2402 6996 1 PB
2402 6996 1 PB
2402 6996 1 PB
Rusdiyantoro1
Jurusan Karawitan, Fakultas Seni Pertunjukan
Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta
[email protected]
Abstrak
Notasi Karawitan Jawa merupakan sebuah metode pencatatan permainan musik gamelan.
Ia dilahirkan setelah terjadi proses interaksi budaya yang cukup intensif antara orang-orang yang
berlatar budaya Jawa dengan budaya Barat. Sebelumnya masyarakat karawitan Jawa tidak men-
genal notasi. Sistem pewarisan permainan musiknya dilakukan dengan cara tradisi lisan. Notasi
Karawitan pertama kali diperkenalkan di pusat-pusat kebudayaan Jawa, yaitu di ibu kota kerajaan
Surakarta dan Yogyakarta, pada akhir abad ke-19. Tidak kurang dari delapan macam sistem notasi
diperkenalkan dan dikembangkan untuk mendokumentasi-kan gending Jawa agar tidak hilang.
Pada perkembangan selanjutnya notasi karawitan digunakan sebagai alat untuk belajar menabuh
gamelan. Dari ke delapan sistem notasi tersebut, hanya notasi Kepatihan yang dapat bertahan hing-
ga sekarang.
Notasi Kepatihan dapat bertahan dalam waktu yang lama, karena sistemnya relatif sederhana
dan terbuka untuk dikembangkan. Pemanfaat-an notasi angka tidak hanya untuk dokumentasi dan
pembelajaran gamelan, tetapi juga untuk pengkajian ilmu karawitan. Dampak dari penggunaan no-
tasi Kepatihan secara terus menerus dan sangat dominan, menjadikan penyajian karawitan menjadi
seragam. Sebuah kondisi yang bertentangan dengan sifat karawitan Jawa itu sendiri, dimana ket-
erbukaan terhadap berbagai gaya permainan dan penghargaan terhadap keberagaman lebih diuta-
makan. Untuk mengurangi dampak negatif, pemanfaatan notasi Kepatihan dalam proses belajar
Karawitan harus ditempatkan kembali sebagai alat bantu ingatan para pemusiknya. Pengemban-
gan sistem notasi Kepatihan lebih diarahkan untuk keperluan dokumentasi terhadap perbenda-
haraan garap dan teknik karawitan yang mulai hilang dari ingatan para pemusik gamelan.
Abstract
Javanese gamelan notation is one method for recording the playing of Javanese gamelan. It arose from
the intensive cultural interaction between those from Javanese and Western backgrounds. Before this, the
Javanese karawitan community did not know of notation, transmitting the music orally. Notation was first
introduced towards the end of the 19th century in the centres of Javanese culture: the court cities of Surakarta
and Yogyakarta. No fewer than eight systems of notation were introduced and developed to document Javanese
gendhing to prevent them from being lost. A subsequent development was the use of notation as a tool for
teaching how gamelan should be played. From these eight systems, only the Kepatihan notation has survived
to this day.
Kepatihan has been able to survive for so long because it is relatively simple and easily modified. The
use of cipher notation has not been restricted to documentation and pedagogy, but also to develop theories
of gamelan music (ilmu karawitan). The impact of Kepatihan’s widespread and continual use has been the
standardisation of gamelan performances, a condition at odds with the character of Javanese karawitan which
prioritises an openness to different styles of playing and respects diversity. To reduce this negative impact, the
use of Kepatihan notation in teaching should return to being a mnemonic tool for musicians, and developed as
a tool for documentation of garap and techniques that are beginning to be forgotten.
