0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
263 tayangan30 halaman

Tugas Kelompok Banjir

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1/ 30

TUGAS PENGELOLAAN INFRAKSTRUKTUR

SUMBER DAYA AIR

(Studi Kasus Penyebab Bencana Banjir dalam Lingkup Indonesia, Jawa Barat, Kabupaten
Bojongsoang Serta Kabupaten Dayeuhkolot )

Disusun Oleh:

Erha I. Sukmajati (95017013)


Daru Kumala W (95017013)
Najlawati Laitifah .S. (95017001)
Gede Ariahastha Wicaksana (95017017)

MAGISTER PENGELOLAHAN SUMBER DAYA AIR


FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN
INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
2018
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Banjir adalah ancaman musiman yang terjadi apabila meluapnya tubuh air dari
saluran yang ada dan menggenangi wilayah sekitarnya. Banjir merupakan ancaman alam
yang paling sering terjadi dan paling banyak merugikan. Sungai-sungai di Indonesia 30 tahun
terakhir ini mengalami peningkatan termasuk di daerah Bengawan Solo. Bencana banjir
termasuk bencana alam yang pasti terjadi pada setiap datangnya musim penghujan, seperti
yang terjadi di daerah Solo. Banjir disebabkan oleh alam atau ulah manusia sendiri.
Banjir juga bisa disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor hujan, faktor hancurnya
retensi Daerah Aliran Sungai (DAS). Banjir adakalanya terjadi dengan waktu yang cepat
dengan waktu genangan yang cepat pula, tetapi adakalanya banjir terjadi dengan waktu yang
lama dengan waktu genangan yang lama pula. Banjir bisa terjadi karena curah hujan yang
tinggi, luapan dari sungai, tanggul sungai yang jebol, luapan air laut pasang, tersumbatnya
saluran drainase atau bendungan yang runtuh. Banjir berkembang menjadi bencana jika sudah
mengganggu kehidupan manusia dan bahkan mengancam keselamatannya. Penanganan
bahaya banjir bisa dilakukan dengan cara struktural dan nonstruktural.
Pada makalah ini akan membahas isu tentang permasalahan banjir yang ada di
Indonesia dari sudut pandang umum hingga mencakup lingkup yang lebih spesifik jika
ditinjau dari letak wilayahnya. Hal ini akan terfokus pada permasalahan banjir yang ada di
Indonesia, Jawa Barat hingga akan dihubungkan dengan hasil studi tingkat banjir di
kabupaten Bandung. Oleh karna itu nantinya kita diharapkan dapat mengetahui permasalahan
yang ada dalam lingkup nasional hingga korelasinya dalam lingkup kabupaten terutama
dalam kabupaten bandung yaitu dayehkolot dan bojongsoang.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimanakah pengendalian banjir yang ada diindonesia hingga penanggulangan
yang dapat dilakukan untuk meminimalisir hal itu?
2. Bagaimana pengendalian banjir pada Provinsi Jawa Barat?
3. Bagaimanakah pengendalian Banjir pada Kabupaten Dayehkolot dan Kabupaten
Bojongsoang ?
1.3 Manfaat dan Tujuan
Diharapkan mahasiswa dapat mengetahui permasalahan sumber daya air yang ada
diindonesia. Sehingga diharapkan dengan adanya pengendalian banjir yang bersinergi
dari tingkat nasional hingga lingkup yang kecil dapat meminimalisir dampak dari bencana
banjir. Dan kami akan dapat berkomitmen untuk berperan aktif nantinya dalam men-
implementasikan ilmu yang telah didapat pada masa perkuliahan terutama dalam
mengatasi permasalahan sumber daya air
BAB II

HASIL DAN PEMBAHASAN

2.1 Permasalahan Banjir di Indonesia Beserta Penanganan Strategisnya.


2.1.1 Banjir Secara Umum
Banjir pada umumnya diakibatkan oleh volume air di badan air seperti sungai, danau,
laut, dan lain sebagainya, yang berlebih sehingga air keluar/meluap ke daratan. Berdasarkan
pengamatan, bahwa banjir disebabkan oleh dua katagori yaitu alami dan akibat aktivitas
manusia. Secara alami kejadian banjir bisa dipengaruhi oleh curah hujan, fisiografi, erosi dan
sedimentasi, kapasitas sungai, dan pengaruh air pasang. Sedangkan aktivitas manusia
menyebab perubahan-perubahan lingkungan seperti: perubahan kondisi Daerah Aliran Sungai
(DAS), rusaknya hutan (vegetasi alami), pembangunan kawasan pemukiman di sekitar
bantaran, rusaknya drainase, perencanaan sistem pengendali banjir yang tidak tepat dan
rusaknya bangunan pengendali banjir.
Di seluruh Indonesia, tercatat 5.590 sungai induk dan 600 di antaranya berpotensi
menimbulkan banjir. Daerah rawan banjir yang dicakup sungai-sungai induk ini mencapai 1,4
juta hektar. Sepanjang tahun 2017, Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat telah
terjadi 2.175 kejadian bencana di Indonesia. Adapun banjir dan tanah longsor (67 kejadian)
Dari berbagai kajian yang telah dilakukan, banjir yang melanda daerah-daerah rawan, pada
dasarnya disebabkan tiga hal. Pertama, kegiatan manusia yang menyebabkan terjadinya
perubahan tata ruang dan berdampak pada perubahan alam. Kedua, peristiwa alam seperti
curah hujan sangat tinggi, kenaikan permukaan air laut, badai, dan sebagainya. Ketiga,
degradasi lingkungan seperti hilangnya tumbuhan penutup tanah pada catchment area,
pendangkalan sungai akibat sedimentasi, penyempitan alur sungai dan sebagainya.
Banjir bukan hanya menyebabkan sawah tergenang sehingga tidak dapat dipanen dan
meluluhlantakkan perumahan dan permukiman, tetapi juga merusak fasilitas pelayanan sosial
ekonomi masyarakat dan prasarana publik, bahkan menelan korban jiwa. Kerugian semakin
besar jika kegiatan ekonomi dan pemerintahan terganggunya, bahkan terhentinya. Meskipun
partisipasi masyarakat dalam rangka penanggulangan banjir sangat nyata. terutama pada
aktivitas tanggap darurat, namun banjir menyebabkan tambahan beban keuangan negara,
terutama untuk merehabilitasi dan memulihkan fungsi sarana dan prasarana publik yang
rusak. Terjadinya serangkaian banjir dalam waktu relatif pendek dan terulang tiap tahun,
menuntut upaya lebih besar mengantisipasinya, sehingga kerugian dapat diminimalkan.
2.1.2 Konsep Dasar Pengendalian Banjir
Banjir sebagai salah satu bentuk daya rusak air, pengendaliannya dilakukan sesuai
dengan analisis daerah rawan banjir yang didasarkan pada data dan peta kejadian banjir, serta
input hidrograf banjir rencana sesuai dengan periode ulang tertentu. Selanjutnya dilakukan
analisis hidraulik pada ruas sungai tersebut untuk mengetahui/ mengidentifikasi profil muka
air banjir dan daerah yang terjadi genangan, sehingga dapat disusun alternatif upaya
pengendalian banjir.
Upaya pengendalian banjir dimaksudkan untuk memperkecil dampak negatif dari
bencana banjir, antara lain korban jiwa, kerusakan harta benda, kerusakan lingkungan dan
terganggunya kegiatan sosial ekonomi.
Prinsip pengendalian banjir adalah sebagai berikut :
1. Menahan air sebesar mungkin di hulu dengan membuat waduk serta konservasi tanah
dan air
2. Meresapkan ke dalam tanah air hujan sebanyak mungkin dengan sumur - sumur resapan
dan menyediakan daerah terbuka hijau
3. Mengendalikan air di bagian tengah dengan menyimpan sementara di daerah retensi
4. Mengalirkan air secepatnya ke muara atau ke laut dengan menjaga kapasitas wadah air
5. Mengamankan penduduk, prasarana vital dan harta benda

