0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
78 tayangan202 halaman

Tuberkulosis Paru Anak (0-14 Tahun) Akibat Kontak Serumah Penderita Tuberkulosis Paru Dewasa Di Daerah Istimewa Yogyakarta

Disertasi ini membahas tentang tuberkulosis paru pada anak yang disebabkan kontak dengan penderita tuberkulosis paru dewasa di rumah tangga di Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi, faktor risiko, dan hasil diagnostik tuberkulosis paru pada anak akibat kontak rumah tangga. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dan dilakukan di 9 rumah sakit dan 10 kabupaten/kota di DI

Diunggah oleh

Diah
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Kami menangani hak cipta konten dengan serius. Jika Anda merasa konten ini milik Anda, ajukan klaim di sini.
Format Tersedia
Unduh sebagai PDF, TXT atau baca online di Scribd
0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
78 tayangan202 halaman

Tuberkulosis Paru Anak (0-14 Tahun) Akibat Kontak Serumah Penderita Tuberkulosis Paru Dewasa Di Daerah Istimewa Yogyakarta

Disertasi ini membahas tentang tuberkulosis paru pada anak yang disebabkan kontak dengan penderita tuberkulosis paru dewasa di rumah tangga di Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi, faktor risiko, dan hasil diagnostik tuberkulosis paru pada anak akibat kontak rumah tangga. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang dan dilakukan di 9 rumah sakit dan 10 kabupaten/kota di DI

Diunggah oleh

Diah
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Kami menangani hak cipta konten dengan serius. Jika Anda merasa konten ini milik Anda, ajukan klaim di sini.
Format Tersedia
Unduh sebagai PDF, TXT atau baca online di Scribd
Anda di halaman 1/ 202

UNIVERSITAS INDONESIA

TUBERKULOSIS PARU ANAK (0-14 TAHUN) AKIBAT


KONTAK SERUMAH PENDERITA TUBERKULOSIS PARU
DEWASA DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

DISERTASI

AL ASYARY UPE
NPM: 1206310631

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


PROGRAM STUDI DOKTOR ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

DEPOK
JULI 2015

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


UNIVERSITAS INDONESIA

TUBERKULOSIS PARU ANAK (0-14 TAHUN) AKIBAT


KONTAK SERUMAH PENDERITA TUBERKULOSIS PARU
DEWASA DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

DISERTASI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor
Ilmu Kesehatan Masyarakat

AL ASYARY UPE
NPM: 1206310631

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


PROGRAM STUDI DOKTOR ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
DEPOK
JULI 2015

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


HALAMAN PER}IYATAAI\I ORISINALITAS

Disertasi ini adalah hasil karya saya sendiri,


dan semua sumber yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.

Nama AI Asyary Upe


I{PM 1206310631

TandaTangan :

Tanggal : 08 Juli 2015

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


SURAT PER}IYATAAI\

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama Al Asyary
NPM 12063 1063 1

Mahasiswa Program Doklor


Peminatan Ilmu Kesehatan Masyarakat
Tahun Akademik 20t4DALS

Menyatakan bahwa saya tidak melakukan plagiat dalam penulisan Disertasi saya
yang berjudul:

r'TUBERI(TLOSIS PARU ANAK AKIBAT KONTAK


SERT]MAH
PEIYDERITA TUBERKULOSIS PARU DE}VASA DI PROPINSI DAERAH
ISTIMEWA YOGYAKARTA'

Apabila suatu saat nanti terbukti saya melakukan plagiat maka saya akan
menerima sanksi yang telah ditetapkan.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Depok,08 Juli 2015

Universitas lndonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


HALAMAN PENGESAHAN

Disertasi ini diajukan oleh:


Nama : Al Asyary Upe
NPM : 1206310631
Program Studi : 53 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Judul Diserlasi: Tuberkulosis Paru Anak (0-14 Tahun) Akibat Kontak Serumah
Penderita Tuberkulosis Paru Dewasa Di Daerah Istimewa Yoevakarta

Telah berhasil dipertahankan dihadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian
persyaratan yang diperlukan unfuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi 53 Ilrnu
Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia

DEWAN PENGUJI

Promotor : Prof. dr. Purnawan Junadi. MPH. Ph.D

Kopromotor : Prof. Dr. dr. Purwantyasfuti, M.Sc, SpFK


.--#--- -
: Dr. drs. Tris Eryando, MA ,'T*,
Tim Penguji : Prof. Dr. dr. Sudijanto Kamso, SKM (Ke

: ProfDr.&.BanbangSrryryatn,SpA(K) (Anggota) (. ........ .)

: Dr. dr. Sandi Iljanto, MPH (Anggota) ,xh(


: Dr.&.ArlnBudi$silaDuasaM.Kes (Anggota)

: dr. Yodi Mahendradhata, M.Sc, Ph.D (Anggota)

Ditetapkan di : Depok
Tanggal : 08 Juli 2015

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


KATA PENGANTAR/UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan disertasi ini yang berjudul
“Tuberkulosis Paru Anak Akibat Kontak Serumah Penderita Tuberkulosis Paru
Dewasa”. Disertasi ini disusun sebagai salah satu persyaratan akademis dalam
menyelesaikan studi di Program Studi Doktor Ilmu Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Pada penyusunan disertasi ini tak luput hambatan dan ujian yang
menantang penulis, namun atas bantuan dan bimbingan serta motivasi tanpa henti,
disertai harapan yang optimis, penulis mampu mengatasi seluruh tantangan ada.
Untuk itu, pada kesempatan ini sembah sujud penulis diiringi doa keselamatan
dan sehat selalu kepada orangtua tercinta, Ayahanda AKP Laupe Kasau, SH dan
Ibunda Hj. Rosmawati, S.Pd., serta saudara terkasih, kakanda Al Quadhri Upe,
S.Pd, MM dan adinda Al Fauzan Upe serta nenek tersayang indo Hj. Salama,
atas kasih sayangnya yang tiada tara dan tak akan mungkin tergantikan oleh
penulis yang telah memberi dukungan dalam terselesainya disertasi ini.
Penulis juga mengkhaturkan ucapan terimakasih tidak terhingga
terpanjatkan doa senantiansa dalam lindungan-Nya kepada Prof. dr. Purnawan
Junadi, MPH, Ph.D, selaku Promotor dan Prof. Dr. dr. Purwantyastuti, M.Sc
dan Dr. drs. Tris Eryando, MA selaku Co-Promotor yang telah sabar dan santun
mempromotori, membimbing, memotivasi dan menginspirasi penulis dalam
penyusunan disertasi ini.
Di samping itu, penulis khaturkan terima kasih dan penghormatan
setinggi-tingginya kepada susunan Dewan Penguji:
1. Prof. Dr. dr. Sudijanto Kamso, SKM, atas kepakaran beliau dalam tema
disertasi dan biostatistik yang telah meluangkan waktu dan pikirannya
mengarahkan penulis.
2. Prof. Dr. dr. Bambang Supriyatno, Sp.A(K), atas keahlian substansial
beliau di topik disertasi yang profesional mengakomodir penulis.
3. Dr. dr. Sandi Iljanto, MPH, yang santun mengarahkan penulis untuk
memproduksi hasil disertasi yang strategik.

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


4. Dr. dr. Artha Budi Duarsa, M.Kes, atas motivasi dan bimbingannya dalam
menghasilkan penulisan sesuai metodologi epidemiologis yang dapat
dipertanggungwabkan.
5. dr. Yodi Mahendradhata, M.Sc, Ph.D, atas saran yang konstruktif sesuai
kepakaran empiris beliau di bidang penelitian disertasi penulis.

Selain itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan pula kepada:


1. Corporate Social Responsibility (CSR) PT Aneka Tambang (ANTAM) Tbk.,
terkhusus: Direktur Umum dan CSR PT Antam Tbk. Bapak Ir. I Made Surata,
M.Si, Bapak Tantio, Bapak Edy Sutrisno, dan Ibu Novelita Primacahya, atas
sponsor bantuan kuliah penulis.
2. Rektor Universitas Indonesia (UI), Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat
(FKM) UI beserta seluruh jajarannya, serta Ketua Program Doktor Ilmu
Kesehatan Masyarakat (IKM) FKM-UI.
3. Seluruh direksi dan jajaran staf rumah sakit di DIY (RSUP Dr. Sardjito,
RSUD Wirosaban Yogyakarta, RSKA 45 Yogyakarta, RSUD Sleman, RSUD
Wates Kulonprogo, RSUD Panembahan Senopati Bantul, RSUD Wonosari
Gunungkidul, RSPAU dr. Hardjolukito, dan RS Nur Hidayah Bantul) yang
telah memberikan izin penelitian.
4. Seluruh jajaran Puskesmas dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota se-Provinsi
DIY dan Dinas Kesehatan Provinsi DIY: dr. Achmad, dr. Boni, Pak Ugik
(Dinkes Prov. DIY), Pak Sudio (Wasor TB Dinkes Kab. Sleman), Bu Ira
(Wasor TB Dinkes Kota YK), Bu Rini (Wasor TB Dinkes Kab. KP), Pak Mus
(Dinkes Kab. GK), dr. Oki (Dinkes Kab. Bantul), dr. Alex (KNCV), atas
bantuan dan sumbangsihnya ide dan saran dalam pengumpulan data.
5. Seluruh guru besar, dosen dan staf Program Doktor IKM FKM-UI, terkhusus
untuk: Ibu dr. Meiwita Budiharsana, MA, Ph.D; Pak Dr. Besral, SKM, M.Sc;
Mas Indra, Mba Dewi. Spesial buat dosen dan staf Dept. Bios (Dr.Cand. Artha
Prabawa: selayaknya kakak dan teman seperjuangan, Dr.Cand. Martya, Bu
Poppy, Bu Nurjanah, Mas Pram), dan Dept. Gizi (Pak Wahyu, Daeng Rudi)
serta seluruh dosen dan staf lingkup FKM-UI yang tidak dapat disebutkan satu
per satu; atas segala dukungan dalam penyelesaian disertasi penulis.

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


6. Mahasiswa Program Doktor IKM dan Epid FKM-UI, senior: Pak Dr. Guspi;
dan teman seangkatan Kandidat Doktor angk’12: Uni, Teteh, Bapak, dan Ibu,
yang telah setia berdedikasi tinggi dalam berjuang bersama sehingga semua
permasalahan terasa ringan, semoga tetap kompak selalu.
7. Enumerator penelitian disertasi: Heni, Enie, Ari, Feni, Tri, dan Chandra, yang
profesional membantu pengumpulan data hingga akhir penelitian.
8. Para responden yang telah menyediakan waktu dalam pengumpulan data.
9. Spesial untuk: Mas Aries Prasetyo, Om Amin Genda dan Bu De’, Mas Nur
Basuki, Mas Arief, Mba Sulis, dan Ibu Nur Alvira Pascawati DP. Tak lupa
teman kost komplek Sendowo Jogja: Tian, Roni, Mas Aji, Pak Mus, Pak De’
Dr. Nurun Sholeh, Martha, Afiah, Rahman, dan Lastri, semoga tetap sehat
selalu. The last but not the least buat Lussy Indayani. Serta seluruh pihak yang
tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah memberi dukungan moril dan
sprituil dalam penyelesaian disertasi ini.

Akhir kata penulis mengucapkan semoga Allah SWT. senantiasa


memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kita semua. Amiin.

Depok, 08 Juli 2015

Penulis

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


vlll

HALAMAN PERI\TYATAAN PERSETUJUAN PTJBLIKASI TUGAS


AKIIIR T}NTI]K KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademika Universitas Indonesi4 saya yang bertanda tangan di


bawah ini:

Nama Al Asyary Upe


NPM DA$W631
Program Studi Doktor (S3) llmu Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kesehatan Masyarakat
Jenis Karya Disertasi

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Nonekslusif (Non-exclusive Royalty-
Free Right) atas karya ilrniah saya yang berjudul:

"TUBERKULOSIS PARU ANAK (0-14 TAHUN) AKIBATKONTAK


SERUMAH PENDERITATUBERKULOSIS PARU DEWASA DIDAERAH
ISTIMEWA YOGYAKARTA"

Beserta perangkat yang ada (iika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Nonekslusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/format-
kan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan
memublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencanfumkan nama saya sebagai
penulis/pencipta dan sebagai pemiliki Hak Cipta.

Demikian pemyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di: Depok


Pada tanggal: 08 Juli 2015

yar

Universitas lndonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


viii

ABSTRAK

Nama : Al Asyary Upe


Program Studi : Program Doktoral Ilmu Kesehatan Masyarakat
Judul : Tuberkulosis Paru Anak (0-14 Tahun) Akibat Kontak
Serumah Penderita Tuberkulosis Paru Dewasa Di Daerah
Istimewa Yogyakarta

Tuberkulosis (TB) paru anak merupakan masalah kesehatan global yang


terabaikan (neglected), terlebih dengan proporsi 7,32% dari seluruh kasus TB di
Indonesia (Balitbangkes, 2013). TB paru anak selalu diakibatkan oleh infeksi TB
dari populasi di lingkungan sekitar, khususnya adanya orang dewasa yg sakit TB
serumah. Namun, tidak selalu TB paru dewasa mampu menularkan kesakitan pada
anak serumah. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji faktor-faktor yang diduga
menurunkan risiko anak tidak sakit TB paru ketika tinggal serumah dengan
penderita dewasa. Metode dengan desain kasus kontrol berdasarkan data rekam
medis di sembilan rumah sakit rujukan TB anak dan puskesmas di Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Kondisi hunian khususnya kamar tidur yang
baik dan intensitas paparan TB paru dewasa yang jarang serta di pengaruhi
kondisi variabel lain merupakan faktor yang dapat melindungi anak agar tetap
sehat meskipun kontak dengan penderita TB paru dewasa serumah.

Kata Kunci:
Tuberkulosis, anak, kontak serumah, menurunkan risiko

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


ix

ABSTRACT

Name : Al Asyary Upe


Study Program : Doctoral Program of Public Health Sciences
Title : Children Tuberculosis as Impacted Adult TB Household
Contacts at Special Region of Yogyakarta Province

TB disease in children is a global health problem that still neglected, moreover


with 7,32% proportion of TB cases at Indonesia (Balitbangkes, 2013). Children
with TB disease is most always impacted from TB infection at environment
population especially from adult TB household contacts. However, children not
always get the disease as bad as TB adult then. The objective of this study was to
find protective factors that can keep healthy children who had adult TB household
contacts. A case-control study conducted at nine referred hospital of TB children
and several health centers based on medical records at Special Region of
Yogyakarta Province. The study found that healthy houses, especially with
healthy bedroom and fewer exposures with adult TB in order influenced by
confounders variables. Those variables were reduced the risk of childhood TB
disease eventhough they exposed with adult TB in their environment.

Keywords:
Tuberculosis, children, household contact, protective factors

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


x

DAFTAR ISI

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ...Error! Bookmark not defined.


HALAMAN PENGESAHAN ................................Error! Bookmark not defined.
KATA PENGANTAR/UCAPAN TERIMA KASIHError! Bookmark not defined.
HALAMAN PERNYATAAN ...............................Error! Bookmark not defined.
ABSTRAK ........................................................................................................... viii
ABSTRACT ........................................................................................................... ix
DAFTAR ISI ........................................................................................................... x
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xiii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xv
DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN ........................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah ................................................................................. 4
1.3 Tujuan ...................................................................................................... 6
1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................... 6
1.4.1 Manfaat ilmiah ........................................................................... 6
1.4.2 Manfaat praktis .......................................................................... 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 8
2.1 Gejala TB Paru Anak ............................................................................... 8
2.2 Epidemiologi .......................................................................................... 10
2.3 Diagnosis TB Paru pada Anak ............................................................... 13
2.4 Pengobatan Pasien TB Paru Anak.......................................................... 16
2.4.1. Pemantauan Pengobatan pada TB Paru Anak.......................... 17
2.4.2. Paduan OAT anak .................................................................... 19
2.4.3. Hasil akhir pengobatan TB paru anak...................................... 21
2.4.4. Peran, Tugas Pokok dan Fungsi Fasilitas Pelayanan
Kesehatan dalam Tatalaksana TB Paru Anak ......................... 23
2.5 Pencegahan Tuberkulosis pada Anak..................................................... 28
2.5.1. Pelacakan dan Pencegahan ...................................................... 28
2.6 Kontak Serumah TB Paru ...................................................................... 28
2.6.1. Menentukan Besaran Level untuk Investigasi Kontak ............ 30
2.6.2. Mengadaptasikan Rekomendasi .............................................. 30
2.6.3. Melakukan Wawancara dan Identifikasi Kontak ..................... 31
2.6.4. Melaksanakan Investigasi ........................................................ 31
2.6.5. Menentukan gejala ................................................................... 32
2.6.6. Pengawasan dan Evaluasi ........................................................ 33
2.7 Faktor Hunian ........................................................................................ 34
2.8 Kondisi Ekonomi dan Akses Pelayanan Kesehatan ............................... 39

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


xi

2.8.1. Pengukuran Indeks Kepemilikan ............................................. 39


2.9 Tingkat pendidikan................................................................................. 41
2.10 Umur dan jenis kelamin ......................................................................... 42
2.11 Faktor Gizi dan Imunisasi BCG ............................................................. 43
BAB III KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DEFINSI
OPERASIONAL DAN HIPOTESIS .................................................................... 47
3.1 Kerangka Teori....................................................................................... 47
3.2 Kerangka Konseptual Penelitian ............................................................ 49
3.3 Definisi Operasional............................................................................... 51
3.4 Hipotesis Penelitian................................................................................ 54
BAB IV METODE PENELITIAN ....................................................................... 55
4.1 Desain Penelitian .................................................................................... 55
4.2 Populasi dan Sampel .............................................................................. 55
4.2.1. Populasi.................................................................................... 55
4.2.2. Kriteria Sampel ........................................................................ 55
4.2.3. Besar Sampel ........................................................................... 57
4.2.4. Pengukuran dan Cara Pengambilan Data................................. 58
4.3 Teknik dan Analisis Data ....................................................................... 61
4.3.1. Analisis univariat ..................................................................... 61
4.3.2. Analisis Bivariat ...................................................................... 61
4.3.3. Analisis Multivariat ................................................................. 61
4.3.4. Analisis Spasial ........................................................................ 62
BAB V HASIL PENELITIAN ............................................................................. 63
5.1 Gambaran Umum ................................................................................... 63
5.1.1 Letak geografis ........................................................................ 63
5.1.2 Keadaan Demografi ................................................................. 65
5.1.3 Distribusi Sampel Penelitian .................................................... 67
5.2 Hasil Analisis Bivariat ........................................................................... 70
5.2.1 Sosial Ekonomi Penderita TB Paru Dewasa yang Serumah
dengan Anak............................................................................ 70
5.3.1 Tingkat Paparan Penderita TB Paru Dewasa Serumah
terhadap Anak ......................................................................... 72
5.3.2 Faktor Karakteristik terhadap Status TB Paru Anak yang
Serumah Pasien TB Paru Dewasa ........................................... 73
5.3 Hasil Analisis Variabel Akhir (Multivariat) .......................................... 74
BAB VI PEMBAHASAN ..................................................................................... 78
6.1 Keterbatasan Penelitian .......................................................................... 78
6.2 Pembahasan ............................................................................................ 79
6.2.1 Pengaruh Status Sosial Ekonomi terhadap Status TB Paru
Anak dengan Penderita TB Paru Dewasa Serumah ................ 79
6.2.2 Pengaruh Kondisi Anak ........................................................... 93

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


xii

6.2.3Pengaruh Tingkat Paparan Penderita TB Paru Dewasa


Serumah terhadap Status TB Paru Anak ................................. 94
6.3 Implikasi Penelitian .............................................................................. 100
6.3.1 Prediksi Persebaran TB Paru Anak dengan TB Paru Dewasa
Serumah................................................................................. 100
6.3.2 Prediksi Estimasi Berisiko TB Paru Anak yang Serumah TB
Paru Dewasa .......................................................................... 103
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 106
7.1 Kesimpulan .......................................................................................... 106
7.2 Saran ..................................................................................................... 107
7.2.1 Dinas Kesehatan dan Puskesmas ........................................... 107
7.2.2 Rumah Sakit dan Direktorat Jenderal P2PL .......................... 108
7.2.3 Keluarga ................................................................................. 108
7.2.4 Pengembangan Keilmuan ...................................................... 109

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Sistem pembobotan (scoring system) gejala TB paru anak .................. 14


Tabel 2. Panduan kombipak A untuk anak berdasarkan berat badan ................. 20
Tabel 3. Paduan kombipak B pada anak berdaasarkan berat badan ................... 20
Tabel 4. Hasil akhir pengobatan TB paru anak (Dirjen-P2PL, 2013) ................ 22
Tabel 5. Peran, tugas pokok, dan fungsi fasilitas pelayanan kesehatan dalam
tata laksana TB paru anak (Dirjen-P2PL, 2013)................................... 26
Tabel 6. Luas wilayah menurut ketinggian dari permukaan laut per
kabupaten/kota di Provinsi DIY ........................................................... 67
Tabel 7. Persentase luas wilayah per kabupaten/kota di Provinsi DIY .............. 67
Tabel 8. Sampel Studi berdasarkan Lokasi Penelitian........................................ 68
Tabel 9. Faktor Sosial Ekonomi terhadap TB Paru Anak Akibat Pasien TB
Paru Dewasa Serumah .......................................................................... 70
Tabel 10. Tingkat Paparan Penderita TB Paru Dewasa yang Tinggal Serumah
dengan Anak ......................................................................................... 72
Tabel 11. Faktor Karakteristik terhadap Status TB Paru Anak yang Serumah
Penderita TB Paru Dewasa ................................................................... 73
Tabel 12. Hasil Screening Kandidat Analisis Multivariat Regresi Logistik
Berganda ............................................................................................... 74
Tabel 13. Analisis Multivariabel Analisis Regresi Logistik dengan Metode
Enter...................................................................................................... 75
Tabel 14. Analisis subgrup lama tinggal bersama penderita TB paru dewasa
pada anak serumah................................................................................ 84
Tabel 15. Analisis subgrup lama tinggal bersama penderita TB paru dewasa
pada anak serumah................................................................................ 85
Tabel 16. Analisis subgrup anak yang penderita TB paru dewasa serumah
memiliki hubungan kekeluargaan jauh ................................................. 96
Tabel 17. Analisis subgrup lama tinggal bersama penderita TB paru dewasa
pada anak serumah................................................................................ 99

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


xiv

DAFTAR GAMBAR

Bagan 1. Algoritma tatalaksana TB paru anak (Dirjen-P2PL, 2013) ................. 16


Bagan 2. Diagnosis kerja (entry point) tuberkulosis (Dirjen-P2PL, 2013) ........ 17
Bagan 3. Skema panduan OAT anak balita (Dirjen-P2PL, 2013)...................... 18
Bagan 4. OAT yang biasa dipakai dan dosisnya (Dirjen-P2PL, 2013) .............. 19
Bagan 5. Alur rujukan uji tuberkulin anak balita di fasilitas pelayanan
kesehatan (Dirjen-P2PL, 2013) ........................................................... 27
Bagan 6. Pendekatan dalam manajemen kontak (WHO, 2006a) ....................... 32
Bagan 7. Prinsip kondisi hunian yang sehat (WHO, 1997) ............................... 36
Bagan 8. Variabel kepemilikan Riskesdas 2013 ................................................ 41
Bagan 9. Kategori dan ambang batas status gizi anak berdasarkan indeks
(Dirjen-BG&KIA, 2011) ..................................................................... 44
Bagan 10. Faktor Risiko Infeksi dan Progresif (Sakit) TB Paru Anak (Jeena et
al., 2002, Lienhardt et al., 2003, Kartasasmita, 2009) ........................ 47
Bagan 11. Segitiga Epidemiologi TB pada anak (Newton et al., 2008, Culqui
et al., 2012, Rekha and Swaminathan, 2007a, Gordon, 1954) ............ 49
Bagan 12. Kerangka konsep penelitian TB paru pada anak.................................. 50
Bagan 13. Desain Penelitian Kasus Kontrol ......................................................... 55
Bagan 14. Penelusuran kelompok kasus ............................................................... 59
Bagan 15. Penelusuran kelompok kontrol ............................................................ 60
Bagan 16. Persentase luas wilayah menurut kabupaten/kota di Provinsi
DIY(BPS-DIY, 2014) ......................................................................... 63
Bagan 17. Jumlah Penduduk Per Kota/Kabupaten Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta (Pusdatin, 2011) ............................................................... 65
Bagan 18. Estimasi Kepadatan Penduduk Provinsi DIY (Pusdatin, 2011) ........... 66
Bagan 19. Kerangka faktor yang menurunkan risiko terjadinya TB paru anak
ketika tinggal serumah penderita TB paru dewasa ............................. 77
Bagan 20. Angka Notifikasi Kasus (CNR) Di Indonesia menurut Ditjen P2PL
2012 (Pusdatin, 2013) ......................................................................... 92
Bagan 21. Box-plot antara lama tinggal bersama dengan sampel penelitian ........ 98

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Kuesioner Penelitian


Lampiran 2. Persetujuan setelah Penjelasan Penelitian terhadap Responden
(Informed Consent)
Lampiran 3. Modul Penelitian (Term of Refference)
Lampiran 4a. Keluaran (Output) Analsis Statistik dengan Program SPSS
Lampiran 4b. Keluaran (Output) Analsis Statistik dengan Program Stata

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


xvi

DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN

AIDS : Accute Immune Deficiency Syndromes


AKB : Angka Kematian Bayi/Balita
BCG : Bacille Calmette Guerin
BTA : Basil Tahan Asam
CDC : Center for Disease and Control Prevention
CNR : Case Notification Rate
CT Scan : Computerized Tomography Scanner
Ditjen P2PL : Direktorat Jenderal Penanggulangan Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan
Ditjen PPM & PLP : Direktorat Jenderal
DIY : Daerah Istimewa Yogyakarta
DOTS : Directly Observed Treatments
HIV : Human Immunodeficiency Virus
IDAI : Ikatan Dokter Anak Indonesia
IGRAs : Interferron Gamma Radioactive Arrays
IMT : Indeks Massa Tubuh
ISPA : Infeksi Saluran Pernapasan Atas
Kepmenkes RI : Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
KIE : Konseling, Informasi dan Edukasi
LTBI : Latent Tuberculosis Infection
MDGs : Millenium Development Goals
MDR/XDR : Multi/Extra Drug Resistance
MGRS : Multicentre Growth Reference Study
MRI : Magnetic Resonance Imaging
MTB : Mycobacterium tuberculosis sp.
MTBS : Manajemen Terpadu Balita Sehat
NCHS : National Center for Health Statistics
NNI : Neighbour Nearest Index
OAT : Obat Anti Tuberkulosis
PCA : Principle Component Analysis
PNTA : Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak
Pusdatin : Pusat Data dan Informasi
Riskesdas : Riset Kesehatan Dasar
RIT : Risiko Infeksi Tahunan
SDE : Standard Deviation Ellips
SITT : Sistem Informasi Terpadu Tuberkulosis
SPS : Sewaktu Pagi Sewaktu
TB Paru : Tuberkulosis Paru
UNICEF : United Nations International Children’s Emergency
Fund
USG : Ultrasonografi
WCGS : WHO Child Growth Standard
WHO : World Health Organization

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis paru merupakan pembunuh kedua terbesar setelah


HIV/AIDS yang disebabkan oleh infeksi agen tunggal. Pada 2012, 8,6 juta orang
merasa sakit dan 1,3 juta meninggal dunia akibat TB paru. Lebih dari 95%
kematian yang disebabkan oleh TB paru terdapat di negara-negara dengan
pendapatan rendah dan sedang. Diperkirakan 530.000 anak sakit akibatnya, di
mana 74.000 (HIV negatif) di antaranya meninggal dunia (WHO, 2014, Culqui et
al., 2012). Perbandingan jumlah ini dengan jumlah kematian akibat bencana alam
terkini bahwa kematian akibat TB paru setara 4,4 kali korban gempa Haiti atau 7
kali tsunami Asia Tenggara. Perbedaannya bahwa bencana berlalu dan butuh
beberapa tahun atau dekade untuk terulang, namun TB paru mengambil korban
yang tidak terelakkan di tahun demi tahun (Bellissimo-Rodrigues et al., 2013).
Pengendalian TB paru penting untuk diketahui secara luas dalam
perkembangan sosial dan ekonomi, khususnya dalam pencapaian Tujuan-tujuan
Pembangunan Millenium (MDGs). Dalam ranah ini, STOP TB Partnership WHO
sebagai organisasi dunia dalam penanggulangan TB, telah menetapkan dua target
penting: 1) menurunkan insidensi dan kematian akibat TB menjadi 50% pada
2015; serta 2) mengeliminasi TB paru sebagai masalah kesehatan masyarakat
pada 2050 (WHO, 2006b). Namun, kekhawatiran bahwa target insidensi ini
sepertinya tidak akan mungkin untuk dicapai di kawasan Asia Tenggara (Nair et
al., 2010).
Dampak TB paru sebagai kedaruratan global telah ditetapkan oleh WHO
sejak tahun 1993. Namun, secara umum penyakit ini hanya dievaluasi pada
populasi dewasa. TB paru anak menjadi aspek yang terabaikan dari epidemi TB
yang terjadi saat ini. Padahal, TB paru anak terjadi pada lebih 20% di seluruh
kasus di banyak negara berinsidensi TB tinggi (Esposito et al., 2013). Beban
global TB paru anak juga menjadi sangat samar diakibatkan kurangnya data
pelaporan dan perekaman TB secara rutin terhadap populasi ini melalui program
pengendalian TB nasional. Hal ini juga dipersulit dengan sukarnya penegakkan
diagnosis pada anak dengan pemeriksaan bakteriologis (Cuevas et al., 2012).

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


2

Jumlah TB paru anak masih menjadi kendala untuk diperkirakan. Selain


sulit untuk didiagnosis, pengendalian TB paru anak menemui tantangan terlebih
pada keadaan sumber daya yang terbatas disertai dengan beban tinggi penyakit ini
(Perez-Velez and Marais, 2012). Hal ini cenderung menjelaskan mengapa
UNICEF tidak memasukkan TB sebagai penyebab kematian pada anak usia di
bawah lima tahun (balita) dalam laporan mereka (UNICEF, 2012). Di sisi lain,
sejarah dari studi-studi secara alamiah menunjukkan dengan jelas kaitan bahwa
anak yang terinfeksi Mycobacterium tuberculosis (MTB) memiliki risiko yang
lebih besar untuk berkembang menjadi TB aktif, dibanding pada dewasa yang
telah memiliki kompetensi kekebalan tubuh (Vanden Driessche et al., 2013). Hal
ini mengindikasi bahwa TB paru cenderung mengancam tumbuh dan kembang
anak dibanding TB paru remaja maupun dewasa yang umumnya telah memiliki
sistem imunitas yang lebih baik.
Perkembangan sistem imun dan status gizi mempengaruhi infeksi MTB
terhadap anak (Jaganath and Mupere, 2012). Makrofag alveolar pada seseorang
merupakan respon imun bawaan berfungsi sebagai sebagai garis pertahanan
pertama untuk TB, memainkan peran penting dalam memperkuat respon terhadap
infeksi. Namun, rendahnya hal ini di masa anak khususnya balita menurunkan
pertahanan paru sehingga memungkinkan MTB masuk dan bermanifestasi
(Newton et al., 2008). Vaksin Bacille Calmette-Guerin (BCG) digunakan dan
dikembangkan dalam beberapa strain dalam 80 tahun terakhir dan pada lebih 90%
anak di seluruh dunia (Ritz et al., 2008). Pemberian vaksin BCG sebagai antobodi
terbukti mampu mencegah infeksi TB laten pada anak (Soysal et al., 2005).
Namun, keraguan mengenai seberapa efektif vaksin BCG dapat memproteksi
kejadian TB paru BTA positif terlebih pada anak, masih dipertanyakan (Behr,
2002).
Pada penelitian mengenai sosial ekonomi menunjukkan kemiskinan bukan
hanya mempengaruhi prevalensi demam di level makro, namun juga di level
individu dan rumah tangga pada anak. Salah satu indikasi dari gejala ini adalah
kejadian TB khususnya di wilayah dengan beban tinggi penyakit ini (Novignon
and Nonvignon, 2012). Terdapat banyak wilayah mengalami kebangkitan TB
akibat masuknya kasus baru yang dibawa dari wilayah endemik penyakit ini.

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


3

Faktor demografi membuat anak membawa beban penyakit paling tinggi. Populasi
ini lebih cenderung mengalami perkembangan penyakit setelah infeksi, dan secara
signifikan paling mungkin untuk berkembang ke ekstra-paru dan lebih parah lagi
(kematian). Anak yang terinfeksi akan menunjukkan peningkatan populasi kasus
TB dengan proporsi yang luas pada dewasa di masa yang akan datang. Di
samping, TB paru yang terjadi anak saat ini merupakan kejadian yang sentinel,
mengindikasikan penularan TB paru yang sedang berlangsung dalam suatu
komunitas (Walls and Shingadia, 2004).
Dimensi penularan TB paru secara umum pada anak adalah sebagai
dampak dari kontak orang TB paru dewasa lebih besar atau bukan sebagai sebagai
sebab (menularkan ke populasi). Hal ini terjadi karena pada anak kondisi penyakit
lebih sering paucibacillary, sangat sulit dideteksi baik dengan pemeriksaan
sputum, kultur, dan uji molekuler. Apabila penyakit ini tidak terdeteksi dan tidak
terobati, anak akan berisiko tinggi untuk mengalami kematian (Acosta et al.,
2014).
Kasus TB orang dewasa adalah sumber utama penularan TB paru anak
yang diakibatkan adanya kontak (Esposito et al., 2013). Orang dewasa serumah
yang memiliki TB paru BTA positif rentan menularkan ke anak terlebih apabila
kontak terjadi secara intensif (Mtombeni et al., 2002). Dalam usaha pencegahan
secara global, kemopropilaksis dilakukan pada anak yang memiliki riwayat TB
dalam keluarga untuk mencegah dari bahaya infeksi TB. Terlebih pada anak yang
telah terinfeksi agar tidak berkembang menjadi sakit TB paru (Marais and Pai,
2007).
Usaha dalam pengendalian TB secara global telah dicanangkan oleh WHO
seperti deteksi dini dan pengobatan. Pengobatan TB yang berada di fasilitas
kesehatan melalui angka keberhasilan (success rate) cenderung meningkat melalui
strategi pengobatan yang diawasi secara langsung (Directly Observed Treatments,
DOTS) (WHO, 2014). Dapat dikatakan, anak dengan TB yang telah tercatat di
fasilitas kesehatan primer, tidak diragukan untuk mendapatkan pelayanan
pengobatan yang telah ditetapkan. Berbeda halnya dengan proses pendeteksian
dini pada penemuan penderita dari anak yang berisiko. Akibatnya, strategi DOTS
hanya sukses secara terbatas, yakni hanya memperlambat pertambahan angka

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


4

kejadian namun gagal membuat kemajuan yang signifikan dalam mencapai tujuan
eliminasi TB. Peningkatan kasus TB paru yang resisten terhadap obat anti TB
(MDR/XDR-TB) menjadi salah satu indikator masih sulitnya pengendalian
penyakit ini diikuti kekhawatiran terhadap perkembangan lanjut penyakit ini
secara global.
Penelusuran kontak (contact tracing/contact investigation) telah menjadi
pedoman yang direkomendasikan oleh WHO sebagai upaya penemuan kasus aktif
(active case finding). Usaha ini perlu dilakukan khususnya di negara-negara
miskin dan berkembang yang belum memiliki kapabilitas penanggulangan TB
proaktif seperti di negara maju. Salah satu populasi yang paling direkomendasikan
untuk diinvestigasi adalah anak khususnya usia anak balita (WHO, 2012).
Penemuan kasus aktif dengan uji tapis (screening) dimaksudkan memberikan
rekomendasi penemuan kasus pada populasi yang berisiko terlebih pada anak
yang diagnosisnya sulit. Penemuan anak berisiko (suspek TB paru) pada kasus TB
paru dewasa yang terdiagnosis sangat penting, begitu pun sebaliknya, penemuan
kasus pada orang dewasa yang tidak terdiagnosis dari anak yang telah sakit TB
paru sangat vital untuk memotong transmisi penyakit ini.

1.2 Perumusan Masalah

Di Indonesia, Kementerian Kesehatan melalui Direktorat Jenderal


Penanggulangan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL) bersama Ikatan
Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyusun satu pedoman untuk penanggulangan
TB Anak di Indonesia. Melalui Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak (PNTA)
ini, dikonfirmasi bahwa Indonesia dipahami masih memilki keterbatasan sumber
daya, menyebabkan penegakkan diagnosis TB paru anak dilakukan melalui sistem
pembobotan (scoring system) (Dirjen-P2PL, 2013).
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan provinsi yang memiliki
ciri khas dengan estimasi penduduk yang sama heterogen secara nasional pada
populasi usia anak (0-14) (Pusdatin, 2013). Hal ini memiliki kemiripan spesifik
yang dapat direpresentasikan pada populasi anak di Indonesia. Terlebih dengan
proporsi Angka Kematian Bayi (AKB) 25 per 1.000 kelahiran hidup (target

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


5

nasional 2015 < 23), Hal ini membuat propinsi DIY sebagai wilayah yang variatif
terhadap permasalahan penanggulangan TB paru anak yang sedang dihadapi.
Sejak tahun 2011, diagnoisis TB paru anak di wilayah kerja Dinas
Kesehatan (Dinkes) Provinsi DIY telah ditegakkan melalui sistem pembobotan
berdasarkan kriteria yang ditetapkan (PNTA IDAI). Wilayah Dinkes Provinsi DIY
yang terdiri dari 5 dinas kesehatan kabupaten/kota, di mana rujukan penegakkan
diagnosis TB anak dilakukan di sepuluh rumah sakit.
Di negara berkembang, keluarga (misal orang tua pada balita) ataupun
penderita yang mengalami batuk indikasi sakit TB, cenderung lebih awal
memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan terbaik (rumah sakit atau klinik spesialis)
dibanding fasilitas kesehatan primer (puskesmas) (Kasse et al., 2006). Meskipun
hal ini tidak spesifik pada anak, namun secara khusus keluarga yakni ibu
melalukan hal ini ketika memiliki persepsi sakit yang diderita anak serius. Ibu
cenderung untuk membawa anak berobat ke rumah sakit dengan spesialis anak
ketika demam dan gejala gastrointestinal yang kemudian berdampak pada gejala
respiratori akibat TB (Goldman and Heuveline, 2000). Perilaku untuk mencari
pengobatan (health seeking behaviour) ini mengindikasikan bahwa keluarga
ataupun orang tua khususnya ibu akan ke rumah sakit untuk memeriksakan anak.
Hal ini membuat kasus TB paru anak lebih banyak dilaporkan di rumah sakit
dibanding fasilitas kesehatan lain.
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah TB paru anak masih
merupakan masalah global yang diabaikan (neglected). Hal ini akibat TB paru
anak masih sulit untuk didiagnosis. Telah diketahui anak dengan TB paru akibat
adanya kontak dari pasien TB paru dewasa, yang risikonya meningkat ketika anak
serumah dengan pasien TB tersebut (Esposito et al., 2013). Namun, tidak semua
anak yang kontak serumah dengan orang dewasa TB paru menjadi sakit. Beberapa
faktor diduga mempengaruhi risiko sekaligus mencegah anak agar tidak sakit TB
paru ketika kontak dengan penderita TB paru dewasa serumah.
Pertanyaan penelitian ini adalah apa sajakah faktor yang diduga
menurunkan risiko terjadinya TB paru anak yang kontak serumah dengan pasien
TB paru dewasa?

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


6

1.3 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor yang dapat menurunkan
risiko kejadian TB paru anak yang kontak serumah dengan pasien TB paru
dewasa di Provinsi DIY. Tujuan khususnya adalah:
1. Untuk mengetahui besarnya pengaruh status sosial ekonomi dalam mencegah
terjadinya terjadinya TB paru anak dengan riwayat kontak serumah TB
dewasa di Provinsi DIY.
2. Untuk mengetahui besarnya pengaruh kondisi anak dalam mencegah
terjadinya TB paru anak dengan riwayat kontak serumah TB dewasa di
Provinsi DIY.
3. Untuk mengetahui besarnya pengaruh tingkat paparan dalam mencegah
terjadinya TB paru anak dengan riwayat kontak TB dewasa di Provinsi DIY.
4. Untuk mengetahui hal apa saja yang paling besar (dominan) menurunkan
risiko terjadinya TB paru anak akibat riwayat kontak dengan TB paru dewasa
di Provinsi DIY.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat ilmiah

1. Mengemukakan pola pikir baru dan mampu menjelaskan faktor yang


menurunkan risiko terjadinya TB paru anak ketika memiliki kontak penderita
dewasa serumah.
2. Mengemukakan faktor risiko penularan TB paru anak yang kontak serumah
dengan pasien akibat pengaruh oleh faktor risiko lain.
3. Memprediksi kecenderungan penemuan kasus aktif pada populasi berisiko.
4. Dapat menjadi informasi bagi penelitian selanjutnya tentang transmisi
penyakit dan pola asuh yang baik bagi penderita TB paru dewasa terhadap
anaknya yang serumah.

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


7

1.4.2 Manfaat praktis

1. Mampu diperoleh faktor yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-


hari, baik dalam lingkup keluarga, maupun pada petugas kesehatan berkaitan
dengan penularan oleh penderita TB paru dewasa.
2. Faktor dalam hasil penelitian dapat digunakan untuk menyusun pedoman
penunjang skoring diagnosis TB paru anak dalam sisi kesehatan masyarakat
khususnya di wilayah-wilayah dengan sumber daya terbatas.
3. Dapat diperoleh rekomendasi untuk penemuan kasus aktif pada populasi yang
berisiko khususnya anak yang memiliki kontak dengan TB paru dewasa
serumah.

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gejala TB Paru Anak

Infeksi Mycobacterium tuberculosis dapat menyebabkan bermacam


dampak. Anak dikatakan telah terinfeksi dengan bakteri, jika positif memiliki
hasil uji tuberkulin, meskipun tanpa adanya suatu tanda atau gejala penyakit,
ataupun menunjukkan pemeriksaan normal pada rontgen dada (sinar-X). Penyakit
TB paru terjadi ketika manifestasi klinis tuberkulosis jelas, baik berdasarkan
tanda-tanda dan gejala klinis atau rontgen dada. Istilah TB paru umumnya
digunakan untuk merujuk kepada orang-orang yang memiliki penyakit, dan juga
pada mereka yang hanya terinfeksi (TB paru laten) ((Starke and Correa, 1995)
cited by (Walls and Shingadia, 2004)).
Gejala klinis TB paru anak umumnya berbeda dengan yang terdapat di
populasi orang dewasa. Namun, pada anak cenderung lebih signifikan untuk
berkembang menjadi TB paru aktif setelah terinfeksi dibandingkan pada orang
dewasa. Risiko perkembangan menjadi penyakit TB paru setelah infeksi oleh
MTB telah diperkirakan 5-10% pada orang dewasa, 15% pada remaja, dan 24%
pada anak balita. Pada bayi kurang dari satu tahun usia angka ini diperkirakan
setinggi 43% ((Miller et al. 1963) cited by (Walls and Shingadia, 2007)). Selain
itu, penyakit pada anak-anak kemungkinan akan terjadi lebih awal setelah infeksi,
yang disebut dengan infeksi primer progresif. Waktu antara infeksi asimptomatik
dan perkembangan penyakit simptomatik pada anak balita umumnya antara 1-6
bulan. Dengan demikian perbedaan klinis antara infeksi primer dan penyakit tidak
selalu jelas pada anak, seperti pada biasanya terhadap orang dewasa ((Feigin and
Cherry, 1998) cited by (Walls and Shingadia, 2004)).
Perkembangan penyakit pada anak terjadi lebih awal dibanding orang
dewasa. Di samping itu, anak berisiko lebih besar terkena penyakit ekstra-paru.
Dua manifestasi parah yang dapat dialami adalah TB milier dan TB meningitis,
yang secara signifikan lebih sering terjadi pada anak-anak. TB miliaria merupakan
komplikasi awal dari infeksi primer terjadi setelah penyebaran ke sel darah serta
menyebar ke dua atau lebih organ. Presentasi klinis yang ditunjukkan dapat
bervariasi, bergantung pada jumlah kuman yang dilepaskan ke sirkulasi darah

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


9

((Feigin and Cherry, 1998) cited by (Walls and Shingadia, 2004)). Studi TB
paediatrik di California antara tahun 1985 dan 1995 menemukan bahwa anak
menyumbang 71% dari penyakit TB miliaria. TB meningitis adalah jenis yang
paling menakutkan terjadi pada anak akibat komplikasinya pada sistem
neurologis. Hal ini dapat menyebabkan kebutaan, tuli, kalsifikasi intrakranial,
diabetes insipidus dan keterbelakangan mental. TB meningitis biasanya terjadi
dalam waktu 3-6 bulan dari infeksi awal, dan paling sering terjadi pada anak
khususnya balita dengan 80% dari kasus meningitis yang terjadi (Lobato et al.,
1998). Tuberkulosis sulit untuk didiagnosis pada anak, bahkan dengan tingkat
penyakit lanjut atau berat. Anak jarang batuk ataupun berdahak menyebabkan
hanya sedikit anak dapat didiagnosis dengan BTA positif (Walls and Shingadia,
2004).
Pemeriksaan dahak sewaktu-pagi-sewaktu (SPS) merupakan teknik umum
untuk mendeteksi MTB. Namun, konfirmasi mikrobiologi pada anak lebih rendah
dibanding pada orang dewasa. Kurang dari 20% anak dengan TB paru terbukti
akan memiliki dahak yang positif pada noda BTA, dibandingkan pada dewasa
dengan 75% (Starke and Taylor-Watts, 1989, Strumpf et al., 1979). Diagnosis TB
paru di banyak kasus bergantung pada presentasi dan sejarah secara klinis, riwayat
kontak penularan dan pemeriksaan penunjang seperti rontgen dan uji tuberkulin.
Bahkan, uji tuberkulin dapat memberikan hasil negatif, hingga 10% dari kultur
TB paru yang telah terbukti, dan lebih dari 40% dari anak dengan TB meningitis
(Starke and Taylor-Watts, 1989). Hal ini akibat terhambatnya konversi kulit
setelah uji tuberkulin, ataupun akibat respon imun lemah pada pasien dengan
tingkat penyakit parah. Faktor-faktor lain berkontribusi terhadap hasil uji
tuberkulin yang keliru seperti adanya penyakit yang menekan fungsi imun tubuh,
seperti HIV, malnutrisi, atau infeksi bakteri atau virus lainnya. Beberapa anak
juga reaktif terhadap pengobatan, merujuk pada penyakit TB itu sendiri yang
dapat menekan fungsi kekebalan. Lebih dari 50% kasus TB paru masa kanak-
kanak, gejala awalnya asimptomatik dan memerlukan pemeriksaan radiografi
untuk penegakkan diagnosis (Correa, 1997). Fasilitas diagnostik yang tidak
memadai di negara-negara tertentu mengakibatkan banyak anak dengan TB paru
tidak akan diketahui. Pada studi otopsi anak yang meninggal karena penyakit

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


10

pernapasan di Zambia, ditemukan bahwa 20% kasus terbukti sakit TB paru, yang
dalam banyak kasus hanya didiagnosis setelah kematian (Walls and Shingadia,
2004).

