Tugas
Tugas
Tugas
NIM : 31618801
URL :
https://journal.universitassuryadarma.ac.id/index.php/jihd/article/download/110/107
Hukum perlindungan konsumen dewasa ini mendapat cukup perhatian, karena menyangkut
aturan-aturan guna mensejahterakan masyarakat, bukan saja masyarakat selaku konsumen yang
mendapat perlindungan, namun pelaku usaha juga mempunyai hak yang sama untuk mendapat
perlindungan, masing- masing ada hak dan kewajibannya. Pemerintah berperan mengatur,
mengawasi, dan mengontrol, sehingga tercipta sistem yang kondusif saling berkaitan satu dengan
lain dengan demikian tujuan mensejahterakan masyarakat secara luas dapat tercapai.
Perlindungan terhadap konsumen dipandang secara material maupun formal makin terasa sangat
penting, mengingat makin lajunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan motor
penggerak bagi produktivitas dan efisiensi produsen atas barang atau jasa yang dihasilkan dalam
rangka mencapai sasaran usaha. Dalam rangka mengejar dan mencapai kedua hal tersebut,
akhirnya baik langsung atau tidak langsung, konsumenlah yang pada akhirnya merasakan
dampaknya. Dengan demikian, upaya-upaya untuk memberikan perlindungan yang memadai
terhadap kepentingan konsumen merupakan suatu hal yang penting dan mendesak untuk segera
dicari solusinya, terutama di Indonesia mengingat sedemikian kompleksnya permasalahan yang
menyangkut perlindungan konsumen, lebih-lebih menyongsong era perdagangan bebas yang akan
datang.
Organisasi dunia seperti PBB pun tidak kurang perhatiannya terhadap masalah Perlindungan
Konsumen, Hal ini terbukti dengan dikeluarkannya Resolusi PBB No. 39/248 Tahun 1985. Dalam
Tidak terkecuali Indonesia juga berusaha untuk memberikan perlindungan konsumen dengan cara,
salah satu diantaranya yaitu membentuk Undang- undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen( selanjutnya disingkat UUPK) Perlindungan konsumen di Indonesia sangat penting
dapat dilihat pada UUPK bagian menimbang, antara lain: bahwa pembangunan nasional bertujuan
untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual dalam
era demokrasi ekonomi berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945; bahwa
pembangunan perekonomian nasional pada era globalisasi harus dapat mendukung tumbuhnya
dunia usaha sehingga mampu menghasilkan beraneka barang dan/jasa yang memiliki kandungan
teknologi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat banyak dan sekaligus mendapatkan
kepastian atas barang dan / jasa yang diperoleh dari perdagangan tanpa mengakibatkan kerugian
konsumen; bahwa semakin terbukanya pasar nasional sebagai akibat dari proses globalisasi
ekonomi harus tetap menjamin peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kepastian atas mutu,
jumlah dan keamanan barang dan/atau jasa yang diperolehnya di pasar; bahwa untuk
meningkatkan harkat dan martabat konsumen perlu meningkatkan kesadaran, pengetahuan,
kepedulian, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi dirinya serta
menumbuhkembangkan sikap perilaku usaha yang bertanggung jawab; bahwa ketentuan hukum
yang melindungi kepentingan konsumen di Indonesia belum memadai diperlukan perangkat
peraturan perundang-undangan untuk mewujudkan keseimbangan perlindungan kepentingan
konsumen dan pelaku usaha sehingga tercipta perekonomian yang sehat.
Menurut Pasal 1 angka (2) UUPK menyebutkan bahwa “Konsumen adalah setiap orang pemakai
barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga,
orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak diperdagangkan”
Pelaku usaha secara umum adalah orang atau badan hukum yang menghasilkan barang-barang
dan/atau jasa dengan memproduksi barang dan/atau jasa tersebut untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat atau konsumen dengan mencari keuntungan dari barang-barang dan/atau jasa tersebut.
Undang- undang perlindungan konsumen (UUPK) tampaknya berusaha
menghindari penggunaan kata “produsen” sebagai lawan dari kata “konsumen”. Sehingga
digunakan kata “pelaku usaha” yang mempunyai makna lebih luas, dimana istilah pelaku usaha
ini dapat berarti juga kreditur (penyedia dana), produsen, penyalur, penjual dan terminologi lain
yang lazim diberikan.
Menurut pasal 1 angka (3) UUPK, yang dimaksud pelaku usaha adalah “Setiap orang perseorangan
atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan
dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia,
baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam
berbagai bidang ekonomi”.15 Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan suatu pengertian yang
dimaksud pelaku usaha adalah seperti yang dimaksud dalam pasal 1 angka (3) UUPK, yaitu setiap
orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan
hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan
kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Sedangkan Konsumen adalah setiap orang
pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri,
keluarga, orang lain maupun makhlukhidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Hak dan kewajiban konsumen
Hak-hak konsumen yang ada dan diakui sekarang bermula dari perkembangan hak- hak konsumen
yang ditegaskan dalam resolusi PBB Nomor 39/248 Tahun 1985 tentang perlindungan konsumen
dan di Indonesia direalisasikan dalam UUPK. Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor
39/248 Tahun 1985 tentang Perlindungan Konsumen (Guidelines for Consumer Protection) juga
1. Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau
jasa;
2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut
sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
3. Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa;
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut;
6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
7. Hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana
mestinya;