Keywords: karawitan, notation, recording, and recording.
membaca notasi musik Barat (Perlman, 1991: sadiningrat I), dikembangkan untuk berbagai
47-48). Penetrasi yang dilakukan pemerintah keperluan menurut sudut pandang penggu-
kolonial Belanda dalam pengajaran karawitan nanya. Notasi Kepatihan bukan hanya untuk
dengan sistem notasi Barat telah gagal, kemu- pendokumentasian gending agar tidak lenyap,
dian cara belajar karawitan Jawa dengan mem- tetapi juga dipakai untuk pedoman bagi para
baca notasi mulai ditumbuhkan oleh orang- penabuh dalam kegiatan menabuh gamelan.
orang Jawa. Bagi seorang komposer, notasi Kepatihan di-
gunakan sebagai media interaksi dengan para
Beberapa orang Jawa kreatif, yang
pemusik ketika akan memproduksi (menyajik-
memiliki pengalaman belajar dan bermain
an) karyanya.
musik dengan cara membaca notasi, bekerja
sama dengan para pemain gamelan, kemudian Demikian halnya dengan para peng-
berusaha untuk menciptakan sistem notasi un- kaji, notasi Kepatihan digunakan sebagai alat
tuk mendokumentasikan permainan karawi- bantu analisis dalam menafsir pathet untuk
tan. Beberapa percobaan dilakukan, dan hasil- menemukan teori pathet, dan atau menentukan
nya dipakai untuk alat pendokumentasian tafsir garap gending dan sebagainya. Notasi
dan pedoman untuk belajar musik (gamelan) angka yang diperkenalkan di Kepatihan, atas
Jawa dengan sistem notasi yang diciptakann- saran Brandts Buys kepada “Panitia Titilaras
ya. Di antara beberapa percobaan sistem nota- Jawa” bagi sekolah-sekolah pada tahun 1940,
si, maka notasi Kepatihanlah yang bertahan, dinamakan notasi (nut) Kepatihan. Maksud
dikembangkan, dan digunakan untuk berb- penamaan notasi Kepatihan adalah untuk
agai keperluan hingga sekarang. membedakan dengan notasi angka lainnya
(Sindusawarno 1960:63)
Di Jawa pengaruh kehadiran nota-
si musik mulai dirasakan sejak pertengahan Perkembangan awal notasi Kepatihan
abad ke-19, terutama dilingkungan istana-ista- dapat dirunut sejak diketemukannya sebuah
na kerajaan di Jawa dan para terpelajar. Mer- manuskrip berwujud transkripsi balungan
eka berharap bahwa dengan notasi, sebagian gending yang ditulis oleh Gandapangrawit
besar gending-gending Jawa dapat diselamat- (seorang pengrebab di istana Kasunanan) pada
kan dari kepunahannya. Sekurang-kurang- tahun 1890–an. Kemudian, disusul oleh War-
nya ada delapan sistem notasi diperkenalkan sapradangga transkripsi balungan gending
dan dipakai untuk mencatat notasi gending yang dihimpun sejak tahun 1905-1907. Dja-
Jawa, antara lain; notasi Kadipatèn, notasi And- koeb dan Wignyarumeksa mentranskrip se-
ha, notasi Soeryo Poetran, notasi Jayadipuran, jumlah gending yang diterbitkan dengan judul
notasi Sariswara (oleh Ki Hajar Dewantara), Serat Enut Gendhing Sléndro secara masal ber-
notasi Ranté, notasi Angka Kepatihan, dan no- kat adanya teknologi mesin cetak pada tahun
tasi Angka Sulardi. Barangkali ini juga sebuah 1919 (Djakoeb dan Wignjaroemeksa, 1919).
jawaban sementara atas stimulan yang diberi-
Pemanfaatan notasi Kepatihan untuk
kan oleh orang-orang Barat (Eropa) atau Indo
kegiatan belajar gamelan dimulai ketika Pa-
dalam membuat notasi permainan instrumen
heman Radyapustaka mengadakan kursus mena-
atau vokal dengan menggunakan notasi balok
buh gamelan untuk masyarakat umum. Komisi
Barat.