2.2 Epidemiologi
(Newton et al., 2008)

2.2.1. Penularan, paparan dan infeksi

Seperti pada dewasa, infeksi MTB dimulai pada proses masuknya basil
tuberkel dari droplet yang berada di udara melalui pernapasan anak yang
ditularkan penderita TB paru. Risiko terinfeksi sangat bergantung pada
probabilitas, durasi dan kedekatan paparan kasus penderita TB paru, dan juga dari
kondisi anak. Infeksi TB paru biasa terjadi pada anak penderita penyakit rongga
paru, di mana anak remaja rentan terhadap penularan penyakit rongga paru
tersebut. Faktor sosial, prevalensi TB paru di komunitas, dan umur menentukan
paparan banyak terjadi yang dapat berbeda antar komunitas tertentu. Pada rumah
tangga kejadian ini sering berdampak pada anak balita; sedangkan pada anak
remaja peningkatan kecenderungan terhadap infeksi TB paru terjadi di luar
rumah. Kemiskinan, kondisi rumah yang tidak memadai, lingkungan perkotaan
dan kepadatan penduduk berkaitan dengan meningkatnya resiko penularan TB
paru.
Penularan di komunitas diukur melalui Resiko Infeksi Tahunan (RIT).
Angka infeksi meningkat seiring dengan peningkatan paparan pada anak, yakni
usia masuk sekolah/taman bermain dan pada peningkatan mobilitas anak di usia
tertentu. RIT secara umum ditunjukkan dengan survey uji tuberkulin pada anak.
Namun, hal ini terbatas pada spesifisitas yang kurang pada Uji Tuberkulin,
khususnya menilai relevansi vaksin Bacille Calmette Guerin (BCG) yang
diberikan saat kelahiran dan pada kuman non-TB di daerah endemis. Pengukuran
sel T yang didasarkan pada uji sinar gelombang gamma (IGRAs) dapat menjadi
pemecahan alternatif secara lebih spesifik. Namun, hal ini terkendala pada biaya,
kode etik mengenai suntikan vena pada anak, dan ketidakpastian signifikansi hasil
positif pada fase aktif progresif dari penyakit TB paru.

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


11

2.2.2. Infeksi menjadi sakit

Perbedaan patofisiologis dan presentasi klinik TB paru anak membuat


penegakkan diagnosis lebih sulit dibanding pada dewasa. Definisi infeksi laten
dan sakit masih kurang untuk dikemukakan. Infeksi diikuti oleh beberapa faktor
mempengaruhi risiko antara infeksi TB laten (LTBI) atau perkembangan penyakit
aktif. Faktor ini antara lain umur, nutrisi, vaksinasi serta status imunitas. Anak-
anak memiliki resiko perkembangan untuk menjadi penyakit aktif setelah
penularan dibandingkan dewasa. Risiko paling tinggi terjadi pada bayi dan anak di
bawah 2 tahun. Surveilans aktif pada masa pra-kemoterapi disarankan dilakukan
pada anak yang tumbuh dengan ketidaknormalan pemeriksaan radiologi atau
terinfeksi. Hal ini terjadi pada 60-80% anak di bawah 2 tahun; di mana < 10%
tidak terlaporkan menyebabkan kebanyakan kasus penyakit sepenuhnya
dipengaruhi oleh respon imunitas anak. Pola ini menjadikan penentuan kasus
hanya didasarkan pada pemeriksaan radiologi.
Risiko penyakit paling tinggi terjadi pada usia menjelang akhir remaja,
dengan risiko terendah antara 5-10 tahun. Kebanyakan penyakit terjadi diikuti
oleh infeksi di tahun pertama. Penyakit pada anak disebabkan oleh infeksi saat ini,
dibanding akibat penyakit aktif untuk kedua kalinya. Beban penyakit pada anak
menjelaskan ukuran penularan saat ini di suatu komunitas, termasuk jenis MDR
dan XDR. LTBI yang tidak ditangani menimbulkan bibit epidemik pada generasi
selanjutnya.

2.2.3. Dampak epidemik HIV

Beban TB paru anak sebagai dampak epidemik HIV belum diidentifikasi


lebih seperti halnya pada dewasa. Namun, pergeseran pengamatan beban penyakit
pada remaja menjelaskan risiko paparan terhadap anak yang cukup tinggi.
Prevalensi TB paru ko-infeksi HIV pada anak yang dilaporkan berkisar < 5% pada
lebih 50% di populasi komunitas beban tinggi HIV. Namun, keterkaitan efek HIV
terhadap insidensi TB paru sulit digambarkan. Risiko bias timbul dari pengamatan
ini (anak dengan HIV cenderung diamati pada penderita TB paru); seperti bias
diagnostik (penegakkan diagnosis tidak handal dan dampaknya pada status HIV);

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


12

ketidaklengkapan dalam memastikan status HIV; dan data denominator populasi


dengan proporsi seluruh anak yang terinfeksi HIV tidak akurat. Keterbatasan
metodologi di beberapa studi menjelaskan mengapa hal ini bukan menjadi temuan
secara universal. Beberapa komunitas menilai dampak insidensi TB paru lemah
pada anak yang terinfeksi HIV. Di sisi lain, estimasi insidensi TB paru dengan
infeksi HIV dalam suatu studi di Afrika Selatan akan meningkat berkali-kali.

2.2.4. Mengestimasi beban penyakit global

Usaha penentuan beban global TB paru anak dihambat oleh beberapa


faktor. Hal ini meliputi penegakkan diagnosis, minimnya sumber daya dalam
penemuan kasus aktif pada populasi, dan data surveilans paediatrik yang terbatas
dari program pengendalian TB. Pada strategi DOTS WHO hanya kasus
pemeriksaan sputum BTA positif pada anak yang dilaporkan, sedangkan pada
pemeriksaan BTA negatif di populasi beban tinggi dan penyakit pada anak belum
dilakukan hingga saat ini. Penentuan beban penyakit, digunakan dengan estimasi
proporsi kasus BTA positif berdasarkan umur, yakni 900,000 (11 %) kasus pada
anak secara global di tahun 2000. Pada dewasa mayoritas kasus terjadi di 22
negara dengan beban tinggi. Apabila dikombinasikan dengan angka penularan
tinggi dan proporsi luas terhadap populasi di bawah umur 15 tahun berarti jumlah
anak berkisar 25-40 % dengan angka insidensi 60-600 per 100,000 per tahun dari
kasus yang ada.
Angka tinggi TB paru anak dilaporkan di kawasan Eropa Timur akibat
ledakan epidemi TB disebabkan pecahnya Republik Soviet. Negara-negara yang
memiliki beban rendah dilaporkan mengalami peningkatan kasus, terutama dari
imigran daerah TB paru endemis. Di negara Eropa Timur dan Amerika Utara,
terjadi 4-7 % kasus dari total anak, dengan insidensi bervariasi dari 1 sampai 15
per 100,000 per tahun, meskipun angkanya lebih banyak diamati pada beberapa
kota, terutama di London.
Data surveilans terbatas dalam mengestimasi kontribusi TB paru pada
kematian anak. Meskipun, pneumonia merupakan kasus yang paling sering
menimbulkan kematian pada anak secara global, namun TB paru menjadi kasus
yang penting pada pneumonia pada beberapa kondisi populasi. Dapat dikatakan,

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


13

TB paru pun berkontribusi secara signifikan terhadap kematian anak secara


global. Sebuah studi pembedahan mayat di Zambia menemukan bukti bahwa TB
paru pada anak di 18% dengan HIV-positif dan 26% dengan HIV-negatif
mengalami kematian akibat pneumonia. Data regional yang kuat diperlukan untuk
menentukan beban sebenarnya dari penyakit ini, dan mengidentifikasi angka
penularan terkini serta perubahan jenis (strain). Pedoman WHO saat ini
merekomendasikan untuk pelaporan seluruh kasis pada anak (BTA positif, BTA
negatif dan ekstra-paru) dalam dua rentang umur (0-4 dan 5-14 tahun) sebagai
langkah penting penanggulangan dan pengendalian TB.

2.3 Diagnosis TB Paru pada Anak


Berbeda dengan dewasa, penegakkan diagnosis TB pada anak tidak mudah
ditegakkan menyebabkan sering terjadi misdiagnosis (overdiagnosis atau
underdiagnosis). Dalam ISTC edisi 2 standard 6, diagnosis TB paru anak
ditegakkan berdasarkan anamnesis yang cermat dan teliti (termasuk riwayat
kontak dengan pasien TB paru dewasa), pemeriksaan fisis (termasuk analisis
terhadap kurva pertumbuhan) serta hasil pemeriksaan penunjang uji tuberkulin,
radiologi serta pemeriksaan sputum BTA bila memungkinkan (Dirjen-P2PL,
2013).
Pada anak jarang mengalami batuk menjadikan gejala ini bukan
merupakan gejala utama TB paru. Pengambilan dahak pada anak biasanya sulit,
maka diagnosis TB paru anak ditegakkan melalui kriteria lain yaitu dengan
menggunakan sistem pembobotan (scoring system). Ikatan Dokter Anak Indonesia
(IDAI) telah membuat Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak (PNTA) dengan
menggunakan sistem pembobotan (scoring system), yaitu pembobotan terhadap
gejala atau tanda klinis yang dijumpai. Pedoman tersebut secara resmi digunakan
oleh program nasional penanggulangan tuberkulosis untuk diagnosis TB paru
anak (Dirjen-P2PL, 2013).

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


14

Tabel 1. Sistem pembobotan (scoring system) gejala TB paru anak

Catatan:
1) Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter
2) Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronik
lainnya seperti asma, sinusitis, dan lain-lain
3) Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit), pasien dapat
langsung didiagnosis TB
4) Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname)
5) Foto toraks bukan alat diagnostik utama pada TB paru anak
6) Uji tuberkulin menggunakan PPD (purified protein derivates) dengan
kekuatan intermediate 2-5 TU (Tuberculin Unit)
7) Kondisi imunosupresi terjadi pada anak gizi buruk, HIV, keganasan, terapi
imunosupresi jangka panjang, pasca infeksi berat seperti campak, pertusis,
varisela

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


15

8) Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi lokal timbul < 7 hari setelah
penyuntikan) harus dievaluasi dengan sistem skoring TB paru anak
9) Diagnsosis TB paru anak ditegakkan jika jumlah skor > 6 (skor maksimal
13)
Perlu perhatian khusus apabila ditemukan salah satu keadaan di bawah
ini:
10) Tanda bahaya:
a) Kejang, kaku kuduk
b) Penurunan kesadaran
c) Kegawatan lain, misalnya sesak napas
11) Foto toraks menunjukkan gambaran milier, kavitas, efusi pleura
12) Gibbus, koksitis
Setelah dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang, maka dilakukan pembobotan dengan sistem skor. Pasien dengan
jumlah skor yang lebih atau sama dengan 6 (> 6), didiagnosis sebagai TB paru
anak termasuk balita dan ditatalaksana dengan OAT. Bila skor < 6 tetapi secara
klinis kecurigaan ke arah TB paru kuat maka perlu dilakukan pemeriksaan
diagnosis lainnya sesuai indikasi, seperti:
1) Mikrobiologik: pemeriksaan mikroskopik dahak BTA dan biakan kuman
MTB untuk anak termasuk balita yang terdapat mengeluarkan dahak
2) Patologi anatomik: sitologik atau histopatologik dari kelenjar getah bening,
atau spesimen lain
3) Pencitraan: USG, radiologik dan CT scan, atau MRI termasuk foto tulang dan
sendi sesuai indikasi atau dirujuk ke RS dengan fasilitas lebih lengkap atau
dokter spesialis anak

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


16

Bagan 1. Algoritma tatalaksana TB paru anak (Dirjen-P2PL, 2013)

2.4 Pengobatan Pasien TB Paru Anak


Berdasarkan pengobatan, pasien TB paru anak dikelompokkan menjadi 2
yaitu (Dirjen-P2PL, 2013):
1. TB paru anak balita dengan terapi standard

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


17

2. TB anak balita dengan kondisi khusus:


a) Diseminata (TB milier, TB meningitis)
b) TB ekstra paru (efusi pleura, spondilitis TB, skrofuloderma, limfadenitis
TB, TB abdomen dan lain-lain).
Sebagian besar pasien pada anak termasuk dalam kelompok pertama, yang
pengobatannya mengikuti alur berikut ini:

Bagan 2. Diagnosis kerja (entry point) tuberkulosis (Dirjen-P2PL, 2013)

2.4.1. Pemantauan Pengobatan pada TB Paru Anak

Sama halnya dengan TB paru dewasa, evaluasi TB paru anak dilakukan


setiap bulan terutam dua bulan pertama. Apabila dalam dua bulan pengobatan
tidak ada perbaikan klinis, perlu dievaluasi apakah telah minum OAT dengan
benar dan teratur, adakah penyakit lain yang menyertai, benarkah diagnosis TB
paru anak termasuk balita tersebut. Jika hal ini telah disingkirkan dan kondisi
klinis cenderung memburuk maka perlu dipertimbangkan kemungkinan TB-MDR.
Anak balita dengan kondisi tersebut harus dirujuk ke rumah sakit dengan fasilitas
lebih lengkap.
Apabila dalam dua bulan terdapat perbaikan klinis, pengobatan dilanjutkan
sampai minimal enam bulan. Setelah pengobatan selama enam bulan, dilakukan
evaluasi menyeluruh terhadap respons terapi. Penilaian terpenting adalah respons
klinis yaitu menghilang atau membaiknya berbagai gejala klinis yang semula
dikeluhkan. Bila secara klinis nyata terjadi perbaikan, pemeriksaan penunjang lain
seperti foto toraks tidak perlu rutin dilakukan dan OAT dihentikan. Bila respons
klinis belum seperti yang diharapkan dapat dilakukan evaluasi pemeriksaan
penunjang.

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


18

1. Prinsip dasar pengobatan TB paru anak


Prinsip dasar pengobatan TB paru adalah minimal tiga macam obat dan
diberikan dalam waktu minimal enam bulan. Terapi TB paru anak termasuk
balita dibagi menjadi 2 tahap, intensif dan lanjutan. Tahap intensif selama dua
bulan awal, mulai bulan ketiga dan selanjutnya merupakan tahap lanjutan.
Tahap intensif diberikan paduan > 3 OAT, sedangkan pada tahap lanjutan
diberikan paduan 2 obat H dan R. Pemberian OAT pada anak dilakukan setiap
hari, baik pada tahap intensif maupun tahap lanjutan. Dosis obat harus
disesuaikan dengan berat badan anak (Dirjen-P2PL, 2013).
2. Dosis obat TB paru anak
Berbeda dengan pasien dewasa, pada anak balita dosis obat termasuk OAT
memerlukan perhitungan yang tepat sesuai dengan berat badan. Idealnya,
untuk tiap pasien dosis diberikan secara individu sesuai dengan berat badan
(tailor made) dan mungkin pertimbangan lain (gangguan fungsi hepar dan
lain-lain) (Dirjen-P2PL, 2013).

Bagan 3. Skema panduan OAT anak balita (Dirjen-P2PL, 2013)

Tabel berikut ini memperlihatkan rentang dosis per kg BB untuk OAT yang
digunakan pada pasien anak.

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


19

Bagan 4. OAT yang biasa dipakai dan dosisnya (Dirjen-P2PL, 2013)

Catatan:
* bila isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh
melebihi 10 mg/kgBB/hari
** rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena
dapat mengganggu bioavailabilitas rifampisin.
Rifampisin diabsrobsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat
perut kosong (1 jam sebelum makan atau 2 jam sesudah makan)

2.4.2. Paduan OAT anak

OAT pada anak dapat diberikan dalam bentuk obat lepas, kombipak dan
Kombinasi Dosis Terpadu (KDT).
a. Kombinasi Anak
Kombipak adalah sediaan obat dalam bentuk lepas namun
digabungkan dalam satu bungkus aluminium foil (sachet). Obat kombipak
untuk anak terdiri dari kombipak tahap intensif (kombipak A) dan kombipak
tahap lanjutan (kombipak B).

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


20

Satu bungkus kombipak tahap intensif berisi 1 tablet isoniazid 100 mg,
2 kapsul rifampisin masing-masing 75 mg, dan 2 tablet pirazinamid masing-
masing 200 mg, sedangkan kombipak tahap lanjutan berisi 1 tablet isoniazid
100 mg dan 2 kapsul rifampisin masing-masing 75 mg.
Berat Kombipak A: tahap intensif 1 Kombipak B: tahap
badan sachet: H100, R150, Z400 2 lanjutan 1 sachet: H100,
(kg) bulan, tiap hari R150 4 bulan, tiap hari
05-09 ½ sachet (H50, R75, Z200) ½ sachet (H50, R75)
10-14 1 sachet (H100, R150, Z400) 1 sachet (H100, R150)
15-19 1½ sachet (H150, R225, Z600) 1½ sachet (H150, R225)
20-32 2 sachet (H200, R300, Z800) 2 sachet (H200, R300)
Tabel 2. Panduan kombipak A untuk anak berdasarkan berat badan

Catatan:
1. ½ sachet  INH setengah tablet rifampisin 1 kapsul; pirazinamid 1 tablet
2. Anak balita dengan BB > 33 kg, diberikan obat lepas dengan dosis sesuai

b. Kombinasi Dosis Terpadu (KDT)


KDT anak balita adalah sediaan OAT dalam bentuk tablet atau kapsul
yang sekaligus mengandung > 2 obat dalam kombinasi dosis yang tetap. Obat
KDT untuk anak balita terdiri dari KDT tahap intensif dan KDT tahap
lanjutan. Satu tablet KDT tahap intensif berisi isoniazid 50 mg, rifampisin 75
mg, dan pirazinamid 150 mg, sedangkan satu tablet KDT tahap lanjutan berisi
isoniazid 50 mg dan rifampisin 75 mg.
KDT tahap lanjutan
Berat KDT tahap intensif H50, R75,
H50, R75 4 bulan, tiap
badan (kg) Z150 2 bulan, tiap hari
hari
05-09 1 tablet 1 tablet
10-14 2 tablet 2 tablet
15-19 3 tablet 3 tablet
20-32 4 tablet 4 tablet
Tabel 3. Paduan kombipak B pada anak berdaasarkan berat badan

Catatan:
1. Bayi dengan BB < 5 kg dirujuk ke rumah sakit (berlaku untuk KDT dan
obat lepas)
2. Obat KDT harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah dan tidak boleh
digerus

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


21

3. OAT KDT dikonsumsi dengan cara ditelan secara utuh, dikunyah


(chewable), atau dilarutkan dalam air (dispersabel)
4. Anak balita dengan BB > 33 kg, diberikan obat lepas dengan dosis sesuai
Pada fase intensif pasien TB paru anak kontrol tiap minggu, untuk melihat
kepatuhan, toleransi dan kemungkinan adanya efek samping obat. Pada fase
lanjutan pasien kontrol tiap bulan. Setelah diberi OAT selama 2 bulan, respon
pengobatan pasien harus dievaluasi. Respon pengobatan dikatakan baik apabila
gejala klinis berkurang, nafsu makan meningkat, berat badan meningkat, demam
menghilang, dan batuk berkurang. Apabila respon pengobatan baik maka
pemberian OAT dilanjutkan sampai dengan 6 bulan. Sedangkan apabila respon
pengobatan kurang atau tidak baik maka pengobatan TB tetap dilanjutkan tetapi
pasien harus dirujuk ke sarana yang lebih lengkap. Sistem skoring hanya
digunakan untuk diagnosis, bukan untuk menilai hasil pengobatan (Dirjen-P2PL,
2013).
Setelah pemberian obat selama 6 bulan, OAT dapat dihentikan dengan
melakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang lain seperti foto
toraks. Pemeriksaan tuberkulin tidak dapat digunakan sebagai pemeriksaan untuk
pemantauan pengobatan, karena uji tuberkulin yang positif masih akan
memberikan hasil yang positif. Meskipun gambaran radiologis tidak menunjukkan
perubahan yang berarti, tetapi apabila dijumpai perbaikan klinis yang nyata, maka
pengobatan dapat dihentikan dan pasien dinyatakan selesai (Dirjen-P2PL, 2013).
Pada pasien TB paru anak yang pada awal pengobatan hasil pemeriksaan
dahaknya BTA positif, pemantauan pengobatan dilakukan dengan melakukan
pemeriksaan dahak ulang sesuai dengan alur pemantauan pengobatan pasien TB
paru BTA pos (Dirjen-P2PL, 2013).

2.4.3. Hasil akhir pengobatan TB paru anak

Definisi hasil akhir pengobatan untuk TB paru anak sama dengan yang
dipakai pada penderita TB paru dewasa untuk menjaga kesesuaian pelaporan baik
pada kasus TB paru anak maupun dewasa. Respon terapi pada anak TB paru BTA
negatif, TB paru tanpa pemeriksaan dahak, dan TB ekstra paru dinilai dengan
penilaian secara berkala tiap bulan dengan pencatatan pencapaian berat badan dan

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


22

perbaikan gejala klinis. Pada anak dengan TB paru BTA positif, pemeriksaan
dahak harus diulang sesuai dengan jadwal pemeriksaan ulang pada pasien TB
paru dewasa (Dirjen-P2PL, 2013).

Tabel 4. Hasil akhir pengobatan TB paru anak (Dirjen-P2PL, 2013)

Berbeda dengan penderita dewasa, kebanyakan TB paru anak tidak


didiagnosis secara mikroskopis, sehingga istilah “Sembuh” menjadi luaran yang
jarang terjadi karena memerlukan follow up secara mikroskopis. Oleh karena itu
banyak anak yang secara klinis telah sembuh setelah pengobatan penuh akan
tercatat sebagai “Pengobatan Lengkap” (Dirjen-P2PL, 2013).

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


23

2.4.4. Peran, Tugas Pokok dan Fungsi Fasilitas Pelayanan Kesehatan dalam Tatalaksana TB Paru Anak

Rujukan tk. I Rujukan tk. II


No Tupoksi Pelayanan kesehatan dasar
RSUD kabupaten/kota RS rujukan utama provinsi
1 PENJARINGAN Pelayanan dasar melaksanakan Rujukan tk. I melaksanakan Rujukan tk. II melaksanakan
SUSPEK penjaringan suspek TB paru anak penemuan kasus TB paru anak penemuan kasus TB paru anak
dengan cara: dengan cara: dengan cara:
1. Anamnesis 1. Anamnesis 1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik 2. Pemeriksaan fisik 2. Pemeriksaan fisik
2 DIAGNOSIS Bila 1+2 menunjukkan TB paru, maka Bila 1+2 menunjukkan TB paru, Bila 1+2 mengarah TB paru, maka
dinilai dengan menggunakan sistem maka dinilai dengan menggunakan penilaian sistem pembobotan dapat
pembobotan, bila bobot > 6, sistem pembobotan, bila bobot > 6, digunakan sebagai entry point
dinyatakan TB paru dinyatakan TB paru bersama pemeriksaan penunjang
lain yang dianggap perlu (seperti
biopsi dan kultur) dalam
menegakkan diagnosis definitif TB
paru
Bila hasil penilaian sistem pembobotan Menerima rujukan dari fasilitas Menerima rujukan dari fasilitas
< 6, tetapi gejala klinis mengarah pelayananan kesehatan dasar dengan pelayanan kesehatan di bawahnya
kepada TB paru maka harus merujuk melengkapi parameter penilaian dengan pemeriksaan lain yang
ke rujukan tk. I bila pasien tidak sistem pembobotan atau pemeriksaan dianggap perlu
memungkinkan untuk dirujuk, lain yang dianggap perlu (uji
diagnosis dapat ditegakkan dengan tuberkulin dan rontgen foto toraks)
merujuk pada keterangan dalam sistem
pembobotan pada bab diagnosis
3 PENGOBATAN
a. PEMBERIAN Bila diagnosis TB paru anak balita Bila diagnosis TB paru anak balita Bila diagnosis TB paru anak balita
OAT telah ditegakkan, maka dilakukan telah ditegakkan, maka dilakukan telah ditegakkan, maka dilakukan
pemberian OAT sesuai kategori anak pemberian OAT sesuai regimen yang pemberian OAT sesuai regimen
yang digunakan secara nasional sesuai digunakan secara nasional sesuai yang digunakan secara nasional

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


24

Rujukan tk. I Rujukan tk. II


No Tupoksi Pelayanan kesehatan dasar
RSUD kabupaten/kota RS rujukan utama provinsi
dengan penyakitnya dengan penyakitnya sesuai dengan penyakitnya kecuali
pada kasus-kasus khusus seperti
reaksi obat yang tidak diinginkan
(suspek MDR)
b. FOLLOW UP Pemantauan kasus dilakukan dengan Pemantauan kasus dilakukan dengan Pemantauan kasus dilakukan
KASUS cara menilai kemajuan perbaikan cara menilai kemajuan perbaikan dengan cara menilai kemajuan
klinis, perkembangan fisik dan klinis, perkembangan fisik dan perbaikan klinis, perkembangan
psikologis psikologis fisik dan psikologis
Bila dalam 2 (dua) bulan pengobatan Menerima rujukan dari fasilitas Menerima rujukan dari fasilitas
tidak ada perbaikan maka obat tetap pelayanan kesehatan dasar dan pelayanan kesehatan di bawahnya
diteruskan, pasien harus dirujuk ke menindaklanjuti dengan melakukan dan menindaklanjuti dengan
fasilitas kesehatan pelayanan pemeriksaan yang dianggap perlu melakukan pemeriksaan yang
kesehatan rujukan dianggap perlu
Setelah dilakukan pengobatan maka Setelah dilakukan pengobatan
fasilitas pelayanan kesehatan rujukan maka fasilitas pelayanan kesehatan
dapat merujuk kembali ke fasilitas rujukan dapat merujuk kembali ke
kesehatan dasar sebelumnya bila fasilitas kesehatan sebelumnya
kondisi pasien stabil
4 Pencatatan dan Semua fasilitas pelayanan kesehatan melakukan pencatatan dan pelaporan dengan form TB yang baku (TB.06, TB.05,
pelaporan TB.04, TB.01, TB.02, TB.09, dan TB.10)
5 Indikator Untuk menilai keberhasilan penatalaksanaan TB paru di fasilitas pelayanan kesehatan, maka dibutuhkan pencatatan
yang baku dan menggunakan indikator sesuai Buku Pedoman Nasional TB dan melengkapi dengan indikator proses
yang diperlukan oleh fasilitas pelayanan kesehatan
6 Sistem rujukan
a. Rujukan tata (1) Bila ditemukan kasus-kasus berat, (1) Bila ditemukan kasus-kasus (1) Bila pasien akan pindah ke
laksana pasien dan adanya komplikasi paru maka berat, dan adanya komplikasi fasilitas pelayanan kesehatan
fasilitas pelayanan kesehatan dasar paru yang memerlukan sarana setingkat karena alasan dekat
harus merujuk pasien TB paru ke dan prasarana yang lebih lengkap ataupun alasan lainnya

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


25

Rujukan tk. I Rujukan tk. II


No Tupoksi Pelayanan kesehatan dasar
RSUD kabupaten/kota RS rujukan utama provinsi
fasilitas pelayanan kesehatan maka fasilitas pelayanan (2) Bila dalam kasus berat, kondis
rujukan dengan menggunakan kesehatan harus merujuk pasien pasien telah teratasi maka
form standard TB TB paru ke fasilitas pelayanan pasien dapat dikembalikan ke
(2) Bila pasien TB paru akan pindah kesehatan rujukan dengan fasilitas pelayanan kesehatan
ke fasilitas pelayanan kesehatan menggunakan form standard TB yan merujuk
setingkat karena alasan dekat (2) Bila pasien akan pindah ke (3) Bila pasien TB paru mangkir,
ataupun alasan lainnya fasilitas pelayanan kesehatan fasilitas pelayanan kesehatan
setingkat karena alasan dekat rujukan dapat berkoordinasi
ataupun alasan lainnya dengan Puskesmas dan Wasor
(3) Bila dalam kasus berat, kondis untuk membantu pelacakan
pasien telah teratasi maka pasien pasien mangkir
dapat dikembalikan ke fasilitas
pelayanan kesehatan yan merujuk
(4) Bila pasien TB paru mangkir,
fasilitas pelayanan kesehatan
rujukan dapat berkoordinasi
dengan Puskesmas dan Wasor
untuk membantu pelacakan
pasien mangkir
b. Rujukan (1) Fasilitas pelayanan kesehatan (1) Rujukan tk. I dapat berfungsi (1) Rujukan tk. II dapat berfungsi
penyuntikan dasar dapat berfungsi sebagai sebagai fasilitas pelayanan sebagai fasilitas pelayanan
tuberkulin fasilitas pelayanan kesehatan dan kesehatan dan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas
fasilitas pelayanan kesehatan kesehatan rujukan tuberkulin pelayanan kesehatan rujukan
rujukan tuberkulin (2) Fasilitas pelayanan rujukan tuberkulin
(2) Fasilitas pelayanan kesehatan tuberkulin menerima rujukan (2) Fasilitas pelayanan rujukan
rujukan tuberkulin menerima untuk melakukan uji tuberkulin tuberkulin menerima rujukan
rujukan untuk melakukan uji dari fasilitas pelayanan kesehatan untuk melakukan uji tuberkulin
tuberkulin dari fasilitas pelayanan (3) Fasilitas pelayanan kesehatan dari fasilitas pelayanan
kesehatan rujukan tuberkulin dapat kesehatan

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


26

Rujukan tk. I Rujukan tk. II


No Tupoksi Pelayanan kesehatan dasar
RSUD kabupaten/kota RS rujukan utama provinsi
(3) Fasilitas pelayanan kesehatan mendiganosis TB paru anak balita (3) Fasilitas pelayanan kesehatan
rujukan tuberkulin dapat dengan tambahan uji tuberkulin rujukan tuberkulin dapat
mendiganosis TB paru anak balita atau mengirim pasien yang diuji mendiganosis TB paru anak
dengan tambahan uji tuberkulin tuberkulin untuk dibaca dan atau balita dengan tambahan uji
atau mengirim pasien yang diuji didiagnosis oleh fasilitas tuberkulin atau mengirim
tuberkulin untuk dibaca dan atau pelayanan kesehatan pengirim pasien yang diuji tuberkulin
didiagnosis oleh fasilitas untuk dibaca dan atau
pelayanan kesehatan pengirim didiagnosis oleh fasilitas
pelayanan kesehatan pengirim
Tabel 5. Peran, tugas pokok, dan fungsi fasilitas pelayanan kesehatan dalam tata laksana TB paru anak (Dirjen-P2PL, 2013)

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


27

Bagan 5. Alur rujukan uji tuberkulin anak balita di fasilitas pelayanan kesehatan
(Dirjen-P2PL, 2013)

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


28

2.5 Pencegahan Tuberkulosis pada Anak


2.5.1. Pelacakan dan Pencegahan

a. Pelacakan
Apabila ditemukan satu kasus TB paru anak maka harus dilakukan
pelacakan terhadap sumber penularan (orang dewasa yang kontak erat) serta
anak-anak lain terutama balita yang memiliki risiko terinfeksi dari sumber
penularan yang sama (Dirjen-P2PL, 2013).
b. Pencegahan (profilaksis)
Pada semua anak, terutama balita yang tinggal serumah atau kontak
erat dengan pasien TB paru dengan BTA positif, perlu dilakukan pemeriksaan
dengan sistem skoring. Apabila hasil evaluasi dengan sistem skoring diperoleh
< 5, maka anak tersebut diberikan isoniazid (INH) dengan dosis 10 mg/kg
BB/hari selama 6 bulan (Dirjen-P2PL, 2013).
Apabila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG maka
imunisasi BCG dilakukan setelah profilaksis selesai dan setelah uji tuberkulin
2 kali negatif. Apabila uji tuberkulin positif, imunisasi BCG tidak perlu
diberikan. Apabila ibu hamil TB paru BTA positif, maka pada bayinya
diberikan profilaksis selama 3 bulan, dan dilanjut dengan imunisasi BCG
(Dirjen-P2PL, 2013).

2.6 Kontak Serumah TB Paru


Definisi ''kontak serumah'' bervariasi antara studi. Beberapa rumah tangga
dijelaskan berdasarkan lokasi, seperti makan bersama atau ruang tidur, sementara
beberapa studi ditetapkan durasi minimum paparan atau tingkat kedekatan.
Definisi kontak dekat juga bervariasi dalam intensitas paparan pasien. Beberapa
studi memiliki definisi yang luas, dengan hampir termasuk dikenal paparan, yang
lain menggunakan ungkapan-ungkapan seperti intim, berbagi udara dalam waktu
lama, atau menentukan durasi minimal paparan di ruang-ruang tertutup lainnya
seperti sebagai tempat kerja. Beberapa studi tidak memberikan definisi yang tepat
dari kontak dekat (Kartasasmita, 2009).
Anak yang pernah kontak dengan orang dewasa dengan TB paru BTA (+)
atau suspek yang diduga TB paru tidak terdiagnosis memiliki risiko 3,91 kali

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


29

menderita TB paru, dibandingkan anak yang tidak mempunyai riwayat kontak.


Sumber penularan yang paling berbahaya adalah anak yang serumah dengan TB
paru dewasa dengan adanya kavitas (lubang pada paru-paru) (Yulistyaningrum
and Rejeki, 2010).
Investigasi kontak merupakan evaluasi sistematik penemuan dan
penjaringan untuk mengidentifikasi status infeksi atau penyakit TB paru terhadap
orang-orang yang diketahui memiiki kontak dengan pasien terdiagnosis. Hal ini
merupakan salah satu dari strategi penemuan kasus TB paru aktif yang dianjurkan
dalam meningkatkan penemuan kasus TB (Fox et al., 2013). Investigasi kontak
telah menjadi standard baku praktik penanggulangan dan pencegahan TB di
negara maju yang memiliki insidensi rendah (JTC, 2000).
Penjaringan dan manajemen kontak adalah kegiatan investigasi yang
dilakukan secara aktif dan intensif untuk menemukan 2 hal yaitu (1) anak
khususnya balita yang mengalami paparan dari pasien TB paru BTA positif, dan
(2) orang dewasa yang menjadi sumber penularan yang tidak didiagnosis TB paru
(WHO, 2006a). Dari hasil investigasi kontak, selanjutnya dilakukan pemeriksaan
klinis, radiograf toraks, evaluasi mikrobiologis pada sputum, atau pemeriksaan
dalam menunjang TB paru laten seperti, uji tuberkulin (Mantoux) hingga
pemeriksaan sinar radioaktif. Pada wilayah yang memiliki sumber daya yang
terbatas, investigasi terhadap kontak penting dalam menjangkau penemuan kasus.
Saat ini, WHO telah merekomendasikan investigasi kontak untuk dilakukan dalam
dua populasi berisiko tinggi: anak berumur < 5 tahun (balita) dan orang yang
hidup dengan risiko tinggi terinfeksi HIV (WHO, 2012).
Tujuan utama dari rekomendasi ini adalah untuk membantu program
pengendalian TB nasional dan lokal di negara-negara berpenghasilan rendah dan
menengah untuk mengembangkan dan menerapkan penemuan kasus antara orang-
orang terkena penularan kasus TB. Pendekatan khusus untuk menerapkan
rekomendasi akan membutuhkan adaptasi lokal berdasarkan keadaan
epidemiologi dan kapasitas program pengendalian TB (WHO, 2012).
Rekomendasi ini bukan hanya relevan untuk program pengendalian TB
tetapi juga untuk semua penyedia yang mengevaluasi dan mengobati pasien
dengan TB paru di sektor publik dan swasta, terutama di setting kelembagaan dan

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


30

populasi berisiko tinggi. Program ini memungkinkan penyedia luar program TB


mampu secara efektif berkolaborasi dengan otoritas kesehatan masyarakat
setempat dalam melakukan investigasi kontak, dibanding melakukan penyelidikan
tersebut sendiri. Rekomendasi ini dilaksanakan secara konsisten terhadap
keseluruhan kasus secara lengkap dalam starategi penemuan dan kebijakan
program (WHO, 2012). Berikut beberapa pertimbangan operasional sebagai
langkah dalam investigasi kontak:

2.6.1. Menentukan Besaran Level untuk Investigasi Kontak

Program pengendalian TB nasional dan lokal menentukan berapa besaran


masalah untuk menempatkan penyelidikan kontak berdasarkan epidemiologi lokal
dari TB paru, kapasitas dan sumber daya operasional. Secara umum, penyelidikan
kontak diprioritaskan di negara-negara atau daerah dengan tingkat keberhasilan
pengobatan adalah < 85%. Prevalensi tinggi HIV atau TB-MDR/XDR dapat
mengurangi tingkat keberhasilan pengobatan menyebabkan pemeriksaan kontak
sangat mungkin dilakukan. Selain itu, kota atau wilayah dalam negara yang
memiliki program lokal memadai untuk dilakukan meskipun tarif nasional untuk
keberhasilan pengobatan berada di bawah standard. Daerah lokal tersebut dapat
mempertimbangkan untuk mengadopsi strategi deteksi kasus tambahan, seperti
investigasi kontak ini.

2.6.2. Mengadaptasikan Rekomendasi

Rekomendasi ini disesuaikan dengan konteks epidemiologi lokal dan


program yang sedang dilaksanakan. Program nasional dan lokal menentukan
potensi penyelidikan kontak untuk dilakukan berdasarkan kebijakan, sejauh mana
hal itu dilakukan dan ruang lingkup investigasi. Pendekatan bergantung pada
faktor-faktor program seperti ketersediaan staf dan sumber daya, serta definisi
berdasar pada metode diagnostik yang digunakan, di samping kondisi adat istiadat
dan kehidupan penduduk. Studi pendahuluan dilakukan sebelum pelaksanaan
untuk merancang pedoman lokal, menentukan hasil diagnostik serta mengetahui

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


31

faktor-faktor yang mempengaruhi kelayakan implementasi dilakukan secara


penuh.

2.6.3. Melakukan Wawancara dan Identifikasi Kontak

Apabila penyelidikan kontak dimulai, kasus indeks diwawancarai sesegera


mungkin setelah diagnosis (biasanya dalam waktu 1 minggu) untuk memperoleh
nama-nama rumah tangga dan kontak dekat. Fokus bukan hanya pada anggota
serumah, tapi populasi di sekolah/tempat kerja dan setting lain di mana paparan
tidak boleh diabaikan. Selain itu, kontak di fasilitas perawatan, perumahan,
fasilitas perawatan jangka panjang, penjara dan fasilitas perawatan medis akut,
khususnya apabila paparan batuk, harus dievaluasi. Idealnya, wawancara harus
dilakukan oleh orang yang dapat berbicara dengan bahasa yang sama dengan
pasien indeks dan akrab dengan konteks sosial dan budayanya. Penyelidikan juga
dapat dilakukan untuk pasien yang telah meninggal, hal ini apabila informasi
dapat dikumpulkan dari anggota keluarga.
Penyampaian tentang urgensi dan pentingnya investigasi disampaikan
dalam penyelidikan kontak, termasuk wawancara terhadap kasus indeks. Hal ini
terkadang akan bemanfaat ketika dilakukan wawancara kedua untuk memperoleh
kontak tambahan.

2.6.4. Melaksanakan Investigasi

Apabila sumber daya terpenuhi, orang yang melakukan penyelidikan


kontak mengunjungi rumah pasien untuk melakukan wawancara dan memastikan
merujuk suspek kontak serumah untuk dievaluasi. Kunjungan rumah sedemikian
penting dalam mengidentifikasi dan mengevaluasi kontak serta memastikan
informasi yang lebih akurat tentang situasi paparan. Investigator dapat membuat
penilaian lingkungan tempat tinggal dan memberikan konseling keluarga serta
pendidikan tentang gejala-gejala yang harus diperhatikan oleh kontak untuk
segera memeriksakan diri ke fasilitas paru. Khususnya pada anak-anak dan orang
dengan infeksi HIV, di mana TB paru dapat berkembang dengan cepat pada
popuasi tersebut. Kunjungan ke rumah juga memberikan kesempatan untuk

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


32

mengidentifikasi kebutuhan dukungan sosial dan pendidikan pada langkah-


langkah pengendalian dan infeksi TB paru.

Bagan 6. Pendekatan dalam manajemen kontak (WHO, 2006a)

2.6.5. Menentukan gejala

Berdasarkan CDC (2011) Penyakit TB dicurigai pada individu dalam


populasi tertentu untuk dilakukan pemeriksaan klinis di fasilitas paru berdasarkan
gejala-gejala sebagai berikut:
a. Berat badan turun yang tidak dapat dijelaskan
b. Kehilangan nafsu makan
c. Berkeringat di malam hari
d. Demam
e. Mudah lelah/kecapaian
Apabila penyakit TB diketahui pada penyakit paru, gejala sebagai berikut:
a. Batuk selama > 3 minggu
b. Hemoptysis (batuk disertai darah)
c. Nyeri pada dada
Apabila penyakit TB terjadi pada bagian tubuh lain (ekstra paru), gejala
didasarkan pada bagian tubuh yang terserang penyakit (CDC, 2011).

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


33

Gejala sakit TB paru anak berkembang dengan kronis dalam kebanyakan


kasus (WHO, 2006a). Gejala yang paling sering pada TB paru anak adalah:
a. Batuk kronis, yakni batuk terus-menerus tanpa sebab selama lebih dari 21
hari (> 3 minggu).
b. Demam, yakni suhu badan >38o C selama 14 hari, setelah sebab lain
dieksklusikan (seperti: pneumonia dan malaria).
c. Berat badan menurun dan kegagalan pertumbuhan, yang ditelusuri melalu
grafik pertumbuhan anak (WHO, 2006a).
Spesifisitas gejala dalam mendiagnosis TB paru anak bergantung pada
seberapa ketat gejala yang digunakan mendiagnosis hal tersebut (WHO, 2006a).
Penelitian pada anak di Asia Tenggara menunjukkan hubungan bermakna gejala
ini setelah didiagnosis TB paru. Secara signifikan, anak yang tidak sakit TB paru
ditunjukkan dengan tidak terdapatnya gejala ini ketika screening dilakukan
(Blount et al., 2014).

2.6.6. Pengawasan dan Evaluasi

Data dari penyelidikan kontak dikumpulkan dalam format standard.


