0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
236 tayangan27 halaman

LP Eliminasi

Dokumen tersebut membahas tentang konsep kebutuhan dasar eliminasi dan masalah-masalah yang terkait. Secara ringkas, dibahas mengenai gangguan eliminasi urin dan fekal serta etiologi yang mungkin menyebabkannya, seperti pola makan dan minum, aktivitas, penyakit, obat-obatan, usia dan gangguan neuromuskuler.

Diunggah oleh

Ana Valiana
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Kami menangani hak cipta konten dengan serius. Jika Anda merasa konten ini milik Anda, ajukan klaim di sini.
Format Tersedia
Unduh sebagai DOCX, PDF, TXT atau baca online di Scribd
0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
236 tayangan27 halaman

LP Eliminasi

Dokumen tersebut membahas tentang konsep kebutuhan dasar eliminasi dan masalah-masalah yang terkait. Secara ringkas, dibahas mengenai gangguan eliminasi urin dan fekal serta etiologi yang mungkin menyebabkannya, seperti pola makan dan minum, aktivitas, penyakit, obat-obatan, usia dan gangguan neuromuskuler.

Diunggah oleh

Ana Valiana
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Kami menangani hak cipta konten dengan serius. Jika Anda merasa konten ini milik Anda, ajukan klaim di sini.
Format Tersedia
Unduh sebagai DOCX, PDF, TXT atau baca online di Scribd
Anda di halaman 1/ 27

A.

Konsep Kebutuhan Dasar Eliminsi

1. Pengertian

a. Gangguan Eliminasi Urin

Gangguan eliminasi urin adalah keadaan dimana seorang

individu mengalami atau berisiko mengalami disfungsi

eliminasi urine. Biasanya orang yang mengalami gangguan

eliminasi urin akan dilakukan kateterisasi urine, yaitu

tindakan memasukan selang kateter ke dalam kandung kemih

melalui uretra dengan tujuan mengeluarkan urine.

b. Gangguan Eliminasi Fekal

Gangguan eliminasi fekal adalah keadaan dimana

seorang individu mengalami atau berisiko tinggi mengalami

statis pada usus besar, mengakibatkan jarang buang air besar,

keras, feses kering. Untuk mengatasi gangguan eliminasi

fekal biasanya dilakukan huknah, baik huknah tinggi maupun

huknah rendah. Memasukkan cairan hangat melalui anus

sampai ke kolon desenden dengan menggunakan kanul rekti.

2. Masalah-masalah pada Gangguan Eliminasi

a. Masalah-masalah dalam eliminasi urin :

1) Retensi, yaitu adanya penumpukan urine didalam

kandung kemih dan ketidak sanggupan kandung kemih

untuk mengosongkan diri.

2) Inkontinensi urine, yaitu ketidaksanggupan sementara


atau permanen otot sfingter eksterna untuk mengontrol

keluarnya urine dari kandung kemih.

3) Enuresis, Sering terjadi pada anak-anak, umumnya terjadi

pada malam hari (nocturnal enuresis), dapat terjadi satu

kali atau lebih dalam semalam.

4) Urgency, adalah perasaan seseorang untuk berkemih.

5) Dysuria, adanya rasa sakit atau kesulitan dalam berkemih

6) Polyuria, Produksi urine abnormal dalam jumlah besar

oleh ginjal, seperti 2.500 ml/hari, tanpa adanya

peningkatan intake cairan.

7) Urinari suppresi, adalah berhenti mendadak produksi

urine

b. Masalah eliminasi fekal yang sering ditemukan yaitu:

1) Konstipasi, merupakan gejala, bukan penyakit yaitu

menurunnya frekuensi BAB disertai dengan pengeluaran feses

yang sulit, keras, dan mengejan. BAB yang keras dapat

menyebabkan nyeri rektum. Kondisi ini terjadi karena feses

berada di intestinal lebih lama, sehingga banyak air diserap.

