Resume Sejarah Pendidikan
Resume Sejarah Pendidikan
Resume Sejarah Pendidikan
KELAS: C
NIM: 231418028
2019
1. Perkembangan Pendidikan Di Masa Hindu-Budha
Pendidikan pada Masa Hindu Buddha diselenggarakan didalam lembaga pendidikan yang
disebut perguruan (paguron) seperti yang terjadi pada Masa kerajaan tarumanegara Dan kutai.
Awalnya yang menjadi pendidikan adalah kaum brahmana yang kemudian digantikan oleh
paraempu. Pada Masa ini terdapa ttingkatan guru,guru pertama yaitu guru dikeraton Dan
muridnya yaitu berasal dari anak raja maupun kalangan bangsawan, yang kedua yaitu guru
pertapa Dan yang menjadi muridnya yaitu Dari kalangan rakyat jelata.
Perkembangan ajaran Hindu-Budha di Indonesia tidak terlepas dari letak strategis Indonesia
yang menjadikannya sebagai daerah dengan banyaknya orang asing yang ingin melakukan
perdagangan di Indonesia. Sejalan dengan hal tersebut, maka disebarkanlah ajaran –ajaran
termasuk di dalamnya ajaran Hindu-Budha. Ajaran Hindu-Budha telah banyak mewarnai
kehidupan di negeri ini. Akan tetapi, proses pasti dari masuknya agama Hindu-Budha di
Indonesia masih belum terkuakPerjalanan sepanjang perkembangan pendidikan di Indonesia
dapat ditelusuri sejak zaman Hindu dan Budha pada abad ke-5 masehi. Dari perkembangan sejak
zaman itu telah diperoleh gambaran bahwa pendidikan telah berlangsung sesuai dengan tuntutan
zaman yang berbeda-beda dengan penyesuaian pada ideologi, tujuan serta sistem
pelaksanaannya. Pada masa pertumbuhan dan perkembangan kerajaan hindu dan budha,
pendidikan dipengaruhi ajaran agama tersebut. Demikian pula pada masa awal islam masuk di
nusantara, pendidikan dan pengajaran pun mengalami penyesuaian dengan kerangka penyebaran
agama islam. Ketika zaman Hindu dan Budha, perkembangan pendidikan disesuaikan dengan
pusat pertumbuhan masyarakat Hindu dan Budha yang berkembang bersama kerajaan besar yang
ada di Jawa dan Sumatera. Kemudian kedua agama yaitu hindu-budha tersebut berkembang ke
berbagai negara di Asia Timur dan Asia Tenggara termasuk ke Indonesia yang akhirnya
mempengaruhi kebudayaan Indonesia begitu juga dengan pendidikan yang diajarkan agama
Hindu-Budha.Pembahasan sejarah Hindu-Budha di Indonesia akrab diawali dari kemunculan
beberapa kerajaan di abad ke-5 M. Menurut catatan I-Tsing, seorang peziarah dari China, ketika
melewati Sumatera pada abad ke-7 M ia mendapati banyak sekali kuil-kuil Budha dimana di
dalamnya berdiam para cendekiawan yang mengajarkan beragam ilmu. Kuil-kuil tersebut tidak
saja menjadi pusat transmisi etika dan nilai-nilai keagamaan, tetapi juga seni dan ilmu
pengetahuan. Lebih dari seribu biksu Budha yang tinggal di Sriwijaya itu dikatakan oleh I-Tsing
Menjelang periode akhir tersebut, pola pendidikan tidak lagi dilakukan dalam kompleks yang
bersifat kolosal, tetapi oleh para guru di padepokan-padepokan dengan jumlah murid relatif
terbatas dan bobot materi ajar yang bersifat spiritual religius. Para murid disini sembari belajar
juga harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Jadi secara umum
dapatlah disimpulkan bahwa:
a. Pengelola pendidikan adalah kaum brahmana dari tingkat dasar sampai dengan
tingkat tinggi;
b. Bersifat tidak formal, dimana murid dapat berpindah dari satu guru ke guru yang lain
c. Kaum bangsawan biasanya mengundang guru untuk mengajar anak-anaknya di
istana disamping ada juga yang mengutus anak-anaknya yang pergi belajar ke guru-
guru tertentu
Pendidikan Islam lebih menawarkan kepada ilmu-ilmu agama yang dilakukan dimasjid,
langgar, maupun pesantren dengan tujuan until menghasilkan ulama yang ahli dibidang agama.