Program pengendalian TB secara rutin mengevaluasi efektivitas investigasi
kontak dan intervensi desain untuk meningkatkan kinerja. Hasil investigasi kontak
dan kejadian TB paru aktif dievaluasi untuk menentukan apakah intervensi
memberikan hasil yang diinginkan. Beberapa informasi yang minimal
dikumpulkan meliputi: jumlah investigasi terhadap kontak yang dilakukan; total
jumlah, usia (terutama anak < 5 tahun), jenis kelamin dan status HIV dari kontak
diidentifikasi; jumlah yang menyelesaikan pemeriksaan medis dan penyelidikan
yang relevan; jumlah dengan TB paru aktif; dan jumlah anak < 5 tahun dan
ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) diberikan pengobatan pencegahan isoniazid.
Pengumpulan data selama investigasi kontak memiliki beberapa tujuan.
Pertama, informasi yang baik penting bagi manajemen dan tindak lanjut
dari kasus indeks dan kontak mereka. Kedua, pengumpulan data sistematis
memungkinkan analisis dari hasil investigasi kontak secara keseluruhan dan untuk
kelompok dan setting epidemiologi tertentu. Ketiga, data mengenai indikator

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


34

perawatan berguna untuk mengevaluasi tujuan kinerja program. Pengumpulan dan


penyimpanan data membutuhkan usaha signifikan; dilakukan dalam merancang
alat pengumpulan data dan menyiapkan protokol untuk pengumpulan dan analisis
data. Apabila data dikumpulkan tetapi tidak dianalisis dan digunakan untuk
memandu program, maka upaya ini akan sia-sia.

2.7 Faktor Hunian


Hunian merupakan faktor penentu penting dari kesehatan, dan perumahan
di bawah standard merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama. Setiap
tahun di Amerika Serikat, 13,5 juta cedera non-fatal terjadi di dalam dan sekitar
rumah (Warner et al., 2000), 2.900 orang meninggal dalam kebakaran rumah, dan
2 juta orang melakukan kunjungan ruang gawat darurat untuk asma. Satu juta
anak-anak di Amerika Serikat memiliki tingkat timbal dalam darah yang cukup
tinggi untuk mempengaruhi kecerdasan, perilaku, dan pembangunan mereka. Dua
juta orang Amerika menempati rumah dengan masalah fisik yang parah, dan 4,8
juta lainnya tinggal di rumah dengan masalah moderat (Krieger and Higgins,
2002).
Faktor risiko definitif terjadinya penularan TB paru anak adalah akibat
kontak dari orang dewasa yang terdiagnosis TB paru secara klinis (Soborg et al.,
2011). Di antara beberapa faktor risiko dalam penularan TB paru dewasa, sama
halnya di anak, kondisi hunian menjadi faktor yang ikut berpengaruh dalam
penularan penyakit ini di populasi. Kondisi hunian yang buruk berhubungan
dengan berbagai kondisi kesehatan, termasuk infeksi saluran pernapasan, asma,
keracunan timbal, cedera, dan kesehatan mental. Praktisi kesehatan menjadikan
isu hunian sebagai determinan sosial dalam kesehatan. Kesehatan masyarakat
telah lama terlibat dalam permasalahan hunian. Pada abad ke-19, para pejabat
kesehatan telah menaruh perhatian pada sanitasi yang buruk, kepadatan, dan
ventilasi yang tidak memadai (Krieger and Higgins, 2002).
Beberapa jenis hunian di bawah standard, terdiri dari kurangnya air minum
yang aman, pembuangan air limbah tidak efektif, adanya vektor penyakit (seperti
serangga dan tikus), dan penyimpanan makanan yang tidak memadai telah lama
diidentifikasi berkontribusi terhadap penyebaran penyakit menular (Krieger and

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


35

Higgins, 2002). Kepadatan hunian dikaitkan dengan penularan infeksi pernapasan


dan TB paru (Graham, 1990). Kondisi dan kepadatan hunian di perumahan non-
permanen bagi tunawisma juga berkontribusi terhadap morbiditas dari infeksi
pernapasan dan TB paru aktif (Wood et al., 1990).
Studi kohor longitudinal pada anak menunjukkan pengaruh kondisi hunian
terhadap perkembangan penyakit kronik selanjutnya. Sebuah studi di Inggris Raya
menunjukkan asosiasi yang jelas antara ventilasi yang tidak memadai dengan
kematian anak (mortalitas akibat pernapasan tidak dilihat secara khusus) dan jenis
sarana air yang digunakan dengan mortalitas penyakit jantung koroner, di mana
pengaruh faktor lain telah dipisahkan (Dedman et al., 2001). Penelitian kohor lain
menunjukkan kondisi perumahan yang tidak memadai dalam 33 tahun pertama
kehidupan berhubungan dengan kecacatan dan sakit parah (Krieger and Higgins,
2002).
Kurangnya perumahan yang terjangkau juga berhubungan dengan
kurangnya status gizi anak. Perumahan relatif mahal membuat keluarga dengan
pendapatan menengah ke bawah menyisihkan lebih banyak sumber daya
dibanding kebutuhan lain seperti makanan (Ellaway et al., 2000). Anak-anak dari
keluarga berpenghasilan rendah yang menerima subsidi perumahan menunjukkan
peningkatan pertumbuhan dibanding anak dari keluarga berpenghasilan rendah
yang belum mendapat subsidi. Studi ini memberi gagasan bahwa subsidi
memberikan efek protektif terhadap status gizi anak (Meyers et al., 1995). Di sisi
lain, perumahan non-permanen bagi anak tunawisma yang sering kekurangan
fasilitas memasak, menyebabkan status gizi buruk pada anak (Krieger and
Higgins, 2002).

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


36

Bagan 7. Prinsip kondisi hunian yang sehat (WHO, 1997)

Kondisi hunian yang sesak dan sempit memudahkan penularan penyakit


TB paru dan penyakit lain seperti influenza, meningitis, infeksi saluran
pernapasan akut (ISPA), diare, dan campak. Anak-anak yang tinggal di rumah
penuh sesak sangat lebih rentan terhadap ISPA. Kepadatan hunian juga dapat
menyebabkan tekanan psikologis pada anak-anak. Hal ini mempengaruhi
agresivitas pada anak yang mengakibatkan kekerasan fisik terhadap anak yang
lebih lemah. Disarankan bahwa setiap anak harus memiliki minimal 1 m3 ruang di
rumah (Muruka and Muruka, 2007).
Hunian yang lembab merupakan sarang dari berbagai agen virus dan
bakteri, serta tungau debu rumah, yang dapat menyebabkan masalah pernapasan,
terutama mengi. Kondisi lembab juga mendorong pertumbuhan jamur, yang telah
dikenal lama sebagai sumber alergen pernapasan. Perumahan lembab juga diduga
menjadi faktor penyumbang untuk rematik dan arthritis (Muruka and Muruka,
2007).
Kepmenkes RI No. 829/Menkes/SK/VII/1999 menguraikan 3 (tiga)
lingkup parameter rumah yang dinilai dengan masing-masing bobot tentang
persyaratan kesehatan perumahan. Hal ini meliputi:

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


37

1) Komponen rumah (bobot skor penilaian 31%), yakni terdiri atas plafon,
dinding, lantai, jendela kamar tidur, jendela kamar keluarga, dan ruang tamu,
ventilasi, sarana pembuangan asap dapur, pencahayaan;
2) Sarana sanitasi (bobot skor penilaian 25%), yaitu sarana air bersih, sarana
pembuangan kotoran, sarana pembuangan air limbah, dan sarana pembuangan
sampah; dan
3) Perilaku (bobot skor penilaian 44%), yaitu perilaku membuka jendela kamar
tidur, membuka jendela ruang keluarga dan tamu, membersi hkan halaman
rumah, membuang tinja bayi/anak ke kakus, dan membuang sampah pada
tempatnya.
Formulir penilaian rumah sehat terdiri atas komponen yang dinilai, kriteria
penilaian, nilai dan bobot serta hasil penilaian secara terinci. Direktorat
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan
Republik Indonesia tahun 2007 (Dirjen P2L Depkes RI, 2007) menyusun
pedoman teknis penilaian rumah sehat yang disusun berdasarkan Keputusan
Menteri Kesehatan Nomor: 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang persyaratan
kesehatan rumah tinggal sebagai berikut (Keman, 2005):
1) Bahan bangunan
a. Tidak terbuat dari bahan yang dapat melepaskan bahan yang dapat
membahayakan kesehatan, an tara lain : debu total kurang dari 150 μg/m2,
asbestos kurang dari 0,5 serat/m 3 per 24 jam, plumbum (Pb) kurang dari
300 mg/kg bahan;
b. Tidak terbuat dari bahan yang dapat menjadi tumbuh dan berkembangnya
mikroorganisme patogen.
2) Komponen dan penataan ruangan
a. Lantai kedap air dan mudah dibersihkan;
b. Dinding rumah memiliki ventilasi, di kamar mandi dan kamar cuci kedap
air dan mudah dibersihkan;
c. Langit-langit rumah mudah dibersihkan dan tidak rawan kecelakaan;
d. Bumbungan rumah 10 m dan ada penangkal petir;
e. Ruang ditata sesuai dengan fungsi dan peruntukannya;
f. Dapur harus memiliki sarana pembuangan asap.

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


38

3) Pencahayaan
Pencahayaan alam dan/atau buatan langsung maupun tidak langsung
dapat menerangi seluruh ruangan dengan intensitas penerangan minimal 60
lux dan tidak menyilaukan mata.
4) Kualitas udara
a. Suhu udara nyaman antara 18 – 30 oC;
b. Kelembaban udara 40 – 70 %;
c. Gas SO2 kurang dari 0,10 ppm/24 jam;
d. Pertukaran udara 5 kaki3/menit/penghuni;
e. Gas CO kurang dari 100 ppm/8 jam;
f. Gas formaldehid kurang dari 120 mg/m3.
5) Ventilasi
Luas lubang ventilasi alamiah yang permanen minimal 10% luas
lantai.
6) Vektor penyakit
Tidak ada lalat, nyamuk ataupun tikus yang bersarang di dalam rumah.
7) Penyediaan air
a. Tersedia sarana penyediaan air bersih dengan kapasitas minimal 60 liter/
orang/hari;
b. Kualitas air harus memenuhi persyaratan kesehatan air bersih dan/atau air
minum menurut Permenkes 416 tahun 1990 dan Kepmenkes 907 tahun
2002.
8) Sarana penyimpanan makanan
Tersedia sarana penyimpanan makanan yang aman.
9) Pembuangan Limbah
a. Limbah cair yang berasal rumah tangga tidak mencemari sumber air, tidak
menimbulkan bau, dan tidak mencemari permukaan tanah;
b. Limbah padat harus dikelola dengan baik agar tidak menimbulkan bau,
tidak mencemari permukaan tanah dan air tanah.
10) Kepadatan hunian
Luas kamar tidur minimal 8 m2 dan dianjurkan tidak untuk lebih dari 2
orang tidur.

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


39

2.8 Kondisi Ekonomi dan Akses Pelayanan Kesehatan


Keterjangkauan terhadap pelayanan kesehatan merupakan hal yang paling
penting dalam penanggulangan TB secara nasional. Ekuitas dalam akses
pelayanan kesehatan masih menjadi isu serius di beberapa negara berkembang.
Lebih dari 1/3 orang dengan gejala TB paru (suspek) tidak berusaha untuk
mencari pelayanan tenaga kesehatan setelah menderita batuk lebih dari 3 minggu.
Di mana populasi yang memiliki kemampuan ekonomi lemah kurang mungkin
dalam mencari pelayanan profesional dibanding mereka yang memiliki
kemampuan ekonomi mapan (Zhang et al., 2007).
Sistem kesehatan di banyak kasus tidak adil dan mengikuti prinsip “hukum
pelayanan terbalik”, artinya memberikan pelayanan lebih bagi orang kaya yang
kurang membutuhkan dibanding orang yang miskin yang tidak dapat terjangkau
(Hart, 1971). Pelayanan kesehatan yang disediakan oleh program pemerintah
melaui jaminan kesehatan yang diklaim secara universal, namun secara praktik
sebagian besar dari layanan tersebut diterima oleh populasi kuintil teratas
(Gwatkin et al., 2004). Begitu pula dari sisi penemuan kasus TB di populasi.
Bukti ini ditunjukkan bahwa 60% kasus TB terdeteksi secara rutin melalui
program DOTS berasal dari status ekonomi menengah ke atas. Di sisi lain, 75%
kasus prevalensi sebenarnya terjadi pada populasi miskin (Hossain et al., 2012).
Angka notifikasi TB di negara berkembang relatif ditunjukkan pada
populasi umur produktif dan kalangan perkotaan. Populasi ini cenderung memiliki
status sosial ekonomi yang rendah. Ini berarti bahwa sebagian besar kasus TB
paru yang tidak diobati tetap tidak terdeteksi dengan sistem rutin khususnya di
kalangan miskin, terlebih di pedesaan. Prevalensi lebih tinggi kejadian TB paru di
antara kuantil bawah dalam populasi juga mengindikasi bahwa orang miskin lebih
menderita dan mungkin terlambat untuk dideteksi dan diobati (Hossain et al.,
2012).

2.8.1. Pengukuran Indeks Kepemilikan


(Balitbangkes, 2013)

Pada pengukuran tingkat kesejahteraan rumah tangga, sering digunakan


status sosial ekonomi sebagai variabel proxy. Status sosial ekonomi rumah tangga

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


40

secara umum ditentukan melalui 3 (tiga) metode yang memiliki kelebihan dan
kekurangan masing-masing, yakni:
1. Data penghasilan per bulan,
2. Data pengeluaran per bulan, dan
3. Indeks kepemilikan barang tahan lama.
Pola penghasilan yang cenderung fluktuatif khususnya di sektor informal
terjadi di sebagian besar negara berkembang. Di samping itu, kesediaan responden
untuk menjawab dengan jujur merupakan masalah dari validitas indikator sosial
ekonomi dengan metode pengukuran penghasilan per bulan. Namun, di sisi lain
data sosial ekonomi dari metode ini cenderung mudah untuk ditanyakan dan
dikumpulkan.
Pengeluaran yang dikalkulasi secara rinci dapat menggambarkan indikator
sosial ekonomi rumah tangga dengan akurat sehingga metode ini memiliki
validitas yang paling baik. Di sisi lain, responden seringkali bingung dengan
penghitungan ini, time consumed serta membutuhkan ketelitian enumerator yang
baik.
Penggunaan data kepemilikan barang tahan lama banyak digunakan untuk
pengukuran status sosial ekonomi pada beberapa tahun terakhir. Barang-barang
rumah tangga seperti: kendaraan, perangkat elektronik, dan sebagainya,
cenderung mudah diobservasi dan ditanyakan. Namun, penghitungan data indeks
kepemilikan sangat kompeks untuk menentukan cut off point terhadap variabel-
variabel kompositnya.
Ariawan (2006) memperlihatkan salah satu teknik untuk membentuk
indikator tunggal yang disusun dari beberapa variabel yang disebut Principal
Component Analysis (PCA). Analisis ini membentuk indeks kepemilikan yang
digunakan untuk mengukur status ekonomi rumah tangga. Variabel kepemilikan
diidentifikasi melalui simulasi model penyusunan indeks menggunakan data
Susenas 2010 yang dibandingkan dengan data penghasilan per bulan pada survei
yang sama sebagai indikator status ekonomi (Ariawan, 2006).
Analisis PCA dengan korelasi polychoric digunakan untuk membentuk
matriks prediksi status ekonomi. Variabel dengan nilai korelasi di bawah 0,3
dieliminasi satu per satu secara bertahap dengan proporsi minimal 50%. 9 dari 17

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


41

variabel yang korelasinya di atas 0,3 mampu menjelaskan 57% proposi status
ekonomi rumah tangga.
Indeks kepemilikan ini memiliki ketepatan yang cukup setelah diuji
tabulasi silang dengan hasil pengukuran pengeluaran per bulan. Hal ini
ditunjukkan khususnya pada kuintil terbawah dan teratas dengan sensitivitas yang
sangat akurat setelah dikategorikan menjadi lima kelompok (kuintil) variabel
ordinal.

Bagan 8. Variabel kepemilikan Riskesdas 2013

2.9 Tingkat pendidikan

Posisi strata sosial seseorang di masyarakat ditentukan secara relatif dari


tingkat pendidikan, di mana seseorang akan mendapatkan pekerjaan dan
pendapatan serta kehidupan yang layak (Alvarez et al., 2011). Konsensus yang
berkembang saat ini mengindikasikan bahwa dalam pengendalian perkembangan
TB di negara-negara berkembang dibutuhkan bukan hanya investasi terhadap
penguatan program penanggulangan, diagnosis maupun dalam hal
pengobatan/terapi saja, namun juga tindakan pada aspek determinan sosial dari

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


42

TB paru (Hargreaves et al., 2011). Tingkat pendidikan merupakan salah satu


faktor sosial kejadian suatu penyakit. Pada orang tua, tingkat pendidikan bukan
hanya memiliki dampak terhadap penyakit, namun juga terhadap seluruh outcome
yang terjadi seperti status ekonomi keluarga khsususnya terhadap pencapaian
anak (tingkat pendidikan, perilaku, dll) (Davis-Kean, 2005).
Tingkat pendidikan orang tua, khususnya pada masa anak balita
memperparah infeksi MTB ke anak. Infeksi yang progresif sehingga menjadi sakit
(TB paru) ditunjukkan pada proporsi yang lebih besar terhadap tingkat pendidikan
ibu yang rendah di samping adanya kontak dengan penderita TB paru yang
terdiagnosis secara klinis (Soborg et al., 2011). Di samping itu, kematian akibat
TB dilaporkan lebih tinggi pada keluarga yang memiliki tingkat pendidikan lebih
rendah dibandingkan yang bisa bertahan hidup akibat penyakit ini (Kunst et al.,
1998).

2.10 Umur dan jenis kelamin

Berdasarkan rekomendasi yang WHO, umur dalam anak dikategorikan


menjadi 0-4 tahun dan 5-14 tahun (WHO, 2006a). Di negara-negara dengan beban
tinggi penyakit TB paru, kematian pada populasi umur yang lebih muda
meningkat dengan insidensi penyakit ini (Alvarez et al., 2011). Pada episode umur
anak dapat menggambarkan variasi dari risiko untuk ditularkan oleh orang TB
paru dewasa dan menularkan ke populasi orang sehat di masyarakat tempat
tinggal.
Pada umur yang lebih muda, anak dengan penyakit TB paru aktif,
diperkirakan tidak dapat menularkan kepada populasi sehat, baik pada dewasa
maupun anak lainnya. Hal ini disebabkan anak jarang menunjukkan gejala batuk
sehingga sedikit mengekskresi bakteri. Namun, pada masa remaja TB paru mulai
menyerupai bentuk dewasa dari penyakit dan dalam dahaknya dapat ditemukan
kuman BTA positif, seperti pada orang dewasa, yang menimbulkan risiko
penularan ke populasi sehat (Marais et al., 2005).
Belum banyak laporan mengenai indikasi perbedaan signifikan terhadap
kejadian TB paru anak berdasar jenis kelamin. Namun, pada populasi dewasa
berdasarkan perbandingan Pada total, 8.530 kejadian TB paru yang dilaporkan,

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


43

dengan angka kematian 3 per 100.000 per tahun, 73% di antaranya adalah laki-
laki (Alvarez et al., 2011).

2.11 Faktor Gizi dan Imunisasi BCG

Status gizi yang buruk melalui berat badan yang kurang dibanding tinggi
badan (status berat badan per tinggi badan) merupakan faktor risiko yang mapan
pada TB paru orang dewasa. Kondisi ini meningkatkan risiko infeksi TB paru
menjadi sakit TB paru karena dampak negatif akibat kekurangan gizi mikro dan
makro (protein, energi, vitamin A, D, C dan E, zinc dan selenium) sel pada sistem
imun (Cegielski and McMurray, 2004, McMurray and Cegielski, 2007). Asupan
gizi berkaitan erat dengan kemiskinan, perkembangan sosio-ekonomi dan
perubahan lingkungan yang juga dikenal sebagai determinan sosial dalam
insidensi TB paru (Lonnroth et al., 2009).
Lonroth et al (2010) menjelaskan bahwa Indeks Massa Tubuh (IMT)
merupakan indikator yang dapat digunakan mengukur insidensi TB paru.
Indikator status gizi ini sebagai faktor risiko dan bukan sebagai dampak dari
infeksi TB paru telah dijustifikasi melalui hubungan log linear yang konsisten dan
sistematik terhadap indeks ini pada enam studi kohor dengan setting berbeda
(systematic review) (Lonnroth et al., 2010). Ukuran ini ekuivalen dengan berat
badan per tinggi badan (Cegielski and McMurray, 2004, McMurray and
Cegielski, 2007) atau panjang badan pada bayi 0-2 tahun.
IMT sebagai indikator status gizi pada anak TB paru yang berusia > 5
tahun sedangkan pada anak > 5 tahun dengan berat badan per panjang badan (0-2
tahun) atau tinggi badan (2-5 tahun) sesuai dengan baku rujukan yang telah
ditetapkan (Dirjen-BG&KIA, 2011, Dirjen-P2PL, 2013). Baku rujukan diadaptasi
dari baku rujukan Standard Pertumbuhan Anak yang dirumuskan oleh WHO
tahun 2005 atau WCGS 2005 (Bagan 8).
Baku rujukan ini pertama kali dirumuskan berdasarkan data dari United
States Health Examination Surveys dan Ohio Fels Research Institute, National
Center for Health Statistics (NCHS) dan Center for Disease Control (CDC) yang
membuat distribusi persentil yang diperhalus untuk berat badan, tinggi badan, dan
lingkar kepala anak mulai lahir sampai usia 18 tahun (Hamill et al., 1977). Pada
tahun 1975, sebuah kelompok kerja yang terdiri dari para ahli merekomendasikan

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


44

WHO untuk menggunakan data NCHS tersebut (selanjutnya disebut


NCHS/WHO) menjadi baku rujukan untuk menilai pertumbuhan serta status gizi,
dan berlaku sebagai standar internasional walaupun masih banyak terdapat
keterbatasan (Iskandar et al., 2008).
Pada tahun 1993, WHO mengevaluasi baku rujukan NCHS/WHO.
Kekurangan-kekurangan dalam baku rujukan ini diatasi dengan membuat proyek
WHO Multicentre Growth Reference Study (MGRS). Hasil proyek ini
menetapkan baku rujukan baru yang dikeluarkan pada tahun 2006 disebut dengan
WHO Child Growth Standard (WCGS) (Iskandar et al., 2008).

Bagan 9. Kategori dan ambang batas status gizi anak berdasarkan indeks (Dirjen-BG&KIA,
2011)

BCG merupakan sebuah vaksin hidup yang dilemahkan berasal dari M.


bovis. Program pengembangan imunisasi WHO merekomendasikan vaksinasi
BCG sesegera mungkin setelah kelahiran pada negara dengan tingkat prevalensi
TB tinggi (WHO, 2006a).

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


45

Di seluruh negara, anak-anak yang diketahui memiliki imunodefisiensi


primer (seperti penyakit kongenital) seharusnya tidak diberikan imunisasi BCG.
Meskipun BCG telah diberikan kepada anak-anak sejak tahun 1920-an,
efektivitasnya dalam mencegah penyakit TB paru di antara orang dewasa tetap
kontroversi. Efikasi berkisar antara 0% sampai 80% dalam penelitian yang
dipublikasikan dari beberapa wilayah di dunia. Terdapat beberapa alasan untuk
variabilitas ini, termasuk berbagai jenis BCG digunakan di daerah yang berbeda,
perbedaan dalam strain M. tuberculosis di berbagai daerah, berbagai tingkat
paparan dan kekebalan terhadap mikobakteri lingkungan dan perbedaan dalam
praktik imunisasi. Namun, secara umum vaksinasi BCG efektif melindungi jenis
TB yang lebih parah, seperti TB milier dan meningitis, yang paling umum terjadi
pada anak-anak (WHO, 2006a).
Pandemi HIV berdampak pada vaksinasi BCG. Respon kekebalan
terhadap vaksinasi BCG dapat berkurang pada orang yang terinfeksi HIV, dan
konversi ke uji tuberkulin positif setelah BCG minim terjadi pada orang yang
terinfeksi HIV. Meskipun ada beberapa laporan diseminasi penyakit akibat vaksin
BCG pada orang yang terinfeksi HIV, BCG masih aman dalam sebagian besar
kasus. Disarankan bahwa kebijakan vaksinasi BCG harus tergantung pada
prevalensi TB di suatu negara. Di negara-negara dengan prevalensi TB tinggi,
manfaat vaksinasi BCG lebih besar daripada risiko yang mungkin ditimbulkan.
Pada negara-negara tersebut, WHO merekomendasikan kebijakan imunisasi BCG
rutin untuk semua bayi baru lahir. Seorang anak yang tidak divaksin pada
imunisasi BCG rutin dan memiliki gejala penyakit HIV/AIDS tidak boleh
diberikan BCG karena berisiko terhadap TB dari BCG tersebut. BCG tidak boleh
diberikan kepada anak-anak yang terinfeksi HIV di negara-negara prevalensi TB
rendah (WHO, 2006a).
Tidak ada bukti bahwa vaksinasi ulang dengan BCG memberi
perlindungan tambahan dan oleh karena itu vaksinasi ulang tidak dianjurkan
(WHO, 2006a). Sebagian kecil anak (1-2%) mengalami komplikasi setelah
vaksinasi BCG. Hal yang paling sering terjadi adalah abses lokal, infeksi bakteri
sekunder, adenitis supuratif dan pembentukan keloid lokal. Kebanyakan reaksi
akan tampak selama beberapa bulan. Namun, anak-anak yang mengidap penyakit

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


46

akibat diseminasi BCG, harus diselidiki keadaan imunodefisiensi serta diobati


dengan status TB paru menggunakan rejimen lini pertama (kecuali pirazinamid,
karena resisten terhadap M. bovis). Beberapa anak dengan reaksi lokal persisten
juga dilakukan pembedahan eksisi. Pengelolaan reaksi yang merugikan pada
anak-anak yang terinfeksi HIV atau anak-anak dengan imunodefisiensi lainnya
lebih rumit dan mungkin memerlukan rujukan spesialis (WHO, 2006a).

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


47

BAB III KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DEFINSI


OPERASIONAL DAN HIPOTESIS

3.1 Kerangka Teori

Berdasarkan faktor risikonya, perkembangan TB paru melalui dua proses


yaitu pertama seseorang yang rentan terpajan oleh kasus TB paru yang infeksius
akan menjadi tertular TB paru, dan setelah kemudian baru menjadi sakit. Olehnya
faktor risiko untuk infeksi berbeda dengan faktor risiko menjadi sakit TB paru
(Lienhardt et al., 2003, Kartasasmita, 2009).

Faktor Risiko Infeksi Faktor Risiko Sakit


TB Paru: TB Paru:

Status Demografi: Kondisi Anak:


TB dewasa serumah Usia
Daerah endemis Malnutrisi
Kepadatan hunian Imunokompromais
Lingkungan Diabetes
Penampungan (panti, Gagal ginjal TB paru
dll) anak
Status Sosial
Level Paparan TB Ekonomi:
dewasa: Penghasilan orang
Lama tinggal bersama tua
serumah Kondisi hunian
Intensitas paparan Pendidikan orang tua
Status tempat tidur Pekerjaan orang tua
Akses pelayanan
kesehatan

Bagan 10. Faktor Risiko Infeksi dan Progresif (Sakit) TB Paru Anak (Jeena et al., 2002,
Lienhardt et al., 2003, Kartasasmita, 2009)

Faktor risiko terjadinya infeksi TB paru antara lain adalah anak yang
terpapar dengan orang dewasa dengan TB paru aktif (kontak TB paru positif),
daerah endemis, kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat (higiene dan sanitasi
tidak baik), dan tempat penampungan umum (panti asuhan, penjara, atau panti
perawatan lain), yang banyak terdapat pasien TB paru dewasa aktif (Kartasasmita,
2009). Faktor lain adalah jumlah orang serumah (kepadatan hunian), lamanya
tinggal serumah dengan pasien, pernah sakit TB paru, dan satu kamar dengan

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


48

penderita TB paru di malam hari, terutama bila satu tempat tidur (Lienhardt et al.,
2003).
Anak yang terinfeksi TB paru tidak selalu akan menjadi sakit. Faktor
risiko anak menjadi sakit TB paru adalah usia anak, malnutrisi, keadaan
imunokompromais (misalnya pada infeksi HIV, keganasan, transplantasi organ,
dan pengobatan imunosupresi), diabetes melitus, dan gagal ginjal kronik. Faktor
yang tidak kalah penting pada epidemiologi TB paru adalah status sosioekonomi
yang rendah, penghasilan yang kurang, kepadatan hunian, pengangguran,
pendidikan yang rendah, dan kurangnya dana untuk pelayanan masyarakat. Di
negara maju, migrasi penduduk termasuk menjadi faktor risiko, sedangkan di
Indonesia hal ini belum menjadi masalah yang berarti. Faktor lain yang
mempunyai risiko terjadinya penyakit TB paru adalah virulensi dari M.
tuberkulosis dan dosis infeksi, namun secara klinis hal tersebut sulit untuk
dibuktikan (Kartasasmita, 2009, Lienhardt et al., 2003, Jeena et al., 2002).
Kasus penumonia infasif merupakan penyebab kematian paling tinggi
pada anak balita di seluruh dunia (Isaacman et al., 2010), namun telah ditemukan
relevansi efek TB paru anak terhadap kasus ini (Newton et al., 2008) di beberapa
populasi. Olehnya TB paru secara signifikan dapat diestimasi sebagai penyebab
kematian tertinggi pada anak di seluruh dunia.

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


49

Agen penyakit
Mycobacterium tuberculosis
yang dibawa penderita TB
paru dewasa

Lingkungan (environment) Pejamu (host)


• Kemiskinan • Umur
• Hunian • Jenis kelamin
• Migrasi/perjalanan • Tingkat keparahan
• Pendidikan (ortu) infeksi
• Status perkawinan (ortu) • Ko-infeksi HIV
• Agama dan kepercayaan • Imunisasi BCG
(ortu) • Status dan asupan
• Persepsi keluarga gizi
• Pelayanan kesehatan • Kebiasaan
• Persepsi terhadap
merokok (ortu)
pengobatan (ortu)

TB paru pada anak

Bagan 11. Segitiga Epidemiologi TB pada anak (Newton et al., 2008, Culqui et al., 2012,
Rekha and Swaminathan, 2007a, Gordon, 1954)

Situasi kondisi anak dan juga level paparan penderita TB paru dewasa
menjadi hal yang paling berimpilkasi terhadap kejadian sakit TB paru (WHO,
2012). Beberapa literatur menjelaskan pula status gizi (Lonnroth et al., 2010) dan
komposisi alamiah anak yang terdiri dari status imunitas (Cegielski and
McMurray, 2004) serta tindakan imunisasi berkontribusi banyak terhadap proses
sakit sehatnya anak (Kartasasmita, 2009).

3.2 Kerangka Konseptual Penelitian

Kontak dengan pasien TB paru dewasa terhadap kejadian TB paru anak


berdasarkan referensi yang ada; diikuti oleh beberapa variabel yakni tingkat
pendidikan orang tua, hunian (kepadatan dan kondisi), status ekonomi, status gizi
dan imunisasi BCG, serta akses pelayanan kesehatan (Chegou et al., 2013).
Indikasi efek modifikasi dapat terjadi terhadap variabel independen (status
gizi) sebagai salah satu substansi dalam penegakkan diagnosis TB paru anak.

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


50

Status gizi pada anak yang terjadi saat ini dapat dikarenakan sebagai akibat
dibanding sebagai pengaruh terhadap terjadinya TB paru. Namun, suatu studi
menemukan bahwa status IMT yang ekuivalen dengan berat badan per tinggi
badan (pada anak > 2 tahun) atau panjang badan (pada bayi < 2 tahun)
berhubungan log-linier secara konsisten sebagai faktor risiko terhadap tingkat
insidensi TB (Cegielski and McMurray, 2004, Lonnroth et al., 2010, McMurray
and Cegielski, 2007). Hal ini mengindikasikan bahwa IMT per umur dan berat
badan per tinggi badan (pada anak > 2 tahun) atau panjang badan (pada bayi < 2
tahun) dapat digunakan sebagai indikator (proxy) status gizi kejadian TB paru
pada anak (0-14 tahun).
Penelitian akan dianalisis berdasarkan hasil elaborasi kerangka teori yang
dikaji dan diperoleh kerangka konsep sebagai berikut:

Status Sosial-Ekonomi
Status ekonomi
Kondisi hunian
Kepadatan hunian
Tingkat pendidikan orang tua
Akses pelayanan kesehatan

Kondisi Anak
Status imunisasi BCG Status TB paru anak
Status gizi dengan penderita TB
Umur anak dewasa serumah
Jenis kelaminn

Tingkat Paparan Kontak


dengan Anak
Lama tinggal bersama
Intensitas paparan
Status tidur
Status sekolah
Status hubungan TB dewasa

Bagan 12. Kerangka konsep penelitian TB paru pada anak

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


51

3.3 Definisi Operasional

No. Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala


1. Status TB paru anak Hasil diagnosis TB paru anak yang Kasus: Data “Kontrol” dan “Kasus” Nominal
dengan penderita TB kontak dengan pasien TB paru yang dasar; kontrol:
paru dewasa pernah/tinggal dalam serumah. data screening
serumah Penegakkan diagnosis TB paru anak dengan
melalui sistem pembobotan (scoring kuesioner
system)/pemeriksaan lanjutan, yang
memiliki riwayat kontak dengan
penderita TB paru dewasa (umur >15
tahun) yang terkonfirmasi.
2. Kondisi hunian Presentase komposisi ruangan hunian Kuesioner Hunian Sehat = Nilai × Bobot, di Nominal
rumah tangga anak dengan TB paru. mana (a) Hunian “Memenuhi syarat”
Status hunian rumah tangga menurut dalam kategori sehat apabila skor =
ruang tidur, ruang masak, dan ruang 1068 – 1200; dan (b) Hunian “Tidak
keluarga. memenuhi syarat” apabila skor = <
1068 (Ditjen PPM dan PLP, 2002)
3. Status ekonomi Strata ekonomi rumah tangga anak Kuesioner “Teratas”, “Menengah ke atas”, Ordinal
dengan menggunakan kuirtil indeks “Menengah”, dan “Terbawah”
hasil kepemilikan barang dengan
metode Principle Component Analysis
(PCA) (Ariawan, 2006).
4. Kepadatan hunian Kapasitas orang per hunian tempat Kuesioner Tidak padat: > 2.5 m2/ruang Nominal
tinggal anak diperoleh dari hasil bagi Padat: < 2.5 m2/ruang
antara luas hunian dengan jumlah (Abu Helwa and Birch, WHO, 1993)
orang yang ada.

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


52

No. Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala


5. Imunisasi BCG Status pemberian vaksin BCG oleh Kuesioner “Ya’ dan “Tidak” Nominal
petugas kesehatan yang diperoleh dari
kelengkapan yang tertera di Kartu
Menuju Sehat (KMS) untuk balita, dan
adanya bekas (scar) di lengan kanan
pada anak
6. Status gizi Status gizi anak yang ditunjukkan pada Kuesioner Indeks status gizi < 5 tahun (Dirjen- Ordinal
pengukuran moment opname data dan/atau P2PL, 2013):
rekam medis atau pengukuran pengukuran Gizi baik: Zscore > -2,0 s/d < 1,0
langsung Gizi kurang/buruk: Zscore < -2,0
dari BB/PB untuk balita 0-5 tahun dan Indeks status gizi 5-14 tahun (Dirjen-
IMT/U untuk anak 5-14 tahun (kriteria BG&KIA, 2011):
baku rujukan WCGS) Gizi baik: Zscore > -2,0 s/d < 1,0
Gizi kurang/buruk: Zscore < -2,0
7. Akses pelayanan Keterjangkauan anak ke fasilitas Kuesioner “Akses mudah” dan “Akses sulit” Nominal
kesehatan pelayanan kesehatan dilihat dari alat
transportasi, waktu tempuh, dan biaya
transportasi ke fasilitas kesehatan.
8. Lama tinggal Periode anak yang tinggal serumah Kuesioner Jumlah bulan Interval
bersama dengan penderita TB paru dewasa
setelah terdiagnosis TB paru di fasilkes.
9. Intensitas paparan Periode paparan dalam sehari anak Kuesioner “Kadang-kadang” , “Hanya pada Ordinal
menghabiskan waktu seruangan bersama malam hari”, dan “Seharian penuh”
penderita TB paru dewasa.
10. Status Status Status anak yang berbagi tempat tidur Kuesioner “Tidak bersama” dan “Bersama” Nominal
tidur tempat dengan penderita TB paru dewasa.
tidur

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


53

No. Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala


Status Status anak yang seruangan ketika tidur Kuesioner “Tidak bersama” dan “Bersama” Nominal
ruangan dengan penderita TB paru dewasa.
tidur
11. Status sekolah Status sekolah anak yang tinggal dengan Kuesioner “Belum/tidak sekolah”, “Sekolah”, Ordinal
pasien TB paru dewasa dan “Disapih”
12. Status hubungan TB Hubungan darah anak dengan pasien TB Kuesioner “Tidak ada hubungan darah”, Ordinal
paru dewasa paru dewasa “Keluarga/famili”, dan “Anak”

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


54

3.4 Hipotesis Penelitian

1. Kontak dengan pasien TB paru dewasa yang disertai dengan status variabel
lain yang baik, merupakan faktor yang dapat menurunkan risiko terjadinya TB
paru anak di Provinsi DIY.
2. Status sosial ekonomi tinggi mencegah terjadinya TB paru anak dengan
riwayat kontak serumah TB paru dewasa di Provinsi DIY.
3. Kondisi anak yang baik mencegah terjadinya TB paru anak dengan riwayat
kontak serumah TB paru dewasa di Provinsi DIY.
4. Tingkat paparan mencegah terjadinya TB paru anak dengan riwayat kontak
TB paru dewasa di Provinsi DIY.

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


55

BAB IV METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian

Studi kuantitatif dilakukan dengan jenis rancangan case control. Penelitian


ini menggunakan data sekunder (data rekam medik rumah sakit dan puskesmas)
untuk variabel dependennya (status TB paru anak tinggal serumah TB paru
dewasa). Sedangkan variabel independen diperoleh melalui data primer
(kuesioner).

Faktor (+) Kasus


TB anak (+) &
TB dewasa (+)
Faktor (-) serumah

Faktor (+) Kontrol


TB anak (−) &
TB dewasa (+)
serumah
Faktor (-)

Diteliti retrospektif

Bagan 13. Desain Penelitian Kasus Kontrol

4.2 Populasi dan Sampel

4.2.1. Populasi

Populasi adalah seluruh anak (usia < 14 tahun) yang serumah dengan
orang TB paru dewasa. Seluruh populasi penelitian ini berdomosili di Provinsi
DIY.

4.2.2. Kriteria Sampel

Sampel adalah sebagian dari populasi yang memenuhi kriteria. Kriteria ini
dibagi atas inklusi dan eksklusi. Inklusi adalah kriteria sampel yang akan

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


56

diikutkan dalam penelitian, sedangkan eksklusi adalah sampel yang memenuhi


syarat sebagai sampel namun tidak diikutkan dalam penelitian.
Pada kelompok kasus kriteria inklusi dan eksklusi adalah:

4.2.2.1. Kriteria inklusi kasus

Kriteria inklusi kelompok kasus adalah:


a. Kasus adalah anak (usia < 14 tahun (WHO, 2006a)) diperoleh dari data TB
paru anak (+) rekam medik rumah sakit (data sekunder) yang memiliki orang
dewasa TB paru serumah. Kasus juga dapat diperoleh dari anak TB paru (+)
dari penelusuran pada kelompok kontrol.
b. TB paru dewasa serumah adalah orang dewasa yang memiliki status TB paru
(+) saat penelitian maupun riwayat TB paru (6-12 bulan/selesai pengobatan).
c. Status TB paru (+) pada orang dewasa serumah terdiagnosis dan tercatat di
rekam medis di pelayanan kesehatan paru (rumah sakit, puskesmas, dan balai
pengobatan paru).
d. Bersedia berpartisipasi dalam penelitian dan menandatangani formulir
persetujuan (informed consent).

4.2.2.2. Kriteria eksklusi kasus

Kriteria eksklusi kelompok kasus adalah:


a. Subjek menderita HIV atau penyakit kronis lain.
b. TB paru dewasa serumah tidak terdiagnosis di pelayanan kesehatan paru
(rumah sakit, puskesmas, dan balai pengobatan paru).
c. TB paru dewasa serumah yang memiliki riwayat (6-12 bulan/selesai
pengobatan) tidak melakukan pengobatan secara lengkap.
d. Subjek (anak) yang tercatat di rumah sakit, namun berdomisil di luar wilayah
Provinsi DIY.
Sedangkan pada kelompok kontrol kriteria inklusi dan eksklusi adalah:

4.2.2.3. Kriteria inklusi kontrol

Kriteria inklusi kelompok kontrol adalah:


a. Kontrol adalah anak sehat (TB paru negatif) yang memiliki orang dewasa TB
paru serumah.

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


57

b. Orang dewasa TB paru serumah adalah pasien tercatat di rekam medik rumah
sakit yang memiliki status TB paru (+) saat ini maupun riwayat TB paru (6-12
bulan/selesai pengobatan).
c. Anak sehat memiliki status bukan suspek (non-suspek) dari hasil penelusuran
TB paru dewasa serumah berdasarkan penilaian pedoman dan pewawancara.
d. Bersedia berpartisipasi dalam penelitian dan menandatangani formulir
persetujuan (informed consent).

4.2.2.4. Kriteria eksklusi kontrol

Kriteria eksklusi kelompok kontrol adalah:


a. Subjek (anak) menderita HIV atau penyakit kronis lain.
b. TB paru dewasa serumah yang memiliki riwayat (6-12 bulan/selesai
pengobatan) tidak melakukan pengobatan secara lengkap.

4.2.3. Besar Sampel

Perhitungan besar sampel penelitian kasus kontrol ini dilakukan dengan uji
hipotesis (dua proporsi). Besar sampel untuk kelompok kasus dihitung sebagai
berikut (Lameshow, 1990):

{z1 [2 p 2(1  p 2) ]  z1   [ p1(1  p1)  p 2(1  p 2)]}2


n
( p1  p 2) 2

Diketahui:
n = jumlah sampel
Z 1-α = 1,645 (satu sisi) dengan tingkat kemaknaan atau alpha 5%
Z 1-β = 1,282 (power 80%)
OR = Odds Ratio diperkirakan 2,629 (Ajis et al., 2009)
P2 = Proporsi faktor risiko yang kurang pada anak sehat yang
serumah dengan TB paru dewasa (tidak diketahui = prevalensi
anak sehat kontak serumah TB paru dewasa) = 21,10% = 0,21
(Ajis et al., 2009)
P1 = Proporsi faktor risiko yang kurang pada anak TB paru yang
memiliki TB paru dewasa serumah

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


58

( ) ( ) ( )

Diperoleh:
* √, ( )- √, ( ) ( )-+
( )

Berdasarkan beberapa perhitungan sampel variabel bebas terhadap


variabel terikat, diperoleh jumlah sampel kasus optimal adalah 66. Jumlah sampel
yang digunakan pada masing-masing kasus kontrol adalah 66 + 66 = 132 sampel.

4.2.4. Pengukuran dan Cara Pengambilan Data

Data primer yang diperoleh dihasilkan melalui instrumen penelitian yang


telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Instrumen terdiri dari kuesioner pedoman
WHO untuk penelusuran kontak TB paru dan kuesioner Riskesdas 2013 dalam
mengukur variabel bebas dalam penelitian ini.
Data status kontak TB paru dewasa dengan status TB paru anak diperoleh
dari hasil screening investigasi kontak (WHO, 2012).

Penelusuran kasus:
Kasus yakni TB paru anak (+) yang kontak TB paru dewasa serumah,
diperoleh dari kasus TB paru anak data rekam medis rumah sakit.

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


59

Data rekam medis poli anak di delapan RS


rujukan TB paru anak di Propinsi DIY

Diperiksa rekam medis diagnosis TB paru anak yang


memiliki kontak TB paru dewasa*
Ada

Didatangi alamat untuk


diidentifikasi orang dewasa TB
serumah
Ada

Diiidentifikasi episode sakit dengan pedoman contact


investigation/tracing** (WHO, 2012)

Diperoleh
kelompok kasus

*Poin 1 paramater sistem skoring TB paru anak


**Diperoleh informasi episode sakit TB paru (inklusi:
pernah/sedang BTA positif, tercatat/terdiagnosis di fasilkes)

Bagan 14. Penelusuran kelompok kasus

Kelompok kasus diperoleh melalui data rekam medis rumah sakit yang
tercatat sebagai dampak positif (anak TB paru) yang ditelusuri TB paru dewasa
serumah. Sedangkan dampak negatif (anak sehat) tidak terlaporkan. TB paru
dewasa yang tercatat/sedang berobat (untuk anak usia < 5 tahun) dan telah
sembuh (untuk anak usia > 5 tahun) ditelusuri sebagai penyebab dampak negatif
(anak sehat). Hal ini karena anak usia > 5 tahun dapat sakit TB paru setelah satu
tahun setelah infeksi primer dari TB paru dewasa, sedangkan anak balita dapat
lebih cepat atau beberapa minggu (Perez-Velez and Marais, 2012, Rekha and
Swaminathan, 2007b, Newton et al., 2008).

