F44190083 Halomoan Manalu Tugas03
F44190083 Halomoan Manalu Tugas03
F44190083 Halomoan Manalu Tugas03
Subject: Tugas03
i
I PENDAHULUAN
1.2 Rumusan
Berdasarkan masalah yang telah dijelaskan pada latar belakang, ada beberapa
rumusan masalah yang menjadi fokus dalam penelitian ini, yaitu :
1. Bagaimana pengaruh limbah keramik dan abu terbang terhadap kuat tekan
dan daya serap air pada bata beton ?
2. Berapa banyak limbah keramik dan abu terbang yang optimal dalam
pembuatan bata beton ?
3. Bagaimana keuntungan dari penggunaan limbah keramik dan abu terbang
dalam pembuatan bata beton ?
2
1.3 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini yaitu:
1. Mengetahui pengaruh campuran limbah keramik dan abu terbang terhadap
kuat tekan dan daya serap air bata beton.
2. Mengetahui campuran limbah keramik dan abu terbang yang optimal.
3. Mengetahui perbedaan dan kelebihan bata beton yang diberi campuran
limbah keramik dan abu terbang dengan bata beton normal.
4. menyebabkan polusi kebauan.
1.4 Manfaat
Hasil dari penelitian ini bermanfaat bagi pemerintah dan praktisi lingkungan untuk:
1. Memberikan informasi tentang pengaruh abu terbang dan limbah keramik terhadap
sifat fisika bata beton yang berupa kuat tekan dan daya serap air.
2. Mengurangi limbah keramik yang ada di lingkungan dan dapat membuat
bata beton yang lebih ramah lingkungan dengan biaya yang relatif lebih
murah.
1.6 Lingkup/Batasan
Ruang lingkup dari penelitian ini adalah:
1. Penelitian ini mengambil permasalahan mengenai pengaruh material tambahan
maupun pengganti yang berupa limbah keramik dan abu terbang terhadap sifat fisika
bata beton.
2. Pemeriksaan karakteristik bahan-bahan yang digunakan, komposisi campuran, kuat
tekan dan daya serap air bata beton serta analisis biaya yang dibutuhkan menjadi tolak
ukur dari kinerja bata beton yang dihasilkan.
II TINJAUAN PUSTAKA
Bata Beton
Bata beton merupakan salah satu perkerasan kaku yang mulai banyak
digunakan dalam konstruksi bangunan. Bata beton menggambarkan material
konstruksi versi modern dari block granit. Bata beton umumnya digunakan untuk
jalan kecil atau jalan kendaraan dan apabila kegunaannya untuk pelayanan yang
banyak, masalah pecahan atau pemulihan permukaan dapat diminimumkan
(Wignall 1999). Bata beton dikenal juga dengan sebutan paving block, concrete
block atau cone block. Bata beton adalah suatu komposisi bahan bangunan yang
dibuat dari campuran semen portland atau bahan perekat hidrolis sejenisnya, air
dan agregat dengan atau tanpa bahan lainnya yang tidak mengurangi mutu bata
beton. Bata beton memiliki banyak variasi baik dari segi bentuk, ukuran, warna,
corak dan tekstur permukaan serta kekuatan (Nurzal dan Taufik 2016).
Bata beton mempunyai beberapa keunggulan antara lain pelaksanaannya
mudah sehingga memberikan kesempatan kerja yang luas kepada masyarakat,
pemeliharaannya mudah, perbaikannya tidak memerlukan bahan tambahan yang
banyak karena bata beton merupakan bahan yang dapat dipakai kembali meskipun
telah mengalami pembongkaran, tahan terhadap beban statis, dinamik dan kejut
yang tinggi, cukup fleksibel untuk mengatasi perbedaan penurunan (differential
sattlement) serta mempunyai durabilitas yang baik (Sebayang et al. 2011).