Kondisi banjir di Indonesia yang ada saat ini merupakan suatu isu strategis nasional.
Perkembangan jumlah penduduk dan meningkatnya kegiatan manusia mengakibatkan
perubahan fungsi lingkungan yang berdampak negatif terhadap kelestarian sumber daya air
dan meningkatnya daya rusak air. Salah satu hal yang ditekankan dan diatur dalam undang -
undang tersebut adalah pengendalian daya rusak air yang merupakan satu dari 3 (tiga)
komponen pokok dalam pengelolaan sumber daya air, selain konservasi sumber daya air dan
pendayagunaan sumber daya air.
Pengendalian banjir di Indonesia merupakan bagian dari pengelolaan sumberdaya air
secara luas, dengan cakupan yang meliputi konservasi, pengendalian dan pendayagunaan air.
Konsep dasar pengendalian banjir adalah menahan debit puncak aliran dan angkutan sedimen
di bagian hulu. Memperlambat waktu rayapan banjir dan menahan debit puncak dengan
melandaikan hidrograf aliran, sehingga debit puncak banjir yang terjadi di bagian hilir
menjadi lebih kecil. Menahan sedimen di bagian hulu akan berpengaruh pada kestabilan alur
sungai, sehingga kapasitas alur tetap cukup menampung debit banjir yang telah tereduksi.
Secara normatif, ada dua metode penanggulangan banjir. Pertama, metode struktur,
yaitu dengan konstruksi teknik sipil, antara lain membangun waduk di hulu, kolam
penampungan banjir di hilir, tanggul banjir sepanjang tepi sungai, sodetan, pengerukan dan
pelebaran alur sungai, sistem polder, serta pemangkasan penghalang aliran. Kedua, metode
nonstruktur berbasis masyarakat, yaitu dengan manajemen di hilir di daerah rawan banjir dan
manajemen di hulu daerah aliran sungai.
Berbagai upaya pemerintah yang bersifat struktural (structural approach), ternyata
belum sepenuhnya mampu menanggulangi masalah banjir di Indonesia. Penanggulangan
banjir, selama ini lebih terfokus pada penyediaan bangunan fisik pengendali banjir untuk
mengurangi dampak bencana. Selain itu, meskipun kebijakan non fisik --yang umumnya
mencakup partisipasi masyarakat-- dalam penanggulangan banjir sudah dibuat, namun belum
diimplementasikan secara baik, bahkan tidak sesuai kebutuhan masyarakat, sehingga
efektifitasnya dipertanyakan. Kebijakan sektoral, sentralistik, dan top-down tanpa melibatkan
masyarakat sudah tidak sesuai dengan perkembangan global yang menuntut desentralisasi,
demokrasi, dan partisipasi stakeholder, terutama masyarakat yang terkena bencana.

