Ahlussunnah Khalaf

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 19

Ahlussunnah Khalaf (Asy'ariyah dan Maturidiyah)

Disusun oleh:
MUHAMMAD RIZKY FADILLAH
IMAM TUTUR HIDAYAT
MEKA UTARI NINGSIH
NUR AZIZAH

DOSEN PENGAMPU:
A. MUTTAQIN, M.S.I

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH


YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM
LAHAT 2021- 2022
DAFTAR ISI

BAB I ................................................................................................
PENDAHULUAN............................................................................
Latar belakang....................................................................................
Rumusan masalah..............................................................................
Tujuan................................................................................................
BAB II ..............................................................................................
PEMBAHASAN...............................................................................
Pengertian Ahlussunnah.....................................................................
Pendiri aliran asy’ariyah dan al-maturidi...........................................
Doktrin aliran asy’ariyah dan al-maturidi..........................................
BAB III..............................................................................................
PENUTUP.........................................................................................
Kesimpulan........................................................................................
Saran..................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................
BAB I
PENDAHULUAN

Sebagai reaksi dari firqah yang sesat, maka pada akhir abad ke 3 H timbullah golongan yang
dikenali sebagai Ahlussunnah wal Jamaah yang dipimpin oleh 2 orang ulama besar dalam
Usuluddin yaitu Syeikh Abu Hassan Ali Al Asy’ari dan Syeikh Abu Mansur Al Maturidi.
Perkataan Ahlussunnah wal Jamaah kadang-kadang disebut sebagai Ahlussunnah saja atau
Sunni saja dan kadang-kadang disebut Asy’ari atau Asya’irah dikaitkan dengan ulama
besarnya yang pertama yaitu Abu Hassan Ali Asy’ari.

Aliran Al-Maturidiyah adalah sebuh  aliran yang  tidak   jauh   berbeda dengan aliran al-
Asy'ariyah. Keduanya lahir sebagai bentuk pembelaan terhadap sunnah. Bila aliran   al-
Asy'ariyah  berkembang di Basrah  maka aliran  al-Maturidiyah berkembang di Samargand.

Kota   tempat   aliran   ini   lahir   merupakan   salah   satu   kawasan   peradaban yang maju.
menjadi  pusat  perkembangan  Mu'tazilah disamping  ditemukannya aliran Mujassimah.
Qaramithah dan Jahmiyah, Menurut  Adam Metz. juga terdapat pengikut Majusi, Yahudi dan
Nasrani dalam jumlah yang besar. Al-Maturidi saat itu terlihat  dalam  banyak pertentangan
dan  dialog setelah  melihat kenyataan berkurangnya pembelaan  terhadap   sunnah.   Hal  
ini   dapat   dipahami   karena   teologi mayoritas   saat   itu   adalah  aliran  Mu'tazilah 
yang    banyak   menyerang   golongan   ahli fiqih dan ahli hadits. Diperkuat lagi dengan
unsur terokratis penguasa.

Asy'ari maupun Maturidi bukan tidak paham terhadap mazhab  Mu'tazilah. Bahkan  al-
Asy'ary  pada  awalnya  adalah  seorang  Mu'taziliy   namun  terdorong  oleh keinginan
mempertahankan sunnah maka lahirlah   ajaran mereka hingga kemudian keduanya diberi
gelar imam ahlussunnah   wal   jama'ah.Sepintas kita mungkin menyimpulkan bahwa
keduanya pernah bertemu, namun hal ini membutuhkan analisa

Pada masa itu, banyak sekali ulama Muktazilah mengajar di Basrah, Kufah dan Baghdad.
Ada 3 orang Khalifah Abbasiyah yaitu Malmun bin Harun Ar Rasyid, Al Muktasim dan Al
Watsiq adalah khalifah-khalifah penganut fahaman Muktazilah atau sekurang-kurangnya
penyokong utama daripada golongan Muktazilah.

Dalam sejarah dinyatakan bahwa pada zaman itu terjadilah apa yang dinamakan fitnah ”Al-
Quran Makhluk” yang mengorbankan beribu-ribu ulama yang tidak sefahaman dengan kaum
Muktazilah. Pada masa Abu Hassan Al Asy’ari muda remaja, ulama-ulama Muktazilah
sangat banyak di Basrah, Kufah dan Baghdad. Masa itu zaman gilang gemilang bagi mereka,
karena fahamannya disokong oleh pemerintah.