Pasinaon Nabuh Gamelan yang bertugas menye-
Sejak diperkenalkan pertama kali lenggarakan kursus, menyiapkan naskah yang
sistem notasi pada akhir abad ke-19 hingga berisi pengetahuan dasar menabuh gamelan
sekarang, dari sejumlah sistem notasi terse- dan cara memainkan gamelan dengan mem-
but, hanya satu yang bertahan dan terus-me- baca notasi. Komisi ini menyusun dua buah
nerus dikembangkan, yaitu notasi angka buku yang digunakan sebagai pegangan atau
yang diperkenalkan di Kepatihan, yang panduan tertulis dalam menabuh gamelan
konon diperkenalkan oleh Jayasudirja (Wrek- bagi para siswanya, yaitu Buku Piwulang Nab-
uh Gamelan jilid I (1924), dan jilid II (1925). Kur- juga menembus batas ruang budaya karawitan
sus tersebut diselenggarakan sejak tahun 1924, Jawa. Notasi ini tidak hanya dipakai sebagai
ketika Paheman Radyapustaka dipimpin oleh media transmisi atau pewarisan dan alih ket-
Wuryaningrat (tahun 1914-1926) dilanjutkan rampilan baik di sekolah-sekolah formal mau-
masa kepemimpinan Hadiwijaya, hingga bera- pun perkumpulan-perkumpulan karawitan di
khirnya kursus tersebut pada tahun 1942 (Sin- Surakarta, akan tetapi juga dipakai di suatu
dusawarna 1960: 12). wilayah budaya yang pernah memiliki sistem
notasinya sendiri. Kehadirannya kemudian
Perkembangan notasi Kepatihan beri-
menggeser peran sistem notasi karawitan se-
kutnya adalah sekolah formal yang menye-
tempat. Intensitas penggunaan notasi Andha
lenggarakan pendidikan seni karawitan yang
menurun, ditengarai sedikitnya jumlah kajian
didirikan oleh pemerintah, yaitu Konservatori
karawitan Jawa maupun pengajaran dan pem-
Karawitan Indonesia (KOKAR) di Surakarta
belajaran karawitan dengan menggunakan
pada tahun 1950, dan Akademi Seni Karawi-
media notasi Andha.
tan Indonesia (ASKI) di Surakarta pada tahun
1964. Oleh karena itu demi efisiensi waktu Notasi Kepatihan ternyata telah mene-
dan tenaga, maka disusunlah modul-modul mpuh perjalanan panjang yang penuh dengan
pembelajaran karawitan yang dirancang ber- perdebatan diantara pemerhati dan pemikir
dasarkan urutan tingkat kesulitan dalam bela- karawitan Jawa. Perdebatan terjadi berkaitan
jar menabuh gamelan. Untuk memperlancar dengan penandaan dengan angka-angka se-
kegiatan belajar siswa, maka para guru yang bagai tanda nada dari nada besar ke nada ke-
berlatar cara belajar lisan terpaksa menuliskan cil, dan juga mengapa menggunakan angka ar-
bahan pelajaran dalam bentuk notasi, men- abic, dan sebagainya. Perdebatan yang terjadi
cakup transkripsi notasi berbagai permainan sejak tahun 1920 sampai 1940-an ini didukung
instrumen antara lain; transkripsi garap rebab, oleh suasana akademik yang terbangun dian-
céngkok gendèr barung, sekaran kendhang, notasi tara para terpelajar saat itu, sehingga memu-
tembang, dan sebagainya. ngkinkan terjadinya wacana ini. Perdebatan
paling sengit terjadi antara Dewantara dengan
Perkembangan selanjutnya adanya
Purbacaraka, dimuat dalam majalah Poejangga
kebutuhan kepastian notasi balungan gend-
Baroe (Sumarsam 2003:198-199, 416-417).
ing. Notasi yang dapat menunjukkan wilayah
nada balungan gending sangat penting. Wa- Dari gambaran tersebut, makin jelas
cana penumbuhan ilmu karawitan mulai di- kebertahanan dan kegunaan notasi Kepatihan.