2) Impaction, merupakan akibat konstipasi yang tidak teratur,

sehingga tumpukan feses yang keras di rektum tidak bisa

dikeluarkan. Impaction berat, tumpukan feses sampai pada

kolon sigmoid.

3) Diare, merupakan BAB sering dengan cairan dan feses yang


tidak berbentuk. Isi intestinal melewati usus halus dan kolon

sangat cepat. Iritasi di dalam kolon merupakan faktor tambahan

yang menyebabkan meningkatkan sekresi mukosa. Akibatnya

feses menjadi encer sehingga pasien tidak dapat mengontrol dan

menahan BAB.

4) Inkontinensia fecal, yaitu suatu keadaan tidak mampu

mengontrol BAB dan udara dari anus, BAB encer dan

jumlahnya banyak. Umumnya disertai dengan gangguan fungsi

spingter anal, penyakit neuromuskuler, trauma spinal cord dan

tumor spingter anal eksternal. Pada situasi tertentu secara mental

pasien sadar akan kebutuhan BAB tapi tidak sadar secara fisik.

Kebutuhan dasar pasien tergantung pada perawat.

5) Flatulens, yaitu menumpuknya gas pada lumen intestinal,

dinding usus meregang dan distended, merasa penuh, nyeri dan

kram. Biasanya gas keluar melalui mulut (sendawa) atau anus

(flatus). Hal-hal yang menyebabkan peningkatan gas di usus

adalah pemecahan makanan oleh bakteri yang menghasilkan gas

metan, pembusukan di usus yang menghasilkan CO2.

6) Hemoroid, yaitu dilatasi pembengkakan vena pada dinding

rektum (bisa internal atau eksternal). Hal ini terjadi pada

defekasi yang keras, kehamilan, gagal jantung dan penyakit hati

menahun. Perdarahan dapat terjadi dengan mudah jika dinding

pembuluh darah teregang. Jika terjadi infla-masi dan


pengerasan, maka pasien merasa panas dan gatal. Kadang-

kadang BAB dilupakan oleh pasien, karena saat BAB

menimbulkan nyeri. Akibatnya pasien mengalami konstipasi.

3. Etiologi

a. Gangguan Eliminasi Urin

1) Intake cairan

Jumlah dan type makanan merupakan faktor utama yang

mempengaruhi output urine atau defekasi. Seperti protein dan

sodium mempengaruhi jumlah urine yang keluar, kopi

meningkatkan pembentukan urine intake cairan dari kebutuhan,

akibatnya output urine lebih banyak.

2) Aktivitas

Aktifitas sangat dibutuhkan untuk mempertahankan tonus

otot. Eliminasi urine membutuhkan tonus otot kandung

kemih yang baik untuk tonus sfingter internal dan

eksternal. Hilangnya tonus otot kandung kemih terjadi

pada masyarakat yang menggunakan kateter untuk

periode waktu yang lama. Karena urine secara terus

menerus dialirkan keluar kandung kemih, otot-otot itu

tidak pernah merenggang dan dapat menjadi tidak

berfungsi. Aktifitas yang lebih berat akan mempengaruhi

jumlah urine yang diproduksi, hal ini disebabkan karena

lebih besar metabolisme tubuh


3) Obstruksi; batu ginjal, pertumbuhan jaringan abnormal, striktur

urethra

4) Infeksi

5) Kehamilan

6) Penyakit; pembesaran kelenjar ptostat

7) Trauma sumsum tulang belakang

8) Operasi pada daerah abdomen bawah, pelviks, kandung kemih,

urethra.

9) Umur

10) Penggunaan obat-obatan

b. Gangguan Eliminasi Fekal

1) Pola diet tidak adekuat/tidak sempurna:

Makanan adalah faktor utama yang mempengaruhi eliminasi

feses. Cukupnya selulosa, serat pada makanan, penting untuk

memperbesar volume feses. Makanantertentu pada beberapa

orang sulit atau tidak bisa dicerna. Ketidakmampuan ini

berdampak pada gangguan pencernaan, di beberapa bagian jalur

dari pengairan feses. Makan yang teratur mempengaruhi

defekasi. Makan yang tidak teratur dapat mengganggu

keteraturan pola defekasi. Individu yang makan pada waktu

yang sama setiap hari mempunyai suatu keteraturan waktu,

respon fisiologi pada pemasukan makanan dan keteraturan pola

aktivitas peristaltik di colon.