9. Hak - hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya.
1. Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan
barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
2. Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
3. Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
4. Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
1. Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan
nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
2. Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak
baik;
3. Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di penyelesaian hukum konsumen;
4. Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen
tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
5. Hak - hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya.
Secara umum perbuatan yang dilarang bagi para pelaku usaha diatur dalam Bab IV UUPK yang
terdiri dari 10 pasal, dimulai dari pasal 8 sampai dengan 17. Ketentuan Pasal 8 UUPK merupakan
satu-satunya ketentuan yang general bagi kegiatan usaha dari para pelaku usaha pabrikan dan
distributor di Indonesia. Larangan tersebut meliputi kegiatan usaha untuk melaksanakan kegiatan
produksi dan/atau perdagangan barang dan jasa yang :
1. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
2. Tidak sesuia dengan berat bersih, isi bersih atau netto dan jumlah dalam hitungan
sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
3. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut
ukuran yang sebenarnya;
4. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana
dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;
5. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya mode, atau
penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau
jasa tersebut;
6. Tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau
promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
7. Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan
yang paling baik atas barang tersebut;
8. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara hala, sebagaimana pernyataan “halal” yang
dicantumkan dalam label;
9. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang,
ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat
sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang
menyurut ketentuan harus dipasang/dibuat;
10. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa
Indonesia sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Secara garis besar larangan yang dikenakan dalam Pasal 8 UUPK tersebut dapat dibagi ke dalam
dua larangan pokok yaitu :
1. Larangan mengenai produk itu sendiri, yang tidak memenuhi syarat atau standar yang layak
untuk dipergunakan atau dipakai atau dimanfaatkan oleh konsumen;
2. Larangan mengenai ketersediaan informasi yang tidak benar dan tidak akurat yang
menyesatkan konsumen.
Namun dalam Pasal 27 UUPK disebutkan bahwa pelaku usaha yang memproduksi barang
dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila :
1. Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau dimaksudkan untuk diedarkan;
2. Cacat barang timbul pada kemudian hari;
3. Cacat timbul akibat tidak ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;
4. Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;
5. Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya
jangka waktu yang diperjanjikan.
Menurut Pasal 18 Ayat (1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan
untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantunkan klausula baku pada setiap
Pada dasarnya tidak seorangpun menghendaki terjadinya sengketa dengan orang lain, tidak
terkecuali dalam kegiatan bisnis khususnya antara produsen dan konsumen. Apabila hal ini terjadi,
maka mengakibatkan kerugian-kerugian kepada pihak-pihak yang bersengketa baik yang berada
pada posisi yang benar maupun pada posisi yang salah. Walaupun demikian, sengketa diantara
mereka kadang-kadang tidak dapat dihindari. Hal ini disebabkan karena adanya kesalahpahaman,
pelanggaran undang-undang, ingkar janji, kepentingan yang berlawanan, kerugian salah satu
pihak.
Pasal 23 UUPK menyebutkan bahwa apabila pelaku usaha pabrikan dan/atau pelaku usaha
distributor menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas
tuntutan konsumen, maka konsumen diberikan hak untuk menggugat pelaku usaha dan
menyelesaikan perselisihan yang timbul melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
atau dengan cara mengajukan gugatan kepada peradilan di tempat kedudukan konsumen tersebut.
Jadi dalam upaya penyelesaian sengketa konsumen menurut UUPK terdapat dua pilihan, yaitu:
Melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha
(dalam hal ini BPSK), atau Melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum
Indonesia telah telah meratifikasi Agreement Establishing the World Trade Organization
(Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) yang mencakup Agreement on Trade
Related Aspects of Intellectual Property Rights (Persetujuan TRIPs) dan telah membentuk
Undang-undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Sebagai konsekuensinya
tentu berkomitmen dalam pelaksanaanya akan selalu memperhatikan perlindungan konsumen.
Namun demikian dalam prakteknya perlindungan hukum terhadap konsumen masih menimbulkan
berbagai permasalahan. Permasalahan tersebut dipengaruhi berbagai faktor, antara lain: yang
berkaitan dengan struktur hukum, substansi hukum, budaya hukum dan aparatur birokrasi. Secara
garis besar kendala atau hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan UUPK adalah: karena tingkat
kesadaran konsumen akan haknya masih rendah; rendahnya pendidikan konsumen; belum ada
pihak yang menyentuh bagaimana mempersiapkan konsumen Indonesia menghadapi pasar bebas;
masih lemahnya pengawasan dibidang standardisasi mutu barang; lemahnya produk perundang-
undangan; persepsi pelaku usaha yang keliru dengan perlindungan konsumen akan menimbulkan
kerugian.
Untuk mengatasi permasalahan- permasalah tersebut, maka perlu dicarikan solusi, antara lain
prasyarat- prasyarat apa yang harus dipenuhi agar era perdagangan bebas bagi konsumen di
Indonesia menjadi anugerah, justru bukan sebaliknya menjadi musibah. Langkah yang ditempuh,
antara lain sebagai berikut :