06 - Makalah Critical Ill
06 - Makalah Critical Ill
06 - Makalah Critical Ill
Critical Ill
Dosen Pengampu
Kusdalinah,SST., M. Gizi
Disusun Oleh :
Kelompok 6 / D4 Gizi 3B
Nama Kelompok :
1. Melati Anggraini P05130219063
2. Novriza Sukmawati P05130219022
3. Olivia Dinda Santika P05130219066
Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
telah melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga saya mampu
menyelesaikan tugas makalah ini guna memenuhi tugas mata Critical Ill. Semoga makalah
ini dapat dipergunakan sebagai satu acuan, dalam kegiatan belajar mengajar, sehingga
mampu mencapai kompetensi yang diharapkan.
Terima kasih kami ucapkan kepada teman-teman yang telah berkontribusi dengan
memberikan ide-idenya sehingga kami ini dapat disusun dengan baik dan rapi. Semoga
makalah ini dapat membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca,
sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat
lebih baik.
Makalah ini kami akui masih terdapat banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Oleh
karena itu saya harapkan kepada peda pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang
bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................................i
BAB I : PENDAHULUAN
B. Tujuan.............................................................................................................................
BAB II : PEMBAHASAN
A. Definisi MNT..................................................................................................................
A. Kesimpulan.....................................................................................................................
B. Saran...............................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perawatan di ruang ICU merupakan unit perawatan yang memiliki tinggi mortalitas
yang tinggi di setiap rumah sakit (Provost dan Goeschel, 2006). Setiap tahun terdapat
54,5 juta orang meninggal di dunia (WHO, 2014). World Health Organization (WHO)
dan World Bank memperkirakan, 12 juta penduduk indonesia di diagnosa menderita
penyakit kritis tahun 2011 (WHO, 2013). Mortalitas pada usia 15-60 tahun di indonesia
tahun 2011 mencapai 366/1000 populasi dengan jumlah laki-laki sebesar 200 orang dan
perempuan sebesar 166 orang (WHO, 2013). Pasien ICU kritis dan komplek
mengakibatkan tingginya mortalitas dan biaya selama pasien di rawqat di ICU.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
3. Mengetahui apa saja dan bentuk formulir skrining pada pasien kritis
BAB II
ISI
Medical Nutrition Therapy (MNT) adalah penggunaan layanan nutrisi khusus untuk
mengobati penyakit, cedera, atau kondisi. Medical Nutrition Therapy dapat diartikan
dalam bahasa indonesia yakni terapi nutrisi medis adalah terapi yang mengacu pada
penilaian status gizi pasien dengan penyakit, kondisi terkait diet atau cedera untuk
memberikan manfaat bagi kesehatan pasien sendiri dan mengurangi biaya perawatan
kesehatan. Itu diperkenalkan pada tahun 1994 oleh American Dietetic Association untuk
lebih mengartikulasikan proses terapi nutrisi. Ini melibatkan penilaian status gizi klien
dan perawatan aktual, yang meliputi terapi nutrisi, konseling, dan penggunaan suplemen
nutrisi khusus, dirancang dan dipantau oleh dokter dokter atau ahli gizi ahli gizi terdaftar
( RDN). Ahli diet terdaftar mulai menggunakan MNT sebagai intervensi diet untuk
mencegah atau mengobati kondisi kesehatan lain yang disebabkan oleh atau diperburuk
oleh kebiasaan makan yang tidak sehat.
Tujuan MNT adalah untuk mengidentifikasi pasien yang berisiko mengalami masalah
kesehatan terkait nutrisi utama dan merekomendasikan penyesuaian pola makan yang
mengarah pada hasil kesehatan yang lebih baik dan peningkatan kualitas hidup. MNT
juga digunakan untuk mengobati gangguan seperti anoreksia dan bulimia nervosa, cystic
fibrosis, sindrom iritasi usus, hiperlipidemia, kesulitan dengan pencernaan laktosa, tukak
lambung, sariawan (sindrom malabsorpsi) dan (pada anak-anak) gagal tumbuh. Nutrisi
yang memadai sangat penting untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas dan kondisi
akut atau kronis lainnya.
