Makalah SURVEILANS EPIDEMIOLOGI
Makalah SURVEILANS EPIDEMIOLOGI
Makalah SURVEILANS EPIDEMIOLOGI
Nim: p00933121034
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat karunia-Nya saya mampu
menyelesaikan makalah dengan judul
Makalah ini merupakan tugas mata kuliah survielans epidemiologi yang diharapkan dapat
menunjang nilai saya di dalam mata kuliah survielans epidemiologi. Selain itu, dengan hadirnya
makalah ini dapat memberikan informasi yang dapat menjadi pengetahuan baru bagi
pembacanya.
Pada kesempatan ini kelompok juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Desi Ari Apsari
selaku dosen pembimbing serta kepada seluruh pihak yang terlibat di dalam penulisan makalah
ini.Saya menyadari bahwa, masih banyak kesalahan dan kekurangan di dalam penulisan makalah
ini. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif untuk kesempurnaan
makalah ini di masa yang akan datang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat.
Penulis
Kabanjahe, 27 Agustus 2022
BAB 1
PENDAHULUAN
Istilah Surveilans sudah dikenal oleh banyak orang, namun dalam aplikasinya banyak
orang menganggap bahwa surveilans identik dengan pengumpulan data dan penyelidikan
Kejadian Luar Bisa (KLB), hal inilah yang menyebabkan aplikasi sistem surveilans di
Indonesia belum berjalan optimal, padahal sistem ini dibuat cukup baik untuk mengatasi
masalah kesehatan (Wuryanto, A.2010).
Jadi surveilans epidemiologi bukan hanya sekedar pengumpulan data dan penyelidikan
Kejadian Luar Biasa (KLB) saja tetapi kegunaan dari surveilans epidemiologi lebih dari itu
misalnya untuk mengetahui jangkauan dari pelayanan kesehatan, untuk meramalkan terjadinya
wabah dan masih banyak lagi manfaat dari surveilans epidemiologi, untuk itu penulis terdorong
untuk melakukan penulisan mengenai surveilans epidemiologi agar mengubah pemikiran
masyarakat akan arti dan kegunaan dari surveilans epidemiologi serta pentingnya mengetahui
unusur dasar survielans ,lingkup survielans ,pertimbangan melakukan survielans,serta indicator
survielans.
BAB II
Kesehatan Haji
Kesehatan Pelabuhan dan Lintas Batas Perbatasan
Bencana dan masalah sosial
Kesehatan matra laut dan udara
Kejadian Luar Biasa (KLB) Penyakit dan Keracunan (Murti, B. 2010).
Saat ini penderita penyakit menular yang dirawat di rumah sakit jumlahnya masih cukup
besar. Suatu keadaan khusus dimana faktor lingkungan, secara bermakna dapat mendukung
terjadinya risiko meendapatkan penyakit infeksi, sehingga tekhnik surveilans termasuk kontrol
penyakit pada rumah sakit rujukan pada tingkat propinsi dan regional memerlukan perlakuan
tersendiri. Pada rumah sakit tersebut, terdapat beberapa penularan penyakit dan dapat
menimbulkan infeksi nosokomial. Selain itu, rumah sakit mungkin dapat menjadi tempat
berkembangbiaknya serta tumbuh suburnya berbagai jenis mikro-organisme.
Untuk mengatasi masalah penularan penyakit infeksi di rumah sakit maka telah
dikembangkan sistem surveilans epidemiologi yang khusus dan cukup efektif untuk
menanggulangi kemungkinan terjadinya penularan penyakit (dikenal dengan infeksi nosokomial)
di dalam lingkungan rumah sakit.
BAB III
1.1 Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2014 pasal
5, penyelenggaraan surveilans kesehatan sebagaimana dimaksud dalam ruang lingkup
diatas dapat dilaksanakan secara terpadu yang didasarkan pada pertimbangan efektifitas
dan efisiensi sesuai kebutuhan program
Tahap ini merupakan permulaan kegiatan surveilans yang sangat penting untuk
menghasilkan data kejadian penyakit yang baik. Kegiatan pengumpulan data dapat dilakukan
secara aktif dan pasif (lihat sub bab tentang jenis surveilans).
Sumber data yang bisa digunakan dalam surveilans antara lain: Laporan penyakit,
Pencatatan kematian, Laporan wabah, Pemeriksaan laboratorium, Penyelidikan peristiwa
penyakit, Penyelidikan wabah, Survey/Studi Epidemiologi, Penyelidikan distribusi vektor dan
reservoir, Penggunaan obat-serum-vaksin, Laporan kependudukan dan lingkungan, Laporan
status gizi dan kondisi pangan, dan sebagainya.