Menurut SNI 03-0691-1996 tentang bata beton (paving block), bata beton
4
adalah suatu komponen bahan bangunan yang dibuat dari bahan campuran semen
portland atau bahan perekat lainnya, air, dan agregat dengan atau tanpa bahan
tambahan lain yang tidak mengurangi mutu bata beton tersebut. Dalam SNI 03-
0691-1996, bata beton harus memenuhi beberapa syarat mutu, yaitu (BSN 1996) :
1. Sifat tampak
Bata beton harus mempunyai permukaan yang rata, tidak terdapat retak dan
cacat, bagian sudut dan rusuknya tidak mudah direpihkan dengan kekuatan jari.
2. Ukuran
Bata beton harus mempunyai ukuran tebal nominal minimum 60 mm dengan
toleransi + 8%.
3. Sifat fisika
Bata beton harus mempunyai sifat-sifat fisika seperti pada Tabel 2.
5
5
6
Sumber : SNI 03-0691-1996 (BSN 1996)
Abu terbang
Abu terbang merupakan sisa pembakaran batu bara yang berbentuk partikel
halus amorf, dan merupakan bahan anorganik yang terbentuk dari perubahan
bahan mineral karena proses pembakaran. Hasil dari proses pembakaran batubara
pada unit pembangkit uap (boiler) akan terbentuk dua jenis abu yaitu abu terbang
dan bottom ash. Komposisi abu batubara yang dihasilkan terdiri dari 10 - 20 %
bottom ash, sedang sisanya sekitar 80 - 90 % berupa abu terbang yang ditangkap
dengan electric precipitator sebelum dibuang ke udara melalui cerobong
(Barsoum 1997). Abu terbang mengandung 50% - 90% senyawa-senyawa seperti
SiO2, Al2O3, F2O3 dan alkali, sedangkan sisanya adalah fase kristal seperti mulit,
kuarsa dan hematit yang sering tertinggal ketika pembakaran karbon.
Menurut ASTM C.618 (2003), abu terbang didefinisikan sebagai butiran
halus hasil residu pembakaran batubara atau bubuk batubara yang mengandung
sedikit atau tidak mengandung semen, tetapi dalam keadaan halus bereaksi dengan
air dan kapur padam pada suhu normal (240 – 270 oC) menjadi massa yang padat
dan tidak larut dalam air. Berdasarkan jenis batubara yang digunakan, abu terbang
atau abu terbang dibagi atas 3 kelas yaitu abu terbang kelas F dan kelas C serta
kelas N (natural). Abu terbang kelas F dan kelas C adalah hasil residu pembangkit
listrik yang menggunakan bahan bakar batubara. Berdasarkan ASTM C.618
(2003), abu terbang dibagi dalam 3 kategori seperti yang disajikan pada Tabel 3.
Limbah Keramik
Limbah keramik lantai merupakan salah satu jenis limbah sisa bahan
konstruksi yang tidak digunakan. Pemanfaatan pada limbah tersebut kurang
optimal, sehingga limbah tersebut banyak ditemukan pada lingkungan sekitar,
terutama pada lingkungan industri penghasil keramik lantai. Keramik menjadi
salah satu bahan yang banyak digunakan untuk melapisi lantai atau dinding dalam
suatu konstruksi, serta terbuat dari tanah liat yang dibakar dengan temperatur yang
tinggi. Menurut Puslitbang TMB (2005), Indonesia telah melakukan ekspor batu
keramik sebanyak 122.367.973 m3 pada tahun 2005. Namun, hingga Agustus
2017, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat data ekspor produk keramik
meningkat menjadi 32,867 ton atau naik 9.43% dibandingkan dengan bulan
sebelumnya yang hanya 30,034 ton. Akan tetapi, BPS mencatat penjualan produk
keramik pada periode Januari - Agustus terbilang stagnan. Ekspor keramik pada 8
bulan pertama tahun ini sebanyak 242,693 ton atau hanya tumbuh senilai 0.17%
dibandingkan dengan periode lalu yang mencapai 242,291 ton.
