonsumsi A : Masalah belum teratasi
kristal ure di kulit nutrisi yang adekuat P : Intervensi dilanjutkan
ditandai dengan 3. Menganjurkan
gatal penggunaan lotion
43

3.6 Catatan Perkembangan

Hari dan Diagnosa


Implementasi Catatan Perkembangan
tanggal Keperawatan
Selasa, 26 Nyeri akut 1. Mengkaji nyeri S : Klien mengatakan
Oktober berhubungan secara nyerinya sudah mulai
2021 dengan proses komprehensif berkurang dan perasaannya
penyakit ditandai 2. Memantau sudah agak lebih baik
dengan nyeri perkembangan O : Skala nyeri 4, klien
punggung dan kemampuan pasien sudah tampak tenang
lengan dalam pengobatan A : Masalah mulai teratasi
penyakit P : Intervensi dilanjutkan
3. Memantau TTV
4. Mempertahankan
teknik
nonfarmakologi :
stres control
Selasa, 26 Kerusakan 1. Mengobservasi S : Klien mengatakan
Oktober integritas kulit kondisi kulit, gatalnya sudah mulai
2021 berhubungan adanya edema, dan berkurang
dengan lesi O : Kemerahan di kulit
penumpukan 2. Menganjurkan masih tampak namun tidak
kristal urea di kulit pasien untuk sebanyak kemarin
ditandai dengan menghindari debu, A : Masalah mulai teratasi
gatal dan sering P : Intervensi dilanjutkan
membersihkan diri
3. Berkolaborasi
dengan dokter
dalam pemberian
obat
Rabu, 27 Nyeri akut 1. Mengobservasi S : Klien mengatakan
Oktober berhubungan perubahan keadaannya sudah cukup
fisik
2021 dengan proses serta TTV baik, nyerinya sudah tidak
penyakit ditandai 2. Memantau terasa lagi dan sudah tahu
dengan nyeri perkembangan serta menjalankan
punggung dan pengobatan sesuai dengan
kemampuan pasien
lengan dalam mengenal
anjuran tim medis
dan merawat
O : TD : 130/80 mmHg, Hr
penyakit : 85 x/i, RR : 19 x/i, T :
3. Mengkaji 36,80C, klien tampak
kemampuan pasien
tenang, kooperatif, skala
dalam memahaninyeri 0
pembatasan cairan
A : Masalah teratasi
pada pasien GGK
P : Intervensi dilanjutkan
mandiri
Rabu, 27 Kerusakan 1. Mengobservasi S : Klien mengatakan sudah
Oktober integritas kulit kondisi kulit tidak gatal lagi dan klien
2021 berhubungan 2. Menganjurkan sudah merasa sangat baik
dengan keluarga untuk O : Mukosa kulit lembab,
penumpukan memberikan nutrisi eritema tidak ada
44

kristal urea di kulit yang adekuat A : Masalah teratasi


ditandai dengan 3. Mempertahankan P : Interevensi dilanjutkan
gatal kondisi kulit agar mandiri
tetap lembab
dengan
menggunakan
lotion dan sering
menjaga kebersihan
45

BAB 4

PEMBAHASAN

Setelah dilakukan pengkajian pada kasus Ny.D, yang di paparkan dalam

bab sebelumnya didapatkan data subyektif dan data obyektif yang mengarah

kepada masalah keperawatan. Tidak semua masalah keperawatan yang ada pada

teori muncul pada klien tersebut.

Berdasarkan hasil analisa dari pengkajian yang telah dilakukan pada Ny.D,

didapatkan masalah keperawatan yang diangkat menjadi diagnosa utama pada

yaitu nyeri akut berhubungan dengan proses penyakit ditandai dengan sakit

punggung dan lengan. Hal ini dialami klien setelah mendapatkan terapi

hemodialisa.

Hemodialisis adalah suatu teknologi tinggi sebagai terapi pengganti fungsi

ginjal untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dari

peredaran darah manusia seperti air, natrium, kalium, hidrogen, urea, kreatinin,

asam urat, dan zat-zat lain melalui membrane semi permeabel sebagai pemisah

darah dan cairan dialisat pada ginjal buatan dimana terjadi proses difusi, osmosis

dan ultrafiltrasi (Rendi, 2012)

Menurut teori yang disampaikan oleh Suhardjono (2014) dalam Kartika

(2017) kram dan nyeri otot juga sering terjadi selama proses hemodialisis.

