Asthma
Asthma
Asthma
PENDAHULUAN
1
1.3 Manfaat
Manfaat Teoritis
Penulisan ini diharapkan dapat menambah pengetahuan penulis dan pembaca tentang
Asma Serangan Ringan – Sedang, Episodik Jarang dan Bronkitis Akut
Manfaat Praktis
Penulisan ini dapat menjadi bahan rujukan bagi dokter klinisi dalam menangani
pasien saat praktek.
2
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas
Identitas Pasien
Nama : An.G
Jenis kelamin : Perempuan
Tempat, tanggal lahir : Bangkalan, 15 Mei 2013
Identitas pasien : Anak kandung
Alamat : Kamal, Bangkalan
Suku : Madura
Agama : Islam
Tanggal MRS : 21 September 2020
No. RM : 230451
Tanggal Pemeriksaan : Senin, 22 September 2020
2.1.2 Identitas Orang tua :
Ayah :
Nama : Tn. S
Jenis kelamin : laki-laki
Pekerjaan : Pedagang
Alamat : Kamal
Status : Menikah
Hubungan : Anak Kandung
Ibu:
Nama Ibu : Ny. T
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Kamal
Status : Menikah
Hubungan : Anak Kandung
3
2.2 Anamnesis
Keluhan utama : Sesak
Riwayat Penyakit Sekarang :
Sesak (+) 2 hari, sesak semakin hari semakin memberat, pasien mengeluhkan
sesak didahului dengan batuk terlebih dahulu, sesak tidak membaik dengan
perubahan posisi, dan memberat pada malam hari menjelang subuh, ketika sesak
pasien tidak sampai membiru pada telapak tangan, kaki, ataupun pada mulut. Tidak
mengeluhkan nyeri dada (-) dada seperti tertekan (+). Pasien m baru pertama kali
ini mengalami sesak. Saat sesak, pasien tidak dapat melakukan aktifitas, pasien
dapat diajak bicara saat sesak. Saat di IGD sesak pasien membaik dengan diberikan
Oksigen. Batuk (+) 7 hari dan memberat 2 hari terakhir, batuk berawal dari batuk
kering lalu sekarang menjadi batuk berdahak darah (-), batuk semakin memberat
disaat menjelang subuh, muntah makanan (+) 1x, Pilek (-), Demam (-), BAB cair
(-) , BAB 1x, BAK minimal 3x sehari, kuning jernih.
Riwayat Penyakit Dahulu : Rhinitis Alergi (-), Rhinitis Vasomotor (-), Dermatitis
Atopik (-), Asthma (-)
Riwayat Penyakit Keluarga : Asthma (-), Rhinitis Alergi (-), Rhinitis Vasomotor
(-), Ayah alergi cuaca : gatal – gatal bila suhu dingin.
Riwayat Alergi :
Alergi cuaca (+) sering batuk di malam hari dan waktu dingin
Alergi obat (-)
Alergi makanan (seafood, telur, susu) (-)
Alergi debu (-)
Riwayat Pengobatan : Sebelum ke Rumah Sakit pasien dibawa ke Puskesmas
Kamal dan di nebul combiven : pz 2x membaik
Riwayat Kehamilan Ibu :
Kehamilan ini merupakan kehamilan pertama. Ibu memiliki 2 anak. Tidak
didapatkan keluhan saat hamil. Pada masa kehamilan, ibu pasien melakukan
pemeriksaan kehamilan di bidan rutin setiap bulan. Selama masih kehamilan, ibu
pasien hanya minum vitamin dan Fe dari bidan. Ibu pasien juga mengatakan rutin
ANC selama masa kehamilan.
Riwayat Persalinan :
Pasien lahir di bidan dengan persalinan normal spontan. Masa gestasi 39 minggu
(cukup bulan) keadaan bayi saat lahir dengan:
4
APGAR Score : Tidak ada data
Berat Badan Lahir : 3000 gram
Panjang Badan Lahir : Tidak ada data
Lingkar Kepala : Tidak ada data
Lingkar Lengan : Tidak ada data
Saat lahir pasien langsung menangis, sianosis (-), kejang (-), sesak (-), ikterik (-).
Kesan : Riwayat kelahiran dalam batas normal
Motorik halus
Kepala menoleh kanan-kiri : 1 bulan
Memegang benda : 3 bulan
Memindah benda : 7 bulan
Mencoret coret : 15 bulan
Menggambar garis tegak : 3 tahun
Riwayat Nutrisi :
ASI = 0 – 12 bulan
Susu Formula + Bubur susu = 12 bulan
Susu Formula + Nasi Lumatan = 15 bulan – 2 tahun
Makan nasi + lauk = 2 tahun - sekarang
5
Riwayat Imunisasi :
UMUR VAKSIN
0 Bulan HB-0
1 Bulan BCG+Polio 1
2 Bulan DPT+HB-Hib 1+ Polio 2
3 Bulan DPT+HB-Hib 2+ Polio 3
4 Bulan DPT+HB-Hib 3+ Polio 4+IPV
9 Bulan Campak
6
Kornea : kanan dan kiri jernih
Pupil : kanan dan kiri bulat simetris (3mm/3mm), refleks cahaya (+/+),
Isokor
Telinga Bentuk : normotia, simetris
Sekret : -/-
Tanda infeksi : -/-
Hidung Bentuk : septum nasi tampak simetris dan tidak ada septum deviasi,
cavum nasi tidak hiperemis, tampak, pernafasan cuping hidung (-)
Bibir Mukosa bibir : pucat (-) , kering (-), sianosis (-)
Gigi geligi Tidak ada gigi yang tumbuh
Mulut Bentuk : tidak ada kelainan
Mukosa pipi : merah, pucat (-)
Perdarahan gusi : (-)
Lidah Bentuk dan ukuran : normal, lidah kotor (-)
Tonsil Tonsil tidak membesar (T1/T1),
Hiperemis (-)
Faring Hiperemis (-), uvula di tengah.