Penelusuran kontrol:
Sedangkan kontrol adalah TB paru anak (−), yakni dari hasil screening
terhadap TB paru dewasa dari data rekam medis rumah sakit yang sama.

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


60

Data rekam medis bagian paru di delapan


RS rujukan TB paru anak di Propinsi DIY

Didatangi alamat untuk diidentifikasi


memiliki anak (usia > 14 tahun)

Ada*
Diidentifikasi status TB paru anak melalui screening dengan
contact investigation/tracing** (WHO, 2006a, WHO, 2012)
Non-suspek (sehat) Suspek

Diperoleh Dirujuk ke fasilitas


kelompok kontrol Sakit TB** kesehatan***

*Apabila ditemukan lebih dari satu anak, maka ke semua anak tetap
discreening untuk melihat hasilnya
**Suspek hasil screening apabila ada satu atau lebih dari 3 kriteria
TB paru anak: (batuk, demam, dan gagal pertumbuhan)
***Bagi anak suspek dilaporkan ke puskesmas untuk dirujuk dalam
penegakkan diagnosis, namun tidak diikutkan dalam penelitian

Bagan 15. Penelusuran kelompok kontrol

Proses pengambilan data yang berbeda pada kasus dan kontrol dilakukan
untuk mencegah bias seleksi. Penelitian ini ingin diketahui secara pasti bahwa
status TB paru anak sebagai dampak (outcome) positif dan negatif yang memiliki
TB paru dewasa (+) serumah. Sedangkan data yang ada di rumah sakit merupakan
pasien yang datang berobat (passive case finding).
Untuk menjaga kesetaraan (comparable) antara kelompok kasus dan
kontrol, maka diidentifikasi variabel-variabel perancu yang mungkin timbul.
Variabel-variabel yang dapat menjadi perancu dalam mempengaruhi status TB
paru anak dijadikan sebagai variabel independen. Sedangkan pada kondisi TB
paru dewasa diidentifikasi untuk mencegah bias. Keteraturan berobat bagi
populasi TB paru dewasa yang berdampak pada virulensi agen penyakit yang
menjadi paparan dapat dicegah dengan kriteria inklusi seluruh TB paru dewasa
yang teratur berobat. Bias informasi berupa misklasifikasi non-diferensial

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


61

dikendalikan dengan penggunaan alat pengumpulan data yang telah valid dan
reliabel yang dimodifikasi dan berasal dari kuesioner penelitian sebelumnya.

4.3 Teknik dan Analisis Data

Pengolahan data digunakan dalam analisis merupakan variabel kategorik


dengan analisis sebagai berikut:

4.3.1. Analisis univariat

Analisis univariat disajikan dengan distribusi frekuensi data berdasarkan


persentase dan proporsi. Hal ini untuk mengetahui gambaran awal masing-masing
variabel independen terhadap dependen sebagai tahap untuk mulai
mengidentifikasi adanya interaksi dan variabel confounding.

4.3.2. Analisis Bivariat

Analisis bivariat dilakukan dengan uji chi-square ataupun langsung dengan


regresi logistik sederhana. Analisis ini untuk mengetahui ada/tidak hubungan
antara variabel independen dengan dependen dalam kelompok sampel yang
diteliti.
Setelah interaksi diidentifikasi dan potensinya untuk menjadi variabel
confounding, maka hal ini dilaporkan (nilai-p uji Omnibus sebelum dan sesudah
interaksi signifikan < 0,05). Variabel independen diuji satu per satu pada variabel
dependen sehingga diperoleh variabel yang memiliki hubungan kemaknaan serta
diketahui korelasinya (OR).

4.3.3. Analisis Multivariat

Analisis regresi logistik berganda digunakan untuk menghitung korelasi


yang paling kuat (OR) dari nilai standardized beta yang dihasilkan. Metode
regresi logistik binomial untuk variabel dependen dua kategori (TB paru anak (+)
yang kontak serumah TB paru dewasa dan TB paru anak (−) yang kontak serumah
TB paru dewasa) dilakukan dengan metode Enter, dengan memasukkan satu per

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


62

satu variabel pengganggu (confounding) dari nilai ρ yang terkecil. Model akhir
diperoleh pengaruh sebenarnya kontak serumah TB paru dewasa terhadap
kejadian TB paru anak dengan mengontrol pengaruh variabel pengganggu secara
bersamaan. Model akhir menyimpulkan dengan menghilangkan pengaruh variabel
perancu atau interaksi antar variabel (Kleinbaum and Klein, 2002).

4.3.4. Analisis Spasial

Pada studi ini juga diikut dikumpulkan koordinat lokasi sampel kasus da
kontrol serta data sekunder berupa kepadatan wilayah yang merupakan
lingkungan tempat tinggal sampel studi. Secara epidemiologi, hal ini dapat
dianalisis untuk menenntukan besaran pengaruh lingkungan (place) yang tidak
dapat diabaikan dalam analisis khususnya terkait penyakit menular seperti TB
paru.

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


63

BAB V HASIL PENELITIAN

5.1 Gambaran Umum

5.1.1 Letak geografis

Propinsi DIY merupakan provinsi terkecil di Indonesia setelah Provinsi


DKI Jakarta, dengan luas 3.185,80 km2 atau 0,17% dari luas Indonesia. Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) terletak di bagian tengah-selatan Pulau Jawa,
secara geografis terletak pada 8º 30' - 7º 20' Lintang Selatan dan 109º 40' - 111º 0'
Bujur Timur.
Propinsi DIY ini berbatasan dengan Lautan Indonesia (Samudera Hindia)
di bagian selatan, sedangkan di bagian timur laut tenggara dan barat laut dibatasi
oleh Provinsi Jawa Tengah yakni:
a. Sebelah barat berbatas dengan Kabupaten Purwerejo;
b. Sebelah tenggara berbatas dengan Kabupaten Wonogiri;
c. Sebelah timur laut berbatas dengan Kabupaten Klaten;
d. Sebelah barat laut berbatas dengan Kabupaten Magelang.

Bagan 16. Persentase luas wilayah menurut kabupaten/kota di Provinsi DIY(BPS-DIY,


2014)

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


64

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


65

5.1.2 Keadaan Demografi

5.1.2.1 Kepadatan Penduduk

Jumlah penduduk dalam Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menurut


sensus penduduk 2010 sebanyak 3.452.390 jiwa dengan proporsi 1.705.404 laki-
laki dan 1.746.986 perempuan, dengan kepadatan penduduk 1.084 jiwa per km2.

Bagan 17. Jumlah Penduduk Per Kota/Kabupaten Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
(Pusdatin, 2011)

Estimasi jumlah penduduk Propinsi DIY tahun 2012 dengan proporsi


jumlah penduduk tahun 2010 adalah 3.525.870 jiwa. Berdasarkan hal tersebut
jumlah penduduk terbanyak di Provinsi DIY terdapat di Kabupaten Sleman dan
terendah di Kota Yogyakarta, masing-masing di Kabupaten Sleman sebesar
31,62% dan di Kota Yogyakarta sebesar 11,24% (Pusdatin, 2013).

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


66

Bagan 18. Estimasi Kepadatan Penduduk Provinsi DIY (Pusdatin, 2011)

5.1.2.2 Ketinggian (Altitude)

Secara umum Propinsi DIY memiliki ketinggian bervariasi. Komposisi


topografi Provinsi DIY terletak pada ketinggian antara 100-499 meter di atas
permukaan laut dengan proporsi sebesar 65,65%, 28,84% dengan ketinggian <100
meter, 5,04% dengan ketinggian 500-999 meter, dan 0,47% dengan ketinggian
>1.000 meter di atas permukaan air laut.
Berdasarkan ketinggian kabupaten/kota, wilayah Kabupaten Sleman terdiri
atas: >1.000 meter di atas permukaan air laut sebesar 2,60%, 11,36% berada
ketinggian 500-999 meter, 75,27% dengan ketinggian 100-499 meter dan 10,78%
dengan ketinggian di bawah 100 meter dari permukaan air laut. Berbeda dengan
topografi Kabupaten Sleman yang memiliki wilayah ketinggian lebih dari 1.000
meter di atas permukaan laut, pada wilayah kabupaten/kota lain hal ini tidak ada.
Kabupaten Kulonprogo memiliki wilayah pada ketinggian <100 meter
paling besar dengan 55,63% luas wilayah, ketinggian 100-499 meter sebesar
33,00%, dan 11,37% wilayah pada ketinggian 500-999 meter di atas permukaan
laut. Pada Kabupaten Bantul dan Kota Yogyakarta hanya memiliki ketinggian
wilayah <500 meter di atas permukaan laut. Proporsi terbesar wilayah Kabupaten
Bantul dengan ketinggian <100 meter di atas permukaan laut sebesar 78,69%
sedangkan Kota Yogyakarta 50,02% wilayahnya di ketinggian 100-499 meter di
atas permukaan laut.

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


67

Tabel 6. Luas wilayah menurut ketinggian dari permukaan laut per kabupaten/kota di
Provinsi DIY
Ketinggian (Altitude)
500-999 >1.000
<100 meter 100-499 meter Luas
Kab/ Kota meter meter
total
Luas Luas Luas Luas
% % % % (km2)
(km2) (km2) (km2) (km2)
Sleman 62,05 10,78 433,30 75,27 65,38 11,36 14,95 2,60 575,6
Kulonprogo 326,11 55,63 193,49 33,00 66,67 11,37 0 0 586,27
Gunungkidul 115,15 7,75 1.341,71 90,33 28,50 1,92 0 0 1.485,36
Bantul 398,85 78,69 108,00 21,31 0 0 0 0 506,85
Kota 16,57 50,98 15,93 49,02 0 0 0 0 32,50
DIY 918,71 28,83 2.092,43 65,66 160,55 5,04 14,95 0,47 3.186,64

5.1.2.3 Persentase Luas Wilayah

Propinsi DIY dengan satu kota dan empat kabupaten, terbagi atas 78
kecamatan dan 438 desa/kelurahan. Kabupaten Gunung Kidul memiliki proporsi
terluas dengan luas 1.485,36 km2 (46,63%), diikuti Kabupaten Kulonprogo
dengan luas 586,27 km2 (18,40%), Kabupaten Sleman 574,82 km2 (18,04%),
Kabupaten Bantul 506,85 km2 (15,91%) dan proporsi terkecil adalah Kota
Yogyakarta seluas 32,50 km2 (1,02%).

Tabel 7. Persentase luas wilayah per kabupaten/kota di Provinsi DIY


Luas Jarak
Persentase
Kabupaten/Kota Ibukota Wilayah Ketinggian Lurus
Luas Area
(km2) (km)
Kulonprogo Wates 586,27 18,40 50 22
Bantul Bantul 506,85 15,91 45 12
Gunungkidul Wonosari 1.485,36 46,63 185 30
Sleman Sleman 574,82 18,04 145 9
Yogyakarta Yogyakarta 32,50 1,02 75 2
DIY Yogyakarta 3.185,80 100,00

5.1.3 Distribusi Sampel Penelitian

Subjek penelitian terdistribusi di seluruh wilayah kabupaten/kota di


Provinsi DIY. Sampel kasus diwakili oleh sampel kontrol per kabupaten/kota,
artinya setiap satu sampel kasus di suatu kabupaten/kota, diperoleh pula satu
sampel kontrol di kabupaten/kota yang sama dengan perbandingan 1:1.
Persebaran ini dapat dilihat pada tabel berikut.

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


68

Tabel 8. Sampel Studi berdasarkan Lokasi Penelitian


Kelompok Kontrol Kelompok Kasus
Kabupaten/Kota Kecamatan
Jumlah % Jumlah %
Kulonprogo 5 7,6 5 7,6
Kalibawang 1 1,5 1 1,5
Panjatan 1 1,5 1 1,5
Samigaluh 2 3,0 2 3,0
Wates 1 1,5 1 1,5
Bantul 17 25,8 17 25,8
Banguntapan 4 6,1 4 6,1
Imogiri 2 3,0 2 3,0
Jetis 1 1,5 1 1,5
Kasihan 6 9,1 6 9,1
Kretek 1 1,5 1 1,5
Piyungan 2 3,0 2 3,0
Sewon 1 1,5 1 1,5
Gunungkidul 23 34,8 23 34,8
Karangmojo 4 6,1 4 6,1
Nglipar 6 9,1 5 7,6
Paliyan 1 1,5 1 1,5
Panggang 1 1,5 1 1,5
Patuk 2 3,0 2 3,0
Semanu 2 3,0 2 3,0
Semin 5 1,6 6 9,1
Tanjungsari 1 1,5 1 1,5
Wonosari 1 1,5 1 1,5
Sleman 12 18,2 12 18,2
Berbah 1 1,5 1 1,5
Godean 1 1,5 1 1,5
Pakem 2 3,0 2 3,0
Seyegan 3 4,5 3 4,5
Sleman 1 1,5 1 1,5
Tempel 3 4,5 3 4,5
Turi 1 1,5 1 1,5
Yogyakarta 9 13,6 9 13,6
Gondomanan 1 1,5 1 1,5
Jetis 1 1,5 1 1,5
Kota Gede 2 3,0 2 3,0
Kraton 1 1,5 1 1,5
Umbulharjo 2 3,0 2 3,0
Wirobrajan 1 1,5 1 1,5
DIY 66 100,0 66 100,0

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


69

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


70

5.2 Hasil Analisis Bivariat

Hasil analisis bivariat dari faktor-faktor yang menyebabkan anak serumah


tidak sakit TB paru ketika tinggal dengan penderita TB paru dewasa dapat
diketahui sebagai berikut.

5.2.1 Sosial Ekonomi Penderita TB Paru Dewasa yang Serumah dengan


Anak

Salah satu faktor variabel penelitian ini yakni status sosial ekonomi
penderita TB paru dewasa yang meliputi status ekonomi, tingkat pendidikan, jenis
pekerjaan, faktor hunian, dan akses ke pelayanan kesehatan dikelompokkan
berdasarkan masing-masing kategori. Analisis regresi logistik sederhana dengan
batas kemaknaan nilai ρ < 0,05 dapat diperoleh sebagai berikut.

Tabel 9. Faktor Sosial Ekonomi terhadap TB Paru Anak Akibat Pasien TB Paru Dewasa
Serumah
Kasus Kontrol Total Nilai
(n=66) (n=66) (n=132) ρ
n % N % n %
Status Ekonomi 0,565
Terbawah 15 22,7 11 16,7 26 19,7
Menengah 23 34,8 30 45,5 53 40,2
Menengah ke atas 16 24,2 10 15,2 26 19,7
Teratas 12 18,2 15 22,7 27 20,5
Pendidikan Pasien TB Paru 0,725
Dewasa
Rendah 37 56,1 39 59,1 76 57,6
Menengah ke atas 29 43,9 27 40,9 56 42,4
Jenis Pekerjaan Pasien TB Paru 0,327
Dewasa
IRT/tidak bekerja 9 13,6 14 21,2 23 17,4
Non-pegawai 44 66,7 44 66,7 88 66,7
Pegawai 13 19,7 8 12,1 21 15,9
Kondisi Hunian 0,383
Tidak memenuhi syarat 33 50 28 46,4 61 46,2
Memenuhi syarat 33 50 38 57,6 71 53,8
Pencahayaan alami kamar tidur 0,008
(sinar matahari)
Tidak cukup 33 50 18 27,3 51 38,6
Cukup 33 50 48 72,7 81 61,4
Kepadatan Hunian 0,011
Padat 7 10,6 19 28,8 26 19,7
Tidak padat 59 89,4 47 71,2 106 80,3
Akses ke Rumah Sakit Pemerintah 0,139
Sulit 24 43,6 22 59,5 46 50,0
Mudah 31 56,4 15 40,5 46 50,0
Akses ke Rumah Sakit Swasta 0,517
Sulit 9 45,0 10 56,4 19 50,0

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


71

Kasus Kontrol Total Nilai


(n=66) (n=66) (n=132) ρ
n % N % n %
Mudah 11 55,0 8 44,4 19 50,0
Akses ke Puskesmas 0,786
Sulit 26 51,0 31 48,4 57 49,6
Mudah 25 49,0 33 51,6 58 50,4
Akses ke Praktek Dokter/Klinik 0,642
Sulit 5 41,7 11 50,0 16 47,1
Mudah 7 58,3 11 50,0 18 52,9

Hasil analisis bivariabel tingkat pendidikan dan status/jenis pekerjaan


tidak bermakna signifikan dengan status TB paru anak yang tinggal serumah
dengan penderita TB paru dewasa. Tingkat pendidikan penderita TB paru dewasa
sebagian besar berpendidikan menengah (33,3%) dengan ¼ lebih jenis
pekerjaannya di sektor swasta. Demikian juga, status ekonomi rumah tangga yang
bukan merupakan faktor secara langsung terhadap kejadian TB paru anak yang
serumah penderita TB paru dewasa. Meskipun nilai ρ nya > 0,25, namun secara
esensi status ekonomi dapat masuk ke analisis multivariabel (Tanrikulu et al.,
2008, Esposito et al., 2013, Gwatkin et al., 2004).
Kondisi hunian anak yang tinggal dengan penderita TB paru dewasa
serumah bukan merupakan faktor yang signifikan secara umum, namun secara
khusus signifikan pada variabel kompositnya yakni kondisi kamar tidur.
Pencahayaan alami kamar tidur hunian yang baik menurunkan risiko kejadian TB
paru anak ketika tinggal serumah dengan penderita TB paru dewasa serumah.
Kepadatan hunian anak yang serumah penderita TB paru dewasa secara signifikan
menunjukkan kemaknaan secara statistik. Dengan demikian pencahayaan kamar
tidur dari komposit kondisi hunian dan kepadatan hunian yang memiliki nilai ρ <
0,25 (nilai ρ pencahayaan alami kamar tidur (sinar matahari) = 0,008 dan
kepadatan hunian = 0,011) dapat dilanjutkan ke analisis multivariabel.
Akses ke fasilitas pelayanan kesehatan yakni: rumah sakit swasta, praktik
dokter dan puskesmas, tidak signifikan dengan TB paru anak yang tinggal
serumah TB paru dewasa. Namun, akses ke rumah sakit umum daerah (RSUD)
dengan nilai ρ < 0,25 (nilai ρ =0,139) dapat dianalisis secara multivariat.

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


72

5.3.1 Tingkat Paparan Penderita TB Paru Dewasa Serumah terhadap Anak

Hasil analisis bivariabel berdasarkan tingkat paparan yang terdiri dari


intensitas, lama tinggal bersama, hubungan darah, status tidur dan status sapih
antara TB paru dewasa yang serumah dengan anak diperoleh sebagai berikut.

Tabel 10. Tingkat Paparan Penderita TB Paru Dewasa yang Tinggal Serumah dengan Anak
Kasus Kontrol Total
(n=66) (n=66) (n=132) Nilai ρ
n % n % n %
Intensitas Paparan 0,004
Seharian 37 56,1 18 27,3 55 41,7
Pada malam hari 14 21,2 21 31,8 35 26,5
Kadang-kadang 15 22,7 27 40,9 42 31,8
Lama Tinggal Bersama 0,000
Lebih dari setahun 8 12,1 36 54,5 44 33,3
6 bulan-1 tahun 19 28,8 15 22,7 34 25,8
Kurang dari 6 bulan 39 59,1 15 22,7 54 40,9
Hubungan Darah 0,293
Anak 34 51,5 40 60,6 74 56,1
Keluarga/famili 32 48,5 26 39,4 58 43,9
Status Tidur 1,000
Bersama 30 45,5 30 45,5 60 45,5
Tidak bersama 36 54,5 36 54,5 72 54,5
Status Sapih 0,772
Masih disapih 7 10,6 7 10,6 14 10,6
Belum sekolah 12 18,2 9 13,6 21 15,9
Sekolah 47 71,2 50 75,8 97 73,5

Intensitas paparan dan lama tinggal bersama dengan penderita TB paru


dewasa serumah memiliki hubungan yang signifikan terhadap terjadinya TB paru
anak (nilai ρ < 0,05). Masing-masing nilai ρ intensitas paparan = 0,004 dan lama
tinggal bersama = 0,000 yang keduanya dapat dilanjutkan ke analisis
multivariabel (nilai ρ < 0,25).
Hubungan darah/kekeluargaan penderita TB paru dewasa serumah tidak
signifikan dengan kejadian TB paru anak, demikian juga dengan status tidur dan
status sapih anak oleh pasien TB paru dewasa serumah. Namun, semua variabel
dalam tingkat paparan dianggap substansial (Newton et al., 2008, Lobato et al.,
1998, Marais et al., 2005), sehingga dilanjutkan untuk dilanjut ke analisis
multivariabel.

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


73

5.3.2 Faktor Karakteristik terhadap Status TB Paru Anak yang Serumah


Pasien TB Paru Dewasa

Status imunisasi, status gizi, umur, dan jenis kelamin anak sebagai
variabel kondisi anak yang serumah pasien TB paru dewasa digambarkan secara
bivariat sebagai berikut.

Tabel 11. Faktor Karakteristik terhadap Status TB Paru Anak yang Serumah Penderita TB
Paru Dewasa
Kasus Kontrol Total
(n=66) (n=66) (n=132) Nilai ρ
n % n % n %
Imunisasi BCG 0,333
Tidak 1 1,5 3 4,5 4 3,0
Ya 65 98,5 63 95,5 128 97,0
Status gizi 0,045
Gizi buruk 5 7,6 7 10,6 12 9,1
Gizi kurang 8 12,1 6 9,1 14 10,6
Gizi normal 48 72,7 36 54,5 84 63,6
Gizi lebih 5 7,6 17 25,8 22 16,7
Umur anak 0,058
Jenis kelamin 0,083
Laki-laki 38 57,6 28 42,4 66 50,0
Perempuan 28 42,4 38 57,6 66 50,0

Status gizi, usia dan jenis kelamin anak secara signifikan mempunyai
hubungan kemaknaan (nilai ρ < 0,05) sehingga ketiga variabel ini dapat dianalisis
multivariabel (nilai ρ < 0,25). Meskipun secara substansi status imunisasi BCG
anak berkaitan dengan kejadian TB paru anak (Zelner et al., 2014), namun selain
tidak lolos uji kandidat (nilai ρ = 0,333 > 0,25), variabel ini tidak dilanjutkan
dianalisis secara multivariat karena varians dari data yang tidak seimbang atau
hampir semua sampel studi telah mendapatkan imunisasi BCG (97%).
Prinsip uji tapis (screening) nilai ρ < 0,25 (atau nilai ρ > 0,25 namun
dianggap substansial) pada masing-masing variabel kandidat dari analisis
bivariabel. Berdasarkan hasil diperoleh di atas maka variabel kandidat yang dapat
dilanjutkan analisis multivariabel yang mewakili masing-masing konstruk/tema
studi ditunjukkan sebagai berikut.

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


74

Tabel 12. Hasil Screening Kandidat Analisis Multivariat Regresi Logistik Berganda
Nilai ρ
Regresi logistik sederhana T-test
Status Sosial-Ekonomi
Status ekonomi 0,568*
Kondisi hunian
-Pencahayaan kamar tidur 0,008
Kepadatan hunian 0,011
Akses pelayanan kesehatan (RSUD) 0,139
Tingkat Paparan/Kontak
Intensitas paparan 0,004
Lama tinggal bersama 0,001
Status tidur 1,000*
-Tempat tidur bersama
-Ruangan tidur bersama
Status sapih 0,772*
Status hubungan kelurga 0,293*
Kondisi Anak
Status gizi 0,045
Umur anak (numerik) 0,058
Jenis kelamin 0,083
*substansi

5.3 Hasil Analisis Variabel Akhir (Multivariat)

Metode enter regresi logistik berganda digunakan dalam memperoleh


faktor-faktor yang menyebabkan anak serumah tidak sakit TB paru ketika tinggal
dengan penderita TB paru dewasa. Metode digunakan dengan memasukkan
seluruh variabel yang lulus uji screening (nilai ρ < 0,25 dan substansial). Variabel
dikeluarkan satu per satu dari nilai ρ yang terbesar hingga yang terkecil sesuai
dengan kemaknaan yang diinginkan (nilai ρ < 0,05), namun dengan
memperhatikan perubahan OR yang tidak boleh terjadi (> 10%) pada masing-
masing variabel.
Uji interaksi dilakukan pada masing-masing variabel yang memiliki
kecenderungan untuk mempengaruhi hasil analisis akhir (asosiasi palsu). Setelah
variabel dikovariatkan diperoleh bahwa tidak terdapat interaksi yang signifikan
(nilai ρ < 0,05) pada variabel:
a. Intensitas paparan dengan lama tinggal bersama
b. Intensitas paparan dengan hubungan darah
Hasil akhir analisis regresi logistik berganda dengan metode regresi
logsitik berganda dapat diperoleh sebagai berikut.

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


75

Tabel 13. Analisis Multivariabel Analisis Regresi Logistik dengan Metode Enter
Analisis Bivariabel Analisis Multivariabel
Kategori Nilai Adjusted
Crude OR 95% CI 95% CI Nilai ρ
ρ OR
Status Sosial Ekonomi
Status ekonomi Terbawah rujukan rujukan 0,568 rujukan rujukan 0,267
Menengah 1,648 0,639-4,250 0,302 0,618 0,113-3,360 0,577
Menengah ke atas 1,000 0,333-3,005 1,000 0,349 0,050-2,433 0,288
Teratas 1,705 0,575-5,055 0,336 2,545 0,359-18,024 0,350
Kondisi hunian
-Pencahayaan kamar tidur Tidak cukup rujukan rujukan 0,008 rujukan rujukan 0,043*
Cukup 2,667 1,291-5,508 5,530 1,057-28,921
Kepadatan hunian Padat rujukan rujukan 0,011 rujukan rujukan 0,775
Tidak padat 0,293 0,114-0,757 0,754 0,109-5,226
Akses pelayanan kesehatan Sulit rujukan rujukan 0,139 rujukan rujukan 0,028*
(RSUD) Mudah 0,528 0,227-1,229 0,201 0,048-0,841
Tingkat Paparan/Kontak
Lama tinggal bersama > 1 tahun rujukan rujukan 0,001 rujukan rujukan 0,001*
6-12 bulan 0,175 0,063-0,488 0,001 0,041 0,006-0,292 0,001
< 6 bulan 0,085 0,032-0,226 0,001 0,049 0,009-0,257 0,001
Intensitas paparan Seharian penuh rujukan rujukan 0,004 rujukan rujukan 0,003*
Hanya malam hari 3,083 1,279-7,434 0,012 10,379 1,976-54,513 0,006
Kadang-kadang 3,700 1,588-8,622 0,002 18,085 2,742-119,286 0,003
Status hubungan kelurga Anak rujukan rujukan 0,691 rujukan rujukan 0,727
Famili/keluarga 0,691 0,346-1,378 0,741 0,139-3,979
Kondisi Anak
Umur anak numerik 1,008 1,000-1,017 0,060 1,008 0,993-1,023 0,296
*faktor yang signifikan

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


76

Berdasarkan hasil yang diperoleh, diketahui 4 variabel (nilai ρ < 0,05),


namun hanya 2 variabel yang dapat dijelaskan sebagai faktor terhadap TB paru
anak yang tinggal serumah penderita TB paru dewasa, sedangkan 2 variabel lain
yang meskipun signifikan akan dijelaskan pada bab pembahasan. Faktor yang
menurunkan risiko anak sakit TB ketika tinggal serumah TB paru dewasa
ditunjukkan oleh intensitas paparan dan pencahayaan alami kamar tidur (sinar
matahari), sedangkan pada variabel lain; status ekonomi, kepadatan hunian, status
sapih, statu hubungan kekeluargaan, serta status gizi, umur dan jenis kelamin anak
merupakan variabel pengganggu (confounding) (nilai ρ > 0,05).
Variabel yang paling besar menurunkan risiko anak sakit TB paru ketika
tinggal serumah dengan penderita TB paru dewasa serumah adalah intensitas
paparan dengan OR = 18,05. Interpretasi hasil ini bahwa di antara anak yang sakit
TB paru dengan penderita TB paru dewasa serumah, anak yang intensitas paparan
seharian penuh berisiko 18,05 kali menjadi sakit TB paru dibanding anak yang
memiliki intensitas paparan yang jarang/kadang-kadang ketika seruangan dengan
penderita TB paru dewasa serumah. Dengan kata lain dapat disimpulkan: anak
yang jarang terpapar dalam ruangan yang sama dengan penderita TB paru dewasa
serumah menurunkan risiko penularan sakit TB paru dibanding anak yang
menghabiskan waktu sering dalam ruangan yang sama dengan penderita TB paru
dewasa serumah setelah dikontrol dengan variabel lain.
Komposit kondisi hunian dalam hal ini pencahayaan alami kamar tidur
(sinar matahari) juga terbukti signifikan terhadap kejadian TB paru anak dengan
penderita TB paru dewasa serumah dalam penelitian ini. Hasil studi ini
menunjukkan bahwa di antara anak yang sakit TB paru dengan penderita TB paru
dewasa serumah, anak yang kamar tidurnya tidak cukup mendapatkan sinar
matahari berisiko 5,530 kali menjadi sakit TB paru dibanding anak yang cukup
memperoleh pencahayaan alami di kamar tidurnya. Dengan kata lain: anak yang
kamar tidurnya cukup mendapatkan sinar matahari cukup mampu menurunkan
risiko sakit TB paru anak ketika serumah dengan penderita TB paru dewasa.

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


77

Kondisi hunian (hunian


memenuhi syarat)
Status anak
Sosial (anak tidak
Ekonomi Status ekonomi (status ekonomi tinggi) sakit dengan
penderita TB
Kondisi lingkungan (lingkungan tidak padat) dewasa
serumah)

Intensitas paparan
(paparan yang jarang)

Status hubungan (hubungan kekeluargaan jauh)

Tingkat Umur anak (anak remaja) Keterangan:


Paparan
: Konstruk
Status gizi (anak bergizi) : Variabel
Kondisi : Confounder
Anak

Bagan 19. Kerangka faktor yang menurunkan risiko terjadinya TB paru anak ketika tinggal serumah penderita TB paru dewasa

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


78

BAB VI PEMBAHASAN

6.1 Keterbatasan Penelitian

1. Penelitian ini tidak mampu menilai anak apakah telah teinfeksi kuman MTB
atau belum. Padahal, anak sangat cenderung telah terinfeksi kuman MTB
(LTBI), meskipun tidak dilakukan uji tuberkulin (Mantoux). Namun,
penelitian ini bertujuan untuk menurunkan risiko kejadian sakit TB paru anak
setelah adanya infeksi dari penderita TB paru dewasa serumah berdasarkan
status sosial ekonomi, kondisi anak, dan level paparan/kontak.
2. Penelitian dengan desain kasus-kontrol ini berpotensi menyebabkan terjadinya
misklasifikasi diferensial yang diakibatkan ketidakmampuan melakukan
anonimus (blinding) pada investigator yang cenderung menilai buruk pada
kasus dan menilai baik pada kontrol. Namun, hal ini dikendalikan dengan
pelatihan dan pengecekan ulang kuesioner pada saat pengumpulan data.
3. Ketidakmampuan menilai riwayat alamiah/urutan kejadian efek dari variabel
secara bertahap merupakan keterbatasan model prediksi dalam analisis yang
digunakan. Namun, hasil akhir diperoleh kecenderungan variabel confounder
menjadi variabel predesesor terhadap variabel utama yang merupakan
suksesor TB paru anak akibat TB paru dewasa serumah.
4. Bias ekologi atau ketidakmampuan menentukan variabel independen yang
merupakan variabel agregat atau variabel individu, yang dapat menimbulkan
bias pengukuran yang dianggap berpengaruh di tingkatan yang sama. Namun,
analisis multivariabel dapat mereduksi/menyesuaikan (adjusted) pengaruh
variabel independen yang mungkin berkorelasi/berinteraksi antar satu dengan
yang lain.
5. Validitas eksternal penelitian belum optimal digeneralisasikan ke wilayah lain.
Namun, penelitian memberikan gambaran faktor status TB paru anak yang
serumah TB paru dewasa di wilayah Indonesia secara umum dengan
karakteristik kepadatan dan piramida penduduk yang sama dengan
kabupaten/kota di Propinsi DIY.

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


79

6.2 Pembahasan

6.2.1 Pengaruh Status Sosial Ekonomi terhadap Status TB Paru Anak


dengan Penderita TB Paru Dewasa Serumah

Sosial ekonomi merupakan salah satu variabel yang telah diketahui


memiliki dampak yang signifikan terhadap penularan penyakit menular terlebih
pada TB paru (Hossain et al., 2012). Pemahaman umum dalam disiplin kesehatan
lingkungan, bahwa ada dua pandangan yang relatif baru, pertama; perubahan
lingkungan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam setengah abad terakhir
ini mempengaruhi kesehatan populasi secara global. Kedua, anak-anak merupakan
populasi yang lebih rentan terhadap dampak akibat lingkungan tersebut dan tidak
cukup adekuat untuk terlindungi dengan regulasi standard yang telah ditetapkan
(Muruka and Muruka, 2007). Adanya inisiasi regulasi yang fokus pada anak
sebagai populasi rentan terhadap variabel seperti: status ekonomi, hunian,
pendidikan, dan akses pelayanan kesehatan yang memadai menjadi suatu
perhatian khusus.
Pada 1 Oktober 2013, WHO dan organisasi global meluncurkan sebuah
roadmap untuk menanggulangi kematian anak akibat TB paru di dunia. Roadmap
ini mengindikasikan untuk meningkatan populasi target, kerjasama antar
stakeholder terkait, dan investasi ekonomi secara strategis. Roadmap juga
menunjukkan akibat krusial sebagai dampak dari program pencegahan dan
pengobatan yang masih kurang pada populasi yang rentan khususnya terhadap
anak. Tantangan terhadap intervensi juga dipengaruhi oleh meningkatnya kasus
TB resisten, yang berimplikasi parah pada morbiditas dan kematian TB paru anak
(Acosta et al., 2014).

6.2.1.1 Status Ekonomi

Status ekonomi dalam studi ini diperoleh dari indeks kepemilikan barang
yang dikuantifikasi menjadi kuirtil tingkatan, yakni: teratas, menengah ke atas,
menengah, dan terbawah. Kemiskinan merupakan variabel yang hampir selalu
tidak terpisahkan dalam variabel status hunian yang buruk, kepadatan hunian,
tingkat pendidikan rendah dan akses ke pelayanan kesehatan yang sulit.

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


80

Kemiskinan dianggap sebagai variabel klasik yang diikuti dalam seluruh konteks
yang buruk, menunjukkan hubungan yang hampir selalu koheren dengan
kesehatan yang buruk di seluruh level, tidak terkecuali pada penyakit TB paru.
Namun, pada anak belum ada laporan mengenai dampak langsung dari status
ekonomi terhadap terjadinya TB paru, khususnya ketika ada paparan dari TB paru
dewasa serumah.
Status ekonomi tidak menunjukkan asosiasi yang signifikan pada kejadian
TB paru anak yang tinggal serumah dengan penderita TB paru dewasa. Namun, di
sisi lain proporsi TB paru anak meningkat pada negara-negara berkembang
(WHO, 2011) atau negara-negara dengan tingkat pendapatan menengah ke bawah
(low-middle income country). Hal ini menjelaskan status ekonomi tidak
berpengaruh secara langsung terhadap kejadian TB paru anak.
Anak sakit TB paru ketika ada kontak TB paru dewasa serumah tidak
dijelaskan secara langsung dengan status ekonomi yang tinggi maupun rendah
(Hossain et al., 2012), namun lebih terkait dengan faktor lain yang sebagai
dampak oleh faktor ekonomi keluarga. Salah satunya adalah kondisi tempat
tinggal secara keseluruhan yang memadai cenderung sebanding dengan tingkat
pendapatan yang baik (Bashir, 2002).
Pada bab II sebelumnya juga telah dijelaskan pengaruh ini juga
menyebabkan status gizi pada anak. Faktor ekonomi yang menyebabkan
kurangnya perumahan yang terjangkau juga berhubungan dengan kurangnya
status gizi anak. Perumahan relatif mahal membuat keluarga dengan pendapatan
menengah ke bawah menyisihkan lebih banyak sumber daya dibanding kebutuhan
lain seperti makanan (Ellaway et al., 2000). Anak-anak dari keluarga
berpenghasilan rendah yang menerima subsidi perumahan menunjukkan
peningkatan pertumbuhan dibanding anak dari keluarga berpenghasilan rendah
yang belum mendapat subsidi. Studi ini memberi gagasan bahwa subsidi
memberikan efek protektif terhadap status gizi anak (Meyers et al., 1995). Di sisi
lain, perumahan non-permanen bagi anak tunawisma yang sering kekurangan
fasilitas memasak, menyebabkan status gizi buruk pada anak (Krieger and
Higgins, 2002).

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


81

6.2.1.2 Kondisi Hunian

Kondisi hunian dalam studi ini dihitung dari indeks agregat situasi rumah
tempat tinggal menurut Kepmenkes RI No. 829/Menkes/SK/VII/1999 yang
diperbaharui oleh Ditjen PPM dan PLP (2002). Hunian dari penderita TB paru
dewasa dengan anak ini dikategori dengan memenuhi syarat dan tidak memenuhi
syarat.
Hubungan yang persisten antara kondisi hunian yang buruk berkaitan
dengan tingkat kesehatan yang buruk pula telah dilaporkan dengan studi potong
lintang yang baik dan merekomendasikan peningkatan kondisi perumahan akan
serta meningkatkan kesehatan (Thomson and Thomas, 2015). Namun, hubungan
kompleks yang tidak mengkondisikan variabel pengganggu seperti status ekonomi
dianggap tidak cukup kuat untuk dijustifikasi. Dengan kata lain, peningkatan
kondisi hunian yang baik juga belum tentu meningkatkan derajat kesehatan.
Pola hubungan yang diperoleh dengan mengontrol variabel lain menjawab
bahwa kondisi hunian terdiri dari tiga komponen penyusun, yakni komponen fisik,
komponen sanitasi dan komponen perilaku. Variabel komposit variabel ini dapat
menjelaskan kondisi hunian yang sesuai dengan kriteria rumah sehat (memenuhi
syarat). Kondisi hunian yang baik merupakan salah satu faktor proteksi dalam
mencegah penularan TB paru aktif. Perumahan yang sehat bagi anak memberikan
perlindungan bukan hanya terhadap penyakit menular seperti TB paru, namun
juga cedera, tumbuh kembang, status nutrisi, dan kesehatan mental (Krieger and
Higgins, 2002).
Secara umum kondisi hunian tidak mampu menurunkan risiko kejadian
TB paru anak yang serumah dengan TB paru dewasa, namun secara khusus dapat
dijelaskan melalui variabel komposit yang ada. Pencahayaan kamar tidur dapat
menjadi salah satu komposit yang menjelaskan kondisi hunian TB paru anak yang
serumah dengan TB paru dewasa (OR = 2,667 ORadj = 5,530). Kamar tidur
merupakan ruangan utama yang selalu ada dalam setiap hunian. Ruangan ini
memiliki proporsi terlama dalam beraktivitas baik ketika istirahat/tidur (kurang
lebih 8 jam per hari) maupun aktivitas sedentari. Rata-rata 90% orang
menghabiskan waktunya di dalam ruangan, di mana 50-70% di dalam rumah dan
30% di kamar tidur. Setidaknya 1/3 waktu dihabiskan pada ruangan ini (Hasselaar

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


82

and van Ginkel, 2004). Pada anak khususnya bayi, balita dan anak prasekolah,
menghabiskan waktu yang lebih banyak (>12 jam per hari) untuk beraktivitas;
bermain, berkreasi, dan istirahat (Merdiani, 2004, Tipayamongkholgul et al.,
2005) sendiri atau bersama orang dewasa.
Tubuh kita beristirahat dari stres fisik dan mental dari aktivitas harian
ketika malam hari. Tubuh melakukan mekanisme penting dengan mencerna dan
mendsitribusikan sisa metabolisme melalui banyak proses dalam tubuh untuk
menjaga kesehatan jangka panjang. Kamar tidur yang sehat memungkinkan
seseorang berelaksasi dengan nyaman untuk mendapatkan manfaat baik tersebut
dan bebas dari tekanan lingkungan sekitar. Proses relaksasi yang terganggu
sepanjang waktu menyebabkan proses vital tubuh terganggu dan perlahan-lahan
menurunkan sistem imun tubuh yang membuat seseorang rentan terhadap
penyakit, di mana akan menurunkan kualitas hidup seseorang (Hasselaar and van
Ginkel, 2004) bahkan kualitas hidup anak.
Kamar tidur khususnya pada anak bukan hanya berpengaruh pada
transmisi penyakit TB paru namun juga berpengaruh pada faktor fisik bahkan
psikis anak (Sandjaya, 1997). Lebih lanjut, Sandjaya (1997) membuat
menerangkan penggunaan kamar tidur berdasarkan umurnya pada anak balita
berbeda pada anak 5 tahun ke atas. Bayi usia 0-18 bulan yang karakteristik masih
bergantung sama orang tua khususnya ibu meliputi masa-masa periode pasca
kelahiran. Sedangkan pada usia 2-5 tahun anak ditandai dengan aktivitas yang
sangat aktif namun masih erat dengan orang tua. Penyediaan ruangan yang
memperhatikan aspek furniture yang digunakan, skala dan ukuran, warna dan
corak, hingga penerangan berdampak pada kesehatan anak/bayi. Penerangan bagi
bayi secara alami sangat penting namun dilakukan tanpa menyilaukan dengan
memperhatikan sensitifitas mata dan kulit anak/bayi. Kondisi pencahayaan tidak
dianjurkan untuk terpapar dengan sinar matahari secara langsung, atau dapat
menggunakan vitrase untuk menghalau intensitas paparan sinar matahari
(Sandjaya, 1997).
Cahaya matahari memiliki kandungan sinar ultra violet (UV) yang dapat
menstimulasi vitamin D. Vitamin D bekerja di tubuh dengan meningkatkan
kekebalan terhadap TB paru, mempercepat pengobatan OAT serta memperlambat

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


83

reaktivasi OAT pada infeksi sekunder. Secara tidak langsung cahaya matahari
dapat mereduksi transmisi TB di lingkungan rumah tangga (Wells, 2006). Kuman
MTB secara langsung dapat mati ketika terkena cahaya matahari secara langsung.
Sebelum ditemukannya OAT, pengobatan penderita TB paru dilakukan
dengan terapi penyinaran matahari yang dikenal dengan helioterapi. Penderita TB
paru yang dihelioterapi ditempatkan pada sanatorium dengan memperhatikan pula
status gizinya. Hasil terapi lebih dari 6 bulan diperoleh > 50% penderita TB paru
tidak menunjukkan gejala klinis seperti pada saat pertama kali sakit (Watson,
1935).

6.2.1.3 Kepadatan Hunian

Abu Helwa and Birch (1993) secara khusus mengestimasi kepadatan


hunian/tempat tinggal untuk anak (0-14 tahun) yang dianut oleh WHO (1993)
dengan 3 m2/ruang. Hasil analisis statistik kepadatan hunian menunjukkan nilai ρ
< 0,005 namun memiliki nilai OR < 1, yang berarti bahwa tingkat kepadatan yang
tinggi cenderung menurunkan risiko (dengan selang kepercayaan 95% = 0,109-
5,226) kejadian TB paru anak ketika kontak serumah penderita TB paru dewasa
setelah dikendalikan dengan variabel faktor dan confounding. Hal ini bertolak
belakang dengan literatur yang ada bahwa anak-anak yang tinggal di rumah
tangga penuh sesak lebih rentan untuk terjangkit penyakit menular seperti TB
paru. Hunian padat juga dapat menyebabkan tekanan psikologis antar anak. Hal
ini mempengaruhi agresivitas anak yang mengakibatkan kekerasan fisik terhadap
anak yang lebih lemah (Muruka and Muruka, 2007).
Lebih lanjut Muruka & Muruka (2007) dalam artikelnya yang
menguraikan pedoman manajemen kesehatan lingkungan bagi anak di negara
dengan beban tinggi TB, bahwa kondisi hunian yang sesak dan sempit
memudahkan penularan penyakit TB paru dan penyakit lain seperti influenza,
meningitis, infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), diare, dan campak.
Analisis lebih detail dilakukan untuk menjawab padatnnya hunian justru
menurunkan risiko terjadinya TB paru anak. Dengan kata lain anak yang sehat
namun huniannya padat dijelaskan melalui analisis subgrup pada variabel faktor

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


84

yang terbukti menurunkan risiko terjadinya TB paru anak yang serumah penderita
TB paru dewasa, yakni lama tinggal bersama.