Zaman ke zaman metode atau cara pendidikan akan selalu berubah-ubah menyesuaikan
kebutuhan dan kepentingan dari pengetahuan yang akan di transfer atau di bagi kepada penerus
atau orang lain. Pendidikan pada masa Islam yang pada masa itu lebih ditujukan kepada syiar
agama Islam.Secara umum (khusunya di Jawa) ada dua lembaga yang memegang peranan
pemting dalam perkembangan pendidikan yaitu langgar dan pesantren. Karena Islam berprinsip
demokrasi maka pengajarannya merupakan pengajaran rakyat. Tujuannya memberikan
pengetahuan tentang agama, bukan untuk memberikan pengetahuan umum.
a. Langgar
b. Pesantren
Pendidikan Islam modern merupakan pembahruan pendidikan Islam yang bersumber Dari
bangsa barat. Umat Islam ingin lebih mengembangkan pengetahuannya melihat bangsa barat
lebih maju pendidikannya. Jadi mereka memutuskan untuk melakukan pembahruan terhadap
sistem pendidikan Islam.
Modernisasi pendidikan Islam diakui tidaklah bersumber dari kalangan Muslim sendiri,
melainkan diperkenalkan oleh pemerintahan kolonial Belanda pada awal abad 19. Program
modernisasipendidikan Islam mempunyai akar-akarnya tentang “modernisasi” pemikiran dan
institusi Islam secara keseluruhan. Dengan kata lain modernisasi pendidikan Islam tidak bisa
dipisahkan dengan gagasan dan program modernisasi Islam. Kerangka dasar yang berada dibalik
modernisasi Islam secara keseluruhan adalah modernisasi pemikiran dan kelembagaan Islam
merupakan persyaratan bagi kebangkitan kaum muslim di masa modern.
Kelemahan dan kepincangan sistem pendidikan Islam yang telah berjalan dan terlaksana
selama ini disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut. Pertama,Ketidaksiapan dunia Islam
dalam mempersiapkan proses dan pelahiran sistem alternatif pendidikan Islam yang dinamis dan
adaptif terhadap tuntutan dunia baru. Kedua, Ketidakmampuan dunia Islam pada umumnya
dalam membaca dan mempersiapkan antisipasi terhadap perkembangan dan perubahan
zaman.Dalam menghadapi perkembangan industrialisasi dan globalisasi yang begitu cepat, maka
sistem pendidikan Islam harus future oriented, baik dari segi dasar filosofisnya, metode,
kurikulum, maupun dari segi lainnya sehingga menghasilkan output (para lulusan yang
berkualitas dan mampu berperan di tengah masyarakat dengan tidak melepaskan identitasnya
yang asasi).
Pemerintah kolonial Belanda mempunyai ambisi dan strategi sendiri ketika menerapkan pola
pendidikan modern. Pada awalnya, Pemerintah Kolonial Belanda hanya memberikan model
pendidikan pada anak bangsa yang berupa sekolah ongko loro dan ongko siji. Sekolah ini
bertujuan agar anak bangsa mendapatkan pendidikan satu tahun dan tiga tahun saja, di mana
materi yang diberikan berupa ketrampilan berhitung, membaca, dan menulis sederhana.
Ketrampilan ini jelas dibutuhkan untuk membantu tugas-tugas administrasi pemerintah Kolonial
Belanda sendiri. Hal ini dilakukan karena di satu sisi pemerintah Belanda ingin mendapatkan
tenaga administrasi level bawah yang bergaji rendah, di sisi lain Belanda tidak ingin memberikan
sepenuhnya ilmu pengajaran dan pengetahuan bagi anak bangsa yang status sosialnya dipandang
rendah. Pemerintah Kolonial Belanda memberikan persyaratan bagi siswa yang masuk di sekolah
ongko siji dan loro. Syarat utamanya adalah latar belakang keningratan bagi siswa-siswanya.
Namun demikian, setelah munculnya politik etis yang dimotori van Deventer dan Baron van
Hoevel, maka terjadi perubahan kebijakan pendidikan di Indonesia. Sistem persekolah dan
kurikulum mengalami banyak perubahan. Semula jenjang pendidikan terlama di bangku sekolah
dasar hanya tiga tahun, dengan kebijakan baru berubah menjadi 5 (lima) tahun dan 6 (enam
tahun). Model persekolahan ini dinamakan schakel school dan HIS (Holland Inlandsche School).