dorong, maka notasi balungan gending yang Pada kenyataannya, sekarang notasi sangat
akurat dapat digunakan sebagai salah satu diperlukan untuk berbagai keperluan. Kegia-
alat analisis untuk menafsir garap berbagai tan pengajaran karawitan yang dilakukan oleh
instrumen gamelan dan pathet. Akurasi nota- masyarakat umum, atau proses pembelajaran
si balungan gending tidak hanya berlaku un- karawitan pada sekolah-sekolah seni sejak
tuk gending-gending tradisi lama, akan tetapi berpuluh tahun yang lalu telah menggunakan
untuk hasil penciptaan komposisi musik baru jasa notasi karawitan. Notasi Kepatihan yang
yang berakar pada karawitan pun diperlukan. masih bertahan hingga sekarang dikaji keber-
Diakui atau tidak, notasi karawitan menjadi tahanannya, penggunaannya dalam keperluan
komponen penting, selain dalam pengemban- praktis karawitan maupun sebagai alat bantu
gan ilmu pengetahuan dan teknologi karaw- analisis dalam pengkajian karawitan dalam
itan, juga sebagai media komunikasi antara kaitannya dengan dunia karawitan sekarang
pencipta dengan para pemusiknya. yang selalu berkembang.
Sebagian besar notasi Ranté yang berha- notasi Ranté mengalami kesulitan, kemudian
sil ditemukan adalah karya Gunasentika. Sam- Jayasudirja membuat sendiri notasi gending
pai di Kepatihan notasi Ranté sudah berpindah untuk pelajaran para siswanya. Ternyata hasil-
sebanyak tiga kali, yaitu dari Karini diserah- nya lebih baik karena para siswa dapat mengi-
kan kepada Sudiradraka dan terakhir kepada kuti pelajaran menabuh gamelan dengan lebih
patih Sasradiningrat IV (Kepatihan). Notasi mudah. Notasi tersebut berupa angka angka
Ranté yang tertua ditemukan berangka tahun untuk menandai bilah-bilah saron, yaitu ang-
1879/80, dan penulisan berlangsung samapai ka 1 sampai 7. Lahirlah sebuah notasi karawi-
tahun 1910, bahkan ketika notasi angka Kepa- tan yang baru, yaitu notasi Angka. Karena di-
tihan mulai dikembangkan (Perlman 1991:40). munculkan di Kepatihan, maka notasi tersebut
Sudiradraka kemungkinan pernah memper- dinamakan notasi Angka Kepatihan. Bukan se-
lihatkan kepada koleganya sesama pengraw- kedar nama, tetapi dari nama tersebut mengin-
it tentang cara penulisan gending dengan dikasikan bahwa notasinya berupa angka (ar-
notasi yang dikembangkan berdasarkan ide abic) bukan gambar atau aksara, sedangkan
Karini tersebut. Notasi Ranté juga mungkin Kepatihan adalah nama untuk membedakan
pernah dipakai oleh koleganya untuk pen- dengan notasi angka lainnya. Penetapan nama
catatan karawitan, terbukti ditemukannya no- menjadi notasi angka Kepatihan atau cukup
tasi balungan gending dalam notasi Ranté yang dengan notasi Kepatihan baru di lakukan pada
ditandai sebagai tulisan Gunapangrawit (Perl- tahun 1940 melalui sebuah diskusi yang cukup
man 1991:48-53). panjang (Sindusawarna 1960:63).
grawit 1990:167-168, Sindusawarno 1960:57)). ing Laras Slendro dan Buku Nut Gendhing laras
Pelog ditulis oleh Gandapangrawit pada akhir
Jayasudirja cukup cermat dalam memilih
abad ke- 19. Catatan yang diberikan oleh SMP
angka-angka, tidak tampak meniru notasi ang-
(Surakarta Manuscript Project) bahwa, usia buku
ka Cheve. Angka yang dipilih adalah bilangan
tersebut sejaman dengan akhir masa pemer-
ekan (satuan), nama nada yang bunyinya sama
intahan PB IX atau awal masa pemerintahan
dengan bilangan disamakan yaitu angka 5 un-
PB X di karaton Kasunanan Surakarta, berar-
tuk nada lima dan angka 6 untuk nada Nem,
ti sekitar tahun 1893. Notasi balungan gending
karena terdapat nada- nada yang namanya
hasil transkripsi Gandapangrawit adalah yang
sama baik laras slendro maupun pelog maka
tertua yang sudah ditemukan hingga seka-
angkanya disamakan, yaitu nada gulu dan
rang. Buku tersebut memuat notasi balungan
nada dhadha, karena antara nada dhadha dan
gending sebanyak 151 gending laras sléndro dan
nada lima terdapat nada pelog, maka nada pelog
21 gendiing laras pelog (Gandapangrawit 1893).