Sedangkan jenis data surveilans meliputi: Data kesakitan, Data kematian, Data
demografi, Data geografi, Data laboratorium, Data kondisi lingkungan, Data status gizi, Data
kondisi pangan, Data vektor dan reservoir, Data dan informasi penting lainnya.
Dilihat dari frekuensi pengumpulannya, data surveilans dibedakan dalam empat kategori:
1) Data rutin bulanan, yang digunakan untuk perencanaan dan evaluasi. Misalnya: data yang
bersumber dari SP2TP, SPRS.
2) Data rutin harian dan mingguan, yang digunakan dalam Sistem Deteksi Dini pada
Kejadian Luar Biasa (SKD KLB). Misalnya: data yang bersumber dari Laporan Penyakit
Potensial Wabah (W2).
3) Data insidensil. Misalnya: Laporan KLB (W1), dan
4) Data survey.
Dalam pengolahan data, terdapat langkah yang penting yaitu Kompilasi Data, yang
bertujuan untuk menghindari duplikasi (doble) data dan untuk menilai kelengkapan data. Proses
kompilasi data dapat dilakukan secara manual (dengan kartu pengolah data atau master table),
atau komputerisasi (dengan aplikasi pengolah data, misalnya Epiinfo). Variabel yang dikompilasi
meliputi orang, tempat, dan waktu.
Data yang telah diolah kemudian dilakukan analisis untuk membantu dalam penyusunan
perencanaan program, monitoring, evaluasi, dan dalam upaya pencegahan serta penanggulangan
penyakit. Penganalisis data harus memahami dengan baik data yang akan dianalisa. Data yang
telah diolah dan disusun dalam format tertentu umumnya lebih mudah dipahami. Beberapa cara
berikut biasanya dilakukan untuk memahami data dengan baik, antara lain:
1) Pada data sederhana dan jumlah variabel tidak terlalu banyak, cukup dengan mempelajari
tabel saja.
2) Pada data yang kompleks, selain mempelajari tabel juga dilengkapi dengan peta dan
gambar. Peta dan gambar berfungsi untuk mempermudah pemahaman akan trend, variasi,
dan perbandingan.
Beberapa teknik berikut umumnya dipakai dalam analisa data surveilans, seperti:
1) Analisis univariat, yaitu teknik analisis terhadap satu variable saja dengan menghitung
proporsi kejadian penyakit dan menggambarkan deskripsi penyakit secara statistik (mean,
modus, standar deviasi)
2) Analisis Bivariat, yaitu teknik analisis data secara statistik yang melibatkan dua variable.
Untuk menggambarkan analisis ini bisa digunakan tools seperti Tabel (menghitung
proporsi dan distribusi frekuensi), Grafik (menganalisis kecenderungan), dan Peta
(menganalisis kejadian berdasarkan tempat dan waktu) dan
3) Analisis lebih lanjut dengan Multivariat, yaitu teknik analisis statistik lanjutan terhadap
lebih dari dua variable, untuk mengetahui determinan suatu kejadian penyakit.
1) Kepada tingkat administrasi yang lebih tinggi, sebagai tindak lanjut dalam menentukan
kebijakan
2) Kepada tingkat administrasi yang lebih rendah atau instansi pelapor, dalam bentuk data
umpan balik dan
3) Kepada instansi terkait dan masyarakat luas
Selain berbentuk laporan, media untuk penyebaran informasi dapat berupa bulletin, news
letter, jurnal akademis, website, dan media sosial.
BAB IV
INDIKATOR
Rumusan indikator kinerja harus sederhana, mudah dilaksanakan, tetapi tetap mengukur
mutu/kualitas kinerja surveilans dengan baik. Setiap satu indikator kinerja surveilans ditetapkan,
maka diperlukan beberapa variabel data yang perlu direkam, dihimpun, diolah dan dianalisis.
Banyaknya kegiatan perekaman, pengumpulan, pengolahan data tersebut akan memberikan
beban kerja dan menggangu upaya meningkatkan kinerja surveilans. Oleh karena itu, setiap
penyelenggaraan sistem surveilans perlu menetapkan sesedikit mungkin indikator kinerja,
sesederhana mungkin, tetapi tetap dapat mengukur kualitas penyelenggaraan surveilans tersebut.