2) Cairan

Pemasukan cairan juga mempengaruhi eliminasi feses. Ketika

pemasukan cairan yang adekuat ataupun pengeluaran (cth: urine,

muntah) yang berlebihan untuk beberapa alasan, tubuh

melanjutkan untuk mereabsorbsi air dari chyme ketika ia lewat

di sepanjang colon. Dampaknya chyme menjadi lebih kering

dari normal, menghasilkan feses yang keras. Ditambah lagi

berkurangnya pemasukan cairan memperlambat perjalanan

chyme di sepanjang intestinal, sehingga meningkatkan

reabsorbsi cairan dari chyme

3) Meningkatnya stress psikologi

Dapat dilihat bahwa stres dapat mempengaruhi defekasi.

Penyakit- penyakit tertentu termasuk diare kronik, seperti ulcus

pada collitis, bisa jadi mempunyai komponen psikologi.

Diketahui juga bahwa beberapa orang yagn cemas atau marah

dapat meningkatkan aktivitas peristaltik dan frekuensi diare.

Ditambah lagi orang yagn depresi bisa memperlambat motilitas

intestinal, yang berdampak pada konstipasi

4) Kurang aktifitas, kurang berolahraga, berbaring lama.

Pada pasien immobilisasi atau bedrest akan terjadi penurunan

gerak peristaltic dan dapat menyebabkan melambatnya feses

menuju rectum dalam waktu lama dan terjadi reabsorpsi cairan

feses sehingga feses mengeras


5) Obat-obatan

Beberapa obat memiliki efek samping yang dapat berpengeruh

terhadap eliminasi yang normal. Beberapa menyebabkan diare;

yang lain seperti dosis yang besar dari tranquilizer tertentu dan

diikuti dengan prosedur pemberian morphin dan codein,

menyebabkan konstipasi. Beberapa obat secara langsung

mempengaruhi eliminasi. Laxative adalah obat yang

merangsang aktivitas usus dan memudahkan eliminasi feses.

Obat-obatan ini melunakkan feses, mempermudah defekasi.

Obat-obatan tertentu seperti dicyclomine hydrochloride

(Bentyl), menekan aktivitas peristaltik dan kadang- kadang

digunakan untuk mengobati diare

a) Usia; Umur tidak hanya mempengaruhi karakteristik feses,

tapi juga pengontrolannya. Anak-anak tidak mampu

mengontrol eliminasinya sampai sistem neuromuskular

berkembang, biasanya antara umur 2 – 3 tahun. Orang

dewasajuga mengalami perubahan pengalaman yang dapat

mempengaruhi proses pengosongan lambung. Di antaranya

adalah atony (berkurangnya tonus otot yang normal) dari

otot-otot polos colon yang dapat berakibat pada

melambatnya peristaltik dan mengerasnya (mengering)

feses, dan menurunnya tonus dari otot-otot perut yagn juga

menurunkan tekanan selama proses pengosongan lambung.


Beberapa orang dewasa juga mengalami penurunan kontrol

terhadap muskulus spinkter ani yang dapat berdampak pada

proses defekasi.

b) Penyakit-penyakit seperti obstruksi usus, paralitik

ileus, kecelakaan pada spinal cord dan tumor.

Cedera pada sumsum tulang belakan dan kepala

dapat menurunkan stimulus sensori untuk defekasi.

Gangguan mobilitas bisa membatasi kemampuan

klien untuk merespon terhadap keinginan defekasi

ketika dia tidak dapat menemukan toilet atau

mendapat bantuan. Akibatnya, klien bisa mengalami

konstipasi. Atau seorang klien bisa mengalami fecal

inkontinentia karena sangat berkurangnya fungsi

dari spinkter ani

4. Faktor predisposisi/Faktor pencetus

a. Respon keinginan awal untuk berkemih atau defekasi.

