0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
360 tayangan140 halaman

Buku Robotika Part3

Teks tersebut membahas pengaruh beban berubah-ubah terhadap kinerja kontroler P, PI, PD dan PID pada sistem kontrol posisi motor DC. Kontroler P dan PD tidak mampu menjaga steady state error menjadi nol ketika terjadi perubahan beban. Kontroler PI dapat menjaga konvergensi meskipun butuh waktu yang lebih lama. Kontroler PID mampu menjaga konvergensi dengan mengurangi steady state error walaupun menimbulkan overshoot yang semak
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Kami menangani hak cipta konten dengan serius. Jika Anda merasa konten ini milik Anda, ajukan klaim di sini.
Format Tersedia
Unduh sebagai PDF, TXT atau baca online di Scribd
0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
360 tayangan140 halaman

Buku Robotika Part3

Teks tersebut membahas pengaruh beban berubah-ubah terhadap kinerja kontroler P, PI, PD dan PID pada sistem kontrol posisi motor DC. Kontroler P dan PD tidak mampu menjaga steady state error menjadi nol ketika terjadi perubahan beban. Kontroler PI dapat menjaga konvergensi meskipun butuh waktu yang lebih lama. Kontroler PID mampu menjaga konvergensi dengan mengurangi steady state error walaupun menimbulkan overshoot yang semak
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Kami menangani hak cipta konten dengan serius. Jika Anda merasa konten ini milik Anda, ajukan klaim di sini.
Format Tersedia
Unduh sebagai PDF, TXT atau baca online di Scribd
Anda di halaman 1/ 140

PHK-I 2010 Buku Ajar

Robotika

Dari Gambar 4.39 dapat disimpulkan bahwa kontroler D cocok


dikombinasikan dengan kontroler P untuk kasus control posisi pada motor DC-
MP. Jika dibandingkan dengan hasil pada kontroler P saja (Gambar 3.32),
kontroler PD memiliki respon yang lebih baik dalam hal waktu menuju steady
state tanpa terjadi overshoot, yaitu sekitar 0.2det pada Kp = 2.0 dan Kd =
0.065, manakala kontroler P hanya mampu sekitar 0.35det pada Kp = 0.8.

4.2.4. Efek Beban/Gangguan Torsi (Torque Disturbance)

Contoh-contoh control klasik (P, I, D dan kombinasi) yang diberikan


diatas adalah sistem kontrol yang di-tune pada kondisi sistem dinamik yang
relatif tak berubah. Artinya, pemilihan Kp, Kd dan Ki adalah berdasarkan
tuning yang dilakukan terhadap sistem yang dianggap ideal seperti persamaan
matematiknya. Dalam kasus-kasus tersebut motor DC-MP yang digunakan
sebagai aktuator dianggap memiliki spesifikasi yang ideal, yakni semua
parameternya tidak berubah terhadap waktu, temperatur kerja dan masalah
teknis lainnya. Demikian pula beban poros motor dianggap tetap, linier, tanpa
ada masalah friksi dan backlash (jika menggunakan gearbox) dan sebagainya.

Padahal, kondisi ideal di atas dalam dunia nyata tidak akan pernah
dijumpai, karena pada dasarnya semua fenomena sistem dalam alam dan
kehidupan ini adalah non-linier. Meskipun sistem robot, seperti contoh motor
DC-MP dengan lengan tunggal ini, dapat dimodelkan secara matematik dengan
tepat namun dinamika beban dan gangguan selama operasi umumnya tidak
dapat (sulit) dimodelkan secara tepat. Dalam konteks inilah kemudian dikenal
istilah-istilah faktor ketidaktentuan (uncertainty) dan ketidaklinieran (non-
linearity). Beberapa faktor yang masuk dalam dua kategori faktor ini misalnya
keausan bantalan (bearing) yang dapat menyebabkan friksi, beban kerja yang
sangat dinamis seperti beban angkat yang bervariasi, efek dinamik dari momen
inersia sistem sambungan seri seperti robot tangan 2DOF atau lebih, efek
gravitasi, dan berbagai gangguan operasi seperti vibrasi, senggolan, benturan,
dan sebagainya.

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal. 4 - 40
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Sebagai contoh bahasan kita akan menguji efek beban torsi pada
beberapa kontrol klasik berikut ini. Perlu dipahami di sini bahwa pembebanan
yang berubah-ubah dianggap sebagai gangguan (disturbance).

Efek perubahan beban pada kontroler P

Untuk menguji pengaruh pembebanan pada kontroler P kita


menggunakan kembali model kontrol seperti pada Gambar 4.14 di muka tapi
dioperasikan sebagai kontrol posisi. Sebuah beban torsi untuk control posisi
motor DC-MP berupa torsi disambungkan dalam skema kontrolnya seperti
Gambar 4.40 berikut ini.

Gambar 4.40 Diagram kontrol proporsional untuk sebuah motor DC

Skema simulasinya ditunjukkan dalam Gambar 4.41.Dalam uji simulasi


ini, beban torsi dibuat variatif mulai beban nol hingga 0.005Nm (Newton
meter). Kp dipilih 2 yang pada kondisi tanpa beban mampu membuat error
menjadi konvergen. Gambar 4.42 memperlihatkan hasilnya.

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal. 4 - 41
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Gambar 4.41 Diagram simulasi kontroler P dengan beban berubah-ubah

Gambar 4.42 Hasil simulasi kontroler P dengan beban berubah-ubah

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal. 4 - 42
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Dalam Gambar 4.42 nampak bahwa efek pembebanan yang makin besar
menyebabkan steady-state error menjadi semakin besar pula. Sedikit saja ada
beban Ǫ tidak dapat menuju nolwalaupun Kp di-tune kembali. Jadi,
kontroler P untuk control posisi motor DC-MP hanya dapat konvergen untuk
kondisi tanpa beban torsi atau momen inersia. Padahal kondisi ideal tanpa
beban ini hampir tak pernah terjadi dalam aplikasi sebenarnya.

Efek Pembebanan pada kontroler PI

Dalam konteks tanpa beban atau beban mendekati nol, penambahan


kontroler I dapat memperburuk kinerja kontroler P seperti yang telah
ditunjukkan dalam Gambar 4.36 di muka. Bagaimana jika dioperasikan pada
kondisi berbeban?

Gambar 4.43 adalah skema simulasi untuk kontroler PI pada kondisi


berbeban.

Gambar 4.43 Diagram simulasi kontroler PI dengan pembebanan

Untuk uji simulasi kali ini Kp di-set sama seperti pada uji sebelumnya,
yaitu 2, sedang Ki diambil pada nilai dimana komponen I dianggap mampu
memperbaiki kinerja P dengan menurunkan steady-state error. Gambar 4.44
dan 4.45 berikut ini memperlihatkan hasil simulasinya.

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal. 4 - 43
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Gambar 4.44 Respon kontroler PI dengan beban berubah-ubah

Dalam Gambar 4.44 nampak bahwa kontroler PI mampu menjaga agar


tetap konvergen terhadap pengarh beban yang berubah-ubah meskipun
waktu untuk mencapai steady-state menjadi melambat. Jika Ki di-tune kembali,
Nampak bahwa settling-time bisa memperbaik dengan memperbesar Ki , tetapi
overshoot maksimum (Mp) membesar (lihat Gambar 4.45).

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal. 4 - 44
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Gambar 4.45 Respon tuning Ki terhadap beban

Efek Pembebanan pada kontroler PD

Dimuka telah disinggung bahwa komponen D dapat memperbaiki efek


overshoot yang terjadi pada kontroler P tanpa memperbaiki kemampuan untuk
mengecilkan steady-state error. Bagaimana jika kombinasi kontrol PD ini
berhadapan dengan pembebanan yang berubah-ubah?

Gambar 4.46 memperlihatkan skema uji simulasinya.

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal. 4 - 45
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Gambar 4.46 Diagram simulasi kontroler PD dengan pembebanan

Skema ini diuji pada Kp = 2 dan Kd = 0.065. Beban gangguan Ǫdi-set


mulai beban nol hingga 0.005Nm. Gambar 4.47 memperlihatkan hasil
simulasinya.

Dalam Gambar 4.47 nampak bahwa kontroler PD dalam kasus kontrol


posisi ini tidak responsif terhadap perubahan beban. Begitu beban di pasang,
kontroler tidak lagi mampu menjaga agar steady-state error menuju nol. Makin
besar beban atau gangguan torsi, maka makin besar pula errornya. Namun
demikian, berapapun besar pembebanan tidak menyebabkan bentuk respon
pada saat start berubah, seperti misalnya terjadi overshoot atau settling time
melambat.

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal. 4 - 46
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Gambar 4.47 Respon kontroler PD dengan beban berubah-ubah

Efek Pembebanan pada kontroler PID

Dengan mempertimbangkan kelebihan dan kekurangan kontroler P, I dan


D di atas sekarang efek pembebanan kita uji pada kombinasi ketiganya, yaitu
PID. Seperti telah dibahas sebelumnya bahwa komponen D dapat
menghilangkan atau mengurangi efek overshoot pada kontroler P, sedang
komponen I dapat mengurangi steady-state error.

Skema simulasinya adalah sebagai berikut.

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal. 4 - 47
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Gambar 4.48 Diagram simulasi kontroler PD dengan pembebanan

Gambar 4.49 Respon kontroler PID terhadap pembebanan

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal. 4 - 48
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Gambar 4.49 adalah hasil simulasi yang menunjukkan respon kontrol


PID terhadap perubahan beban torsi pada poros motor. Nampak bahwa
kontroler PID mampu menjaga konvergensi atas perubahan beban. Namun
demikian, makin besar beban maka makin tinggi pula overshoot-nya.

Parameter kontrol yang dipilih dalam simulasi diatas adalah: Kp = 2.0,


Kd = 7.0 dan Ki = 0.1. Nilai-nilai ini di-tune dengan metoda trial & error, jadi
mungkin bukanlah yang terbaik. Sebagai latihan, dapat mencobanya sendiri
skema simulasi tersebut, dan mencari konfigurasi parameter-parameter yang
lebih baik.

4.2.5. Resolved Motion Rate Control

Dalam uraian contoh-contoh diatas, sistem robotika yang diperkenalkan


adalah baru robot tangan satu sendi ( single joint/link robot arm) sebagai
representasi kontrol sebuah motor dengan lengan tunggal yang terhubung ke
porosnya, yang jika dianalisa ruang kerjanya dalam koordinat Cartesian adalah
sebagai berikut,

= ( . cos , . sin ) (4.6)

Dengan = ( , ) adalah koordinat ruang kerja 2D Cartesian


ujung lengan, L adalah panjang lengan, dan adalah sudut lengan/poros (lihat
Gambar 4.30). Dalam hal ini pada dasarnya kita tidak perlu menurunkan
koordinat ke dalam (x ,y) karena derajat kebebasan robot adalah 1DOF.
Koordinat q yaitu (x, y) akan selalu berada dalam konfigurasi berdasarkan
variabel tunggal . Dengan kata lain, pernyataan posisi dengan akan lebih
menyederhanakan persoalan dari pada menyatakannya dalam (x, y) sebab akan
langsung dapat diketahui dengan jelas posisi ujung lengan yang dikontrol.

Akan tetapi persoalannya mulai rumit manakala DOF robot lebih dari 1.
Misalnya 2DOF dan 3DOF pada robot tangan dua lengan seperti gambar
berikut.

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal. 4 - 49
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Gambar 4.50 Sistem robot tangan 2DOF dan 3DOF

Nampak bahwa untuk system 2DOF,

, ,

Dan untuk system 3DOF,

, , ,

Tiap aktuator pada sendi dikontrol secara terpisah agar posisi ujung
lengan memperoleh kedudukan P(x, y) seperti yang diharapkan.

Resolved Motion Rate Control (RMRC) adalah teknik yang digunakan


untuk mengontrol pergerakan multi-sendi ini dengan memberikan referensi
gerak perpindahan posisi dan kecepatan tiap sendi secara sinkron berdasarkan
fungsi waktu. Persamaan matematiknya dapat dinyatakan sebagai berikut,

, ,…,

Atau

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal. 4 - 50
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

, = , , , …, , , adalah DOF

Dengan demikian, maka input referensi harus diberikan untuk tiap


komponen sendi, yaitu dan . Gambar berikut menunjukkan
diagramnya untuk kasus kontrol posisi motor DC-MP.

Gambar 4.51 Diagram control RMRC

Dalam skema aplikasi yang lebih umum untuk sistem robotika dapat
digambarkan sebagai berikut.

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal. 4 - 51
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Gambar 4.52 Diagram control RMRC untuk sistem robotika

Jika aktuator sistem robot lebih dari satu maka referensi posisi dan
kecepatan harus diberikan untuk setiap aktuator. Sensor yang berkaitan juga
harus tersedia untuk tiap aktuator.

Sebenarnya prinsip kerja daripada RMRC ini sama dengan kontroler PD


secara umum. Tapi dalam implementasi praktis RMRC dapat memberikan
sentuhan yang lebih mendekati keadaan yang sesungguhnya karena setiap
komponen sistem, yaitu posisi dan kecepatan riil diselesaikan dengan umpan
balik secara terpisah. Artinya, referensi kecepatan dan posisi diberikan secara
sinkron dan aktualnya dideteksi secara realtime dengan sensor yang terpisah.
Jadi kecepatan (rate dari error) dikontrol tidak dengan mengintegrasi selisih
posisi referensi dan posisi aktualnya, namun langsung diperoleh dari selisih
antara kecepatan referensi dan hasil pengukuran sensor kecepatan.

Dari Gambar 4.51, persamaan output kontrolernya adalah,

= . − + .( − )

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal. 4 - 52
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Nampak bahwa komponen berfungsi mengeleminasi error posisi,


sedang komponen − yang dikalikan dengan selisih antara kecepatan
referensi dan kecepatan actual dari sensor − berfungsi untuk
mengeliminasi error pada kecepatan.

Beberapa kajian mendalam tentang teknik RMRC ini dapat dijumpai


dalam paper-paper: RMRC menggunakan fuzzy logic (Kim & Lee, 1993),
teknik RMRC bebas singularitas (O’neil et al., 1997), dan RMRC berbasis
inverse kinematic learning (D’souza et al.,2001).

4.2.6 Resolved Motion Acceleration Control

Resolved Motion AccelerationControl (RMAC), atau sering disebut RAC


(Resolved Acceleration Control) adalah pengembangan dari RMRC. RMAC
diperkenalkan pertama kali oleh Luh, et al. (1980). Ia menambahkan
komponen akselerasi dalam konsp RMRC agar system pergerakan robot dapat
lebih stabil.

Bentuk umum RAC untuk sebuah motor DC-MP ditunjukkan dalam


Gambar 4.53.

Gambar 4.53 Diagram kontrol RAC/RMAC untuk sebuah motor DC


R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,
Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal. 4 - 53
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Dari gambar 4.52, persamaan output kontroler u(t) adalah,

= ∙ − + ∙ − +
∙ −

Dengan adalah komponen eliminator untuk error posisi, untuk


kecepatan dan untuk akselerasi.

Untuk skema yang lebih umum dalam sistem robotika, diagram control
diatas dapat digambarkan sebagai berikut.

Gambar 4.54 Diagram kontrol RMAC/RAC untuk sistem robotika

Idealnya, teknik RAC diatas menggunakan sensor posisi, kecepatan dan


akselerasi secara independen yang bekerja secara realtime seperti nampak
dalam Gambar 4.54 diatas. Jika aktuator adalah motor, maka data posisi dan
kecepatan bisa diperoleh sekaligus dari shaft/rotary encoder. Untuk sensor
akselerasi bisa menggunakan akselerometer.
R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,
Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal. 4 - 54
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

4.3. Active Force Control


Beban atau gangguan pada sistem aktuator pada uraian-uraian di atas
pada dasarnya adalah daya aktif yang melawan daya yang dihasilkan oleh
poros motor. Daya yang dihasilkan motor atau aktuator secara umum dalam
suatu sistem kontrol adalah daya terhasil berdasarkan algoritma atau metode
kontrol yang digunakan. Makin responsif daya terhasil terhadap efek beban
atau gangguan maka kontrol dianggap makin baik. Sebagai indikator, skema
kontrol yang memiliki error yang lebih kecil ketika mendapatkan gangguan
dapat disebut sebagai skema kontrol yang lebih baik.