Leher Bentuk : tidak ada kelainan
KGB tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening
JVP : normal
Toraks Paru :
Inspeksi : Simetris, retraksi dinding dada (-)
Palpasi : Taktil fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : sonor di kedua lapang paru
Auskultasi: vesikuler (+/+), ronkhi kasar saat inspirasi (+/+), wheezing
ekspirasi
(+/-)
Jantung :
Inspeksi : Tidak tampak pulsasi ictus cordis, thrill (-)
Palpasi : tidak teraba ictus cordis dan thrill, massa (-)
Perkusi : pembesaran jantung (-)
Auskultasi: BJ I/ II normal (tidak mengeras/melemah), murni reguler,
Bising sistole dan diastole (-), Gallop (-).
Abdomen Inspeksi : Datar, umbilikus tidak menonjol, gerakan peristaltik usus (-)
8
Pemeriksaan Foto Thorax
2.8 Resume
Sesak (+) 2 hari, sesak semakin hari semakin memberat, pasien mengeluhkan sesak
didahului dengan batuk terlebih dahulu, sesak tidak membaik dengan perubahan posisi,
dan memberat pada malam hari menjelang subuh, ketika sesak pasien tidak sampai
membiru pada telapak tangan, kaki, ataupun pada mulut. Tidak mengeluhkan nyeri dada
(-) dada seperti tertekan (+). Pasien m baru pertama kali ini mengalami sesak. Saat sesak,
pasien tidak dapat melakukan aktifitas, pasien dapat diajak bicara saat sesak. Saat di IGD
sesak pasien membaik dengan diberikan Oksigen. Batuk (+) 7 hari dan memberat 2 hari
terakhir, batuk berawal dari batuk kering lalu sekarang menjadi batuk berdahak darah (-),
batuk semakin memberat disaat menjelang subuh, muntah makanan (+) 1x, Pilek (-),
Demam (-), BAB cair (-) , BAB 1x, BAK minimal 3x sehari, kuning jernih. Pada
pemeriksaan fisik suhu 36,2 oC, nadi 118 x/menit, RR 28 x/menit, pada pemeriksaan
thorax vesikuler (+/+), ronkhi kasar saat inspirasi (+/+), wheezing saat ekspirasi (+/-).
Non Medikamentosa :
Istirahat
Monitoring keadaan klinis
Menjaga kebersihan diri dan sekitar
2.11 Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
2.12 Edukasi
1. Memberi edukaki ke keluarga pasien tentang penyebab asma antaranya cuaca dingin,
alergi debu, asap rokok, dan yang lain.
2. Menjaga kebersihan di rumah, sekitarnya, supaya bebas dari debu, dan apa jua alergen
yang lain.
3. Segera mencari pertolongan yang tepat dan berkomunikasi secara efektif denga dokter
yang memeriksa.
2.13 Follow Up
Tanggal Subjektif Objektif Assesment Planning
10
Thorax :
rh+/+,wh+/-
Abdomen : dBN
Akral hangat
11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Asthma
3.1.1 Definisi
GINA mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi kronis saluran nafas
dengan banyak sel berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang
yang rentan inflamasi tersebut menyebabkan episode mengi berulang, sesak nafas, rasa
12
dada tertekan, dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Gejala tersebut biasanya
berhubungan dengan penyempitan jalan napas yang luas namun bervariasi, yang paling
tidak sebagian bersifat reversibel baik secara spontan maupun dengan pengobatan.
Inflamasi tersebut juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan nafas terhadap
berbagai rangsangan.4 Selain definisi diatas, untuk mempermudah batasan operasional
asma untuk kepentingan klinis yang lebih praktis, Pedoman Nasional Asma Anak
(PNAA) mengatakan asma yaitu mengi berulang dan/atau batuk persisten dengan
karakteristik sebagai berikut: timbul secara episodik, cenderung pada malam hari/dini
hari (nokturnal), musiman, hari (nokturnal), adanya faktor pencetus adanya faktor
pencetus diantaranya aktivitas fisik, dan bersifat reversibel baik secara spontan maupun
dengan pengobatan, serta adanya riwayat asma atau atopi lain pada
pasien/keluarganya.4
3.1.2 Epidemiologi
Asma merupakan penyakit yang dapat menyerang semua orang, baik anak
maupun dewasa, dengan gejala utama wheezing. Sejarah penyakit asma
mengindikasikan bahwa asma merupakan penyakit yang kebanyakan terjadi di
negara yang telah berkembang dengan pendapatan tinggi seperti Amerika.