Beberapa masyarakat mempunyai kebiasaan mengabaikan respon

awal untuk berkemih atau defekasi. Akibatnya urine banyak tertahan

di kandung kemih. Begitu pula dengan feses menjadi mengeras

karena terlalu lama di rectum dan terjadi reabsorbsi cairan.

b. Gaya hidup.

Banyak segi gaya hidup mempengaruhi seseorang dalam hal

eliminasi urine dan defekasi. Tersedianya fasilitas toilet atau kamar


mandi dapat mempengaruhi frekuensi eliminasi dan defekasi.

Praktek eliminasi keluarga dapat mempengaruhi tingkah laku

c. Stress psikologi

Meningkatnya stress seseorang dapat mengakibatkan meningkatnya

frekuensi keinginan berkemih, hal ini karena meningkatnya sensitif

untuk keinginan berkemih dan atau meningkatnya jumlah urine yang

diproduksi.

d. Tingkat perkembangan.

Tingkat perkembangan juga akan mempengaruhi pola berkemih.

Pada wanita hamil kapasitas kandung kemihnya menurun karena

adanya tekanan dari fetus atau adanya lebih sering berkemih. Pada

usia tua terjadi penurunan tonus otot kandung kemih dan penurunan

gerakan peristaltik intestinal

e. Kondisi Patologis.

f. Demam dapat menurunkan produksi urine (jumlah & karakter).

g. Obat-obatan, diuretiik dapat meningkatkan output urine. Analgetik

dapat terjadi retensi urine.

5. Patofisiologi

a. Gangguan Eliminasi Urin

Gangguan pada eliminasi sangat beragam seperti yang telah

dijelaskan di atas. Masing-masing gangguan tersebut disebabkan

oleh etiologi yang berbeda. Pada pasien dengan usia tua, trauma

yang menyebabkan cedera medulla spinal, akan menyebabkan


gangguan dalam mengkontrol urin/ inkontinensia urin. Gangguan

traumatik pada tulang belakang bisa mengakibatkan kerusakan pada

medulla spinalis. Lesi traumatik pada medulla spinalis tidak selalu

terjadi bersama-sama dengan adanya fraktur atau dislokasi. Tanpa

kerusakan yang nyata pada tulang belakang, efek traumatiknya bisa

mengakibatkan efek yang nyata di medulla spinallis. Cedera

medulla spinalis (CMS) merupakan salah satu penyebab gangguan

fungsi saraf termasuk pada persyarafan berkemih dan defekasi.

Komplikasi cedera spinal dapat menyebabkan syok neurogenik

dikaitkan dengan cedera medulla spinalis yang umumnya dikaitkan

sebagai syok spinal. Syok spinal merupakan depresi tiba-tiba

aktivitas reflex pada medulla spinalis (areflexia) di bawah tingkat

cedera. Dalam kondisi ini, otot- otot yang dipersyarafi oleh bagian

segmen medulla yang ada di bawah tingkat lesi menjadi paralisis

komplet dan fleksid, dan refleks-refleksnya tidak ada. Hal ini

mempengaruhi refleks yang merangsang fungsi berkemih dan

defekasi. Distensi usus dan ileus paralitik disebabkan oleh depresi

refleks yang dapat diatasi dengan dekompresi usus (Brunner &

Suddarth, 2002). Hal senada disampaikan Sjamsuhidajat (2004),

pada komplikasi syok spinal terdapat tanda gangguan fungsi

autonom berupa kulit kering karena tidak berkeringat dan hipotensi

ortostatik serta gangguan fungsi kandung kemih dan gangguan

defekasi.
Proses berkemih melibatkan 2 proses yang berbeda yaitu

pengisian dan penyimpanan urine dan pengosongan kandung kemih.