Latar belakang

Kata khalaf biasanya digunakan untuk merujuk para ulama yang lahir setelah abad ke-III
dengan karakteristik yang bertolak belakang dengan yang dimikili salaf. Karakteristik yang
paling menonjol dari khalaf adalah penakwilan terhadap sifat-sifat Tuhan yang serupa dengan
makhluk pada pengertian yang sesuai dengan ketinggian dan kesucian-Nya.
Adapun ungkapan Ahlussunnah (sering disebut dengan sunni) dapat dibedakan menjadi
dua pengertian yaitu umum dan khusus. Sunni dalam pengertian umum adalah lawan
kelompok Syi’ah. Dalam pengertian ini, Mu’tazilah dan Asy’ariah masuk dalam barisan
sunni. Adapun sunni dalam pengertian khusus adalah mazhab yang berada dalam barisan
Asy’ariah dan merupakan lawan Mu’tazilah. Pengertian kedua inilah yang digunakan dalam
pembahasan ini.
Selanjutnya, term Ahlussunnah banyak dipakai setelah munculnya Aliran Asy ‘ariyah
dan Maturidiyah, dua aliran yang menentang ajaran-ajaran Mu‘tazilah, Harun Nasution -
dengan meminjam keterangan Tasy Kubra Zadah - menjelaskan bahwa aliran Ahlussunnah
muncul atas keberanian dan usaha Abu Al-Hasan Al-Asy’ari sekitar tahun 300H.

Rumusan masalah
Dari uraian latar belakang di atas, maka selanjutnya penulisannya mengemukakan rumusan
masalah sebagai berikut :
1.      Apa definisi dan asal munculnya aliran asy’ariyah dan aliran al-maturidi?
2.      Siapa pendiri aliran asy’ariyah dan al-maturidi?
3.      Siapa tokoh-tokoh aliran asy’ariyah dan maturidi?
4.      Apa saja sekte-sekte dan doktrin-doktrin asy’ariyah dan maturidi?
Tujuan
Berdasrkan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan pada penulisan makalah ini
adalah :
1.      Untuk mengetahui definisi dan asal munculnya aliran asy’ariyah dan aliran al-maturidi.
2.      Untuk mengetahui pendiri aliran asy’ariyah dan al-maturidi
3.      Untuk mengetahui tokoh-tokoh aliran asy’ariyah dan maturidi
4.      Untuk mengetahui sekte-sekte dan doktrin-doktrin asy’ariyah dan maturidi
BAB II
PEMBAHASAN

PENGERTIAN AHLUSSUNNAH

Ditinjau dari ilmu bahasa (lughot/etimologi), Ahlussunah Wal Jama’ah berasal dari kata-
kata: Ahl (Ahlun), berarti “golongan” atau “pengikut”.

Assunnah berarti “tabiat, perilaku, jalan hidup, perbuatan yang mencakupucapan, tindakan,
dan ketetapan Rasulullah SAW”. Wa, huruf ‘athf yang berarti “dan” atau “serta” Al
jama’ah berarti jama’ah, yakni jama’ah para sahabat Rasul Saw. Maksudnya ialah perilaku
atau jalan hidup para sahabat.

Secara etimologis, istilah “Ahlus Sunnah Wal Jamaah” berarti golongan yang senantiasa
mengikuti jejak hidup Rasulallah Saw. dan ja lan hidup para sahabatnya. Atau, golongan
yang berpegang teguh pada sunnah Rasul dan Sunnah para sahabat, lebih khusus lagi, sahabat
yang empat, yaitu Abu Bakar As-Siddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin ‘Affan, dan Ali bin
Abi Thalib.

Ahlus Sunnah adalah mereka yang mengikuti sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan
sunnah shahabatnya radhiyallahu 'anhum. Al-Imam Ibnul Jauzi menyatakan tidak diragukan
bahwa Ahli Naqli dan Atsar pengikut atsar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan atsar
para shahabatnya, mereka itu Ahlus Sunnah.

Kata "Ahlus-Sunnah" mempunyai dua makna. Pertama, mengikuti sunah-sunah dan atsar-
atsar yang datangnya dari Rasulullah shallallu 'alaihi wa sallam dan para shahabat
radhiyallahu 'anhum, menekuninya, memisahkan yang shahih dari yang cacat dan
melaksanakan apa yang diwajibkan dari perkataan dan perbuatan dalam masalah aqidah dan
ahkam.
Kedua, lebih khusus dari makna pertama, yaitu yang dijelaskan oleh sebagian ulama di mana
mereka menamakan kitab mereka dengan nama As-Sunnah, seperti Abu Ashim, Al-Imam
Ahmad bin Hanbal, Al-Imam Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Al-Khalal dan lain- lain.
Mereka maksudkan (As-Sunnah) itu i'tiqad shahih yang ditetapkan dengan nash dan ijma'.