Diperkirakan secara global, terdapat 334 juta orang penderita asma di dunia. Penelitian
mengenai prevalensi asma di Indonesia sudah dilakukan sejak awal tahun 1990an di
berbagai senter pendidikan. Hampir semua peneliti menggunakan kuesioner yang
dirancang masing masing sehingga hasilnya berbeda, namun setelah dilakukan
penelitian ISAAC I, penelitian di Indonesia dan berbagai tempat di dunia
menggunakan kuesioner yang sama dari studi ISAAC. Penelitian dilakukan pada
kelompok usia 6-7 tahun dan 13-14 tahun.5
3.1.3 Patogenesis
Asma dapat terjadi pada usia berapapun, tetapi paling sering berawal pada anak
usia dini. Asma terjadi sebagai hasil interaksi antara faktor genetik dan lingkungan
sehingga upaya dikerahkan untuk mengidentifikasi Faktor-faktor yang dapat
dimodifikasi untuk pencegahan. Banyak pedoman menyebutkan bahwa faktor
tersebut antara lain infeksi, pajanan mikroba, alergen, stres, polusi, dan asap tembakau.
Perkembangan alergen IgE spesifik, terutama jika terjadi pada awal kehidupan,
merupakan faktor risiko penting Berkembangnya asma,terutama di negara- negara
maju. Mekanisme imunologis inflamasi saluran respiratori. Pada banyak kasus,
13
terutama pada anak dan dewasa muda, asma dihubungkan dengan manifestasi atopi
melalui mekanisme IgE dependent. Pada populasi diperkirakan faktor atopi
memberikan Kontribusi pada 40% penderita asma anak dan dewasa. Sedikitnya ada
dua jenis T Helper( (Th1 dan Th2), limfosit subtipe CD4+ telah dikenal profilnya
dalam produksi sitokin. Meskipun kedua jenis limfosit T mensekresi interleukinH3
(ILH3) dan granulocyte macrophage colony stimulating factor (GMHCSF), Th1
terutama memproduksi ILH2, IFHγ dan TNFHβ. Sedangkan Th2 terutama
memproduksi sitokin yang terlibat dalam asma, yaitu ILH4, ILH5, ILH9, ILH13, dan
ILH16. Sitokin yang dihasilkan oleh Th2 bertanggung jawab atas terjadinya reaksi
hipersensitivitas tipe lambat ataupun cell mediated.6 Langkah pertama terbentuknya
respons imun adalah aktivasi limfosit T oleh antigen yang dipresentasikan oleh sel-
sel aksesoris, yaitu suatu proses yang melibatkan molekul major histocompatibility
complex (MHC kelas II pada sel T CD4+ dan MHC kelas I pada sel T CD8+). Sel
dendritik merupakan antigen presenting cells (APC) yang utama dalam saluran
respiratori. Sel dendritik terbentuk dari prekursornya di dalam sumsum tulang,
membentuk jaringan luas, dan sel-selnya saling berhubungan pada epitel saluran
respiratori. Kemudian, sel-sel tersebut bermigrasi ke kumpulan sel-sel limfoid di
bawah pengaruh GMHCSF, yaitu sitokin yang terbentuk oleh aktivasi sel epitel,
fibroblas, sel T, makrofag, dan sel mast. Setelah antigen ditangkap, sel dendritik
pindah ke daerah yang banyak mengandung limfosit. Di tempat tersebut, dengan
pengaruh sitokin-sitokin lainnya, sel dendritik menjadi matang sebagai APC yang
efektif. Bagan patogenesis asma tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.1.7
14
Gambar 3.1 Patogenesis Asthma
Adanya eosinofil dan limfosit yang teraktivasi pada biopsi bronkus pasien
asma atopi dan non atopi wheezing mengindikasikan bahwa interaksi sel limfosit TH
eosinofil sangat penting, dan hipotesis ini lebih jauh lagi diperkuat oleh
ditemukannya sel yang mengekspresikan IL-5 pada biopsi bronkus pasien asma
atopi. IL-5 merupakan sitokin yang penting dalam regulasi eosinofil. Tingkat
keberadaannya pada mukosa saluran respiratori pasien asma berkorelasi dengan
aktivasi sel limfosit T dan eosinofil.8
Remodeling saluran respiratori
Remodeling saluran respiratori merupakan serangkaian proses yang
menyebabkan deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur saluran
respiratori melalui proses dediferensiasi, migrasi, diferensiasi, dan maturasi struktur
sel. Kombinasi kerusakan sel epitel, perbaikan epitel yang berlanjut, produksi
berlebih faktor pertumbuhan profibrotik/transforming growth factors (TGFHβ), dan
proliferasi serta diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas diyakini merupakan proses
yang penting pada remodeling. Miofibroblas yang teraktivasi akan memproduksi
faktorHfaktor pertumbuhan, kemokin, dan sitokin yang menyebabkan proliferasi sel-
sel otot polos saluran respiratori, meningkatkan permeabilitas mikrovaskular, serta
memperbanyak vaskularisasi, neovaskularisasi, dan jaringan saraf. Peningkatan
deposisi matriks molekul, termasuk kompleks proteoglikan pada dinding saluran
respiratori, dapat diamati pada pasien yang meninggal karena asma dan hal ini
secara langsung Berhubungan dengan lamanya penyakit. Hipertrofi dan hiperplasia
otot polos saluran respiratori serta sel goblet kelenjar submukosa timbul pada
bronkus pasien asma terutama pada yang kronik dan berat. Secara keseluruhan,
saluran respiratori pada pasien asma memperlihatkan perubahan struktur yang
bervariasi yang dapat menyebabkan penebalan dinding saluran respiratori. Selama ini,
asma dipercaya sebagai suatu obstruksi saluran respiratori yang bersifat reversibel.