Dengan demikian, segala skema kontrol gerak dalam robotika yang


memperhitungkan beban atau gangguan dalam operasinya bisa dikategorikan
sebagai skema kontrol tenaga (force control). Jika suatu skema force kontrol
memiliki ketahanan atau kekokohan terhadap gangguan atau perubahan beban,
maka dapat disebut sebagai control yang kokoh (robust control). Seberapa
besar ukuran robustness (kekokohan) agar bisa disebut sebagai robust control
adalah bersifat relatif, tergantung dari sudut pandang mana seorang engineer
melihatnya.

Active force Control (AFC) adalah suatu terminologi skema control


robust yang bersifat praktis yang diperkenalkan pertama kali oleh Hewit &
Burdess (1981). Mereka memperkenalkan suatu konsep kontrol pada level
akselerasi yang dapat secara efektif mengkompensasi (compensate), menolak
(reject) atau membatalkan (cancel) sinyal gangguan torsi yang mengenai output
daripada aktuator (motor) berdasar error feedback dari akselerasi aktual. Ide ini
berdasarkan konsep dasar hukum newton yang kedua, yaitu

= ∙

dengan = massa (kg), = akselerasi/percepatan ( / ). Dalam bentuk


invers dapat ditulis,

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal. 4 - 55
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

= ⇐ (4.14)

Ekspresi penulisan dengan tanda panah ke kiri pada Persamaan (4.14)


sebelah kanan mengilustrasikan bahwa ‘force’ yang dikenakan pada posisi fisik
yang memiliki ‘massa’ menyebabkan terjadinya suatu ‘percepatan’ pada posisi
itu. Dengan demikian, pengukuran yang dilakukan terhadap akselerasi sesaat
dapat menunjukkan force resultan yang terjadi pada saat itu.

Menurut hokum Newton kesatu, dalam keadaan setimbang (balance), jumlah


force pada suatu titik/posisi adalah sama dengan,

∑ = 0 (4.15)

Jika terjadi ketidakseimbangan maka selisih vector ‘force’ itu dapat


menyebabkan percepatan pada titik yang bersangkutan. Dengan mengukur
percepatan pada titik tersebut maka force yang menyebabkan percepatan itu
dapat dihitung.

4.3.1 Konsep Dasar AFC

Konsep dasar AFC pada sebuah sistem robotika dengan model dinamik
H(s) dengan actuator motor DC torsi (DC-TQ) ditunjukkan dalam Gambar
4.55 berikut ini.

Gambar 4.55 Diagram skema konsep Active Force Control

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal. 4 - 56
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Misalnya sistem robotika adalah sebuah lengan kaku yang dipasang


pada poros motor DC-MP pada salah satu ujungnya. Sesuai dengan hokum
Newton kedua, pada suatu bodi massa (lengan kaku) yang bergerak secara
rotasi, jumlah semua torsi yang mengenai bodi adalah sama dengan perkalian
momen inersia massa (IN) dengan percepatan angular dari bodi yang diukur
searah dengan vektor torsi yang mengenainya. Dalam ekspresi matematik dapat
ditulis,

∑ = ∙ (4.16)

Untuk system pada Gambar 4.55 di atas dapat dituliskan,

+ = ( )∙ (4.17)

Dengan adalaha torsi terpakai, Q adalah adalah torsi gangguan, ( )


adalah momen inersia rotor dan lengan, adalah sudut putaran, dan
adalah percepatan angular.

Dengan demikian pengukuran gangguan Q dalam bentuk Q’ dapat


diperoleh melalui,

= (θ)∙ − (4.18)

Tanda superscript ‘ menyatakan nilai yang didapat dari pengukuran atau


estimasi. dapat diperoleh dengan mengukur arus yang digunakan oleh motor
(diasumsikan motor yang dipakai adalah motor DC-TQ). Dengan mengalikan
arus motor Idengan konstanta motor maka torsi dapat ditentukan.

= . (4.19)

Komponen ( )′ ∙ diperoleh dengan mengalikan hasil pengukuran


percepatan angular bodi dengan factor pengestimasi inersia ( )′ (inertia
estimator). Nilai percepatan angular ini dapat langsung diperoleh dengan
menggunakan sensor accelerometer, sedang variable inertia estimator perlu
R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,
Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal. 4 - 57
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

direkayasa untuk mendapatkan nilai estimasi tepat yang dapat mendekati


keadaan operasi sebenarnya.

Gambar 4.56 Aplikasi AFC pada sistem robotika

Gambar 4.56 memperlihatkan skema aplikasi AFC untuk sistem robot


secara umum. Semua simbol variabel ditulis dalam bentuk tegak tebal (bold)
yang berarti variabel ini berbentuk matrik. Untuk robot yang memiliki lebih
dari 1DOF persamaan geraknya dapat dinyatakan sebagai bentuk matrik.
Dalam gambar, torsi terpakai pada motor dapat diukur secara langsung
menggunakan sensor torsi, ataupun secara tak langsung menggunakan sensor
arus motor. Dalam skema bisa dipilih salah satu saja (ditandai dengan garis
putus-putus). Jika menggunakan sensor arus maka perlu dikonversikan dengan
nilai untuk mendapatkan kembali nilai torsi.

Gambar 4.57 memperlihatkan sebuah contoh pemasangan sensor arus


pada rangkaian driver motorDC berbasis PWM. Kapasitor 0.1 yang
dirangkai parallel dengan resistor 0.1 Ω berguna untuk menyaring frekuensi
tinggi yang dihasilkan oleh proses switching pada PWM. Perlu diperhatikan
bahwa resistor yang digunakan sebaiknya mempunyai kemampuan watt yang
besar dan nilainya tidak terpengaruh perubahan temperatur.

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal. 4 - 58
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Gambar 4.57 Sensor Arus pada rangkaian driver motor

4.3.2 Estimasi (matriks) inersia

Isu utama dalam implementasi skema AFC adalah bagaimana


mengestimasi (matriks) inersia dengan tepat dan realtime. Jika faktor pengali
akselerasi, IN ini sesuai dan bersifat dinamis mengikuti nilai disturbance maka
AFC secara teoritis dapat meredam semua bentuk gangguan.seperti diketahui,
sistem dalam robotika bersifat sangat non-linier (highly non-linear). Begitu
banyaknya komponen mekanik sebagai struktur utama dalam pergerakan robot
dan beragamnya lingkungan operasi menyebabkan faktor-faktor ketidaktentuan
dan sifat non-linieritas sistem menjadi sangat tinggi.

Inersia dapat diestimasi secara kasar (crude approximation) dengan


mengambil nilai tertentu yang secara rata-rata paling sesuai untuk segala
macam gangguan yang mungkin timbul dalam operasi. Langkah ini mirip
seperti proses tuning pada kontroler P. dalam beberapa kajian , skema AFC
R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,
Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal. 4 - 59
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

dengan crude approximation ini cukup sukses diaplikasikan pada suatu sistem
mekatronik dan sebuah system active suspension untuk kendaraan dalam
eksperimen di laboratorium (Hewit dan Burdess, 1986, Hewit dan Ma’rouf,
1996).

Sejalan dengan berbagai kemajuan dalam teknik kontrol modern


menggunakan kecerdasan buatan, metoda estimasi inersia dalam skema AFC
ini juga telah banyak dikembangkan dengan berbagai metoda, seperti reference
look-up table dan modofikasi AFC sebagai disturbance cancellation control
(Uchiyama, 1993) neural network (Musa, 1998) iterative learning (Kwek, et
al., 2003, Pitowarno et al., 2005), Knowledge-based system (Pitowarno et al.,
2001) dan Knowledge-based fuzzy (Pitowarno dan Mailah, 2005).

4.4. Implementasi Kendali Ke Dalam Rangkaian Berbasis


Mikroprosesor
Pertama kita harus menyiapkan rangkaian kontroler yang memiliki
fasilitas input analog dan output analog. Dalam hal ini penggunaan rangkaian
ADC dan DAC diperlukan di dalam sistem kontroler.

Gambar 4.58 PIC16F877

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal. 4 - 60
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Kontroler robot dalam tahap disain dan uji coba laboratorium dapat
dibuat dari komputer standar (baik PC atau work station) yang dilengkapi
dengan interface ADC dan DAC. Jika proses ujicoba telah dianggap memadai
maka rangkaian kontrolernya dapat dirancang ulang dengan menggunakan
sistem kontroler yang menyatu dengan sistem robot (embedded controller).
Dapat sebagai contoh, kita akan membahas rangkaian berbasis PIC16F877. IC
mikrokontroler ini memiliki ADC yang menyatu di dalam chip sebanyak 8
kanal dengan ketelitian 10-bit. Untuk output, tersedia 2 kanal PWM yang dapat
dihubungkan ke aktuator seperti motor. Input/Output secara umum dapat
diperoleh dari Port A, B, C, D dan E. untuk lebih lengkapnya silahkan cek di
datasheet yang berkaitan.

4.4.1. Contoh: Kontroler Robot Mobile Manipulator berbasis PC

Misalkan kita punya sebuah kasus disain robot Mobile Manipulator


seperti Gambar 4.59 berikut ini.

Gambar 4.59 Robot Mobile Manipulator

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal. 4 - 61
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Robot ini termasuk dalam kategori mobile robot yang bergerak


menggunakan dua buah roda kiri-kanan secara independen (differentially-
driven mobile robot – DDMR). Sebuah tangan 2 sendi dipasang diatas platform
dan dapat bergerak secara planar. Robot ini sangat popular digunakan oleh para
peneliti dalam berbagai kajian-kajian dasar untuk menguji berbagai teori-teori
baru baik tentang control kinematic maupun dinamik. Dalam konteks bahasa
kajian kinematika, dengan memasang robot manipulator diatas mobile platform
maka daerah kerja (workspace) robot menjadi luas dan dinamis. Mobile
manipulator dalam hal ini dapat mewakili berbagai kajian yang berkaitan
dengan kontrol gerak (motion control) baik yang bersifat holonomic maupun
yang bersifat nonholonomic.

Misalkan robot diatas akan didisain secara outonomous yang dalam hal
ini memerlukan sebuah sistem embedded controller berbasis PIC16F877.
Sebelum embedded controller kita buat, terlebih dahulu sebuah PC digunakan
sebagai dasar dalam mengembangkan sistem kontroler baik secara perangkat
keras maupun perangkat lunak. Ilustrasi sistem pengembangan robot dapat
dilihat dalam Gambar 4.60 berikut ini.

Gambar 4.60 Sistem pengembangan Mobile Manipulator

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal. 4 - 62
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Gambar 4.61 Sistem kontroler Mobile Manipulator berbasis PC

Gambar 4.61 adalah diagram rangkaian sistem kontroler secara


keseluruhan. PC sebagai kontroler dilengkapi dengan 2 unit data acquisition
card DAS1602 yang ditancapkan pada slot EISA. Perlu dipahami disini, pada
dasarnya menggunakan PC dengan spesifikasi yang lebih baik akan dapat
meningkatkan kualitas waktu akses. Namun kelas Pentium P-III umumnya
tidak dilengkapi dengan slot EISA sehingga DAS1602 tidak dapat diinstall di
dalamnya. Jika anda menggunakan interface card tipe slot PCI maka
disarankan menggunakan PC P-4.

Pada Gambar 4.61, jika dilihat dari sisi input, system ini memiliki 12
kanal input analog yang dihubungkan ke 12 kanal ADC pada interface
DAS1602. Sedangkan pada rangkaian rotary encoder digunakan system bus

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal. 4 - 63
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

parallel yang terhubung port PPI8255. Jadi total memiliki 16 terminal input
yang masing-masing dapat dikatakan bekerja dengan orientasi analog. Pada sisi
output terdapat 4 kanal yang semuanya bekerja berdasarkan prinsip analog.
Tegangan masing-masing output memiliki jangkauan (0-12)V secara linier.
Untuk arah putaran motor tiap-tiap kanal dibantu dengan 1 bit output digital
(1/0) untuk menyatakan arah putaran CW dan CCW. Karena tiap DAS1602
memiliki 2 kanal DAC maka diperlukan 2 unit untuk mengontrol robot ini.
Motor yang digunakan adalah tipe DC-Servoyang spesifikasinya mendekati
motor torsi ideal. Rangkaian driver-nya ditunjukkan dalam Gambar 4.62.

Gambar 4.62 Rangkaian driver untuk motor DC-Servo

Untuk pemasangan sensor kecepatan berbasis f/V, sensor arus dan sensor
percepatan dapat menggunakan rangkaian-rangkaian yang telah diterangkan di
bab sebelumnya. Khusus untuk rangkaian rotary encoder yang seluruhnya
berjumlah 4 unit ini Gambar 4.63 memperlihatkan skema lengkapnya. Sistem
koneksi “bus parallel” yang dinyatakan dalam kotak bergaris putus-putus dapat

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal. 4 - 64
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

didisain sedemikian rupa menggunakan konektor standar, misalnya Amphenol


DP-25, sehingga mudah dihubungkan ke sistem rangkaian kontroller baik PC
maupun embedded controller.

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal. 4 - 65
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Gambar 4.63 Rangkaian HCTL2000 untuk Rotary/Shaft Encoder


R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,
Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal. 4 - 66
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

4.4.2. Kontroler Robot berbasis PIC16F877

Dengan menggunakan sistem pengembangan berbasis PC seperti yang


diuraikan sebelumnya maka user secara relatif dapat dengan leluasa
mengembangkan berbagai metoda atau algoritma kontrol robot tanpa khawatir
dengan, misalnya terbatasnya kapasitas memori, dan sebagainya. Melalui PC
juga dapat dilakukan berbagai simulasi sebelum mengujicobanya pada robot
yang sebenarnya sistem mikrokontroler biasanya tidak menggunakan layar
CRT atau monitor standar tidak seperti PC.

Sekarang kita akan mengganti PC dengan kontroler berbasis PIC16F877


seperti gambar berikut ini.

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal. 4 - 67
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Gambar 4.64 Rangkaian kontroler berbasis PIC16F877

Dalam Gambar 4.64 nampak bahwa selain rangkaian input/output yang


berhubungan dengan sensor dan aktuator juga terdapat rangkaian interface
untuk display ke LCD tipe LXC2425STY dan rangkaian PPI8255 sebagai
R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,
Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal. 4 - 68
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

interface ke rangkaian rotary encoder berbasis HCTL2000. Rangkaian output


ke motor dilengkapi dengan rangkaian DAC yang dirancang dengan berbasis
bus parallel untuk mendapatkan 4 kanal DAC sesuai dengan kebutuhan.
Fasilitas 2 kanal PWM pada chip PIC ini belum dimanfaatkan.

4.5. Low-level dan High-level Control Pada Robot


Sensor dalam robotika dari sudut pandang taksonominya dapat
dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu

 Sensor Internal:
- Sensor posisi,
- Sensor kecepatan, dan
- Sensor percepatan,
 Sensor Eksternal:
- Sensor taktil (tactile), berbasis sentuhan: misalnya limit switch
pada bemper robot,
- Sensor force dan sensor torsi (torque sensor),
- Sensor proksimiti,
- Sensor jarak (sonar, PSD, dll),
- Sensor vision (kamera),
- Gyro, kompas digital, detector api, dan sebagainya.

Dari pengelompokan sensor ini kemudian dikenal istilah low-level control dan
high-level control dalam kontrol robotika. Diagram dasarnya adalah sebagai
berikut.

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal. 4 - 69
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Gambar 4.65 Low-level Control dan High-level Control

Dengan pendekatan seperti pada Gambar 4.65 ini maka skema-skema


kontrol yang telah diterangkan sebelumnya, yaitu control PID, RMRC dan
RMAC/RAC dapat dikategorikan sebagai low-level control. Pengertian ini
didasarkan pada cara instalasi sensor dan cara membaca datanya, yakni dengan
mengukur langsung pada bagian tubuh/sendi/sumbu-putar dari struktur (robot).