Dalam setiap proses produksi atau proses pekerjaan konstruksi, selalu
dijumpai hasil produk atau sisa bahan bangunan yang tidak digunakan lagi dan
8
7
dibuang sebagai limbah. Limbah keramik adalah salah satu contoh limbah yang
dihasilkan dari pabrik keramik atau hasil pekerjaan renovasi bangunan. Keramik
terbuat dari tanah liat atau lempung yang mengalami proses pengerasan dengan
pembakaran pada temperatur tinggi (Wicaksono dan Sudjati 2012). Dalam dunia
perindustrian keramik, dikenal dua jenis limbah yang dihasilkan dalam proses
pembuatannya, yaitu limbah cair dan padat. Selama ini, limbah padat hanya
dibuang begitu saja, tanpa dimanfaatkan secara optimal. Analisa XRD
menunjukkan limbah keramik mengandung kalsium karbonat (CaCO3) yang
sangat tinggi yaitu 96 %. Salah satu sifat yang penting dari limbah padat keramik
adalah bila dicampur dengan kapur atau semen dan air, dalam beberapa waktu
pada suhu kamar dapat membentuk massa yang padat dan tidak larut dalam air,
dari sifat inilah limbah padat keramik dapat dimanfaatkan sebagai bahan
bangunan, antara lain untuk campuran pembuatan beton, batako, maupun bata
beton (Subekti 2009).
Agregat
Berdasarkan ASTM C.33 (2002), agregat dapat dibedakan menjadi dua jenis
berdasarkan ukuran butiran. Dalam bidang teknologi beton nilai batas daerah
agregat kasar dan agregat halus adalah 4.75 mm. Agregat dengan butiran yang
lebih kecil dari 4.75 mm disebut dengan agregat halus, sedangkan agregat dengan
butiran yang lebih besar daripada 4.75 mm disebut dengan agregat kasar. Bata
beton merupakan bahan kosntruksi yang terdiri dari campuran semen air dan
agregat sebagai pengisi. Pada bata beton digunakan agregat halus yang dapat
berupa pasir alam sebagai hasil desintegrasi alami dari batuan-batuan atau berupa
pasir buatan yang dihasilkan oleh alat-alat pemecah batu (Mustaqim et al. 2016).
Agregat halus atau pasir merupakan butiran mineral keras yang berbentuk hampir
bulat dan tajam, serta sebagian besar berukuran maksimum 4,75 mm (Dep PU
2002). Menurut SNI 03-6820-2002, agregat halus berguna sebagai bahan pengisi
dalam penyusunan bata beton yang dapat menambah kekuatan, meminimalisir
penyusutan, serta mengurangi penggunaan semen (Putri dan Imastuti 2017).
Agregat menjadi komponen penyusun pada bata beton yang tidak ikut
bereaksi dengan semen dan air serta mengisi antara 60% sampai 80% dari total
volume yang ada, sehingga agregat sering disebut juga dengan bahan pengisi.
Agregat harus mempunyai bentuk yang baik (bulat dan mendekati kubus), bersih
dari bahan organik, keras, kuat dan memiliki gradasi ukuran butir yang baik.
Butiran agregat dengan ukuran yang sama (seragam) akan menyebabkan volume
pori yang besar. Sebaliknya, apabila ukuran butiran agregat bervariasi maka
volume pori akan menjadi kecil. Hal ini terjadi karena butiran kecil dapat mengisi
pori diantara butiran yang lebih besar sehigga pori-pori menjadi lebih sedikit,
dengan kata lain agregat tersebut mempunyai kemampatan tinggi (Akmalia et al.
2016).
Berdasarkan sumber dan proses terbentuknya, agregat dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu agregat mineral alam dan agregat mineral buatan. Agregat
mineral alam adalah agregat yang langsung digunakan dari alam misalnya pasir
dan kerikil, sedangkan agregat mineral buatan yaitu agregat yang diperoleh dari
hasil penghancuran batu induk, seperti pasir buatan dan batu pecah. Pada
umumnya, dalam pembuatan bata beton digunakan agregat halus yang berupa
pasir alam. Pasir merupakan agregat halus yang terdiri dari butiran–butiran
9
sebesar 0.15– 4.75 mm.