Pada sebagian besar pasien, reversibilitas yang menyeluruh dapat diamati pada
pengukuran dengan spirometri setelah diterapi dengan inhalasi steroid. Hal ini
menunjukkan adanya remodeling saluran respiratori. (Gambar 3.2)
15
Gambar 3.2 Inflamasi dan Remodeling pada Asthma
16
gejala khas pada asma, yaitu batuk, sesak, wheezing, dan hiperreaktivitas saluran
respiratori terhadap berbagai rangsangan. Batuk sangat mungkin disebabkan oleh
stimulasi saraf sensoris pada saluran respiratori oleh mediator inflamasi. Terutama
pada anak, batuk berulang dapat menjadi satu-satunya gejala asma yang ditemukan.
(Gambar3.3)
18
Pemeriksaan ini untuk menunjukkan variabilitas gangguan aliran napas
akibat obstruksi, hiperreaktivitas, dan inflamasi saluran respiratori,atau adanya
atopi pada pasien.
Uji fungsi paru dengan spirometri sekaligus uji reversibilitas dan untuk
menilai variabilitas. Pada fasilitas terbatas dapat dilakukan pemeriksaan
dengan peak flow meter.
Uji cukit kulit skin prick test, eosinofil total darah, pemeriksaan IgE
spesifik.
Uji inflamasi saluran respiratori : FeNO (fractional exhalednitric oxide),
eosinofil sputum.
Uji provokasi bronkus dengan exercise, metakolin, atau larutan
salinhipertonik.
Jika terindikasi dan fasilitas tersedia, lakukan pemeriksaan untuk
mencari kemungkinan diagnosis banding, misalnya uji tuberkulin, foto sinus
paranasalis, foto toraks, uji refluks gastro - esofagus, uji keringat, uji gerakan
silia, uji defisiensi imun, CT-scan toraks, endoskopi respiratori
(rinoskopi,laringoskopi,bronkoskopi).
Tabel 3.1 Kriteria diagnosis Asthma
19
Gambar 3.3 Algoritma Asthma pada Anak
3.1.6 Klasifikasi
Asma merupakan penyakit yang sangat heterogen dengan variasi yang sangat luas.
Atas dasar itu, ada berbagai cara mengelompokkan asma.
Berdasarkan umur
• Asma bayi–baduta (bawah dua tahun)
20
• Asma balita (bawahlima tahun)
• Asma usia sekolah (5-11 tahun)
• Asma remaja (12-17tahun)
Berdasarkan fenotip
Fenotip asma adalah pengelompokan asma berdasarkan penampakan yang serupa
dalam aspek klinis, patofisologis, atau demografis.
• Asma tercetus infeksivirus
• Asma tercetus aktivitas (exercise induced asthma)
• Asma tercetus alergen
• Asma terkait obesitas
• Asma dengan banyak pencetus (multiple triggered asthma)
Berdasarkan kekerapan timbulnya gejala
• Asma intermiten
• Asma persisten ringan
•Asma persisten sedang
• Asma persisten berat
21
• Serangan ringan-sedang
• Serangan berat
• Ancaman gagal napas
Serangan asma adalah episode perburukan yang progresif akut dari gejala-gejala batuk,
sesak napas, wheezing, rasa dada tertekan, atau berbagai kombinasi dari gejala-gejala
tersebut
3.1.7 Tatalaksana
Tatalaksana serangan:
1. Serangan asma ringan-sedang:
a. Oksigen 1-2 L/menit jika SpO2 < 94%
b. Inhalasi β2 agonis kerja pendek (salbutamol) dosis 0,05-0,1 mg/kgBB/x dengan
penambahan NaCl 0,9% sampai dengan 4 mL, dapat diulang selang 20 menit bila pasien
masih sesak.
c. Bila klinis belum membaik setelah nebulisasi dua kali dengan jarak 20 menit, pada
pemberian nebulisasi ketiga berikan kombinasi β2 agonisdan antikolinergik (ipratropium
bromida).
d. Pada saat serangan diberikan steroid sistemik (metilprednisolon) 1-2 mg/kgBB/hari dibagi
dalam 4 dosis peroral (atau intravena bila pemberian oral tidak memungkinkan).
e. Pasien diobservasi selama 1-2 jam, jika tidak ada sesak, saturasi > 94% pada udara
ruangan, pasien dapat dipulangkan.
f. Jika dengan pemberian nebulisasi dua atau tiga kali pasien hanya menunjukkan respon
parsial, maka pasien diobservasi dan ditangani di Ruang Rawat Sehari (RRS).
g. Untuk persiapan keadaan darurat, pasien yang akan diobservasi di RS langsung dipasang
jalur parenteral sejak di unit gawat darurat (UGD) dan diberikan cairan sesuai dengan
kebutuhan cairan harian.
2. Serangan asma berat :
a. Oksigen 2-4L/menit.
b. Pasang jalur parenteral dan dilakukan foto toraks untuk mencari komplikasi serius seperti
atelektasis dan pneumotorak.
c. Jika ada dehidrasi dan asidosis, maka berikan cairan intravena menggunakan cairan Ringer
Laktat sesuai derajat dehidrasi dan lakukan koreksi asidosis. Hal ini penting karena dalam
kondisi asidosis,terjadi gangguan uptake obat oleh reseptor sehingga mengganggu efektivitas
obat yang diberikan.