Tabel 14. Analisis subgrup lama tinggal bersama penderita TB paru dewasa pada anak
serumah
Lama tinggal bersama Sampel studi Nilai OR
Total
< 6 bulan Kasus Kontrol ρ
Kepadatan Padat 5 (83,3%) 1 (16,7%) 6 0,461 2,059
hunian Tidak
34 (70,8%) 13 (29,2%) 48
(WHO) padat
Lama tinggal bersama Sampel studi Nilai OR
Total
6-12 bulan Kasus Kontrol ρ
Kepadatan Padat 1 (50%) 1 (50%) 2 0,695 0,778
hunian Tidak
18 (56,3%) 14 (43,8%) 32
(WHO) padat
Lama tinggal bersama Sampel studi Nilai OR
Total
> 12 bulan Kasus Kontrol ρ
Kepadatan Padat 0 (0%) 7 (100%) 7 0,218 0,784
hunian Tidak
8 (21,6%) 28 (78,4%) 36
(WHO) padat

Anak serumah penderita TB paru dewasa yang berhunian padat dalam


tempo lebih singkat cenderung berpeluang (OR) untuk menjadi sakit 2,059 kali
dibanding anak berhunian tidak padat. Status kekeluargaan mendasari lama
tinggal bersama dengan kepadatan ini. Status keluarga jauh (kakek, nenek, paman,
bibi, sepupu, dan handai tulan) cenderung menularkan TB paru ke anak
dibandingkan keluarga inti (ayah, ibu, dan kakak) sebagai penderita TB paru
dewasa. Hal ini menjelaskan hunian padat lebih lama antara penderita TB paru
dewasa mengakibatkan anak tidak sakit TB paru dan bukan akibat hunian padat
yang cepat.

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


85

Tabel 15. Analisis subgrup lama tinggal bersama penderita TB paru dewasa pada anak
serumah
Lama tinggal bersama Sampel studi Nilai OR
Total
< 6 bulan Kasus Kontrol ρ
10 0,224 0,386
Hubungan Inti 17 (63,0%) 27
(37,0%)
kekeluargaan
Jauh 22 (81,5%) 5 (18,5%) 27
Lama tinggal bersama Sampel studi Nilai OR
Total
6-12 bulan Kasus Kontrol ρ
Hubungan Inti 9 (56,3%) 7 (43,8%) 16 1,000 1,029
kekeluargaan Jauh 10 (55,6%) 8 (44,4%) 18
Lama tinggal bersama Sampel studi Nilai OR
Total
> 12 bulan Kasus Kontrol ρ
23 0,045 1,348
Hubungan Inti 8 (25,8%) 31
(74,2%)
kekeluargaan
Jauh 0 (0%) 13 (100%) 13

Analisis subgrup lama tinggal bersama dengan hubungan kekeluargaan


menjelaskan bahwa anak berhunian padat tersebut cenderung penderita TB paru
dewasanya adalah keluarga jauh (OR = 0,386). Studi ini menjelaskan anak sakit
TB paru tersebut diakibatkan oleh keluarga jauh apabila tempo tinggalnya kurang
dari 6 bulan (Tabel 15). Secara signifikan anak yang tinggal lebih dari setahun
barulah akan sakit TB paru yang diakibatkan oleh keluarga inti (ayah atau ibu)
(OR = 1,348; nilai ρ = 0,045).
Anak yang tetap sakit TB paru namun memiliki hunian yang tidak padat
diidentifikasi melalui faktor lain yang ikut berpengaruh. Karakteristik lingkungan
sekitar telah banyak diterapkan dalam menganalisis lebih lanjut masalah
epidemiologi kesehatan masyarakat khususnya yang berhubungan dengan
penyakit menular (Lai et al., 2009).
Faktor hunian tempat tinggal tidak dapat mengesampingkan lingkungan
tempat tinggal sebagai determinan sosial bagi kesehatan. Faktor ini
dikelompokkan menjadi tiga sub-bagian: karakteristik wilayah, kondisi internal
hunian dan jenis hunian. Karakteristik wilayah dalam komposisi tertentu
mempengaruhi kesehatan dalam banyak perspektif (Gibson et al., 2011), salah
satunya dengan analisis spasial (keruangan).
Pengelompokkan kasus dalam suatu populasi studi penting untuk diketahui
apakah penderita TB paru dewasa yang serumah dengan anak TB paru memiliki
pola distribusi acak atau mengelompok. Pola distribusi kasus dideteksi dengan

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


86

indeks tetangga terdekat (Nearest Neighbor Index – NNI). Indeks ini


menunjukkan derajat pengelompokkan secara spasial dalam distribusi berdasarkan
jarak antar koordinat minimum atau jarak minimum antara koordinat kasus
terdekat. NNI lebih kecil atau mendekati nol mengindikasikan jarak yang kecil
antar koordinat titik atau pola distribusi mengelompok (cluster). Sedangkan NNI
= 1 menunjukkan pola distribusi acak (random), serta NNI lebih besar dari 1
menunjukkan pola distribusi seragam (uniformity) (Lai et al., 2009).
Analisis tetangga terdekat (Nearest Neighbor Analysis) dilakukan dengan
menggunakan CrimeStat III pada 132 titik koordinat studi. Hasilnya diperoleh
pola kejadian yang mengelompok (cluster) dengan nilai uji statistik Z = -12,4961
dengan nilai ρ = 0,0001. NNI sebesar 0,43147 menunjukkan pola
pengelompokkan yang cukup terkonsentrasi. Lokasi pengelompokkan distribusi
diperoleh Nearest Neighbor Hierarchical Clustering yang membentuk dua
konsentrasi kelompok yang diketahui berada di wilayah Kota Yogyakarta.

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


87

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


88

6.2.1.4 Akses Pelayanan Kesehatan

Akses pelayanan kesehatan diukur dari pengetahuan ada/tidaknya fasilitas,


waktu yang ditempuh, dan biaya perjalanan yang diperlukan untuk menjangkau
pelayanan kesehatan. Utilisasi fasilitas pelayanan kesehatan oleh masyarakat
sangat dipengaruhi oleh akses dan perilaku ke pelayanan kesehatan. Akses
memungkinkan kita mengetahui utilisasi terhadap pelayanan kesehatan bagi anak
TB paru yang memiliki pasien TB paru dewasa serumah. Hasil analisis
multivariabel menunjukkan di antara anak yang memiliki penderita TB paru
dewasa serumah, akses RSUD yang mudah berisiko 0,201 kali untuk anak
menjadi sakit TB paru dibanding yang memiliki akses ke RSUD yang sulit setelah
dikondisikan dengan variabel lain.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan faktor yang menurunkan
risiko terjadinya TB paru anak ketika tinggal serumah dengan penderita TB paru
dewasa. Namun, variabel akses pelayanan kesehatan khususnya akses ke RSUD
pada studi ini menunjukkan semakin sehat anak maka semakin sulit untuk
mendapatkan akses ke pelayanan kesehatan yang baik. Studi ini bukan berarti
merekomendasikan bahwa agar anak tidak sakit TB paru ketika tinggal serumah
dengan penderita TB paru dewasa, maka harus memiliki akses ke pelayanan
kesehatan yang sulit. Akan tetapi, anak tidak terdeteksi sehingga dikatakan tidak
sakit (yang mungkin sakit TB paru) karena tidak terdeteksi di fasilitas pelayanan
kesehatan disebabkan akses yang sulit. Olehnya variabel akses fasilitas pelayanan
kesehatan khususnya akses ke RSUD tidak dapat menjadi faktor sesuai dengan
tujuan studi ini.
Namun, dari analisis akses pelayanan kesehatan khusunya ke RSUD ini
terungkap bahwa akses anak sakit yang tinggal serumah dengan penderita TB
paru dewasa lebih mudah untuk mendapatkan pengobatan ke RSUD 5,156 kali
dibanding anak tidak sakit yang tinggal TB paru dewasa serumah. Hal ini
menunjukkan pengobatan bagi anak yang sakit di antara penderita TB paru
dewasa serumah ke RSUD telah cukup baik di wilayah Provinsi DIY. Di sisi lain,
terungkap pula anak yang tidak sakit namun serumah dengan TB paru dewasa
cenderung terabaikan dalam penanganannya di fasilitas pelayanan kesehatan.

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


89

Padahal, TB paru anak merupakan kejadian yang sentinel, seringkali


penularan disebabkan dari komunitas saat ini. Hal ini dikarenakan keluarga
memiliki persepsi yang berbeda dalam mencari pelayanan kesehatan yang tepat
bagi anak dan bagi mereka sendiri, dan karena anak sangat peka dengan satu atau
lebih gejala (berat badan kurang, demam, dan batuk darah), anak akan lebih dulu
terdiagnosis TB paru dalam keluarga (Cruz and Starke, 2011). Selain itu
komunitas tempat di mana anak tinggal, lingkungan juga mempengaruhi utilisasi
ke fasilitas kesehatan.
Pada perspektif keruangan, dilakukan buffering terhadap masing-masing
fasilitas pelayanan kesehatan, khususnya rumah sakit terhadap sampel studi.
Buffering aksesibilitas fisik berdasarkan asumsi jarak cut-off point 1 km untuk
puskesmas dan 5 km untuk rumah sakit (Rosero-Bixby, 2004). Hasil ini juga
signifikan dengan yang diperoleh berdasarkan analisis secara statistik.

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


90

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


91

Utilisasi kesehatan pada anak ditentukan oleh perilaku dari rumah tangga
anak. Perilaku mencari kesehatan bagi anak yang sakit TB paru yang tinggal
serumah dengan TB paru dewasa tidak hanya dipengaruhi oleh orang dewasa
yang sakit TB paru. Beberapa sangat dipengaruhi oleh persepsi oleh orang tua
atau orang dewasa yang mengasuh. Perilaku ini pada rumah tangga di perkotaan
berbeda dengan rumah tangga di perdesaan. Rumah tangga perkotaan memiliki
karakteristik berbeda dengan di perdesaan. Penitipan anak pada pengasuh atau
asisten rumah tangga (caregivers) merupakan ciri pada rumah tangga perkotaan,
khususnya pada anak di bawah 6 tahun. Hanya 50% pengasuh anak akan
membawa anak ke pelayanan kesehatan apabila terdapat gejala batuk. Sedangkan,
63% obat tanpa resep dari warung atau apotik diberikan kepada anak yang
memiliki gejala demam dan 37% dengan anak yang batuk (Friend-du Preez et al.,
2013).
Perilaku mencari pelayanan kesehatan di rumah tangga perdesaan
dipengaruhi oleh beberapa faktor: kepercayaan dari budaya dan persepsi sakit;
persepsi keparahan dari sakit yang dialami anak; lokasi desa, jenis kelamin,
pendapatan keluarga dan biaya pelayanan kesehatan (Colvin et al., 2013).
Aksesibilitas yang mudah mengindikasi cakupan notifikasi kasus yang
rendah (CNR) bagi anak yang tinggal serumah TB paru dewasa di wilayah
Provinsi DIY. Pasien TB paru dewasa juga telah memiliki kesadaran bahwa
anaknya harus mendapatkan program yang sesuai agak tidak ikut tertular, atau
dengan kata lain Provinsi DIY bukan merupakan endemik kasus ini.
Hal ini juga digambarkan dengan angka notifikasi kasus (CNR) dari
Provinsi DIY yang paling rendah se Indonesia dengan 5,5 kasus yang ditemukan
dan tercatat per 100.000 penduduk yang dilaporkan.

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


92

Bagan 20. Angka Notifikasi Kasus (CNR) Di Indonesia menurut Ditjen P2PL 2012
(Pusdatin, 2013)

Secara umum indikator ini mengungkap cakupan penemuan TB anak yang


rendah. Anak yang jarang menunjukkan gejala seringkali tidak terdiagnosis,
terkait ini, peran program pengendalian TB paru anak nasional juga perlu
diperhatikan. Penemuan kasus secara pasif (passive case finding) yang saat ini
masih menjadi pedoman baku dalam program penanggulangan TB nasional
khsusunya pada penemuan kasus termasuk pada anak. Strategi (Directly Observed
Treatments) DOTS WHO yang telah diadopsi, diadaptasi dan dicanangkan di
Indonesia dari tahun 1994, telah menunjukkan signifikansi terhadap keberhasilan
pengobatan, namun lemah dalam penemuan kasus baru (active case finding).
Di sisi lain, WHO telah menerbitkan pedoman dan regulasi program
penemuan secara aktif mengenai hal ini, di antaranya adalah pedoman
penelusuran kontak TB paru dewasa atau anak yang dilakukan pada populasi
umum maupun rentan yakni anak (WHO, 2006a) yang telah diuraikan pada bab II.
Penelusuran kontak khususnya mereka yang simptomatik khususnya pada kontak
serumah TB paru aktif (dengan status BTA positif) adekuat dalam meningkatkan
CDR dari TB paru aktif (Becerra et al., 2005, Begun et al., 2013). Olehnya
penelitian selanjutnya direkomendasikan untuk mengkaji kebijakan program
penanggulangan TB paru anak dari pemerintah.

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


93

6.2.2 Pengaruh Kondisi Anak

6.2.2.1 Status gizi anak

Status gizi yang diukur dari berat badan dan tinggi badan anak dalam studi
ini tidak menunjukkan signifikansi atau bukan merupakan faktor yang
menurunkan risiko anak tidak sakit TB paru ketika tinggal serumah penderita TB
paru dewasa. Namun, status gizi berhubungan secara tidak langsung pada hasil
akhir regresi logistik dan bermakna signifikan pada analisis bivariabel. Hal ini
mengisyaratkan sistem kekebalan anak untuk mencegahnya agar tidak sakit TB
paru akibat kontak serumah TB paru dewasa, tidak cukup hanya ditunjang dengan
status gizi yang baik, namun juga dipengaruhi oleh faktor lain. Status gizi anak
lebih menunjukkan proporsi yang sangat minim dalam menjaga agar anak tetap
sehat dari TB paru ketika ada paparan infeksi TB primer (TB paru dewasa
serumah).
Kejadian sakit TB paru anak ditentukan oleh reaktivasi infeksi TB laten
(LTBI) atau infeksi primer yang diperoleh dari kontak TB paru dewasa (Newton
et al., 2008). Mekanisme reaksi sistem imun seperti: sitokine, kadar interferon
gamma (IFN-γ) dalam darah, hingga interleukin (IL-10), terhadap Mycobacterium
tuberculosis, sp. (MTB) dapat digunakan untuk mendiagnosis ada tidaknya infeksi
kuman ini dalam tubuh (Banfield et al., 2012).
Indikator sistem imun anak salah satunya dapat diukur melalui status
asupan terkait status gizi anak. Namun, relevansi mengenai akibat dari paparan
penyakit kronik, seperti TB paru yang berdampak langsung pada status gizi anak
sangat sulit untuk dijadikan dalam pengukuran hubungan asosiasi.
Beberapa penelitian telah mengurai tentang hubungan status gizi dengan
TB yang dari sisi metodologis cukup tertantang, diakibatkan paparan TB itu
sendiri yang mungkin berpengaruh terhadap status gizi anak. Hubungan secara
temporal ini dijelaskan dengan TB paru yang juga mengakibatkan penurunan
berat badan dan rentang terjadinya perubahan status makro dan mikronutrien. Hal
yang menjadi pertimbangan dalam mengukur ini adalah dari jenis studi yang
dilaksanakan. Jenis penelitian kasus kontrol ataupun potong lintang cenderung
menghasilkan asosiasi palsu dan overestimasi, dibandingkan studi kohort atau

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


94

nested kasus kontrol yang dalam menghasilkan estimasi yang reliabel dari
kekuatan asosiasi insidensi TB paru terhadap status gizi anak.
Meskipun demikian, lebih lanjut dalam studi meta-analisis Lonroth et al.
(2011) menemukan bahwa status gizi tetap merupakan faktor terhadap kejadian
TB paru. Status gizi kurang/buruk merupakan faktor risiko mapan dalam TB
dalam dekade terakhir, dianalisis lebih lanjut melalui dua penemuan utama.
Pertama, kuantifikasi bentuk logaritma yang konsisten dan besaran (magnitude)
asosiasi dari perbedaan status IMT sebagaimana perbedaan studi dan populasi
yang diteliti. Kedua, hubungan respon dosis terjadi pada status IMT > 25 kg/m2.
Hasil ini menunjukkan bahwa obesitas atau overweight merupakan faktor
preventif dari kejadian TB paru (Lonnroth et al., 2010).

6.2.2.2 Umur anak

Umur anak lebih muda berisiko meningkatkan dengan insidensi penyakit


TB paru di negara dengan beban tinggi penyakit ini (Alvarez et al., 2011).
Namun, hasil analisis diperoleh tidak dapat menjelaskan umur sebagai faktor yang
signifikan dikarenakan umur menjadi faktor confounding atau tidak dapat berdiri
sendiri dalam menurunkan risiko TB paru anak yang serumah TB paru dewasa.
Pada tingkatan umur anak dapat menggambarkan variasi dari risiko untuk
ditularkan oleh orang TB paru dewasa dan menularkan ke populasi orang sehat di
masyarakat tempat tinggal. Pada umur yang lebih muda, anak dengan penyakit TB
paru aktif, diperkirakan tidak dapat menularkan kepada populasi sehat, baik pada
dewasa maupun anak lainnya. Hal ini disebabkan anak jarang menunjukkan gejala
batuk sehingga sedikit mengekskresi bakteri. Namun, pada masa remaja TB paru
mulai menyerupai bentuk dewasa dari penyakit dan dalam dahaknya dapat
ditemukan kuman BTA positif, seperti pada orang dewasa, yang menimbulkan
risiko penularan ke populasi sehat (Marais et al., 2005).

6.2.3 Pengaruh Tingkat Paparan Penderita TB Paru Dewasa Serumah


terhadap Status TB Paru Anak
Pada pembahasan sebelumnya, kondisi hunian khususnya kondisi kamar
tidur secara signifikan menunjukkan risiko penularan TB paru anak akibat pasien

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


95

TB paru dewasa. Namun risiko penularan tidak serta merta pada anak yang tidur
dan seruangan tidur bersama dengan penderita TB paru dewasa. Hal ini
mengisyaratkan keluarga inti (ayah atau ibu) yang merupakan penderita TB paru
dewasa belum tentu menularkan sakit yang sama ke anak mereka.

6.2.3.1 Hubungan kekeluargaan

Hasil analisis menunjukkan status hubungan kekeluargaan, yakni keluarga


jauh atau keluarga dekat/inti merupakan faktor confounding dari sakit dan tidak
sakit TB paru anak akibat penderita TB paru dewasa serumah. Meskipun
demikian, studi ini menunjukkan anak cenderung tertular sakit TB paru dari
keluarga jauh (bukan keluarga inti atau bukan karena ayah/ibu/kakak). Transmisi
penularan TB terjadi di komunitas, namun magnitude transmisi pada komunitas
serumah maupun komunitas populasi umum berbeda antar wilayah prevalensi TB
demikian pula pada pola infeksi kasus (Guwatudde et al., 2003). Lebih lanjut,
Gawatudde et al (2003) menunjukkan bahwa kondisi sakit TB paru signifikan
cenderung diakibatkan kontak dengan kasus serumah yang merupakan keluarga
jauh, dengan kata lain sakit dari kontak penderita TB paru serumah tidak
diakibatkan oleh keluarga inti (Guwatudde et al., 2003). Hal ini mengindikasi
transmisi terjadi oleh faktor lain yang ada dalam populasi umum maupun rumah
tangga. Populasi studi merupakan masyarakat yang cenderung homogen masih
memiliki hubungan harmonis dengan keluarga jauh.
Status sapih dalam penelitian ini dikategorikan menjadi masih disapih,
belum sekolah, dan sudah sekolah. Hubungan keeratan ini kontradiktif dengan
kecenderungan hasil studi yang diperoleh anak yang tinggal serumah dengan TB
paru dewasa. Namun, dalam penjelasan sebelumnya bahwa anak cenderung
tertular sakit TB paru dari penderita TB paru dewasa yang merupakan keluarga
jauh menjelaskan kecenderungan di antara anak yang tinggal dengan penderita TB
paru dewasa serumah, mereka yang sakit lebih berisiko pada anak yang telah
bersekolah 1,881 kali dibanding yang belum bersekolah, serta 1,481 kali
dibanding anak yang masih disapih.

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


96

Tabel 16. Analisis subgrup anak yang penderita TB paru dewasa serumah memiliki
hubungan kekeluargaan jauh
Hubungan kekeluargaan Sampel studi Nilai
Total OR
jauh Kasus Kontrol ρ
3 3 0,872 1,148
Disapih 6
(50,0%) (50,0%)
Status
Belum 4 6 0,701 0,765
sapih/pendidikan 10
sekolah (40,0%) (60,0%)
anak
27 31 0,909
Sekolah 58
(46,6%) (53,4%)
Hubungan kekeluargaan Sampel studi Nilai
Total OR
dekat (inti) Kasus Kontrol ρ
4 4
Disapih 8 0,947 0,950
(50,0%) (50,0%)
Status
Belum 8 3
sapih/pendidikan 11 0,215 2,533
sekolah (72,7%) (27,3%)
anak
20 19
Sekolah 39 0,444
(51,3%) (48,7%)

Hal ini menjelaskan bahwa penderita TB paru dewasa yakni keluarga jauh
yang tinggal serumah dengan anak usia sekolah cenderung lebih berisiko karena
akrab dan bermain bersama dibanding yang masih balita atau disapih. Anak pada
usia sekolah cenderung lebih suka bermain dan bersosialisasi dengan orang lain
khususnya serumah.
Hasil studi yang dilakukan menyimpulkan bahwa anak yang masih disapih
akan menurunkan risiko terjadinya TB paru ketika tinggal dengan penderita TB
paru dewasa serumah, memiliki hubungan kekeluargaan jauh dibanding anak yang
telah sekolah. Begitu pula, anak yang belum sekolah menurunkan risiko kejadian
sakit TB paru ketika tinggal dengan penderita TB paru dewasa serumah yang
memiliki hubungan kekeluargaan jauh dibanding anak yang telah sekolah.

6.2.3.2 Paparan

Pada studi ini dilihat lama tinggal bersama yang merupakan lama paparan
atau kontak yang dari penderita TB paru dewasa terhadap anak serumah, yang
dihitung semenjak penderita TB paru dewasa terdiagnosis TB paru BTA positif di
fasilitas kesehatan hingga pada waktu penelitian ini dilakukan. Variabel ini dibagi
menjadi tiga kategori, yakni lama tinggal bersama < 6 bulan, 6-12 bulan, dan > 1
tahun. Sedangkan intensitas paparan adalah lama menghabiskan waktu antara

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


97

penderita TB paru dewasa dengan anak serumah dalam sehari. Hal ini
dikategorikan berdasarkan intensitas paparan kadang-kadang, hanya pada malam
hari, dan seharian penuh.
Berdasarkan cara pengambilan data yang berbeda antara kelompok kasus
dengan kelompok kontrol, distribusi sampel kelompok kasus diketahui memiliki
selang lama tinggal bersama yang lebih lama dibanding sampel kelompok kontrol.
Hal ini dapat menyebabkan pada kelompok kasus diperoleh penderita TB paru
dewasa telah selesai mengalami terapi OAT (6 bulan terapi) sedangkan pada
kelompok kontrol diperoleh penderita TB paru yang cenderung masih dalam
terapi atau lama tinggal bersama dengan anak kurang dari 6 bulan.
Ketidaksetaraan sampel studi (non-equal sampling) ditelusuri guna
mereduksi penyimpangan kemaknaan yang mungkin terjadi pada kelompok
kontrol yakni anak yang sehat (belum sakit) sewaktu observasi sebelum lebih dari
6 bulan hingga setahun serta pada kelompok kasus bahwa anak yang sakit TB
paru akibat penderita TB paru dewasa yang telah sembuh (lebih dari 6 bulan atau
setahun). Namun, secara prinsipil analisis box-plot menunjukkan sebaran data
yang sebaliknya. Artinya pada kelompok kasus cenderung diperoleh lama tinggal
bersama penderita TB paru dewasa dengan anak TB paru serumah kurang dari 6
bulan/kurang dari setahun atau TB paru dewasa masih dalam terapi OAT. Begitu
pun pada anak sehat yang serumah dengan penderita TB paru dewasa, secara
normalitas data cenderung didapatkan TB paru dewasanya telah sembuh/selesai
berobat dengan lama tinggal bersama lebih dari setahun.

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


98

Bagan 21. Box-plot antara lama tinggal bersama dengan sampel penelitian

Lama tinggal bersama penderita TB paru dewasa serumah dengan anak


bermakna secara signifikan dan memiliki efek risiko dengan OR < 1. Hal ini juga
memberikan kesimpulan bahwa di antara anak yang tinggal serumah dengan
penderita TB paru dewasa, dalam jangka waktu lebih singkat (< 6 bulan) akan
langsung sakit setelah infeksi dibandingkan yang tinggal lebih lama. Pada
umumnya sistem kekebalan anak masih berkembang, olehnya anak khususnya di
bawah lima tahun sangat rentan untuk langsung sakit setelah mengalami fase
infeksi kuman MTB (Vanden Driessche et al., 2013).
Anak yang lebih lama tinggal bersama dengan penderita TB paru dewasa
tidak signifikan dapat menjamin anak sakit. Dalam artian bahwa anak yang
meskipun tinggal lebih lama namun memiliki intensitas paparan yang jarang
dengan penderita TB paru dewasa, menjadikan anak tetap sehat atau tidak sakit
TB paru.
Lama paparan melalui lama tinggal bersama TB paru dewasa dengan anak
serumah tidak menjelaskan anak dapat sakit TB paru. Namun, indikator paparan

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


99

terhadap anak dapat dijelaskan dengan variabel intensitas paparan yang diteliti
berbeda. Intensitas paparan penderita TB paru dewasa yang dapat menghabiskan
waktu seruangan dalam sehari juga ditunjukkan dengan risiko penularan (ORcrude
= 3; ORadjusted = 5) atau intensitas paparan yang jarang (kadang-kadang) dengan
penderita TB paru dewasa menurunkan risiko terjadinya sakit TB paru pada anak
serumah.
Kajian lanjutan dengan analisis subgrup dilakukan untuk menjelaskan
hasil yang ditemukan pada studi ini. Analisis intensitas paparan pada subgrup
berdasarkan lama tinggal bersama (tabel 15) menjawab bahwa intensitas paparan
yang sering-lah (seharian penuh) yang menyebabkan anak dapat sakit TB paru
meskipun memiliki waktu lama tinggal bersama lebih singkat/< 6 bulan (nilai ρ =
0,005). Demikian pula, anak yang jarang bertemu (intensitas kadang-kadang)
dengan penderita TB paru dewasa tidak signifikan berisiko menularkan, meskipun
memiliki waktu lama tinggal yang lebih lama (nilai ρ = 0,987).

Tabel 17. Analisis subgrup lama tinggal bersama penderita TB paru dewasa pada anak
serumah
Intensitas Paparan Seharian Sampel studi Nilai
Total OR
Penuh Kasus Kontrol ρ
11 17 0,005
< 6 bulan 6 (16,2%)
(61,1%) (30,9%)
Lama tinggal 6-12 10 0,090 0,234
7 (18,9%) 3 (16,7%)
bersama bulan (18,2%)
24 28 0,001 0,091
>1 tahun 4 (22,2%)
(64,9%) (50,9%)
Intensitas Paparan Malam Sampel studi Nilai
Total OR
Hari Kasus Kontrol ρ
14 16 0,020
< 6 bulan 2 (14,3%)
(66,7%) (45,7%)
Lama tinggal 6-12 4 0,038 0,107
3 (14,3%) 7 (20,0%)
bersama bulan (28,6%)
12 0,007 0,071
>1 tahun 8 (57,1%) 4 (19,0%)
(34,3%)
Intensitas Paparan Kadang- Sampel studi Nilai
Total OR
kadang Kasus Kontrol ρ
11 11 0,987
< 6 bulan 0 (0,0%)
(40,7%) (26,2%)
Lama tinggal 6-12 17 0,999 0,000
8 (53,3%) 9 (33,3%)
bersama bulan (40,5%)
14 0,,999 0,000
>1 tahun 7 (46,7%) 7 (25,9%)
(33,3%)

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


100

Variabel dalam tingkat paparan menjelaskan secara signifikan bahwa


memang anak yang sakit TB paru diakibatkan oleh penderita TB paru dewasa
yang tinggal serumah dengan anak tersebut. Di beberapa skenario, anak dapat
tertular melalui populasi TB paru dewasa di luar rumah; seperti dari kontak
dengan tetangga, sekolah, serta banyak laporan transmisi melalui transportasi
publik (Edelson and Phypers, 2011, Feske et al., 2011a), namun risiko meningkat
ketika sumber penularan terjadi di dalam rumah serta memiliki intensitas yang
sangat sering (Fox et al., 2012, Cruz and Starke, 2011).

6.3 Implikasi Penelitian

Eliminasi TB di negara bagian Amerika Serikat secara efektif dibuktikan


melalui uraian spasial pada daerah endemik untuk melihat faktor risiko yang
berhubungan dengan penularan TB paru (Feske et al., 2011b). Secara spasial
subjek penelitian yakni kelompok kasus dan kelompok kontrol dapat digambarkan
untuk membantu mengetahui secara nyata (real world) posisi maupun kemaknaan
dari penelitian yang dilakukan secara kewilayahan. Di samping itu, juga dapat
mempertegas fenomena secara analitik yang dapat digunakan sebagai bahan
pengambil kebijakan.

6.3.1 Prediksi Persebaran TB Paru Anak dengan TB Paru Dewasa


Serumah

Pola pengelompokkan dengan NNI memberikan gambaran mengelompok


atau tidaknya pola dari kejadian TB paru anak yang serumah penderita TB paru
dewasa, namun belum cukup untuk menjelaskan arah persebaran kasus lebih
lanjut di masa mendatang. Standard deviasi telah diketahui merupakan ukuran
statistik yang baik dalam menentukan dispersi data dengan mean. Berdasarkan
dua prinsip, yakni melalui histogram frekuensi diketahui apakah distribusinya
menceng (skew) di satu sisi atau sisi yang lain, sedangkan dengan perspektif
keruangan, mean pada SDE (Standard Deviation Ellips) digunakan mengetahui
central tendency dan dispersi secara dua dimensi yang mengindikasikan tren arah
pergerakan (Lai et al., 2009).

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


101

Hasil analisis SDE dengan CrimeStat III pada 132 sampel studi ditemukan
bahwa prediksi arah pola pergerakan persebaran TB paru anak yang tinggal
dengan TB paru dewasa serumah mengarah barat laut – tenggara dengan central
tendency terdapat di Kecamatan Kasihan Kabupaten Bantul yang berbatasan
dengan wilayah Kota Yogyakarta dan dengan sudut 22o dari arah utara.

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


102

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


103

6.3.2 Prediksi Estimasi Berisiko TB Paru Anak yang Serumah TB Paru


Dewasa

Fungsi interpolasi digunakan dengan metode kuadran pada sel grid yang
dibentuk oleh koordinat sampel studi untuk menjelaskan risiko penularan di
populasi. Jumlah sel grid didefinisikan berdasar jumlah kasus yang hasilnya
secara statistik digeneralisasikan melalui uji x2 goodness of fit dan menghasilkan
interval variasi derajat kegelapan densitas. Semakin gelap maka akan semakin
tinggi estimasi risiko yang digambarkan dengan metode estimasi densitas Kernel
(Kernel density estimation) (Lai et al., 2009).
Hasil estimasi Kernel diperoleh cut off point prediksi wilayah berisiko
dengan indeks:
(1) 0,012342 – 0,016132, tidak berisiko;
(2) 0,016133 – 0,018965, kurang berisiko;
(3) 0,018966 – 0,022127, berisiko;
(4) 0,022128 – 0,025837, sangat berisiko; dan
(5) 0,025838 – 0,030202, paling berisiko.
Berdasar hasil ini juga menjadi bukti prediksi kejadian TB paru anak yang
serumah TB paru dewasa bahwa risiko tertinggi terjadi pada kedua arah dispersi
dari analisis SDE. Risiko paling tinggi ini terjadi pada seluruh wilayah Kota
Yogyakarta dan sebagian besar wilayah Kabupaten Sleman serta sebagian kecil di
Kabupaten Kulonprogo dan Kabupaten Bantul.

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


104

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


105

Secara umum implikasi penelitian dapat dijabarkan sebagai berikut.


a. Studi ini dilakukan dengan mengkaji faktor tingkat paparan yang rendah
menurunkan risiko terjadinya TB paru anak meskipun tinggal dengan
penderita TB paru dewasa serumah. Variabel ini mengindikasikan anak yang
tertular dan sakit TB paru memang diakibatkan oleh penderita TB paru
dewasa serumah, meskipun pada beberapa skenario hal ini pun dapat
ditularkan oleh penderita TB paru dewasa di luar rumah.
b. Dapat disusun suatu kebijakan hingga pedoman terkait contact tracing pada
variabel untuk melindungi anak pada kondisi tertentu dari TB paru yang
ditularkan penderita dewasa.
c. Dapat diketahui faktor yang dapat diintervensi bagi kebijakan penanggulangan
TB paru anak, khususnya bagi anak yang memiliki kontak penderita TB paru
dewasa serumah.
d. Diketahui kecenderungan pola kasus (distribusi, persebaran, daerah berisiko)
TB paru dewasa yang berpotensi menularkan ke populasi umum.
e. Validitas eksternal: genaralisasi studi secara nasional, memiliki karakteristik
yang heterogen dengan distribusi piramida penduduk yang mirip secara
nasional.

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


106

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa:


1. Status sosial ekonomi, khususnya status ekonomi tinggi secara tidak langsung
mencegah anak tetap sehat. Namun, bukan hanya ketidakpadatan hunian yang
perlu diperhatikan, tetapi juga ketidakpadatan di lingkungan tempat tinggal
untuk mencegah anak agar tidak sakit TB paru ketika tinggal serumah TB paru
dewasa. Sedangkan secara langsung kondisi hunian khususnya kamar tidur
merupakan faktor yang dapat diintervensi, khususnya pencahayaan sinar
matahari dan pertukaran udara yang baik bagi kondisi vitalitas dan sistem
imun tubuh dalam mencegah sakit TB paru anak.
2. Kondisi anak, melalui status gizi anak tidak adjusted namun cenderung
menurunkan risiko terjadinya sakit TB paru anak. Penelitian nested kasus
kontrol dan kohort diperlukan untuk meng-adjusted korelasi variabel ini.
3. Tingkat paparan, melalui hubungan kekeluargaan yang jauh (bukan anak
kandung) dan status sapih (anak tidak disapih/telah usia sekolah)
mengklarifikasi bahwa tidak penting lama tinggal bersama yang lebih lama,
akan tetapi memiliki intensitas paparan yang sering antara anak dengan
penderita TB paru dewasa serumah dapat mempertinggi risiko anak untuk
sakit TB paru.
4. Intensitas paparan yang jarang merupakan faktor yang paling besar
menurunkan risiko penularan anak agar tidak sakit TB paru dibanding
intensitas yang sering ketika anak serumah dengan penderita TB paru dewasa.
Lebih lanjut, secara komprehensif hunian serta lingkungan dengan sinar
matahari yang baik dan menjaga asupan gizi bagi anak khususnya pada anak
usia awal, terbukti menurunkan risiko terjadinya TB paru anak ketika kontak
serumah penderita TB paru dewasa aktif.

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


107

7.2 Saran

7.2.1 Dinas Kesehatan dan Puskesmas

Puskesmas merupakan ujung tombak program pelayanan kesehatan


khususnya pada penanggulangan penyakit tuberkulosis di masyarakat.
Penanggung jawab (programmer) TB telah ada pada tiap-tiap puskesmas, namun
seorang programmer ini memiliki beban kerja ganda pada pelayanan pengobatan
TB paru bahkan juga di pelayanan kesehatan lain di puskesmas. Olehnya, hal ini
masih belum optimal, utamanya dalam usaha pengendalian TB di komunitas.
Salah satunya usaha penelusuran kontak khususnya pada anak yang rentan dengan
penderita TB paru serumah. Underestimasi dapat timbul ketika anak yang sudah
menunjukkan gejala sakit (berat badan menurun, demam timbul tenggelam, dll),
namun tidak pernah diperiksakan karena kurangnya waktu, baik pemberian
konseling informasi dan edukasi (KIE) bagi pasien TB paru oleh petugas dengan
beban kerja rangkap, maupun kunjungan ke rumah pasien.
Pedoman secara tersurat penting untuk menghilangkan batas antar unit
yang ada di level sektor kesehatan itu sendiri maupun antar stakeholder
kabupaten/kota/provinsi. Di puskesmas sendiri terdapat unit program surveilans
yang memiliki tupoksi pencegahan penularan penyakit di komunitas. Koordinasi
yang baik antar lini yang disusun dengan regulasi diperlukan sebagai koridor agar
tidak terpengaruh dengan gaya kepemimpinan kepala puskesmas/dinas kesehatan
berimbas pada gaya kebijakan yang berubah-ubah setiap pergantian kepala/ketua
baik di puskesmas maupun dinas kesehatan kabupaten/kota/provinsi.
Intensifikasi teknologi informasi melalui sistem pelaporan berbasis
komputer yang dirancang oleh Kementerian Kesehatan dalam mengintegrasikan
database TB menjadi solusi bagi dinas kesehatan terkait. Sistem Informasi
Terpadu Tuberkulosis (SITT) dari Direktorat Jenderal Penanggulangan Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan (Dirjen P2PL) Subdit TB ini dalam tahap pengenalan
di masing-masing Kabupaten/Kota seluruh Indonesia dimaksudkan
mengintegrasikan pelaporan seluruh kasus TB dalam potensinya untuk upaya
pengendalian TB secara komprehensif. Namun, di sisi lain interoperabilitas antar
data masih menjadi tantangan yang masih sulit untuk dicanangkan khususnya
dalam penguatan sistem kesehatan secara umum.

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


108

7.2.2 Rumah Sakit dan Direktorat Jenderal P2PL

Sebagai pelayanan tingkat lanjutan yang khusus dalam menyokong usaha


kesehatan perorangan (UKP), rumah sakit perlu memberikan laporan terkait
insidensi dan prevalensi kasus per wilayah yang kemudian ditindaklanjuti oleh
programer TB masing-masing wilayah. Diagnosis TB paru anak yang dilakukan
di rumah sakit perlu mendapat perhatian dalam rangka menjaring suspek sumber
utama penular terhadap anak.
Pelaporan rutin dalam diseminasi informasi antar semua programer TB
puskesmas dan rumah sakit se-Kabupaten Gunung Kidul melalui “Evaluasi dan
Validasi Data Program TB Dinas Kesehatan” oleh Seksi Pengendalian Penyakit
Bidang Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Dinkes Kab Gunung Kidul
menjadi teladan untuk dilakukan dalam mengetahui informasi TB secara
kewilayahan. Rumah sakit dapat merujuk pasiennya di wilayah kerja kecamatan
puskesmas tertentu untuk memudahkan program pengobatan dan penanggulangan
bukan hanya bagi pasien namun kontak serumah. Namun, integrasi data melalui
interoperabilitas sistem informasi yang mapan bukan hanya efisien namun efektif
dalam pengendalian TB paru khususnya terhadap anak.
Sistem skoring didasarkan pada prioritas pengendalian berupa pencegahan
(anak TB paru dengan skor < 6, namun menunjukkan gejala klinis menurut dokter
pemeriksa) dirasa perlu dikaji ketika efek tidak menyenangkan menimbulkan
kekhawatiran akan pelaksanaan pengobatan intensif. Overestimasi akibat
diagnosis yang terburu-buru dapat timbul akibat kesepakatan sistem diagnosis di
antara rekan-rekan sejawat bahkan pada Pedoman Petunjuk Teknis Tuberkulosis
Anak oleh Dirjen P2PL Subdit TB Anak sebagai penyusun regulasi terkait sistem
skoring yang digunakan. Olehnya perlu kriteria operasional yang jelas pada
skoring disertai diseminasi informasi yang memadai bagi dokter umum bahkan
spesialis anak mengenai diagnosis dan program pengendalian TB paru anak.

7.2.3 Keluarga

Anak di rumah tangga miskin dengan penderita TB paru dewasa yang


intensitas paparannya sering dengan anak, khususnya ibu, menjadi fokus utama

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


109

populasi yang rentan terhadap penularan TB. Memakai masker dalam periode TB
paru BTA aktif dan perilaku membuka jendela rumah dengan membiarkan sinar
matahari masuk, hingga kebiasaan “berjemur” yang sangat mudah untuk
dilakukan.
Salah satu budaya yang masih dipegang teguh oleh masyarakat DIY
adalah rumah joglo. Struktur dari rumah joglo dipedesaan yang cenderung tanpa
ventilasi dan sinar matahari memungkinkan kondisi hunian menjadi lembab, dan
sangat baik bagi perkembangan kuman, khususnya kuman MTB. Modifikasi
hunian seperti membuat ventilasi, jendela, serta rumah yang menghadap ke timur
dapat dilakukan, tanpa melupakan dan tetap melestarikan budaya yang ada.
Kesadaran pasien TB paru dewasa, seperti masih intim dan mengabaikan
infeksi yang terjadi ketika kontak dengan anak serumah. Hal ini menjadi titik
fokus yang sulit diintervensi terkait hubungan emosional kekeluargaan. Namun,
penjelasan dengan bijak mengenai dampak yang timbul bisa jadi merubah sikap
dan perilaku bagi penderita TB paru dewasa yang dekat dengan anak serumah.
Daya beli masyarakat mempengaruhi perilaku ke fasilitas pelayanan
kesehatan. Kepercayaan pada rumah sakit/klinik swasta membuat bukan hanya
kalangan menengah ke atas namun juga kalangan menengah ke bawah pun akan
berusaha mengaksesnya (out off pocket). Di sisi lain, program puskesmas yang
mendistribusikan OAT secara gratis terkadang tidak terakses. Perubahan persepsi
masyarakat tentang program di puskesmas dapat menjaring suspek yang tidak
terdiagnosis. Hal ini sesuai dengan filosofi strategi DOTS dengan pendekatan
penemuan kasus secara pasif yang harapannya dapat mengendalikan transmisi
dalam komunitas.

7.2.4 Pengembangan Keilmuan

Mekanisme sakit TB paru melalui berbagai fase/tahap yang pada


umumnya simptomatik setahun setelah infeksi pada kalangan dewasa. Namun hal
ini lebih cepat terjadi pada anak. Selain itu, studi ini juga menyarankan perlunya
mengeksplorasi lebih lanjut mengenai tingkat ekologi paparan, hal apa dan
bagaimana transmisi di level ini berlangsung, semenjak diketahui sakit TB paru
anak memang akibat kontak TB paru dewasa.

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


110

Faktor lain yang reversibel atau mudah diintervensi selain dalam hasil
studi dengan setting populasi tertentu perlu diketahui lebih lanjut. Di sisi lain,
kebersinambungan pada aspek penelusuran kontak sangat penting terlebih dengan
adanya TB resisten, yang bahayanya bukan hanya pada dewasa namun pada anak,
yang tidak hanya rentan namun juga menyebabkan keparahan tinggi hingga
kematian pada anak.

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


111

DAFTAR PUSTAKA

ACOSTA, C. D., RUSOVICH, V., HARRIES, A. D., AHMEDOV, S., VAN


DEN BOOM, M. & DARA, M. 2014. A new roadmap for childhood
tuberculosis. The Lancet Global Health, 2, e15-e17.
AJIS, E., MULYANI, N. S. & PRAMONO, D. 2009. Hubungan antara Faktor-
Faktor Eksternal dengan Kejadian Tuberkulosis Pada Balita. Berita
Kedokteran Masyarakat, 25, 109-116.
ALVAREZ, J. L., KUNST, A. E., LEINSALU, M., BOPP, M., STRAND, B. H.,
MENVIELLE, G., LUNDBERG, O., MARTIKAINEN, P.,
DEBOOSERE, P., KALEDIENE, R., ARTNIK, B., MACKENBACH, J.
P. & RICHARDUS, J. H. 2011. Educational inequalities in tuberculosis
mortality in sixteen European populations. Int J Tuberc Lung Dis, 15,
1461-7, i.
ARIAWAN, I. 2006. Indeks Sosio Ekonomi Menggunakan Principle Component
Analysis (PCA). Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 1, 83-87.
BALITBANGKES 2013. Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.
BANFIELD, S., PASCOE, E., THAMBIRAN, A., SIAFARIKAS, A. &
BURGNER, D. 2012. Factors Associated with the Performance of a
Blood-Based Interferon-γ Release Assay in Diagnosing Tuberculosis.
PLoS One, 7, e38556.
BASHIR, S. A. 2002. Home is where the harm is: inadequate housing as a public
health crisis. Am J Public Health, 92, 733-8.
BECERRA, M. C., PACHAO-TORREBLANCA, I. F., BAYONA, J., CELI, R.,
SHIN, S. S., KIM, J. Y., FARMER, P. E. & MURRAY, M. 2005.
Expanding tuberculosis case detection by screening household contacts.
Public Health Rep, 120, 271-7.
BEGUN, M., NEWALL, A. T., MARKS, G. B. & WOOD, J. G. 2013. Contact
Tracing of Tuberculosis: A Systematic Review of Transmission Modelling
Studies. PLoS One, 8.
BEHR, M. A. 2002. BCG--different strains, different vaccines? Lancet Infect Dis,
2, 86-92.
BELLISSIMO-RODRIGUES, F., PASSOS, A. D. & RUFFINO-NETTO, A.
2013. Latent tuberculosis: the snake inside the egg. Rev Soc Bras Med
Trop, 46, 667-8.
BLOUNT, R. J., TRAN, B., JARLSBERG, L. G., PHAN, H., THANH HOANG,
V., NGUYEN, N. V., LEWINSOHN, D. A. & NAHID, P. 2014.
Childhood tuberculosis in northern Viet Nam: a review of 103 cases. PLoS
One, 9, e97267.
BPS-DIY 2014. Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Angka. Yogyakarta: Balai
Pusat Statistik Provinsi DIY.
CDC. 2011. TB Elimination. Diagnosis of Tuberculosis Disease [Online].
Available:
http://www.cdc.gov/tb/publications/factsheets/testing/diagnosis.htm
[Accessed 23/05/2014].