Kedua makna itu menjelaskan kepada kita bahwa madzhab Ahlus Sunnah itu kelanjutan dari
apa yang pernah dilakukan Rasulullah shallallahu 'alaih wa sallam dan para shahabat
radhiyallahu 'anhum. Adapun penamaan Ahlus Sunnah adalah sesudah terjadinya fitnah
ketika awal munculnya firqah- firqah.

Ada beberapa riwayat hadits tentang firqah atau millah ( golongan atau aliran) yang
kemudian dijadikan landasan bagi firqah ahlussunnah waljamaah. Sedikitnya ada 6 riwayat
hadits tentang firqah/millah yang semuanya sanadnya dapat dijadikan hujjah karena tidak ada
yang dloif tetapi hadits shahih dan hasan. Dari hadits yang kesimpulannya menjelaskan
bahwa umat Rasulullah akan menjadi 73 firqah, semua di nearka kecuali satu yang di surga.
itulah yang disebut firqah yang selamat. Dari beberpa riwayat itu ada yang secara tegas
menyebutkan; ahlussunnah waljamaah”. ataub “aljamaah”. Tetapi yang paling banyak
dengan kalimat; “ maa ana alaihi wa

ashhabi”. baiklah penulis kutipkan sebagian hadits tentang firqah atau millah:.

Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani dalam kitabnya Al-Ghunyah li Thalibi Thariq Al- Haqq, Juz 1,
Hal 80 mendefinasikan ASWAJA sebagai berikut;

“yang dimaksudkan dengan sunnah adalah apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW
(meliputi ucapan,perilaku serta ketetapan Baginda). Sedangkan yang dimaksudkan dengan
pengertian jemaah adalah sesuatu yang telah disepakati oleh para sahabat Nabi SAW pada
masa Khulafa’ Al-Rasyidin yang empat yang telah diberi hidayah oleh Allah SWT”. Dalam
sebuah hadis dari Abu Hurairah RA, Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda,

“Akan terpecah umat Yahudi kepada 71 golongan, Dan terpecah umat Nasrani kepada 72
golongan, Dan akan terpecah umatku menjadi 73 golongan. Semuanya akan dimasukkan
keneraka kecuali satu. Berkata para sahabat : Wahai Rasulullah, Siapakah mereka wahai
Rasulullah ?. Rasulullah menjawab : Mereka yang mengikuti aku dan para sahabatku”. (HR
Abu Daud,At-Tirmizi, dan Ibn Majah)
Dari pengertian hadits diatas dapat difahami dan disipulkan sebagai berikut: Penganut suatu
agama sejak sebelum Nabi Muhammad (Bani Israil) sudah banyak yang ‘menyimpang’ dari
ajaran aslinya, sehingga terjadi banyak interpretasi yang kemudian terakumulasi menjadi
firqah- firqah.

Umat Nabi Muhammad juga akan menjadi beberpa firqah. Namun berapa jumlahnya?
Bilangan 73 apakah sebagai angka pas ti atau menunjukkan banyak, sebagaimana kebiasaan
budaya arab waktu itu?.

Bermacam- macam firqah itu masih diakui oleh Nabi Muhammad SAW sebagai umatnya,
berarti apapun nama firqah mereka dan apaun produk pemikiran dan pendapat mereka asal
masih mengakui Allah sebagai Tuhan, Muhammad sebagi Nabi dan ka’bah sebagai kiblatnya
tetap diakui muslim. Tidak boleh di cap sebagai kafir. ‘lahu ma lana wa alaihi ma alainaa.’

Pengertian semua di nereka kecuali satu, yaitu mereka yang tidak persis sesuai dengan
sunnah Nabi dan para sahabatnya akan masuk neraka dahulu tapi tidak kekal didalmnya yang
nantinya akan diangkat ke surga kalau masih ada secuil iman dalam hatinya. Sedangkan yang
satu akan langsung ke surga tanpa mampir di neraka dahulu.

Kelompok yang selamat adalah mereka yang mengikuti sesuai apa yang dicontohkan Nabi
Muhammad SAW dan para sahabatnya yang mungkin berada di berbagai tempat, masa dan
jamaah. tidak harus satu organisasi, satu negara, satu masa atau satu partai dan golongan.

Istilah ahlu sunnah dan jamaah ini timbul sebagai reaksi terhadap paham-paham gilongan
Mu’tazilah, yang telah dikembangkan dari tahun 100 H atau 718 M. Dengan perlahan- lahan
paham Mu’tazilah tersebut memberi pengaruh kuat dalam masyarakat Islam. Pengaruh ini
mencapai puncaknya pada zaman khalifah-khalifah Bani Abbas, yaitu Al-Makmun, Al-
Muktasim, dan Al-Wasiq (813 M-847 M). Pada masa Al-Makmun, yakni tahun 827 M
bahkan aliran Mu’tazilah diakui sebagai mazhab resmi yang dianut negara.