22
d. Steroid intravena yaitu metilprednisolon 1-2 mg/kg/x tiap 12 jam (maksimal 60 mg/hari)
atau deksametason dengan dosis bolus 0,5-1 mg/kg/kali, dilanjutkan dengan dosis 1 mg/kg
BB/hari tiap 6-8 jam.
e. Nebulisasi β2 agonis (salbutamol) + antikolinergik (ipratropium bromida) dengan oksigen
dilanjutkan tiap 2 jam; jika dengan 4-6 kali pemberian mulai terjadi perbaikan klinis, jarak
pemberian dapat diperlebar menjadi tiap 4-6 jam.
f. Aminofilin diberikan secara intravena :
1) Jika pasien belum mendapat aminofilin sebelumnya, diberikan aminofilin dosis awal
(inisial) sebesar 6-8 mg/ kgBB dilarutkan dalam dekstrosa 5% atau NaCl 0.9% 20 ml,
diberikan selama30 menit.
2) Bila respon belum optimal, lanjutkan dengan pemberian aminofilin dosis rumatan sebesar
0,5-1 mg/kgBB/jam
3) Jika pasien telah mendapat metil xantin (aminofilin atau teofilin) sebelumnya dalam kurang
dari 8 jam, dosis yang diberikan adalah setengahnya, baik dosis awal (3- 4 mg/kgBB) maupun
rumatan (0,25-0,5 mg/kg/jam)
4) Sebaiknya kadar aminofilin dalam darah diukur dan dipertahankan sebesar 10-20 mcg/ml.
g. Bila terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan setiap 6 jam hingga mencapai 24 jam,
dan steroid diganti dengan peroral. Aminofilin, diganti dengan teofilin peroral.
h. Pasien dapat dipulangkan jika stabil dalam 24 jam.
i. Apabila pasien menunjukkan gejala dan tanda ancaman henti napas, penderita dirawat
diruang intensif.
3. Serangan asma dengan ancaman gagal napas.
a. Rawat ruang intensif bila ditemukan:
1) Tidak ada respon terhadap tatalaksana awal di UGD atau terjadi perburukan asma yang
cepat
2) Adanya kebingungan, disorientasi, kehilangan kesadaran
3) Tidak ada perbaikan dengan tatalaksana baku di ruang rawat inap
4) Ancaman henti napas : hipoksemia meskipun sudah dengan pemberian oksigen (kadar
PaO2 < 60 mmHg dan/atau PaCO2 > 45 mmHg)
b. Siapkan intubasi jika diperlukan.
c. Setiap anak dengan serangan asma berat dan dengan ancaman gagal napas sebaiknya
dikonsultasikan pada dokter konsultan respirologi anak atau dokter anak yang telah
berpengalaman dalam penatalaksanaan kedua jenis serangan asma tersebut.
Tatalaksana jangka panjang :
23
1. Sebaiknya setiap pasien asma yang memerlukan tatalaksana jangka panjang dikonsulkan
pada dokter konsultan respirologi anak atau dokter spesialis anak yang berpengalaman dalam
memberikan penatalaksanaan jangka panjang asma.
2. Jenjang 1: pada pasien dengan asma intermiten, atau pada pasien yang terkendali penuh
tanpa obat pengendali.
a. β2 agonis kerja pendek inhalasi bila mengalami serangan asma. Alternatif lain adalah β2
agonis kerja pendek kombinasi ipratropium bromida,β2 agonis kerja pendek oral atau teofilin
kerja pendek oral.
b. Pada yang memiliki faktor risiko serangan (seperti riwayat perawatan ruang intensif karena
asma) dapat dipertimbangkan pemberian steroid inhalasi dosis rendah.
Bila setelah tatalaksana jenjang 1 selama 6-8 minggu dilaksanakan, namun asma belum
terkendali penuh, maka dilakukan tatalaksana jenjang 2.
3. Jenjang 2: pada asma persisten ringan Steroid inhalasi dosis rendah. Alternatif lain adalah
antileukotrien yang diberikan pada pasien yang tidak memungkinkan menggunakan steroid
inhalasi atau pada pasien asma yang disertai rinitis alergi.
4. Jenjang 3: pada asma persisten sedang atau anak yang tidak terkendali dengan jenjang 2.
Untuk anak usia diatas 5 tahun dengan kombinasi steroid dosis rendah dan β2 agonis kerja
panjang. Pilihan lain adalah dengan menaikkan dosis steroid inhalasi ke dosis menengah.
Selain itu dapat diberikan kombinasi steroid inhalasi dosis rendah dan antileukotrien, atau
kombinasi steroid inhalasi dosis rendah dan teofilin lepas lambat.
5. Jenjang 4: pada asma persisten berat atau pada anak yang tidak terkendali dengan jenjang 4.
Pilihan utama adalah kombinasi steroid dosis menengah dan β2 agonis kerja panjang. Bila
setelah 6-8 minggu tidak didapatkan perbaikan, dosis steroid dapat dinaikkan ke dosis tinggi.
Pilihan lain adalah kombinasi steroid inhalasi dosis tinggi dan antileukotrien, atau steroid
inhalasi dosis tinggi dan teofilin lepas lambat. Pada jenjang ini dapat dipertimbangkan
penambahan anti imunoglobulin E (omalizumab).
3.2 Bronchitis
3.2.1 Definisi Bronkitis
Bronkitis merupakan penyakit respirasi di mana membran mukosa pada jalur bronkus di
paru-paru mengalami inflamasi. Mukosa bronkus tersebut membengkak (edema) dan menebal
24
sehingga mempersempit saluran nafas. Hal ini dilihat dari gejala batuk yang diikuti
pengeluaran dahak dan dapat juga disertai keluahn lainnya seperti sesak nafas. Klasifikasi dari
penyakit ini terdiri dari 2, yaitu bronkitis akut (berlangsung kurang dari 3 minggu) dan
bronkitis kronik yang frekuensinya hilang timbul selama periode lebih dari 2 tahun(8).
