A.
Konsep Kebutuhan Dasar Eliminsi
1. Pengertian
a. Gangguan Eliminasi Urin
Gangguan eliminasi urin adalah keadaan dimana seorang
individu mengalami atau berisiko mengalami disfungsi
eliminasi urine. Biasanya orang yang mengalami gangguan
eliminasi urin akan dilakukan kateterisasi urine, yaitu
tindakan memasukan selang kateter ke dalam kandung kemih
melalui uretra dengan tujuan mengeluarkan urine.
b. Gangguan Eliminasi Fekal
Gangguan eliminasi fekal adalah keadaan dimana
seorang individu mengalami atau berisiko tinggi mengalami
statis pada usus besar, mengakibatkan jarang buang air besar,
keras, feses kering. Untuk mengatasi gangguan eliminasi
fekal biasanya dilakukan huknah, baik huknah tinggi maupun
huknah rendah. Memasukkan cairan hangat melalui anus
sampai ke kolon desenden dengan menggunakan kanul rekti.
2. Masalah-masalah pada Gangguan Eliminasi
a. Masalah-masalah dalam eliminasi urin :
1) Retensi, yaitu adanya penumpukan urine didalam
kandung kemih dan ketidak sanggupan kandung kemih
untuk mengosongkan diri.
2) Inkontinensi urine, yaitu ketidaksanggupan sementara
atau permanen otot sfingter eksterna untuk mengontrol
keluarnya urine dari kandung kemih.
3) Enuresis, Sering terjadi pada anak-anak, umumnya terjadi
pada malam hari (nocturnal enuresis), dapat terjadi satu
kali atau lebih dalam semalam.
4) Urgency, adalah perasaan seseorang untuk berkemih.
5) Dysuria, adanya rasa sakit atau kesulitan dalam berkemih
6) Polyuria, Produksi urine abnormal dalam jumlah besar
oleh ginjal, seperti 2.500 ml/hari, tanpa adanya
peningkatan intake cairan.
7) Urinari suppresi, adalah berhenti mendadak produksi
urine
b. Masalah eliminasi fekal yang sering ditemukan yaitu:
1) Konstipasi, merupakan gejala, bukan penyakit yaitu
menurunnya frekuensi BAB disertai dengan pengeluaran feses
yang sulit, keras, dan mengejan. BAB yang keras dapat
menyebabkan nyeri rektum. Kondisi ini terjadi karena feses
berada di intestinal lebih lama, sehingga banyak air diserap.
2) Impaction, merupakan akibat konstipasi yang tidak teratur,
sehingga tumpukan feses yang keras di rektum tidak bisa
dikeluarkan. Impaction berat, tumpukan feses sampai pada
kolon sigmoid.
3) Diare, merupakan BAB sering dengan cairan dan feses yang
tidak berbentuk. Isi intestinal melewati usus halus dan kolon
sangat cepat. Iritasi di dalam kolon merupakan faktor tambahan
yang menyebabkan meningkatkan sekresi mukosa. Akibatnya
feses menjadi encer sehingga pasien tidak dapat mengontrol dan
menahan BAB.
4) Inkontinensia fecal, yaitu suatu keadaan tidak mampu
mengontrol BAB dan udara dari anus, BAB encer dan
jumlahnya banyak. Umumnya disertai dengan gangguan fungsi
spingter anal, penyakit neuromuskuler, trauma spinal cord dan
tumor spingter anal eksternal. Pada situasi tertentu secara mental
pasien sadar akan kebutuhan BAB tapi tidak sadar secara fisik.
Kebutuhan dasar pasien tergantung pada perawat.
5) Flatulens, yaitu menumpuknya gas pada lumen intestinal,
dinding usus meregang dan distended, merasa penuh, nyeri dan
kram. Biasanya gas keluar melalui mulut (sendawa) atau anus
(flatus). Hal-hal yang menyebabkan peningkatan gas di usus
adalah pemecahan makanan oleh bakteri yang menghasilkan gas
metan, pembusukan di usus yang menghasilkan CO2.
6) Hemoroid, yaitu dilatasi pembengkakan vena pada dinding
rektum (bisa internal atau eksternal). Hal ini terjadi pada
defekasi yang keras, kehamilan, gagal jantung dan penyakit hati
menahun. Perdarahan dapat terjadi dengan mudah jika dinding
pembuluh darah teregang. Jika terjadi infla-masi dan
pengerasan, maka pasien merasa panas dan gatal. Kadang-
kadang BAB dilupakan oleh pasien, karena saat BAB
menimbulkan nyeri. Akibatnya pasien mengalami konstipasi.