Ajaran yang ditonjolkan ialah paha m bahwa Al-Q ur’an tidak bersifat qadim, tetapi baru dan
diciptakan. Menurut mereka yang qadim hanyalah Allah. Kalau ada lebih dari satu zat yang
qadim, berarti kita telah menyekutukan Allah. Menurut mereka Al-Q ur’an adalah makhluk
yang diciptakan Allah. Sebagai konsekuensi sikap khalifah terhadap mazhab ini, semua calon
pegawai dan hakim harus menjalani tes keserasian dan kesetiaan pada ajaran mazhab.
Abul Hasan Al-Asy’ari. Ajaran teologi barunya kemudian dikenal dengan nama Sunah wal
Jamaah. Untuk selanjutnya Ahli Sunah wal jamaah selalu dikaitkan pada kelompok pahan
teologi Asy’ariyah ataupun Maturidiyah.

Asy'ariyah banyak menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah ini. Kebanyakan di
kalangan mereka mengatakan bahwa madzhab salaf "Ahlus Sunnah wa Jamaah" adalah apa
yang dikatakan oleh Abul Hasan Al-Asy'ari dan Abu Manshur Al-Maturidi. Sebagian dari
mereka mengatakan Ahlus Sunnah wal Jamaah itu Asy'ariyah, Maturidiyah,dan Madzhab
Salaf.

PENDIRI ALIRAN ASY’ARIYAH

Nama lengkap Al-Asy’ari adalah Abu Al-Hasan ‘Ali bin Isma’il bin Ishaq bin Salim bin
Isma’il bin ‘Abudillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari. Al-
Asy’ari lahir di Basrah pada tahun 260 H/875 M. Setelah berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah
ke kota Baghdad dan wafat di sana pada tahun 324 H/935 M.
Menurut Ibn ‘Asakir (w. 571 H), ayah Al-Asy’ari adalah seorang yang berpaham
Ahlusunnah dan ahli hadis. Ia wafat ketika Al-Asy’ari masih kecil. Sebelum wafat, ia sempat
berwasiat kepada seorang sahabatnya yang bernama Zakaria bin Yahya As-Saji agar
mendidik Al-Asy’ari. Ibunya menikah lagi dengan seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama
Abu ‘Ali Al-Jubba’i (w. 303 H/915 M), ayah kandung Abu Hasyim Al-Jubba’i (w. 321
H/932 M). Berkat didikan ayah tirinya, Al-Asy’ari kemudian menjadi tokoh Mu’tazilah.
Al-asy’ari menganut paham Mu’tazilah hanya sampai usia 40 tahun. Setelah itu, secara
tiba-tiba ia mengumumkan di hadapan jamaah Masjid Basrah bahwa dirinya telah
meninggalkan paham Mu’tazilah dan akan menunjukkan keburukan-keburukannya.
Menurut Ibn ‘Asakir yang melatarbelakangi Al-Asy’ari meninggalkan paham Mu’tazilah
adalah pengakuan Al-Asy’ari telah bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW sebanyak tiga
kali. Yaitu pada malam ke-10, ke-20, dan ke-30 bulan ramadhan. Dalam tiga kali mimpinya,
Rasulullah SAW memperingatkannya agar segera meninggalkan paham Mu’tazilah dan
segera membela paham yang telah diriwayatkan dari Beliau.
Sebab lain bahwa Al-Asyari berdebat dengan gurunya Al-Jubba’i dan dalam perdebatan
itu guru tak dapat menjawab tantangan murid. Al-Jubba’i terpaksa diam.
Tetapi bagaimanapun Al-Asy’ari meninggalkan paham Mu’tazilah seketika golongan ini
sedang berada dalam fase kemunduran dan kelemahan. Setelah Mutawakkil membatalkan
putusan Al-Ma’mun tentang penerimaan aliran Mu’tazilah sebagai mazhab negara. Dalam
suasana demikianlah al-asy’ari keluar dari golongan Mu’tazilah dan menyusun teologi baru
yang sesuai dengan aliran orang yang berpegang kuat pada Hadis (ahlissunnah). Pendiri aliran
asy’ari ini sama dengan nama golongannya yaitu al-asyari.
  Tokoh aliran Asy’ari
a.       Abu Bakar Al-Baqilani (w.403 H)
b.      Ibnu Faruak (w.406 H)
c.       Ibnu Ishak al Isfarani (w.418 H)
d.      Abdul Kahir al Bagdadi (w.429 H)
e.       Imam al Haramain Al Juwaini (w.478 H)
f.       Abdul Mudzaffar al Isfaraini (w.478 H)
g.      Al Ghazali (w.505 H)
h.      Ibnu Tumart (w.524 H)
i.        As Syihristani (w.548 H)
j.        Ar Razi (w.1209 M)
k.      Al Iji (w.756 H)
l.        Al Sanusi (w.895 H)