Beberapa faktor pencetus yang dihubungkan dengan kejadian kram otot ini adalah

adanya gangguan perfusi otot karena pengambilan cairan yang agresif dan

pemakaian dialisat rendah sodium. Hal ini didukung pula dengan Anita (2012) dan

Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (2006) bahwa Asupan


46

natrium dibatasi 40-120 mEq/hari. Asupan tinggi natrium akan menimbulkan rasa

haus yang selanjutnya mendorong pasien untuk minum. Bila asupan cairan

berlebihan maka selama periode di antara dialysis akan terjadi kenaikan berat

badan yang besar, dengan bertambahnya berat badan maka beban yang ditanggung

oleh otot-otot pun akan semakin besar sehingga kemungkinan yang akan terjadi

adalah kelelahan otot yang cepat sehingga cepat pula menimbulkan kram dan

nyeri pada otot. Dengan demikian tindakan hemodialisa ini memiliki dampak

kram dan nyeri otot di karenakan konsentrasi Na+ yang tidak adekuat dan

berkurangnya karnitin dalam jaringan yang semuanya dapat terjadi saat tindakan

hemodialisa.

Suhardjono (2014) dalam Kartika (2017), kram ataupun nyeri otot juga

sering terjadi selama proses hemodialisis setelah hemodialisa. Bahkan sampai

pasien tersebut berada di rumah, keadaan ini mengganggu aktifitas pasien. Dan

juga menurut penjelasan Lameire & Mehta (2002) dalam Aryanti (2015) biasanya

kram otot sering terjadi pada akhir atau mendekati sesi hemodialisis setelah laju

ultrafiltrasi tinggi dan pembuangan darah meningkat maka terjadi hipovolemia,

kemudian terjadi peningkatan vasopressor substansi yang mengakibatkan iskemia

jaringan dan kekurangan karnitin, karena kekurangan karnitin inilah maka terjadi

kram dan nyeri otot.

Selain diagnosa nyeri akut ada diagnosa lain yang dapat diangkat

berdasarkan keluhan Ny.D yang telah dikaji pada kasus yaitu kerusakan

integritas kulit berhubungan dengan penumpukan kristal urea di kulit ditandai

dengan gatal.
47

Kerusakan integritas kulit terjadi karena adanya gangguan reabsorbsi sisa-

sisa metabolisne yang tidak dapat diekresikan oleh ginjal sehingga terjadi

peningkatan natrium dan ureum yang seharusnya dikeluarkan bersama urine tetap

berada dalam darah pada akhirnya akan diekresikan melalui kapiler kulit yang bisa

membuat pigmen kulit juga berubah (Haryono, 2013; Prabowo & Pranata 2014).

Sisa limbah dari tubuh yang seharusnya dibuang melalui urine terserap oleh kulit

maka dapat menyebabkan pruritus, perubahan warna kulit, uremic frostsdan kulit

kering karena sering melakukan hemodialisa (LeMone dkk, 2015). Kerusakan

integritas kulit apabila tidak segera ditangani bisa mengiritasi dan menyebabkan

luka yang bisa menjadi infeksi akibat garukan pada kulit saat terasa gatal. Selain

itu pada saat menggaruk maka rasa gatal akan semakin berat hingga terjadi

ekskoriasi, jika terjadi malam hari dapat menggangu pola tidur. Pada kulit kering

dan bersisik akan menyebabkan gangguan body image yang bisa membuat

penderita menjadi kurang percaya diri karena kulitnya mengalami kerusakan

(LeMone dkk, 2015).

Intervensi yang diberikan kepada Ny. D berdasarkan masalah yang utama

diangkat yaitu tentang nyeri akut yang lebih ditekankan kepada intervensi

pemberian terapi serta pendidikan kesehatan tentang penyakit yang dialami klien

sehingga pasien lebih memahami tentang penyakitnya dan mampu mengontrol

nyeri yang dialami, salah satu pendidikan kesehatan yang ditekankan yaitu

pembatasan cairan yang sangat penting dipahami oleh pasien GGK. Kram dan

nyeri otot di karenakan cairan dan konsentrasi Na+ yang tidak adekuat dan
48

berkurangnya karnitin dalam jaringan yang semuanya dapat terjadi saat tindakan

hemodialisa.