2.1.3 Strategi Pengendalian Banjir


Dalam melakukan pengendalian banjir perlu disusun strategi agar dapat dicapai hasil
yang diharapkan. Strategi pengendalian banjir meliputi :
Pada tahap pra bencana dilakukan:
a) Membuat peta rawan bencana;
b) Membangun, meningkatkan, memperbaiki atau normalisasi, dan memelihara sungai,
tampungan air, dan drainase beserta peralatan dan fasilitas penunjangnya;
c) Menyusun peraturan dan menertibkan daerah bantaran sungai;
d) Membuat peta daerah genangan banjir;
e) Sosialisasi dan pelatihan prosedur tetap penanggulangan banjir;
f) Menegakkan hukum terhadap pelanggaran pengelolaan daerah aliran sungai;
g) Menyediakan cadangan pangan dan sandang serta peralatan darurat banjir lainnya;
h) Membuat sumur resapan;
i) Merevisi tata ruang propinsi maupun kota secara terkoordinasi dan terintegrasi;
j) Mengendalikan perkembangan lingkungan dan pengembangan daerah hulu;
k) Membuat penampungan air berteknologi tinggi;
l) Menerapkan pengelolaan sungai terpadu berdasarkan satuan wilayah sungai (sws)
dan memberdayakan kelembagaan pengelolaan sws;
m) Membangun fasilitas pengolah limbah dan sampah;
n) Mereboisasi kota dan daerah hulu;
o) Mendirikan posko banjir di wilayah rt/ rw.
Kebijakan dan program pada tahapan ketika terjadi bencana, berupa:
a) pemberitahuan dini kepada masyarakat tentang kondisi cuaca;
b) menempatkan petugas pada pos-pos pengamatan;
c) menyiapkan sarana penanggulangan, termasuk bahan banjiran;
d) mengevakuasi dan mengungsikan penduduk ke daerah aman, sesuai yang telah
direncanakan
e) memberikan bantuan pangan, pakaian, dan peralatan kebutuhan lainnya, serta
pelayanan kesehatan darurat kepada korban bencana;
f) mendata lokasi dan jumlah korban bencana.
Pada tahap setelah banjir, kebijakan dan program yang telah dilakukan adalah:
a) pendataan kerusakan bangunan dan fasilitas publik;
b) memperbaiki prasarana publik yang rusak;
c) pembersihan lingkungan;
d) mengajukan usulan pembiayaan program pembangunan fasilitas penanggulangan
banjir.
Peningkatan peran masyarakat
Partisipasi masyarakat merupakan proses teknis untuk memberi kesempatan dan
wewenang lebih luas kepada masyarakat, agar masyarakat mampu memecahkan berbagai
persoalan bersama-sama. Pembagian kewenangan ini dilakukan berdasarkan tingkat
keikutsertaan (level of involvement) masyarakat dalam kegiatan tersebut. Partisipasi
masyarakat bertujuan untuk mencari solusi permasalahan lebih baik dalam suatu komunitas,
dengan membuka lebih banyak kesempatan bagi masyarakat untuk member kontribusi
sehingga implementasi kegiatan berjalan lebih efektif, efisien, dan berkelanjutan.
Partisipasi masyarakat, mulai dari tahap kegiatan pembuatan konsep, konstruksi,
operasional pemeliharaan, serta evaluasi dan pengawasan. Semua proses dilakukan dengan
mempromosikan kegiatan pembelajaran dan peningkatan potensi masyarakat, agar secara
aktif berpartisipasi, serta menyediakan kesempatan untuk ikut ambil bagian, dan memiliki
kewenangan dalam proses pengambilan keputusan dan alokasi sumber daya dalam kegiatan
penanggulangan banjir.
2.1.4 Konsep pengandalian banjir jangka panjang
Pada tahun 2045, indonesia diharapkan bisa bebas banjir secara keseluruhan, dengan
mengembangkan keseimbanganan ekosistem di sekitarnya. Pada hakekatnya pembangunan
berkelanjutan merupakan aktivitas memanfaatkan seluruh sumberdaya, guna meningkatkan
kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat manusia. Pelaksanaan pembangunan pada
dasarnya juga merupakan upaya memelihara keseimbangan antara lingkungan alami
(sumberdaya alam hayati dan non hayati) dan lingkungan binaan (sumberdaya manusia dan
buatan), sehingga sifat interaksi maupun interdependensi antar keduanya tetap dalam
keserasian yang seimbang. Dalam kaitan ini, eksplorasi maupun eksploitasi komponen-
komponen sumberdaya alam untuk pembangunan, harus seimbang dengan hasil/produk
bahan alam dan pembuangan limbah ke alam lingkungan. Prinsip pemeliharaan
keseimbangan lingkungan harus menjadi dasar dari setiap upaya pembangunan atau
perubahan untuk mencapai kesejahteraan manusia dan keberlanjutan fungsi alam semesta.
Penyelesaian banjir dengan konsep hidrolika murni antara lain dengan sudetan,
pelurusan, pembuatan tanggul, perkerasan tebing (taludisasi), normalisasi, pembabatan
vegetasi bantaran, dan lain sebagainya telah diakui oleh sebagian besar ahli justru akan
menciptakan bahaya banjir yang lebih besar dan frekuensi banjir yang lebih sering.
Disamping itu cara ini menyebabkan kerusakan yang sangat serius dan dahsyat bagi ekologi
sungai secara keseluruhan, sehingga fungsi hidrolik dan ekologi sungainya hancur.
Pelurusan, sudetan, dan tanggul misalnya akan menyebabkan terjadinya tendensi
banjir di hilir lebih tinggi dan menurunkan tingkat retensi di sepanjang sungai sehingga
konservasi air akan menurun drastis. Kekeringan akan lebih intensif karena membangun
pelurusan, tanggul dan sudetan berarti pengatusan air secepatnya ke hilir, sehingga air tidak
berkesempatan meresap ke tanah. Tata air di sepanjang sungai yang diluruskan, disudet atau
ditanggul akan rusak total.
Bekas-bekas sungai atau sungai lama yang terpotong (oxbow) akan menimbulkan
masalah baru, misalnya sebagai sarang nyamuk dan lambat laun menjadi dangkal. Biasanya
masyarakat akan menyerang daerah oxbow ini untuk dijadikan daerah hunian atau pertanian,
karena daerah ini biasanya merupakan daerah tak bertuan. Namun banjir dapat mengancam
lagi daerah oxbow ini, karena di daerah oxbow ini praktis tidak ada air yang mengalir keluar.
Sementara sudetan di daerah hilir (wilayah pantai) telah menyebabkan terjadinya instabilitas
garis pantai. Daerah muara sungai lama akan terjadi abrasi besar-besaran dan daerah muara
sudetan baru akan terbentuk reklamasi yang cepat.
Metode ekohidrolik mulai diperkenalkan pada 1980-an dengan mengutamakan
peningkatan fungsi alam secara integral dalam pencegahan banjir. Konsep eko-hidrolik
merupakan sebuah terobosan dan konsep baru, serta perubahan paradigma dalam pengelolaan
sungai yang ramah lingkungan, dengan memasukkan aspek-aspek ekologi, ekosistem dan
lingkungan secara integratif dan berkesinambungan, sehingga disamping dapat
menanggulangi kekeringan, mengatasi banjir serta dapat melindungi tebing sungai dari erosi,
juga dapat secara sekaligus melestarikan komponen-komponen dalam ekosistem di wilayah
tersebut, dalam hal ini adalah daerah aliran sungai (DAS) atau wilayah keairan.
Komponen ekologi dan hidrolik suatu sungai atau wilayah keairan mempunyai
keterkaitan yang saling berpengaruh positif. Vegetasi yang terdapat di tepi sungai akan
mendinginkan air sungai sehingga tercipta lingkungan yang baik bagi pertumbuhan berbagai
jenis binatang air seperti reptil, mamalia sungai, ikan, zoobenthos dan lain-lain. Biota
perairan Benthos seperti Molusca efektif untuk memantau polusi karena ia memproses air
dalam volume banyak dan menyimpan bahan kimia racun seperti logam, PCB (timbal) dan
pestisida di dalam jaringan tubuhnya.
Konsep eko-hidrolik dalam penyelesaian banjir sangat berbeda dengan konsep
konvensional atau cara hidrolik murni yang disebutkan diatas. Dalam konsep eko-hidrolik
tidak dikenal istilah daya rusak air untuk memberi julukan banjir, namun dikenal dengan
rusaknya retensi lingkungan atau daya dukung lingkungan yang berakibat sering munculnya
debit sungai yang ekstrim atau banjir. Konsep eko-hidrolik dalam penyelesaian banjir bertitik
tolak pada penanganan penyebab banjir secara integral, sedang konsep konvensional hidrolik
murni bertitik tolak pada penanganan secara lokal akibat dari banjir.
Konsep eko-hidrolik merupakan salah satu unsur dari konsep “One River One Plan
and One Integrated Management” (satu sungai satu perencanaan dan pengelolaan secara
integral). Pengelolaan secara integral ini bukan hanya diartikan secara administratif dari hulu
sampai ke hilir, namun juga harus diartikan secara substantif menyeluruh menyangkut
seluruh aspek yang berhubungan dengan sungai, artinya bahwa dalam menangani
permasalahan yang berhubungan dengan sungai mesti dilihat secara menyeluruh semua
komponen yang berhubungan dengan sistem sungai tersebut, baik komponen fisik maupun
non fisik, biotik maupun abiotik, dan dari hulu (pegunungan) sampai ke hilir (muara).
Gambar 2.1 Profil Melintang Sungai Yang Sudah Memasukkan Unsur Ekologi
Di Dalamnya