Belum diketahui berapa lama pasien dengan sakit kritis mampu mentoleransi
kekurangan nutrisi tanpa komplikasi. Penipisan jaringan mulai terjadi hari ke 14 pada
kondisi kelaparan, hal ini yang menjadi dasar rekomendasi dimana dukungan nutrisi
dapat dimulai pada pasien yang tidak bisa makan untuk waktu 7–10 hari. Kebutuhan
dukungan nutrisi ditentukan berdasarkan keseimbangan antara cadangan energi
endogen tubuh dengan besarnya stres. penanda klinis terbaik dari stres adalah demam
lekositosis, hipoalbumin, dan keseimbangan nitrogen yang negatif.
Tujuan dari penilaian status nutrisi adalah untuk mengidentifikasi tipe dan derajat
malnutrisi, sehingga dapat dilakukan tindakan yang rasional. Persentasi kehilangan berat
badan 6 bulan terakhir, level serum albumin, dan nilai total limfosit juga sering
digunakan untuk menilai status nutrisi. Penurunan berat badan sebanyak 10% atau 10 lbs
selama 12 bulan merupakan indikator dari malnutrisi kalori protein, akibat dari asupan
kalori yang tidak adekuat. Malnutrisi hipoalbuminemia atau kwashiorkor terjadi akibat
stres berat atau malnutrisi berat. Albumin bukan merupakan indikator yang sensitif dari
malnutrisi pada pasien di ICU karena sintesa albumin dipengaruhi oleh berbagai macam
faktor selain status nutrisi seperti kehilangan protein dalam waktu yang lama, gangguan
fungsi hati, dan infeksi atau inflamasi akut.
Pada pasien sakit kritis nilai normal konsentrasi albumin akan sulit tercukupi karena
perpindahan cairan dalam jumlah besar dan sintesis yang tidak adekuat untuk memenuhi
kebutuhan. Malnutrisi kalori protein dapat ditangani dengan memberikan asupan kalori
yang adekuat. Malnutrisi hipoalbumin efektif dengan terapi nutrisi dan penanganan
faktor stres yang menyebabkan kondisi kataboliknya itu. Kehilangan berat badan 10 lbs
atau 10% dari berat badan merupakan tanda klinis yang penting. Kehilangan berat badan
20–30% menandakan malnutrisi kalori protein sedang, bila lebih dari 30% berarti sudah
terjadi malnutrisi berat. Pengukuran antropometrik (tebal kulit trisep) akurat walaupun
pada pasien dengan kondisi kelebihan cairan.
Pasien dengan berat badan < 85% dari BB ideal atau dengan BMI < 18,5 kg/m2
termasuk kategori malnutrisi sedang, sedangkan malnutrisi berat bila BB < 75% BB
ideal atau BMI < 16 kg/m2. Subjective Global Aseesement (SGA) adalah suatu
metoda untuk mengevaluasi status nutrisi dengan menggunakan parameter anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan gejala klinis. SGA dapat menentukan :
b. pengaruh yang terjadi dari malnutrisi terhadap fungsi organ dan komposisi tubuh,
c. apakah proses penyakit yang terjadi mempengaruhi kebutuhan nutisi atau tidak.
Pada kondisi kelaparan (dengan asupan cairan yang cukup) dan tanpa disertai adanya
stres metabolik, manusia dapat bertahan hidup sekitar 6–10 minggu. Dalam hal kadar
nitrogen total dalam tubuh, apabila terdapat kehilangan sebanyak 350–500 gr maka akan
berpotensi menimbulkan kematian, Dari segi BMI, apabila BMI < 13 kg/m 2 pada
laki- laki dan BMI < 11 kg/m2 pada wanita, maka pada kondisi tersebut tubuh tidak
akan bisa bertahan hidup.