3. Etiologi
a. Gangguan Eliminasi Urin
1) Intake cairan
Jumlah dan type makanan merupakan faktor utama yang
mempengaruhi output urine atau defekasi. Seperti protein dan
sodium mempengaruhi jumlah urine yang keluar, kopi
meningkatkan pembentukan urine intake cairan dari kebutuhan,
akibatnya output urine lebih banyak.
2) Aktivitas
Aktifitas sangat dibutuhkan untuk mempertahankan tonus
otot. Eliminasi urine membutuhkan tonus otot kandung
kemih yang baik untuk tonus sfingter internal dan
eksternal. Hilangnya tonus otot kandung kemih terjadi
pada masyarakat yang menggunakan kateter untuk
periode waktu yang lama. Karena urine secara terus
menerus dialirkan keluar kandung kemih, otot-otot itu
tidak pernah merenggang dan dapat menjadi tidak
berfungsi. Aktifitas yang lebih berat akan mempengaruhi
jumlah urine yang diproduksi, hal ini disebabkan karena
lebih besar metabolisme tubuh
3) Obstruksi; batu ginjal, pertumbuhan jaringan abnormal, striktur
urethra
4) Infeksi
5) Kehamilan
6) Penyakit; pembesaran kelenjar ptostat
7) Trauma sumsum tulang belakang
8) Operasi pada daerah abdomen bawah, pelviks, kandung kemih,
urethra.
9) Umur
10) Penggunaan obat-obatan
b. Gangguan Eliminasi Fekal
1) Pola diet tidak adekuat/tidak sempurna:
Makanan adalah faktor utama yang mempengaruhi eliminasi
feses. Cukupnya selulosa, serat pada makanan, penting untuk
memperbesar volume feses. Makanantertentu pada beberapa
orang sulit atau tidak bisa dicerna. Ketidakmampuan ini
berdampak pada gangguan pencernaan, di beberapa bagian jalur
dari pengairan feses. Makan yang teratur mempengaruhi
defekasi. Makan yang tidak teratur dapat mengganggu
keteraturan pola defekasi. Individu yang makan pada waktu
yang sama setiap hari mempunyai suatu keteraturan waktu,
respon fisiologi pada pemasukan makanan dan keteraturan pola
aktivitas peristaltik di colon.
2) Cairan
Pemasukan cairan juga mempengaruhi eliminasi feses. Ketika
pemasukan cairan yang adekuat ataupun pengeluaran (cth: urine,
muntah) yang berlebihan untuk beberapa alasan, tubuh
melanjutkan untuk mereabsorbsi air dari chyme ketika ia lewat
di sepanjang colon. Dampaknya chyme menjadi lebih kering
dari normal, menghasilkan feses yang keras. Ditambah lagi
berkurangnya pemasukan cairan memperlambat perjalanan
chyme di sepanjang intestinal, sehingga meningkatkan
reabsorbsi cairan dari chyme
3) Meningkatnya stress psikologi
Dapat dilihat bahwa stres dapat mempengaruhi defekasi.
Penyakit- penyakit tertentu termasuk diare kronik, seperti ulcus
pada collitis, bisa jadi mempunyai komponen psikologi.
Diketahui juga bahwa beberapa orang yagn cemas atau marah
dapat meningkatkan aktivitas peristaltik dan frekuensi diare.
Ditambah lagi orang yagn depresi bisa memperlambat motilitas
intestinal, yang berdampak pada konstipasi
4) Kurang aktifitas, kurang berolahraga, berbaring lama.
Pada pasien immobilisasi atau bedrest akan terjadi penurunan
gerak peristaltic dan dapat menyebabkan melambatnya feses
menuju rectum dalam waktu lama dan terjadi reabsorpsi cairan
feses sehingga feses mengeras
5) Obat-obatan
Beberapa obat memiliki efek samping yang dapat berpengeruh
terhadap eliminasi yang normal. Beberapa menyebabkan diare;
yang lain seperti dosis yang besar dari tranquilizer tertentu dan
diikuti dengan prosedur pemberian morphin dan codein,
menyebabkan konstipasi. Beberapa obat secara langsung
mempengaruhi eliminasi. Laxative adalah obat yang
merangsang aktivitas usus dan memudahkan eliminasi feses.