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


112

CEGIELSKI, J. P. & MCMURRAY, D. N. 2004. The relationship between


malnutrition and tuberculosis: evidence from studies in humans and
experimental animals. Int J Tuberc Lung Dis, 8, 286-98.
CHEGOU, N. N., DETJEN, A. K., THIART, L., WALTERS, E.,
MANDALAKAS, A. M., HESSELING, A. C. & WALZL, G. 2013.
Utility of host markers detected in Quantiferon supernatants for the
diagnosis of tuberculosis in children in a high-burden setting. PLoS One,
8, e64226.
COLVIN, C. J., SMITH, H. J., SWARTZ, A., AHS, J. W., DE HEER, J., OPIYO,
N., KIM, J. C., MARRACCINI, T. & GEORGE, A. 2013. Understanding
careseeking for child illness in sub-Saharan Africa: A systematic review
and conceptual framework based on qualitative research of household
recognition and response to child diarrhoea, pneumonia and malaria.
Social Science & Medicine, 86, 66-78.
CORREA, A. G. 1997. Unique aspects of tuberculosis in the pediatric population.
Clin Chest Med, 18, 89-98.
CRUZ, A. T. & STARKE, J. R. 2011. A current review of infection control for
childhood tuberculosis. Tuberculosis, 91, Supplement 1, S11-S15.
CUEVAS, L. E., BROWNING, R., BOSSUYT, P., CASENGHI, M., COTTON,
M. F., CRUZ, A. T., DODD, L. E., DROBNIEWSKI, F., GALE, M.,
GRAHAM, S. M., GRZEMSKA, M., HEINRICH, N., HESSELING, A.
C., HUEBNER, R., JEAN-PHILIPPE, P., KABRA, S. K., KAMPMANN,
B., LEWINSOHN, D., LI, M., LIENHARDT, C., MANDALAKAS, A.
M., MARAIS, B. J., MENZIES, H. J., MONTEPIEDRA, G.,
MWANSAMBO, C., OBERHELMAN, R., PALUMBO, P., RUSSEK-
COHEN, E., SHAPIRO, D. E., SMITH, B., SOTO-CASTELLARES, G.,
STARKE, J. R., SWAMINATHAN, S., WINGFIELD, C. & WORRELL,
C. 2012. Evaluation of tuberculosis diagnostics in children: 2.
Methodological issues for conducting and reporting research evaluations
of tuberculosis diagnostics for intrathoracic tuberculosis in children.
Consensus from an expert panel. J Infect Dis, 205 Suppl 2, S209-15.
CULQUI, D. R., MUNAYCO, E. C., GRIJALVA, C. G., CAYLA, J. A.,
HORNA-CAMPOS, O., ALVA CH, K. & SUAREZ, O. L. 2012. Factors
associated with the non-completion of conventional anti-tuberculosis
treatment in Peru. Arch Bronconeumol, 48, 150-5.
DAVIS-KEAN, P. E. 2005. The influence of parent education and family income
on child achievement: the indirect role of parental expectations and the
home environment. J Fam Psychol, 19, 294-304.
DEDMAN, D. J., GUNNELL, D., DAVEY SMITH, G. & FRANKEL, S. 2001.
Childhood housing conditions and later mortality in the Boyd Orr cohort. J
Epidemiol Community Health, 55, 10-5.
DIRJEN-BG&KIA 2011. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
tentang Standard Antropometri Penilaian Status Gizi Anak. Nomor:
1995/Menkes/SK/XII/2010. Indonesia: Direktorat Jenderal Bina Gizi dan
Kesehatan Ibu dan Anak.
DIRJEN-P2PL 2013. Petunjuk Teknis Manajemen Tuberkulosis Anak. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


113

EDELSON, P. J. & PHYPERS, M. 2011. TB transmission on public


transportation: A review of published studies and recommendations for
contact tracing. Travel Medicine and Infectious Disease, 9, 27-31.
ELLAWAY, A., MACINTYRE, S. & FAIRLEY, A. 2000. Mums on Prozac, kids
on inhalers: the need for research on the potential for improving health
through housing interventions. Health Bull (Edinb), 58, 336-9.
ESPOSITO, S., TAGLIABUE, C. & BOSIS, S. 2013. Tuberculosis in Children.
Mediterr J Hematol Infect Dis, 5, e2013064.
FESKE, M. L., TEETER, L. D., MUSSER, J. M. & GRAVISS, E. A. 2011a.
Giving TB wheels: Public transportation as a risk factor for tuberculosis
transmission. Tuberculosis, 91, Supplement 1, S16-S23.
FESKE, M. L., TEETER, L. D., MUSSER, J. M. & GRAVISS, E. A. 2011b.
Including the third dimension: A spatial analysis of TB cases in Houston
Harris County. Tuberculosis, 91, Supplement 1, S24-S33.
FOX, G. J., BARRY, S. E., BRITTON, W. J. & MARKS, G. B. 2013. Contact
investigation for tuberculosis: a systematic review and meta-analysis. Eur
Respir J, 41, 140-56.
FOX, G. J., NHUNG, N. V., SY, D. N., LIEN, L. T., CUONG, N. K., BRITTON,
W. J. & MARKS, G. B. 2012. Contact investigation in households of
patients with tuberculosis in Hanoi, Vietnam: a prospective cohort study.
PLoS One, 7, e49880.
FRIEND-DU PREEZ, N., CAMERON, N. & GRIFFITHS, P. 2013. “So they
believe that if the baby is sick you must give drugs…” The importance of
medicines in health-seeking behaviour for childhood illnesses in urban
South Africa. Social Science & Medicine, 92, 43-52.
GIBSON, M., PETTICREW, M., BAMBRA, C., SOWDEN, A. J., WRIGHT, K.
E. & WHITEHEAD, M. 2011. Housing and health inequalities: A
synthesis of systematic reviews of interventions aimed at different
pathways linking housing and health. Health & Place, 17, 175-184.
GOLDMAN, N. & HEUVELINE, P. 2000. Health-seeking behaviour for child
illness in Guatemala. Trop Med Int Health, 5, 145-55.
GORDON, J. E. 1954. Epidemiology in Modern Perspective. Royal Society of
Medicine, 1954 United States. Harvard University, 564-570.
GRAHAM, N. M. 1990. The epidemiology of acute respiratory infections in
children and adults: a global perspective. Epidemiol Rev, 12, 149-78.
GUWATUDDE, D., NAKAKEETO, M., JONES-LOPEZ, E. C., MAGANDA,
A., CHIUNDA, A., MUGERWA, R. D., ELLNER, J. J., BUKENYA, G.
& WHALEN, C. C. 2003. Tuberculosis in household contacts of infectious
cases in Kampala, Uganda. Am J Epidemiol, 158, 887-98.
GWATKIN, D. R., BHUIYA, A. & VICTORA, C. G. 2004. Making health
systems more equitable. Lancet, 364, 1273-80.
HAMILL, P. V., DRIZD, T. A., JOHNSON, C. L., REED, R. B. & ROCHE, A. F.
1977. NCHS growth curves for children birth-18 years. United States.
Vital Health Stat 11, i-iv, 1-74.
HARGREAVES, J. R., BOCCIA, D., EVANS, C. A., ADATO, M.,
PETTICREW, M. & PORTER, J. D. 2011. The social determinants of
tuberculosis: from evidence to action. Am J Public Health, 101, 654-62.
HART, J. T. 1971. The inverse care law. Lancet, 1, 405-12.

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


114

HASSELAAR, E. & VAN GINKEL, J. 2004. The healthy bedroom. Proceedings


of the 2nd WHO International Housing and Health Symposium, 336-344,
2004 2004. Genewa: WHO, European Centre for Environment and Health,
Bonn Office.
HOSSAIN, S., QUAIYUM, M. A., ZAMAN, K., BANU, S., HUSAIN, M. A.,
ISLAM, M. A., COOREMAN, E., BORGDORFF, M., LONNROTH, K.,
SALIM, A. H. & VAN LETH, F. 2012. Socio economic position in TB
prevalence and access to services: results from a population prevalence
survey and a facility-based survey in Bangladesh. PLoS One, 7, e44980.
ISAACMAN, D. J., MCINTOSH, E. D. & REINERT, R. R. 2010. Burden of
invasive pneumococcal disease and serotype distribution among
Streptococcus pneumoniae isolates in young children in Europe: impact of
the 7-valent pneumococcal conjugate vaccine and considerations for future
conjugate vaccines. Int J Infect Dis, 14, e197-209.
ISKANDAR, H., NATAPRAWIRA, H. M. D., DJAIS, J. T. B. & GARNA, H.
2008. Perbandingan Baku Rujukan World Health Organization Child
Growth Standards (WCGS) dan National Center for Health Statistics
(NCHS)/WHO: Implikasinya pada Diagnosis Anak Balita. Sari Pediatri,
9, 323-327.
JAGANATH, D. & MUPERE, E. 2012. Childhood tuberculosis and malnutrition.
J Infect Dis, 206, 1809-15.
JEENA, P. M., PILLAY, P., PILLAY, T. & COOVADIA, H. M. 2002. Impact of
HIV-1 co-infection on presentation and hospital-related mortality in
children with culture proven pulmonary tuberculosis in Durban, South
Africa. Int J Tuberc Lung Dis, 6, 672-8.
JTC 2000. Control and prevention of tuberculosis in the United Kingdom: code of
practice 2000. Joint Tuberculosis Committee of the British Thoracic
Society. Thorax, 55, 887-901.
KARTASASMITA, C. B. 2009. Epidemiologi Tuberkulosis. Sari Pediatri, 11,
124-129.
KASSE, Y., JASSEH, M., CORRAH, T., DONKOR, S. A., ANTONNIO, M.,
JALLOW, A., ADEGBOLA, R. A. & HILL, P. C. 2006. Health seeking
behaviour, health system experience and tuberculosis case finding in
Gambians with cough. BMC Public Health, 6, 143.
KEMAN, S. 2005. Kesehatan Perumahan dan Lingkungan Pemukiman. Jurnal
Kesehatan Lingkungan, Vol. 2 No. 1, 29-42.
KRIEGER, J. & HIGGINS, D. L. 2002. Housing and Health: Time Again for
Public Health Action. American Journal of Public Health, 92, 758-768.
KUNST, A. E., GROENHOF, F., BORGAN, J. K., COSTA, G.,
DESPLANQUES, G., FAGGIANO, F., HEMSTROM, O.,
MARTIKAINEN, P., VAGERO, D., VALKONEN, T. &
MACKENBACH, J. P. 1998. Socio-economic inequalities in mortality.
Methodological problems illustrated with three examples from Europe.
Rev Epidemiol Sante Publique, 46, 467-79.
LAI, P.-C., SO, F.-M. & CHAN, K.-W. 2009. Spatial Epidemiological
Approaches in Disease Mapping and Analysis, New York, CRC Press
Taylor & Francis Group.

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


115

LIENHARDT, C., FIELDING, K., SILLAH, J., TUNKARA, A., DONKOR, S.,
MANNEH, K., WARNDORFF, D., MCADAM, K. P. & BENNETT, S.
2003. Risk factors for tuberculosis infection in sub-Saharan Africa: a
contact study in The Gambia. Am J Respir Crit Care Med, 168, 448-55.
LOBATO, M. N., CUMMINGS, K., WILL, D. & ROYCE, S. 1998. Tuberculosis
in children and adolescents: California, 1985 to 1995. Pediatr Infect Dis J,
17, 407-11.
LONNROTH, K., JARAMILLO, E., WILLIAMS, B. G., DYE, C. &
RAVIGLIONE, M. 2009. Drivers of tuberculosis epidemics: the role of
risk factors and social determinants. Soc Sci Med, 68, 2240-6.
LONNROTH, K., WILLIAMS, B. G., CEGIELSKI, P. & DYE, C. 2010. A
consistent log-linear relationship between tuberculosis incidence and body
mass index. Int J Epidemiol, 39, 149-55.
MARAIS, B. J., GIE, R. P., HESSELING, A. H. & BEYERS, N. 2005. Adult-
type pulmonary tuberculosis in children 10-14 years of age. Pediatr Infect
Dis J, 24, 743-4.
MARAIS, B. J. & PAI, M. 2007. New approaches and emerging technologies in
the diagnosis of childhood tuberculosis. Paediatr Respir Rev, 8, 124-33.
MCMURRAY, D. & CEGIELSKI, P. 2007. HIV/AIDS, TB and Nutrition.
Scientific Inquiry into The Nutritional Influences on Human Immunity with
Special Reference to HIV Infection and Active TB in South Africa.
Pretoria, South Africa: Academic of Science of South Africa.
MERDIANI, E. D. 2004. Kajian Ruang Untuk Perkembangan Anak-Anak.
Sarjana Skripsi, Universitas Katolik Soehijapranata.
MEYERS, A., FRANK, D. A., ROOS, N., PETERSON, K. E., CASEY, V. A.,
CUPPLES, L. A. & LEVENSON, S. M. 1995. Housing subsidies and
pediatric undernutrition. Arch Pediatr Adolesc Med, 149, 1079-84.
MTOMBENI, S., MAHOMVA, A., SIZIYA, S., SANYIKA, C., DOOLABH, R.
& NATHOO, K. J. 2002. A clinical evaluation of children under the age of
five years who are household contacts of adults with sputum positive
tuberculosis in Harare, Zimbabwe. Cent Afr J Med, 48, 28-32.
MURUKA, C. & MURUKA, A. 2007. Guidelines for environmental health
management in children's homes in sub-Sahara Africa. Int J Environ Res
Public Health, 4, 319-31.
NAIR, N., WARES, F. & SAHU, S. 2010. Tuberculosis in the WHO South-East
Asia Region. Bull World Health Organ, 88, 164.
NEWTON, S. M., BRENT, A. J., ANDERSON, S., WHITTAKER, E. &
KAMPMANN, B. 2008. Paediatric tuberculosis. Lancet Infect Dis, 8, 498-
510.
NOVIGNON, J. & NONVIGNON, J. 2012. Socioeconomic status and the
prevalence of fever in children under age five: evidence from four sub-
Saharan African countries. BMC Res Notes, 5, 380.
PEREZ-VELEZ, C. M. & MARAIS, B. J. 2012. Tuberculosis in children. N Engl
J Med, 367, 348-61.
PUSDATIN 2013. Ringkasan Eksekutif Data dan Informasi Kesehatan Provinsi
DIY. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia.

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


116

REKHA, B. & SWAMINATHAN, S. 2007a. Childhood tuberculosis - global


epidemiology and the impact of HIV. Paediatr Respir Rev, 8, 99-106.
REKHA, B. & SWAMINATHAN, S. 2007b. Childhood tuberculosis – global
epidemiology and the impact of HIV. Paediatric Respiratory Reviews, 8,
99-106.
RITZ, N., HANEKOM, W. A., ROBINS-BROWNE, R., BRITTON, W. J. &
CURTIS, N. 2008. Influence of BCG vaccine strain on the immune
response and protection against tuberculosis. FEMS Microbiol Rev, 32,
821-41.
ROSERO-BIXBY, L. 2004. Spatial access to health care in Costa Rica and its
equity: a GIS-based study. Social Science & Medicine, 58, 1271-1284.
SANDJAYA, I. 1997. Kamar Anak dan Remaja. Jakarta: Gramedia.
SOBORG, B., ANDERSEN, A. B., MELBYE, M., WOHLFAHRT, J.,
ANDERSSON, M., BIGGAR, R. J., LADEFOGED, K., THOMSEN, V.
O. & KOCH, A. 2011. Risk factors for Mycobacterium tuberculosis
infection among children in Greenland. Bull World Health Organ, 89,
741-8, 748A-748E.
SOYSAL, A., MILLINGTON, K. A., BAKIR, M., DOSANJH, D., ASLAN, Y.,
DEEKS, J. J., EFE, S., STAVELEY, I., EWER, K. & LALVANI, A.
2005. Effect of BCG vaccination on risk of Mycobacterium tuberculosis
infection in children with household tuberculosis contact: a prospective
community-based study. Lancet, 366, 1443-51.
STARKE, J. R. & CORREA, A. G. 1995. Management of mycobacterial infection
and disease in children. Pediatr Infect Dis J, 14, 455-69; quiz 469-70.
STARKE, J. R. & TAYLOR-WATTS, K. T. 1989. Tuberculosis in the pediatric
population of Houston, Texas. Pediatrics, 84, 28-35.
STRUMPF, I. J., TSANG, A. Y. & SAYRE, J. W. 1979. Re-evaluation of sputum
staining for the diagnosis of pulmonary tuberculosis. Am Rev Respir Dis,
119, 599-602.
TANRIKULU, A. C., ACEMOGLU, H., PALANCI, Y. & EREN DAGLI, C.
2008. Tuberculosis in Turkey: high altitude and other socio-economic risk
factors. Public Health, 122, 613-619.
THOMSON, H. & THOMAS, S. 2015. Developing empirically supported theories
of change for housing investment and health. Social Science & Medicine,
124, 205-214.
TIPAYAMONGKHOLGUL, M., PODHIPAK, A., CHEARSKUL, S. &
SUNAKORN, P. 2005. Factors associated with the development of
tuberculosis in BCG immunized children. Southeast Asian J Trop Med
Public Health, vol 36 no 1.
UNICEF 2012. "Committing to child survival: a promise renewed," progres report
2012. UNICEF.
VANDEN DRIESSCHE, K., PERSSON, A., MARAIS, B. J., FINK, P. J. &
URDAHL, K. B. 2013. Immune vulnerability of infants to tuberculosis.
Clin Dev Immunol, 2013, 781320.
WALLS, T. & SHINGADIA, D. 2004. Global epidemiology of paediatric
tuberculosis. J Infect, 48, 13-22.
WALLS, T. & SHINGADIA, D. 2007. The epidemiology of tuberculosis in
Europe. Arch Dis Child, 92, 726-9.

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


117

WARNER, M., BARNES, P. M. & FINGERHUT, L. A. 2000. Injury and


poisoning episodes and conditions: National Health Interview Survey,
1997. Vital Health Stat 10, 1-38.
WHO 1997. Health and Environment in Sustainable Development: Five Years
after the Earth Summit. Geneva: Programmes on Health and Environment,
World Health Organization.
WHO 2006a. Guidance for national tuberculosis programmes on the management
of tuberculosis in children. 2006/11/30 ed.
WHO 2006b. Stop TB Partnership. The Stop TB Strategy: Building on and
enhancing DOTS to meet the TB-related Millenium Development Goals.
Geneva: World Health Organization.
WHO. Global Tuberculosis Control 2011. 2011 Geneva. 38.
WHO 2012. Recommendations for Investigation Contacts of Person With
Infection Tuberculosis in Low-and Middle-Income Countries. Geneva:
World Health Organizations.
WHO 2014. Global Tuberculosis Report 2013. World Health Organization.
WOOD, D. L., VALDEZ, R. B., HAYASHI, T. & SHEN, A. 1990. Health of
homeless children and housed, poor children. Pediatrics, 86, 858-66.
YULISTYANINGRUM & REJEKI, D. S. S. 2010. Hubungan Riwayat Kontak
Penderita Tuberkulosis Paru (TB) dengan Kejadian TB Paru Anak Di
Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Purwekerto. Jurnal
Kesehatan Masyarakat Universitas Ahmad Dahlan, 4, 43-47.
ZELNER, J. L., MURRAY, M. B., BECERRA, M. C., GALEA, J., LECCA, L.,
CALDERON, R., YATACO, R., CONTRERAS, C., ZHANG, Z. M.,
GRENFELL, B. T. & COHEN, T. 2014. Bacillus Calmette-Guerin and
isoniazid preventive therapy protect contacts of tuberculosis patients. Am J
Respir Crit Care Med.
ZHANG, T., TANG, S., JUN, G. & WHITEHEAD, M. 2007. Persistent problems
of access to appropriate, affordable TB services in rural China:
experiences of different socio-economic groups. BMC Public Health, 7,
19.

Universitas Indonesia

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


UNIVERSITAS INDONESIA
FAKUHAS KE SEHATAN MASYARAKAT
KAMPUS BARU UNTVERSTTAS |NDoNES|A DEPOK 16424, TELP. (021) 7864975, FAX. (021) 7863472

KOMISIAHLI RISET DAN ENK R|SET


FAKU LTAS KES EHATAN MASYARAKAT UN IVERS ITAS I N DO N ES IA

SURAT KETERANGAN
Nomor : 87 /H2.F10IPPM.OO.O2/2OL4

Setelah menelaah usulan dan protokol penelitian di bawah ini, KomisiAhli Riset dan Etik Riset
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, menyatakan bahwa penelitian dengan
judul :

"Tuberkulosis pada Anak Akibat Kontak Serumah Tuberkulosis Dewasa


Di Daerah lstimewa Yogtakarta"

Lokasi Penelitian Propinsi Daerah lstimewa Yogyakarta

Waktu Penelitian Agustus - September 2Ot4

Responeden/Subyek Kasus anak dengan TB yang serumah dengan penderita TB dewasa


Penelitian Kontrol : anak sehat (TB negatif) yang serumah dengan penderita TB
dewasa

Peneliti Utama Al Asyary


Mahasiswa Program Studi Doktor llmu Kesehatan Masyarakat
NPM.1206310631

Telah melalui prosedur Kaji Etik dan dinyatakan layak untuk dilaksanakan

Demikianlah surat keterangan lolos kaji etik ini dibuat untuk diketahui dan dimaklumi oleh yang
berkepentingan dan berlaku sejak 25Agustus 2OI4 -
sampai dengan 25 Agustus 2015.

Depok, 25 Agustus 201,4

Sekretaris, grITr%
."%(l)i:%

NUP1012030

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


Lampiran 1
KUESIONER PENELITIAN

TUBERKULOSIS PADA ANAK AKIBAT KONTAK SERUMAH


TUBERKULOSIS DEWASA DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Uji tapis (screening) gejala TB pada Anak (Dilakukan anamesis dan


pemeriksaan fisik)
a. Apakah anak mengalami batuk?
Ya
Tidak (lanjut ke b)
Jika Ya, berapa lama anak batuk?
< 1 minggu
1-3 minggu
3 minggu-1 tahun
> 1 tahun
Apakah batuk anak bercampur darah atau sputum berdarah?
Ya
Tidak (lanjut ke b)
Jika Ya, berapa lama? (dalam minggu) ______________________________________
b. Apakah anak mengalami sesak napas?
Ya
Tidak (lanjut ke c)
Jika Ya, berapa lama? (dalam minggu) ______________________________________
c. Apakah anak mengalami demam?
Ya
Tidak (lanjut ke c)
Jika Ya, berapa lama? (dalam minggu) ______________________________________
d. Apakah terjadi penurunan berat badan pada anak? (> 3 kg sebulan)
Ya
Tidak
e. Apakah anak berkeringat di malam hari selama 3 minggu atau lebih pada 4
minggu terakhir?
Ya
Tidak
f. Apakah anak mengalami pembengkakan atau/dan benjolan pada leher, ketiak,
atau paha?
Ya
Tidak

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


g. Apakah anak pernah diprofilaksis (diberikan OAT INH 2 bulan)?
Ya
Tidak

Riwayat Medis
h. Apakah anak pernah didiagnosis TB?
Ya
Tidak
i. Apakah anak pernah diuji untuk HIV?
Ya
Tidak (lanjut ke h)
Jika Ya, apakah anak HIV-positif?
Ya, HIV-positif
Tidak, HIV-negatif (lanjut ke h)
Hasil HIV tidak diketahui (lanjut ke h)
Jika Ya, pengobatan apa yang anak lakukan? (minta kartu pengobatannya) __________
j. Apakah anak memiliki kondisi medis pokok yang lain?
Ya
Tidak (lanjut ke i)
Jika Ya, cantumkan semua:________________________________________________
______________________________________________________________________
______________________________________________________________________
______________________________________________________________________
______________________________________________________________________

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


Temuan Enumereator TB Kontak
k. Apakah enumerator merujuk kontak ini untuk pemeriksaan klinis?
Ya (suspek)
Tidak (non-suspek/sehat) = dilanjutkan ke kuesioner selanjutnya

Bawa lembar ini ke pemeriksaan klinis


Informasi kontak: diisi oleh enumerator TB kontak pada saat skiring rumah
tangga
ID pasien TB anak ______________________________________________________
Nama pasien TB anak ____________________________________________________
Nomor kontak (contoh:_01,_02,_10) ________________________________________
Nama kontak ___________________________________________________________

Hasil pemeriksaan medis: diisi oleh klinisi atau wasor TB jika kontak TB
dievaluasi
Tanggal pemeriksaan klinis: _ _/_ _/_ _ _ _
l. Hasil baca pemeriksaan x-ray?
Normal
Abnormal (berdasarkan hasil laporan)
Tidak diketahui
Tidak dilakukan
m. Hasil BTA?
Positif
Negatif
Tidak diketahui
Tidak dilakukan
n. Outcome pemeriksaan medis
Dimulai untuk terapi pengobatan TB
Pengobatan belum dimulai, menunggu hasil laboratorium
Jika terapi dimulai, tuliskan register TB untuk pasien ini: ________________________

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


KUESIONER PENELITIAN

TUBERKULOSIS PADA ANAK AKIBAT KONTAK SERUMAH


TUBERKULOSIS DEWASA DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

1. TB DEWASA
Identitas
ID : _________________________________________________
Nama(*) : _________________________________________________
Waktu wawancara(*) : _ _/_ _/_ _ _ _
Tercatat di Faskes : _________________________________________________
Wasor TB : _________________________________________________
Enumerator(*) : _________________________________________________

Data Demografis
Tanggal lahir(*) : _ _/_ _/_ _ _ _ (jika tidak diketahui, diestimasi)
Jenis kelamin(*) : laki-laki perempuan
Alamat lengkap
Jalan : _________________________________________________
No : _________________________________________________
RT/RW(*) : _________________________________________________
Dusun(*) : _________________________________________________
Desa/Kelurahan(*) : _________________________________________________
Kecamatan(*) : _________________________________________________
Kabupaten/Kota(*): _________________________________________________
No telp/HP (CP) : _________________________________________________
Status pendidikan tertinggi yang ditamatkan:
Tidak/belum pernah sekolah
Tidak tamat SD/MI
Tamat SD/MI
Tamat SMP/MTS
Tamat SMA/MA
Tamat D1/D2/D3
Tamat PT
Status pekerjaan:
Tidak bekerja
Bekerja
Sedang mencari kerja
Sekolah

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


Jika Bekerja, jenis pekerjaan utama:
PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD
Pegawai swasta
Wiraswasta
Petani
Nelayan
Buruh
Lainnya ____________________________________________________________
Koordinat GPS rumah : _________________________________________________

Kontak serumah
Nama Jenis kelamin Umur
______________________________________________________________________
______________________________________________________________________
______________________________________________________________________
______________________________________________________________________
______________________________________________________________________
______________________________________________________________________
______________________________________________________________________
______________________________________________________________________

Episode TB Saat Ini


a. Apakah mengalami batuk?
Ya
Tidak (lanjut ke b)
Jika Ya, berapa lama batuk?
< 1 minggu
1-3 minggu
3 minggu-1 tahun
> 1 tahun
Apakah batuk bercampur darah atau sputum berdarah?
Ya
Tidak (lanjut ke b)
Jika Ya, berapa lama? (dalam minggu) ______________________________________
b. Apakah mengalami demam?
Ya

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


Tidak (lanjut ke c)
Jika Ya, berapa lama? (dalam minggu) ______________________________________
o. Apakah mengalami sesak napas?
Ya
Tidak (lanjut ke c)
Jika Ya, berapa lama? (dalam minggu) ______________________________________
c. Apakah terjadi penurunan berat badan? (> 3 kg sebulan)
Ya
Tidak
d. Apakah mengalami pembengkakan atau/dan benjolan pada leher, ketiak, atau
paha?
Ya
Tidak

Episode TB terdahulu
e. Apakah pernah didiagnosis TB sebelumnya?
Ya
Tidak (lanjut ke f)
Jika Ya, apakah menyelesaikan pengobatan yang diberikan?
Ya
Tidak
f. Apakah pernah kontak dengan orang TB?
Ya
Tidak (lanjut ke g)
Jika Ya, apakah orang serumah atau tidak serumah?
Serumah
Tidak serumah

Review Pasien TB
g. Apa status TB?
Kasus baru
Kambuh
Transfer
Diobati setelah default
Gagal
Tidak diketahui
h. Apakah rontgen x-ray dilakukan?
Ya
Tidak (lanjut ke i)

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


Tidak diketahui (lanjut ke i)
Jika dilakukan, pada tanggal berapa? _ _/_ _/_ _ _ _
Jika rontgen x-ray dilakukan, apa hasilnya?
Kavitari
Abnornal, tidak kavitari
Normal
Tidak diketahui
i. Apakah pemeriksaan BTA dilakukan?
Ya
Tidak (lanjut ke j)
Tidak diketahui (lanjut ke j)
Jika dilakukan, pada tanggal berapa? _ _/_ _/_ _ _ _
Jika pemeriksaan BTA dilakukan, apa hasilnya?
BTA positif
BTA negatif
Tidak diketahui
j. Apakah didiagnosis TB ekstra paru?
Ya
Tidak
k. Apakah merupakan pasien RS pada saat didiagnosis TB?
Ya
Tidak

Level Paparan terhadap Anak


l. Berapa lama dalam sehari Anda menghabiskan waktu dalam ruangan bersama
dengan anak?
Seharian penuh
Hanya pada malam hari
Hanya siang hari
m. Apakah Anda berbagi tempat tidur bersama dengan anak?
Ya
Tidak
n. Apakah Anda tidur dalam ruangan yang sama dengan anak?
Ya
Tidak (lanjut ke 2. TB ANAK)
Berapa lama Anda telah tinggal serumah dengan anak? (tahun) ___________________
Jika kurang dari setahun, (bulan) ___________________________________________

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


2. TB ANAK +/- (SAKIT/SEHAT)
Informasi anak
ID anak : _________________________________________________
Nama anak(*) : _________________________________________________
Nomor ID kontak : (Contoh: 01_02_10) ________________________________
Nama kontak TB dewasa(*) _______________________________________________
Tanggal lahir anak(*) : _ _/_ _/_ _ _ _ (jika tidak diketahui, diestimasi)
Jenis kelamin(*) : laki-laki perempuan
Apa jenis hubungan?(*)
Anak
Famili
Tidak ada hubungan darah
Pendidikan anak(*) : sekolah belum sekolah masih disapih
Tercatat di Puskesmas(*) : ________________________________________________

Pengukuran
Apakah anak memiliki catatan BB dan PB (balita)/TB di data register
(moment opname atau sebelumnya)?
Ya
Tidak
Catat (apabila ada di data register) dan ukur
BB : _____________________________ kg
PB/TB : _____________________________ cm
Posisi pengukuran PB/TB
Berdiri
Terlentang

Episode Status TB Saat Ini


a. Apakah anak mengalami batuk?
Ya
Tidak (lanjut ke b)
Jika Ya, berapa lama anak batuk?
< 1 minggu
1-3 minggu
3 minggu-1 tahun

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


> 1 tahun
Apakah batuk anak bercampur darah atau sputum berdarah?
Ya
Tidak (lanjut ke b)
Jika Ya, berapa lama? (dalam minggu) ______________________________________
b. Apakah anak mengalami demam?
Ya
Tidak (lanjut ke c)
Jika Ya, berapa lama? (dalam minggu) ______________________________________
c. Apakah anak mengalami sesak napas?
Ya
Tidak (lanjut ke c)
Jika Ya, berapa lama? (dalam minggu) ______________________________________
d. Apakah anak berkeringat di malam hari selama 3 minggu atau lebih pada 4
minggu terakhir?
Ya
Tidak
e. Apakah terjadi penurunan berat badan pada anak? (> 3 kg sebulan)
Ya
Tidak
f. Apakah anak mengalami pembengkakan atau/dan benjolan pada leher, ketiak,
atau paha?
Ya
Tidak

Episode Status TB terdahulu


g. Apakah anak pernah didiagnosis TB sebelumnya?
Ya
Tidak (lanjut ke f)
Jika Ya, apakah anak menyelesaikan pengobatan yang diberikan?
Ya
Tidak
h. Apakah anak pernah kontak dengan orang dewasa dengan TB?
Ya
Tidak (lanjut ke pertanyaan Hunian dan Sosial Ekonomi)
Jika Ya, apakah orang serumah atau tidak serumah?
Serumah
Tidak serumah

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


Review Status TB Anak
Apa status TB anak?
Sehat (Non-TB)
Kasus baru
Kambuh
Transfer
Diobati setelah default
Gagal
Tidak diketahui
Apakah rontgen x-ray dilakukan?
Ya
Tidak
Tidak diketahui
Jika dilakukan, pada tanggal berapa? _ _/_ _/_ _ _ _
Jika rontgen x-ray dilakukan, apa hasilnya?
Kavitari
Abnornal, tidak kavitari
Normal
Tidak diketahui
Apakah pemeriksaan TST (Mantoux) dilakukan?
Ya
Tidak
Tidak diketahui
Jika pemeriksaan TST (Mantoux) dilakukan, apa hasilnya?
Positif
Negatif
Tidak diketahui
Apakah pemeriksaan BTA dilakukan?
Ya
Tidak
Tidak diketahui
Jika dilakukan, pada tanggal berapa? _ _/_ _/_ _ _ _
Jika pemeriksaan BTA dilakukan, apa hasilnya?
BTA positif
BTA negatif
Tidak diketahui
Apakah anak didiagnosis TB ekstra paru?
Ya
Tidak
Apakah anak merupakan pasien RS pada saat didiagnosis TB

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


Ya
Tidak

Hunian dan Sosial Ekonomi


Apakah status penguasaan bangunan tempat tinggal yang ditempati?
Milik sendiri
Kontrak
Sewa
Bebas sewa (milik orang lain)
Bebas sewa (milik orang tua/sanak/saudara)
Rumah dinas
Lainnya ____________________________________________________________
Luas lantai bangunan rumah __________________________________________ (m2)
Jumlah orang yang tinggal dalam satu bangunan rumah ___________________ (orang)

Jenis sumber air utama untuk kebutuhan minum?


Air kemasan
Air isi ulang
Air ledeng/PDAM
Air ledeng eceran/membeli
Sumur bor/pompa
Sumur gali terlindung
Sumur gali tidak terlindung
Mata air terlindung
Mata air tidak terlindung
Penampungan air hujan
Air sungai/danau/irigasi
Apa jenis bahan bakar/energi utama yang digunakan untuk memasak?
Listrik
Gas elpiji
Minyak tanah
Arang/briket/batok kelapa
Kayu bakar

Keadaan dalam rumah (observasi)

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


Jenis Pengguna Kebersih Ketersedia Ventila Pencahaya
ruangan an an an jendela si an alami
1=Terpisah 1=Bersih; 1=Ada, 1=Ada, 1=Cukup;
; 2=Tidak 2=Tidak dibuka tiap luasnya 2=Tidak
Terpisah Bersih hari; > 10% Cukup
2=Ada, luas
jarang lantai;
dibuka; 2=Ada,
3=Tidak luasnya
ada < 10%
luas
lantai;
3=Tida
k ada
Tidur
Masak/dap
ur
Keluarga

Jenis lantai rumah terluas


Keramik/ubin/marmer/semen
Semen plesteran retak
Papan/bambu/anyaman bambu/rotan
Tanah
Jenis dinding terluas
Tembok
Kayu/papan/triplek
Bambu
Seng
Jenis plafon/langit-langit rumah terluas?
Beton
Gypsum
Asbes/GRC board

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


Kayu/triplek
Anyaman bambu
Tidak ada
Apa jenis sumber penerangan rumah?
Listrik PLN
Listrin non-PLN
Petromaks/aladin
Pelita/sentir/obor
Lainnya ____________________________________________________________
Penggunaan fasilitas tempat buang air besar sebagian besar anggota rumah
tangga:
Ya, milik sendiri
Ya, milik bersama
Ya, umum
Tidak ada
Jika Ya, jenis kloset yang digunakan:
Leher angsa
Plengsengan
Cemplung/cubluk/lubang tanpa lantai
Cemplung/cubluk/lubang dengan lantai
Tempat pembuangan akhir tinja:
Tangki septik
SPAL
Kolam/sawah
Sungai/danau/laut
Lubang tanah
Pantai/tanah lapang/kebun
Lainnya ____________________________________________________________
Apakah rumah tangga memiliki barang-barang sebagai berikut:
Sepeda
Sepeda motor
Perahu
TV/TV kabel
AC
Pemanas air
Tabung gas 12 kg atau lebih
Lemari es/kulkas
Perahu motor
Mobil

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


Imunisasi dan Status Gizi
Apakah di dalam KMS/Buku KIA/Buku Catatan Kesehatan Anak ada catatan
imunisasi?
Ya
Tidak
Jika Ya, Salin dari KMS/Buku KIA/Buku Catatan Kesehatan Anak
Imunisasi BCG:
Diberikan imunisasi
Tidak diberikan imunisasi
Belum waktunya diberikan karena umur anak
Ditulis diberi imunisasi tetapi tgl/bln/thn tidak ada
Tanggal diberikan imunisasi: _ _/_ _/_ _ _ _

Jika Tidak, berdasarkan ingatan responden


Imunisasi BCG yang biasanya mulai diberikan umur 1 bulan dan disuntikkan
di lengan (kanan) atas serta dapat meninggalkan bekas (scar) di bawah kulit?
Ya
Tidak
Tidak tahu
Jika Ya, pada umur berapa anak diimunisasi BCG?
0-29 hari
> 1 bulan
Tidak tahu

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


Akses Pelayanan Kesehatan

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


Lampiran 2
LEMBAR INFORMASI RESPONDEN

TUBERKULOSIS PADA ANAK AKIBAT KONTAK SERUMAH


PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DEWASA
DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Peneliti di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia sedang


melakukan penelitian untuk mengetahui Peranan Kontak Dekat Serumah Pasien
Tuberkulosis Dewasa dengan terjadinya Tuberkulosis pada Anak di Daerah
Istimewa Yogyakarta.

Latar Belakang dan Tujuan: TB pada anak selalu akibat adanya kontak dari
pasien TB dewasa baik serumah maupun di luar rumah. Penelitian ini bertujuan
untuk menelusuri riwayat anak dengan TB saat ini yang kontak dengan pasien TB.
Hal ini dilakukan dimulai dari anak yang telah terdiagnosis TB (TB anak sebagai
dampak), yang ditelusuri oleh orang dewasa TB baik yang terdiagnosis maupun
tidak terdiagnosis.

Tata Cara/Prosedur: Bila Bapak/Ibu bersedia mengikuti penelitian ini, maka


petugas kesehatan akan melakukan tanya jawab mengenai anak selanjutnya
keadaan rumah (di dalam maupun di luar) Bapak/Ibu juga akan diamati. Olehnya
kami mohon maklum.

Risiko dan ketidaknyamanan: Pada penelitian ini tidak ada risiko/efek samping
yang berarti. Pun demikian ketika dilakukan pemeriksaan bagi anak dan
wawancara kepada Bapak/Ibu.

Manfaat: Keuntungan yang dapat diperoleh dari penelitian ini ialah: dengan
mengetahui adanya gejala Bapak/Ibu yang diketahui mirip dengan penderita
Tuberkulosis, akan kami rujuk untuk diperiksa dengan gratis ke Puskesmas.
Dengan ini dapat diketahui apakah Bapak/Ibu sedang sakit atau tidak. Apabila
seusai pemeriksaan Bapak/Ibu dinyatakan sakit, maka akan diberikan pengobatan
gratis hingga sembuh oleh petugas.

Kesukarelaan: Keikutsertaan Bapak/Ibu dalam penelitian ini bersifat sukarela


disertai tanggung jawab sampai selesainya penelitian ini. Bapak/Ibu bebas
menolak ikut dalam penelitian ini. Bila Bapak/Ibu telah memutuskan untuk ikut
serta, Bapak/Ibu juga dapat mengundurkan diri bila tidak berkenan ikut serta pada
saat dilakukan penelitian. Namun bila Bapak/Ibu tidak mengikuti dan memenuhi
prosedur yang telah diberikan oleh peneliti, keikutsertaan Bapak/Ibu dalam
penelitian ini akan berakhir.

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


Kerahasiaan data: Selama Bapak/Ibu ikut dalam penelitian ini, setiap informasi
dan data penelitian ini akan diperlakukan secara rahasia sehingga tidak
memungkinkan untuk diketahui oleh orang lain.

Penyulit dan kompensasi: Semua biaya pemeriksaan laboratorium yang terkait


dengan penelitian ini akan ditanggung oleh peneliti. Apabila terjadi penyulit yang
berhubungan dengan penelitian ini, maka Bapak/Ibu akan diberi pertolongan
dengan prosedur yang telah baku dan biayanya akan ditanggung oleh penelitian
ini.

Pertanyaan: Jika ada pertanyaan sehubungan dengan penelitian ini dapat


menghubungi langsung kepada Al Asyary, Program Studi Ilmu Kesehatan
Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok, Jawa
Barat (021) 7270803 atau No. HP. 087883789215.

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


Lampiran 3

MODUL PENELITIAN DISERTASI DAN TERM OF REFFERENCE (TOR)


PENELITIAN DISERTASI

BAB I
PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) pada anak merupakan masalah kesehatan global yang terabaikan
(neglected), terlebih dengan proporsi 7.32% dari seluruh kasus TB di Indonesia
(Balitbangkes, 2013). TB pada anak selalu diakibatkan oleh infeksi TB dari populasi di
lingkungan sekitar, khususnya adanya orang dewasa yg sakit TB serumah. Namun, tidak
selalu orang dewasa TB mampu menularkan kesakitan pada anak serumah. Penelitian ini
bertujuan untuk mengkaji faktor-faktor yang diduga berisiko mengakibatkan anak untuk sakit
TB ketika tinggal serumah dengan pasien dewasa.

Anak yang pernah kontak dengan orang dewasa dengan TB BTA (+) atau suspek yang
diduga TB tidak terdiagnosis memiliki risiko 3,91 kali menderita TB, dibandingkan anak
yang tidak mempunyai riwayat kontak. Sumber penularan yang paling berbahaya adalah anak
yang serumah dengan TB dewasa dengan adanya kavitas (lubang pada paru-paru)
(Yulistyaningrum and Rejeki, 2010).

Kontak dengan pasien TB dewasa terhadap kejadian TB pada anak berdasarkan referensi
yang ada; diikuti oleh beberapa variabel yakni tingkat pendidikan orang tua, hunian
(kepadatan dan kondisi), status ekonomi, status gizi dan imunisasi BCG, serta akses
pelayanan kesehatan (Chegou et al., 2013).

Metode dengan desain kasus kontrol digunakan dengan anak positif TB dengan kontak TB
dewasa serumah sebagai kasus dan anak negatif TB dan memiliki kontak TB dewasa sebagai
kontrol berdasarkan data sekunder (rumah sakit rujukan TB anak/Puskesmas) di Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dengan menggunakan kuesioner terstruktur


dan formulir pendukung lainnya. Selain itu juga dilakukan pengukuran antropometri dan
penentuan titik koordinat wilayah. Pengumpulan data dilakukan oleh sepuluh (10)
enumerator dengan kualifikasi pendidikan perawat profesi (Ners) dan ahli kesehatan
masyarakat di lima kabupaten kabupaten/kota, yang dikoordinatori oleh peneliti utama.