1. Hipermetabolisme
Pada pasien sakit kritis terjadi respons sistemik akibat ketidak seimbangan
antara deliveri oksigen dengan persediaan oksigen pada jaringan yang mengalami
kerusakan. Sepsis menyebabkan kondisi hiper- metabolisme dimana terjadi
akselerasi pemecahan protein untuk proses glukoneogenesis dan pembentukan
asam amino yang diperlukan untuk meningkatkan sintesa protein. Pada tempat
lain seperti otot skelet, hepar, usus dan ginjal kebutuhan oksigen meningkat.
Peningkatan metabolisme ini terutama disebabkan oleh adanya inefisiensi
penggunaan glukosa pada jaringan yang rusak
Glukosa merupakan sumber energi utama pada jaringan yang rusak, untuk
memperbaiki jaringan dan proses imunitas. Contohnya adalah aktivitas sel PMN
sebagai komponen sistem imun dan sel fibroblas yang berperan dalam proses
penyembuhan, dalam keadaan anaerob, menjadi sangat bergantung pada glukosa
sebagai sumber energi. Glukosa diperoleh dari asupan makanan dan
glukoneogenesis. Sumber utama untuk proses glukoneogenesis ini adalah
gliserol dari lipolisis, alanin dari proteolisis dan laktat dari glikolisis anaerob.
Pemberian glukosa atau karbohidrat pada pasien sakit berat hanya sedikit
pengaruhnya dalam menurunkan kecepatan glukoneogenesis. Walaupun terjadi
penurunan penggunaan glukosa, pemberian glukosa dari luar tetap diperlukan
oleh karena beberapa jaringan hanya dapat menggunakan sumber energi berupa
glukosa dan pemberian glukosa merangsang sekresi insulin sebagai hormon
anabolik yang merangsang sintesa protein dan mencegah lipolisis.
Penggunaan beberapa karbohidrat non glukosa telah diteliti akan tetapi belum
ada hasil yang memuaskan. Pemberian sorbitol, fruktosa dan xylitol tidak
memuaskan. Gliserol memberikan hasil yang baik, akan tetapi jumlah yang dapat
diberikan sangat terbatas.
Pada pasien sakit kritis, salah satu ciri dari respons metabolik pada pasien
kritis adalah katabolisme (negative nitrogen balance). Pada keadaan ini terjadi
proses proteolisis dari otot skelet menjadi alanin yang digunakan sebagai substrat
untuk glukoneogenesis di hepar. Karena itu terjadi peningkatan urea nitrogen
dalam urin yang terutama dihasilkan oleh pemecahan protein otot. Jumlah
ekskresi nitrogen ini berbanding lurus dengan derajat kerusakan jaringan. Selain
akibat pengaruh stres hormon, peningkatan pemecahan protein juga disebabkan
oleh TNF-α, IL-1, IL- 6 dan interferon-γ. Glutamin, alanin, dan asam amino
lainnya dimobilisasi dari otot skelet ke sel hepar dan mukosa usus. Beberapa
komponen yang berperan dalam metabolisme protein yakni :
b. Glutamin, merupakan salah satu asam amino yang berlimpah dalam sirkulasi
juga memegang peranan penting dalam metabolisme sakit kritis, karena
menjadi sumber energi pembelahan sel dan transport nitrogen antar sel. Glutamin
juga berperan dalam proses pembentukan ammonia oleh ginjal untuk
menetralisir kelebihan asam akibat peningkatan degradasi protein.
1. APACHE
Skor acute physiology and chronic health evaluation (APACHE) merupakan
salah satu skor penilaian penyakit kritis yang banyak dipakai di ICU yang berdasar
pada nilai-nilai objektif fisiologis dari variabel-variabel yang diukur selama
perawatan. Skor ini merupakan model yang baik dalam menentukan prediksi
mortalitas dalam rumah sakit. Skor APACHE memberikan gambaran keadaan pasien
sebelum masuk ICU dan juga memberikan gambaran luaran pasien dan lama
perawatan. Penilaian APACHE dilakukan dalam kurun waktu 24 jam pertama di
ICU.