Materi pengajaran mengalami perubahan yang cukup banyak. Tingkat kesulitan mengalami
peningkatan dan tidak setiap anak bangsa bisa menjadi siswa di sekolah ini. Kedua sekolah ini
tetap mempertahankan sistem lama dalam penerimaan siswa baru. Mereka yang berasal dari
kalangan rakyat biasa tetap tidak diperbolehkan memasuki jenjang pendidikan HIS. Mereka yang
berasal dari kalangan priyayi rendah, tentu saja harus ngenger dahulu agar dapat diterima
menjadi siswa sekolah ini. Bahasa Belanda menjadi bahasa pengantar dalam kegiatan belajar di
sekolah ini.
Sangat jelas bahwa sistem pendidikan masa Kolonial Belanda sangat diwarnai oleh dualisme
pendidikan. Di satu sisi, adanya politik etis tersebut pemerintah menyetujui untuk memberikan
politik balas jasa bagi pribumi dengan memberikan kesempatan memperoleh pendidikan. Namun
di sisi lain, pribumi tetap dipelihara seperti sediakala. Pendidikan yang diberikan pada pribumi
jelas tidak sama dengan pendidikan yang diberikan pada anak-anak Belanda, Tionghoa, dan
Eropa lainnya. Hanya anak kaum bangsawan tinggi yang diperbolehkan memasuki sekolah
seperti MULO, AMS, dan HBS. Akibatnya pemerintah tetap melestarikan rust en orde, yaitu
sebuah kestabilan politik di bawah kendali ratu Belanda, sehingga dapat menekan benih-benih
ketidakpuasan dari kaum intelektual yang mungkin terlahir dari sistem dan kebijakan Belanda
sendiri.
Didorong semangat untuk mengembangkan pengaruh dan wilayah sebagai bagian dari
rencana membentuk Asia Timur Raya yang meliputi Manchuria, Daratan China, Kepulauan
Filiphina, Indonesia, Malaysia, Thailand, Indo China dan Rusia di bawah kepemimpinan Jepang,
negera ini mulai melakukan ekspansi militer ke berbagai negara sekitarnya tersebut. Dengan
konsep “Hakko Ichiu” (Kemakmuran Bersama Asia Raya) dan semboyan “Asia untuk Bangsa
Asia”, bangsa fasis inipun menargetkan Indonesia sebagai wilayah potensial yang akan
menopang ambisi besarnya. Dengan konteks sejarah dunia yang menuntut dukungan militer kuat,
Jepang mengelola pendidikan di Indonesia pun tidak bisa dilepaskan dari kepentingan ini.
Sehingga dapat dikatakan bahwa sistem pendidikan di masa pendudukan Jepang sangat
dipengaruhi motif untuk mendukung kemenangan militer dalam peperangan Pasifik.
Setelah Februari 1942 menyerang Sumatera Selatan, Jepang selanjutnya menyerang Jawa dan
akhirnya memaksa Belanda menyerah pada Maret 1942. Sejak itulah Jepang kemudian
menerapkan beberapa kebijakan terkait pendidikan yang memiliki implikasi luas terutama bagi
sistem pendidikan di era kemerdekaan. Hal-hal tersebut antara lain:
Sistem pendidikan pada masa pendudukan Jepang itu kemudian dapat diikhtisarkan sebagai
berikut:
1. Pendidikan Dasar (Kokumin Gakko / Sekolah Rakyat). Lama studi 6 tahun. Termasuk SR
adalah Sekolah Pertama yang merupakan konversi nama dari Sekolah dasar 3 atau 5 tahun bagi
pribumi di masa Hindia Belanda.
2. Pendidikan Lanjutan. Terdiri dari Shoto Chu Gakko (Sekolah Menengah Pertama) dengan
lama studi 3 tahun dan Koto Chu Gakko (Sekolah Menengah Tinggi) juga dengan lama studi 3
tahun.
3. Pendidikan Kejuruan. Mencakup sekolah lanjutan bersifat vokasional antara lain di bidang
pertukangan, pelayaran, pendidikan, teknik, dan pertanian.