diberi tanda angka 4, selanjutnya nada dhadha
Contoh: Penulisan Notasi Kepatihan
dan gulu diurutkan kebawah yaitu angka 3 un-
tuk nada dhadha dan angka 2 untuk nada gulu.
Nada barang alit slendro dan nada barang pel-
og posisinya adalah paling kanan, karena nada
nem telah diberi angka 6 maka nada barang
slendro maupun pelog ditandai dengan angka
7. Bagaimana dengan nada barang slendro dan
penunggul pelog yang masing-masing berada
disisi paling kanan?, solusinya adalah disa-
makan yaitu menggunakan angka 1.
gaya daerah lain di KOKAR dan ISI Surakarta karawitan Jawa bagi pembaca Eropa, khusus-
pun menggunakan notasi Kepatihan. nya Inggris. Notasi digunakan sebagai salah
satu media untuk mewariskan dan menyebar-
Dampak yang ditimbulkan dari peng-
kan unsur-unsur kebudayaan. Sistem nota-
gunaan notasi Kepatihan dalam proses pem-
si Balok adalah yang paling awal digunakan
belajaran karawitan Jawa antara lain; 1) siswa
untuk mentranskripsi musik karawitan Jawa.
kurang peka dalam mendemonstrasikan hasil
Para tokoh yang diprakarsai Carl Frederick
belajarnya, 2) siswa kurang dapat mengikuti
Winter, dan dilnjutkan oleh F.W. Winter dan
proses interaksi diantara instrumen-instrumen
F.L. Winter pencatatan tembang Jawa dengan
gamelan, 3) céngkok dan wiledan yang dimain-
notasi Balok.
kan seragam dan tidak kaya, 4) siswa menjadi
kurang percaya diri ketika menabuh dengan Notasi Ranté diperkenalkan di istana
kelompok karawitan yang profesional. Imp- Mangkunegaran, dan notasi Kadipaten di Paku
likasi dari penggunaan notasi Kepatihan da- Alaman, serta notasi Andha diperkenalkan di
lam penyajian karawitan, dapat dipastikan istana Kasultanan Yogyakarta. Kehadiran
akan mengurangi daya kreativitas para seni- sistem notasi karawitan Jawa diasumsi-kan
mannya. Keberagaman gaya individual men- sebagai pembanding sekaligus pesaing dari
jadi berkurang, interkasi yang terjadi diantara notasi musik Barat. Kemiripan bentuk notasi
instrumen dalam merespon situasi pertunju- karawitan dengan notasi balok Barat mengin-
kan tidak muncul, dan tidak ada kejutan. dikasikan dua hal. Pertama, banyak orang
Jawa yang belajar musik dengan teknologi
Penyeragaman yang secara sengaja
Barat, akhirnya menstimulasi mereka untuk
dilakukan dalam berbagai lomba karawitan
membuat sendiri teknologi pencatatan musik.
di Surakarta dan daerah lain di Jawa Tengah
Ke dua, sistem notasi Balok Barat tidak dapat
turut memberi andil bagi terjadinya penyerag-
mewadahi sistem nada pada karawitan Jawa,
aman bentuk sajian dan garap karawitan Jawa
sehingga diciptakanlah sistem notasi karaw-
(Supanggah 2003:120-121).
itan sendiri. Sejak munculanya sistem notasi
Dampak positif dari penggunaan nota- karawitan asli ciptaan orang Jawa, kemudian
si Kepatihan adalah terdokumentasikannya terjadi persebaran ke berbagai arah, baik pero-
berbagai jenis permainan instrumen dan tem- rangan maupun kelembagaan.