Lama perawatan di ICU merupakan salah satu indikator penting dalam
penilaian efektivitas pelayanan ICU dan bermanfaat untuk memberikan gambaran
kebutuhan sumber daya, tenaga kerja, dan biaya yang diperlukan di ICU. Peningkatan
lama perawatan berhubungan dengan peningkatan risiko infeksi, komplikasi, angka
mortalitas, serta beban biaya dan beban mental pasien, keluarga dan juga rumah sakit.
Indikator lama perawatan pasien dapat memberikan gambaran performa ICU.
Skor APACHE, luaran, dan lama perawatan adalah indikator yang penting
pada pelayanan kesehatan di ICU. Skor APACHE dapat menggambarkan keadaan
pasien sebelum masuk ICU. Luaran dan lama perawatan dapat menunjukkan
performa ICU. Gambaran skor APACHE, luaran, dan lama perawatan di daerah lain,
serta di waktu lain dapat berbeda. Hal ini perlu dibandingkan untuk peningkatan
pelayanan di ICU.
Tabel 1 Sistem Skoring APACHE
2. SOFA
Sistem skoring SOFA digunakan untuk menggambarkan tingkat disfungsi
organ yang terkait dengan sepsis maupun bukan karena sepsis. Sistem skoring SOFA
menggunakan tingkat keparahan enam disfungsi organ termasuk hepar,
kardiovaskular, respirasi, koagulasi, ginjal, dan sistem saraf pusat, diberi nilai
masing-masing 0-4 kemudian dijumlah untuk memberikan skor akhir, dengan skor
minimum 6 dan skor maksimum 24. Sistem Skoring SOFA ini memiliki 6 variabel
yaitu variabel PaO2/FiO2, platelet, bilirubin, GCS, serum kreatinin, selain itu juga
mengukur kardiovaskular dari ada atau tidaknya hipotensi. Skoring SOFA tidak
hanya dinilai pada satu saat saja, namun dapat dinilai berkala dengan melihat
peningkatan atau penurunan skornya. Variabel parameter penilaian dikatakan ideal
untuk menggambarkan disfungsi atau kegagalan organ.
3. qSOFA
Menurut panduan Surviving Sepsis Campaign (SSC) 2017, identifikasi sepsis
segera tanpa menunggu hasil pemeriksaan darah dapat menggunakan skoring qSOFA.
Sistem skoring ini merupakan modifikasi Sequential (Sepsis-related) Organ Failure
Assessment (SOFA). qSOFA hanya terdapat tiga komponen penilaian yang masing-
masing bernilai satu. Skor qSOFA ≥2 mengindikasikan terdapat disfungsi organ. Skor
qSOFA direkomendasikan untuk identifikasi pasien berisiko tinggi mengalami
perburukan dan memprediksi lama pasien dirawat baik di ICU atau non-ICU.2,10
Pasien diasumsikan berisiko tinggi mengalami perburukan jika terdapat dua atau
lebih dari 3 kriteria klinis. Untuk mendeteksi kecenderungan sepsis dapat dilakukan
uji qSOFA yang dilanjutkan dengan SOFA.
Tabel 3 Sistem Skoring qSOFA
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nutrisi menjadi sangat penting pada pasien sakit berat dimana ancaman
terhadap defisiensi nutrisi kemungkinan besar terjadi. Pada keadaan inilah nutrisi
menjadi bagian dari suatu terapi medikal klinis. Dengan berkembangnya pengetahuan
tentang nutrisi memungkinkan kita untuk memahami proses metabolik yang terjadi
selama sakit dan dapat mengurangi ataupun mencegah morbiditas dan mortalitas
akibat berlangsungnya proses metabolik yang terjadi selama sakit dengan berbagai
komplikasinya.