Obat-obatan ini melunakkan feses, mempermudah defekasi.
Obat-obatan tertentu seperti dicyclomine hydrochloride
(Bentyl), menekan aktivitas peristaltik dan kadang- kadang
digunakan untuk mengobati diare
a) Usia; Umur tidak hanya mempengaruhi karakteristik feses,
tapi juga pengontrolannya. Anak-anak tidak mampu
mengontrol eliminasinya sampai sistem neuromuskular
berkembang, biasanya antara umur 2 – 3 tahun. Orang
dewasajuga mengalami perubahan pengalaman yang dapat
mempengaruhi proses pengosongan lambung. Di antaranya
adalah atony (berkurangnya tonus otot yang normal) dari
otot-otot polos colon yang dapat berakibat pada
melambatnya peristaltik dan mengerasnya (mengering)
feses, dan menurunnya tonus dari otot-otot perut yagn juga
menurunkan tekanan selama proses pengosongan lambung.
Beberapa orang dewasa juga mengalami penurunan kontrol
terhadap muskulus spinkter ani yang dapat berdampak pada
proses defekasi.
b) Penyakit-penyakit seperti obstruksi usus, paralitik
ileus, kecelakaan pada spinal cord dan tumor.
Cedera pada sumsum tulang belakan dan kepala
dapat menurunkan stimulus sensori untuk defekasi.
Gangguan mobilitas bisa membatasi kemampuan
klien untuk merespon terhadap keinginan defekasi
ketika dia tidak dapat menemukan toilet atau
mendapat bantuan. Akibatnya, klien bisa mengalami
konstipasi. Atau seorang klien bisa mengalami fecal
inkontinentia karena sangat berkurangnya fungsi
dari spinkter ani
4. Faktor predisposisi/Faktor pencetus
a. Respon keinginan awal untuk berkemih atau defekasi.
Beberapa masyarakat mempunyai kebiasaan mengabaikan respon
awal untuk berkemih atau defekasi. Akibatnya urine banyak tertahan
di kandung kemih. Begitu pula dengan feses menjadi mengeras
karena terlalu lama di rectum dan terjadi reabsorbsi cairan.
b. Gaya hidup.
Banyak segi gaya hidup mempengaruhi seseorang dalam hal
eliminasi urine dan defekasi. Tersedianya fasilitas toilet atau kamar
mandi dapat mempengaruhi frekuensi eliminasi dan defekasi.
Praktek eliminasi keluarga dapat mempengaruhi tingkah laku
c. Stress psikologi
Meningkatnya stress seseorang dapat mengakibatkan meningkatnya
frekuensi keinginan berkemih, hal ini karena meningkatnya sensitif
untuk keinginan berkemih dan atau meningkatnya jumlah urine yang
diproduksi.
d. Tingkat perkembangan.
Tingkat perkembangan juga akan mempengaruhi pola berkemih.
Pada wanita hamil kapasitas kandung kemihnya menurun karena
adanya tekanan dari fetus atau adanya lebih sering berkemih. Pada
usia tua terjadi penurunan tonus otot kandung kemih dan penurunan
gerakan peristaltik intestinal
e. Kondisi Patologis.
f. Demam dapat menurunkan produksi urine (jumlah & karakter).
g. Obat-obatan, diuretiik dapat meningkatkan output urine. Analgetik
dapat terjadi retensi urine.
5. Patofisiologi
a. Gangguan Eliminasi Urin
Gangguan pada eliminasi sangat beragam seperti yang telah
dijelaskan di atas. Masing-masing gangguan tersebut disebabkan
oleh etiologi yang berbeda. Pada pasien dengan usia tua, trauma
yang menyebabkan cedera medulla spinal, akan menyebabkan
gangguan dalam mengkontrol urin/ inkontinensia urin. Gangguan
traumatik pada tulang belakang bisa mengakibatkan kerusakan pada
medulla spinalis. Lesi traumatik pada medulla spinalis tidak selalu
terjadi bersama-sama dengan adanya fraktur atau dislokasi. Tanpa
kerusakan yang nyata pada tulang belakang, efek traumatiknya bisa
mengakibatkan efek yang nyata di medulla spinallis. Cedera
medulla spinalis (CMS) merupakan salah satu penyebab gangguan
fungsi saraf termasuk pada persyarafan berkemih dan defekasi.