Pelatihan dilakukan untuk mencapai kesamaan persepsi tentang pengisian kuesioner dan
mekanisme pengumpulan data. Dari enumerator berkualifikasi Ners, diperoleh kompetensi
untuk melakukan pemeriksaan secara teliti mengenai gejala sakit pada anak sesuai pedoman
dalam menjaring (screening) sesuai kriteria inklusi penelitian. Sedangkan dari enumerator
ahli kesehatan masyarakat, diperoleh keahlian untuk mengukur variabel sosial-ekonomi dan
hunian yang tepat.

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


Hasil dan kesimpulan yang ingin diperoleh adalah faktor protektif yang dapat melindungi
anak dari sakit ketika kontak serumah dengan TB dewasa.

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


BAB II
TATA CARA PEMILIHAN SAMPEL

1. Metode Sampling Penelitian

Populasi penelitian adalah seluruh anak (usia < 14 tahun) yang serumah dengan orang
dewasa menderita TB di Provinsi DIY. Sampling pada penelitian dilakukan dengan
kondisi untuk mendapatkan data nyata (real) di lapangan yang mampu
merepresentatifkan populasi anak yang sakit TB di Provinsi DIY. Kasus dan kontrol
penelitian diperoleh dengan pendekatan berbeda, namun tetap menyesuaikan dengan
kesetaraan masing-masing.

Kriteria Kasus:
Pada kelompok kasus kriteria inklusi dan eksklusi adalah:
Kriteria inklusi kasus
Kriteria inklusi kelompok kasus adalah:
a. Kasus adalah anak (usia < 14 tahun (WHO, 2006a)) diperoleh dari data TB anak
(+) rekam medik rumah sakit yang serumah dengan TB dewasa. Kasus juga dapat
diperoleh dari anak TB (+) dari penelusuran pada kelompok kontrol.
b. TB dewasa serumah adalah orang dewasa yang memiliki status TB (+) saat
penelitian maupun riwayat TB (1 tahun setelah pengobatan).
c. Status TB (+) pada orang dewasa serumah terdiagnosis dan tercatat di rekam
medis di pelayanan kesehatan paru (rumah sakit, puskesmas, dan balai pengobatan
paru) di dalam maupun di luar propinsi DIY.
d. Bersedia berpartisipasi dalam penelitian dan menandatangani formulir persetujuan
(informed consent).
Kriteria eksklusi kasus
Kriteria eksklusi kelompok kasus adalah:
a. Subjek menderita HIV atau penyakit kronis lain.
b. TB dewasa serumah tidak terdiagnosis di pelayanan kesehatan paru (rumah sakit,
puskesmas, dan balai pengobatan paru).
c. TB dewasa serumah yang memiliki riwayat (6-12 bulan/selesai pengobatan) tidak
melakukan pengobatan secara lengkap.
d. Subjek (anak) yang tercatat di rumah sakit, namun berdomisil di luar wilayah
Provinsi DIY.

Sedangkan pada kelompok kontrol kriteria inklusi dan eksklusi adalah:


Kriteria inklusi kontrol
Kriteria inklusi kelompok kontrol adalah:
a. Kontrol adalah anak sehat (TB negatif) yang memiliki orang dewasa TB serumah.

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


b. Orang dewasa TB serumah adalah pasien tercatat di rekam medik puskesmas
wilayah kasus ditemukan yang memiliki status TB (+) saat ini maupun riwayat TB
(1 tahun setelah pengobatan).
c. Anak sehat memiliki status bukan suspek (non-suspek) dari hasil penelusuran TB
dewasa serumah berdasarkan penilaian pedoman dan petugas screening.
d. Bersedia berpartisipasi dalam penelitian dan menandatangani formulir persetujuan
(informed consent).
Kriteria eksklusi kontrol
Kriteria eksklusi kelompok kontrol adalah:
a. Subjek (anak) menderita HIV atau penyakit kronis lain.
b. Subjek (anak) memiliki status suspek (dicurigai) memiliki gejala TB berdasarkan
penilaian pedoman dan petugas screening.
c. TB dewasa serumah yang memiliki riwayat (6-12 bulan/selesai pengobatan) tidak
melakukan pengobatan secara lengkap.

2. Desain sampel
Desain sampel dibedakan berdasarkan kelompok kasus dan kelompok kontrol.
Estimasi populasi dengan sampel yang diambil di Provinsi DIY diperoleh dengan
laporan Dinas Kesehatan Provinsi DIY mengenai rumah sakit yang menerapkan
sistem skoring dalam diagnosis TB anak.
Pada masing-masing kasus dilakukan pemetaan berdasarkan wilayah kerja puskesmas
di Provinsi DIY. Masing-masing kontrol sebagai pembanding di tiap kasus yang
diperoleh berdasarkan wilayah kerja puskesmas.
a. Sampel Kasus
Kasus diperoleh data register/rekam medik TB anak di bagian Poliklinik Anak di
10 RS rujukan TB Anak di DIY:
1) RSUP Sardjito
2) RSUP Angkatan Darat Hardjolukito Bantul
3) RSUD Wirosaban Yogyakarta
4) RSUD Sleman
5) RSUD Panembahan Senopati
6) RSUD Wonosari
7) RSUD Wates
8) RS Islam Hidayah Yogyakarta
9) RS Anak 45 Yogyakarta
10) RS Nur Hidayah Bantul

Data TB anak register/rekam medik dicatat untuk ditelusuri validitasnya sesuai


inklusi kasus ke alamat masing-masing. Data dipilah berdasarkan penentuan
diagnosis TB anak. Data yang ditelusuri hanya pada data yang diagnosisnya
melalui sistem skoring TB anak (8 parameter) yang tercantum pada di masing-
masing rekam medis anak.

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


b. Sampel Kontrol
Kontrol didapatkan dari masing-masing wilayah kerja puskesmas pada kasus yang
diperoleh. Perbandingan kasus dan kontrol adalah 1:1, artinya ketika diperoleh
kasus di suatu wilayah kerja puskesmas, maka dicari pula kontrol di wilayah kerja
puskesmas yang sama.
Kontrol diperoleh dari data rekam medis TB di puskesmas (programmer TB)
dengan kriteria TB dewasa (sedang/pernah BTA positif) yang memiliki anak
(sehat/belum diketahui).
Pada anak yang belum diketahui (non-suspek/suspek), dilakukan screening
dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik secara teliti didasarkan pada 3 (tiga)
gejala TB paru yang dapat khas terjadi pada anak:
1) Batuk kronis, yakni batuk terus-menerus tanpa sebab selama lebih dari 21 hari
(> 3 minggu).
2) Demam, yakni suhu badan >38o C selama 14 hari, setelah sebab lain
dieksklusikan (seperti: pneumonia dan malaria).
3) Berat badan menurun dan kegagalan pertumbuhan, yang ditelusuri melalui
grafik pertumbuhan anak (WHO, 2006a).
Anak dimasukkan dalam kategori suspek TB, apabila memiliki satu atau lebih
gejala ini setelah sebab lain dieksklusikan. Akan tetapi, apabila salah satu gejala
ini ditemukan namun pernah dikonfirmasi non-suspek (misal dengan uji Mantoux:
negatif) di fasilitas kesehatan, maka anak dimasukkan dalam kategori non-suspek
TB (sehat).

c. Sampel Survey
Data ini adalah data calon kasus (rekam medik TB anak rumah sakit) maupun
calon kontrol (rekam medik TB dewasa puskesmas) yang tidak termasuk dalam
kriteria inklusi masing-masing, dianggap sebagai kelompok survey dan ikut
dilaporkan.
Data survey dari calon kasus yang tidak sesuai kriteria inklusi, namun diketahui
ada suspek (orang dewasa TB tidak terkonfirmasi yang diduga sebagai sumber
penular TB anak), dilaporkan ke petugas TB puskesmas masing-masing.
Begitu pula, data survey calon kontrol yang termasuk kategori suspek (anak yang
diduga sakit TB paru yang tinggal serumah pasien TB dewasa) dilaporkan pada
masing-masing pemegang program TB.

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


Bagan 1. Tabel data baseline

Berdasarkan data tabel ini, ditentuakan calon kasus yang akan ditelusuri ke rumah masing-masing. Data ini diperoleh dari data
register rekam medis di rumah sakit studi setting. Seluruh distribusi data calon kasus tersebut disusun per kabupaten/kota yang
menjadi tanggung jawab masing-masing enumerator.

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


BAB III
TATA CARA PENGUMPULAN DATA
(modif. Riskesdas, 2013)

Kegiatan pengumpulan data merupakan faktor penentu dan bagian penting dari rangkaian
kegiatan survei/penelitian yang menentukan diperolehnya data yang akurat dan valid.

Pengumpulan data penelitian ini dilakukan dengan wawancara, pengukuran, dan penentuan
titik koordinat geografis. Wawancara bertujuan mengumpulkan informasi dengan cara
bertanya secara langsung kepada responden dengan menggunakan kuesioner terstruktur yang
dilengkapi dengan buku pedoman pengisian kuesioner. Pengukuran meliputi pengukuran
tinggi badan (anak >5 tahun)/panjang badan (anak >5 tahun) dan berat badan pada anak.
Pemeriksaan meliputi penentuan titik koordinat sampel (kasus, kontrol, dan survey) secara
geografis.

Sampel penelitian ini adalah anak, sehingga informasi mengenai sampel diwakilkan untuk
dijawab oleh responden (keluarga inti yang serumah). Namun, apabila sampel dirasa cukup
komunikatif, maka dapat menjawab sendiri dengan tetap didampingi responden.

A. Faktor yang mempengaruhi hasil wawancara

Wawancara merupakan suatu proses interaksi dan komunikasi yang hasilnya ditentukan
oleh berbagai faktor, yaitu: pewawancara, responden, materi pertanyaan (kuesioner/
daftar pertanyaan) dan situasi wawancara.

Agar hasil wawancara mempunyai mutu yang baik, pewawancara harus menyampaikan
pertanyaan pada responden dengan baik dan jelas. Kalau perlu pewawancara harus
menggali lebih lanjut jawaban responden yang belum jelas (probing) sehingga responden
mau menjawab dengan jujur. Pada hal-hal tertentu pewawancara tidak boleh melakukan
probing atau mendiskusikan dengan responden seperti pada pertanyaan perilaku
pencegahan malaria yang harus ditanyakan sesuai dengan narasi pertanyaannya.

Perbedaan karakteristik pewawancara dengan responden sangat mempengaruhi hasil


wawancara. Seorang pewawancara dari tingkat sosial tinggi harus dapat menyesuaikan
diri dengan responden yang mempunyai tingkat sosial rendah, sehingga kecanggungan
dalam pelaksanaan wawancara yang mengakibatkan responden enggan memberikan
informasi/ fakta yang sebenarnya dapat dihindari.

Materi pertanyaan yang disampaikan dalam wawancara juga dapat mempengaruhi hasil
wawancara. Situasi atau lingkungan wawancara seperti waktu, tempat, keberadaan orang
ketiga dan sikap masyarakat setempat terhadap pelaksanaan survei juga dapat
mempengaruhi hasil wawancara. Dengan demikian keterampilan dan kemampuan
pewawancara untuk beradaptasi dengan responden dan lingkungan menjadi kunci dalam
keberhasilan wawancara dan validitas data yang tinggi. Bagan yang digambarkan oleh
Warwick (1975) menjelaskan keterkaitan berbagai faktor tersebut.

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


B. Langkah-langkah yang harus dilakukan pewawancara sebelum dan sesaat
kunjungan rumah

1. Pelajari daftar alamat dengan seksama untuk mendapatkan lokasi sampel dalam
wilayah yang akan diwawancarai.
2. Hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum, sesaat dan sesudah melakukan kunjungan
rumah:
a. Pilih waktu yang tepat untuk berkunjung.
b. Bila tidak bertemu responden, usahakan untuk mengetahui kapan sebaiknya
kunjungan ulang dilakukan.
c. Hindari pengaruh ‟orang ketiga‟ pada saat wawancara dengan responden.
Sampaikan dengan sopan kepada ‟orang ketiga‟ tersebut untuk tidak
mempengaruhi jawaban dan memberi kebebasan kepada responden dalam
menjawab pertanyaan-pertanyaan.
d. Tidak mendiskusikan hasil wawancara/pengukuran/pemeriksaan baik di antara
anggota tim atau orang yang tidak berkepentingan (menjaga kerahasiaan).

C. Pengumpulan data

Kegiatan pengumpulan data merupakan bagian dari rangkaian kegiatan riset yang
menentukan keberhasilan mendapatkan data kesehatan yang dapat
dipertanggungjawabkan. Keberhasilan pengumpulan data di lapangan sangat ditentukan
oleh pelatihan, pengorganisasian, persiapan, penyelenggaraan kegiatan, dan kegiatan
paska lapangan.

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


D. Masalah responden di lapangan
Masalah yang mungkin terjadi pada waktu akan dan sedang mewawancarai responden,
yaitu:

1. Sampel/responden tidak ada di rumah:


Jika sampel tidak berada di rumah, sedang sekolah, dan lain sebagainya (pergi kurang
dari 1 hari), maka tanyakan pada keluarga lainnya kapan sampel kembali.
Pewawancara harus meninggalkan pesan agar sampel tersebut dapat berada di rumah
pada saat kunjungan ulang yang telah ditetapkan.
2. Sampel/responden menolak diwawancarai:
a. Bersedia atau tidak bersedianya sampel (keluarga sampel) diwawancarai
tergantung kesan pertama waktu bertemu dengan pewawancara. Sebelum
melakukan wawancara, perkenalkanlah diri Saudara(i) dan jelaskan tujuan
kedatangan Saudara(i) (pewawancara).
b. Pada saat wawancara akan dilakukan, dapat terjadi sampel menyatakan tidak
bersedia diwawancarai. Hal tersebut dapat terjadi mungkin dikarenakan keluarga
sedang dalam keadaan yang “tidak menyenangkan”, misalnya ada anggota
keluarga yang baru meninggal. Tanyakan kepada responden kapan dia bersedia
diwawancarai. Usahakan agar responden/sampel bersedia, dengan cara
membuat jadual kunjungan ulang. Jika responden tetap menolak, catat di
kuesioner.
c. Pada saat wawancara, kemungkinan sampel/responden ada keperluan yang
mendadak sehingga wawancara belum selesai atau sampel/responden tidak mau
menjawab pertanyaan. Dalam hal ini tanyakanlah kepada sampel/responden kapan
wawancara dapat dilanjutkan. Diskusikan hal ini dengan anggota tim dan
jadualkan kembali kunjungan ulang.

E. Pengendalian mutu hasil wawancara

Pengendalian mutu dapat dicapai dengan cara sebagai berikut:


1. Tim terdiri dari 2 orang dengan kualifikasi pendidikan minimal satu orang ahli
kesehatan masyarakat dan satu orang perawat.
2. Tim pewawancara harus bekerja sama dengan baik selama melaksanakan tugas di
lapangan. Peneliti utama meneliti kelengkapan dan konsistensi jawaban pada
kuesioner yang telah diisi, segera setelah diserahkan oleh pewawancara.
3. Kualitas yang tinggi dari data yang dikumpulkan dapat dicapai apabila wawancara,
pengukuran, dan penentuan titik dilakukan mengikuti prosedur yang benar.
4. Apabila dalam hal-hal tertentu, ada permasalahan dalam pengisian kuesioner,
pengukuran, dan penentuan titik yang tidak bisa diselesaikan oleh tim, maka tim
segera menghubungi peneliti utama.
5. Kuesioner yang sudah selesai diedit oleh tim, diserahkan pada peneliti utama,
selanjutnya dilakukan data entri.

F. Etika wawancara dalam pengumpulan data

1. Tim pengumpul data harus menghormati norma sosial setempat. Upayakan agar
kunjungan rumah tangga dapat diatur sedemikian rupa sehingga seluruh anggota
rumah tangga sedang berada di rumah. Hindari wawancara jika ada kesibukan dalam
rumah tangga tersebut, misalnya kegiatan pesta atau upacara lainnya.

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


2. Sebelum wawancara dilakukan, pewawancara harus menerangkan secara jelas sesuai
dengan naskah penjelasan mengenai tujuan wawancara, pengukuran, dan penentuan
titik sehingga responden dapat memahami tujuan pelaksanaan penelitian. Mintalah
persetujuan dari responden atau yang mewakili sampel bahwa mereka tidak keberatan
atau secara sukarela setuju untuk diwawancarai dan dilakukan pengukuran. Bila
setuju, responden atau yang mewakili sampel diminta untuk menandatangani/‟cap
jempol‟ pada lembar persetujuan (informed consent).
3. Pada waktu menggali informasi dari sampel, pewawancara harus menciptakan
suasana yang baik, memperhatikan dan bersikap netral terhadap respons dari
responden, tidak memberi kesan memaksa, tidak emosi, tidak mengarahkan, dapat
menghindari percakapan yang menyimpang atau bertele-tele, meminta izin
sebelumnya untuk pertanyaan yang sensitif.
4. Setelah selesai melakukan wawancara, mengucapkan terima kasih pada saat
berpamitan.

G. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan wawancara

1. Penampilan dan sikap pewawancara


Dalam melakukan wawancara, agar pewawancara dapat diterima dengan baik oleh
responden maka pewawancara diharuskan untuk:
a. Berpakaian sopan, sederhana dan rapi
b. Bersikap rendah hati
c. Bersikap hormat kepada responden
d. Ramah dalam sikap dan ucapan
e. Bersikap netral dan penuh pengertian pada responden
f. Sanggup menjadi pendengar yang baik
g. Setelah selesai wawancara terhadap setiap responden, periksa kembali semua
pertanyaan, apakah semua telah terjawab serta jawaban konsisten. Apabila belum
lengkap/ada yang tidak konsisten pada jawaban responden, maka ulangi
pertanyaan tersebut (kalau perlu lakukan probing) sehingga mendapat jawaban
yang benar.
h. Apabila semua jawaban telah lengkap dan konsisten, sampaikan „ucapan terima
kasih’ atas kesediaan responden menjawab semua pertanyaan.
i. Berikan bahan kontak/souvenir sebelum meninggalkan rumah responden/sampel.

2. Kemampuan umum yang harus dimiliki pewawancara


Mengingat pentingnya peran pewawancara dalam menentukan hasil wawancara, maka
pewawancara diharuskan dapat:
a. Menciptakan hubungan baik dengan subjek/responden sehingga wawancara dapat
berjalan lancar.
Dalam menciptakan hubungan baik perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
(1) Buatlah kesan yang baik pada saat melakukan pendekatan. Pertama-tama
buatlah anak sebagai subjek dan orang tua/dewasa sebagai respondennya
mempunyai perasaan tenang. Pilihlah ucapan-ucapan perkenalan yang enak
didengar sehingga responden merasa siap untuk diwawancara. Bukalah
pembicaraan dengan sikap sopan, memberi salam atau ucapan selamat
pagi/siang/sore/malam dan mulailah memperkenalkan diri.
(2) Mampu melakukan pendekatan terhadap anak/subjek maupun responden
dengan positif.

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


(3) Jangan pernah mengucapkan kalimat seperti “Apakah Ibu/Bapak sedang
sibuk?” pada responden. Dengan mengucapkan kalimat seperti tersebut di
atas, maka akan mengundang penolakan untuk diwawancara.
(4) Jika responden tampak ragu-ragu menjawab karena takut, maka tekankan
bahwa informasi yang diberikan akan dijaga kerahasiaannya.
(5) Jawablah setiap pertanyaan yang diajukan oleh responden dengan jujur.
(6) Sebelum diwawancara kemungkinan responden akan bertanya tentang
penelitian atau bagaimana caranya dia terpilih sebagai responden. Jawablah
pertanyaan responden tersebut dengan cara yang menyenangkan.
(7) Kemungkinan responden akan bertanya berapa kira-kira lama waktu yang
diperlukan untuk wawancara. Jika dia bertanya, jawablah bahwa wawancara
akan memakan waktu kurang lebih 1 jam. Kemukakan bahwa pewawancara
bersedia datang lain waktu jika responden berhalangan/ada keperluan penting.
b. Mewawancarai rumah tangga dan responden dengan menggunakan kuesioner
yang telah disiapkan dengan mengikuti petunjuk pengisian kuesioner. Tanyakan
semua pertanyaan dalam daftar pertanyaan dengan baik dan tepat.
c. Mencatat semua jawaban lisan dari responden dengan teliti, lengkap dan jelas atau
mencantumkan kode sesuai petunjuk pengisian kuesioner.
Apabila jawaban responden kurang jelas, maka coba digali tambahan informasi
dengan menyampaikan pertanyaan yang tepat dan netral (probing/menggali
informasi lebih dalam).
Apabila jawaban “tidak tahu”, jangan cepat puas, gali lebih jauh, sebab mungkin:
(1) Responden tidak mengerti pertanyaan
(2) Responden sedang berpikir
(3) Responden tidak mau menyampaikan informasi yang sesungguhnya
(4) Responden betul-betul tidak tahu
d. Dalam melakukan wawancara untuk istilah teknis/medis yang kurang dimengerti oleh
responden, upayakan memakai padanan istilah setempat.
e. Dalam keadaan terpaksa, apabila responden tidak dapat berbahasa Indonesia, maka
wawancara dapat dilakukan dengan bahasa daerah atau boleh dibantu oleh
penerjemah, tetapi pastikan penerjemah tidak mempengaruhi jawaban responden.
f. Upayakan dalam melakukan wawancara, pewawancara dapat memperoleh jawaban
langsung dari responden, tanpa adanya campur tangan pihak lain.
g. Setelah selesai wawancara terhadap setiap responden, periksa kembali semua
pertanyaan, apakah semua telah terjawab serta jawaban konsisten. Apabila belum
lengkap/ada yang tidak konsisten pada jawaban responden, maka ulangi pertanyaan
tersebut (kalau perlu lakukan probing) sehingga mendapat jawaban yang benar.
h. Apabila semua jawaban telah lengkap dan konsisten, sampaikan „ucapan terima
kasih’ atas kesediaan subjek dan responden menjawab semua pertanyaan.
i. Berikan bahan kontak/souvenir sebelum meninggalkan rumah subjek.

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


BAB IV
TATA CARA PENGISIAN KUESIONER

Instrumen pengumpulan data penelitian ini terdiri dari satu kuesioner yang diperuntukkan
untuk 2 (dua) kelompok subjek penelitian. Kuesioner section pertama digunakan untuk
melakukan uji tapis (screening) kelompok kontrol, dan kuesioner section kedua digunakan
untuk kedua kelompok (kasus dan kontrol).

Hal-hal penting yang diperlukan dalam mengumpulkan keterangan-keterangan tersebut


adalah: pewawancara harus menguasai cara mengajukan pertanyaan, mengetahui informasi
yang ingin diperoleh melalui pertanyaan tersebut, dan bagaimana cara mengatasi masalah
yang mungkin timbul. Pewawancara juga harus tahu cara yang benar untuk mencatat jawaban
yang diberikan responden dan bagaimana mengikuti alur pertanyaan dalam kuesioner
(Riskesdas, 2013).
1. Dalam mengisi kuesioner gunakan pensil 2B, agar tulisan jelas, dan bila terjadi kesalahan
mudah dihapus.
2. Gunakan huruf balok/kapital agar mudah dibaca oleh orang lain.
3. Isikan jawaban setiap pertanyaan dengan jelas dan lengkap.
4. Ajukan pertanyaan sesuai dengan yang tercantum dalam kuesioner. Pertanyaan yang
diajukan harus jelas sehingga responden yang diwawancarai dapat dengan mudah
mendengar dan memahami pertanyaan.
5. Isilah jawaban dalam kotak atau di atas garis/spasi yang tersedia, dan sesuaikan besarnya
huruf agar tidak melebihi batas kotak atau garis/spasi yang tersedia
6. Kutip kode yang sesuai dengan pilihan jawaban responden ke dalam kotak yang tersedia.

Section Pertama – Uji Tapis (Screening)


Pada bagian ini digunakan untuk melakukan pendeteksian dini dengan kecenderungan kuat (most
likely) anak terinfeksi kuman atau telah menjadi sakit TB paru berdasarkan gejala yang telah
terstandard. Bagian ini berisi:
 Anamnesis dan pemeriksaan fisik
 Riwayat medis
 Temuan enumerator/petugas

Section Kedua – Kuesioner Penelitian


Bagian ini untuk mengukur informasi sesuai tujuan penelitian pada kedua kelompok subjek
penelitian.
1. TB Paru Dewasa
Informasi tentang pasien TB paru dewasa berupa:
 Identitas  Episode TB paru terdahulu
 Data demografis  Review pasien TB paru
 Kontak serumah  Level paparan terhadap anak
 Episode TB paru saat ini
2. Status TB Anak (sakit dan sehat)
Informasi ini ditujukan pada kedua kelompok subjek penelitian, yakni anak sehat (kontrol)
dan anak sakit TB paru (kasus), mengenai:
 Informasi anak  Review pasien TB anak
 Pengukuran  Hunian dan sosial ekonomi
 Episoden TB anak saat ini  Imunisasi
 Episode TB anak terdahulu  Akses pelayanan kesehatan

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


BAB V
PENJELASAN PENGISIAN KUESIONER

Pengisian Kuesioner Section Pertama – Uji Tapis (Screening)

Anamnesis dan pemeriksaan fisik


a. Apakah anak mengalami batuk?
Ya
Tidak (lanjut ke b)
Jika Ya, berapa lama anak batuk?
< 1 minggu
1-3 minggu
3 minggu-1 tahun
> 1 tahun
Apakah batuk anak bercampur darah atau sputum berdarah?
Ya
Tidak (lanjut ke b)
Jika Ya, berapa lama? (dalam minggu) ______________________________________

Batuk lama pada anak yang dialami pada kondisi biasa, kadang-kadang maupun sering yang
biasanya disertai dahak/sputum. Lama batuk yang dialami anak dan apabila ada darah dalam
sputum, dicatat berapa lama (dalam minggu).

b. Apakah anak mengalami sesak napas?


Ya
Tidak (lanjut ke c)
Jika Ya, berapa lama? (dalam minggu) ______________________________________

Merupakan perasaan sulit bernapas yang biasanya terjadi ketika anak melakukan aktivitas
fisik. Biasanya merasa sulit untuk menggerakkan otot dada, merasa tercekik, atau rasa kejang
di otot dada. Apabila terjadi, dicatat berapa lama (dalam minggu).

c. Apakah anak mengalami demam?


Ya
Tidak (lanjut ke c)
Jika Ya, berapa lama? (dalam minggu) ______________________________________

Demam tidak terlalu tinggi, yang terjadi hilang timbul 2-3 kali selama sebulan dalam jangka
waktu yang lama. Lama dicatat dalam minggu.

d. Apakah terjadi penurunan berat badan pada anak? (> 3 kg sebulan)


Ya
Tidak

Berat badan > 3 kg sebulan yang turun tanpa sebab jelas, yang biasanya diikuti kurang nafsu
makan atau disertai gagal tumbuh (untuk balita dengan KMS).

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


e. Apakah anak berkeringat di malam hari selama 3 minggu atau lebih pada 4 minggu
terakhir?
Ya
Tidak

Keringat malam 3-4 minggu terakhir di malam hari tanpa ada aktivitas fisik pada anak.
Biasanya bulir keringat atau terjadi basah pada bagian ubun kepala dan dahi anak. Namun, ini
tidak dijadikan gejala utama, hanya gejala yang mungkin timbul.

f. Apakah anak mengalami pembengkakan atau/dan benjolan pada leher, ketiak, atau paha?
Ya
Tidak

Pembesaran KGB multipel (>1 KGB), diameter ≥1 cm, konsistensi kenyal, tidak nyeri, dan
kadang saling melekat atau konfluens. Skrofuloderma ditandai adanya ulkus disertai dengan
jembatan kulit antar tepi ulkus (skin bridge). Terbanyak terjadi di daerah leher atau regio
colli).

g. Apakah anak pernah diprofilaksis (diberikan OAT INH 2 bulan)?


Ya
Tidak

Tindakan pencegahan dengan pemberian INH (Isoniazid) dengan dosis 10 mg/ kgBB (7-15
mg/kg) setiap hari selama 6 bulan. Umumnya diberikan pada anak > 5 tahun yang kontak
serumah dengan TB dewasa. Setiap bulan (saat pengambilan obat Isoniazid) dilakukan
pemantauan terhadap adanya gejala TB. Jika terdapat gejala TB pada bulan ke 2, ke 3, ke 4,
ke 5 atau ke 6, maka harus segera dievaluasi terhadap sakit TB dan jika terbukti sakit TB,
pengobatan harus segera ditukar ke regimen terapi TB anak dimulai dari awal. Namun,
apabila rejimen Isoniazid profilaksis selesai diberikan (tidak ada gejala TB selama 6 bulan
pemberian), maka rejimen isoniazid profilaksis dapat dihentikan.

h. Apakah anak pernah didiagnosis TB?


Ya
Tidak

Yakni apabila sebelumnya anak pernah terdiagnosis TB anak di pelayanan kesehatan lanjut
(BP4 atau rumah sakit), primer (puskesmas), maupun praktik dokter swasta.

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


i. Apakah anak pernah diuji untuk HIV?
Ya
Tidak (lanjut ke h)
Jika Ya, apakah anak HIV-positif?
Ya, HIV-positif
Tidak, HIV-negatif (lanjut ke h)
Hasil HIV tidak diketahui (lanjut ke h)
Jika Ya, pengobatan apa yang anak lakukan? (minta kartu pengobatannya) __________

Apabila pernah dilakukan uji HIV/AIDS maka dituliskan.

j. Apakah anak memiliki kondisi medis pokok yang lain?


Ya
Tidak (lanjut ke i)
Jika Ya, cantumkan semua:

Kondisi medis pada anak, baik yang berkaitan dengan gejala/sakit TB maupun gejala/sakit
lainnya.

Temuan Enumereator TB Kontak


k. Apakah enumerator merujuk kontak ini untuk pemeriksaan klinis?
Ya (suspek)
Tidak (non-suspek/sehat) = dilanjutkan ke kuesioner selanjutnya

Keputusan memasukkan anak sebagai inklusif (non-suspek) maupun eksklusif (suspek)


kontrol setelah dilakukan penilaian dan probing terhadap riwayat dan gejala utama TB anak.
Apabila enumerator (perawat/ners) menentukan anak sehat (tanpa ada gejala), maka
pertanyaan kuesioner dilanjutkan untuk mengukur variabel lainnya. Namun, apabila subjek
suspek TB anak atau dicurigai atau telah ada tanda utama/spesifik TB anak, maka pertanyaan
pada subjek dihentikan. Enumerator berkoordinasi dan melaporkan ke petugas TB puskesmas
wilayah kerja tempat ditemukannya suspek sesuai pedoman selanjutnya.

Pengisian Kuesioner Section Kedua – Kuesioner Penelitian (Kasus/Kontrol)

1. TB DEWASA
Bagian ini berisi informasi tentang pasien TB dewasa. Hal ini berupa:
Identitas
Nama(*) : _________________________________________________
Waktu wawancara(*) : _ _/_ _/_ _ _ _
Tercatat di Faskes : _________________________________________________
Wasor TB : _________________________________________________
Enumerator(*) : _________________________________________________

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


Data Demografis
Tanggal lahir(*) : _ _/_ _/_ _ _ _ (jika tidak diketahui, diestimasi)
Jenis kelamin(*) : laki-laki perempuan
Alamat lengkap
Jalan : _________________________________________________
No : _________________________________________________
RT/RW(*) : _________________________________________________
Dusun(*) : _________________________________________________
Desa/Kelurahan(*) : _________________________________________________
Kecamatan(*) : _________________________________________________
Kabupaten/Kota(*): _________________________________________________
No telp/HP (CP) : _________________________________________________
Status pendidikan tertinggi yang ditamatkan:
Tidak/belum pernah sekolah
Tidak tamat SD/MI
Tamat SD/MI
Tamat SMP/MTS
Tamat SMA/MA
Tamat D1/D2/D3
Tamat PT
Status pekerjaan:
Tidak bekerja
Bekerja
Sedang mencari kerja
Sekolah
Jika Bekerja, jenis pekerjaan utama:
PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD
Pegawai swasta
Wiraswasta
Petani
Nelayan
Buruh
Lainnya ____________________________________________________________

Data demografis wilayah ditunjukkan dengan mencatat secara tepat alamat rumah dari nama
jalan atau dusun hingga kab/kota. Mintalah nomor telepon rumah atau genggam yang bisa
dihubungi.

Selanjutnya ditanyakan status pendidikan yang telah disesuaikan, serta status pekerjaan,
apabila ada maka disebutkan jenisnya. Pada pertanyaan jenis pekerjaan dipilih pekerjaan
yang subjek, apabila tidak terdapat pada salah satu pilihan, maka dituliskan jenis
pekerjaannya di pilihan lainnya.

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


Koordinat GPS rumah : _________________________________________________

Penentuan titik koordinat alamat rumah dilakukan di luar rumah subjek penelitian. Penentuan
titik koordinat ini dapat dilakukan dengan perangkat (Global Positioning Sattelite) GPS atau
perangkat telepon pintar (android) dengan aplikasi perangkat lunak GPS Essentials yang
tersedia bebas (freeware license) untuk diunduh dan digunakan.

1. Penentuan Titik dengan GPS

GPS (Global Positioning System) adalah sistem untuk penentuan posisi suatu objek
secara global di bumi, dengan demikian seseorang dapat mengetahui lokasi dimana ia
berada dimanapun di bumi ini menggunakan alat GPS. Penentuan posisi merupakan hasil
kerja dari tiga komponen GPS. Satelit GPS memancarkan signal-signal data dan signal-
signal data tersebut diterima receiver (penerima).

Satelit GPS akan memberikan signal satelit yang dikode secara khusus yang mana
datanya dapat diproses di dalam satu sistem Receiver GPS menjadi suatu data yang
menyangkut posisi (Position), kecepatan (Velocity), dan waktu (time). Untuk
mendapatkan nilai tersebut dibutuhkan minimal 4 signal satelit yang berbeda sehingga
posisinya dapat dihitung dalam sistem 3 dimensi dan nilai waktunya.

a. Mengenal Alat

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


1. Aktifkan GPS dengan menekan tombol on/off beberapa detik (agak lama)
2. Tekan tombol page , setelah muncul tulisan Press Page to Agree
3. Tampilan receiver sedang mencari/mengumpulkan signal satelit yang digunakan untuk
menentukan lokasi (lihat gambar 7) Pada tampilan tersebut terdapat beberapa informasi,
yaitu:
a. Speed ; menunjukkan kecepatan jika dalam kondisi bergerak
b. Elevation : letak ketinggian lokasi tempat kita berada (dpal)
c. Accuracy ; ketepatan informasi (bersifat radius)
d. Status penerimaan signal satelit : nomor satelit
e. Tanggal, jam pengamatan
f. Koordinat/lokasi

Secara umum koordinat dapat ditampilkan dalam bentuk geografik atau transverse
mercator. Koordinat dalam proyeksi transverse mercator mempunyai satuan
meter/kilometer dan terbagi dalam beberapa zone, sedangkan koordinat geografik
ditampilkan dalam bentuk lintang dan bujur (Latitude dan Longitude) bersifat universal.

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


b. Penyimpanan Data Lokasi (Waypoints)
Penyimpanan darta titik lokasi dapat dilakukan dengan menekan tombol ”enter” (agak
lama) kemudian akan muncul tampilan seperti di bawah ini. Tekan kembali tombol
”enter” untuk penyimpanan waypoint.

Catatan : ID waypoint dapat diganti nama dengan cara menggerakkan tombol navigasi
1. Tekan tombol navigasi (sebagai cursor) ke arah no ID waypoint.
2. Tekan enter
3. Ganti nama ID dengan menggerakkan cursor ke atas atau ke bawah untuk menentukan
nama/huruf yang dikehendaki

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


Jika lokasi (koordinat) sudah dapat diidentifikasi oleh GPS receiver maka secara otomatis
layar akan menampilkan posisi koordinat relatifnya dalam peta. Untuk kembali ke
tampilan utama atau berpindah ke tampilan yang lain dapat dilakukan dengan menekan
tombol PAGE.

c. Mengakhiri Penggunaan GPS


Jika tujuan penggunaan GPS sudah selesai (sudah mengetahui koordinat titik lokasi, telah
menyimpan ID dalam waypoint) maka GPS dapat di shutdown /di matikan. Mengakhiri
aktivasi GPS dapat dilakukan dengan cara menekan tombol beberapa detik. Setelah itu
GPS akan shutdown. Akan tetapi jika menginginkan untuk memperoleh jalur perjalanan
(tracking GPS) maka aktifkan terus GPS tersebut kemanapun anda berjalan (secara
otomatis) pada layar GPS (page : map) akan muncul rute perjalanan anda seperti pada
gambar 9.

2. Penentuan Titik dengan GPS Essentials


d. Mengunduh Aplikasi

Untuk melakukan pengunduhan telepon seluler harus tersambung ke internet. Sentuh


Market atau Playstore maka akan tersambung ke penyedia layanan aplikasi. Sentuh
tanda telusur dan ketik “gps essentials” kemudian tekan kembali telusur.

Pilih GPS Essentials yang gratis kemudian pilih yang setuju diunduh dan tunggu
sampai pengunduhan selesai dan aplikasi tersebut terpasang. Setelah terpasang, maka
icon di layar akan seperti berikut:

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


GPS Essentials memiliki 15 fungsi sebagai berikut:
 Dashboard  Charts
 Camera  Pictures
 Compass  Messages
 Waypoints  Tags
 Routes  Settings
 Tracks  Donate
 Satelitte  Affiliates

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


Sebelum alat digunakan untuk penentuan posisi terlebih dahulu dilakukan pengaturan
yang berada di icon setting. Pengaturan spesifikasi data yang akan diambil diatur
dalam satu halaman. Cara pengaturannya adalah sebagai berikut:

GPS Update Interval, untuk memilih interval penentuan posisi oleh GPS. Ada banyak
pilihan mulai dari fastest (tercepat) hingga 1 hour (1 jam). Namun, kecepatan ini akan
mempengaruhi pemakaian baterai.
 Tracking update interval, yakni memilih penentuan posisi yang akan disimpan
dalam track. Apabila dipilih interval yang lebih kecil dari GPS Update Interval,
maka yang akan digunakan adalah interval yang dipilih pada GPS Update Interval.
 Units, pilih kilometer/meter.
 Position format, untuk geografis silahkan pilih bentuknya; bisa dalam bentuk
derajat dalam desimal, derajat menit detik, derajat menit, atau UTM.
 Bearing, pilih True North, yang akan menunjukkan Utara sebenarnya.
 Seterusnya silahkan pilih dengan keinginan anda.

e. Pengambilan Data (Waypoints)

Terlebih dahulu diperkenalkan tombol-tombol dasar yang akan digunakan untuk


pengambilan titik, yaitu:

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


Sebelum pengambilan titik, diperiksa dahulu ketersediaan satelit yang diterima pada
posisi kita, dengan cara nyalakan GPS (sentuh GPS).

Buka aplikasi GPS Essentials, kemudian pilih icon Satelitte, sehingga muncul gambar
seperti di bawah ini:

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


Usahakan akurasi penentuan posisi sekecil mungkin, yakni sekitar 4 meter dari GPS;
setelah itu tekan tombol Kembali.

Untuk merekam data posisi suatu titik gunakan icon Waypoints, sebagai berikut:
 Tekan tombol Menu pilih/sentuh Add Waypoint.
 Beri nama Waypoint dengan menyentuh Name.
 Apabila ingin memberikan deskripsi tentang Waypoint yang direkam sentuh
kolom Berikutnya. Tulis deskripsi yang diinginkan.
 Tekan tombol Kembali.
 Perekaman titik koordinat telah selesai.

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


Setelah data koordinat telah diperoleh, baik dengan menggunakan perangkat GPS maupun
telepon pintar/android (GPS Essentials), maka koordinat dicatat pada kolom yang tersedia.

Kontak serumah
Nama Jenis kelamin Umur
______________________________________________________________________
______________________________________________________________________
______________________________________________________________________
______________________________________________________________________
______________________________________________________________________

Kontak serumah berarti seluruh anggota rumah tangga yang hidup dalam bangunan hunian.
Seluruh anggota rumah tangga dicatat nama jenis kelamin dan umurnya. Apabila ada salah
satu atau lebih anggota rumah tangga yang pernah didiagnosis TB, maka ditandai dan diberi
catatan kecil di samping nama. Hal ini untuk memudahkan contact tracing dalam manajemen
pengendalian TB di puskesmas wilayah kerja subjek ketika dilaporkan setelahnya.

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


Episode TB Saat Ini

Bagian ini mengeksplorasi data pasien TB dewasa, khususnya gejala yang nampak pada
episode penyakit TB saat ini (apabila masih atau telah selesai pengobatan) atau yang terakhir
diderita (apabila pernah didiagnosis TB sebelumnya).

a. Apakah mengalami batuk?


Ya
Tidak (lanjut ke b)
Jika Ya, berapa lama batuk?
< 1 minggu
1-3 minggu
3 minggu-1 tahun
> 1 tahun
Apakah batuk bercampur darah atau sputum berdarah?
Ya
Tidak (lanjut ke b)
Jika Ya, berapa lama? (dalam minggu) ______________________________________

Pada dewasa gejala ini merupakan gejala khas yang mungkin terjadi. Umumnya batuk
disertai dengan dahak/sputum. Enumerator melakukan probing mengenai gejala batuk yang
diderita.

b. Apakah mengalami demam?


Ya
Tidak (lanjut ke c)
Jika Ya, berapa lama? (dalam minggu) ______________________________________

Enumerator menanyakan gejala demam yang mungkin terjadi. Biasanya gejala ini jarang
ditemui pada dewasa. Namun, pada TB resisten atau pada kondisi status gizi yang buruk,
biasanya gejala ini ikut menandai.

c. Apakah mengalami sesak napas?


Ya
Tidak (lanjut ke c)
Jika Ya, berapa lama? (dalam minggu) ______________________________________

Merupakan perasaan sulit bernapas yang biasanya terjadi ketika melakukan aktivitas fisik.
Biasanya merasa sulit untuk menggerakkan otot dada, merasa tercekik, atau rasa kejang di
otot dada. Apabila terjadi, dicatat berapa lama (dalam minggu).

d. Apakah terjadi penurunan berat badan? (> 3 kg sebulan)


Ya
Tidak

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


Berat badan > 3 kg sebulan yang turun tanpa sebab jelas, yang biasanya diikuti kurang nafsu
makan. Enumerator memperbolehkan subjek TB dewasa untuk memperkirakan berat badan
yang turun, kemudian dicatat.

e. Apakah mengalami pembengkakan atau/dan benjolan pada leher, ketiak, atau paha?
Ya
Tidak

Pembesaran KGB multipel (>1 KGB), diameter ≥1 cm, konsistensi kenyal, tidak nyeri, dan
kadang saling melekat atau konfluens. Skrofuloderma ditandai adanya ulkus disertai dengan
jembatan kulit antar tepi ulkus (skin bridge). Terbanyak terjadi di daerah leher atau regio
colli).

Episode TB terdahulu
Bagian ini dimaksudkan untuk mengetahui riwayat sakit TB dewasa sebelumnya, yakni
apabila pernah terdiagnosis TB sebelumnya.

f. Apakah pernah didiagnosis TB sebelumnya?


Ya
Tidak (lanjut ke f)
Jika Ya, apakah menyelesaikan pengobatan yang diberikan?
Ya
Tidak
g. Apakah pernah kontak dengan orang TB?
Ya
Tidak (lanjut ke g)
Jika Ya, apakah orang serumah atau tidak serumah?
Serumah
Tidak serumah

Diagnosis TB subjek dewasa sebelumnya, harus didasarkan dari diagnosis TB di pelayanan


kesehatan. Hal ini diprobing untuk mengetahui apakah pada saat pengobatan terdahulu pasien
menyelesaikan pengobatan. Hal ini karena, umumnya subjek dewasa akan sulit mengaku
apabila tidak menyelesaikan pengobatan akibatkan berbagai macam alasan.
Selanjutnya, enumerator juga melakukan probing apakah pernah kontak dengan orang yang
telah diketahui ataupun belum terdiagnosis TB sebelumnya. Pada kontak dengan orang TB
yang tidak diketahui (terdiagnosis) sebelumnya ditelusuri dengan kecurigaan gejala seperti
batuk menahun yang diderita oleh orang yang diduga penular tersebut. Apabila diketahui

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


lingkungannya serumah atau tidak, dicatat. Namun, apabila tidak diketahui, maka dicatat
subjek dewasa tertular dari lingkungan tidak serumah.

Review Pasien TB
Bagian ini mengidentifikasi status TB dewasa khususnya disesuikan dengan kriteria inklusif
yakni memiliki TB paru dengan BTA positif.

h. Apa status TB?