Beberapa aktivitas yang terkait dengan konsep ini antara lain :


1. Aktivitas peningkatan retensi sungai dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya
dengan menanami kembali bantaran-bantaran sungai yang dulunya sudah dibersihkan
atau diratakan pada saat pelurusan sungai. Vegetasi di sepanjang sungai tersebut akan
dapat menurunkan kecepatan air mengalir ke arah hilir sekaligus menghidupkan
dinamika sungai serta deversifikasi kecepatan, kedalaman air, turbulensi aliran dll.
2. Dalam rangka meningkatkan ruang retensi sepanjang alur sungai, sehingga dapat
menurunkan banjir di hilir maka dilakukan peningkatan retensi bantaraan sepanjang
alur sungai dengan cara membuka lahan-lahan pinggir sungai yang secara geografis
dapat dikembangkan menjadi kolam konservasi semi-ilmiah.
3. Mengembalikan kondisi dinamik sungai dengan cara menanami daerah bantaran
sungai yang hilang vegetasinya. Disamping itu juga dapat melakukan penggalian-
penggalian sungai yang telah diluruskan dibuat berkelok-kelok lagi. Cara lain dengan
membuat pulau-pulau buatan di tengah sungai. Dengan ini maka kecepatan aliran air
akan berkurang, arus air akan terbendung secara tidak permanen. Muka air akan naik
di bagian hulu dan di hilir turun serta timbul loncat air di beberapa tempat. Hal ini
akan meningkatkan intensitas dinamik sungai. Cara yang lainnya adalah dengan
membuat krib-krib sepanjang alur sungai yang sudah diluruskan secara berseling,
sehingga terjadi proses perubahan dari alur lurus ke alur yang berkelok-kelok.
4. Dengan menerapkan re-meandering, maka akan terbentuk struktur morfologi sungai
yang dinamis yang padanya terdapat daerah erosi dan endapan, daerah dengan
kecepatan tinggi, sedang dan rendah bahkan sangat rendah. Di samping itu juga
terdapat daerah bantaran sungai yang lebar yang secara periodis dan dinamis
mendapat suplai air dan nutrisi ekologis dari hulu. Dengan restorasi ini, maka didapat
berbagai keuntungan antara lain :
 Alur sungai tidak teratur tersebut dapat meretensi aliran air, sehingga
tendensi banjir di hilir bisa dikurangi.
 Menurunkan kecepatan aliran air, sehingga erosi di berbagai tempat di
sungai ini bisa dihindari
 Flora dan fauna tumbuh kembali menuju komposisi flora dan fauna alamiah
semula.
5. Pembukaan lagi sungai-sungai lama yang telah ditutup untuk menambah kemampuan
retensi air pada waktu banjir, sekaligus untuk menghidupkan kembali ekosistem
sungai lama yang telah mati, meningkatkan konservasi lain, menurunkan kecepatan
air, mengurangi resiko banjir hilir dan meningkatkan kualitas ekosistem dan
menghidupkan kembali sungai lama.
6. Menstabilkan muka air tanah dengan cara memperbanyak ruang retensi alamiah di
bagian hulu dan meningkatkan resapan air hujan ke tanah dengan cara memperbanyak
daerah tangkapan air hujan yang dilindungi.
7. Metode bioengineering sebagai usaha untuk menggunakan komponen vegetasi
(tanaman-tanaman dan di sepanjang bantaran sungai) untuk menanggulangi longsoran
dan erosi tebing sungai dan kerusakan bantaran sungai lainnya. Metode yang murah
dan mempunyai sustainibilitas yang tinggi.
8. Konsep drainase ramah lingkungan dengan cara mengalirkan kelebihan air (air hujan)
dengan cara meresapkan air ke dalam tanah, menyimpan dipermukaan tanah untuk
menjaga kelembaban udara dan mengalirkan ke sungai secara proporsional sehingga
tidak tidak menyebabkan tambahan beban banjir di sungai.
2.2 Permasalahan Banjir Pada Jawa Barat

Hujan merupakan rahmat dari Allah Swt. Dalam QS. Al mu’minun ayat 18 -20 menyebutkan :
ٍ ‫ض ۖ َوإِنَّا َعلَ ٰى َذهَا‬
‫ب بِ ِه لَقَا ِدرُون‬ ِ ْ‫َر فَأ َ ْس َكنَّاهُ فِي اأْل َر‬
ٍ ‫ء َما ًء ِبقَد‬jِ ‫زَلنَا ِمنَ ال َّس َما‬ْ ‫َوأَ ْن‬
َ‫ب لَ ُك ْم فِيهَا فَ َوا ِكهُ َكثِي َرةٌ َو ِم ْنهَا تَأْ ُكلُون‬
ٍ ‫ت ِم ْن ن َِخي ٍل َوأَ ْعنَا‬ ٍ ‫فَأ َ ْنشَأْنَا لَ ُك ْم بِ ِه َجنَّا‬
َ‫صب ٍْغ لِآْل ِكلِين‬ ِ ُ‫َو َش َج َرةً ت َْخ ُر ُج ِم ْن ط‬
ُ ‫ور َس ْينَا َء تَ ْنب‬
ِ ‫ُت بِال ُّد ْه ِن َو‬
“ Dan Kami turunkan air dari langit menurut suatu ukuran; lalu Kami jadikan air itu menetap di bumi,
dan sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa menghilangkannya. Lalu dengan air itu, Kami
tumbuhkan untuk kamu kebun-kebun kurma dan anggur; di dalam kebun-kebun itu kamu peroleh
buah-buahan yang banyak dan sebahagian dari buah-buahan itu kamu makan, dan pohon kayu keluar
dari Thursina (pohon zaitun), yang menghasilkan minyak, dan pemakan makanan bagi orang-orang
yang makan. “
Dari ayat tersebut menjelaskan kebesaran dan ketetapan Allah Swt yang memberikan rahmatNya
berupa hujan yang dapat menyuburkan tanah dan menumbuhkan tanaman pohon serta buah sesuai
kehendakNya.
Berdasarkan data dari website Badan Penanggulangan Bencana Daerah
(http://bnpb.cloud/dibi/laporan4) didapatkan informasi sebagai berikut :