Indikator kinerja yang paling sering digunakan adalah kelengkapan laporan, ketepatan
waktu laporan, kelengkapan distribusi informasi, terbitnya buletin epidemiologi. Beberapa
penyelenggaraan surveilans tertentu memiliki indikator kinerja spesifik.
Kelengkapan laporan selalu mengukur jumlah laporan yang diterima dari pelapor (unit)
dibanding dengan jumlah laporan yang harusnya diterima.
Kelengkapan laporan adalah sebagai salah satu indikator kinerja surveilans yang paling
sering digunakan, baik itu ditingkat nasional, provinsi maupun di kabupaten/kota, bahkan juga
digunakan pada indikator kinerja surveilans di unit-unit pelayanan dan di masyarakat sebagai
laporan kelurahan, desa, atau kelompok-kelompok masyarakat.
Kelengkapan laporan, merupakan metode pengukuran kinerja yang paling sederhana, dan
jika dirumuskan dengan tepat, dapat memberi dukungan pengukuran kinerja surveilans yang
tepat, dan dapat memberi manfaat untuk mengidentifikasi adanya permasalah kinerja surveilans
lebih fokus dan tepat waktu.
Rumusan kelengkapan laporan yang baik adalah kelengkapan laporan unit sumber data
awal (unit pelayanan), tetapi pada penyelenggaraan sistem surveilans nasional dan provinsi lebih
sering berdasarkan pada kelengkapan laporan unit pengumpul data (Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota atau Dinas Kesehatan Provinsi).
Sistem surveilans DBD secara nasional berbasis data yang diperoleh dari laporan bulanan
data kasus dan kematian DBD Rumah Sakit.
1) Rate insidens Kota Tengerang adalah sangat tinggi (merah), tetapi jumlah RS yang
melapor rendah (merah), sehingga laporan rate insidens tidak bisa dipercaya
2) Rate insidens Serang adalah rendah (hijau), dan ini dipercaya karena jumlah RS yang
melapor tinggi juga (hijau)
3) Secara cepat, berdasarkan kelengkapan laporan Rumah Sakit ini, dapat diketahui
Kabupaten/Kota yang perlu mendapatkan prioritas perbaikan peningkatan kinerja
surveilans, yaitu Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan dan Cilegon (merah)
Kelengkapan laporan biasanya dihitung untuk periode waktu setahun, tetapi seringkali
kelengkapan laporan juga perlu dihitung pada saat pelaporan itu dilaporkan, tergantung periode
waktu pelaporan. Indikator kinerja berdasarkan kelengkapan laporan pada saat pelaporan ini,
sering digunakan pada penyelenggaraan surveilans untuk keperluan pemantauan ketat, seperti
pewantauan wilayah setempat, surveiilans pada waktu terjadi KLB dsb. Seberapa ketat
dilaksanakan, tergantung kebutuhan masing-masing situasi, bisa tiap hari, tiap bulan atau yang
paling sering adalah tiap minggu.
Contoh:
Pada Laporan Bulanan Data Kesakitan DBD, laporan dibuat dan dikirimkan oleh Rumah
Sakit ke Dinas Kesehatan Kab/Kota setiap bulan. Contoh laporan sebagai berikut :
Berdasarkan data tersebut diatas dapat disusun gambaran kurva bulanan Data Kasus DBD
Kota Tangerang Selatan, 2010, dan kelengkapan laporannya dapat dicermati pada grafik dibawah
ini.
Sepintas dapat dilihat, kurva kasus DBD menurut Bulan Kejadian pada bulan Agustus,
September dan Oktober sebetulnya lebih tinggi, karena ini hanya berdasarkan data laporan
Rumah Sakit dengan kelengkapan <80% dari seluruh Rumah Sakit yang harusnya melapor.
Pada kurva perkembangan kasus yang ketat, seperti pada pemantauan wilayah setempat
ini, seringkali disebutkan batas kritis kelengkapan laporan sebagai indikator kinerja surveilans
yang menyatakan untuk berhati-hati melakukan analisis data, jika kelengkapan laporan berada
dibawah batas kelengkapan yang diharapkan.
Secara operasional, ketepatan waktu laporan sering diartikan sebagai tanggal waktu
laporan harus sudah diterima. Misal, laporan bulanan data kesakitan Puskesmas diterima di
Dinas Kesehatan Kota selambat-lambatnya tanggal 5 bulan berikutnya.