bang, sehingga gending-gending atau tem-
Notasi Ranté kemudian dikembangkan
bang-tembang kuna dapat dipelajari hingga
oleh Gunasentika, merupakan salah satu pro-
sekarang. Kekurangan sistem notasi sebagai
duk teknologi pencatatan notasi karawitan
alat dokumentasi harus dilengkapi dengan
yang kemudian disebarluaskan kepada kelu-
media lain, yaitu rekaman yang baik yang
arga dekat dan para koleganya. Ratusan gend-
disertai deskripsi mengenai kelompok mana
ing gaya Surakarta berhasil didokumentasikan
yang direkam, siapa pemainnya, kapan, untuk
dengan menggunakan sistem notasi Ranté.
keperluan apa, gendingnya apa saja dan seter-
Notasi Ranté kemudiaan mengalami mobili-
usnya. Dengan demikian, meskipun dalam ke-
tas vertikal, Gunasentika menyerahkan hasil
terbatasannya notasi Kepatihan tetap berman-
dokumentasi gending-gending tersebut kepa-
faat bagi kehidupan karawitan Jawa sekarang
da tuannya (patih Sasranagara). Di tempatn-
dan yang akan datang.
ya yang baru notasi Ranté disebarkan kepada
para putra dan sentana di Kepatihan sebagai
Simpulan media pembelajaran menabuh gamelan. Pros-
es penyebaran sistem notasi Ranté mengalami
Kehadiran notasi sebagai cara pencatatan kendala, karena para pebelajar gamelan men-
Karawitan dimulai pada awal abad ke 19. Sir galami kesulitan dalam belajar nabuh gamelan.
Thomas Stamford Raffles adalah orang Eropa
pertama yang memperkenalkan komposisi Melihat kondisi tersebut, Jayasudirja
dang, dan Gender barung (RKG) diadakan Dewantara, Ki Hadjar. 1963. Sari Swara. Yog-
secara klasikal dengan membaca notasi. Nota- yakarta
si-notasi permainan instrumen tersebut kemu-
dian dibuatkan rumus-rumus untuk memu- Djakoeb, dan Wignjaroemeksa. 1913. Layang
dahkan siswa dalam menghafal. Anyumurupake Pratikele Bab Sinau
Nabuh Sarta Panggawene Gamelan.
Perkembangan cara penulisan notasi Batavia: Drukkerij Eertijd H.M. van
Kepatihan mengalami puncaknya ketika ASKI Dorp.
Surakarta mulai menyebarkannya. Pengua-
saan teknologi notasi karawitan yang dikua- ---------- , 1919. Serat Enut Gendhing Slendro. Bat-
sai oleh para lulusan ASKI (sekarang menjadi avia: Landsdrukkerij.
ISI) Surakarta, mengantarkan mereka menja-
Djumadi. 1985. Tuntunan Belajar Rebab. Sura-
di guru dan pelatih karawitan yang tersebar
karta: SMKI Surakarta.
di wilayah Nusantara, terutama Jawa Tengah
dan Jawa Timur. Dengan demikian penyeba- Gondapangrawit. Buku Gending Slendro. Sura-
ran sistem notasi Kepatihan secara berkelanju- karta: Dikarang dan ditulis Sura-
tan dilakukan oleh para guru karawitan. karta akhir abad ke 19
Sejak diperkenalkannya teknologi kom-
Harrap’s Reference. 1989. Harrap’s Illustrated
puter untuk penulisan notasi karawitan,
Dictionari of Music and Musician.
sistem notasi Kepatihan makin berkembang
London: Clark Robinson Limited.
dan menyebar ke segala penjuru. Pendoku-
mentasian berupa perekaman dengan berbagai Komisi Pasinaon Nabuh Gamelan ing Paheman
media semakin melengkapi penyebaran nota- Radyapustaka Surakarta. 1924-25.
si Kepatihan. Teknologi komputer dan sistem Buku Piwulang Nabuh Gamelan jilid I
internet, akses untuk mendapatkan informasi dan jilid II. Surakarta: Swastika.
tentang karawitan dan penyajian karawitan
dapat dilakukan dengan cepat. Kunst, Jaap. 1973. Music in Java: Its History, Its
Theory.Its Technique. 2 jilid. Ed. E.L.