4. Pendidikan Tinggi.
Sementara itu terhadap pendidikan Islam, Jepang mengambil beberapa kebijakan antara
lain: (1) Mengubah Kantoor Voor Islamistische Zaken pada masa Belanda yang dipimpin kaum
orientalis menjadi Sumubi yang dipimpin tokoh Islam sendiri, yakni K.H. Hasyim Asy’ari. Di
daerah-daerah dibentuk Sumuka; (2) Pondok pesantren sering mendapat kunjungan dan bantuan
pemerintah Jepang; (3) Mengizinkan pembentukan barisan Hizbullah yang mengajarkan latihan
dasar seni kemiliteran bagi pemuda Islam di bawah pimpinan K.H. Zainal Arifin; (4)
Mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta di bawah asuhan K.H. Wahid Hasyim,
Kahar Muzakkir dan Bung Hatta; (4) Diizinkannya ulama dan pemimpin nasionalis membentuk
barisan Pembela Tanah Air (PETA) yang belakangan menjadi cikal-bakal TNI di zaman
kemerdekaan; dan (5) Diizinkannya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) terus beroperasi,
sekalipun kemudian dibubarkan dan diganti dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia
(Masyumi) yang menyertakan dua ormas besar Islam, Muhammadiyah dan NU. Lepas dari
tujuan semula Jepang memfasilitasi berbagai aktivitas kaum muslimin ketika itu, nyatanya hal ini
membantu perkembangan Islam dan keadaan umatnya setelah tercapainya kemerdekaan.
Pendidikan adalah usaha manusia untuk kepentingan manusia. Jadi pada saat manusia itu ada
dan masih ada, pendidikan itu telah dan masih ada pula. Pada kenyataannya dapat kita telaah
bahwa praktek pendidikan dari zaman ke zaman mempunyai garis persamaan. Garis persamaan
atau benang merah pendidikan itu ialah:
c. Praktek pelaksanaan pendidikan memiliki segi-segi yang umum sekaligus memiliki keunikan
(ke-khasan) berkaitan dengan pandangan hidup masing-masing bangsa.
Yunani kuno terbagi menjadi dua, Sparta dan Athena. Penduduk Sparta disebut bangsa
Doria, sedangkan penduduk Athena disebut bangsa Lonia. Kedua negara tersebut merupakan
Polis atau negara kota. Sparta dengan ahli negaranya Lycurgus, sedang Athena dengan ahli
negaranya Solon. Pada kedua negara tersebut terdapat perbedaan-perbedaan dalam dasar, tujuan,
pelaksanaan pendidikan dan pengajaran. Orang-orang Sparta mementingkan pembentukan jiwa
patriotik yang kuat dan gagah berani.
a. Sparta
Tujuan pendidikan Sparta adalah membentuk warga negara yang siap membela negara
(membentuk tentara yang gagah berani). Ciri-ciri pendidikannya adalah :
Pendidikan diperuntukkan hanya bagi warga negara yang merdeka (bukan budak);
Pelaksanaan pendidikan : anak-anak dibiasakan menahan lapar, tidur di atas bantal rumput,
dan pada musim dingin hanya memakai mantel biasa saja. Sifat-sifat yang harus dimiliki tentara,
seperti keberanian, ketangkasan, kekuatan, cinta tanah air, dan tunduk pada disiplin selalu
mendapat perhatian. Sebaliknya, pelajaran seperti kesenian dianggap tidak terlalu penting dan
diabaikan. Musik dan nyanyian hanya dijadikan alat untuk mempengaruhi jiwa dalam
melaksanakan dinas ketentaraan.
b. Athena
Athena adalah negara demokrasi. Dasar yang dipakai adalah: Undang-undang Solon (±
594 SM). Berbeda dengan Sparta, tujuan pendidikan Athena adalah: membentuk warganegara
dengan jalan pembentukan jasmani dan rohani yang harmonis (selaras). Ciri-ciri pendidikan di
Athena adalah:
Materi atau bahan pelajaran terbagi atas dua bagian: gymnastis dan muzis. Gymnastis
untuk pembentukan jasmani, sedangkan muzis untuk pembentukan rohani. Pendidikan jasmani
diberikan di Palestra, tempat bergulat, lempar cakram, melompat, lempar lembing (pentathlon
atau pancalomba). Pembentukan muzis meliputi: membaca, menulis, berhitung, nyanyian, dan
musik. Dalam perkembangannya dalam pembentukan muzis akan dipelajari artes liberales atau
“seni bebas”, yang terdiri dari:
trivium (tiga ajaran), yaitu: grammatica; rhetorica (pidato); dan dialektika yaitu
ilmu mengenai cara berpikir secara logis dan bertukar pikiran secara ilmiah;
Dalam membaca, diberikan dengan metode mengeja (sintetis murni); dan menulis
dilakukan pada batu tulis yang dibuat dari lilin.