Sepsis merupakan disfungsi organ yang mengancam nyawa (lifethreatening)
yang disebabkan oleh disregulasi dari respons tubuh terhadap adanya infeksi.
Diagnosis dini dan penanganan segera akan memberikan hasil yang baik. Pada
definisi terbaru istilah SIRS dan sepsis berat sudah ditinggalkan, dan
direkomendasikan Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) scoring dan quick
SOFA (qSOFA) sebagai alatdiagnostik sepsis. Disfungsi organ dapat diidentifikasi
sebagai perubahan akut pada skor total SOFA (Sequential (Sepsis-related) Organ
Failure Assessment) ≥2 sebagai konsekuensi dari adanya infeksi. Skor SOFA
meliputi 6 fungsi organ, yaitu respirasi, koagulasi, liver, kardiovaskuler, sistem saraf
pusat, dan ginjal. Pada Surviving Sepsis Campaign (SSC) 2016, identifikasi sepsis
segera tanpa menunggu adanya hasil pemeriksaan darah dapat menggunakan skoring
qSOFA. Sistem skoring ini merupakan modifikasi dari Sequential (Sepsis-related)
Organ Failure Assessment (SOFA). qSOFA hanya terdapat tiga komponen, yaitu
pernapasan, tekanan darah sistolik, dan status mental
Tujuan pemberian nutrisi pada pasien sakit berat adalah untuk mengurangi
kehilangan depot nutrisi tubuh, mengurangi kehilangan jaringan akibat proses
katabolisme dan memelihara serta memperbaiki fungsi organ seperti ginjal, hepar,
otot dan fungsi imunitas. Tujuan spesifik dari pemberian nutrisi ini adalah untuk
memperbaiki penyembuhan luka, mengurangi infeksi, mempertahankan mukosa usus
(mengurangi translokasi bakteri) dan mengurangi morbiditas serta mortalitas. Semua
ini berpengaruh dalam menurunkan lama dan biaya perawatan di rumah sakit.
B. Saran
Diharapkan setiap rumah sakit yang menangani pasien kritis atau pasien yang
memerlukan pertolongan secepat mungkin perlukan dilakukannya identifikasi pasien
dengan dugaan infeksi yang beresiko tinggi untuk kematian di rumah sakit dan di
luar ruang ICU. Skrining dapat membantu meningkatkan kecurigaan atau kesadaran
akan proses infeksi yang parah dan cepat untuk dilakukan pengujian lebih lanjut atau
pemantauan pasien lebih dekat
DAFTAR PUSTAKA
Putra, I Made Prema. 2018. Pendekatan Sepsis dengan Skor SOFA. Dokter PTT Dinas
Kesehatan Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. CDK-267/vol. 45.
No. 8. Th. 2018
Fauziyah H T A, Bambang P S dkk. 2021. Analisis sistem skoring APACHE II dan
SOFA terhadap outcome di Intensive Care unit RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
Jurnal Anestesiologi. Vol 13, No 2, th 2021
Hill Aileen dkk. 2021. Nutrition in the intensive care unit-a narrative review.
Nutrients. 2021,13,2851
Ibnu, dkk. 2014. Terapi Nutrisi pada Pasien ICU. Medica Hospitalia. vol 2 (3) : 140-
148
LAMPIRAN
KASUS
Seorang perempuan berusia 50 tahun dibawa ke Unit Gawat Darurat dengan sesak dan
lemas sejak 6 jam. Tiga hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh nyeri pinggang kiri
dan demam menggigil disertai mual, namun pasien tidak berobat medis hanya minum obat
tradisional. Keluhan dirasakan memberat sehingga dibawa ke rumah sakit. Riwayat penyakit
sebelumnya tidak diketahui. Riwayat pengobatan dikatakan tidak ada. Riwayat penyakit
keluarga juga tidak diketahui.