PENDIRI ALIRAN MATURIDIYAH


Aliran Maturidiyah adalah aliran kalam yang dinisbatkan kepada Abu Mansur al-Maturidi
yang berpijak kepada penggunaan argumentasi dan dalil aqli kalami Sejalan dengan itu juga,
aliran Maturidiyah merupakan aliran teologi dalam Islam yang didirikan oleh Abu Mansur
Muhammad al-Maturidiyah dalam kelompok Ahli Sunnah Wal Jamaah yang merupakan
ajaran teknologi yang bercorak rasional.
Aliran Maturidiyah lahir di Samarkand pada pertengahan abad IX M. Pendirinya adalah
Abu Mansur Muhammad Ibnu Muhammad ibn Mahmud Al-Maturidi. Maturidiyah semasa
hidupnya dengan Asy’ary, hanya dia hidup di Samarkand sedangkan Asy’ary hidup di
Basrah. Asy’ary adalah pengikut Syafii dan Maturidy pengikut Mazhab Hanafy. Karena itu
kebanyakan pengikut Asy’ary adalah orang-orang Sufiyyah, sedang pengikut pengikut
Maturidy adalah orang-orang Hanafiah.
Golongan Maturidiyah berasal dari Abu Al Mansur Al Maturidi. Abu Manshur Al-
Maturidi dilahirkan di Maturid,sebuah kota kecil di daerah Samarkand, Trmsxiana di Asia
Tengah, daerah yang sekarang di Uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak diketahui secara
pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 Hijriah. Ia wafat pada tahun 333
H/944. Gurunya dalam bidang fiqih dan teologi bernama Nasyr bin Yahya Al-balakhi. Ia
wafat pada tahun 268 H. Al-Maturidiyah hidup pada masa khalifah Al-Mutawakil yang
memerintah tahun 232-274/-861 M.
Karir pendidikan Al-maturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi dari
pada fiqih. Hal ini ia lakukan sebagai usaha untuk memperkuat pengetahuannya untuk
menghadapi paham-paham teologi yang banyak berkembang dalam masyarakat islam, yang
dipandangnya tidak sesuai dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara’.
Pemikiran-pemikirannya banyak dituangkan dalam bentuk karya tulis, diantaranya adalah
kitab Tauhid (buku sumber terbesar keyakinan dan aqidah aliran Maturidiyah), Ta’wil Al-
Qur'an Makhas Asy-Syara’I (buku ini berkenaan dengan tafsir Al Qur’an dan di dalamnya
dijelaskan tentang keyakinan-keyakinan Ahlu Sunnah dan pandangan-pandangan fikih imam
mazhabnya yaitu Abu Hanifah, pada hakikatnya ini adalah buku aqidah dan fikih. Buku ini
juga merupakan satu paket tafsir Al Qur’an dan buku tersebut mencakup juz terakhir Qur’an
dari surat Munafiqin sampai akhir Qur’an), Al-jald, dll. Selain itu ada pula karangan-
karangan yang diduga ditulis oleh Al-Maturidi yaitu Al-aqaid dan Sarah fiqih.

Tokoh-tokoh aliran Al-Maturidi


Tokoh yang sangat penting dari aliran Al-Maturidiyah ini adalah Abu al-Yusr Muhammad
al-Badzawi yang lahir pada tahun 421 Hijriyah dan meninggal pada tahun 493 Hijriyah.
Ajaran-ajaran Al-Maturidi yang dikuasainya adalah karena neneknya adalah murid dari Al-
Maturidi.
Al-Badzawi sendiri mempunyai beberapa orang murid, yang salah satunya adalah Najm
al-Din Muhammad al-Nasafi (460-537 H), pengarang buku al-‘Aqa’idal Nasafiah. Seperti
Al-Baqillani dan Al-Juwaini, Al-Badzawi tidak pula selamanya sepaham dengan Al-
Maturidi. Antara kedua pemuka aliran Maturidiyah ini, terdapat perbedaan paham sehingga
boleh dikatakan bahwa dalam aliran Maturidiyah terdapat dua golongan, yaitu golongan
Samarkand yang mengikuti paham-paham Al-Maturidi dan golongan Bukhara yang
mengikuti paham-paham Al-Badzawi.