Pendidikan Romawi tampak lebih sederhana dan lebih disesuaikan dengan kebutuhan negara
jika dibandingkan dengan pendidikan Yunani. Roma yang pada awalnya adalah negara petani,
mengalami dua masa yang masing-masing berbeda baik tujuan maupun alat-alat pendidikannya,
yaitu jaman Romawi lama dan jaman Romawi baru (Hellenisme).
Pendidikan pada jaman ini bertujuan membentuk warganegara yang setia dan berani, siap
berkorban membela kepentingan tanah airnya. Diutamakan pembentukan warganegara yang
cakap sebagai tentara. Pendidikan diselenggarakan oleh keluarga, dan merupakan pendidikan
bangsawan bukan pendidikan rakyat. Materi pelajarannya meliputi membaca, menulis, dan
berhitung. Pendidikan jasmani dan kesusilaan menjadi prioritas. Hasil pendidikan dinilai baik,
karena:
Kebiasaan aturan dalam rumah tangga yang keras, ayah mempunyai kekuasaan mutlak
dan anak-anak patuh pada perintahnya;
Kedudukan ibu hampir sama dengan kedudukan ayah, ia menjadi pemelihara rumah
tangga;
Agama mempunyai pengaruh besar, orang romawi percaya dikelilingi oleh dewa-
dewanya;
Hellenisme adalah aliran kebudayaan yang diciptakan oleh ahli-ahli filsafat Yunani (Hellas).
Sejak saat itu bangsa Romawi mulai menyadari arti penting ilmu pengetahuan. Dengan demikian
maka tujuan pendidikan mengalami perubahan: untuk pembentukan manusia yang harmonis.
Pendidikan rasio dan kemanusiaan (humanitas) menjadi prioritas. Organisasi sekolah yang
dibentuk meliputi:
Pendidikan menjadi kehilangan sifat praktisnya dan rakyat Roma mulai berpedoman
kepada filsafat. Pada perkembangan selanjutnya Romawi terbawa oleh arus aliran filsafat yang
berdampak cukup besar bagi pendidikan Roma, yaitu Epicurisme (dipelopori Epicurus 341-270
SM), dan aliran Stoa (dipelopori Zeno 336-264 SM). Aliran Epicurisme berpendapat hahwa
kebahagian akan terwujud manakala manusia menyatu dengan alam. Aliran Stoa berpendapat
bahwa tujuan hidup adalah mencapai kebajikan. Kebajikan itu akan terwujud apabila manusia
dapat menyesuaikan diri dengan alamnya, karena manusia adalah bagian dari alam. Sedangkan
alam itu sendiri dikuasai oleh budi Ilahi. Karena manusia merupakan bagian dari alam, maka di
dalamnya terkandung sebagian dari budi ilahi itu. Jadi tidak ada perbedaan antara alam dengan
Tuhan, dan alam adalah Tuhan dan Tuhan adalah alam, yang disebut juga panteisme (pan:
seluruh, semua; theos: Tuhan). Sehingga hidup sesuai dengan alam berarti hidup sebagai
manusia berakan dan berbudi.
Dengan munculnya dua faham tersebut cita-cita atu tujuan Romawi berubah dari
rnembentuk manusia sehat kuat untuk membela tanah air (kebajikan kepahlawanan) menjadi
membentuk manusia yang bijaksana dan berakal budi (kebajikan kemanusian/humanitas).
China
Kebudayaan bangsa Cina berkembang sendiri dengan tidak adanya pengaruh dari
kebudayaan luar. Unsur-unsur kebudayaan asing yang masuk tidak mengurangi keaslian
kebudayaan Cina. Maka pendidikan dan pengajarannya mempunyai ciri-ciri yang khas, yang
tidak menunjukkan persamaan dengan ciri-ciri pendidikan di Negara-negara timur lainnya.
Sejak dahulu yang menyelenggarakan pendidikan ialah Negara, juga keluarga. Sejak
tahun 2200 sebelum masehi, Negara telah menyelenggarakannya. Negara telah
menyediakan tanah untuk mendirikan sekolah-sekolah. Sekolah-sekolah dari tingkatan
rendah sampai ke tingkatan yang tinggi didirikan diseluruh kerajaan.