3.2.2 Klasifikasi
1. Bronkitis Akut
Bronkitis akut biasanya terjadi dalam waktu yang cepat (kurang dari 3 minggu) dan
membaik dalam beberapa minggu. Bentuk dari bronkitis akut ini sering menyebabkan
serangan batuk dan produksi sputum yang dapat juga disertai oleh infeksi saluran nafas atas.
Dalam beberapa kasus, virus merupakan penyebab tersering infeksi walaupun terkadang
bakteri juga dapat menyebabkannya. Jika kondisi seseorang tersebut baik, maka proses
peradangan membran mukosa tersebut akan pulih dalam beberapa hari(8;9).
2. Bronkitis Kronik
Secara klinis didefinisikan sebagai batuk harian dengan produksi sputum selama paling
kurang selama 3 bulan dalam periode waktu 2 tahun. Bronkitis kronik ini merupakan
gangguan jangka panjang yang serius yang sering membutuhkan pengobatan medis secara
teratur. Pada bronkitis kronis terdapat inflamasi dan pembengkakan pada dinding lumen
saluran nafas yang menyebabkan penyempitan dan obstruksi jalur udara yang masuk. Inflamsi
ini akan merangsang produksi mukus di mana menyebabkan obstruksi saluran nafas yang
lebih berat lagi dan akan meningkatkan resiko infeksi oleh bakteri pada paru-paru(9;10)
3.2.3 Epidemiologi
Di Indonesia belum ada data mengenai prevalensi penyakit bronkitis. Sebagai
pembanding, berdasarkan estimasi dari National Center for Health Statistics tahun 2006 di
Amerika Serikat, terdapat sekitar 9,5 juta orang atau 4% dari jumlah populasinya didiagnosis
mengalami bronkitis kronik. Data statistik ini masih di bawah taksiran dari prevalensi
penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) yaitu sebesar 50%. Hal ini dikarenakan tidak
tercatatnya laporan gejala dan kondisi bronkitis ini masih belum terdiagnosis(11;14).
Overdiagnosis terhadap bronkitis kronik sebaiknya perlu dilakukan oleh para klinisi.
Bagaimanapun juga istilah bronkitis sering dianggap sebagai peradangan paru yang tidak
spesifik serta gejala batuk yang dialami bersifat self-limiting atau sembuh sendiri sehingga
kriteria diagnosisnya tidak ditemukan dan menyebabkan insidensinya terus meningkat(11).
Dalam sebuah studi, bronkitis akut diderita oleh 44 dari 1000 orang dewasa setiap
tahunnya, dan 82% episodenya terjadi pada musim gugur atau dingin. Perbandingannya yaitu
25
91 juta kasus influenza, 66 juta kasus deman flu biasa, dan 31 juta kasus dengan infeksi
saluran nafas atas lainnya yang terjadi pada tahun itu(11).
Bronkitis akut sangat umum terjadi pada seluruh belahan dunia manapun dan
merupakan 5 alasan teratas penyebab seseorang mencari pengobatan medis di negara-negara
yang memang mengumpulkan data mengenai penyakit ini. Tidak ada perbedaan ras terhadap
kejadian bronkitis ini meskipun lebih sering terjadi pada populasi dengan status sosioekonomi
rendah dan orang-orang yang tinggal di daerah urban dan industri(11;18)
Hal mengenai insidensi penyakit terkait jenis kelamin, bronkitis lebih sering dialami
oleh pria dibandingkan wanita. Di Amerika Serikat, hingga dua pertiga pria dan seperempat
wanita mengalami emfisema hingga menyebabkan kematian. Meskipun dapat ditemukan
hampir pada semua usia, bronkitis akut lebih sering didiagnosa pada anak-anak berumur
kurang dari 5 tahun, sementara prevalensi bronkitis kronis lebih sering terjadi pada orang tua
yang berusia lebih dari 50 tahun. Sementara itu, data epidemiologi di Indonesia itu sendiri
masih sangat minim(13;16).
26
inflamasi. Respon akibat produksi mukus yang banyak ini akhirnya ditandai dengan batuk
produktif(12;18).
Dalam kasus pneumonia mycoplasma, iritasi bronkus menyebabkan perlekatan
organisme (Mycoplasma pneumonia) pada mukosa saluran respirasi yang akan membuat
sekresi mukosa semakin kental. Bronkitis akut biasanya berlangsung kurang lebih 10 hari.
Jika inflamasinya terus berlajut ke bawah hingga ujung cabang bronkus, bronkiolus dan
kantung alveolus, maka akan menyebabkan bronkopneumonia(12).
Bronkitis kronik dihubungkan dengan produksi mukus yang berlebihan sehingga
menyebabkan batuk berdahak selama lebih dari 3 bulan atau lebih dalam periode waktu
minimal 2 tahun. Epitel alveoli merupakan target maupun tempat awal inflamasi pada
bronkitis kronik(10).
Infiltrasi netrofil dan distribusi perubahan jaringan fibrotik peribronkial disebabkan oleh
aktivitas dari interleukin 8 (IL-8), colony-stimulating factors, dan kemotaktik serta sitokin
proinflamatori lainnya. Sel epitel saluran nafas akan melepaskan mediator inflamasi ini
sebagai respon terhadap toksin, agen infeksi, dan stimulus inflamasi lainnya serta untuk
mengurangi pelepasan produk regulasi seperti angiotensin-converting enzim ataupun
endopeptidase(10;13).