Pelaporan dan atau penggabungan data pada periode waktu yang bukan waktu kejadian
seharusnya, dapat mengacaukan pola kurva dari data surveilans yang akan dianalisis. Oleh
karena itu, data surveilans sebaiknya dikirimkan selalu tepat waktu, jika terlambat, jangan
digabungkan dengan data surveilans waktu berikutnya, tetapi tetap dikirim sebagai data
surveilans periode waktu yang seharusnya.
Unit Sumber Data, misalnya Rumah Sakit atau puskesmas, mendapat kasus berdasarkan
data kunjungan berobat, atau kunjungan lain, dan kemudian diperiksa dan didiagnosis oleh
dokter. Oleh karena itu, terdapat makna keakuratan : keakuratan data sebagai ketepatan
diagnosis, dan keakuratan data sebagai ketepatan jumlah kasus yang diidentifikasi, direkam dan
dilaporkan oelh sumber data (misal Rumah Sakit). Untuk mengetahui kualitas keakuratan jumlah
kasus dan diagnosis dilakukan dengan wawancara (kualitatif) dan observasi kegiatan di lapangan
serta membuka pencatatan kasus-kasus yang datang ke unit pelayanan.
Kasus-kasus yang telah didiagnosis oleh dokter, semestinya terekam dan dilaporkan
sebagai kasus, tetapi seringkali kasus-kasus ini tidak terlaporkan:
1. Telah didiagnosis dokter, tetapi tidak tertuliskan diagnosisnya di buku register
2. Telah didiagnosis, dan tercatat dalam buku register, tetapi terlewatkan
Pada surveilans AFP tersebut, jumlah kasus AFP yang diharapkan ditemukan adalah
estimasi jumlah kasus AFP yang ada pada suatu populasi pertahun.
5.1 Kesimpulan
Ilmu bedah didefinisikan sebagai salah satu disiplin ilmu yang berkaitan dengan pengobatan
dan penatalaksanaan berbagai macam penyakit dengan cara pembedahan atau operasi.
5.2 Saran
kesehatan yang mereka hadapi agar dapat dicarikan aletrnatif dan solusi untuk
permasalahan tersebut. (WHO, 2006).Lemahnya sistem investigasi dan surveilans di negara
berkembang untuk penyakit bawaan makanan menyebabkan angka kasus yang tinggi atau berita
mengenai KLBtersebut jarang ditemui, tetapi hal ini menggugah kewaspadaan negara diseluruh
duniatentang potensi masalah yang membayangi dibidang keamanan makanan dan potensi
peningkatan serta penyebaran penyakit bawaan makanan. (WHO, 2006).Oleh karena itu, masih
banyak diperlukan pembenahan pada pelaksanaan programsurveilans agar dapat ditingkatkan
derajat kesehatan individu, keluarga, dan masyarakatsecara umum. (WHO, 2006).
DAFTAR PUSTAKA
Bensimon CM, Upshur REG (2007). Evidence and effectiveness in decisionmaking for
quarantine. Am J Public Health;97:S44-48.
Conceptual framework of public health surveillance and action and its application in health
sector reform. BMC Public Health, 2:2 http://www.biomedcentral. com. Diakses pada
tanggal 25 September 2013
DCP2 (2008). Public health surveillance. The best weapon to avert epidemics. Disease Control
Priority Project. www.dcp2.org/file/153/dcpp-surveillance.pdf. Diakses pada tanggal 25
September 2013
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 1479/Menkes/SK/X/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem
SurveilensEpidemiologi Penyakit Menular dn Penyakit Tidak Menular, Jakarta, 2004.
http://www.hukor.depkes.go.id/
up_prod_kepmenkes/KMK/No./1479/ttg/Pedoman/Peneyelenggaraan/Sistem/Surveilans/
Epidemiologi/Penyakit/Menular/Dan/Penyakit/Tidak/Menular/Terpadu.pdf. Diakses pada
tanggal 26 September 2015
Irwanto,Roim A, Sudarmo SM. 2002. Diare akut anak dalam ilmu penyakit anak diagnosa dan
penatalaksanaan ,Ed Soegijanto S : edisi ke 1. Salemba Medika: jakarta
Journal of Urban Health: Bulletin of the New York Academy of Medicine, 80 (Suppl 1): i107-
i114(1).
UNICEF. 2009. Diarhoea: Why children are still dying and what can be done.
Wardhana, W. 2001. Dampak Pencemaran Lingkungan. Penerbit Andi Offset. Yogyakarta
WHO, 1996, Guidelines for Drinking-Water Quality, V.2.: Health Criteria and Other Supporting
Information, Snd Edition, Geneva