Dalam “kerajaan lama” (abad ke-8 sebelum masehi) sekolah-sekolah itu milik Negara dan guru-
gurunya merupakan pegawai-pegawai negeri. Dalam “kerajaan baru” sekolah-sekolah itu milik
badan partikelir, tetapi penyelenggaraan ujian-ujian tetap dilakukan oleh Negara.
3.Tujuan pendidikannya adalah : mendidik kepala-kepala keluarga yang baik, suami yang
setia, anak yang patuh, pegawai-pegawai yang rajin, warga Negara yang jujur dan rela
berbakti, raja-raja yang arif-bijaksana, tentara yang gagah berani.
Dari uraian diatas itu jelaslah bahwa pendidikan anak-anak itu merupakan pendidikan bagi
keluarga dan bagi Negara. Tujuan pendidikan dan cita-cita hidup di Cina kena pengaruh kuat
dari ajaran-ajaran dua ahli fikir besar, yakni: Lao Tse dan Konfusius.
Pendidikan di India
Rakyat India terbagi dalam 4 kasta, yaitu Brahmana,Ksatria, Waisya,dan Sudra.Bagi orang
India ilmu adalah alat untuk mencari kesempurnaan, mistik. Kasta brahmana terdiri dari kaum
pendeta. Kasta ksatria adalah kaum bangsawan, prajurit, mereka menerima pengajaran dalam
membaca, menulis, berhitung, dan ilmu siasat berperang. Kasta waisya terdiri dari para tukang,
pedagang, peladang, dan sebagainya. Kasta waisya mendapatkan pengetahuan dan pengajaran
dalam bidang pertanian. Kasta paling rendah atau kasta sudra dianggap sebagai manusia yang
hina, yang hanya dapat melakukan pekerjaan budak, sehingga mereka tidak berhak mendapat
pengajaran.
pendidikan agama diutamakan. Dasar pendidikannya adalah kitab veda (kitab suci orang
India);
kasta brahmana menjadi penyelenggara dari pendidikan. Mereka menguasai hidup dan
hanya kasta ini yang mempunyai pengetahuan;
tujuan pendidikan adalah untuk mencapai kebahagiaan serta kesempurnaan mistik dengan
ilmu pengetahuan sebagai alatnya;
pendidikan untuk kaum perempuan tidak diperhatikan, kecuali untuk calon-calon penari
kuil.
Sistem guru kula masih tetap dipertahankan sampai masa India modern di samping sistem
pendidikan yang lain (klasikal), terutama sekali karena pengaruh Rabindranath Tagore. Ia adalah
seorang tokoh pendidikan di India yang terkenal. Tokoh lain yang besar pengaruhnya bagi
pendidikan agama Islam di India adalah Sayyid Ahmad Khan.
9. Perkembangan Pendidikan Indonesia sejak proklamasi sampai sekarang
Pada dasarnya pendidikan pada masa Indonesia Merdeka tak jauh dengan sistem
persekolahan hasil kebijakan pendudukan Jepang di atas. Pada masa ini, kualitas pendidikan
masih dikatakan stabil dengan kurikulum mencomot dari apa yang dilakukan penguasa Jepang
terhadap rakyat Indonesia. Hanya saja, karena persoalan revolusi yang belum selesai dan kemelut
politik yang terus-menerus, maka sektor pendidikan menjadi korban kebijakan politik.
Pendidikan mengalami sedikit pengabaian. Pendidikan di tingkat atas agak diabaikan sementara
oleh pemerintah Indonesia sendiri. Pada masa awal kemerdekaan ini, guru-guru bekas pengajar
pada masa kolonial Belanda dipekerjakan kembali meskipun dengan gaji yang lebih kecil.
Kondisi yang berubah membuat mereka tidak terbiasa dengan keadaan. Banyak dari mereka
yang masih menerapkan pola pengajaran ketat dan disiplin ala Belanda, sehingga cenderung
menghasilkan setidaknya mutu lulusan yang sama dengan masa Kolonial Belanda. Pada masa
Orde Baru, pendidikan mengalami perubahan yang cukup signifikan. Agar bangsa Indonesia
memiliki kualitas pendidikan yang sama dengan negara-negara maju lainnya, maka secara
kuantitas dibangunlah semua sarana pendidikan di setiap daerah. Alhasil, sekolah begitu banyak
berdiri di tanah air. Secara kuantitatif pendidikan mengalami perkembangan yang pesat. Setiap
anak dapat bersekolah dengan mudah. Namun di sisi lain, kualitas tidak bisa terjaga dengan baik.