Gambar 2.2. Tren Bencana di Provinsi Jawa Barat 10 tahun terakhir


Dilihat dari gambar di atas diketahui pada 10 tahun terakhir di Provinsi Jawa Barat sering mengalami
bencana banjir, tanah longsor dan puting beliung. Pada tahun 2014 merupakan tahun yang paling
banyak terjadi bencana di Provinsi Jawa Barat.
Pada penjelasan ini akan difokuskan kepada bencana banjir yang terjadi di Provinsi Jawa Barat.
Berikut beberapa chart jumlah kejadian banjir dan tabel kerusakan akibat bencana di setiap tahunnya
(kurun waktu 10 tahun).
Gambar 2.3. Chart Jumlah Kejadian Banjir di Provinsi Jawa Barat Tahun 2018

Tabel 2.1. Tabel Korban dan Kerusakan Akibat Bencana Alam di Provinsi Jawa Barat Tahun 2018

Dilihat dari data di atas diketahui pada tahun 2018 telah terjadi 47 kejadian banjir dan paling sering
terjadi di Kabupaten Bogor. Data tersebut diupdate terakhir pada tanggal 14 September 2018.

Gambar 2.4. Chart Jumlah Kejadian Banjir di Provinsi Jawa Barat Tahun 2017
Tabel 2.2. Tabel Korban dan Kerusakan Akibat Bencana Alam di Provinsi Jawa Barat Tahun
2017

Dilihat dari data di atas diketahui pada tahun 2017 telah terjadi 77 kejadian banjir dan paling sering
terjadi di Kabupaten Bogor dan Kabupaten Bandung.

Gambar 2.5. Chart Jumlah Kejadian Banjir di Provinsi Jawa Barat Tahun 2016

Tabel 2.3. Tabel Korban dan Kerusakan Akibat Bencana Alam di Provinsi Jawa Barat Tahun 2016

Dilihat dari data di atas diketahui pada tahun 2016 telah terjadi 117 kejadian banjir dan paling sering
terjadi di Kabupaten Bandung, Kabupaten Garut dan Kabupaten Bogor.
Gambar 2.6. Chart Jumlah Kejadian Banjir di Provinsi Jawa Barat Tahun 2015

Tabel 2.4. Tabel Korban dan Kerusakan Akibat Bencana Alam di Provinsi Jawa Barat Tahun
2015

Dilihat dari data di atas diketahui pada tahun 2015 telah terjadi 36 kejadian banjir dan paling sering
terjadi di Kabupaten Bandung.

Gambar 2.7. Chart Jumlah Kejadian Banjir di Provinsi Jawa Barat Tahun 2014
Tabel 2.5. Tabel Korban dan Kerusakan Akibat Bencana Alam di Provinsi Jawa Barat Tahun
2014

Dilihat dari data di atas diketahui pada tahun 2014 telah terjadi 124 kejadian banjir dan paling sering
terjadi di Kabupaten Bandung, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Garut dan Kabupaten Bogor.

Gambar 2.8. Chart Jumlah Kejadian Banjir di Provinsi Jawa Barat Tahun 2013

Tabel 2.6. Tabel Korban dan Kerusakan Akibat Bencana Alam di Provinsi Jawa Barat Tahun
2013

Dilihat dari data di atas diketahui pada tahun 2013 telah terjadi 94 kejadian banjir dan paling sering
terjadi di Kabupaten Bandung.
Gambar 2.9. Chart Jumlah Kejadian Banjir di Provinsi Jawa Barat Tahun 2012

Tabel 2.7. Tabel Korban dan Kerusakan Akibat Bencana Alam di Provinsi Jawa Barat Tahun
2012

Dilihat dari data di atas diketahui pada tahun 2012 telah terjadi 46 kejadian banjir dan paling sering
terjadi di Kabupaten Bogor.

Gambar 2.10. Chart Jumlah Kejadian Banjir di Provinsi Jawa Barat Tahun 2011
Tabel 2.8. Tabel Korban dan Kerusakan Akibat Bencana Alam di Provinsi Jawa Barat Tahun
2011

Dilihat dari data di atas diketahui pada tahun 2011 telah terjadi 45 kejadian banjir dan paling sering
terjadi di Kabupaten Bandung.

Gambar 2.11. Chart Jumlah Kejadian Banjir di Provinsi Jawa Barat Tahun 2010

Tabel 2.9. Tabel Korban dan Kerusakan Akibat Bencana Alam di Provinsi Jawa Barat Tahun
2010

Dilihat dari data di atas diketahui pada tahun 2010 telah terjadi 186 kejadian banjir dan paling sering
terjadi di Kabupaten Bandung dengan jumlah 65 kali. Sedangkan di Kabupaten Cianjur, Kabupaten
Garut dan Kota Karawang masing – masing dengan jumlah 12 kali.
Gambar 2.12. Chart Jumlah Kejadian Banjir di Provinsi Jawa Barat Tahun 2009

Tabel 2.10. Tabel Korban dan Kerusakan Akibat Bencana Alam di Provinsi Jawa Barat Tahun
2009

Dilihat dari data di atas diketahui pada tahun 2009 telah terjadi 42 kejadian banjir dan paling sering
terjadi di Kabupaten Bandung.