Sedangkan high-level control adalah kontrol yang bekerja berdasarkan


data-data sensor yang merupakan informasi tentang lingkungan dimana robot
itu bekerja. Misalkan kontrol gerak mobile robot untuk menghindari halangan
dan mengejar obyek. Data-data sensor yang diperoleh dari sensor jarak (range
finder sensor) seperti ultrasonic, TX-RX inframerah, dan sebagainya, adalah
mengandung informasi lingkungan (eksternal). Jika diperhatikan dari Gambar
4.65 maka high-level control bertugas membentuk input atau trajektori
referensi bagi low-level control pada sistem mobile robot high-level control
berkaitan dengan berbagai hal yang berhubungan dengan pemetaan medan,
perencanaan jelajah, metoda penghindaran halangan, koordinasi antar robot,
dan sebagainya.

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal. 4 - 70
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Beberapa skema high-level control yang umum digunakan antara lain:

 Pendekatan Model-Plan-Act (MPA),


 Pendekatan Behavior-based, dan
 Pendekatan Finite State Machine (FSM).

4.5.1 Kontrol Gerak berbasis pendekatan model Plan-Act


Prinsip kerja metode ini dapat diilustrasikan seperti dalam Gambar 4.66
berikut ini.

Gambar 4.66 Prinsip kerja Pendekatan Model-Plan-Act (MPA)

Pertama, robot melakukan pembacaan data-data sensor. Dari data ini


kontroler melakukan pemodelan medan kerja robot (the world). Jika model
telah dikenal secara pasti maka kontroler dapat melakukan perencanaan jelajah.
Jika rencana “telah matang”, robot melakukan aksi dengan bergerak menuju
target.

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal. 4 - 71
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Sesampai di posisi target, robot melakukan pembacaan sensor lagi. Dari


sini langkah pemodelan dilakukan lagi. Demikian seterusnya sehingga setiap
kali robot telah mencapai target yang baru ia akan menjalankan prosedur yang
berulang g hingga target terakhir dicapai.

Sebagai contoh, katakanlah kita punya sebuah mobile robot, kita


berinama saja Robot Tikus, yang berada dalam suatu medan permainan seperti
Gambar 4.67 di bawah ini.

Gambar 4.67 Robot tikus mencari GOAL (1)

Tugas Robot Tikus adalah mencari pintu keluar GOAL dengan


menggunakan metoda MPA. Diasumsikan robot memiliki kemampuan “mata”
untuk menyapu pandangan sejauh “mata memandang”. Dalam robot aplikasi
dapat mencapai dengan menggunakan kamera, sonar (range finder), dan
sebagainya.

Langkah pertama ketika di posisi START. Robot menyapu pandangan ke


sekeliling yang ia mampu. Pandangan pertama ini akan menghasilkan “peta”
seperti dalam Gambar 4.68.
R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,
Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal. 4 - 72
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Gambar 4.68 Robot Tikus mencari GOAL (START)

Dari peta ini robot dapat melakukan perencanaan gerak yang pertam
menuju titik tengah, pada garis pintu masuk ke daerah yang belum
diketahui. Kurva trajektori dapat ditentukan dengan mempertimbangkan titik
koordinat START, perkiraan koordinat titik tengah yang berhasil “dipandang”,
(centroid) dengan menghitung luas daerah terlebih dahulu, dan
perkiraan/perhitungan Koordinat titik . Dengan metoda matematik
sederhana, dari tiga titik koordinasi yang diketahui ini dapat diperoleh fungsi
trajektori yang dikehendaki. Dari hasil perencanaan, robot dapat melakukan
aksi pertama.

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal. 4 - 73
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Gambar 4.69 Robot Tikus mencari GOAL (START-P1)

Langkah kedua, setelah robot mencapai titik , ia berhenti dan


menyapu pandangannya lagi. Prosedurnya sama seperti langkah dua titik
tengah garis “pintu masuk” daerah yang belum diketahui. Di sini menghadapi
dua pilihan, menjelajahi menuju atau terlebih dahulu.pertama,
sehingga didapat peta seperti dalam Gambar 4.69. Perhatikan bahwa sekarang
robot menemukan.

Perlu dicatat bahwa Robot Tikus ini melakukan penjelajahan untuk yang
pertama kali tanpa pengetahuan sedikitpun tentang medan kerjanya. Jadi
diasumsikan bahwa setelah berpengalaman menjelajah mencari GOAL untuk
yang ke-1, ke-2 hingga yang ke-n diharapkan robot dapat menemukan jalan
pintas yang paling pendek.

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal. 4 - 74
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Katakanlah sekarang robot mengambil langkah menuju . Maka


peta yang dihasilkan,

Gambar 4.70 Robot Tikus mencari GOAL (START-P1-P3)

Dari sini, jika langkah robot diteruskan , akan didapat peta terakhir
seperti dalam Gambar 4.71 yang merupakan penyelesaian. Namun langkah ini
bukanlah yang terpendek.

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal. 4 - 75
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Gambar 4.71 Robot Tikus mencari GOAL (START-P1-P3-P4-P5-GOAL)

Jika tujuan yang dijelajahi terlebih dahulu maka peta yang


dihasilkan adalah seperti dalam Gambar 3.71.

Gambar 4.72 Robot Tikus mencari GOAL (START-P1-P2-P4-GOAL)


R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,
Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal. 4 - 76
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Nampak bahwa jalur jelajah yang dibentuk dalam gambar di atas lebih
pendek dibandingkan dengan peta pada Gambar 4.72.

Dari penjelajahan-penjelajahan di atas, (START-P1-P3-P4A-P5-GOAL)


dan (START-P1-P2-P4B-GOAL), didalam memori kontroler robot akan
diperoleh interpretasi pemetaan seperti yang diilustrasikan dalam Gambar
4.73.

Gambar 4.73 Robot Tikus mencari GOAL (START-P1-P3-P4-P5-GOAL)

Untuk memperoleh jalur terpendek pada penjelajahan robot berikutnya


dalam program kontroler dapat ditambahkan berbagai algoritma pencarian jalur
terpendek (shortest path searching/planning), seperti algoritma A* (baca: A
bintang) dan algoritma genetik.

Penyelesaian jalur terpendek dalam contoh kasus diatas ditunjukkan


dalam Gambar 4.74 berikut ini.

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal. 4 - 77
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Gambar 4.74 Robot Tikus mencari GOAL (Jalur terpendek)

Dari uraian-uraian diatas Nampak bahwa metoda MPA cukup sederhana.


Tapi bagaimanapun juga, selain keuntungan terdapat juga kerugian atau
kelemahan dalam penggunaan metoda ini.

Keuntungannya antara lain:

 Dari pengetahuan (knowledge) secara global hasil dari tiaptesting


(penjelajahan) memungkinkan untuk dilakukan langkah-langkah
optimasi (jalur terpendek) dengan cukup baik.
 Perencanaan jelajah yang terpendek hasil dari optimasi dapat
dijamin keakuratannya.

Sedangkan kelemahannya:

 Pemrogramannya rumit dan berbelit-belit (computationally


intensive).

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal. 4 - 78
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

 Membutuhkan sensor-sensor yang berkualitas sangat bagus untuk


memperoleh model lingkungan yang akurat.
 Bagaimanapun juga, model lingkungan medan yang diperoleh
hanyalah sekedar perkiraan (aproksimasi) saja.
 Bila diterapkan dalam medan kerja yang dinamis, misalnya
terdapat obyek yang selalu bergerak, metoda ini tidak dapat bekerja
dengan baik.

4.5.2 Kontrol Gerak berbasis Behavior (Behavior-Based, BB)

Robot yang menggunakan algoritma high-level control berbasis behavior


(tabiat, kelakuan) biasa disebut sebagai behavior-based robot. Algoritma ini
adalah salah satu metoda dalam high-level control yang relatif paling banyak
diteliti dan diuji coba dewasa ini. Metoda BB memiliki kelebihan disbanding
dengan metoda MPA, yaitu dapat bekerja dengan baik dalam lingkungan yang
dinamis. Misalnya untuk pengejaranobyek seperti dalam ajang kontes Robo-
Soccer (Robot Sepak Bola).

Algoritma BB diturunkan dari sifat-sifat alami makhluk hidup, yaitu


bertingkah laku sesuai dengan keadaan lingkungannya. Berdasarkan informasi
dari panca indera tertentu, syaraf yang berhubungan dengan otot gerakan
anggota badan terkait akan mendapat stimuli dari otak sehingga memberikan
suatu respon yang khas. Seorang akan dengan reflek menarik tangannya bila
menyentuh bara api. Kita akan secara reflek menoleh jika seseorang
memanggil nama kita. Termasuk, jika kita takut, kita akan mengambil langkah
seribu jika kita dikejar anjing.

Prinsip kerja algoritma BB dapat digambarkan sebagai berikut.

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal. 4 - 79
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Gambar 4.75 Prinsip kerja algorithma behavior-based

Sedangkan, struktur algoritma BB yang dikenal sebagai arsitektur


subsumption (sumption architecture) dapat diilustrasikan seperti Gambar 4.76
berikut ini.

Gambar 4.76 Arsitektur Subsumption dalam BB control

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal. 4 - 80
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Behavior(1,2,3,…,N) didefinisikan sebagai tingkah laku robot yang


“alami”. Misalnya seperti jalan maju hingga menemukan halangan, belok
kanan, belok kiri, mencari obyek, menuju da menguasai obyek (capture),
mundur dan belok bila melanggar dinding, dan segala “aksi” yang dapat kita
definisikan sebagai bentuk “tabiat dasar mahluk” jika menjumpai suatu
permasalahan. Setiap behavior bergantung kepada stimuli yang diterimanya.
Stimuli dalam robotika pada dasarnya adalah data-data berbagai macam sensor
yang difungsikan. Pada manusia, seperti yang kita ketahui , seluruh
pancaindera kita aktif 24 jam kecuali (mungkin) jika kita sedang tidur.
Behavior yang memiliki prioritas yang lebih tinggi dapat membatalkan aksi
dari behavior yang lebih rendah.

Misalnya, katakanlah kita memiliki tiga behavior, yaitu berjalan, lari, dan
memungut batu kemungkinan melemparnya. Behavior “berjalan” adalah
kondisi normal tanpa stimuli. Lari didefinisikan sebagai behavior jika kita
melihat anjing mengejar kita. Memungut batu dan melemparkan ke anjing
adalah behavior yang distimuli oleh penglihatan mata. Jika dinyatakan dalam
arsitektur subsumption susunan behavior ini dapat diilustrasikan dalam
Gambar 4.77 berikut ini.

Gambar 4.77 Sebuah contoh arsitektur subsumption

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal. 4 - 81
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Dari contoh dalam Gambar 4.77, dalam keadaan normal, kita tidak
melihat anjing mengejar, maka subsumption akan memutus hubungan panah
dari atas ( ). Jika ketika berjalan kita melihat ada anjing mengejar maka
akan melakukan switching dengan memutuskan panah dari kiri dan
menyambung panah dari . Sementara itu, masih terhubung ke “lari” dan
memutus panah dari atas. Dalam kondisi ini keputusannya adalah lari. Jika
pada saat lari kita melihat ada batu maka akan memutus hubungan dari
“lari”, sehingga kita berhenti, dan sebagai gantinya kita mengambil batu dan
melemparkannya ke anjing yang mengejar. Jika melihat batu tapi tidak sedang
melihat anjing maka kita akan tetap berjalan normal karena behavior
“memungut batu & melemparnya” tidak mendapat stimuli yang lengkap.
Artinya, output behavior ini tidak akan memberikan respon (output non-aktif)
dan tetap terhubung ke panah dari kiri.

Sebagai contoh bahasan yang lebih riil, katakanlah kita punya sebuah
Robot Tikus bermata kamera plus infrared range-finder (PSD) dengan fungsi
mengejar dan menangkap bola seperti dalam Gambar 4.78 berikut ini. Sebut
saja robot ini Robot Tikus Sepak Bola (RTSB).

Gambar 4.78 Robot Tikus Sepak Bola bermata kamera

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal. 4 - 82
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Behavior RTSB kita definisikan sebagai berikut:

 Jelajah: berjalan bebas kea rah depan dengan memutar roda kiri dan
kanan dalam kecepatan yang sama. (normal)
 Menghindar: Hindari jika ada halangan (dinding atau robot lain di
depan). Jika sensor halangan dekat dengan PSDL, robot berbelok ke
kiri. Sebaliknya, jika halangan dekat dengan PSDR maka belok ke
kanan.
 Mundur & Belok: Jika bemper SBL ON, artinya menubruk sesuatu
(dinding atau robot lain) di arah sebelah depan-kiri, robot mundur
sedikit sembari belok ke kiri. Sebaliknya, jika tubrukan di sebelah
kanan (SBR ON), robot mundur dan belok ke kanan.
 Mencari Bola: Mata kamera menyapukan pandangan ke arah depan.
Dalam hal ini kamera dipasang mati pada tubuh robot. Respon behavior
ini adalah robot mendekati bola hingga dapat ditangkap. (Pintu bola
senantiasa terbuka hingga DB tersentuh).
 Memegang Bola: Jika detektor bola DB aktif maka bola telah masuk
ke mulut robot. Maka robot akan menutup pintu bola. DB akan selalu
aktif selama bola berada dimulut robot.
 Mencari GOAL: Stimuli berasal dari informasi kamera juga seperti
pada behavior mencari bola. Dalam hal ini diperlukan metoda-metoda
pengolahan citra untuk membedakan bola dengan GOAL. Jika GOAL
didapat, dengan catatan bola sudah di mulut, maka robot akan “lari”
kearah GOAL dan memuntahkan bola dengan membuka pintunya.
Sebagai catatan, dalam kompetisi Robot Sepak Bola (RoboSoccer),
bola biasanya berwarna orange sedang goal berwarna biru atau merah
dengan lantai berwarna gelap (misalnya hijau tua) dan dinding
berwarna putih atau terang.

Dari definisi-definisi behavior di atas arsitektur subsumption-nya dapat


dirancang seperti dalam Gambar 4.79.

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal. 4 - 83
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Gambar 4.79 Arsitektur Subsumption untuk control robot RTSB

Nampak dari gambar di atas, susunan node subsumption S1 s/d S5


memberikan efek terhadap prioritas behavior yang harus difungsikan sesuai
dengan konfigurasi data-data sensor. Dalam keadaan normal (default) tanpa
info apapun dari sensor-sensor, robot akan melakukan “jelajah bebas ke
depan”. Mencari GOAL ditempatkan sebagai behavior dengan prioritas
tertinggi, namun aktifitasnya berdasarkan stimuli dari info kamera dan switch
detector bola. Switch bemper dan infrared hanya bertugas untuk menggiring
robot hingga akhirnya bola diperoleh dan dimasukkan kedalam GOAL.

Seperti pada banyak metoda yang dikembangkan dan ditawarkan,


metoda/algoritma BB juga mempunyai keuntungan dan kerugian.

Keuntungannya antara lain:

 Dalam pemrograman, behavior dinyatakan sebagai suatu fungsi


rutin yang dapat dengan mudah diaktifkan atau tidak. Dengan
demikian disain sistem kontrolnya menjadi lebih transparan.

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal. 4 - 84
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

 Sistem modul yang digunakan dalam pemrogramannya juga


memberikan kemudahan dalam eksperimen karena setiap modul
dapat dites satu persatu sebelum digabung.
 Metode control BB ini sangat proaktif dan reaktif terhadap
perubahan dinamik lingkungan sehingga dangat sesuai digunakan
sebagai basis robot outonomous yang mampu belajar sendiri secara
online dan terus-menerus.