Komplikasi cedera spinal dapat menyebabkan syok neurogenik
dikaitkan dengan cedera medulla spinalis yang umumnya dikaitkan
sebagai syok spinal. Syok spinal merupakan depresi tiba-tiba
aktivitas reflex pada medulla spinalis (areflexia) di bawah tingkat
cedera. Dalam kondisi ini, otot- otot yang dipersyarafi oleh bagian
segmen medulla yang ada di bawah tingkat lesi menjadi paralisis
komplet dan fleksid, dan refleks-refleksnya tidak ada. Hal ini
mempengaruhi refleks yang merangsang fungsi berkemih dan
defekasi. Distensi usus dan ileus paralitik disebabkan oleh depresi
refleks yang dapat diatasi dengan dekompresi usus (Brunner &
Suddarth, 2002). Hal senada disampaikan Sjamsuhidajat (2004),
pada komplikasi syok spinal terdapat tanda gangguan fungsi
autonom berupa kulit kering karena tidak berkeringat dan hipotensi
ortostatik serta gangguan fungsi kandung kemih dan gangguan
defekasi.
Proses berkemih melibatkan 2 proses yang berbeda yaitu
pengisian dan penyimpanan urine dan pengosongan kandung kemih.
Hal ini saling berlawanan dan bergantian secara normal. Aktivitas
otot-otot kandung kemih dalam hal penyimpanan dan pengeluaran
urin dikontrol oleh sistem saraf otonom dan somatik. Selama fase
pengisian, pengaruh sistem saraf simpatis terhadap kandung kemih
menjadi bertekanan rendah dengan meningkatkan resistensi saluran
kemih. Penyimpanan urin dikoordinasikan oleh hambatan sistem
simpatis dari aktivitas kontraktil otot detrusor yang dikaitkan dengan
peningkatan tekanan otot dari leher kandung kemih dan proksimal
uretra.
Pengeluaran urine secara normal timbul akibat dari kontraksi
yang simultan otot detrusor dan relaksasi saluran kemih. Hal ini
dipengaruhi oleh sistem saraf parasimpatis yang mempunyai
neurotransmiter utama yaitu asetilkholin, suatu agen kolinergik.
Selama fase pengisian, impuls afferen ditransmisikan ke saraf
sensoris pada ujung ganglion dorsal spinal sakral segmen 2-4 dan
informasikan ke batang otak. Impuls saraf dari batang otak
menghambat aliran parasimpatis dari pusat kemih sakral spinal.
Selama fase pengosongan kandung kemih, hambatan pada aliran
parasimpatis sakral dihentikan dan timbul kontraksi otot detrusor.
Hambatan aliran simpatis pada kandung kemih menimbulkan
relaksasi pada otot uretra trigonal dan proksimal. Impuls berjalan
sepanjang nervus pudendus untuk merelaksasikan otot halus dan
skelet dari sphincter eksterna. Hasilnya keluarnya urine dengan
resistensi saluran yang minimal. Pasien post operasi dan post partum
merupakan bagian yang terbanyak menyebabkan retensi urine akut.
Fenomena ini terjadi akibat dari trauma kandung kemih dan edema
sekunder akibat tindakan pembedahan atau obstetri, epidural
anestesi, obat-obat narkotik, peregangan atau trauma saraf pelvik,
hematoma pelvik, nyeri insisi episiotomi atau abdominal, khususnya
pada pasien yang mengosongkan kandung kemihnya dengan
manuver Valsalva. Retensi urine pos operasi biasanya membaik
sejalan dengan waktu dan drainase kandung kemih yang adekuat.
b. Gangguan Eliminasi Fekal
Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini
juga disebut bowel movement. Frekwensi defekasi pada setiap orang
sangat bervariasi dari beberapa kali perhari sampai 2 atau 3 kali
perminggu. Banyaknya feses juga bervariasi setiap orang. Ketika
gelombang peristaltik mendorong feses kedalam kolon sigmoid dan
rektum, saraf sensoris dalam rektum dirangsang dan individu
menjadi sadar terhadap kebutuhan untuk defekasi.
Defekasi biasanya dimulai oleh dua refleks defekasi yaitu
refleks defekasi instrinsik. Ketika feses masuk kedalam rektum,
pengembangan dinding rektum memberi suatu signal yang menyebar
melalui pleksus mesentrikus untuk memulai gelombang peristaltik
pada kolon desenden, kolon sigmoid, dan didalam rektum.