DOKTRIN-DOKTRIN TEOLOGI ASY’ARIYAH


a. Tuhan dan Sifat-sifat-Nya
Tuhan dapat dilihat di akhirat, demikian pendapat Al-asy’ari. Di antara alasan-alasannya
ialah bahwa sifat-sifat yang tak dapat diberikan kepada Tuhan hanyalah sifat-sifat yang akan
membawa kepada arti diciptakannya Tuhan. Tuhan memang memiliki sifat-sifat itu (berbeda
dengan mu’tazilah) dan sifat-sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki namun tidak boleh
diartikan secara harfiah. Selanjutnya Al-Asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik,
sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip. Dengan
demikian kalau dikatakan Tuhan dapat dilihat itu tidak mesti berarti bahwa Tuhan harus
bersifat diciptakan.
b. Kebebasan dalam Berkehendak
Menurut Al-asy’ariah Allah pencipta perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang
mengupayakannya (muktasib). Hanya Allah lah yang mampu menciptakan segala sesuatu
(termasuk keinginan manusia). Hal ini berbeda dengan Mu’tazilah yang berpendapat bahwa
manusia menciptakan perbuatannya sendiri.
c. Akal dan Wahyu dan Kriteria Baik dan Buruk
Meskipun Al-asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu,
tetapi berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari
akal dan wahyu. Al-asy’ari mengutamakan wahyu dan Mu’tazilah mengutamakan akal.
Dalam menentukan baik dan buruk pun terjadi perbedaan pendapat di antara mereka. Al-
asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan wahyu, sedangkan Mu’tazilah
mendasarkan pada akal.

d. Qadimnya Al-Qur’an
Asy’ari berpendapat bahwa walaupun Al-Qur’an terdiri atas kata-kata, huruf, dan bunyi,
semua itu tidak melekat pada esensi Allah karenanya tidak qodim. Menurut Al-asy’ari Al-
Qur’an tidak diciptakan. Sebab, apabila diciptakan, sesuai dengan QS An-Nahl: 40
Sesungguhnya perkataan kami terhadap sesuatu apabila kami menghendakinya, kami
Hanya mengatakan kepadanya: "kun (jadilah)", Maka jadilah ia.

e. Melihat Allah
Al-asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak dapat digambarkan.
Kemungkinan ru’yat dapat terjadi ketika Allah yang menyebabkan dapat dilihat atau ia
menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.

f. Keadilan
Al-asy’ari tidak sependapat dengan ajaran Mu’tazilah yang mengharuskan Allah berbuat
adil sehingga ia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala pada orang yang
berbuat baik. Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah tidak memiliki keharusan apa pun karena
Ia adalah Penguasa Mutlak.
g. Kedudukan Orang Berdosa
Al-asy’ari menolak ajaran yang dianut Mu’tazilah. Mengingat kenyataan bahwa iman
merupakan lawan kufur, predikat bagi seseorang harus satu diantaranya. Jika tidak mukmin ia
kafir. Oleh karena itu, Al-asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah
mukmin yang fasik sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufur.

DOKTRIN-DOKTRIN TEOLOGI MATURIDIYAH

a.Akal dan wahyu


Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Qur’an dan akal
sebagaimana Asy’ariyah. Akan tetapi, porsi yang diberikan pada akal lebih besar daripada
yang diberikan pada Asy’ariyah.
Menurut Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat
diketahui dengan akal . Kemampuan akal dalam mengetahui dua hal tersebut sesuai dengan
ayat-ayat Al-Qur'an yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha
memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan dan
pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaannya. Apabila akal tidak mempunyai
kemampuan memperoleh pengetahuan tersebut, tentunya Allah tidak akan menyuruh manusia
untuk melakukannya. Menurut Al-Maturidi, akal tidak mampu mengetahui kewajiban
lainnya, kecuali dengan bimbingan dari wahyu (Al-Qur’an).
Dalam masalah baik dan buruk, Al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik dan buruk
sesuatu itu terletak pada suatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan syari’ah hanyalah
mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi demikian,
wahyu diperoleh untuk dijadikan sebagai pembimbing.
Al-Maturidi membagi sesuatu yang berkaitan dengan akal pada tiga macam, yaitu:
1)      Akal hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu;
2)      Akal hanya mengetahui keburukan sesuatu itu;
3)      Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk
ajaran wahyu.
Jadi, yang baik itu baik karena diperintah Allah, dan yang buruk itu buruk karena larangan
Allah. Pada korteks ini, Al-Maturidi berada pada posisi tengah dari Mutazilah dan Al-
Asy’ari.
b.    Perbuatan manusia
Menurut Al-Maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam
wujud ini adalah ciptaan-Nya. Dalam hal ini, Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar
sebagai perbuatan manusia dan qudrat Tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia. Tuhan
menciptakan daya dalam diri manusia dan manusia bebas menggunakanya. Daya-daya
tersebut diciptakan bersamaan dengan perbuatan manusia. Dengan demikian, tidak ada
pertentangan antara qudrat Tuhan yang menciptakan perbuatan manusia dengan ikhtiar yang
ada pada manusia.
Dalam masalah pemakaian daya, al-Maturidi membawa paham Abu Hanifah, yaitu adanya
masyi’ah (kehendak) dan rida (kerelaan). Kebebasan manusia dalam melakukan baik atau
buruk tetap dalam kehendak Tuhan, tetapi memilih yang diridhai-Nya atau yang tidak
diridhai-Nya. Manusia berbuat baik atas kehendak dan kerelaan Tuhan, dan berbuat buruk
juga atas kehendak Tuhan, tetapi tidak atas kerelaan-Nya.