Pada pasien dengan gagal ginjal kronis, salah satu masalah yang paling

sering adalah ketidakseimbangan hidrasi dalam tubuh. Status hidrasi yang normal

merupakan hal yang sangat penting. Maka dari itu, pemantauan cairan yang

dikonsumsi penderita harus diawasi dengan seksama. Karena rasa haus bukan lagi

petunjuk yang dapat dipakai untuk mengetahui hidrasi tubuh (Endang, Rachmadi,

& A., 2015). Asupan cairan yang terlalu sedikit akan mengakibatkan dehidrasi,

hipotensi dan memperberat gangguan fungsi ginjal. Parameter yang tepat untuk

diamati selain data asupan dan pengeluaran cairan yang dicatat dengan tepat

adalah pengukuran berat badan harian (Desak, 2015). Interdyalitic Weight Gain

(IDWG) merupakan indikator untuk mengetahui jumlah cairan yang masuk

selama periode interdialitik dan kepatuhan pasien terhadap pengaturan cairan pada

pasien yang mendapat terapi Hemodialisis. Penyokong terapi untuk mencegah

kelebihan beban cairan adalah pembatasan asupan cairan dan garam. Untuk

memperlambat kebutuhan akan dialisis dapat juga dengan menggunakan diuretik.

Pada pasien gagal ginjal kronik, pengkajian status cairan yang berkelanjutan

sangat lah penting, yang meliputi melakukan pembatasan asupan dan pengukuran

haluaran cairan yang akurat, menimbang berat badan setiap hari dan memantau

adanya komplikasi cairan. Bila tidak melakukan pengukuran asupan dan haluaran

cairan akan mengakibatkan edema, hipertensi, edema paru, gagal jantung, dan

distensi vena jugularis, kecuali akan dilakukan terapi dialisis (Morton, 2014).
49

Kepatuhan terhadap pengontrolan diet dan pembatasan asupan cairan

merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan tingkat kesehatan dan

kesejahteraan klien dengan hemodialisa kronis (Kaswari 2012). Menurut Iacono

(2008) diantara semua manajemen yang harus dipatuhi dalam terapi hemodialisa,

restriksi cairan merupakan yang paling sulit untuk dilakukan dan paling membuat

klien stres serta depresi. Hal tersebut yang membuat klien menjadi sering tidak

patuh terhadap aturan restriksi asupan cairan. Banyak penelitian terhadap klien

hemodialisa yang menyatakan bahwa mereka memiliki penambahan berat badan

interdialitik lebih besar dari 5,7% dari berat kering mereka, memilki resiko 35%

lebih tinggi terhadap kematian (Kaswari, 2012).

Pentingnya menjaga cairan adalah untuk menjaga aliran darah ke ginjal juga

meningkat yang juga meningkatkan laju filtrasi sehingga produksi urin juga

bertambah banyak (Hardisman 2015). Selain itu tanpa adanya pembatasan cairan,

akan mengakibatkan cairan menumpuk dan akan menimbulkan edema diseluruh

tubuh, kondisi ini akan membuat tekanan darah meningkat dan memperberat kerja

jantung. Penumpukan cairan juga akan masuk ke paru-paru sehingga membuat pasien

mengalami sesak napas, secara tidak langsung berat badan pasien juga mengalami

peningkatan berat badan yang cukup tajam (Ratnawati, 2016).

Sedangkan intervensi pada diagnosa kerusakan integritas kulit secara

terpadu dalam mengoptimalkan dan mempertahankan keseimbangan untuk

memperpanjang harapan hidup pasien yakni dapat ditangani dengan menjaga

kelembapan kulit, menjaga kelembapan kulit dapat dilakukan dengan perawatan

menggunakan lotion.
50

Implementasi yang dilakukan kepada Ny.D yaitu memberikan jus labu

siam yang diberikan jika Ny.D mengalami tekanan darah tinggi maupun tidak

yang diberikan selama 3 hari mendapatkan hasil adanya nyeri dan rasa gatal sudah

tidak ada dan klien sudah memahami tentang pembatasan cairan.

Dari implementsi yang diberikan kepada Ny.D didapatkan skala nyeri

Ny.D sebelum diberikan implementasi 7 dan adanya gatal serta badan tampak

merah dan setelah implementasi selama 3 hari skala nyeri 0 serta gatal yang

dialami hilang.