Hal ini saling berlawanan dan bergantian secara normal. Aktivitas

otot-otot kandung kemih dalam hal penyimpanan dan pengeluaran

urin dikontrol oleh sistem saraf otonom dan somatik. Selama fase

pengisian, pengaruh sistem saraf simpatis terhadap kandung kemih

menjadi bertekanan rendah dengan meningkatkan resistensi saluran

kemih. Penyimpanan urin dikoordinasikan oleh hambatan sistem

simpatis dari aktivitas kontraktil otot detrusor yang dikaitkan dengan

peningkatan tekanan otot dari leher kandung kemih dan proksimal

uretra.

Pengeluaran urine secara normal timbul akibat dari kontraksi

yang simultan otot detrusor dan relaksasi saluran kemih. Hal ini

dipengaruhi oleh sistem saraf parasimpatis yang mempunyai

neurotransmiter utama yaitu asetilkholin, suatu agen kolinergik.

Selama fase pengisian, impuls afferen ditransmisikan ke saraf

sensoris pada ujung ganglion dorsal spinal sakral segmen 2-4 dan

informasikan ke batang otak. Impuls saraf dari batang otak

menghambat aliran parasimpatis dari pusat kemih sakral spinal.

Selama fase pengosongan kandung kemih, hambatan pada aliran

parasimpatis sakral dihentikan dan timbul kontraksi otot detrusor.

Hambatan aliran simpatis pada kandung kemih menimbulkan

relaksasi pada otot uretra trigonal dan proksimal. Impuls berjalan


sepanjang nervus pudendus untuk merelaksasikan otot halus dan

skelet dari sphincter eksterna. Hasilnya keluarnya urine dengan

resistensi saluran yang minimal. Pasien post operasi dan post partum

merupakan bagian yang terbanyak menyebabkan retensi urine akut.

Fenomena ini terjadi akibat dari trauma kandung kemih dan edema

sekunder akibat tindakan pembedahan atau obstetri, epidural

anestesi, obat-obat narkotik, peregangan atau trauma saraf pelvik,

hematoma pelvik, nyeri insisi episiotomi atau abdominal, khususnya

pada pasien yang mengosongkan kandung kemihnya dengan

manuver Valsalva. Retensi urine pos operasi biasanya membaik

sejalan dengan waktu dan drainase kandung kemih yang adekuat.

b. Gangguan Eliminasi Fekal

Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini

juga disebut bowel movement. Frekwensi defekasi pada setiap orang

sangat bervariasi dari beberapa kali perhari sampai 2 atau 3 kali

perminggu. Banyaknya feses juga bervariasi setiap orang. Ketika

gelombang peristaltik mendorong feses kedalam kolon sigmoid dan

rektum, saraf sensoris dalam rektum dirangsang dan individu

menjadi sadar terhadap kebutuhan untuk defekasi.

Defekasi biasanya dimulai oleh dua refleks defekasi yaitu

refleks defekasi instrinsik. Ketika feses masuk kedalam rektum,

pengembangan dinding rektum memberi suatu signal yang menyebar

melalui pleksus mesentrikus untuk memulai gelombang peristaltik


pada kolon desenden, kolon sigmoid, dan didalam rektum.

Gelombang ini menekan feses kearah anus. Begitu gelombang

peristaltik mendekati anus, spingter anal interna tidak menutup dan

bila spingter eksternal tenang maka feses keluar.

Refleks defekasi kedua yaitu parasimpatis. Ketika serat saraf

dalam rektum dirangsang, signal diteruskan ke spinal cord (sakral 2

– 4) dan kemudian kembali ke kolon desenden, kolon sigmoid dan

rektum. Sinyal – sinyal parasimpatis ini meningkatkan gelombang

peristaltik, melemaskan spingter anus internal dan meningkatkan

refleks defekasi instrinsik. Spingter anus individu duduk ditoilet atau

bedpan, spingter anus eksternal tenang dengan sendirinya.