10
8
Pasir dapat terbentuk dan diperoleh dari disintergrasi batuan alam ataupun dengan
memecahnya sendiri. Pasir alam memiliki beberapa jenis seperti pasir galian dan
pasir sungai. Pada daerah tertentu, pasir dapat mengandung mineral–mineral
berat. Namun, umumnya pasir terdiri dari batu–batuan porous dan yang sudah
berkurang kekuatannya akibat pelapukan dan dapat pecah karena gaya–gaya yang
terdapat di dalam sungai (Mulyono 2004).
Berdasarkan SK SNI T-15-1990-03, kekasaran butiran pasir dibagi menjadi
empat kelompok, yaitu pasir halus, agak halus, agak kasar dan kasar (Dep PU
1990 d). Pasir yang digunakan dalam adukan bahan bangunan harus memenuhi
beberapa syarat yaitu pasir harus terdiri dari butir-butir tajam dan keras, butirnya
harus bersifat kekal, tidak boleh mengandung lumpur lebih dari 5% dari berat
kering pasir, tidak boleh mengandung bahan organik terlalu banyak dan
gradasinya harus memenuhi syarat. Persyaratan ini disajikan pada Tabel 4
(Tjokrodimuljo 2007).
Kuat Tekan
Pada proses pembuatan bata beton, perlu dilakukan suatu pengujian untuk
menentukan mutu dari bata beton yang dihasilkan, salah satunya yaitu uji kuat
tekan. Kuat tekan yakni kemampuan beton dalam menerima gaya tekan persatuan
luas. Nilai kuat tekan menunjukkan mutu dari suatu struktur, semakin tinggi nilai
kuat tekannya semakin tinggi pula mutu yang didapatkan (Mulyono 2004).
Berdasarkan Peraturan Beton Bertulang Indonesia (Dep PU 1971), kuat tekan
beton dapat berbeda tergantung pada umurnya. Perbandingan kekuatan tekan
beton pada berbagai umur disajikan pada Tabel 5.
11
9
DAFTAR PUSTAKA
12
Akmalia R, Olivia M, Kamaldi A. 2016. Kuat tekan dan sorptivity beton dengan
kulit kerang (Anadara granosa). Jom FTEKNIK. 3 (2) : 1-14.
Boccacini AR, Kopf M, Stumfe W. 1995. Glass-ceramics from filter dust from
waste incinerators. Journal Ceramics International. 21 (4) : 231-235.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2017. Tabel Ekspor Menurut Komoditi Tahun 2017.
https://www.bps.go.id/all_newtemplate.php [diakses tanggal 26 Maret 2018].
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1996. Bata Beton (Paving Block) SNI 03-
0691-1996. Jakarta (ID) : Badan Standardisasi Nasional.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2004. Semen Portland SNI 15-2049-2004.
Jakarta (ID) : Badan Standardisasi Nasional.
Chan WWJ, Wu CML. 2000. Durability of concrete with high cement replacement.
Cement and Concrete Research. 30 (6) : 865–879.
– 6.
13
27
Haryanto Y, Sudibyo GH, Fatkhurrozak. 2008. Abu terbang (fly ash) sebagai
bahan tambah untuk meningkatkan kuat tekan bata beton (paving block).
Dinamika Rekayasa. 4 (2) : 65-76.
Hasbi M. 2012. Pengaruh agregat terhadap mutu beton. Majalah Ilmiah Unimus.
3 (10) : 135-150.
Mulyati, Maliar S. 2015. Pengaruh penggunaan fly ash sebagai pengganti agregat
terhadap kuat tekan paving block. Jurnal Momentum. 17 (1) : 42-49.
Mustain. 2006. Uji kuat tekan dan seraopan air pada bata beton berlubang dengan
bahan ikat kapur dan abu layang [skripsi]. Semarang (ID) : Universitas
Negeri Semarang.
Nurzal, Mahmud J. 2013. Pengaruh komposisi fly ash terhadap daya serap air
pada pembuatan paving block. Jurnal Teknik Mesin. 3 (2) : 41-48.