Bronkitis kronik dapat dikatagorikan sebagai bronkitis kronik sederhana, bronkitis
mukopurulen kronik, ataupun bronkitis kronik yang disertai obstruksi. Produksi sputum
(industri) menandakan adanya bronkitis kronik sederhana. Produksi sputum purulen yang
persisten ataupun berulang tanpa adanya penyakit supuratif lokal seperti bronkiektasis,
menunjukkan adanya bronkitis mukopurulen kronik(10;19).
Bronkitis kronik dengan obstruksi harus dibedakan dengan asma. Perbedaannya
dibedakan berdasarkan riwayat penyakit di mana pasien yang dikatakan mengalami bronkitis
kronik dengan obstruksi memilki riwayat batuk produktif yang lama dan onset mengi
(wheezing) yang munculnya belakangan, sementara pasien yang memiliki asma dengan
obstruksi kronik lebih dulu mengalami mengi (wheezing) dibandingkan batuk produktif(19).
Bronkitis kronik dapat terjadi akibat serangan dari bronkitis akut berulang atau dapat
juga muncul perlahan-lahan karena merokok berat atau inhalasi dari udara yang
terkontaminasi oleh polutan di lingkungan. Jika orang tersebut lebih sering batuk daripada
biasanya, kemungkinan lapisan bronkus yang menghasilkan lendir (mukus) sudah mengalami
penebalan dan penyempitan saluran nafas yang menyebabkan sulit untuk bernafas. Karena
fungsi silia untuk menyaring udara bersih dari zat iritan dan benda asing terganggu, saluran
bronkus akan cenderung mengalami infeksi lebih jauh hingga menyebabkan kerusakan
jaringan(10;15)
27
3.2.6 Etiologi
28
b. Sesak nafas
Bila timbul infeksi, sesak napas semakin lama semakin hebat. Terutama pada musim
dimana udara dingin dan berkabut.
c. Sering menderita infeksi pernafasan (misalnya flu).
d. Wheezing (mengi).
Bronkitis akut biasanya didahului oleh infeksi saluran pernapasan atas (ISPA).
Khasnya anak datang dengan batuk yang sering, kering, tidak produktif, dan timbulnya relatif
bertahap, 3-4 hari sesudah munculnya rhinitis (setelah 2-3 hari, batuk mulai berdahak dan
dan menimbulkan suara adanya suara adanya lendir). Batuk dapat disertai muntah. Rasa nyeri
atau panas pada daerah substernal bawah atau dada depan dan dapat diperparah oleh
batuk (3,6)
2.Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik bisa di dapatkan(19;20;21):
1) Pada mulanya, keadaan umum baik, anak tidak tampak sakit, anak biasanya biasanya
tidak demam atau demam ringan (subfebris), dan ada tanda-tanda nasofaringitis, kadang
konjungtivitis
2) Bila ada keluhan sesak, akan terdengar ronkhi pada waktu ekspirasi maupun inspirasi
disertai bising mengi.
3) Costae lebih horizontal
4) Perkusi dada dapat hipersonor
5) Auskultasi menunjukkan adanya suara pernapasan yang kasar, ronki basah kasar dan
halus, dan ronkhi yang dapat bernada tinggi, menyerupai mengi pada asma. Wheezing
(mengi) mungkin saja terdapat pada penderita bronkitis akut tetapi perlu juga diingat
kemungkinan manifestasi asma pada anak tersebut.
3.Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang yang mendukung diangnosis adalah sebagai berikut:
(19;20;21)
1. Foto Thorax harus dilakukan bagi pasien yang fisik temuan pemeriksaan menunjukkan
pneumonia. Pasien tua mungkin tidak memiliki tanda-tanda pneumonia, karena itu, radiografi
dada dapat dibenarkan pada pasien, bahkan tanpa tanda-tanda klinis lain infeksi. Pemeriksaan
radiologi Ada hal yang perlu diperhatikan yaitu adanya tubular shadow berupa bayangan
garis-garis yang paralel keluar dari hilus menuju apeks paru dan corakan paru yang bertambah
ataupun tramline shadow yang menunjukkan adanya penebalan dinding bronkus.
29
Gambar 3.7 Adanya gambaran tubular shadow pada bronkitis kronik
Gambar 3.8 Dirty chest yang menunjukkan adanya corakan bronkuvaskular yang
ramai hingga menuju percabangan perifer di paru
Asthma
Bronchiectasis
Bronchiolitis
Pneumonia
Gastroesophageal Reflux
Tuberculosis
30
disebabkan oleh infeksi virus. Mengontrol sekret batuk lebih encer dan mudah
dikeluarkan perlu dilakukan, anak dapat dianjurkan untuk minum lebih banyak. Untuk
pengobatan obstruksi akut golongan short-acting beta 2 agonis, seperti salbutamol dapat
digunakan secara inhalasi. Pemberian uap atau mukolitik, ekspetoran dapat diberikan,
ekspektoran mencairkan lendir bronkial sehingga membuat lebih mudah untuk batuk itu.
Golongan mukolitik salah satunya yaitu asetilsistein. Bromheksin mengaktifkan enzim
dan merangsang sel-sel kelenjar untuk meningkatkan produksi sekret, mengurangi
viskositas. Pemberian antitusif dapat mengakibatkan secret menjadi lebih kental.