Gelombang ini menekan feses kearah anus. Begitu gelombang
peristaltik mendekati anus, spingter anal interna tidak menutup dan
bila spingter eksternal tenang maka feses keluar.
Refleks defekasi kedua yaitu parasimpatis. Ketika serat saraf
dalam rektum dirangsang, signal diteruskan ke spinal cord (sakral 2
– 4) dan kemudian kembali ke kolon desenden, kolon sigmoid dan
rektum. Sinyal – sinyal parasimpatis ini meningkatkan gelombang
peristaltik, melemaskan spingter anus internal dan meningkatkan
refleks defekasi instrinsik. Spingter anus individu duduk ditoilet atau
bedpan, spingter anus eksternal tenang dengan sendirinya.
Pengeluaran feses dibantu oleh kontraksi otot-otot perut dan
diaphragma yang akan meningkatkan tekanan abdominal dan oleh
kontraksi muskulus levator ani pada dasar panggul yang
menggerakkan feses melalui saluran anus. Defekasi normal
dipermudah dengan refleksi paha yang meningkatkan tekanan di
dalam perut dan posisi duduk yang meningkatkan tekanan kebawah
kearah rektum. Jika refleks defekasi diabaikan atau jika defekasi
dihambat secara sengaja dengan mengkontraksikan muskulus
spingter eksternal, maka rasa terdesak untuk defekasi secara
berulang dapat menghasilkan rektum meluas untuk menampung
kumpulan feses. Cairan feses di absorpsi sehingga feses menjadi
keras dan terjadi konstipasi.
6. Tanda dan gejala
a. Tanda Gangguan Eliminasi urin
1) Retensi Urin
2) Ketidak nyamanan daerah pubis.
3) Distensi dan ketidaksanggupan untuk berkemih.
4) Urine yang keluar dengan intake tidak seimbang.
5) Meningkatnya keinginan berkemih dan resah
6) Ketidaksanggupan untuk berkemih
7) Inkontinensia urin
8) Pasien tidak dapat menahan keinginan BAK sebelum sampai di
WC 2). pasien sering mengompol
b. Tanda Gangguan Eliminasi Fekal
1) Konstipasi
2) Menurunnya frekuensi BAB
3) Pengeluaran feses yang sulit, keras dan mengejan
4) Nyeri rektum
5) Impaction
6) Tidak BAB
7) Anoreksia
8) Kembung/kram
9) Nyeri rektum
10) Diare
11) BAB sering dengan cairan dan feses yang tidak berbentuk 2). Isi
intestinal melewati usus halus dan kolon sangat cepat
12) Iritasi di dalam kolon merupakan faktor tambahan yang
menyebabkan meningkatkan sekresi mukosa.
13) Feses menjadi encer sehingga pasien tidak dapat mengontrol dan
menahan BAB.
14) Inkontinensia Fekal
15) Tidak mampu mengontrol BAB dan udara dari anus, 2). BAB
encer dan jumlahnya banyak
16) Gangguan fungsi spingter anal, penyakit neuromuskuler, trauma
spinal cord dan tumor spingter anal eksternal
17) Flatulens
18) Menumpuknya gas pada lumen intestinal,
19) Dinding usus meregang dan distended, merasa penuh, nyeri dan
kram. 3). Biasanya gas keluar melalui mulut (sendawa) atau
anus (flatus)
20) Hemoroid
21) Pembengkakan vena pada dinding rectum
22) Perdarahan jika dinding pembuluh darah vena meregang 3).
merasa panas dan gatal jika terjadi inflamasi
23) Nyeri
7. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan USG
b. Pemeriksaan foto rontgen
c. Pemeriksaan laboratorium urin dan feses
8. Pengkajian
a. Riwayat keperawatan eliminasi
Riwayat keperawatan eliminasi fekal dan urin membantu perawat
menentukan pola defekasi normal klien. Perawat mendapatkan suatu
gambaran feses normal dan beberapa perubahan yang terjadi dan
mengumpulkan informasi tentang beberapa masalah yang pernah
terjadi berhubungan dengan eliminasi, adanya ostomy dan faktor-
faktor yang mempengaruhi pola eliminasi.
b. Pengkajiannya meliputi:
1) Pola eliminasi
2) Gambaran feses dan perubahan yang terjadi
3) Masalah eliminasi
4) Faktor-faktor yang mempengaruhi seperti : penggunaan alat
bantu, diet, cairan, aktivitas dan latihan, medikasi dan stress.
c. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik abdomen terkait dengan eliminasi alvi meliputi
inspeksi, auskultasi, perkusi dan palpasi dikhususkan pada saluran
intestinal. Auskultasi dikerjakan sebelum palpasi, sebab palpasi
dapat merubah peristaltik. Pemeriksaan rektum dan anus meliputi
inspeksi dan palpasi. Inspeksi feses, meliputi observasi feses klien
terhadap warna, konsistensi, bentuk permukaan, jumlah, bau dan
adanya unsur-unsur abdomen. Perhatikan tabel berikut :
KARAKTERISTIK FESES NORMAL DAN ABNORMAL
Karakteristik Normal Abnormal Kemungkinan penyebab
Warna Dewasa : Pekat / putih Adanya pigmen empedu
kecoklatan (obstruksi empedu);
Bayi : kekuningan pemeriksaan diagnostik
menggunakan barium
Hitam / spt ter. Obat (spt. Fe); PSPA
(lambung, usus halus); diet
tinggi buah merah dan
sayur hijau tua (spt.
Bayam)
Merah PSPB (spt. Rektum),
beberapa makanan spt bit.
Pucat Malabsorbsi lemak; diet
tinggi susu dan produk
susu dan rendah daging.
Orange atau Infeksi usus
hijau
Konsistensi Berbentuk, lunak,Keras, kering Dehidrasi, penurunan
agak cair / lembek, motilitas usus akibat
basah. kurangnyaserat, kurang
latihan, gangguan
emosi dan laksantif
abuse.
Diare Peningkatan motilitas
usus (mis. akibat iritasi
kolon oleh bakteri).
Bentuk Silinder (bentuk Mengecil, Kondisi obstruksi rektum
rektum) dgn Æ bentuk pensil
2,5 cm u/ orang atau seperti
dewasa benang
Jumlah Tergantungdiet
(100 – 400
gr/hari)
Bau Aromatik : Tajam, pedas Infeksi, perdarahan
dipengaruhi oleh
makanan yang
dimakan dan
flora bakteri.
Unsur Sejumlah kecil Pus Mukus Infeksi bakteri Konsidi
pokok Bagian kasar Parasit Darah peradangan Perdarahan
makanan yg tdk Lemak dalam gastrointestinal
dicerna, jumlah besar Malabsorbsi
potongan bak- Benda asing Salah makan
teri yang mati,sel
epitel, lemak,
protein, unsur-
unsur kering
cairan
pencernaan
(pigmen empedu
dll)
d. Pemeriksaan Diagnostik
e. Pemeriksaan diagnostik saluran gastrointestinal meliputi tehnik
visualisasi langsung / tidak langsung dan pemeriksaan laboratorium
terhadap unsur- unsur yang tidak normal.
9. Diagnosa Keperawatan
a. Perubahan dalam eliminasi urine berhubungan dengan retensi
urine, inkontinensi dan enuresis
b. Perubahan dalam eliminasi fekal berhubungan dengan
konstipasi, diare, inkontinensia usus, hemoroid, impaction
c. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan adanya
inkontinensi urine
d. Perubahan dalam rasa nyaman berhubungan dengan dysuria,
nyeri saat mengejan
e. Resiko infeksi berhubungan dengan retensi urine,
pemasangan kateter
f. Perubahan konsep diri berhubungan dengan inkontinensi
g. Self care defisit : toileting jika klien inkontinesi
h. Potensial defisit volume cairan berhubungan dengan
gangguan fungsi saluran urinary akibat proses penyakit
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2016. Keperawatan Medikal Bedah Vol 3. enerbit
Kedokteran EGC: Jakarta.
Harnawatiaj. 2016. Konsep Dasar Pemenuhan Kebutuhan Eliminasi Fekal.
Terdapat pada :
http://harnawatiaj.wordpress.com/2008/03/14/konsep-dasar-
pemenuhan-kebutuhan-eliminasi-fecal/
Septiawan, Catur E. 2018. Perubahan Pada Pola Urinarius. Terdapat pada:
www.kiva.org
Sjamsuhidajat. 2017. Buku Ajar Medikal Bedah. Penerbit Kedokteran
EGC: Jakarta.
Supratman. 2016. askep Klien Dengan Sistem Perkemihan Andi Visi Kartika.
Retensi Urin Pospartum.