Dari keseluruhan data kejadian banjir 10 tahun terakhir di Provinsi Jawa Barat tersebut, diketahui
kejadian banjir terparah pada tahun 2010 dengan jumlah 186 kejadian banjir. Selain itu, diketahui pula
bahwa Kabupaten Bandung adalah daerah yang paling sering terjadi bencana banjir di tiap tahunnya.
Untuk itu perlu diberikan perhatian khusus dalam penanganan banjir di Kabupaten Bandung.
2.3 Permasalahan Banjir Pada Kabupaten Bojongsoang dan Penanggulangan
Bandung Selatan adalah salah satu wilayah yang selalu akrab dengan genangan banjir.
Penyebab terjadinya genangan banjir di wilayah Bandung Selatan disebabkan Bandung
Selatan berada pada posisi sejajar dengan sungai terpanjang di Jawa Barat yaitu Sungai
Citarum, bahkan terdapat beberapa desa yang elevasinya berada dibawah Sungai Citarum.
Kondisi geografis tersebut yang membuat setidaknya ada beberapa Kecamatan di Wilayah
Bandung Selatan yakni Kabupaten Bandung selalu terendam banjir. Salah satu kecamatan
yang berada di Kabupaten Bandung tersebut yang selalu terendam banjir adalah Kecamatan
Bojongsoang Sementara itu alih fungsi lahan Sub DAS Citarum Hulu tidak dapat dihindari
lagi.
Alih fungsi ini menyebabkan berbagai perubahan diantaranya peningkatan run off,
hilangnya alur-alur sungai, hilangnya beberapa situ alam, berubahnya saluran alam, serta
berubahnya fungsi saluran irigasi menjadi saluran pembuang. Berbagai perubahan tersebut,
mengakibatkan permasalahan banjir atau genangan yang sering terjadi, ditambahkan lagi
adanya perilaku masyarakat yang masih membuang sampah pada badan-badan air, seperti
sungai dan saluran. Hampir seluruh penanganan banjir saat ini masih mengandalkan upaya
struktural. Peran masarakat masih kurang optimal dalam proses perencanaan, pelaksanaan,
dan operasi pemeliharaan terhadap prasarana pengendali banjir

Gambar 2.13. Peta RTRW Bojongsoang


Gambar 2.14. Peta Sungai Yang Melewati Kabupaten Bojongsoang

Berdasarkan analisis kelompok, penyebab banjir di kecamatan bojongsoang diakibatkan


oleh meluapnya sungai citarum akibat debit banjir dari besar dari hulu, akibat kontribusi
debit banjir sungai yang bermuara ke citarum, dan kombinasi keduanya. Selain itu
permasalahan sedimentasi dan sampah yang dibuang ke badan sungai memperlambat laju
aliran air, sehingga kapasitas tampungan berkurang dan memperparah banjir yang terjadi.
Disamping itu, daerah bojongsoang dan sekitarnya memiliki kondisi topografi daerah
yang relatif datar dan berupa cekungan, sehingga air cendering melambat dan
menggenang bila menerima debit yang cukup besar.

Gambar 2.15. Peta Lokasi Banjir di Kecamatan Bojongsoang


2.3.1 Upaya Penanganan Banjir Kabupaten Bojongsoang Secara Struktural
Solusi pengendalian banjir yang kelompok kami rekomendasikan mencakup beberapa
kelompok penyelesaian berdasarkan penyebab masalah banjir di kecamatan bojongsoang,
antara lain : memotong debit puncak, mengendaliakan sedimen, mengurangi limpasan
dengan menahan air selama mungkin di bagian hulu dengan membuat resapan dan
pengelolaan sampah. Bagan upaya structural yang hasil rekomendasi kelompok adalah
seperti pada Dibawah Ini.

Gambar 2.16. Bagan Alternatif Solusi Pengendalian Banjir

Polder Konsep dasar dari polder/ kolam retensi adalah menampung volume air ketika debit
maksimum di sungai datang, kemudian secara perlahan-lahan mengalirkannya ketika debit di
sungai sudah kembali normal. Secara spesifik polder akan memangkas besarnya puncak
banjir yang ada di sungai, sehingga potensi over topping yang mengakibatkan kegagalan
tanggul dan luapan sungai tereduksi.
Dam Penahan adalah bendungan kecil yang lolos air dengan konstruksi bronjong batu,
anyaman ranting atau trucuk bambu/kayu yang dibuat pada alur jurang dengan tinggi
maksimum 4 meter.
Bangunan sumur resapan air adalah salah satu rekayasa teknik konservasi air berupa
bangunan yang dibuat sedemikian rupa sehingga menyerupai bentuk sumur gali dengan
kedalaman tertentu Yang berfungsi sebagai tempat menampung air dan meresapkannya ke
dalam tanah. Tujuan membangun sumur resapan adalah untuk mengurangi aliran permukaan
dan mengisi air-tanah (groundwater) sebagai upaya untuk mengembalikan dan
mengoptimalkan fungsi komponen-komponen sistem tata air Daerah Aliran Sungai (DAS)
sesuai dengan kapasitasnya.
Pemanenan air hujan atau Rainwater Harvesting adalah teknik mengumpulkan dan
menyimpan air hujan yang jatuh di atas bangunan, jalan, maupun lapangan di waktu musim
hujan untuk dimanfaatkan lagi. Rainwater harvesting merupakan komponen penting dari
pengelolaan air perkotaan dengan teknologi inovatif sederhana. Sistem rainwater harvesting
memanfaatkan sumber daya air serta mengurangi limpasan perkotaan (urban runoff), dan
menghemat pengeluaran uang untuk penggunaan air serta dapat mengurangi penggunaan air
tanah.

Salah satu metode yang telah dikembangkan pusat Sumber Daya Air (Pusair) di tahun 2003
adalah digunakannya metode ABSAH untuk dapat menampung air hujan. Metode ABSAH
merupakan singkatan dari Akuifer Buatan Simpanan Air Hujan. Akuifer adalah lapisan
batuan di dalam tanah yang bisa menampung dan menyimpan air. Untuk beberapa wilayah
kering di Indonesia, lapisan akuifer ini terletak di kedalaman yang cukup jauh untuk
dijangkau bahkan oleh sumur artesis sekalipun karena bisa mencapai lebih dari 40 meter.