Pasien datang dengan keadaan umum sakit berat, kompos mentis, tekanan darah 60/40
mmHg, laju pernapasan 28 kali per menit, nadi takikardia 120 kali per menit lemah reguler,
suhu tubuh aksila 38,4 ºC, dengan saturasi oksigen 90-91%. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan tidak anemis, tidak ikterus, reflek pupil +/+ 3 mm/3 mm, pembesaran kelenjar
getah bening tidak ada, tekanan vena jugularis normal, suara jantung reguler tidak ada
murmur, suara paru vesikuler tidak ada ronkhi ataupun wheezing, pada pemerikaan abdomen
didapatkan nyeri ketok CVA kiri, akral dingin, dan tidak ada edema.
Pemeriksaan laboratorium tidak dapat dikerjakan langsung, dilakukan pemeriksaan
rekam jantung dengan hasil normal ritme sinus dan pemeriksaan gula darah acak
menggunakan rapid test 92 g/dL. Assessment awal yaitu suspek syok sepsis dengan diagnosis
banding syok hipovolemik. Dilakukan resusitasi awal dengan oksigen 4 liter per menit per
nasal kanul, cairan RL 1500 mL, dan ceftriaxone 1 g intravena setiap 12 jam. Pemeriksaan
tanda vital dilakukan berkala setiap 15 menit di UGD, cairan 1500 mL telah diberikan,
tekanan darah masih 60/40 (MAP 47) mmHg; diberikan dopamine mulai dosis 3
mcg/kgBB/menit untuk mencapai MAP ≥65 mmHg. Pasien juga diberi ranitidine 2 x 50 mg
iv dan paracetamol oral 3 x 500 mg.
Pemeriksaan laboratorium setelah 3 jam resusitasi dengan hasil leukositosis
13.700/mL, trombositopenia 76.000/mL, kreatinin 3,80 mg/dL, ureum 89,2 mg/dL, bilirubin
total 0,42 mg/dL, bilirubin direk 0,21 mg/dL, bilirubin indirek 0,21 mg/dL. Elektrolit kalium
3,47 mmol/L, natrium 131,36 mmol/L, klorida 96,14 mmol/L. Pemeriksaan urin lengkap:
leukosit
+2, protein +1, pH 5.5, bilirubin +2. Penilaian skor SOFA awal yaitu 7 (tanpa pemeriksaan
analisis gas darah fraksi oksigen).
3 Hepar, Bilirubin, < 1,2 1,2 - 1,9 2,0 - 5,9 6,0 - 11,9 >12,0 0
mg/dL
4 Kardiovaskular MAP ≥ MAP < Dopamin < 5 Dopamin 5,1 – 15 Dopamin > 15 1
70 70 atau atau Epinefrin ≤ atau Epinefrin >
mmHg mmHg Dobutamin 0,1 atau 0,1 atau
(dosis norepinefrin ≤ 0,1 norepinefin >
berapapun) µg/kg/menit 0,1 µg/kg/menit
6 Renal, Kreatinin, < 1,2 1,2 - 1,9 2,0 - 3,4 3,5 - 4,9 < 500 >5,0 < 200 3
mg/dL, urine
output, mL/haro
Total Skor 7
Tekanan darah mencapai 100/60 (MAP 70) mmHg dengan dopamine dosis 5
mcg/kgBB/ menit. Pasien menolak dirujuk ke Rumah Sakit Umum Daerah untuk dirawat di
Intensive Care Unit (ICU) karena kendala biaya, pasien dipindahkan ke ruang perawatan
biasa dan diobservasi setiap 30 menit. Selama 3 jam tekanan darah stabil dengan tekanan
darah terakhir 110/70 (83) mmHg, dosis dopamine diturunkan menjadi 3 mcg/kgBB/menit.
Tanda vital dipantau setiap 30 menit, tekanan darah sempat turun hingga 80/50 mmHg (60)
mmHg namun kembali stabil dengan dopamine 3 mcg/kgBB/menit, pasien masih sesak
dengan laju pernapasan 24-28 per menit.