c.    Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan


Allah Maha Berkehendak atas segala sesuatu / ciptaan-Nya termasuk perbuatan manusia dan
segala sesuatu dalam wujud ini, yang baik atau yang buruk. Akan tetapi perbuatan dan
kehendak-Nya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-
Nya sendiri.

d.   Sifat Tuhan


Berkaitan dengan masalah sifat Tuhan, dapat ditemukan persamaan antara pemikiran Al-
Maturidi dengan Al-Asy’ari. Seperti halnya Al-Asy’ari, Al-Maturidi berpendapat bahwa
Tuhan mepmpunyai sifat-sifat, seperti sama’, basher, dan sebagainya. Al-Maturidi
berpendapat bahwa sifat itu tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula lain dari
esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulzamah (ada bersama/inheren) dzat tanpa terpisah (innaha
lam takun ain adz-dzat wa la hiya ghairuhu).

e.    Melihat Tuhan


Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Hal ini diberitahukan oleh Al-
Qur’an,antara lain firman Allah dalam Surat Al-Qiyamah ayat 22 dan 23.
Al Maturidi lebih lanjut mengatakan bahwa Tuhan kelak di akhirat dapat ditangkap dengan
penglihatan karena Tuhan mempunyai wujud, walaupun Ia immaterial (tak berwujud).
Namun
melihat Tuhan, kelak di akherat tidak dalam bentuknya (bila kaifa), karena keadaan di
akherat tidak sama dengan keadaan di dunia.

f.     Kalam Tuhan


Al Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan
kala nafsi (sabda yang sebenarnya atau makna abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qodim bagi
Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baharu (hadits). Al Qur’an
dalam arti kalam yang tersusun dari huruf dan kata-kata adalah baharu. Kalam nafsi tidak
dapat kita ketahui hakekatnya dan bagaimana Allah bersifat dengannya tidak dapat kita
ketahui kecuali dengan suatu perantara.
Al Maturidi berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam
neraka walaupun is mati sebelum bertobat. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan
memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka
adalah bagi orang yang berbuat dosa syirik. Dengan demikian berbuat dosa besar selain syirik
tidak akan menyebabkan pelakunya kekal di dalam neraka. oleh karena itu, perbuatan dosa
besar (selain syirik) tidaklah menjadikan seseorang kafir atau murtad.

g.    Perbuatan Tuhan


Semua yang terjadi atas kehendak-Nya, dan tidak ada yang memaksa atau membatasi
kehendak Tuhan, kecuali karena ada hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh kehendak-
Nya sendiri. Setiap perbuatan-Nya yang bersifat mencipta atau kewajiban-kewajiban yang
dibebankan kepada manusia tidak lepas dari hikmah dan keadilan yang dikehendaki-Nya.
Kewajiban-kewajiban tersebut antara lain:
1)      Tuhan tidak akan membebankan kewajiban-kewajiban kepada manusia diluar
kemampuannya karena hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan, dan manusia juga diberi
Tuhan kemerdekaan dalam kemampuan dan pearbuatannya;
2)      Hukuman atau ancaman dan janji pasti terjadi karena yang demikian merupakan tuntunan
keadilan yang sudah ditetapkan-Nya.
Oleh karena itu, Tuhan tidak wajib bagi-Nya berbuat ash-shalah wa al-ashlah (yang baik
dan terbaik bagi manusia).
h.    Pengutusan Rasul
Akal tak selamanya mampu mengetahui kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada
manusia, seperti kewajiban mengetahui baik dan buruk serta kewajiban lainnya dari syariat
yang dibebankan kepada manusia. Al-Maturidi berpendapat bahwa akal memerlukan
bimbingan ajaran wahyu untuk dapat mengetahui kewajiban-kewajiban tersebut. Jadi
Pengutusan Rasul berfungsi sebagai sumber informasi, tanpa mengikuti ajaran wahyu yang
disampaikan oleh rasul berarti manusia telah membebankan sesuatu yang berada di luar
kemampuan akalnya., yaitu bahwa pengutusan rasul kepada umat adalah kewajiban Tuhan
agar manusia dapat berbuat baik bahkan terbaik dalam hidupnya.