Dengan segala kekurangannya cara pem- Heins. The Hague: Martinus Nijhoff
belajaran dengan notasi, sistem notasi masih
tetap diperlukan untuk kehidupan karawitan Margana, S. 2004. Pujangga Jawa dan Bayang-
pada masa mendatang. Beberapa sistem notasi bayang Kolonial. Yogyakarta: Pusta-
karawitan yang pernah diciptakan, hanya no- ka Pelajar.
tasi Kepatihan yang bertahan hingga sekarang.
Keberadaannya memiliki daya tahan dan daya Martopangrawit, R.L. 1967. Tetembangan: Vocal
hidup, sehingga Notasi Kepatihan masih dibu- yang Berhubungan dengan Karawitan.
tuhkan untuk banyak kepentingan. Surakarta: Dewan Mahasiswa ASKI
Surakarta.
Mlayawidada. 1977. Gending-gending Jawa Sumarsam. 2003. Gamelan: Interaksi Budaya dan
Gaya Surakarta 3 jilid. Surakarta: Perkembangan Musikal di Jawa. Yog-
Penerbit ASKI Surakarta. yakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.
Perlman, Marc. 1991. “Asal-usul Notasi Gend- Supanggah, Rahayu. 2002. Bothekan Karawitan
hing Jawa di Surakarta: Suatu Ru- I. Jakarta: Penerbit The Ford Foun-
musan Sejarah Nut Ranté” dalam dation bekerjasama dengan Mas-
Seni Pertunjukan Indonesia. Jurnal yarakat Seni Pertunjukan Indone-
Masyarakat Musikologi Indonesia sia.
Tahun II No. 2 1991, halaman 36- --------------. 1976. “Notasi Karawitan”. Maka-
68. Surakarta: Yayasan Masyarakat lah untuk Seminar Notasi Karaw-
Musikologi Indonesia bekerjasama itan Proyek Pembinaan Kesenian.
dengan STSI-Press Surakarta. Surakarta: Direktorat Pembinaan
Kesenian Departemen Pendidikan
Rustopo, Slamet Suparno, T. , Waridi. 2007. Ke- dan Kebudayaan.
hidupan Karawitan Pada Masa Pemer-
intahan Paku Buwana X, Mangkunaga- Waridi. 2008. Gagasan dan Kekaryaan Tiga Empu
ra IV, dan Informasi Oral. Surakarta: Karawitan:Pilar Kehidupan Karawitan
Penerbit ISI Press Surakarta. Jawa Gaya Surakarta 1950-1970 –an.
Bandung: Penerbit Etnoteater Pub-
Sindusawarno. 1960. “Radyapustaka dan Noot lisher bekerjasama dengan BACC
Angka”, dalam Nawa Windu Rady- Kota Bandung dan Pascasarjana ISI
apustaka halaman 57-63. Surakarta: Surakarta.
Paheman Radyapustaka Surakarta.
............. 2001. Martopangrawit Empu Karwitan
Suhatno. 1981. “ Riwayat Hidup dan Pengab- Gaya Surakarta. Yogyakarta: Pener-
dian Ki Sindusawarno” dalam Bi- bit Yayasan Mahavira bekerjasama
ografi Tokoh-tokoh Cendekiawan dengan Yayasan Adikarya IKPI
Kebudayaan, halaman 1-48 (ed. Ta- dan The Ford Foundation.
shadi). Yogyakarta: Balai Penelitian Winter, F.W. 1883. Tembang Jawa Nganggo
Sejarah dan Budaya Yogyakarta. Musik: Kanggo ing Pamulangan (ed.
F.L. Winter) Batavia: Landsdruk-
Sulardi, Raden Bagus. 1916. Serat Pradongga.
kerij.
Weltevreden: Indonesische Druk-
kerij.