Pada hari ke-2 perawatan pasien sesak napas berkurang. Tekanan darah berkisar
90/60mmHg – 110/80 mmHg dengan dopamine 3 mcg/kgBB/menit, laju pernapasan 24-26
kali/menit, suhu aksila 37,9ºC. Pemeriksaan laboratorium ulang leukositosis 16.800/mL, Hb
8,8 g/dL, trombositopenia 39.000/mL, kreatinin 4,80 mg/dL, ureum 184,6 mg/dL, bilirubin
total 0,38 mg/dL, bilirubin direk 0,22 mg/dL, bilirubin indirek 0,16 mg/ dL. Skor SOFA yaitu
8. Terapi ditambah dengan ciprofloxacin 2 x 200 mg iv, dopamine dihentikan, dilakukan
observasi tiap 2 jam.
No Sistem Organ SOFA score
0 1 2 3 4 Nilai
1 Respiratory,PO2/ ≥ 400 < 400 < 300 (40) < 200 (26,7) < 100 (13,3) -
FiO2, mmHg (kPa) (53,3) (53,3) dengan bantuan dengan bantuan
respirasi respiras
3 Hepar, Bilirubin, < 1,2 1,2 - 1,9 2,0 - 5,9 6,0 - 11,9 >12,0 0
mg/dL
4 Kardiovaskular MAP ≥ MAP < Dopamin < 5 Dopamin 5,1 – 15 Dopamin > 15 2
70 70 atau atau Epinefrin ≤ atau Epinefrin >
mmHg mmHg Dobutamin 0,1 atau 0,1 atau
(dosis norepinefrin ≤ 0,1 norepinefin >
berapapun) µg/kg/menit 0,1 µg/kg/menit
6 Renal, Kreatinin, < 1,2 1,2 - 1,9 2,0 - 3,4 3,5 - 4,9 < 500 >5,0 < 200 3
mg/dL, urine
output, mL/haro
Total Skor 8
Pada hari ke-3 perawatan demam naik turun, pinggang kiri sedikit nyeri, sesak tidak
ada. Tekanan darah stabil 100/70 (80) mmHg, laju pernapasan 22 kali per menit, suhu
tubuhaksila 38,0ºC. Pemeriksaan laboratorium ulang leukositosis 19.000/mL, Hb 9,2 g/dL,
trombositopenia 63.000/mL, kreatinin 5,02 mg/dL, ureum 223,0 mg/dL, bilirubin total 0,38
mg/dL, bilirubin direk 0,20 mg/dL, bilirubin indirek 0,18 mg/dL. Dilakukan penilaian skor
SOFA 6. Terapi dilanjutkan.
No Sistem Organ SOFA score
0 1 2 3 4 Nilai
1 Respiratory,PO2/ ≥ 400 < 400 < 300 (40) < 200 (26,7) < 100 (13,3) -
FiO2, mmHg (kPa) (53,3) (53,3) dengan bantuan dengan bantuan
respirasi respiras
3 Hepar, Bilirubin, < 1,2 1,2 - 1,9 2,0 - 5,9 6,0 - 11,9 >12,0 0
mg/dL
4 Kardiovaskular MAP ≥ MAP < Dopamin < 5 Dopamin 5,1 – 15 Dopamin > 15 0
70 70 atau atau Epinefrin ≤ atau Epinefrin >
mmHg mmHg Dobutamin 0,1 atau 0,1 atau
(dosis norepinefrin ≤ 0,1 norepinefin >
berapapun) µg/kg/menit 0,1 µg/kg/menit
6 Renal, Kreatinin, < 1,2 1,2 - 1,9 2,0 - 3,4 3,5 - 4,9 < 500 >5,0 < 200 4
mg/dL, urine
output, mL/haro
Total Skor 6
Pada hari ke-5 perawatan pasien mengeluh lemas. Tekanan darah stabil 110/70 (83)
mmHg, laju pernapasan 20 kali per menit, suhu aksila 36,8ºC. Pemeriksaan laboratorium
ulang leukositosis 12.500/mL, Hb 9,0 g/ dL, trombositopenia 124.000/mL, kreatinin 2,91
mg/dL, ureum 82,0 mg/dL, bilirubin total 0,40 mg/dL, bilirubin direk 0,22 mg/dL, bilirubin
indirek 0,18 mg/dL. Skor SOFA yaitu 3. Antibiotik diganti dengan levofloxacin oral 1x500
mg, terapi lain dilanjutkan.