Sedangkan kerugiannya:

 Dari sudut pandang programmer: tidak dapat dipastikan apa


sebenarnya yang sedang dan akan dilakukan oleh robot ketika
beraksi dilapangan. Susah untuk dievaluasi dan ditentukan letak
kesalahannya jika robot mampu menyelesaikan tugas.
 Tidak bisa dijamin robot selalu mampu menyelesaikan tugasnya
Maintenance dan kalibrasi program juga amat sulit.

4.5.3 Metoda Finite State Machine (FSM)

Finite State Machine adalah suatu mekanisme untuk menentukan suatu


solusi berdasarkan perubahan-perubahan keadaan (state) waktu demi waktu.
Setiap solusi yang diperoleh untuk satu perubahan state pada dasarnya adalah
identic dengan sebuah behavior seperti dalam algorithma BB.

Dalam teknik FSM, perubahan suatu state terjadi berdasarkan informasi


data umpan balik dari sensor-sensor. Jadi dari segi waktu, FSM dapat bersifat
realtime karena state slalu diperbaharui setiap kali lingkungan berubah.
Gambar 4.80 berikut ini menunjukkan sebuah skema dasar FSM untuk fungsi
jelajah dengan kemampuan menghindari halangan.

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal. 4 - 85
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Gambar 4.80 Sebuah skema FSM

Gambar 4.80 dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, robot harus


didefinisikan pada suatu keadaan (initial state). sesuai skema diatas, initial state
yang tepat adalah MAJU 10cm. Jika dalam gerak maju sejauh 10cm ini robot
tidak menemukan halangan maka ia akan maju lagi 10cm.

Demikian seterusnya. Jika menemukan halangan, ia akan merubah state


menjadi BELOK KANAN 450. Batas terjauh halangan yang didefinisikan
adalah 20cm, lebih jauh 10cm disbanding setiap langkah/state MAJU. Hal ini
dimaksudkan agar robot memiliki toleransi gerak yang cukup jika ia gagal atau
terlambat mendeteksi halangan. jika setelah satu kali belok 450 robot sudah
tidak lagi mendeteksi adanya halangan maka state kembali ke MAJU 10cm.
tapi jika masih mendeteksi adanya halangan maka robot melakukan BELOK
KANAN 450 lagi sampai halangan tak terdeteksi. Hal ini sangat bermanfaat
pada kondisi dimana robot menuju lorong yang buntu.

Berikut ini ditampilkan rutin program untuk merubah state dari


MAJU_10CM ke Belok_Kanan_45, atau sebaliknya.

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal. 4 - 86
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Sedangkan, rutin untuk memerintahkan robot bergerak MAJU atau


BELOK, ditampilkan sebagai berikut.

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal. 4 - 87
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

LATIHAN
1. Sebutkan dan jelaskan komponen-komponen sistem robotika!
2. Jelaskan perbedaan antara sistem kontrol ON/OFF dengan sistem
kontrol PID (Proporsional, Integral dan Derivatif)!
3. Sebutkan dan jelaskan kelebihan dan kekurangan masing-masing
kontrol P, I dan D!
4. Bagaimana merepresentasikan kontrol kecepatan ke dalam kontrol
posisi?
5. Jelaskan efek perubahan beban (gangguan torsi) pada kontroler P, PI,
PD dan PID!
6. Apa yang dimaksud dengan “Resolved Motion Rate Control (RMRC)?
Jelaskan cara kerja RMRC!
7. Apa yang dimaksud dengan “Resolved Motion Acceleration Control
(RMAC)? Jelaskan cara kerja RMAC!
8. Apa yang dimaksud dengan “Active Force Control (AFC)? Jelaskan
cara kerja AFC!
9. Jelaskan perbedaan antara “low-level control” dengan “high-level
control”!
10. Jelaskan cara kerja kontrol berdasarkan Model Plan-Act (MPA)!

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal. 4 - 88
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

REFERENSI
1. Hewit, J. R danMarouf, K. B. (1996).Practical Control Enhancement via
Mechatronics Design.IEEE Trans. Industrial Electronics.43(1). 16-22
2. Hewit, J.R. and Burdess (1981).Fast Dynamic Decoupled Control for Robotics
Using Active Force Control.Trans. Mechanism and Machine Theory.16(5).535-
542.
3. Hewit, J.R. danBurdess, J.S. (1986).An Active Method for the Control of
Mechanical System in The Presence of Unmeasurable Forcing.Trans.
Mechanism and Machine Theory.21(3).393-400.
4. Kwek, L. C., Wong, E. K., Loo, C.K. danRao, M.V.V. (2003).Application of Active
Control and Iterative Learning in a 5-Link Biped Robot.Jurnal of Intelligent and
Robotic Systems, 37, 143-162.
5. Microchip. (2001). PIC16F87X Data Sheet, 28/40-pin 8 bit CMOS Flash
Microcontrollers. Data Sheet. Microchip Technology, Inc.
6. Ogata, K. (2002). Modern Control Engineering: Fourth Edition. BukuTeks. New
Jersey: Prentice Hall-Pearson Education International.
7. Pitowarno, E. dan Musa Mailah. (2005). Motion Resolved Acceleration and
Knowledge Based Fuzzy Active Force Control for MobileManipulator. Proc.
Int’1 Conf. on Robotics, Vision, Informations and signal Processing (ROVISP
2005), Penang, Malaysia.
8. Pitowarno, E., Musa MailahdanHishamuddinJamaluddin. (2001). Trajectory
Error Pattern Refinement of A Robot Control Scheme Using A Knowledge-
Based Method.Proc. IEEE Int’1 Conf. on Information, Communications &
Signal Processing (ICICS 2001), Singapore, P0301.
9. Pitowarno, E Musa MailahdanHishamuddinJamaluddin.(2005). Motion
Control for Mobile Manipulator Using Resolved Acceleration and Iterative-
Learning Active Force Control.Proc. Int’1 Conf. on Mechatronics (ICOM 2005)
Kuala Lumpur, p542-549.
10. Uchiyama, M. (1989).Control of Robot Arms.Trans. Japan Society of
Mechanical Engineers. III. 32(1). 1-9.

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal. 4 - 89
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

BAB V
KINEMATIK DAN DINAMIK ROBOT

5.1 PENDAHULUAN
Robot dapat dianalisa dalam dua dominan kajian, yaitu analisa
kinematik dan dinamik. Analisa kinematik berkaitan dengan gerakan robot
tanpa memandang efek inersia/ kelembaman yang terjadi ketika robot
melakukan gerakan, sedang analisa dinamik berhubungan dengan efek inersia
dari struktur dari struktur robot secara fisik hasil dari gerakan yang ditimbulkan
oleh torsi aktuator ketika robot sedang melakukan pergerakan.

Konversi sudut ke koordinat Cartesian pada robot IDOF adalah dasar dari
transformasi dalam analisis kinematik. Untuk sistem robot lebih dari IDOF
(dan kenyataannya, robot aplikasi selalu memiliki lebih dari IDOF) analisa
kinematik mutlak diperlukan. Sistem mobile robot lebih rumit kinematiknya,
karena berkaitan dengan prinsip gerak holonomic dan nonholonomic.

Dalam bab ini Anda akan menjumpai bahasan-bahasan tentang:

 Teori dasar transformasi koordinat, kinematik dan dinamik.


 Analisis Kinematik Sistem Holonomic: Penggunaan persamaan
trigonometri, matriks translasi, mtriks rotasi, metoda Denavit-
Hertenberg, dan Euler.
 Analisis Kinematik Sistem Nonholonomic: Transformasi Homogen dan
transformasi heterogen
R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,
Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 1
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

 Analisa Dinamik: Metoda Newto-Euler, Lagagrange-Euler, Jacobian,


 Singularity dan Redundancy,
 Persamaan Gerak Dinamik Manipulator dan Mobile Robot.

5.2 PRINSIP DASAR PEMODELAN MATEMATIK


DALAM SISTEM ROBOTIK

Seperti telah diterangkan di bab sebelumnya, sistem robotik secara garis


besar terdiri dari sistem kontroler, elektronik dan mekanik robot. Dalam bentuk
diagram dapat dinyatakan seperti dalam Gambar 5.1 berikut ini.

Gambar 5.1 Diagram sistem robotik

G(s) adalah persamaan matematik kontroler sedang H(s) adalah


persamaan untuk sistem robot secara fisik termasuk aktuator dan sistem
elektroniknya. Komponen ri adalah referensi input yang dalam aplikasinya
dapat berupa referensi posisi, kecepatan dan akselerasi. Dalam fungsi waktu,
nilain input ini dapat bervariasi dan kontinyuyang membentuk suatu

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 2
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

konfigurasi trajektori. Komponen e adalah error dan komponen u adalah


output dari kontroler. Output y adalah fungsi gerak robot yang diharapkan
selalu sama dengan referensi (gerak) yang didefinisikan pada input ri..

Jika input merupakan fungsi dari suatu koordinat vektor posisi dan
orientasi P(x,y,z) dan output adalah θ(θ1, θ2, … θn) dimana n adalah jumlah
sendi atau DOF, maka Gambar 5.1 dapat digambar ulang sebagai berikut.

Gambar 5.2 Diagram sistem kontrol robotik

Dalam Gambar 5.2 di atas, output yang diukur dari gerakan robot adalah
dalam domain sudut dari sendi-sendi, baik sendi pada sistem tangan/kaki
ataupun sudut dari perputaran roda jika robot adalah mobile robot. Sedang
yang diperlukan oleh user dalam pemrograman atau dalam pemetaan ruang
kerja robot adalah posisi (ujung tangan atau titik tertentu pada bagian robot)
yang dinyatakan sebagai koordinat 2D (Cartesian) ataupun 3D. Dengan
demikian perlu dilakukan transformasi koordinat antara ruang Cartesian
dengan ruang sendi/sudut ini. Di dalam gambar dinyatakan sebagai kinematik

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 3
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

invers dan kinematik maju/langsung. Kombinasi antara transformasi koordinat


P ke θ dengan kontroler G(s) disebut sebagai kontroler kinematik (kinematics
controller). Inputnya berupa sinyal error P, ep sedang outputnya adalah sinyal
kemudi u untuk aktuator. Dalam konteks praktis, u ini adalah sinyal-sinyal
analog dari DAC unutk seluruh aktuator robot.

5.2.1 Konsep Kinematik

Dalam gambar 5.2, kontroler dinyatakan sebagai kontroler kinematik


karena mengandung komponen transformasi ruang Cartesian ke ruang sendi.
Dengan demikian didapat output kontroler kontroler u yang bekerja dalam
sendi, u(θ1, θ2, … θn). Sebaliknya, kontroler memerlukan umpan balik dalam
bentuk koordinat. Penjelasan ini dapat diilustrasikan dalam Gambar 5.3 berikut
ini.

Gambar 5.3 Transformasi kinematik maju dan kinematik invers

Dari gambar di atas dapat diperoleh dua pernyataan mendasar, yaitu:

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 4
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

 Jika jari-jari r dan θ dari suatu struktur robot n-DOF diketahui maka
posisi P(x, y, z) dapat dihitung. Jika θ merupakan sebuah fungsi
berdasarkan waktu, θ(t), maka posisi dan orientasi P(t) dapat dihitung
secara pasti juga. Transformasi koordinat ini dikenal sebagai kinematik
maju/langsung.
 Sebaliknya, jika posisi dan orientasi P(t) diketahui maka θ(t) tidak
langsung dapat dihitung tanpa mendefinisikan berapa DOF struktur
robot itu. Jumlah sendi n dari n-DOF yang bias untuk melaksanakan
tugas sesuai dengan posisi dan orientasi P(t) itu dapat bernilai n = (m,
m+1, m+2, … m+p) dimana m adalah jumlah sendi minimum dan p
adalah jumlah sendi yang dapat ditambahkan. Robot berstruktur m-
DOF disebut sebagai robot non-redundant, sedang bila (m+p)-DOF
maka disebut sebagai robot redundant. Taransformasi ini dikenal
sebagai kinematik invers.

Dari pernyataan di atas nampak bahwa analisa kinematik maju adalah


relatif sederhana dan mudah diimplementasikan. Di sisi lain, karena variabel-
variabel bebas pada robot yang diperlukan dalam aktuasi kontrol adalah berupa
variabel-variabel sendi (aktuator), sedang tugas (task) yang didefinisikan
hamper selalu dalam referensi koordinat Cartesian maka analisa kinematik
invers lebih sering digunakan dan dikaji secara mendalam dalam dunia robotik.

Jadi, kinematik dalam robotika adalah suatu bentuk pernyataan yang


berisi tentang deskripsi matematik geometri dari suatu struktur robot. Dari
persamaan kinematik dapat diperoleh hubungan antara konsep geometri ruang
sendi pada robot dengan konsep koordinat yang biasa dipakai untuk

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 5
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

menentukan kedudukan dari suatu obyek. Dengan model kinematik,


programmer dapat menentukan konfigurasi referensi input yang harus
diumpankan ke tiap aktuator agar robot dapat melakukan gerakan simultan
(seluruh sendi) untuk mencapai posisi yang dikehendaki. Sebaliknya, informasi
kedudukan (sudut) yang dinyatakan oleh tiap sendi ketika robot sedang
melakukan suatu gerakan, dengan analisa kinematik programmer dapat
menentukan dimana posisi ujung lengan atau bagian robot yang bergerak itu
dalam koordinat ruang.

Secara umum persamaan kinematik maju untuk setiap sendi 1DOF secara
parsial dapat dinyatakan sebagai,

P(x, y) = f(r,θ) (5.1)

Dengan r adalah jari-jari lengan (link) dan θ adalah sudut sendi. Dalam
hal ini P adalah koordinat (x, y) yang relatif terhadap koordinat tetap/acuan (0,
0) pada titik sendi. Jika r adalah tetap dengan asumsi lengan bergerak secara
rotasi maka r dianggap konstan. Dengan demikian perubahan P hanya
dipengaruhi oleh perubahan θ. Persamaan kinematik invers-nya dapat
dinyatakan sebagai,

(r,θ) = f(P) (5.2)

Jika robot berstruktur n-DOF dengan tugas dinyatakan sebagai suatu


fungsi trajektori P(t) dan posisi/orientasi tiap lengan sendi dinyatakan sebagai
q(t)=(r, θ (t)) maka kinematik majunya dapat dideskripsikan,

P(t) = f(q(t)) (5.3)

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 6
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Dengan

(5.4)

atau ditulis

q(t) = {q1 (t), q2(t),…,qn (t)}T (5.5)

Dengan demikian kinematik invers-nya dapat ditulis,

q(t) = f-1 (X(t)) (5.6)

Dengan P adalah posisi dan orientasi dari posisi ujung lengan (tip-end
position). Perlu diketahui bahwa jika struktur manipulator ini difungsikan
sebagai kaki dalam suatu robot berjalan (walking robot) seperti biped robot
(robot dua kaki) maka ujung struktur adalah posisi dan orientasi (sudut) akhir
dari (misalnya) telapak kaki.

5.2.2 Konsep Dinamik

Robot secara fisik adalah suatu benda yang memiliki struktur tertentu
dengan massa tertentu yang dalam pergerakannya tunduk kepada hukum-
hukum alam yang berkaitan dengan gravitasi dan atau massa/kelembaman. Jika
robot berada di permukaan bumi maka kedua efek, gravitasi dan massa ini,
akan mempengaruhi kualitas gerakan. Sedangkan bila robot berada di luar
angkasa yang bebas gravitasi maka massa saja yang dapat menimbulkan efek

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 7
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

inersia/kelembaman. Dalam konteks inilah dikatakan bahwa model dinamik


dari suatu robot berhubungan dengan struktur dan massa. Setiap struktur dan
massa yang berbeda akan memberikan efek inersia yang berbeda pula sehingga
penanganan dalam pemberian torsi pada tiap sendi (dengan kata lain: sinyal
pengemudian aktuator/motor tiap sendi) seharusnya berbeda pula.