Sebayang S, Diana IW, Purba A. 2011. Perbandingan mutu paving block produksi
manual dengan produksi masinal. Jurnal Rekayasa. 15 (2) : 139-150.
Sembiring AC, Sarusuk JJ. 2017. Uji kuat tekan dan serapan air pada paving
block dengan bahan pasir kasar, batu kacang dan pasir halus. Jurnal Ilmiah
Teknik Industri Prima. 1 (1) : 32-39.
Subekti S. 2009. Limbah padat keramik sebagai bahan campuran batako ditinjau
terhadap kuat tekan. Prosiding Seminar Nasional Aplikasi Teknologi
Prasarana Wilayah 2009. Surabaya (ID) : Institut Teknologi Sepuluh
Nopember. 529-534.
Sukirman S. 2003. Beton Aspal Campuran Panas. Jakarta (ID) : Yayasan Obor
Indonesia.
Aatamila, M. et al., 2011. Odour annoyance and physical symptoms among residents living
near waste treatment centres. Journal of Environmental Research, 111(1), pp. 164-170.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2005. Udara ambien – Bagian 1: Cara uji kadar amonia
(NH3) dengan metoda indofenol menggunakan spektrofotometer, SNI 19-7119.1-2005.
Jakarta (ID): Badan Standardisasi Nasional.
[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2007. Udara ambien – Bagian 11: Cara uji kadar
hidrogen sulfida (NH3) udara ambien dengan metode biru etilen secara spektrofotometri,
RSNI3.7119.11:2007. Jakarta (ID): Badan Standardisasi Nasional.
Cabanac, M. & Cabanac, M., 2011. Hedonicity and Memory of Odors. Journal of
Psychological Studies, 3(2), pp. 178-185.
Capelli, L., Sironi, S., Rosso, D. & Guillot, J., 2013. odours in the environment vs. dispersion
modelling: A review. Journal of Atmospheric Environment, 79(1), pp. 731-743.
Freeman, T. & Cudmore, R., 2002. Review of Odour Management in New Zealand, Air
Quality Tecnical Report No.24, New Zealand Ministry. Wellington, New Zealand., New
Zealand Ministry.
2
Henshaw, P., Nicell, J. & Sikdar, A., 2006. Parameters for the assessment of odour impacts
on communities. Journal of Atmospheric Environment, 40(1), pp. 1016-1029.
Keller, A. et al., 2007. Genetic variation in a human odorant receptor alters odour perception.
Nature, 449(1), pp. 468-472.
[Kemen LH] Kementrian Lingkungan Hidup. 1996. Baku Tingkat Kebauan, Keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup. Kep-50/MENLH/11/1996. Jakarta (ID): KemenLH
Laing, D. & Francis, G., 1989. The capacity of humans to identify odors in mixtures. Physiol,
4(6), pp. 809-814.
McGinley, A. & McGinley, C., 2001. The new European olfactometry standard:
Implementation, experience and perspectives. Stillwater, St. Croix Sensory Inc..
Sakawi, Z. & Lukman, I., 2015. Managing odour pollution from livestock sources in
Malaysia. Malaysian Journal of Society and Space, 11(13), pp. 96-103.
[PPRI] Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. 1999. Pengendalian Pencemaran Udara.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 41 tahun 1999.
Sakawi, Z. & Mastura SSA, J. O. M. M., 2011a. An analysis of odour concentration using
Odour Concentration Meter XP-329 at landfill vicinity. Research Journal of Applied
Sciences, 6(5), pp. 324-329.
Sakawi, Z., Mastura, S., Jaafar, O. & Mahmud, M., 2011b. Community perception of odour
pollution from the landfill. Journal of Environmental and Earth Sciences, 3(2), pp. 143-
146.
Yuwono, A. S., 2008. Kuantifikasi Bau dan Polusi Bau di Indonesia. Purifikasi, 9(2), pp.
175-186.
Yuwono AS, Schulze LP. 2004. Performance test of a sensor array – based odour detection
instrument. Agricultural Engineering International: The CIGR Journal of Scientific
Research and Development. Manuscript Number BC 03 009. May, 2004.