i.      Pelaku dosa besar (murtakib al-kabir)


Al-Maturidi berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka
walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan
memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka
adalah balasan untuk orang musyrik.
Menurut Al-Maturidi, iman cukup dengan tashdiq dan iqrar. Adapun amal adalah
penyempurna iman. Oleh karena itu, amal tidak akan menambah atau mengurangi esensi
iman, kecuali menambah atau mengurangi pada sifatnya.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Nama lengkap Al-Asy’ari adalah Abu Al-Hasan ‘Ali bin Isma’il bin Ishaq bin Salim bin
Isma’il bin ‘Abudillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari. Al-
Asy’ari lahir di Basrah pada tahun 260 H/875 M. Setelah berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah
ke kota Baghdad dan wafat di sana pada tahun 324 H/935 M.
2.      Golongan Maturidiyah berasal dari Abu Al Mansur Al Maturidi. Al-Maturidiyah hidup
pada masa khalifah Al-Mutawakil yang memerintah tahun 232-274/-861 M.
3.      Doktrin-doktrin al asy’ary di antaranya : Tuhan dan sifat-sifat-Nya, kebebasan dalam
berkehendak, akal dan wahyu dan kriteria Baik dan buruk, qadimnya Al-Qur’an, melihat
Allah, keadilan, dan kedudukan orang berdosa.
4.      Doktrin-doktrin al maturidi di antaranya : Akal dan wahyu, perbuatan manusia,
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, sifat Tuhan, melihat Tuhan, kalam Tuhan, Perbuatan
Tuhan, pengutusan Rasul, pelaku dosa besar (murtakib al-kabir).
5.      Tokoh-tokoh aliran as asy’ary di antarannya : Abu Bakar Al-Baqilani, Ibnu Faruak, Ibnu
Ishak al Isfarani, Abdul Kahir al Bagdadi, Imam al Haramain Al Juwaini, Abdul Mudzaffar al
Isfaraini, Al Ghazali, Ibnu Tumart, As Syihristani, Ar Razi, Al Iji, dan Al Sanusi.
6.      Tokoh-tokoh aliran aliran al maturidi di antaranya : Abu Al-Yusr Muhammad Al-
Badzawi, dan An Najm Al Din Muhammad Al-Nasafi.

Saran
Dalam penulisan makalah ini masih terdapat beberapa kekurangan dan kesalahan, baik dari
segi penulisan maupun dari segi penyusunan kalimatnya dan dari segi isi juga masih perlu
ditambahkan.Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kepada para pembaca makalah ini
agar dapat memberikan kritikan dan masukan yang bersifat membangun.
DAFTAR PUSTAKA

Asy-Syahrastani, Muhammad bin Abd Al-Karim,  Al-Milal wa An-Nihal, Beirut-Libanon:


Dar al-Kurub al-'Ilmiyah, 1951

Abdul Kadir bin Tahir bin Muhammad, Al-Farqu Bainal Firaq, Dar al-Kutub al-ilmiah:
Beirut: t.t

Badawi, Abdurrahman, Mazhab Al-Islamiyyin, Dar Ilmi lil Al-Malayin, 1984

Hamid, Jalal Muhammad Abd, Al-Nasyiah Al-Asy’ariyah wa Tatawwaruh, Beirut: Dar Al-
Kitab, 1975

Hanafi, A, Pengantar Teologi Islam, Cet. 1; Jakarta: Pustaka Al Husna Baru: 2003

Ibrahim, Aliran dan Teori filsafat Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1995

Madkour, Ibrahim , Aliran dan teori filsafat islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1995

Muhammad Tholhah Hasan. Aswaja dalam Persepsi dan Tradisi NU Jakarta:  aniuhnia Press,
2005

Nasir, Sahilun A. Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya,
Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010

Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI-
Press, 1986

Rozak, Abdul & Anwar, Rohison, Ilmu Kalam. Bandung: CV Pustaka Setia, 2009

Qadir, C.A. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, Jakarta: Yayasan Obor, 1991

Muhammad Thoha Hasan, Ahlussunna wal Jama’ah dalam Persepsi dan Tradisi NU
(Jakarta:  aniuhnia Press, 2005). hal. 24

Sahilun A. Nasir, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan Perkembangannya,
(Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010), hal. 187

Anda mungkin juga menyukai