Sebelum Intervensi Sesudah Intervensi


DS : Klien mengatakan nyeri dibagian DS : Klien mengatakan keadaannya sudah
punggung dan lengan kiri seperti di cukup baik, nyerinya sudah tidak terasa lagi
timpa beban berat dan sudah tahu serta menjalankan
DO : Klien tampak meringis, keadaan pengobatan sesuai dengan anjuran tim
umum lemah, skala nyeri 7 medis
DO : TD : 130/80 mmHg, Hr : 85 x/i, RR :
19 x/i, T : 36,80C, klien tampak tenang,
kooperatif, skala nyeri 0

DS : Klien mengatakan gatal di seluruh DS : Klien mengatakan sudah tidak gatal


tubuh lagi dan klien sudah merasa sangat baik
DO : Tangan dan kaki tampak DO : Mukosa kulit lembab, eritema tidak
kemerahan dan klien tampak selalu ada
ingin menggaruk

Penilaian atau evaluasi merupakan langkah evaluasi dari proses

keperawatan atau kemajuan klien ke arah pencapaian tujuan (Potter & Perry,

2005). Dari tabel diatas diketahui evaluasi yang didapatkan selama 3 hari dengan

kepada Ny.D didapatkan keadaannya semakin membaik setelah dilakukan asuhan

keperawatan.
51

BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari hasil studi kasus yang dilakukan yaitu tentang “Asuhan Keperawatan

Pada Klien dengan Gangguan Sistem Perkemihan : Gagal Ginjal Kronik dengan

Pemberian Penkes Pembatasan Cairan”, maka penulis mengambil kesimpulan dan

saran sebagai berikut :

1. Pengkajian pada kasus Ny.D, yang di paparkan dalam bab sebelumnya

didapatkan data subyektif nyeri punggung dan lengan kiri serta gatal seluruh

tubuh data objektif skala nyeri 7 dan badan tampak merah.

2. Diagnosa keperawatan yang muncul setelah melakukan studi kasus yaitu : (1)

Nyeri akut dan, (2) Kerusakan integritas kulit

3. Intervensi yang diberikan kepada Ny. D berdasarkan masalah yang diangkat

yaitu tentang nyeri akut yang lebih ditekankan kepada intervensi pemberian

penkes pembatasan cairan, karena ketidakseimbangan cairan pada tubuh serta

proses hemodialisa dapat mengakibatkan nyeri dan keram otot.

4. Implementasi yang dilakukan kepeda Ny.D yaitu memberikan penkes

pembatasan cairan yang dilaksanakan selama 3 hari dan mendapatkan hasil

yang baik, dimana klien mampu memahami tentang pembatasan cairan serta

nyeri maupun gatal yang dialami klien sudah tidak ada.

5. Evaluasi yang didapatkan selama 3 hari dengan melakukan pemberian penkes

pembatasan cairan kepada Ny.D didapatkan hasil ada perubahan yang lebih
52

baik dilihat dari kondisi nyeri, kulit, dan juga pemahaman klien tentang

pembatasan cairan pada kasus yang dialaminya.

5.2 Saran

5.2.1 Bagi Pelayanan Keperawatan

Diharapkan hasil karya ilmiah akhir ners ini diharapkan menjadi acuan dan

dapat meningkatkan motivasi bagi tenaga perawat untuk mengaplikasikan asuhan

keperawatan mandiri terutama pada klien gagal ginjal kronik dalam memahami

pembatasan cairan pada kasus sebagai bahan masukan pedoman bagi akademik

dan rumah sakit untuk asuhan keperawatan pada klien dengan gagal ginjal kronik.

5.2.2 Pendidikan Keperawatan

Diharapkan dapat dijadikan bahan untuk pelaksanaan pendidikan serta

masukan dan perbandingan untuk penelitian atau karya tulis ilmiah yang lebih

lanjut tentang asuhan keperawatan pada klien dengan gagal ginjal kronik.

5.2.3 Bagi Penulis

Diharapkan penulis bia memperkaya wawasan tentang pembaharuan ilmu

seperti Evidence Based terbaru yang berkaitan dengan intervensi keperawatan

maupun pengetahuan teoritis dan bisa menerakannya.


DOKUMENTASI KEGIATAN

Anda mungkin juga menyukai