Kasus baru
Kambuh
Transfer
Diobati setelah default
Gagal
Tidak diketahui

Status ini didasarkan pada diagnosis TB paru pada dewasa di fasilitas pelayanan kesehatan
(puskesmas, rumah sakit, BP4, atau klinis/praktik dokter swasta).
Kasus baru yakni kondisi pasien TB dewasa yang menderita TB (sedang atau telah selesai
pengobatan) yang belum pernah terdiagnosis TB paru sebelumnya. Pasien ini belum pernah
diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
Pemeriksaan BTA bisa positif atau negatif.
Kambuh adalah adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali
dengan BTA positif (apusan atau kultur).
Transfer adalah pasien yang dipindahkan dari UPK lain yang memiliki Register TB yang
berbeda untuk melanjutkan pengobatannya. Biasanya pasien yang dipindahkan ke register
lain sebab alasan jarak fasilitas pelayanan kesehatan dan kompilakasi pengobatannya.
Diobati setelah default adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih
dengan BTA positif. Pada kondisi ini pasien diobati lagi. Namun, biasanya di 2 bulan
pertama pengobatan ulang dengan OAT umum (lini pertama) tidak sembuh (BTA masih
positif), maka diganti dengan golongan OAT lini kedua (kategori dua) yang dikhususkan
untuk pengobatan pada TB resisten.
Gagal yaitu kondisi pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. Sehingga pengobatannya
pun dilanjutkan dengan pengobatan kategori khusus (TB resisten), sama seperti pasien yang
default. Pada kedua jenis kondisi ini (default dan gagal) biasanya disebut sebagai pasien
kategori dua.
Tidak diketahui, yakni semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas, seperti yang
i. tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya,
ii. pernah diobati tetapi tidak diketahui hasil pengobatannya,
iii. kembali diobati dengan BTA negatif.

i. Apakah rontgen x-ray dilakukan?


Ya
Tidak (lanjut ke i)
Tidak diketahui (lanjut ke i)
Jika dilakukan, pada tanggal berapa? _ _/_ _/_ _ _ _
Jika rontgen x-ray dilakukan, apa hasilnya?

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


Kavitari
Abnornal, tidak kavitari
Normal
Tidak diketahui

Biasa juga disebut denga foto thorax, yaitu pemeriksaan penunjang sepanjang sesuai dengan
indikasinya. Biasanya dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan utama dengan dahak secara
mikroskopis.
Kavitari, yakni kondisi foto thorax positif ditunjukkan dengan kesan adanya lesi akibat
aktivitas kuman TB di jaringan paru.
Abnormal atau tidak kavitari, yakni kondisi foto thorax paru yang ditunjukkan dengan kesan
anomali pada jaringan TB tanpa adanya lesi.
Normal, yakni kondisi foto toraks yang sehat atau kesan negatif dari TB paru.
Tidak diketahui, yakni apabila foto toraks tidak dilakukan pada subjek TB dewasa.

j. Apakah pemeriksaan BTA dilakukan?


Ya
Tidak (lanjut ke j)
Tidak diketahui (lanjut ke j)
Jika dilakukan, pada tanggal berapa? _ _/_ _/_ _ _ _
Jika pemeriksaan BTA dilakukan, apa hasilnya?
BTA positif
BTA negatif
Tidak diketahui

Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB. Pada
program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan
diagnosis utama. Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai
keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan.
Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen
dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-
Sewaktu (SPS).
S (sewaktu): dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada
saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari
kedua.
P (Pagi): dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot
dahak dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di Fasyankes.
S (sewaktu): dahak dikumpulkan di Fasyankes pada hari kedua, saat menyerahkan dahak
pagi.
Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, keadaan ini terutama ditujukan
pada TB Paru:
1) Tuberkulosis paru BTA positif.
a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
b) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan
gambaran tuberkulosis.
c) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


d) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada
pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah
pemberian antibiotika non OAT.
2) Tuberkulosis paru BTA negatif Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA
positif. Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:
a) Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif.
b) Foto toraks abnormal sesuai dengan gambaran tuberkulosis.
c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT, bagi pasien dengan HIV
negatif.
d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.
Umumnya pasien TB paru dewasa mengetahui status BTA dari sakit TB paru yang diderita.
Hal ini bisa ditelusuri ulang apabila fasyankes tempat terdiagnosis (apabila sewilayah dengan
alamat tinggal) atau pada anggota keluarga lain/yang menemani ketika berobat (apabila
subjek TB dewasa telah renta).

k. Apakah didiagnosis TB ekstra paru?


Ya
Tidak

TB ekstra paru yakni TB yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura,
selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus,
ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
Hal ini ditunjukkan oleh diagnosis fasyankes, namun berdasar Pedoman Penanggulangan TB
Nasional, pasien dengan TB paru dan TB ekstraparu umumnya diklasifikasikan sebagai TB
paru.

Level Paparan terhadap Anak

Bagian ini menunjukkan tingkat paparan pasien TB paru dewasa terhadap anak yang
sehunian.

l. Berapa lama dalam sehari Anda menghabiskan waktu dalam ruangan bersama dengan
anak?
Seharian penuh
Hanya pada malam hari
Hanya siang hari

Seruangan hunian bersama tergantung pada aktivitas subjek TB dewasa maupun juga
aktivitas anak. Enumerator melakukan probing aktivitas dari kedua subjek penelitian ini,
misal contoh:
Pada subjek TB dewasa yang bekerja pada siang hari, dan anak (sakit TB atau sehat) yang
bersekolah maka biasanya bersama seruangan pada hunian hanya pada malam hari.
Namun, apabila subjek TB dewasa bekerja pada malam hari, dan anak belum
bersekolah/masih disapih, maka seruangan pada hunian hanya pada siang hari. Atau bisa juga
apabila anak dengan subjek TB dewasa adalah pengasuhnya.
Pada kondisi anak yang belum sekolah terlebih masih disapih, dan subjek TB dewasa tidak
bekerja (contohnya: ibu) maka seruangan pada hunian bersama bisa seharian penuh.

m. Apakah Anda berbagi tempat tidur bersama dengan anak?

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


Ya
Tidak

Kondisi subjek TB dewasa dan subjek anak yang tidur dengan tempat tidur/dipan/ranjang
yang sama pada malam hari.

n. Apakah Anda tidur dalam ruangan yang sama dengan anak?


Ya
Tidak (lanjut ke 2. TB ANAK)

Kondisi subjek TB dewasa dan subjek anak yang tidur sekamar atau seruangan sama pada
malam hari.

Berapa lama Anda telah tinggal serumah dengan anak? (tahun) ___________________
Jika kurang dari setahun, (bulan) ___________________________________________

Lama tinggal yang dimaksud adalah lama tinggal subjek TB dewasa dari didiagnosis TB paru
hingga sekarang (saat penelitian dilakukan) tinggal dengan subjek anak. Terlebih dahulu
diketahui apakah subjek dewasa sedang atau telah selesai pengobatan, kemudian dihitung
dengan lama tinggal dengan subjek anak.
Lama ditulis dalam tahun dan/atau bulan.

2. TB ANAK +/- (SAKIT/SEHAT)


Informasi anak
Pada section ini ditelusuri variabel anak, baik kondisi anak berupa status gizi, imunisasi
BCG, hingga validitas TB anak melalui status dan gejala yang terjadi.
Informasi ini untuk mengetahui informasi umum anak yang diwakili oleh orang yang paling
mengetahui kondisi anak (umumnya orang tua atau orang dewasa/pengasuh yang ditemui
pada saat penelitian) yang juga bisa sebagai subjek TB dewasa.

ID anak : _________________________________________________
Nama anak(*) : _________________________________________________
Nomor ID kontak : (Contoh: 01_02_10) ________________________________
Nama kontak TB dewasa(*) _______________________________________________

Tanggal lahir anak(*) : _ _/_ _/_ _ _ _ (jika tidak diketahui, diestimasi)


Jenis kelamin(*) : laki-laki perempuan
Apa jenis hubungan?(*)
Anak
Famili
Tidak ada hubungan darah
Pendidikan anak(*) : sekolah belum sekolah masih disapih
Tercatat di Puskesmas(*) : ________________________________________________

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


ID anak ditulis sesuai tiga digit sesuai dengan ID anak sebelumnya. Jenis hubungan anak
dengan subjek TB dewasa menunjukkan hubungan keeretan. Begitu juga, pendidikan anak
anak menunjukkan paparan dengan status sapih dengan anak yang belum dan telah sekolah.

Pengukuran
Apakah anak memiliki catatan BB dan PB (balita)/TB di data register (moment opname
atau sebelumnya)?
Ya
Tidak
Catat (apabila ada di data register) dan ukur
BB : ______________________________kg
PB/TB : _____________________________ cm
Posisi pengukuran PB/TB
Berdiri
Terlentang

Pengukuran status gizi pada subjek anak ini diusahakan apabila memiliki berat badan (BB)
dan panjang badan (PB) untuk bayi 0-2 tahun atau tinggi badan (TB) untuk anak > 2 tahun
sebelum wawancara. Umumnya orang dewasa wakil subjek anak khususnya orang tua (ibu)
mengetahui status gizi ini terlebih pada kelompok kasus dari rekam medik di rumah sakit.
Apabila tidak diketahui, maka dilakukan pengukuran secara berdiri untuk tinggi badan anak
dan terlentang untuk panjang badan bayi. Namun, apabila pada PB bayi 0-2 tahun diukur
secara berdiri, maka angka hasil pengukuran dikoreksi 0,7 cm sesuai dengan Standard
Antropometri Penilaian Status Gizi Anak.

PROSEDUR PENIMBANGAN BERAT BADAN


Alat:
Timbangan berat badan digital CAMRY dengan kapasitas 150 kg dan ketelitian 100 gram;
menggunakan baterai alkaline 3A sebanyak 4 buah atau baterai pipih bulat.
Alat timbang berat badan digital sangat sederhana penggunaannya, namun diperlukan
pelatihan petugas agar mengerti dan dapat menggunakannya secara benar.
Pedoman penggunaan alat timbang berat badan ini harus dipelajari dengan benar untuk hasil
yang optimal.
Berikut ini adalah langkah-langkah dalam menggunakan timbangan digital CAMRY:

PERSIAPAN
1. Keluarkan alat timbang dari kotak karton.
2. Pasang baterai pada bagian bawah alat timbang (PERHATIKAN POSISI BATERAI).
3. Letakan alat timbang pada lantai yang keras dan datar.
4. Responden yang akan ditimbang diminta membuka alas kaki, jaket, serta mengeluarkan isi
kantong yang berat seperti kunci.

PROSEDUR PENIMBANGAN ANAK YANG SUDAH BISA BERDIRI:


1. Aktifkan alat timbang dengan cara menekan/menginjak sudut kanan bawah alat. Mula-mula
akan muncul garis yang bergerak-gerak tunggu sampai muncul angka 0,0. Bila angka 0,0 sudah
tidak bergerak-gerak (stabil) atau bila muncul huruf “OK” pada sisi kiri kaca display, berarti alat
timbang siap untuk digunakan.
3. Responden diminta naik ke alat timbang dengan posisi kaki tepat di tengah alat timbang, tetapi
TIDAK MENUTUPI JENDELA BACA.

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


4. Perhatikan posisi kaki responden tepat di tengah alat timbang, sikap tenang (JANGAN
BERGERAK-GERAK) dan kepala tidak menunduk (memandang lurus ke depan).
5. Angka di kaca jendela alat timbang akan muncul, dan tunggu sampai angka tidak berubah
(STATIS).
6. Catat angka yang terakhir (atau bila muncul huruf “OK” di sisi kiri kaca display), dan isikan
pada kolom: Berat Badan pada kuesioner.
7. Minta responden turun dari alat timbang.
8. Alat timbang akan OFF secara otomatis.
9. Untuk menimbang responden berikutnya, ulangi prosedur 1 s/d 7. Demikian pula untuk
responden berikutnya.

PROSEDUR PENIMBANGAN ANAK UMUR < 2 TAHUN ATAU ANAK YANG BELUM
BISA BERDIRI:
• Mintalah kepada ibu untuk membuka topi/tutup kepala, jaket, sepatu, kaos kaki, atau asesoris
yang digunakan anak maupun ibu.
• Siapkan buku catatan untuk mencatat hasil penimbangan ibu dan penimbangan ibu dan anak
sebelum dipindahkan ke formulir.
1. Aktifkan alat timbang dengan cara menekan/menginjak sudut kanan bawah alat. Mula-mula
akan muncul garis yang bergerak-gerak, tunggu sampai muncul angka 0,0. Bila angka 0,0 sudah
tidak bergerak-gerak (stabil) atau bila muncul huruf “OK” pada sisi kiri kaca display, berarti alat
timbang siap untuk digunakan.

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


2. Timbang ibu dari anak yang akan ditimbang dengan meminta ibu naik ke alat timbang
(TANPA ANAK).
3. Perhatikan posisi kaki ibu tepat di tengah alat timbang, sikap tenang (JANGAN BERGERAK-
GERAK) dan kepala tidak menunduk (pandangan lurus kedepan).
4. Angka di kaca jendela alat timbang akan muncul, dan tunggu sampai angka tidak berubah
(STATIS).
5. Catat angka yang terakhir (atau bila muncul huruf “OK” di sisi kiri kaca display); Misalkan:
59,5 kg.
6. Minta Responden turun dari alat timbang dan tunggu sampai alat timbang OFF secara
otomatis.
7. Aktifkan kembali alat timbang dengan cara menekan/menginjak sudut kanan bawah alat, dan
tunggu sampai muncul angka 0,0 atau huruf “OK”.
8. Timbang ibu dan anak (digendong) bersama-sama.
9. Catat angka yang terakhir (misal: 72,6 kg).
10. Berat badan anak adalah selisih antara (berat badan ibu dan anak) dengan berat badan ibu;
Contoh: 72,6 kg – 59,5 kg = 13,1 kg. Isikan pada kolom: berat badan pada kuesioner.

Keterangan:
1. Apabila penerangan di dalam rumah tidak cukup baik, maka pengukuran berat badan dilakukan
di luar rumah (cari lantai yang keras dan datar) agar hasil pengukuran dapat dibaca dengan baik.
2. Alat timbang HARUS DIKALIBRASI setiap hari sebelum ke lapangan untuk mengecek
akurasi alat timbang. Cara KALIBRASI adalah sebagai berikut:
• Gunakan alat kalibrasi sebagai pembanding berat yang mempunyai berat tetap.

Contohnya: Air dalam kemasan botol 1,5 liter sebagai pembanding.


• Catat berat alat kalibrasi tersebut untuk digunakan sebagai pembanding.
• Bila hasil kalibrasi pada alat timbang berubah angkanya, berarti baterai sudah harus diganti.

Keuntungan penggunaan timbangan berat badan digital merek CAMRY:


• Dapat mengukur berat badan dengan mudah, cepat dan akurat, sebab ketelitian timbangan ini
100 gram.
• Mengurangi risiko penularan infeksi kulit dan cedera pada balita.
• Mengurangi rasa takut pada anak-anak yang tidak senang dengan timbangan gantung.

Keterbatasan:
• Kurang dapat digunakan pada tempat dengan pencahayaan kurang.

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


• Penyimpanan harus dengan benar dengan menggunakan karton fiksasi untuk menjaga agar tidak
terguncang. Oleh sebab itu harus disimpan dan diperlakukan dengan hati-hati.
• Memerlukan tempat dengan permukaan lantai harus datar dan rata.

PROSEDUR PENGUKURAN TINGGI BADAN (BERDIRI)


Alat:
Pengukur tinggi badan: MICROTOISE (> 2 tahun) dan INFANTOMETER (0-2 tahun)
dengan kapasitas ukur 2 meter dan ketelitian 0,1 cm.

1. Cari dinding rumah yang rata dan lantai atau permukaan yang keras dan datar, serta tidak ada
tonjolan atau lekukan pada bagian bawah dinding. Tarik alat ukur dengan posisi bagian atas
menempel dinding.
3. Lepas alas kaki, penutup kepala/topi/peci dari responden yang akan diukur.
4. Responden yang akan diukur diminta naik ke alas alat ukur dengan posisi membelakangi alat
ukur.
5. Responden diminta berdiri tegak, pandangan lurus ke depan. Perhatikan titik cuping telinga
dengan ujung mata harus membentuk garis imajiner yang tegak lurus terhadap dinding belakang
o
alat ukur (membentuk sudut 90 ). Perhatikan, dinding belakang alat ukur harus berada di tengah
tubuh bagian belakang responden, jangan melenceng ke kiri atau ke kanan.
6. Lima bagian badan yaitu kepala, punggung, pantat, betis, dan bagian dalam tumit menempel di
alat ukur. Bila ini tidak mungkin dilakukan, minimal 3 bagian yang menempel pada alat ukur
(PUNGGUNG, PANTAT, DAN BETIS).
7. Posisi pengukur berada di depan atau kiri responden yang diukur.
8. Gerakan alat geser sampai menyentuh kepala, jangan terlalu ditekan, tetapi untuk responden
yang berambut keriting tebal alat geser digerakkan sampai menyentuh puncak kepala.
9. Kencangkan panel geser, responden diminta untuk turun dari alat ukur.
10. Baca hasil pengukuran tepat pada garis jendela baca. Jika responden lebih tinggi dari pada
pengukur, pengukur dapat mencabut bagian atas batang skala ukur agar tinggi badan dapat dibaca
dengan mudah (pengukur tidak perlu naik ke kursi).

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


PROSEDUR PENGUKURAN PANJANG BADAN BAYI DAN ANAK YANG BELUM
BISA BERDIRI
1. Buka batang ukur dan panel tetap dengan memutar pengunci yang ada di panel tersebut.
3. Pasang besi penopang (d) agar alat geser dapat bergerak bebas (lihat petunjuk). Pemasangan
besi penopang ini harus searah dengan bagian yang menonjol pada siku tetap (siku yang tidak
bergerak di ujung alat ukur).
4. Pilih lantai atau meja yang rata untuk meletakkan alat ukur.
5. Posisi siku tetap harus berada di sebelah kiri pengukur. Posisi pembantu pengukur berada di
belakang siku tetap.
6. Anak dibaringkan dengan kepala menempel pada siku tetap. Pembantu pengukur memegang
dagu dan pipi anak dari arah belakang siku tetap. Garis imajiner (dari titik cuping telinga ke
ujung mata) harus tegak lurus dengan lantai tempat anak dibaringkan.
7. Pengukur memegang lutut anak agar kaki anak menempel ke lantai.
8. Sambil memegang lutut anak, pengukur menggerakkan alat geser (b) kearah telapak kaki anak.
Posisi kedua telapak kaki anak harus rapat dan tegak lurus saat menempel pada alat geser.
Pengukur harus cepat menggerakkan alat geser sampai menempel pada telapak
kaki anak dan segera kencangkan papan geser, anak dapat diangkat dan pengukur dapat membaca
hasil pengukuran.
9. Baca hasil pengukuran panjang badan tepat di garis yang terdapat pada jendela baca.
Catat di formulir yang disediakan.

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


CATATAN:
a) Bila kedua lutut anak sulit di pegang dan diatur, maka pengukur boleh melakukan pengukuran
pada satu kaki saja.
b) Bila anak rewel dan menangis terus, mintakan kepada ibunya agar berada dekat dengan
anaknya, agar anak dapat menjadi lebih tenang. Untuk menenangkan anak dapat dilakukan
dengan memberikan mainan atau makanan untuk dipegang (bukan untuk dimakan).

Apakah pemeriksaan TST (Mantoux) dilakukan?


Ya
Tidak
Tidak diketahui
Jika pemeriksaan TST (Mantoux) dilakukan, apa hasilnya?
Positif
Negatif
Tidak diketahui

Juga disebut dengan uji tuberkulin dengan menggunakan bahan (antigen) Purified Protein
Derivative atau biasanya disingkat dengan PPD. PPD yang digunakan adalah PPD RT 23
dengan Tween 80. Uji dilakukan dengan penyuntikan secara intrakutan/intradermal, pada
lokasi volar lengan bawah 5-10 cm di bawah lipatan siku atau di daerah 1/3 tengah dari
lengan bawah. Hasil uji tuberkulin harus dibaca 72 jam setelah penyuntikan.

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


Interpretasi hasil uji Mantoux/tuberkulin:

Umumnya orang tua/orang dewasa akan mengetahui apakah subjek anak pernah di uji ini
terkait penyuntikan yang diperiksa 3 hari kemudian setelah penyuntikan di rumah sakit
tersebut. Namun, minimnya ketersediaan antigen ini sehingga hanya ada di fasilitas
pelayanan kesehatan tertentu saja (BP4 atau rumah sakit).

Hunian dan Sosial Ekonomi


Pada bagian ini diukur variabel demografi, yakni kondisi dan kepadatan hunian serta status
sosial ekonomi berdasarkan indeks kepemilikan barang.

Apakah status penguasaan bangunan tempat tinggal yang ditempati?


Milik sendiri
Kontrak
Sewa
Bebas sewa (milik orang lain)
Bebas sewa (milik orang tua/sanak/saudara)

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


Rumah dinas
Lainnya ____________________________________________________________

Status penguasaan/kepemilikan bangunan ditanyakan, untuk mengetahui hak kepemilikan


tempat tinggal yang didiami oleh rumah tangga.
Milik sendiri, bila tempat tinggal tsb pada waktu wawancara betul-betul telah milik kepala
rumah tangga subjek anak (kasus atau kontrol). Rumah yang dibeli secara angsuran melalui kredit
bank atau rumah dengan status sewa beli dianggap milik sendiri.
Kontrak, bila tempat tinggal tsb disewa oleh kepala rumah tangga subjek anak dalam jangka
waktu tertentu berdasarkan perjanjian kontrak antara pemilik dan pemakai. Cara pembayarannya
dapat sekaligus di bayar di muka atau secara angsuran, sesuai dengan kesepakatan kedua belah
pihak.
Sewa, bila tempat tinggal tsb disewa oleh kepala rumah tangga subjek anak dengan pembayaran
sewanya secara teratur dan terus menerus tanpa batasan waktu tertentu.
Bebas sewa (milik orang lain), bila kepemilikan tempat tinggal tsb adalah orang lain dan
pemiliknya mempercayakan kepala rumah tangga subjek anak untuk menempatinya tanpa
dipungut bayaran.
Bebas sewa (milik orang tua/sanak/saudara), bila tempat tinggal tsb milik orang
tua/sanak/saudara dari kepala rumah tangga subjek anak dan tidak dipungut bayaran selama
bangungan tsb ditempati.
Rumah dinas, bila tempat tinggal tsb milik instansi tertentu.
Lainnya, bila tempat tinggal tsb tidak dapat digolongkan kedalam salah satu kategori di atas.

Luas lantai bangunan rumah __________________________________________ (m2)


2
Luas lantai dihitung dalam satuan meter persegi (m ), dengan cara menanyakan/menghitung
berapa panjang dan lebar bangunan rumah yang ditempati responden, bukan panjang dan lebar
tanah. Bila bangunan tersebut bertingkat, maka luas lantai bangunan adalah penjumlahan dari
luas lantai bagian bawah ditambah luas lantai bagian atas. Bila nilai luas lantai terdapat pecahan,
maka dilakukan pembulatan. Nilai pecahan <0,5 di bulatkan ke bawah, nilai pecahan ≥0,5
2
dibulatkan ke atas. Contoh, bila luas lantai 112,5 m maka dibulatkan menjadi 113, bila luas lantai
2 2
71,4 m maka dibulatkan menjadi 71 m . Isikan dengan angka dalam satuan meter persegi yang
disampaikan oleh responden atau hasil perhitungan petugas ke dalam kotak yang tersedia.

Jumlah orang yang tinggal dalam satu bangunan rumah ___________________ (orang)

Jumlah penghuni adalah seluruh anggota rumah tangga yang tinggal dalam bangunan rumah.
Isikan dengan angka hasil perhitungan petugas ke dalam kotak yang tersedia

Jenis sumber air utama untuk kebutuhan minum?


Air kemasan
Air isi ulang
Air ledeng/PDAM
Air ledeng eceran/membeli
Sumur bor/pompa
Sumur gali terlindung
Sumur gali tidak terlindung
Mata air terlindung
Mata air tidak terlindung

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


Penampungan air hujan
Air sungai/danau/irigasi

Pertanyaan ini untuk mengetahui jenis sarana air utama yang digunakan untuk memenuhi
kebutuhan minum rumah tangga sehari-hari. Pilihan jawaban adalah sebagai berikut:
Air kemasan. Air dalam bentuk kemasan buatan pabrik, baik botol, gelas atau gallon.
Air isi ulang (depot air minum). Air yang berasal dari perusahaan air isi ulang, biasanya
tidak bermerek dan dalam ukuran gallon
Air ledeng/PDAM. Air yang berasal dari perusahaan air minum yang dialirkan langsung ke
rumah dengan beberapa titik kran, biasanya menggunakan meteran.
Air ledeng eceran/membeli. Air diperoleh dari perusahaan, lembaga atau penjual eceran,
baik dengan cara dialirkan langsung ke rumah atau dikirim menggunakan drum/jerigen.
Sumur bor/pompa. Sumur bor yang menggunakan pompa sebagai alat untuk menaikkan
airnya, baik pompa listrik maupun pompa tangan. Sumur bor ini dapat berupa sumur pompa
dalam (>30 meter dalam tanah) atau sumur pompa dangkal(<30 meter).
Sumur gali terlindung. Sumur air yang pembuatannya digali secara manual berbentuk bulat
atau persegi. Untuk pengambilan airnya dapat menggunakan ember/timba dengan cara
ditarik, menggunakan kerekan atau „timbangan‟ bambu atau menggunakan pompa. Dikatakan
sumur gali terlindung bila sumur tersebut dilengkapi dengan „bibir‟ sumur minimal setinggi
60 cm dari permukaan tanah, lantai sekeliling sumur disemen serta dilengkapi saluran
pembuangan sehingga kotoran atau limbahnya tidak menyerap atau masuk kembali ke sumur.
Sumur gali tak terlindung. Bila sumur gali yang ada tidak dilengkapi dengan„bibir‟ sumur,
permukaan di sekeliling sumur berupa tanah atau batu-batuan atau semen plesteran retak,
atau sekeliling sumur terdapat genangan air.
Mata air terlindung. Mata air yang dilengkapi dengan bak semen tertutup sehingga air
terhindar dari pencemaran.
Mata air tak terlindung. Mata air yang dibiarkan seadanya, tidak dilengkapi bak semen
tertutup sehingga kemungkinan air tercemar.
Penampungan air hujan. Penampungan air hujan dalam bentuk drum, bak atau tabung yang
sumber airnya berasal dari talang rumah, baik yang digunakan sendiri maupun bersama.
Air sungai/danau/irigasi. Air yang diperoleh dari sungai, danau, irigasi, kali, atau parit.
Lingkari satu kode jawaban sesuai jawaban responden dan pindahkan ke dalam kotak yang
tersedia

Apa jenis bahan bakar/energi utama yang digunakan untuk memasak?


Listrik
Gas elpiji
Minyak tanah
Arang/briket/batok kelapa
Kayu bakar

Jenis bahan bakar/energi utama yang paling sering digunakan untuk keperluan memasak
dalam rumahtangga sehari-hari. Kode jawaban jenis saluran pembuangan air limbah sebagai
berikut:
Listrik. Menggunakan listrik untuk mengoperasikannya
Gas/elpiji. Menggunakan gas atau elpiji, baik yang berasal dari Pertamina, perusahaan
swasta, atau produk lain
Minyak tanah.
Arang/briket/batok kelapa. Jenis bahan bakar arang, batok kelapa atau briket batubara

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


Kayu bakar. Berupa kayu, batang atau ranting pohon
Lingkari satu kode jawaban sesuai jawaban responden dan pindahkan ke dalam kotak yang
tersedia.

Keadaan dalam rumah (observasi)


Jenis ruangan Penggunaan Kebersihan Ketersediaan Ventilasi Pencahayaan
1=Terpisah; 1=Bersih; jendela 1=Ada, alami
2=Tidak 2=Tidak 1=Ada, luasnya > 1=Cukup;
Terpisah Bersih dibuka tiap 10% luas 2=Tidak
hari; 2=Ada, lantai; Cukup
jarang dibuka; 2=Ada,
3=Tidak ada luasnya <
10% luas
lantai;
3=Tidak
ada
Tidur
Masak/dapur
Keluarga

Maksud dari pertanyaan ini adalah apakah bangunan rumah dilengkapi dengan ruangan-
ruangan untuk tidur ART, masak/ dapur dan ruang keluarga. Kriteria ruangan adalah ruang
dalam rumah yang dibatasi oleh minimal 3 dinding/sekat permanen. Jenis ruangan yang
diamati adalah ruang keluarga, ruang tidur, dapur. Keadaan ruangan yang ditanyakan/
diobservasi adalah berkaitan dengan kebersihan, ketersediaan jendela, ventilasi dan
pencahayaan alami pada ruang-ruang tersebut.
Kolom 1 : Jenis ruangan
a. Ruang tidur : salah satu ruang tidur ART
b. Masak/ dapur : ruang khusus/ biasa digunakan untuk memasak
c. Keluarga : ruang dimana sebagian besar ART biasa berkumpul

Kolom 2 : Penggunaan
Kode = 1 bila ‘terpisah dengan ruang yang lain’ dan
Kode = 2 bila ‘tidak terpisah dengan ruang lain’ (menyatu).
Isikan satu kode jawaban sesuai penilaian dengan angka dalam kotak yang tersediauntuk
masing-masing pertanyaan.

Kolom 3 : Kebersihan
Suatu keadaan kebersihan ruangan yang dilihat dari keberadaan sampah, debu, becek, lalat,
tikus atau kecoa. Dikatakan kotor/tidak bersih bila terdapat 1atau lebih keadaan tersebut.
Kode = 1 bila ‘bersih’ dan
Kode = 2 bila ‘tidak bersih’.

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


Isikan satu kode jawaban sesuai penilaian dengan angka dalam kotak yang tersedia untuk
masing-masing pertanyaan.

Kolom 4 : Ketersediaan jendela


Kode = 1 bila ‘ada dan dibuka tiap hari’,
Kode = 2 bila ‘ada tetapi jarang dibuka’ dan
Kode = 3 bila ‘tidak ada’.
Isikan satu kode jawaban sesuai penilaian dengan angka dalam kotak yang tersedia untuk
masing-masing pertanyaan.

Kolom 5 : Ventilasi
Lubang angin terbuka yang biasanya berada di atas jendela/pintu. Bila ada tetapi tertutup,
maka dikategorikan tidak ada. Penghitungan luas ventilasi dilakukan dengan cara membagi
jumlah luas lubang ventilasi dalam ruangan dibagi luas lantai ruangan tersebut. Luas lubang
ventilasi adalah jumlah seluruh luas lubang ventilasi di ruang bangunan (biasanya di atas
pintu, jendela, atau lubang pada dinding/roster). Cara menghitung setiap lubang adalah sesuai
dengan bentuk lubang ventilasi (persegi sama dengan panjang kali lebar, untuk segi tiga sama
dengan setengah alas kali tinggi). Bila ruangan tersebut dilengkapi AC dan
dioperasikan/digunakan setiap hari, maka ventilasi di ruangan tersebut dimasukan kategori
„ada, luas ≥10% luas lantai‟.
Kode = 1 bila ‘ada, luas ≥10% luas lantai’,
Kode = 2 bila ‘ada, luas <10% luas lantai’dan
Kode = 3 bila ‘tidak ada’
Isikan satu kode jawaban sesuai penilaian dengan angka dalam kotak yang tersedia untuk
masing-masing pertanyaan.

Kolom 6 : Pencahayaan alami


Pencahayaan yang berasal dari sinar matahari yang masuk melalui jendela, ventilasi atau
pintu rumah. Dikatakan cukup bila petugas pada saat pendataan siang hari dapat membaca
dengan jelas tanpa bantuan pencahayaan buatan.
Kode = 1 bila ‘cukup’,
Kode = 2 bila ‘tidak cukup’
Isikan satu kode jawaban sesuai penilaian dengan angka dalam kotak yang tersediauntuk
masing-masing pertanyaan.

Jenis lantai rumah terluas


Keramik/ubin/marmer/semen
Semen plesteran retak
Papan/bambu/anyaman bambu/rotan
Tanah

Keramik/ubin/marmer/semen : lantai yang dilapisi oleh bahan yang kokoh.


Semen plesteran/ubin retak : khusus untuk lantai semen yang plesterannya retak.
Papan/bambu/anyaman bambu/rotan : lantai yang terbuat dari anyaman bambu atau
susunan papan.
Tanah : lantai di rumah langsung beralaskan tanah
Lingkari satu kode jawaban sesuai jawaban responden dan pindahkan
ke dalam kotak yang tersedia.

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


Jenis dinding terluas
Tembok
Kayu/papan/triplek
Bambu
Seng

Lingkari satu kode jawaban sesuai jawaban responden dan pindahkan


ke dalam kotak yang tersedia.
Tembok.
Kayu/papan/triplek.
Bambu.
Seng.

Jenis plafon/langit-langit rumah terluas?


Beton
Gypsum
Asbes/GRC board
Kayu/triplek
Anyaman bambu
Tidak ada

Plafon adalah penutup bagian atas suatu bangunan yang berfungsi untuk pelindung dari terik
matahari, hujan dan sebagainya. Jika bangunan bertingkat, atap yang dimaksud adalah bagian
teratas dari bangunan tersebut. Apabila plafon terbuat dari 1 atau lebih jenis bahan, maka
pilihan jawaban adalah plafon terluas. Apabila plafon terbuat dari 2 jenis bahan dengan luas
yang sama, maka jawaban dipilih bahan plafon yang lebih berisiko.
Beton : plafon yang terbuat dari campuran semen, kerikil, dan pasir yang dicampur dengan
air.
Gypsum : plafon yang terbuat dari bahan gypsum yang ringan dan kuat. Tetapi tidak tahan
terhadap air.
Asbes/GRC board : plafon yang terbuat dari campuran serat asbes dan semen.
Kayu/triplek: plafon yang terbuat dari bahan kayu atau berbentuk triplek.
Anyaman Bambu : material plafon yang terbuat dari anyaman bambu.
Tidak ada : jika atap rumah tidak berplafon (tidak ada langit-langit).
Lingkari satu kode jawaban sesuai jawaban responden dan pindahkan
ke dalam kotak yang tersedia.

Apa jenis sumber penerangan rumah?


Listrik PLN
Listrin non-PLN
Petromaks/aladin
Pelita/sentir/obor
Lainnya ____________________________________________________________

Jenis sumber penerangan buatan yang digunakan rumahtangga untuk penerangan dalam rumah,
terutama pada malam hari.
Listrik PLN. Listrik yang disediakan/berasal dari perusahaan listrik negara (PT. PLN Persero).

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


Listrik non-PLN. Listrik yang disediakan/berasal dari pemerintah daerah, perusahaan swasta
atau lembaga, termasuk menggunakan generator set milik sendiri.
Petromaks/aladin. Penerangan lampu berbahan bakar minyak tanah yang dilengkapi pompa
angin
Pelita/sentir/obor. Penerangan lampu berbahan bakar minyak tanah atau minyak lain yang
menggunakan „sumbu‟.
Lainnya. Sumber penerangan lain selain 1 sd 4.
Lingkari satu kode jawaban sesuai jawaban responden dan pindahkan ke dalam kotak yang
tersedia.

Penggunaan fasilitas tempat buang air besar sebagian besar anggota rumah tangga:
Ya, milik sendiri
Ya, milik bersama
Ya, umum
Tidak ada

Ditanyakan penggunaan sarana buang air besar yang paling sering dipakai oleh sebagian
besar anggota rumah tangga menurut kepemilikan sarana buang air besar.
Milik sendiri. Bila sarana tempat buang air besar yang digunakan milik sendiri dan hanya
digunakan oleh satu keluarga atau rumahtangga tersebut.
Milik bersama. Bila sarana tempat buang air besar yang digunakan milik bersama atau milik
sendiri tetapi digunakan bersama oleh 2-10 rumahtangga.
Umum. Bila sarana tempat buang air besar yang digunakan milik umum, yang biasanya
disediakan oleh pemerintah, lembaga, kelompok masyarakat, atau tempat umum untuk
digunakan oleh masyarakat umum, baik dengan cara membayar atau gratis.
Tidak ada. Bila sebagian besar anggota rumahtangga tersebut buang air besar sembarangan,
tidak di sarana buang air besar (jamban), baik milik sendiri, bersama atau umum.
Lingkari satu kode jawaban sesuai jawaban responden dan pindahkan ke dalam kotak yang
tersedia.

Jika Ya, jenis kloset yang digunakan:


Leher angsa
Plengsengan
Cemplung/cubluk/lubang tanpa lantai
Cemplung/cubluk/lubang dengan lantai

Ditanyakan jenis kloset yang paling sering digunakan oleh sebagian besar anggota
rumahtangga, dengan pilihan sebagai berikut.
Leher angsa. Bila kloset (tempat jongkok) yang digunakan menggunakan sistem water seal,
cirinya ada genangan air pada lubang kloset yang berfungsi untuk menahan bau atau
mencegah masuknya serangga.
Plengsengan. Bila kloset yang digunakan tanpa sistem water seal, cirinya tidak ada genangan
air pada lubang kloset, tinjanya dialirkan ke tempat lain.
Cemplung/cubluk/lubang tanpa lantai. Bila kloset yang digunakan langsung diatas cubluk.
Kotoran/tinja langsung turun atau „nyemplung‟ ke lobang/cubluk dan di sekitar lubang tidak
ada lantai.
Cemplung/cubluk/lubang dengan lantai.

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


Lingkari satu kode jawaban sesuai jawaban responden dan pindahkan ke dalam kotak yang
tersedia.

Tempat pembuangan akhir tinja:


Tangki septik
SPAL
Kolam/sawah
Sungai/danau/laut
Lubang tanah
Pantai/tanah lapang/kebun
Lainnya ____________________________________________________________

Ditanyakan tempat pembuangan akhir tinja dari rumah tangga ini, dengan pilihan sebagai
berikut:
Tangki septik. Tempat penampungan tinja berupa tangki septik (septic tank) yang
konstruksinya berupa kolam/sumur dengan dinding beton/plesteran semen yang dilengkapi
dengan pipa ventilasi dan saluran resapan.
SPAL. Sistem saluran pembuangan tinja kota milik pemerintah daerah yang dikelola oleh
pemerintah, badan usaha milik negara/daerah atau swasta.
Kolam/sawah. Tempat penampungan tinja dialirkan/dibuang ke kolam atau sawah
Sungai/danau/laut. Tempat penampungan tinja dialirkan/dibuang ke sungai, danau atau laut.
Lubang tanah. Tempat penampungan tinja berupa lubang tanah
Pantai/tanah lapang/kebun. Tempat penampungan tinja dialirkan/dibuang ke pantai, tanah
lapang atau kebun
Lainnya, yang tidak masuk kategori 1 s/d 6. Pilihan jawaban pertanyaan ini harus
dikonfirmasi lebih lanjut sesuai jawaban pertanyaan 8b. Bila jawaban pertanyaan 8b
=1(Leher angsa), maka pilihan jawaban yang mungkin untuk pertanyaan ini adalah: 1,
2, atau 3.
Bila jawaban pertanyaan 8b=2 (Plengsengan), maka pilihan jawaban yang mungkin
untuk pertanyaan ini adalah: 1,2, 3, 4,5, 6, atau 7.
Bila jawaban pertanyaan 8b=3 atau 4 (Cemplung/cubluk), maka pilihan jawaban yang
mungkin untuk pertanyaan ini adalah: 3, 4, 5, dan 6.

Apakah rumah tangga memiliki barang-barang sebagai berikut:


Sepeda
Sepeda motor
Perahu
TV/TV kabel
AC
Pemanas air
Tabung gas 12 kg atau lebih
Lemari es/kulkas
Perahu motor
Mobil

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


Pertanyaan ini ditujukan untuk mengetahui kepemilikan yang ada di rumah tangga, dimana
hasil dari jawaban ini bisa digunakan sebagai bagian dari informasi status ekonomi di tingkat
rumah tangga. Tanyakan kepemilikan 10 barang rumah tangga tersebut.

Lingkari satu kode jawaban sesuai jawaban responden dan pindahkan


ke dalam kotak yang tersedia. Kode 1 jika "Ya" , kode 2 jika "Tidak"
Catatan:
Untuk kepemilikan barang-barang di atas, adalah barang yang masih dimiliki dan
berfungsi/bisa digunakan.

Imunisasi dan Status Gizi


Bagian ini bermaksud untuk mengetahui apakah anak pernah diimunisasi BCG yang biasanya
diberikan pada saat bayi baru lahir. Imunisasi BCG diberikan mulai sejak bayi lahir, dan
diberikan hanya sekali. Biasanya mulai diberikan umur 1 bulan dan disuntikkan di lengan (kanan)
atas serta meninggalkan bekas (scar) di bawah kulit. Batas umur imunisasi BCG adalah 12 bulan.

Apakah di dalam KMS/Buku KIA/Buku Catatan Kesehatan Anak ada catatan imunisasi?
Ya
Tidak
Jika Ya, Salin dari KMS/Buku KIA/Buku Catatan Kesehatan Anak
Imunisasi BCG:
Diberikan imunisasi
Tidak diberikan imunisasi
Belum waktunya diberikan karena umur anak
Ditulis diberi imunisasi tetapi tgl/bln/thn tidak ada
Tanggal diberikan imunisasi: _ _/_ _/_ _ _ _

Apabila subjek memiliki dokumen/catatan, isikan kode jawaban sesuai dokumen/catatan yang
dimiliki subjek anak, maka tuliskan tanggal, bulan dan tahun imunisasi. Salin setiap tanggal
imunisasi dari dokumen tersebut ke dalam kotak yang tersedia pada Ja20 dengan format tanggal,
diikuti bulan, dan tahun dalam dua digit. Misalnya imunisasi BCG tanggal 6 Agustus 2012, maka
ditulis dalam bentuk format 06/08/12

Jika Tidak, berdasarkan ingatan responden


Imunisasi BCG yang biasanya mulai diberikan umur 1 bulan dan disuntikkan di lengan
(kanan) atas serta dapat meninggalkan bekas (scar) di bawah kulit?
Ya
Tidak
Tidak tahu
Jika Ya, pada umur berapa anak diimunisasi BCG?
0-29 hari
> 1 bulan
Tidak tahu

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


Namun, apabila tidak punya dokumen/catatan subjek anak, lakukan probing dan pilih jawaban
sesuai jawaban responden ke dalam kotak yang tersedia.
0-29 hari, jika ART mendapat imunisasi BCG pada usia0 – 29 hari
≥ 1 bulan, jika ART mendapat imunisasi BCG pada usia ≥ 1 bulan
Tidak tahu, jika responden tidak tahu usia subjek anak saat mendapat imunisasi BCG

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


Akses Pelayanan Kesehatan

Pada bagian ini dimaksudkan untuk mengetahui informasi akses subjek penelitian terhadap fasilitas pelayanan kesehatan yang tersedia.

Akses pelayanan yang dilihat dari alat transportasi, waktu tempuh, dan biaya transportasi ke fasilitas kesehatan dari rumah tangga terpilih, (akses
masyarakat pada fasilitas pelayanan kesehatan termasuk upaya kesehatan berbasis masyarakat (UKBM).
Fasilitas kesehatan di sini, tanpa melihat apakah sarana tersebut dimanfaatkan oleh rumah tangga tersebut atau tidak
Catatan:
 Sebelum ke lapangan enumerator telah mengidentifikasi dan mengetahui fasilitas kesehatan di wilayah tersebut (rumah sakit
pemerintah/swasta, puskesmas, klinik/praktik dokter swasta).
 Pada saat responden menjawab tidak, enumerator dianjurkan untuk melakukan probing dengan menyebutkan nama fasilitas kesehatan yang
dimaksud. Sebagai contoh sebelum enumerator ke lapangan, telah mengetahui bahwa di sekitar wilayah tersebut fasilitas kesehatan
(pemerintah atau swasta). Pada saat bertanya, enumerator bisa menyebutkan langsung nama fasilkes tersebut, misalnya RS Sardjito atau
Puskesmas Jetis karena masyarakat di sekitar wilayah tersebut lebih mengenal fasilkes tersebut.

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.


DAFTAR REFERENSI
Ariawan, I. 2006. Indeks Sosio Ekonomi Menggunakan Principle Component Analysis
(PCA). Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 1, 83-87.

Balitbangkes 2013. Pedoman Kuesioner Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Dirjen-BG&KIA 2011. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia tentang Standard


Antropometri Penilaian Status Gizi Anak. Nomor: 1995/Menkes/SK/XII/2010.
Indonesia: Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak.

Dirjen-P2PL 2013. Petunjuk Teknis Manajemen Tuberkulosis Anak. Jakarta: Direktorat


Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.

WHO 2006. Guidance for national tuberculosis programmes on the management of


tuberculosis in children. 2006/11/30 ed.

WHO 2012. Recommendations for Investigation Contacts of Person With Infection


Tuberculosis in Low-and Middle-Income Countries. Geneva: World Health
Organizations.

Tuberkulosis paru..., Al Asyary Upe, FKM UI, 2015.

Anda mungkin juga menyukai