Kekurangan guru yang baik menjadi problematika pemerintah Indonesia. Sekolah Pendidikan
Guru yang berdiri pada awal kemerdekaan tidak cukup menyediakan lulusannya yang siap pakai.
Jumlah sekolah melebihi kapasitas guru yang ada. Akibatnya, pemerintah mengambil jalan
pintas. Semua lulusan setingkat SLTA diperbolehkan menjadi guru meski mereka tidak memiliki
kemampuan dan ketrampilan sebagai guru yang layak. Di daerah-daerah, terjadi kemerosotan
pendayagunaan sarana dan prasarana. Artinya terjadi jurang pemisah yang sangat tajam antara
sekolah desa dengan sekolah di pusat perkotaan. Sekolah desa hanya mengandalkan kebijakan
pusat yang bersifat proyek. Pembangunan ruang kelas berhasil, namun penyediaan sarana dan
prasarana lainnya tidak mendukung. Sementara itu, sekolah perkotaan dengan bantuan orang tua
siswa dan akses yang mudah pada pemerintah pusat mendapatkan bantuan buku-buku
perpustakaan dan sarana pendukung lain yang baik. Pada masa ini, kualitas lulusan siswa tidak
sebanding dengan perkembangan sarana pendidikan di Indonesia. Sekolah begitu banyak namun
tingkat kualitasnya mengalami penurunan bila dibandingkan dengan periode sebelumnya.
Agaknya beban kurikulum yang terlalu lebar tidak sepadan dengan kemampuan kognitif siswa
yang harus menyerap semua informasi dan pengetahuan. Di sisi lain, perubahan kurikulum
terjadi hampir setiap 10 (sepuluh) tahun. Kurikulum 1978 diganti dengan munculnya kurikulum
1984. Kurikulum 1984 diganti dengan kurikulum 1994. Demikian pula kurikulum 1994
mengalami beragam tambahn yang dibuktikan dengan adanya suplemen 1994. Pemerintah pula
memilah dan mencoba memberikan kriteria bagi upaya peningkatan kualitas sekolah secara utuh.
Kriteria SSN, akselerasi, imersi, RSKM, SKM, RSBI, dan SBI menjadi sesuatu yang lazim ada
situasi persekolahan saat ini.
10. Perkembangan Pendidikan Di Eropa Pada Masa Pencerahan
Gejala-gejala baru muncul pada abad ke-18, terutama pada pertengahan kedua dari abad itu.
Seluruh kegiatan manusia saat itu ditujukan kepada usaha mengadakan pencerahan terhadap
abad kegelapan. Abad kegelapan adalah ialah abad pertengahan, yang roh jamannya dianggap
berakhir setelah abad ke-18 tiba. Pada masa ini manusia ingin bebas dari ikatan gereja dan
tradisi, hasilnya gereja dan negara terpisah. Dalam pendidikan, dituntut agar negara yang harus
menyelenggarakan pengajaran, terutama bagi rakyat umum, lepas sama sekali dari pengaruh
gereja (tuntutan ini baru berhasil pada akhir abad ke-19). Seluruh gerakan rohaniah dalam
pelbagai lapangan itulah yang disebut sebagai Pencerahan, yang telah menguasai alam pikiran
orang di Eropa Barat pada abad ke-18 dan ke-19. dua aliran maknawiyah yang berkembang dan
saling mempengaruhi saat itu adalah:
1. Empirisme
Aliran ini beranggapan bahwa sumber dari segala pengetahuan dan kebenaran adalah empiri
atau pengalaman. Segala sesuatu harus dicari dari bahan-bahan yang telah kita peroleh dari
pengalaman kita sendiri. Paham ini berasal dari Inggris, dipelopori oleh Francis Bacon (1561-
1626). Dalam paham ini, barangsiapa yang menghendaki ilmu pengetahuan harus mengadakan
penyelidikan sendiri. Ia harus mencari gejala-gejalanya, kemudian menyusunnya dengan teliti
dan dengan menempuh jalan induksi sampai pada hukum-hukum yang umum. Oleh karena itu
empiri dan induksi merupakan satu-satunya jalan untuk memperoleh pengetahuan. Dengan
penyelidikan sendiri, pengamatan fakta-fakta dan pengalaman adalah terbesar maknanya. Aliran
ini kemudian lebih diperluas dan diuraikan oleh kaum empiris bangsa Inggris lainnya, seperti
John Locke, Berkeley, dan Hume.