2.3.2 Upaya Penanganan Banjir Kabupaten Bojongsoang Secara Non Struktural


1. Edukasi Masyarakat terhadap bahaya banjir.
Salah satu upaya bentuk tindakan non-struktural yang dapat dilakukan oleh
masyarakat untuk menghadapi bahaya dan mengatasi risiko adalah kesiapsiagaan.
Kesiapsiagaan adalah suatu upaya yang dilaksanakan untuk mengantisipasi
kemungkinan terjadinya bencana guna menghindari jatuhnya korban jiwa, kerugian
harta benda, dan berubahnya tata kehidupan masyarakat dikemudian hari
2. Pembelajaran masyarakat tentang penyebab banjir antara lain pembuangan
sampah di sungai
Sampah adalah sisa kegiatan sehari- hari manusia dan/atau dari proses alam yang
berbentuk padat (Suyoto, 2008). Laju produksi sampah terus meningkat, tidak saja
sejajar dengan laju pertumbuhan penduduk tetapi juga sejalan dengan meningkatnya
pola konsumsi masyarakat.
3. Penyiapan tempat pembuangan sampah ditingkat lingkungan rumah sampai
TPS maupun TPA.
Hal ini juga berhubungan dengan tingkat pendapatan keluarga berkorelasi positif
dengan cara pengelolaan sampah rumah tangga. Artinya sesuai dengan pendapat
Neolaka (2008), kemiskinan membuat orang tidak peduli dengan lingkungan.
4. Perumahan baru diwajibkan memiliki ruang terbuka hijau minimal 30% dan
system kolam retensi komunal atau setiap rumah memiliki sumur resapan
(melalui perda).
Keseimbangan siklus hidrologi dapat terganggu antara lain dengan seringnya
pembukaan lahan dengan penebangan pohon di wilayah tangkapan hujan,
pembangunan areal terbangun di pinggir sungai.
5. Pengendalian sedimen dari erosi lahan secara non struktural melalui sosialisasi
cara pengolahan lahan yang sesuai kaidah konservasi, harus dilaksanakan dan
dimonitor secara konsisten.
Salah satu penyebab lahan kritis adalah adanya aktifitas yang melebihi kemampuan
lahan, seperti kegiatan pengusahaan hutan yang melanggar ketentuan, penebangan
liar, perladangan berpindah perambahan lahan dan kebakaran hutan dan lahan.
Disamping itu adanya kegiatan konversi kawasan hutan menjadi areal pertambangan,
perkebunan, pemukiman dan lain-lain yang kurang terencana dengan baik juga
mempercepat terbentuknya lahan kritis

2.4 Permasalahan Banjir Pada Kabupaten Dayehkolot


Salah satu Kecamatan yang berada di cekungan Bandung yang menjadi kawasan
langganan banjir tahunan adalah Kecamatan Dayeuhkolot. Pola aliran sungai di Cekungan
Bandung adalah identik dengan sistem Sungai Citarum bagian Hulu. Dimana Sungai Citarum
Hulu adalah sungai berordo 5 sehingga perbandingan jumlah alur sungai orde u dengan orde
ke u+1 yang menghasilkan angka indeks percabangan sungai 1,94. Artinya angka ini
memiliki indikasi kalau alur sungai tersebut memiliki kenaikan muka air banjir yang cepat
tapi penurunannya lambat.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya di atas, bahwa banjir yang terjadi di
Dayeuhkolot merupakan bagian dari banjir yang terjadi di DAS Citarum Hulu yang
disebabkan oleh luapan Sungai Citarum dan anak-anak Sungai Citarum (S. Cisangkuy, S.
Citarik, S. Citepus, S. Cikapundung). Dan dari hasil identifikasi data yang di dapat, bahwa
luasan banjir yang terjadi di kawasan Dayeuhkolot saja cakupan luasan banjirnya mencapai
1474 Ha dengan ketinggian genangan yang variatif berkisar antara 0,1 m hingga 2,6 m
(berdasarkan Data BBWS Ciatrum dan SDAPE Kabupaten Bandung).
Gambar 2.17. Peta Sebaran Banjir Kabupaten Dayeuhkolot
Penyebab terjadinya banjir salah satunya dipengaruhi oleh laju sedimentasi. Berdasarkan
kajian yang dilakukan oleh BBWS Citarum, pertumbuhan sediment di daerah tangkapan
Citarum terhitung 26 juta ton/tahun pada tahun 1982 dan meningkat menjadi 62 juta
ton/tahun pada tahun 2008. Penunjang utama adalah meningkatnya erosi didaerah hulu yang
diakibatkan perkembangan kegiatan agrikultural, perubahan fungsi hutan dan juga urbanisasi.
Kajian ADB mengestimasi beban sediment di sungai Nanjung-Sapan meningkat dari 2.6 juta
ton/tahun menjadi 10 juta ton/tahun pada tahun 2010.

Gambar 2.17. Grafik Laju Sedimentasi Dayeuhkolot


Adapun tiga faktor penyebab utama terus meningkatnya tingkat erosi dan sedimentasi sistem
Sungai Citarum antara lain:
1. Erosi pada lahan yang relatif curam terus meningkat akibat perkembangan pertanian
dan urbanisasi;
2. Pada musim hujan, beban sedimentasi terbesar membebani sistem sungai; dan
3. Penurunan elevasi permukaan tanah akibat pengambilan air-tanah di Kota Bandung.
Sampah dan perubahan tata guna lahan juga menjadi penyebab sering terjadinya banjir di
sana. volume sampah yang masuk ke sungai maka bisa dipastikan sampah menjadi salah satu
penyebab utama banjir di kawasan Dayeuhkolot khususnya dan Kabupaten Bandung pada
umumnya. Oleh karena itu, penanganan banjir di Dayeuhkolot harus juga menyertakan
penanganan sampah agar tidak masuk ke badan air seperti sungai.

2.4.1 Upaya Penanganan Banjir Kabupaten Dayeuhkolot Secara Struktural


Upaya yang dapat dilakukan dalam hal structural adalah sebagai berikut :
1. Merestorasi Kawasan Hulu, Adapun langkah yang harus segera dilaksanakan agar bisa
membuat kondisi kawasan hulu menjadi lebih baik lagi adalah dengan cara merestorasi
kawasan hulu. Yang utama adalah dengan cara mereboisasi dengan menanam pohon
sebanyak-banyaknya. Akan tetapi kegiatan reboisasi ini tidak hanya sekedar kegiatan
penanaman semata, yang hanya fokus pada kegiatan awalnya saja lalu kegiatan
pemeliharaannya tidak dilaksanakan dengan baik.
2. Menangani Backwater di Sungai Mati, Banjir pada daerah Sungai Mati tersebut
disebabkan oleh luapan Sungai Citarum dan sungai mati yang dilewati Sungai
Cikapundung. As/dasar Sungai Cikapundung berada pada elevasi 652,96 m dpl.
Gambaran elevasi ini membuktikan bahwa adanya back water dari Sungai Citarum ke
Sungai Cikapundung. Back water ini menyebabkan meluapnya Sungai Cikapundung dan
sungai mati di muara Sungai Cikapundung sehingga menyebabkan banjir di daerah
sekitar, selain itu juga didapati genangan air di sungai mati Cikapundung tidak mengalir
ke Sungai Citarumyang membuktikan bahwa elevasi Sungai Cikapundung dan sungai
mati lebih rendah dari Sungai utama yakni Sungai Citarum. Dari data demikian bisa
dilakukan penanganan banjir di Kecamatan Dayeuhkolot pada aliran sungai
Cikapundung dengan melakukan simulasi penanganan dengan menggunakan “Polder”.
3. Pembuatan TPA Terpadu Metode penanganan sampah yang diusulkan adalah
mendirikan Komposter Sampah Organik dan Bank Sampah. Hal ini tidak terlepas karena
seperti yang sudah dijabarkan sebelumnya bahwa volume sampah yang tidak terangkut
ke TPSA mencapai hampir 70 %. Sehingga dengan kapasitas pengangkutan sampah ke
TPSA sangatlah terbatas, maka opsi yang ada adalah pemanfaatan kembali sampah yang
dihasilkan, sehingga perlu pemilahan sampah oleh masyarakat menurut kategorinya
terlebih dahulu secara berkelanjutan.
Pemanfaatan sampah terbagi atas kategori sampah organik dan non-organik, sampah
organik diarahkan untuk menjadi kompos melalui pengolahan misalnya dengan biopori
yang disebutkan sebelumnya ataupun menggunakan komposter. Sedangkan sampah non-
organik yang bisa di daur ulang antara lain seperti kertas, plastik maupun logam, tidak
menutup kemungkinan jenis sampah seperti kulit, karet dan kaca juga bisa dikumpulkan
dan dicoba dimanfaatkan kembali.