Pemberian antibiotik dapat diberikan adanya kecurigaan infeksi bakteri sekunder, dengan
pilihan antibiotika : ampisilin, kloksasilin, klomrafenikol, eritromisin. Ampisilin, kerjanya
kerjanya broad spektrum spektrum meliputi kuman bakteri gram negatif. Dosis ampisilin
anak : oral 50-100 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 4x pemberian 1m/iv 25-50 mg/kgBB/hari
dibagi dalam 2-3 x pemberian. Kloramfenikol sebagai antibiotic broad spektrum, untuk
semua bakteri gram positif dan sebagian bakteri gram negatif. Dosis Kloramfenikol anak :
25-50 mg/kgBB/hari dalam 2-3 dosis. Eritromisin, terutama untuk bakteri gram positif..
Dosis eritromisin anak : 20-40 mg/kgBB/hari dibagi 2 – 4x pemberian.
31
BAB IV
PEMBAHASAN
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang pasien
didiagnosis Asma Serangan Ringan – Sedang, Episodik Jarang dan Bronkitis Akut.
Pasien asma yang datang dalam keadaan serangan , langsung dinilai derajat
serangannya sesuai dengan fasilitas yang tersedia. Tatalaksana awal pada pasien
34
adalah dilakukan pemberian oksigen, pada serangan asma segera diberikan oksigen
untuk mencapai kadar saturasi oksigen 90% dan dipantau dengan oksimetri,
selanjutnya dilakukan pemberian agonis β2 secara nebulisasi. Nebulisasi serupa
dapat diulang dua kali dengan selang waktu 20 menit. Pada pasien yang memenuhi
kriteria gejala klinis untuk serangan asma ringan sedang, sebagai tindakan awal
pasien dapat diberikan agonis β2 kerja pendek melalui nebulisasi atau MDI dengan
spacer, yang dapat diulang hingga 2 kali dalam 1 jam, dapat ditambahkan ipratropium
bromida pada nebulisasi ketiga. Contoh agonis β2 kerja pendek adalah salbutamol,
terbutalin, dan prokaterol. Dosis salbutamol adalah 2.5 mg/kali nebulisasi, bisa
diberikan setiap 4 jam, kemudian dikurangi sampai setiap 6-8 jam bila kondisi anak
membaik.
5.2 Saran
Penulis diharapkan selalu menambah pengetahuannya tentang Asma Serangan
Ringan – Sedang, Episodik Jarang dan Bronkitis Akut
DAFTAR PUSTAKA
35
4. Lawson JA, Senthilselvan A. Asthma epidemiology: has the crisis passed? Curr Opin Pulm
Med. 2005;11:79H84.
5. Sears MR. Epidemiology of childhood asthma. Lancet. 1997;350:1015.
6.PlattsHMills TAE, Sporik RB, Chapman MD, Heymann PW. The role of domestic
allergens. Dalam: The rising trends in asthma. New York: John Wiley & sons; 1997. h. 173H
90.
7. Bousquet J, Jeffery PK, Busse WW, Johnson M, Vignola AM. Asthma: from
bronchoconstriction to airway remodeling. Am J Respir Crit Care Med. 2000;161:1720H 45.
8. Papadopoulos NG, Arakawa H, Carlsen KH, Custovic A, Gern J, Lemanske R, dkk.
International consensus on (ICON) pediatric asthma. Allergy. 2012;67:967H97.
9.Papadopoulus NG, Arakawa H, Carlsen KH, Custovic A, Gern J, Lemanske R, dkk.
International consensus on (ICON) pediatric asthma. Allergy.2012;67:976H97.
10. Global Initiative for Asthma; 2014. ERS Task Force. Definition, assessment, and
treatment of wheezing disorders in preschool children: an evidence based approach. Eur
Respir J. 2008;32:1096H110.
11. Hamasaki Y, Kohno Y, Ebisawa M, Kondo N, Nishima S, Nishimuta T, dkk. Japanese
guideline for childhood asthma 2014. Allergol Int. 2014;63:335H56.
12.The Global Initiative for Asthma (GINA). Global strategy for asthma management and
prevention 2014 . Diunduh dari: www.ginasthma.org.
13. FitzFerald M. Global strategy for asthma management and prevention update; 2012.
14. Barry PW, Fouroux B, Pederson S, O'Callaghan C. Nebulizers in childhood. Eur
Respir Rev. 2000;10:527H 35.
15. Zar HJ, Asmus MJ, Weinberg EG. A 500Hml plastic bottle: An effective spacer for
children with asthma. Pediatr Aleergy Immunol. 2002;13:217H22.
16. Zar HJ, Streun S, Levin M, Weinberg EG, and Swingler GH. Randomised
controlled trial of the efficacy of a metered dose inhaler with bottle spacer for
bronchodilator treatment in acute lower airway obstruction. Arch Dis Child. 2007;92:142H6.
17. Sethi S, Murphy TF. Infection in the pathogenesis and course of chronic obstructive
pulmonary disease. N Engl J Med. Nov 27 2008;359(22):2355-65. [Medline].
18. Macfarlane J, Holmes W, Gard P, et al. Prospective study of the incidence, aetiology and
outcome of adult lower respiratory tract illness in the community. Thorax. Feb
2001;56(2):109-14. [Medline].
19.Wenzel RP, Fowler AA 3rd. Clinical practice. Acute bronkitis. N Engl J Med. Nov 16
2006;355(20):2125-30. [Medline].
36
37