2. Rationalisme
Aliran ini lahir di Prancis dan Descartes (1596-1650), berpendapat bahwa sesuatu itu
dianggap benar jika sesuai dengan akal fikiran. Fikiran manusia akan sanggup memecahkan
segala persoalan. Untuk menuju ke arah kemajuan dan kesempurnaan, ditempuh jalan fikiran
yang sehat. Rationalisme merupakan kelanjutan dari perlawanan terhadap ajaran-ajaran yang
bersifat dogmatis dan tradisi, yang mulai tampak pada abad ke-15 dan ke-16. menurut
rationalisme, pengetahuan yang diperoleh dengan jalan pengamatan alat dria (induksi) masih
diragukan kebenarannya. Yang jelas dapat dipercaya adalah kenyataan, bahwa manusia itu
berpikir. Ia berpikir dengan akalnya, maka akal budinya itulah yang berkuasa dalam hidupnya.
Penyebab manusia berpikir tidak terletak pada manusia sendiri, tetapi pada Tuhan. Yang
mengatakan hal itu adalah budi atau akal kita. Budi itulah yang menetapkan norma-norma hidup.
Rationalisme menempatkan budi itu di atas wahyu Ilahi. Budi menetapkan apa yang dapat kita
terima dan apa yang tidak, juga di lapangan agama.
Beberapa ahli pendidikan besar yang menguasai paedagogik (ilmu mendidik) pada abad ke-18 di
antaranya adalah:
John Locke
Sistem pendidikannya sesuai dengan teori tabula-rasa, percaya bahwa pendidikan itu maha
kuasa. Jiwa seorang anak sama dengan sehelai kertas putih yang kosong, yang dapat ditulisi
sekehendak hati oleh pendidik, sehingga semua pengetahuan datang dari luar karena pengaruh
faktor-faktor lingkungan. Locke tidak mempermasalahkan sama sekali pengaruh pembawaan si
anak. Dalam paedagogik, aliran ini disebut Paedagogis optimisme, sebagai lawan dari
paedagogis pessimisme (nativisme) yang menganggap bahwa perkembangan jiwa itu adalah
hasil daripada faktor pembawaan belaka. Bagi Locke bentuk pengajaran yang terbaik adalah
belajar sambil bermain. Nilai formil lebih penting daripada nilai materiil, oleh karena itu Locke
lebih mengutamakan pembentukan kesusilaan daripada pembentukan akal. Dalam pendidikan
agama, Locke memperingatkan agar pelaksanaan pendidikan keagamaan tidak berlebih-lebihan.
Ia menganggap injil tidak tepat bagi anak-anak, kecuali beberapa ceritera sebagai bahan bacaan
anak-anak. Pengaruh Locke di Inggris tampak di sekolah-sekolah bagi anak-anak bangsawan
(public school). Ajaran dan cita-citanya sebagian kita jumpai lagi pada Rousseau dan kaum
Philanthropijn.
Cita-cita pendidikan Rousseau kita jumpai dalam bukunya “Emile”, yang ditulisnya bagi
golongan bangsawan dan kaum terpelajar. Ketika itu anak-anak golongan tersebut mendapat
pendidikan dari gubernur-gubernur, yang tidak mengenal perkembangan anak yang sewajarnya
dan tidak memberikan kebebasan. Tujuan pendidikan menurutnya adalah membentuk manusia
yang bebas dan merdeka. Sifat pendidikan yang dijalankan individualistis, anak harus dijauhkan
dari pengaruh masyarakat, bahkan dari pengaruh orang tuanya. Dasar pendidikannya adalah
pembawaan anak yang baik. Ia percaya bahwa anak sejak lahir berpembawaan baik. Jika kelak
anak itu berkelakuan buruk, hal itu disebabkan karena adanya pengaruh-pengaruh jahat dari
dunia sekitar/lingkungannya.
Pendidikan Publik
Pendidikan Swasta
Pendidikan Hispanik Amerika
Setelah Perang Dunia II