2.4.1 Upaya Penanganan Banjir Kabupaten Dayeuhkolot Secara Non Struktural


1. Penanganan Banjir dengan konsep Ekohidrologi sebagai Upaya Restorasi Kawasan
Hulu
Konsep dasar dalam ilmu ekohidrologi adalah bahwa fisiologi tanaman berhubungan
langsung dengan ketersediaan air. Dimana ada air yang cukup, seperti hutan hujan,
pertumbuhan tanaman lebih bergantung pada ketersediaan hara. Melihat ketersediaan
lahan yang cukup minim di daerah Kecamatan Dayeuhkolot, alternatif penanggulangan
baik secara struktural maupun non struktural diharapkan memiliki dampak minimum
mengenai ketersediaan lahan besar yang memerlukan pembebasan lahan yang secara sosial
akan menimbulkan isu lainnya yang mungkin dilaplikasikan.

Gambar 2.18 Meningkatnya Runoff Karena Perubahan Penggunaan Lahan (Kemur,


2011)
2. Rain Garden, Pada dasarnya konsepnya adalah menyediakan lahan dengan curve
number seminim mungkin dalam ranka mengurangi limpasan aliran permukaan yang
berpotensi memberikan tambahan debit pada saat banjir, namun lokasi hutan hujan ini
bisa dijadikan pula lokasi wisata perkotaan, hutan kota atau dapat dikombinasikan
dengan pemukiman. Rain garden dirancang untuk mengalirkan limpasan cepat dengan
melakukan infiltrasi yng dipercepat. Rain garden dibuat dalam skala rumah tangga juga,
tidak ada rekayasa alam dan menggunakan tanah asli. Menggunakan tanah spesies asli
daerah setempat yang mengandung unsur estetika dan membantu penyerapan pada zona
perakaran aktif melalui makro pori.
Dan dapat disimpulkan beberapa saran kedepan supaya penanganan pengendalian banjir di
Kecamatan Dayeuhkolot bisa dilakukan secara berkelanjutan dan optimal jika:
1. Penanganan banjir di Kecamatan Dayeuhkolot ini dilakukan secara komprehensif dan
menyeluruh, tidak hanya dianalisa di wilayah kawasan Kecamatan Dayeuhkolot saja,
tetapi juga di Kecamatan lainnya yang terkena indikasi kerusakan ekosistem dan
masalah yang melewati kawasan Sungai Citarum.
2. Perlu dilakukan perencanaan yang matang dan terperinci dengan berbagai pengukuran
terhadap alur dan analisa daerah tangkapan sesuai dengan standar analisa yang
berlaku karena penanganan banjir ini harus dilakukan secara serius.
3. Perlu juga dilaksanakan analisa sistem untuk pemilihan kriteria terhadap alternatif-
alternatif yang ada, agar penanganan terlaksana secara optimal dan efektif.
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan

Dari hasil makalah diatas maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Pengendalian banjir di Indonesia merupakan bagian dari pengelolaan sumberdaya air


secara luas, dengan cakupan yang meliputi konservasi, pengendalian dan pendayagunaan
air. Konsep dasar pengendalian banjir adalah menahan debit puncak aliran dan angkutan
sedimen di bagian hulu.
2. Di jawa barat perubahan musim jarang berdampak dalam kesejahteraan masyarakat.
Namun seiring berkembangnya pembangunan, perubahan musim membuat perbedaan
yang terasa pada kehidupan. Ketika musim hujan sering terjadi banjir dan ketika musim
kemarau terjadi kekeringan. Banjir dan kekeringan merupakan hal bertolak belakang
tetapi hal tersebut menjadi hal yang selalu terjadi tiap tahunnya.
3. Pada kabupaten Bojongsoang Alih fungsi lahan menyebabkan mengakibatkan
permasalahan banjir atau genangan yang sering terjadi, ditambahkan lagi adanya perilaku
masyarakat yang masih membuang sampah pada badan-badan air, seperti sungai dan
saluran. Hampir seluruh penanganan banjir saat ini masih mengandalkan upaya
struktural.
4. Pada Kabupaten Dayeukolot Sampah, perubahan tata guna lahan juga menjadi penyebab
sering terjadinya banjir di sana. volume sampah yang masuk ke sungai maka bisa
dipastikan sampah menjadi salah satu penyebab utama banjir di kawasan Dayeuhkolot.

3.2 Saran
1. Diperlukan studi lebih lanjut mengenai cara penanganan banjir yang berintegrasi dari
skala nasional hingga desa.
2. Adanya sosialisasi tentang rencana kedepan mengenai kebijakan yang akan dibuat
kedepan.
DAFTAR PUSTAKA

BPDAS Ciliwung Citarum, (2016) : Paparan Kondisi Kerusakan Lahan DAS Citarum, Bandung BPS
Kabupaten Bandung, (2016): Kecamatan Bojongsoang Dalam Angka Tahun 2016, Kabupaten
Bandung BBWS Citarum, (2013): Pengendalian Banjir Komrehensif Dayeuhkolot. Bandung. BBWS
Citarum, (2017): Paparan Kondisi Sampah Dan Limbah Di Sungai Citarum, Bandung
http://bnpb.cloud/dibi/laporan4 ; 24 September 2018, 12.43 WIB
https://tafsirq.com/23-al-muminun/ayat-18 ; 23 September 2018, 22.00 WIB

Anda mungkin juga menyukai