Gambar 5.4 Diagram Model Dinamik Robot

Perhatikan kembali Gambar 5.2 sebelumnya. Jika u adalah sinyal


aktuasi pada aktuator motor DC-torsi maka input yang masuk pada model
dinamik robot dapat dinyatakan sebagai torsi τ,

τ = I . Ktn (5.7)

Seperti yang ditunjukan dalam Gambar 5.4, dengan I adalah sinyal


analog (arus motor) yang dikeluarkan oleh kontroler, dan Ktn adalah konstanta
motor. Karena torsi pada sendi akan menghasilkan gerakan output (dinamik)
robot dapat dinyatakan memiliki 3 komponen yang menyatu dalam fenomena
gerak rotasi tiap lengan sendi, yaitu sudut θ, kecepatan sudut _, dan percepatan
sudut _. Gambar 5.5 memperlihatkan skema kontrol robotik berorientasi
dinamik dengan penggambaran lebih detil tentang torsi yang dihasilkan oleh
aktuator.

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 8
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Gambar 5.5 Diagram sistem kontrol robotik berorientasi dinamik

Jika output sistem ,.,.. (1,2,…,n) dinyatakan sebagai q maka torsi yang
diberikan kepada sendi-sendi robot adalah,

τ = f(q) (5.8)

Persamaan ini dikenal sebagai dinamik maju/langsung (forward/ direct


dynamics). Model dinamiknya dapat ditulis sebagai H(s). Sebaliknya, jika torsi
τ diketahui (sebagai input), bagaimankah q, ini deikenal sebagai dinamik
invers (inverse dynamics). Model dinamiknya dinyatakan sebagai H-1(s).
Persamaannya adalah,

q = f-1 (τ) (5.9)

Hubungan model matematik dinamik invers dan dinamik maju dapat


diilustrasikan melalui Gambar 5.6 berikut ini.

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 9
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Gambar 5.6 Transformasi dinamik invers dan dinamik maju

5.2.3 Kontrol Kinematik versus Kontrol Dinamik

Untuk mendapatkan sistem kontrol gerakan (motion control) robot yang


ideal, yaitu gabungan kontrol kinematik dan kontrol dinamik, model matematik
dari dinamik robot seharusnya dapat dideskripsikan dengan jelas. Seperti
lazimnya dalam persamaan matematik, solusi penyelesaian dengan memilih
variabel-variabel yang benar adalah diperlukan. Dengan pendekatan kontrol
dinamik maka sinyal aktuasi kontroler dapat lebih presisi dengan
dimasukkannya unsusr perbaikan torsi yang sesuai dengan efek dinamik ketika
robot bergerak. Jika kontrol kinematik lebih berfungsi untuk menjaga
kestabilan gerak (biasanya dalam level posisi dan kecepatan) maka kontrol
dinamik berfungsi untuk meningkatkan kelasakan/kekokohan (robustness)
terhadap gangguan (disturbance) yang dapat muncul selama operasi. Kontrol
dinamik sering dinyatakan sebagai kontrol gaya (force control), kontrol torsi
(torque control). Di sisi lain, kontrol percepatan (acceleration control) dapat
juga dimasukkan sebagai kontrol dinamik dengan pertimbangan bahwa sesuai

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 10
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

dengan hukum Newton kedua, F = m.a, dengan m (massa) tetap, mengontrol a


adalah identik dengan mengontrol F (force).

Namun demikian, untuk robot yang memiliki struktur dinamik yang


rumit seringkali model matematik dinamiknya tidak mungkin dideskripsikan
secara rinci dan ideal. Faktor-faktor seperti gravitasi, friksi pada joint, backlash
pada gearbox, perubahan pembebanan, sampai dengan interaksi kopel antara
bagian tubuh robot adalah masalah-masalah klasik dalam pemodelan dinamik
yang sangat kompleks. Kenyataannya, dalam aplikasi, para enginer lebih suka
menghindari analisis dinamik yang rumit, dan sebagai gantinya, lebih
memfokuskan kajiannya dalam mempercanggih kontrol kinematik. Kajian-
kajian seperti obstacale avoidance (penghindaran halangan), collision free
(bebas tabrakan), path planning (perencanaan alur), behavior-based robot,
robot vision, mechine robot learning, dan masih banyak lagi yang berkaitan
dengan pergerakan robot, mengabaikan unsur dinamik dalam analisisnya.
Dalam hal ini kepresisian gerak adalah bukan tujuan utama. Yang penting
robot dapat dikontrol (controlable) selama dan sepanjang referensi trajektori
diberikan.

Dalam konteks inilah kemudian dalam kontrol robotika dikenal dua


pendekatan dasar, yaitu model-based control dan non model-based control.
Model based control didisain dengan mempertimbangkan model matematik
dinamik robot secara rinci dalam disain kontroler sehingga didapat
penyelesaian kontrol yang secara matematis dapat dipertanggungjawabkan.
Yang termasuk dalam kategori ini misalnya non linier control, optimal control,
(classical) adaptive control, iterative learning control (ILC) dan berbagai

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 11
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

kombinasi yang didapat dari turunan model dinamik sistem. Sedangkan


nonmodel-based control banyak didisain dengan mengaplikasikan metoda-
metoda AI. Kontroler fuzzy adalah salah satu contohnya.

Perlu digarisbawahi di sini bahwa model matematik dari dinamik robot


memang diperlukan dalam disain kontrol yang melibatkan kontrol dinamik.
Model matematik robot robot perlu dikaji untuk mendapatkan kontrol dinamik
yang sesuai disamping kontrol kinematik yang diperlukan untuk pergerakan
robot. Model dinamik juga mutlak diperlukan dalam disain dan analisis kontrol
dinamik terutama dalam proses simulasi. Seperti yang telah disinggung di bab
awal, simulasi untuk sistem robotik ataupun otomasi yang kompleks seperti
rekacipta pesawat terbang tanpa awak, adalah sangat diperlukan. Pemodelan
dinamik yang tepat akan mengurangi resiko kesalahan ketika kontrol
diterapkan pada robot atau sistem yang sebenarnya.

Ketika sistem kontrol diterapkan pada sistem yang sesungguhnya, model


matematik dinamik, H(s) ini sudah “dikeluarkan” dari sistem analisa dalam
diagram blok kontrolnya karena digantika oleh robot secara fisik. Di sinilah
kemudian mucul dilemma bahwa seringkali robot yang dibuat tidak dapat
memenuhi model matematik secara ideal seperti yang dideskripsikan. Atau
sebaliknya, robot yang telah dibuat tidak dapat dimodelkan secara matematis
dengan sempurna. Akibatnya, kontrol dinamik yang didisain – sebagai
pelengkap dari kontrol kinematiknya – tetap perlu diatur lagi (readjustment)
sesuai dengan kondisi operasi yang sebenarnya.

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 12
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

5.3 ANALISA KINEMATIK SISTEM HOLONOMIC

Model kinematik robot dapat dibedakan dalam dua kelompok model


pergerakan, yaitu:

 Holonomic, dan
 Nonholonomic

Gerak holonomic dapat diumpamakan seperti kita menulis dengan


menggunakan pensil atau pulpen (ballpoint) di atas kertas. Kita dapat
menggerakkan ujung pensil atau pulpen ini ke segala arah di permukaan kertas
sesuai dengan keinginan, bentuk atau huruf yang kita tulis. Gerak ujung
pensil/pulpen ini disebut sebagai gerak holonomic. Dalam robotik dapat
diambil contoh misalnya robot manipulator dua sendi yang dipasang secara
planar sejajar dengan permukaan bumi. Ujung robot tangan ini (tip position)
dapat menjangkau daerah kerja Certesian dari satu titik koordinat ke titik
koordinat yang lain secara langsung. Trajektori yang dibentuk untuk berpindah
dari satu titik ke titik lain dalam posisi manapun di daerah Cartesian ini dapat
ditempuh dalam gerakan seperti garis lurus. Gambar 5.7 mengilustrasikan
gerakan holonomic dari ujung sebuah pensil. Kita dapat menggerakkan atau
menuliskan ujung pensil ini di atas kertas ke segala arah dengan ujung pensil
yang tetap menempel di permukaan kertas. Gerakan berbentuk garis, kurva
melengkung, bahkan sudut tajam dapat dibuat secara langsung oleh ujung
pensil ini.

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 13
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Gambar 5.7 Gerakan holonomic

Tidak demikian halnya dengan gerak nonholonomic. Ujung atau suatu


titik yang memiliki sifat nonholonomic mempunyai keterbatasan dalam arah
gerakan. Fungsi geometri tertentu yang berhubungan dengan “arah hadap”
harus dipenuhi untuk mendapatkan gerak yang seusai. Gerak nonholonomic
dapat diilustrasikan seperti kita menggoreskan ujung pisau atau cutter ke atas
permukaan kayu. Tidak seperti pada gerakan holonomic, arah gerak
nonholonomic ini dibatasi oleh efek sentuhan ujung pipih yang menempel di
atas permukaan kayu. Kita tidak dapat menggerakkan dengan bebas ke kiri atau
ke kanan tanpa mengikuti arah sisi yang tajam dalam “memotong/menggores”
permukaan kayu. Jika diinginkan gerak melengkung atupun sudut tajam
terlebih dahulu kita harus mengarahkan sisi pisau yang tajam ini ke arah yang
segaris dengan arah gerak yang kita inginkan. Penjelasan ini diilustrasikan
dalam Gambar 5.8.

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 14
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Gambar 5.8 Gerakan nonholonomic

Contoh klasik kinematik dalam robotika yang memiliki sifat


nonholonomic ini adalah sistem penggerak dua roda kiri kanan pada mobile
robot dengan satu atau lebih roda bebas (castor) untuk menjaga keseimbangan.
Mobile robot ini tidak dapat bergeser ke kiri atau kanan tanpa melakukan
maneuver (maju atau mundur sambil berbelok) seperti kalau kita memarkir
mobil. Struktur 4 roda pada mobil yang dikenal sebagai model/struktur
Ackermann dengan setir/kemudi dua roda depan juga dikenal sebagai sistem
kinematik nonholonomic. Demikian pula struktur seperti pada kendaraan-
kendaraan berat untuk industri seperti excavator yang memiliki sistem sistem
setir roda belakang, four-wheels steering system, dan sebagainya. Robot
berjalan seperti biped robot, robot serangga seperti hexapod, dan robot berkaki
lainnya dapat tidak dimasukkan dalam kelompok nonholonomic jika memiliki
kemampuan bergerak ke samping secara langsung. Untuk lebih jelas, sebagai
ilustrasi Gambar 5.9 memperlihatkan perbedaan gerakan pada robot

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 15
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

manipulator yang bersifat holonomic dengan mobile robot yang memiliki sifat
nonholonomic.

Gambar 5.9 Holonomic vs Nonholonomic

5.3.1 Penggunaan Persamaan Trigeometri

Analisis persamaan kinematik dapat diselesaikan dengan cara yang


paling dasar yaitu menggunakan persamaan trigeometri. Setiap komponen
dalam koordinat (x, y, z) dinyatakan sebagai transformasi dari tiap-tiap
komponen ruang sendi (r, θ). Jari-jari r dalam persamaan sering ditulis sebagai
panjang lengan atau link l. Untuk koordinat 2D komponen z dapat tidak
dituliskan.

Untuk memudahkan pemahaman, penjelasan akan diberikan dalam


bentuk contoh-contoh pada beberapa robot manipulator berikut ini.

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 16
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

 Kinematik Robot Tangan Satu Sendi

Diketahui sebuah Robot Tangan Satu Sendi seperti pada Gambar 5.10 berikut
ini.

Gambar 5.10 Konfigurasi Robot Tangan Satu Sendi

Kedudukan ujung lengan P(x, y) dapat diperoleh dengan cara kinematik


maju sebagai berikut,

x = l . cos(θ) dan (5.10)

y = l . sin(θ) (5.11)

Jika (x, y) diketahui maka θ dapat dihitung dengan cara,

= = tan (5.12)

Persamaan (5.12) ini adalah kinematik invers dari Robot Tangan Satu Sendi.

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 17
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

 Kinematik Robot Tangan Planar Dua Sendi

Perhatikan Gambar 5.11 berikut ini.

Gambar 5.11 Konfigurasi Robot Tangan Planar 2 Sendi (2DOF)

Kedudukan ujung lengan dinyatakan sebagai P(x, y),

P(x, y) = f(θ1, θ2) (5.13)

Jika P diasumsikan sebagai vektor penjumlahan yang terdiri dari vektor


r1 lengan-1 dan r2 lengan-2,

= cos , (5.14)

= cos ( + ) , ( + ) (5.15)

Maka

(5.16)

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 18
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

(5.17)

Persamaan (5.16) dan (5.17) adalah persamaan kinematik maju dari robot
tangan planar 2 sendi.

Kinematik invers robot dapat dijabarkan sebagai berikut. Dengan


menggunakan hukum identitas trigeometri,

cos (a+b) = cos(a) cos(b) – sin(a) sin(b) dan (5.18)

sin (a+b) = sin(a) cos(b) + sin(b) cos(a) (5.19)

Persamaan (5.16) dan (5.17) dapat ditulis kembali,

(5.20)

(5.21)

Dari dua persamaan terakhir ini kita dapat mencari θ2 terlebih dahulu
dengan mengeluarkan cos θ2 dari kedua persamaan. Dengan operasi pangkat
dua pada kedua nya, dan dikombinasikan didapat,

(5.22)

sehingga

(5.23)

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 19
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Perhatikan kembali Gambar 5.11. Sudut θ1 dapat dicari melalui,

(5.24)

Sedangkan

(5.25)

Dengan menggunakan hukum identitas trgonometri,

(5.26)

diperoleh

(5.27)

Sehingga θ2 dapat dihitung,

(5.28)

Walhasil, Persamaan (5.23) dan (5.28) adalah persamaan kinematik


invers bagi robot tangan planar dua sendi.

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 20
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

 Kinematik Robot Tangan Planar Tiga Sendi

Sekarang kita akan membahas kinematik dari robot tangan planar tiga
sendi. Daerah kerja robot ini adalah 2D seperti pada Robot Tangan Dua Sendi
yang telah dijelaskan sebelumnya. Konfigurasinya ditunjukkan dalam Gambar
5.12 berikut ini.

Gambar 5.12 Sistem Robot Tangan Planar 3 Sendi (3DOF)

Dengan cara analisis kinematik maju yang sama seperti pada Persamaan
(5.14) hingga (5.19) koordinat P(xT, yT) dapat diperoleh,

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 21
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

(5.29)

(5.30)

dengan

(5.31)

Ψ adalah sudut arah hadap lengan-3 terhadap sumbu X.

Perhatikan bahwa koordinat P dapat dicapai dalam lebih dari satu


konfigurasi Ψ = (θ1, θ2,θ3). Sebagai misal, katakanlah ujung lengan pada posisi
P kita tahan dengan tangan pada satu kedudukan yang tetap, kemudian sendi-2
dan sendi-3 kita goyang, maka konfigurasi sudut di sendi 1, 2 dan 3akan dapat
bergerak dengan ujung koordinat P tetap pada kedudukannya. Dari sinilah
dikatakan, jika arah Ψ tidak diperhitungkan maka robot ini memiliki fungsi
kinematik yang redundant (berlebih) karena penyelesaian persamaan untuk
mendapatkan (θ1, θ2, θ3) dari suatu P adalah tidak tunggal (lebih dari satu
penyelesaian). Sifat redundant (redundancy) ini dapat mengurangi derajat
kebebasan robot. Robot 3DOF yang redundant berfungsi sama seperti 2DOF
jika hanya berorientasi pada koordinat P saja.

Koordinat P(xT, yT) juga dapat dihitung dengan memanfaatkan hasil dari
perhitungan pada kinematik maju robot tangan planar 2 sendi pada Persamaan
(5.20) dan (5.21) dengan rumus sebagai berikut.

(5.32)

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 22
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

(5.33)

Untuk kinematik invers, jika (xT, yT) dan (x, y) diketahui maka θ2 dan θ1
dapat dicari dengan menggunakan Persamaan (5.23) dan (5.28). Dari (xT, yT)
dan (x, y), ψ juga dapat dicari, sehingga θ3 dapat ditentukan.