No Sistem Organ SOFA score
0 1 2 3 4 Nilai
1 Respiratory,PO2/ ≥ 400 < 400 < 300 (40) < 200 (26,7) < 100 (13,3) -
FiO2, mmHg (kPa) (53,3) (53,3) dengan bantuan dengan bantuan
respirasi respiras
3 Hepar, Bilirubin, < 1,2 1,2 - 1,9 2,0 - 5,9 6,0 - 11,9 >12,0 0
mg/dL
4 Kardiovaskular MAP ≥ MAP < Dopamin < 5 Dopamin 5,1 – 15 Dopamin > 15 0
70 70 atau atau Epinefrin ≤ atau Epinefrin >
mmHg mmHg Dobutamin 0,1 atau 0,1 atau
(dosis norepinefrin ≤ 0,1 norepinefin >
berapapun) µg/kg/menit 0,1 µg/kg/menit
6 Renal, Kreatinin, < 1,2 1,2 - 1,9 2,0 - 3,4 3,5 - 4,9 < 500 >5,0 < 200 2
mg/dL, urine
output, mL/haro
Total Skor 3
Pada hari ke-6 perawatan pasien tidak ada keluhan lagi, tanda vital dalam batas
normal, pasien diperbolehkan pulang dengan obat oral levofloxacin 1 x 500mg, paracetamol
3 x 500 mg.
Kasus
Seorang pasien laki-laki 40 tahun, berat badan 60 kg, dirawat di ICU atas indikasi
bronchopneumonia dan sepsis memerlukan ventilator mekanik dan TPN. Temperatur tubuh
38,5°C.
• Kebutuhan kalori = 30 Kcal x 60 = 1.800 kcal/hari.
• Ratio calori : nitrogen = 150 : 1 = 12 g nitrogen (6,25 x 12 g protein = 75 g protein).
• Kebutuhan cairan = 30 mL/kg/hari x 60 = 1800 mL/hari
• Kenaikan suhu = Kebutuhan cairan + 500 mL = 1800 mL/hari + 500 mL = 2300 mL/
hari.
• Kebutuhan elektrolitnya natrium= 1 mmol/ kg/hari x 60 = 60 mmol,
• kalium = 1 mmol/kg/hari x 60 = 60 mmol,
• Fosfat = 20 mmol.
• Komposisi nutrisi: maximal karbohidrat yang diperbolehkan perhari adalah
= 4 mg/kg/menit = 4 x 60 = 240 mg/menit = 14,4 gr/jam = 345,6 gr/hari,
total kalori dari karbohidrat yang diperbolehkan = 345,6 x 4 Kcal = 1382,4 Kcal / hari.
• Protein = 1,5 x 60 = 75 gr/hari (ratio calori : nitrogen = 150 :1)
• Lipid = 40% x 1800 = 720 Kcal = 80 gr/hari (kebutuhan minimal EFA/hari sudah
tercapai).
• TPN :
KH 1,1 Kcal/mL = 1080/1,1 = 981 mL ~1000 mL,
Lipid 20% = 720/2 = 360 mL (setiap 1 mL lipid mengandung 2 Kcal),
Protein 10% = 75/0,1 = 750 mL.
Total cairan dari TPN = 1000 + 360 + 750 = 2110 mL.