Pengeluaran feses dibantu oleh kontraksi otot-otot perut dan

diaphragma yang akan meningkatkan tekanan abdominal dan oleh

kontraksi muskulus levator ani pada dasar panggul yang

menggerakkan feses melalui saluran anus. Defekasi normal

dipermudah dengan refleksi paha yang meningkatkan tekanan di

dalam perut dan posisi duduk yang meningkatkan tekanan kebawah

kearah rektum. Jika refleks defekasi diabaikan atau jika defekasi

dihambat secara sengaja dengan mengkontraksikan muskulus

spingter eksternal, maka rasa terdesak untuk defekasi secara

berulang dapat menghasilkan rektum meluas untuk menampung

kumpulan feses. Cairan feses di absorpsi sehingga feses menjadi

keras dan terjadi konstipasi.


6. Tanda dan gejala

a. Tanda Gangguan Eliminasi urin

1) Retensi Urin

2) Ketidak nyamanan daerah pubis.

3) Distensi dan ketidaksanggupan untuk berkemih.

4) Urine yang keluar dengan intake tidak seimbang.

5) Meningkatnya keinginan berkemih dan resah

6) Ketidaksanggupan untuk berkemih

7) Inkontinensia urin

8) Pasien tidak dapat menahan keinginan BAK sebelum sampai di

WC 2). pasien sering mengompol

b. Tanda Gangguan Eliminasi Fekal

1) Konstipasi

2) Menurunnya frekuensi BAB

3) Pengeluaran feses yang sulit, keras dan mengejan

4) Nyeri rektum

5) Impaction

6) Tidak BAB

7) Anoreksia

8) Kembung/kram

9) Nyeri rektum

10) Diare

11) BAB sering dengan cairan dan feses yang tidak berbentuk 2). Isi
intestinal melewati usus halus dan kolon sangat cepat

12) Iritasi di dalam kolon merupakan faktor tambahan yang

menyebabkan meningkatkan sekresi mukosa.

13) Feses menjadi encer sehingga pasien tidak dapat mengontrol dan

menahan BAB.

14) Inkontinensia Fekal

15) Tidak mampu mengontrol BAB dan udara dari anus, 2). BAB

encer dan jumlahnya banyak

16) Gangguan fungsi spingter anal, penyakit neuromuskuler, trauma

spinal cord dan tumor spingter anal eksternal

17) Flatulens

18) Menumpuknya gas pada lumen intestinal,

19) Dinding usus meregang dan distended, merasa penuh, nyeri dan

kram. 3). Biasanya gas keluar melalui mulut (sendawa) atau

anus (flatus)

20) Hemoroid

21) Pembengkakan vena pada dinding rectum

22) Perdarahan jika dinding pembuluh darah vena meregang 3).

merasa panas dan gatal jika terjadi inflamasi

23) Nyeri

7. Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan USG

b. Pemeriksaan foto rontgen


c. Pemeriksaan laboratorium urin dan feses

8. Pengkajian

a. Riwayat keperawatan eliminasi

Riwayat keperawatan eliminasi fekal dan urin membantu perawat

menentukan pola defekasi normal klien. Perawat mendapatkan suatu

gambaran feses normal dan beberapa perubahan yang terjadi dan

mengumpulkan informasi tentang beberapa masalah yang pernah

terjadi berhubungan dengan eliminasi, adanya ostomy dan faktor-

faktor yang mempengaruhi pola eliminasi.

b. Pengkajiannya meliputi:

1) Pola eliminasi

2) Gambaran feses dan perubahan yang terjadi

3) Masalah eliminasi

4) Faktor-faktor yang mempengaruhi seperti : penggunaan alat

bantu, diet, cairan, aktivitas dan latihan, medikasi dan stress.

c. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik abdomen terkait dengan eliminasi alvi meliputi

inspeksi, auskultasi, perkusi dan palpasi dikhususkan pada saluran

intestinal. Auskultasi dikerjakan sebelum palpasi, sebab palpasi

dapat merubah peristaltik. Pemeriksaan rektum dan anus meliputi

inspeksi dan palpasi. Inspeksi feses, meliputi observasi feses klien

terhadap warna, konsistensi, bentuk permukaan, jumlah, bau dan

adanya unsur-unsur abdomen. Perhatikan tabel berikut :