5.3.2 Penggunaan Matrik Rotasi dan Translasi

Berikut ini kita akan membahas transformasi koordinat dalam ruang 3D.
Seperti telah dijelaskan, untuk analisa dalam daerah kerja 2D dapat
menggunakan persamaan trigonometri biasa. Namun tidak demikian halnya
dengan ruang 3D. Penggunaan persamaan parsial trigonometri kurang dapat
memberikan solusi yang tepat untuk menyatakan pergerakan dari titik ke titik
dalam ruang 3D.

Dalam kajian pergerakan 3D dikenal penggunaan aljabar vektor dan


aljabar matriks untuk mempermudah analisa.

 Matriks rotasi

Matriks rotasi adalah suatu matriks (3x3) yang didefinisikan sebagai


matriks transformasi yang beroperasi pada suatu vektor posisi di ruang
(Euclidean) tiga dimensi untuk memetakan sistem koordinat OUVW (body-
attached frame) vektor ke dalam sistem koordinat referensi OXYZ (Lihat
Gambar 4.13). Sistem koordinat OUVW memiliki sumbu-sumbu OU, OV, dan
OW, manakala sistem OXYZ mempunyai OX, OY, dan OZ. Sistem koordinat
OXYZ adalah sistem sebagai sistem koordinat referensi yang mengacu pada

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 23
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

kedudukan tetap di muka bumi, sedang OUVW adalah sistem koordinat local
pada tubuh robot.

Gambar 5.13 Sistem OUVW vs OXYZ

Misalnya bentuk kubus dalam Gambar 5.13 adalah tubuh robot dan p
adalah suatu titik pada bagian tubuh robot. Maka p dapat dinyatakan dalam
sistem koordinat OUVW maupun OXYZ,

(5.34)

atau

(5.35)

Sekarang bayangkanlah bahwa tubuh robot ini bergerak secara rotasi


dengan titik O sebagai pusat rotasi. Maka, yang berpindah bukan hanya titik p
namun sistem koordinat OUVW juga ikut berotasi. Bagaimanakah menyatakan

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 24
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

dan menghitung perpindahan koordinat p pada tubuh robot ini? Dalam hal ini
kita dapat menggunakan matriks transformasi (3x3) R sebagai operator
perpindahan berbasis rotasi. Secara umum perpindahan p dinyatakan sebagai,

pxyz = R puvw (5.36)

Jika komponen vektor pada titik pxyz dan puvw diuraikan, diperoleh

(5.37)

(5.38)

Dengan menggunakan prinsip produk scalar, px, py, dan pz dapat dinyatakan,

(5.39)

(5.40)

(5.41)

Dalam bentuk matrik dapat dinyatakan sebagai,

(5.42)

atau

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 25
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

(5.43)

R disebut sebagai matriks rotasi.

Sebaliknya, jika kedudukan pxyz diketahui maka puvw dapat dicari


dengan,

puvw = Q pxyz (5.44)

dengan Q,

(5.45)

Karena operasi dot product bersifat komutatif maka,

Q = R-1 = RT (5.46)

sehingga,

QR = RTR = R-1R = I3 (5.47)

I3 disebut sebagai matriks identitas (3x3),

(5.48)
R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,
Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 26
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Sebagai contoh, katakanlah terjadi gerak rotasi sebesar τ terjadi pada


sumbu OX,

(5.49)

maka,

(5.50)

Dengan cara yang sama, rotasi sebesar β pada sumbu OY dengan iy ≡ iv,
dan rotasi sebesar γ pada sumbu OZ dengan iz ≡ iw, dapat dihitung sehingga
didapat,

(5.51)

dan

(5.52)

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 27
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Matriks Rx,α, Ry,β dan Rz,γ ini dikenal sebagai matriks rotasi dasar yang
sangat berguna dalam aplikasi pemrograman gerak robot manipulator.

 Matriks Peralihan (Translasi)

Transformasi koordinat dalam ruang 3D pada dasarnya terdiri dari dua


bagian yang dapat beroperasi secara bersamaan. Perhatikan Gambar 5.14.
Misalnya bentuk kubus sebagai tubuh robot berpindah tempat sekaligus
berotasi kea rah tertentu. Dengan kata lain, titik p pada bagian tubuh robot
berpindah menuju ke titik p’.

Gambar 5.14 Sistem OUVW vs OXYZ

Dalam Gambar 5.14, titik p’ dapat dinyatakn dalam pxyz maupun puvw .
Karena p melakukan gerakan rotasi sekaligus translasi sepanjang s maka dapat
ditulis,

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 28
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

(5.53)

atau

(5.54)

dengan R adalah matriks rotasi (3x3), dan s adalah matriks translasi


(3x1). Persamaan (5.54) dapat ditulis,

(5.55)

 Matriks Transformasi Homogen

Kombinasi matriks rotasi dan matriks translasi, T pada Persamaan (5.55)


dikenal sebagai matriks trnasformasi homogeny (homogenus transformation
matrix). Secara umum matriks transformasi homogeny dinyatakan sebagai,

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 29
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

(5.56)

Dengan cara ini matriks rotasi R pada persamaan (5.50), (5.51) dan
(5.52) dapat ditulis ulang dalam bentuk matriks T sebagai berikut,

(5.57)

(5.58)

Persamaan (5.57) hingga (5.58) disebut sebagai matriks rotasi


homogeny dasar (basic homogeneous rotation matrices).

Untuk matriks translasi dapat ditulis sebagai berikut.

(5.59)

Elemen diagonal dalam matrik Ttran mengandung dua prinsip dasar


penskalaan koordinat, yaitu diagonal dari matrik (3x3) kiri atas sebagai
R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,
Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 30
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

penskala local (local scaling), dan satu elemen terakhir di kanan bawah sebagai
penskala global (global scaling). Operasi penskalaan local dapat dinyatakan
sebagai,

(5.60)

Sedangkan operasi penskalaan globalnya adalah,

(5.61)

dengan s > 0.

5.3.3 Metoda Denavit-Hartenberg (D-H)

Suatu cara khas representasi analisa hubungan gerak rotasi dan translasi
antara lengan-lengan yang terhubung dalam suatu manipulator telah
diperkenalkan oleh Denavit & Hartenberg (1955). Meskipun telah lima
dasawarsa yang lalu, metoda ini masih banyak digunakan utamanya untuk
pemrograman robot-robot manipulator di industri. Mereka memperkenalkan
suatu metoda yang berguna untuk menetapkan suatu sistem koordinat

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 31
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

berorientasi body (body attached frame, OUVW) untuk setiap lengan/link yang
terhubung dalam suatu struktur hubungan seperti rantai.

Prinsip dasar representasi D-H adalah melakukan transformasi koordinat


antar dua link yang berdekatan. Hasilnya adalah suatu matriks (4x4) yang
menyatakan sistem koordinat dari suatu link dengan link yang terhubung pada
pangkalnya (link sebelumnya). Dalam konfigurasi serial, koordinat (ujung)
link-1 dihitung berdasarkan sendi-0 atau sendi pada tubuh robot. Sistem
koordinat link-2 dihitung berdasarkan posisi sendi-1 yang berada diujung link-
1 dengan mengasusmsikan link-1 adalah basis gerakan link-2. Demikian
seterusnya, link-3 dihitung berdasarkan link-2, hingga, link-ke(n) dihitung
berdasarkan link-ke(n-1). Dengan cara ini maka tiap langkah perhitungan atau
transformasi hanya melibatkan sistem 1DOF saja. Terakhir, posisi koordinat
tangan atau posisi ujung robot (end-effector) akan dapat diketahui.

Gambar 5.15 mengilustasikan dua buah lengan yang terhubung secara


serial. Konfigurasi hubungan dapat berupa sendi rotasi ataupun translasi.
Dalam hal ini, presentasi D-H menggunakan 4 buah parameter, yaitu θ, α, d
dan a. Untuk robot dengan n-DOF maka keempat parameter itu ditentukan
hingga yang ke-n. Penjelasannya,

 Θn adalah sudut putaran pada sumbu zn-1,


 αn adalah sudut putaran pada sumbu xn,
 dn adalah translasi pada sumbu zn-1, dan
 an adalah translasi pada sumbu xn.

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 32
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Dari Gambar 5.15 dapat didefinisikan suatu matriks transformasi


homogeny yang mengandung unsure rotasi dan translasi, yaitu

A = R(z, θ) Ttran (0,0,d) Ttran (a,0,0) R(x,α) (5.62)

Gambar 5.15 Sambungan antar link dan parameternya

Untuk link dengan konfigurasi sendi putaran, matriks A pada sendi ke-n
adalah,

(5.63)

Untuk konfigurasi sendi gerak translasi nilai a adalah 0 sehingga komponen


cos α =1 dan sin α = 0.

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 33
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

5.3.4 Matriks Rotasi menggunakan Representasi Euler

Notasi sudut yang digunakan dalam metoda Euler biasanya adalah Ф, θ


dan ψ. Ketiga notasi ini disebut sebagai sudut Euler. Diketahui terdapat
berbagai metode untuk menganalisa gerakan rotasi atau sudut dengan
menggunakan representasi Euler.

Dalam buku ini akan dibahas 3 metoda yang paling umum dan sering
dipakai untuk menganalisa persamaan kinematik, yaitu sudut Euler sistem I, II,
III (roll, pitch, and yaw). Tabel 5.1 menunjukan 3 macam representasi sudut
Euler ini.

Tabel 5.1 Tiga macam representasi sudut Euler

Urutan Rotasi Sudut Eulerian Sudut Eulerian Roll, Picth,


System I System II Yaw
Sistem III
1 Φ pada sumbu Φ pada sumbu Ψ pada sumbu
OZ OZ OX
,Φ ,Φ ,Ψ
2 θ pada sumbu θ pada sumbu θ pada sumbu
OU OV OY
,θ ,θ ,θ
3 Ψ pada sumbu Ψ pada sumbu Φ pada sumbu
OW OW OZ
,Ψ ,Ψ ,Φ

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 34
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Dari Tabel 5.1, resultan matriks transformasi rotasi untuk masing-


masing sistem dapat dituliskan sebagai berikut.

Sistem I

(5.64)

Sistem II

(5.65)

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 35
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Sistem III

(5.66)

5.3.5 Teknik Kinematik Invers pada Sistem Sudut Euler

Beberapa kasus kinematik invers pada robot tangan planar telah


diterangkan di muka. Di sini kita akan membahas lebih dalam tentang
penyelesaian kinematik invers sistem robot holonomic umum, yaitu
manipulator, yang memiki konfigurasi serial. Tiap sendi dapat memiliki salah
satu dari sifat translasi dan rotasi. Sifat rotasi juga dapat terdiri dari rotasi
spherical ataupun prismatik.

Sekarang kita akan membahas konsep dasar teknik transformasi invers


pada sistem sudut Euler. Katakanlah kita mempunyai matriks rotasi (3x3)
sebagai representasi resultan dari sudut Eulerian sistem I sebagai berikut,

(5.67)

maka dapat ditulis kembali,


R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,
Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 36
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

(5.68)

Jika masing-masing elemen matrik sebelah kiri diuraikan maka diperoleh


9 persamaan, yaitu

(5.69)

(5.70)

(5.71)

(5.7.2)

(5.73)

(5.74)

(5.75)

(5.76)

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 37
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Dengan menggunakan Persamaan (5.76), (5.73), dan (5.75) secara


berurutan dapat dihitung,

(5.77)

(5.78)

(5.79)

Akan tetapi solusi dari Persamaan (5.77), (5.78), dan (5.79) tidak
konsisten, dan dapat menyebabkan kesalahan kontrol, sebab:

1. Fungsi arc-cos atau cos-1 tidak memiliki akurasi yang baik dalam
memperoleh kembali sudut dari nilai cos, karena cos(θ) = cos(-θ).
2. Ketika sin(θ) mendekati nol, yakni, θ ≈ 0o atau θ ≈ ± 180o, Persamaan
(5.78) dan (5.79) akan memberikan hasil yang tidak akurat atau yang
tak dapat didefinisikan. Dalam pemrograman komputer hal ini dapat
menyebabkan hasil perhitungan menjadi NaN (tidak dapat
didefinisikan).

Oleh karena itu diperlukan suatu cara untuk mendeskripsikan lebih jelas
tentang sudut asal yang tepat setelah diinvers. Dalam hal ini Paul et al. (1981)
memperkenalkan sebuah metoda untuk mengklarifikasikan sudut yang
sebenarnya dengan memasukkan informasi tambahan tentang kwadran yang

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 38
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

dibentuk oleh dua parameter pembentuk sudut θ, yaitu x dan y. Notasi yang
digunakan adalah atan2(y, x) atau arctan2(y, x).

(5.80)

Prinsip operasinya dapat diterangkan sebagai berikut. Perhatikan kembali


Persamaan (5.67) dan (5.68). Dalam kajian kinematik invers, elemen-elemen
matriks (3x3) di sebelah kiri adalah informasi yang telah diketahui, sedang
elemen-elemen matriks yang sebelah kanan tidak diketahui. Nilai elemen-
elemen sebelah kanan tergantung dari ф, θ, dan ψ yang ketiganya belum
diketahui dan akan dicari.

Pertama, salah satu dari komponen matrik sebelah kanan Rz ,ф, Ru,θ atau
Rw,ψ dipindah ke kiri dengan sebelumnya diinvers terlebih dahulu. Misalnya
Rz ,ф dipindah ke kiri,

(5.81)

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 39
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

(5.82)

Jika dianjurkan, menjadi

(5.83)

Jika elemen (1, 3) di matriks kiri dan kanan dikeluarkan, didapat

(5.84)

Dari sini kita dapat mencari ф,

(5.85)

Berikutnya, dari elemen (1, 1) dan (1, 2) di kedua matriks didapat

(5.86)

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 40
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

(5.87)

sehingga ψ dapat dicari,

(5.88)

(5.89)

Seterusnya, dari elemen (2, 3) dan (3, 3) di kedua matriks dapat dihitung,

(5.90)

Dari sini θ dapat dicari,

(5.91)

(5.92)

5.4 ANALISA KINEMATIK SISTEM NONHOLONOMIC

Seperti yang telah disinggung di muka bahwa salah satu contoh robot
aplikasi yang memiliki struktur kinematik nonholonomic adalah mobile robot.
Mobile robot didefinisikan bergerak dalam kawasan 2D. Kontur medan yang
R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,
Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 41
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

tidak rata seperti jalan yang naik turun lazimnya tidak dimasukkan sebagai
unsure sumbu Z karena navigasi (gerak robot) tetap bias dimasukkan bergerak
dalam kawasan sumbu XY saja.

Analisa kinematik berbasis titik koordinat secara umum pada dasarnya


dapat dilakukan dengan menggunakan matrik transformasi T yang
mengandung elemen-elemen rotasi dan translasi. Seperti telah diterangkan di
muka, matriks T ini dikenal sebagai matriks transformasi homogen. Untuk
kawasan 2D pada sumbu XY matriks transformasi homogeny ini dapat
dituliskan,

(5.93)

Dalam bentuk grafik, transformasi koordinat ini dapat diilustrasikan


seperti Gambar 5.16 berikut.

Gambar 5.16 Transformasi koordinat dalam 2D

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 42
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Dari Persamaan (5.53) dan memperhatikan Gambar (5.16), jika koordinat


asal titik pxyz dinyatakan sebagai q1(x1, y1) sebab bekerja di kawasan 2D, dan
titik tujuan puvw dinyatakan sebagai q2(x2, y2), maka Persamaan (5.35) dapat
ditulis kembali sebagai,

(5.94)

Dengan persamaan memasukkan Persamaan (5.93) didapat,

(5.95)

Jika diuraikan, diperoleh

(5.96)

Persamaan (5.95) berlaku untuk setiap transformasi titik ke titik dengan


translasi sepanjang (x1, y1) hingga (x2, y2) dan rotasi sebesar θ2-θ1 dalam
kawasan koordinat seperti dalam Gambar 5.16.