KARAKTERISTIK FESES NORMAL DAN ABNORMAL
Karakteristik Normal Abnormal Kemungkinan penyebab
Warna Dewasa : Pekat / putih Adanya pigmen empedu
kecoklatan (obstruksi empedu);
Bayi : kekuningan pemeriksaan diagnostik
menggunakan barium

Hitam / spt ter. Obat (spt. Fe); PSPA


(lambung, usus halus); diet
tinggi buah merah dan
sayur hijau tua (spt.
Bayam)
Merah PSPB (spt. Rektum),
beberapa makanan spt bit.

Pucat Malabsorbsi lemak; diet


tinggi susu dan produk
susu dan rendah daging.

Orange atau Infeksi usus


hijau

Konsistensi Berbentuk, lunak,Keras, kering Dehidrasi, penurunan


agak cair / lembek, motilitas usus akibat
basah. kurangnyaserat, kurang
latihan, gangguan
emosi dan laksantif
abuse.
Diare Peningkatan motilitas
usus (mis. akibat iritasi
kolon oleh bakteri).

Bentuk Silinder (bentuk Mengecil, Kondisi obstruksi rektum


rektum) dgn Æ bentuk pensil
2,5 cm u/ orang atau seperti
dewasa benang
Jumlah Tergantungdiet
(100 – 400
gr/hari)
Bau Aromatik : Tajam, pedas Infeksi, perdarahan
dipengaruhi oleh
makanan yang
dimakan dan
flora bakteri.
Unsur Sejumlah kecil Pus Mukus Infeksi bakteri Konsidi
pokok Bagian kasar Parasit Darah peradangan Perdarahan
makanan yg tdk Lemak dalam gastrointestinal
dicerna, jumlah besar Malabsorbsi
potongan bak- Benda asing Salah makan
teri yang mati,sel
epitel, lemak,
protein, unsur-
unsur kering
cairan
pencernaan
(pigmen empedu
dll)

d. Pemeriksaan Diagnostik

e. Pemeriksaan diagnostik saluran gastrointestinal meliputi tehnik

visualisasi langsung / tidak langsung dan pemeriksaan laboratorium

terhadap unsur- unsur yang tidak normal.

9. Diagnosa Keperawatan

a. Perubahan dalam eliminasi urine berhubungan dengan retensi

urine, inkontinensi dan enuresis

b. Perubahan dalam eliminasi fekal berhubungan dengan

konstipasi, diare, inkontinensia usus, hemoroid, impaction

c. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan adanya

inkontinensi urine

d. Perubahan dalam rasa nyaman berhubungan dengan dysuria,

nyeri saat mengejan


e. Resiko infeksi berhubungan dengan retensi urine,

pemasangan kateter

f. Perubahan konsep diri berhubungan dengan inkontinensi

g. Self care defisit : toileting jika klien inkontinesi

h. Potensial defisit volume cairan berhubungan dengan

gangguan fungsi saluran urinary akibat proses penyakit


DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2016. Keperawatan Medikal Bedah Vol 3. enerbit

Kedokteran EGC: Jakarta.

Harnawatiaj. 2016. Konsep Dasar Pemenuhan Kebutuhan Eliminasi Fekal.

Terdapat pada :

http://harnawatiaj.wordpress.com/2008/03/14/konsep-dasar-

pemenuhan-kebutuhan-eliminasi-fecal/

Septiawan, Catur E. 2018. Perubahan Pada Pola Urinarius. Terdapat pada:

www.kiva.org

Sjamsuhidajat. 2017. Buku Ajar Medikal Bedah. Penerbit Kedokteran

EGC: Jakarta.

Supratman. 2016. askep Klien Dengan Sistem Perkemihan Andi Visi Kartika.

Retensi Urin Pospartum.

Anda mungkin juga menyukai