Untuk pergerakan dari q1 ke q2, titik q berada di (0, 0) pada sumbu UV.
Karena titik yang bergerak berada pada pusat sumbu, (0, 0) maka perubahan
atau rotasi sudut θ dapat dianggap nol, sehingga dapat dibuktikan,
R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,
Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 43
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

(5.97)

5.4.1 Problem Transformasi Homogen dalam Sistem Nonholonomic

Perhatikan kembali Persamaan (5.93). Transformasi berupa rotasi θ yang


terjadi pada kelipatan n , n adalah bilangan integer, akan menyebabkan hasil
transformasi adalah sama sebab elemen rij mengandung komponen sin θ dan
cos θ.

(5.98)

Padahal pada mobile robot, informasi berapa kali telah mengelilingi


medan ketika melakukan maniver adalah sangant penting diketahui.

“Hilangnya” informasi jumlah putaran “tubuh” robot ini dapat


diterangkan sebagai berikut. Misalnya robot melakukan gerak translasi dan
rotasi yang membentuk trajektori kurva dengan radius tertentu. Rotasi tubuh
yang dilakukan adalah sebesar radian. Katakan matriks trnasformasinya adalah
N,

(5.99)
R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,
Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 44
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Jika setelah itu robot melakukan maneuver lagi sebesar radian, maka

(5.100)

Nampak bahwa hasilnya adalah matriks identitas tanpa disertai


transformasi mengenai satu putaran penuh yang telah dijelajahinya.

Di sinilah kemudian dikatakan bahwa transformasi homogeny tidak


selalu dapat digunakan dengan baik dalam menyelesaikan masalah kontrol
kinematik mobile robot. Perlu suatu metoda tambahan untuk menghitung
jumlah rotasi “tubuh” yang telah dilakukan agar posisi riil robot di atas
“permukaan bumi” dapat diketahui dengan pasti. Dalam sistem holonomic
seperti manipulator, memang tidak mungkin ujung tangan melakukan gerakan
berputar hingga melebihi 2 radian atau 360o karena strukturnya yang tidak
mengijinkan.

5.4.2 Transformasi Heterogen

Kanayama & Kahn (1998) mengajukan suatu konsep untuk mengatasi


masalah yang dihadapi transformasi homogen dalam kajian kinematik untuk
sistem robot nonholonomic ini. Matriks transformasi homogeny yang
berdimensi (3x3) dinyatakannya dalam suatu struktur baru (3x1) yang mereka
sebut sebagai matriks transformasi heterogen (heterogeneous transformation
matrices).

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 45
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Simbolnya kita sebut saja TK,

(5.101)

Untuk suatu grup transformasi (TK ,о) pada setiap titik koordinat dengan
orientasi sudut θ dalam domain ruang/daerah kerja robot, R. Simbol о adalah
operator biner fungsi komposisi (composition function) yang didefinisikan
sebagai berikut.

Perhatikan Gambar 5.17 berikut ini.

Gambar 5.17 Transformasi koordinat dalam 2D untuk kajian heterogen

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 46
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Misalnya

(5.102)

Hasil q1 o q2 ini disebut sebagai komposisi koordinat transformasi dari q1


ke q2. Sebaliknya, jika transformasi terjadi dari q2 ke q1 maka,

(5.103)

Dari persamaan (5.102) dan (5.103) nampak bahwa operasi fungsi


komposisi ini tidak bersifat komutatif,

(5.104)

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 47
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Dengan menggunakan matriks trnasformasi heterogen ini komponen


translasi dari suatu q= (x, y, θ)T dapat dipisahkan dari komponen rotasinya,

(5.105)

Dengan demikian setiap transformasi (x, y, θ)T dapat didekomposisi ke


dalam sebuah transformasi translasi (x, y, 0)T dan rotasi (0,0 , θ)T .

Dalam transformasi heterogen berlaku hukum asosiatif

(5.106)

(5.107)

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 48
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Dengan demikian maka untuk transformasi secara serial dari suatu


trajektori kompleks, misalnya robot melakukan penjelajahan dalam suatu
medan yang berliku-liku ataupun gerak keliling secara berulang, jumlah total
sudut θ dapat dihitung, karena utuk

(5.108)

Dalam konteks perencanaan alur-jelajah (path planning), Persamaan


(5.108) dapat digunakan untuk menyelesaikan penjelajahan secara parsial titik
ke titik dengan masing-masing suatu transformasi. Pada mobile robot,
penyelesaian secara parsial ini seringkali diperlukan secara realtime, seperti
untuk penghindaran halangan yang dinamis.

5.4.3 Kinematik Mobile Robot

Mobile robot yang dimaksud di sini ialah mobile robot berpenggerak dua
roda kiri-kanan yang dikemudikan terpisah (differentially driven mobile robot,
disingkat DDMR), seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 5.18 berikut ini.

Gambar 5.18 DDMR pada medan 2D Cartesian

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 49
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Robot diasumsikan berada dalam kawasan 2D pada koordinat Cartesian


XY. Parameter-parameter dalam gambar adalah:

φ sudut arah robot

2b lebar robot yang diukur dari garis tengah roda ke roda

r jari-jari roda (roda kiri dan kanan adalah sama dan sebangun)

d jarak antara titik tengah antara 2 roda, G dengan titik acuan F

(x, y) koordinat acuan di tubuh robot terhadap sumbu XY

Dalam kajian kinematik ini robot diasumsikan bergerak relatif pelan dan
roda tdak slip terhadap permukaan jalan. Maka komponen x dan y dapat
diekspresikan dalam suatu persamaan nonholonomic sebagai berikut,

(5.109)

Untuk titik F sebagai acuan analisa, persamaan di atas dapat ditulis,

(5.110)

Masalah klasik dalam kontrol kinematik DDMR ini adalah bahwa ia


memiliki dua aktuator, namun parameter kontrolnya lebih dari dua, yaitu x
untuk gerakan kea rah X (1DOF) yang diukur relatif terhadap perpindahan
titik G, dan gerakan sudut hadap φ yang diukur dari garis hubung titik G dan F
terhadap sumbu X (1DOF). Inilah ciri khas dari sistem nonholonomic.

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 50
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Dari persamaan (5.110) nampak bahwa derajat kebebasan dalam kontrol


kinematiknya berjumlah tiga, yaitu (x, y, φ) karena ketiga parameter ini perlu
dikontrol secara simultan untuk mendapatkan gerakan nonholonomic. Untuk
lebih jelasnya perhatikan Gambar 5.19 berikut ini.

Gambar 5.19A Contoh maneuver DDMR

Perpindahan kedudukan robot dari START ke STOP bila dipandang pada


titik G adalah perpindahan dari koordinat (xG1, yG1) ke (xG2, yG2) secara
translasi. Namun hal ini tidak dapat dilakukan sebab robot harus dikontrol agar
bergerak maju, sehingga ia harus membuat manuver belok membentuk
lingkaran terlebih hingga pada posisi yang memungkinkan untuk
mengarahkannya ke koordinat (xG2, yG2). Oleh karena itu diperlukan titik
acuan F yang berada di luar garis yang menghubungkan kedua roda agar
sudut hadap dapat dihitung..

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 51
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Bentuk umum persamaan kinematik untuk DDMR ini dapat dinyatakan


dalam persamaan kecepatan sebagai berikut.

(5.111)

TNH adalah matriks transformasi nonholonomic, θL dan θR adalah


kecepatan radial roda kiri dan kanan, dan q adalah sistem koordinat umum
robot,

(5.112)

Jika TNH diuraikan dari Persamaan (5.110) dengan memperhatikan


Gambar 5.18 maka dapat ditentukan,

(5.113)

Kinematik inversnya dapat ditulis,

(5.114)

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 52
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

5.5 ANALISA DINAMIK

Pembicaraan tentang konsep dasar dinamik robot telah diawali di depan.


Secara garis besar dinamik robot berkaitan dengan torsi aktuator di satu sisi
dan hasil gerak perubahan sudut, kecepatan sudut dan percepatan sudut, (θ, θ’,
θ’’) di sisi lain. Dalam konteks dinamika, output perubahan ini dapat
dinyatakan sebagai percepatan angular, θ’’saja. Dari konsep ini kemudian
dapat dikembangkan pengertian tentang kontrol dinamik.

Skema kontrol dinamik loop tertutup dapat diilustrasikan seperti dalam


Gambar 5.19B berikut ini.

Gambar 5.19B Skema dasar kontrol dinamik

Dalam skema di atas, input yang diperlukan adalah referensi torsi _ref.
Outputnya diukur dalam bentuk percepatan θ’’, sehingga model dinamik yang
dinamik ynag didefinisikan adalah dinamik invers karena mengubah torsi

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 53
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

menjadi percepatan. Sedangkan untuk umpan balik diperlukan transformasi


dinamik maju karena error e dihitung dalam torsi.

5.5.1 Komponen Dinamik

Torsi yang diberikan oleh aktuator pada dasarnya harus seimbang dengan
torsi (lawan) yang dihasilkan olek komponen-komponen dinamik struktur robot
dalam pergerakan, yaitu torsi yang dihasilkan dari pergerakan (torsi vs
percepatan angular), torsi yang diukur karena benda /struktur memiliki tenaga
kinetik dan tenaga potensial, efek gaya sentrifugal, efek gaya Coriolis dan
inersia yang disebabkan factor pembebanan dan grafitasi bumi.

Selain itu torsi pada aktuator seharusnya juga mampu mengatasi torsi
lawan yang dihasilkan oleh gangguan Q selama operasi, misalnya gangguan
friksi pada sendi, efek backlash pada gearbox (jika digunakan), efek gaya
interaksi kopel (coupling interaction) antar struktur lengan sendi atau antar
lengan dengan tubuh, efek beban yang dinamik (seperti pada robot pengelas),
dan sebagainya.

 Torsi pada Percepatan Angular

Sesuai dengan hukum Newton kedua, torsi yang dihasilkan pada gerakan rotasi
dapat ditulis,

(5.115)

dengan τ : torsi (N.m)


lmp : inersia momen polar (kg.m2)
R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,
Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 54
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

rm : jari-jari yang diukur dari pusat massa ke sumbu putar


θ’’ : percepatan angular
m : massa (kg)

 Tenaga Kinetik

Tenaga kinetik untuk gerakan translasi ET dapat ditulis,

(5.116)

dengan m : massa (kg)

w : berat (w=m.g, g adalah grafitasi bumi, m/dt2 )

v : kecepatan yang diukur pada c.o.g (center of gravity)


massa

Tenaga kinetik untuk gerakan rotasi ER dapat ditulis,

(5.117)

dengan θ’ : kecepatan sudt angular

lmp : inersia momen polar (kg.m2)


Maka tenaga kinetik total EK untuk translasi sekaligus rotasi adalah,

(5.118)

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 55
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Tenaga kinetik ini biasa dinyatakan dalam Joules, J (sistem SI). Satu J setara
dengan 1 N.m.

 Tenaga Potensial

Tenaga potensial dari suatu massa m pada jarak s adalah,

(5.119)

 Gaya Sentrifugal

Gaya sentrifugal untuk suatu lengan padat dengan massa m dapat ditulis,

(5.120)

dengan dp : jarak yang diukur dari sumbu rotasi ke pusat massa

n : putaran per menit (rpm)

 Gaya Coriolis

Gaya yang diberi nama sesuai dengan penemunya ini (Gaspard Gustave
de Coriolis, 1792-1843) adalah suatu gaya yang dihasilkan sebagai efek dari
bumi perputar pada porosnya. Gaya ini tidak perlu diperhitungkan jika robot
dioperasikan di tempat yang bebas gravitasi atau di luar angkasa. Namun jika
dioperasikan di planet, misalnya Bumi atau Mars, gaya efek rotasi “planet”
akan berpengaruh terhadap dinamik robot.

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 56
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

5.5.2 Prespektif Dinamik dalam Aplikasi

Bagaimana menempatkan skema kontrol dinamik ini dalam skema besar


kontrol robotika? Ini adalah pertanyaan mendasar yang sering muncul ketika
kita berhadapan secara langsung dengan robot secara fisik, rangkaian kontroler
elektronik, dan pemrograman via computer. Sementara itu model dinamik yang
digambarkan dalam kajian teori (di atas kertas) sudah digantikan dengan fisik
robot yang sebenarnya.

Seperti telah dijelaskan di muka, bahwa kontrol dinamik tidak bisa


bekerja sendirian dalam kontrol robotika tanpa bantuan kontrol kinematik.
Sedangkan kontrol kinematik dapat diterapkan langsung tanpa memasukkan
unsur kontrol dinamik. Hal ini karena pada dasarnya pengertian umum tentang
kontrol robotika adalah bagaimana cara mengontrol gerakan robot. Jadi apapun
yang kita disain tentang skema kontrol, dan memberinya nama, akhirnya yang
harus dilakukan dalam implementasi riil adalah bagaimana membuat robot
dapat bergerak sesuai dengan yang kita inginkan melalui pemrograman. Ketika
kita berbicara masalah kontrol gerak (motion control) maka yang lebih umum
adalah bagaimana membuat control kinematik yang tepat yang mampu
menyelesaikan permasalahan-permasalahan trajektori yang kita inginkan,
daripada mendahulukan kontrol dinamiknya. Sebab pemodelan dinamik
seringkali adalah perkara yang amat rumit. Jika pemodelan tidak tepat maka
kedua fungsi transformasi (maju/invers) menjadi tidak akurat dan bahkan tidak
berguna dalam memperbaiki kualitas control keseluruhan.

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 57
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Jika skema Gambar 5.19 digabung dengan skema Gambar 5.5 di muka,
akan diperoleh skema yang lebih komplit seperti berikut

Gambar 5.20 Penerapan control dinamik loop tertutup

Dalam gambar 5.20 dengan mengeluarkan komponen konstranta motor Ktn


(dalam pemrograman cukup dengan mengalihkan output control dengan Ktn
actuator yang berkaitan dari system dinamik maka menjadi jelas bahwa input
system dinamik adalah (didefinisikan sebagai) torsi αref . Output nya
dinyatakan sebagai perceptan θ’’ , n adalah jumlah DOF dari robot.

5.5.3 Metode Newton-Euler

Metode Newton-Euler (NE) ini berdasar kepada hukum Newton kedua


untuk komponen translasi, dan digabung dengan system sudut Euler untuk
komponen rotasi, yaitu :

Untuk sistem Translasi:

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 58
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

(5.121)

Untuk sistem Rorasi:

(5.122)

τ = N.m (kg.m2 /dt2 ), lmp adalah inersia momen putar lengan terhadap
sumbu putaran (kg. m2 /rad), θ’’ adalah percepatan sudut (rad/dt2 ).

Metode NE digunakan secara parsial dengan mencari persamaan dinamik


pada tiap sendi. Untuk robot dengan konfigurasi serial, metode ini harus
digunakan secara berurutan dengan menganalisa satu persatu hubungan antar
sendi yang berdekatan. Dalam hal ini dikenal suatu metode yang disebut
sebagai Recursive Newton-Euler (RNE). Prinsip dasarnya adalah dengan
melakukan iterasi satu persatu pada sendi-sendi secara berurutan. Iterasi yang
dilakuka dari sendi ke-1 (sendi pada tubuh) ke sensi ke-n (ujung tangan)
dinamakan sebagai iterasi maju (forward iterations RNE). Sedangkan yang
diawali dari sendi ke-n dan diakhiri di sendi ke-1 disebut sebagai iterasi
mundur (backward iterations RNE). Secara rinci metode ini dapat dibaca di
Murray & Nueman (1986).

Pada sistem robot yang memiliki kemampuan rotasi, Persamaan (5.122)


dapat dipakai untuk memperoleh model dinamikanya. Sebagai contoh, kita
diskusikan struktur Robot Tangan Satu Sendi sebagai berikut.

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 59
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Gambar 5.21 Konfigurasi Robot Tangan Satu Sendi

Struktur lengan ini dianggap kaku dengan panjang l dan massa m.


Dengan menggunakan persamaan (5.122) torsi yang terjadi dapat dinyatakan
sebagai

(5.123)

Sesuai dengan sifat fisik batang kayu, inersia momen putar pada salah satu
ujung lain sebagai sumbu putar, lmp adalah

(5.124)

maka (5.125)

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 60
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Persamaan (5.125) ini adalah persamaan dinamik maju, Dengan


demikian persamaan dinamik inversnya dapat ditulis,

(5.126)

5.5.4 Metoda Lagrange-Euler

Persamaan Lagrange_Euler (LE) untuk gerakan translasi adalah,

(5.127)
L adalah fungsi Lagrangian,

(5.128)
Dengan EK tenaga kinetic
EP Tenaga Potensial
qi koordinat umum robot lengan ke-i
qi turunan pertama koordinat umum robot lengan ke-i
τi torsi yang diaplikasikan pada robot sendi ke-i untuk
menggerakan lengan ke-i
Untuk gerak rotasi dapat ditulis,

(5.129)

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 61
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

dengan θi sudut sendi robot ke-i
θi sudut sendi robot ke-i
Sebagai contoh, persamaan dinamik robot seperti dalam Gambar 5.21
akan kita peroleh melalui metode LE. Koordinat P(x,y) memiliki sifat translasi
(keliling) dan rotasi (pada sumbu putar), maka tenaga kinetiknya,

(5.130)
Tenaga potensial EP dalam robot ini adalah nol karena P(x,y) tidak melakukan
gerakan berputar menuju kea rah atau menjauhi sumbu, maka

Dengan menggunakan Persamaan (5.129) dapat dihitung,

(5.131)

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 62
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Persamaan (5.131) ini sama dengan Persamaan (5.125) hasil dari analisa
dinamik menggunkaan metoda NE secara sederhana.
Contoh berikut adalah penerapan metode LW untuk menyelesaikan
persamaan dinamik Robot Tangan Dua Sendi seperti Gambar 5.22 berikut ini.
Struktur robot diasumsikan vertical terhadap bumi (sumbu Y vertical)
sehingga efek gravitasi peril diperhatikan.

Gambar 5.22 Konfigurasi Robot Tangan Planar 2 Sendi


Notasi yang digunakan dalam Gambar 5.22 :
m massa lengan
l panjang lengan
lc panjang yang diukur dari sumbu kepusat massa lengan
vc kecepatan linier titik pusat massa C
θ sudut lengan
Im inersia momen massa lengan

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 63
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Penyelesaian:
Jumlah tenaga kinetik

Dengan

Jumlah tenaga potensial

Berdasarkan persamaan

Maka akan dihasilkan

(5.132)

(5.133)
dengan

(5.134)

(5.135)

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 64
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

(5.136)

(5.137)

(5.138)

(5.139)
g adalah gravitasi bumi, 9.81m/dt2

5.5.5 Persamaan Umum Dinamik Robot Manipulator


Persamaan umum dinamik robot manipulator dapat dinyatakan sebagai,

(5.140)
dengan
τ(t) vector torsi actuator yang diterapkan pada sendi i,

(5.141)
H(q) verktor matriks transformasi dinamik (n×n), n adalah n-DOF
H(q) verktor matriks torsi (n×1) efek gaya Coriolis dan gerak sentrifugal pada
sendi i,

(5.142)

(5.143)
G(q) verktor matriks torsi (n×1) efek grafitasi

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 65
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

(5.144)
τQ vector torsi gangguan atau pembebanan
Dengan demikian hasil-hasil uraian komponen dinamik robot seperti
dalam Gambar 5.22 dapat diperoleh persamaan-persamaan H, h, dan G sebagai
berikut.
Dari Persamaan (5.132) hingga (5.139) dapat ditulis sebuah matriks
transformasi (nxn) dinamik H dengan n adalah 2 (2DOF),

(5.145)
Dengan elemen matrik adalah Persamaan (5.134), (5.135) dan (5.136).
Efek Coriolis dan sentrifugal terjadi di sendi-2 dengan verktor torsi h,

(5.146)
Efek gravitasi terjadi baik de sindi-1 maupun sendi-2,

(5.147)
Untuk sistem robot tangan planar dua sendi maka efek G dapat
diabaikan, sehingga Persamaan (5.140) menjadi,

atau

(5.148)
Dengan demikian persamaan dinamik majunya adalah,

(5.149)
R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,
Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 66
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

(5.150)

5.6 JACOBIAN

Carl Gustav Jacob Jacobian (1804-1851), seorang matematikawan


Jerman memperkenalkan sutu bentuk matrik yang dapat digunakan untuk
mnegkaji persamaan gerak dengan efisiensi. Karya yang fenmenal ini banyak
dipakai terutama dalam kajian gerak untuk sistem dinami multibodi (multibody
dynamic motion) seperti dalam robotic ini. Namun kemudian dipakai untuk
menyatakan bentuk matriks yang diciptakannya. Secara singkat, satu kata:
Jacobian digunakan untuk menyatakan matriks Jacobian ataupun
determinannya.

5.6.1 Euclidean
Untuk menerangkan konsep Jacobian terlebih dahulu diulas ulang
tentang konsep ruang Euclidean (Euclidean Space) yang dipakai sebagai acuan
dalam penerapan konsep Jacobian. Ruang Euclidean adalah termasuk konsep
matematik dasar yang paling kuno yang dipercayai dijabarkan pertama kali
oleh Euclid( 323-283SM), seorang pemikir asal Yunani. Ruang Euclidean
adalah ruang 2D dan 3D yang kita pakai sebagai acuan dalam menerangkan
konsep matematik dasar tentang pengertian suatu ruang. Dari sini kita dapat
menyatakan konsep-konsep tentang jarak, panjang dan sudut dari suatu
koordinat dalam suatu dimensi.

Ruang Koordinat Nyata (Real) dan Operasi Vektor

Ruang koordinat nyata sering dinyatakan sebagai n , n adalah integer


n dinyatakan sebagai x = (x , x ,…x ), x adalah
positif. Suatu elemen  1 2 n

bilangan nyata. Operasi vector antar suatu x dan y dalam n dapat


dinyatakan sebagai,

(5.151)

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 67
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

(5.152)

(5.153)
Panjang suatu vector x dapat dinyatakan sebagai,

(5.154)
Sudut θ antara vector x dan y dapat dinyatakan sebagai,

(5.155)

Euclidean Metric atau Euclidean Distance


Euclidean distance atau jarak Euclidean dedefinisikan sebagai,

(5.156)
Sebagai contoh, misalnya kita punya suatu bentuk trajektor robot
referensi di ruang 2D yang dinyatakan sebagai tref(t) = f(rxi(t), ryi(t)), dan
trajektor actual tact(t)= f(axi(t), ayi(t)), maka jarak euclidean antara dua fungsi
ini adalah ,

(5.157)

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 68
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Ruang eucildean (Euclidean Space)


Ruang Euclidean adalah setiap ruang yang dapat dinyatakan sebagai
ruang koordinat nyata n . Ini digunakan untuk memberikan pengertian
bahwa seluruh vector koordinat dalam ruang ini memiliki komponen bilangan
nyata.

5.6.2. Matriks Jacobian

Matriks Jacobian adalah suatu matrik dengan turunan pertama dari suatu
fungsi vektor. Misalnya F: n -> m adalah sebuah fungsi dari suatu
Euclidean n-space ke Euclidean m-space. Jika fungsi dari suatu bilangan nyata
pada setiap elemen dari komponen m, y1(x1,…,xn),…,ym(x1,…xn), maka matriks
Jacobian fungsi F,JF adalah,

(5.158)
Jika q adalah suatu titik didalam Rn, dan fungsi F dapat diturunkan
(differentiable) terhadap q, maka turunannya dinyatakan sebagai J F(q). dalam
hal ini, untuk setiap titik yang berdekatan dengan q, katakanlah p, maka F(p)
dapat didekati dengan cara,

(5.159)
Dalam pemodelan robotika, matriks Jacobian dapat digunakan untuk
memperoleh persamaan gerak. Bentuk dasarnya adalah sebagai berikut,

(5.160)
dengan x matriks x pada koordinat Cartesian
θ matriks θ pada koordinat ruang sendiri/sudut
J matriks Jacobian
R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,
Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 69
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Sebagai contoh, lihat kembali robot tangan planar dua sendi seperti
pada gambar 5.22 dimuka.
Persamaan kinerja majunya adalah

dan

Dalam bentuk matriks dapat ditulis,

(5.161)
Maka matriks Jacobian dapat diperoleh,

(5.162)
dengan

(5.163)

(5.164)

(5.165)

(5.166)

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 70
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Secara langsung dapat ditulis

(5.167)

Matriks invers Jacobian


Matriks Jacobian juga dapat dimanfaatkan sebagai matriks tranformasi
antara kecepatan linier titik koordinat Cartesian dengan kecepatan sudut sendi.

(5.168)
Maka rumus inversnya,

(5.169)

5.6.3. Determinan Jacobian


Dalam persamaan (5.158), jika m = n maka fungs F menjadi fungsi n-
space ke n-space sehingga bentuk matriks kotak (square matriks). Determinan
matriks ini dapat disebut sebagai determinan Jacobian.
Determinan Jacobian pada suatu titik q dapat memberikan informasi
penting tentang sifat suatu fungsi di dekat titik q tersebut. Sebagai contoh,
suatu fungsi yang dapat diturunkan secara terus-menerus di dekat titik q adalah
bersifat invertible (dapat dicari fungsi inversnya) jika dan hanya jika
determinan Jacobian di titik q tidak nol. Sebaliknya, jika nol maka fungsi
bersifat non-invertible.
Nilai determinan Jacobian juga dapat menjelaskan orientasi dari fungsi F
terhadap suatu titik. Jika determinan Jacobian pada titik q positif maka
orientasinya (arah vektor) adalah sama. Jika negatif maka orientasinya (arah
vector) adalah sama. Jika negatif maka orientasinya adalah kebalikannya. Nilai

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 71
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

absolute determinan ini juga dapat memberikan informasi tentang apakah suatu
nilai fungsi bersifat membesar/mengembang atau mengecil/menciut terhadapt
suatu titik q.

5.6.4. Singularity

Singularity adalah suatu keadaan yang terjadi pada suatu fungsi jika
determinan Jacobian-nya adalah sama dengan nol. Misalnya, dalam kasus robot
tangan planar dua sendi,

(5.170)

Maka (5.171)

Jika ||J|| = 0 maka sinθ = 0 yaitu θ2 = 0 yaitu 180’.


Terjadinya singularity pada Robot Tangan Dua Sendi diilutrasikan dalam
Gambar 5.23B berikut ini

Gambar 5.23 Konfigurasi Terjadinya Singularity

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 72
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Singularity dalam kontrol robotik sedapat-dapatnya harus dihindari,


karena ketika robot mendekati konfigurasi singular ini sinyal control akan
“menghilang”. Karena kontroler tidak lagi mengemudikan actuator (sinyal
control adalah hasil perkalian dengan error), maka gerakan seolah-olah terhenti
sehingga error jadi membesar. Akibat berikutnya, sinyal control muncul
kembali dalam nilai yang amat besar karena error besar. Demikian seterusnya,
sehingga akan menyebabkan “osilasi” gerak yang makin lama makin besar dan
tidak terkontrol.

5.7 PERSAMAAN GERAK DINAMIK DDRM


Persamaan Gerak Dinamik (dynamic motion equation) mobile robot
secara umum dapat di ekspresikan dalam bentuk terminology torsi dinamik
sebagai berikut.,

(5. 172)
Dengan

q Є n koordinat umum robot

τ Є n vector torsi actuator (input)

B(q) Є n× (n-m) vector matriks transformasi input

λ Є m vector torsi gangguan

M(q) Є n × n vector transformasi (2×2) matriks inersia

V(q.q) Є n × n vector torsi efek Coriolis dan gaya


sentrifugal

G(q) Є n vector gaya gravitasi

A(q) Є n matriks transformasi yang berhubungan


dengan gangguan atau hambatan struktur
R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,
Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 73
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

kinematik nonholonomik, yang


memenuhi

(5.173)
Perhatikan gambar (5.18). sebelumnya telah diterangkan tentang
persamaan kinematik untuk mobile robot DDRm secara umum yaitu q(t) =
TNH(q)θ(t) dengan TNH adalah matriks transformasi yang dapat menyelesaikan
masalah nonholonimic pada system koordinat umum robot, q= [xF,yF,φ]T ,
dengan

(5.174)

Dengan memasukkan Persamaan (5.172) ke dalam Persamaan (5.170)


didapat persamaan gerak dinamik DDRM sebagai berikut,

(5.175)
atau

(5.176)

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 74
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

dengan
M(q) matriks transformasi (2×2) yang terkait dengan gerak dinamik percepatan
V(q,q) matriks transformasi (2×2) yang terkait dengan efek Coriolis dan gaya
sentrifugal,
B(q) matriks determinan untuk torsi motor kiri dan kanan,
τQ Gangguan luar
Matriks-matriks ini adalah,

(5.177)

(5.188)

(5.189)
dengan
m = mc+ 2mw ; c = massa robot
(kġ), mw= massa robot (kg). Ic adalah inersia momen tubuh robot
I = mcd2 + 2mwb2+ Ic + 2Im ; terhadap sumbu vertical melalui titik G,

Iw adalah inersia momen roda dan rotor


motor terhadap diameter roda pada
sumbunya.

(untuk parameter-parameter yang lain silahkan cek di Gambar 5.18.)


R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,
Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 75
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

LATIHAN
1. Jelaskan perbedaan antara analisa kinematika dan analisa dinamika
robot!
2. Jelaskan perbedaan antara kinematika maju dan kinematika inverse!
Apa fungsi dari keduanya?
3. Apa yang dimaksud dengan model-based control dan nonmodel-based
control? Jelaskan perbedaannya!
4. Apa yang dimaksud dengan model pergerakan holonomic dan
nonholonomic? Jelaskan perbedaannya dan berikan contohnya!
5. Metode Denavit-Hrtenberg (D-H) biasanya digunakan untuk
menganalisa hubungan gerak rotasi dan translasi antara lengan-lengan
yang terhubung dengan manipulator, Jelaskan cara kerja metode ini!
6. Jelaskan perbedaan antara transformasi homogeny dan transformasi
heterogen dalam sistem nonholonomic!
7. Gambarkan skema dasar kontrol dinamik dan jelaskan fungsi
komponennya!
8. Apa yang anda ketahui tentang matriks Jacobian? Jelaskan fungsi
matriks Jacobian dalam pemodelan gerak dinamik!

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 76
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

REFERENSI
http://teundiksha.files.wordpress.com/2010/04/sekilas20codevisionavr.pdf

Bahasa C UntukMikrokontroler ATMEGA8535, M.aryheryanto, ST & Ir.


WisnuAdi P.

SoebhaktiHendawan, (2007). STBasic AVR Microcontroller Tutorial,


http://www.polibatam.ac.id

http://id.wikipedia.org/wiki/debugging

Bayle, B., Fourqet, J. Y., Lamiraux. F. and Renaud, M. (2002).Kinematic


Control of Wheeled Mobile Manipulators , Proc. IEEE/RSJ Int’l Conf on
Intellegent Robots and System. 1572-1577.
Braunl, T. (2003). Embedded Robotics : Mobile Robot Design and Apllication
with Embedded System. Buku Teks , Berlin: Springer-Verlag Berlin
Heidelberg, Inc.
Craig . J. J (2005).Introduction to Robotic : Mechanical and control . Buku
Teks. Sydney: Pearson Education, Inc.
D’souza, A., Vijayakumar, S., and Schaal, S. (2001). Learning inverse
Kinematics. Proc. IEEE/RSJ Int’l Conf. Intelligent Robot and System. 298-303.
Fu, K. S., Gonzales, R. C., and Lee, C. S. G. (1987). Robotics: Vision, Sensing,
Vision, and Intelligence. Buku Teks. New York: McGrawHill, Inc.
Hewit, J.R. and Burdess (1981). Fast Dynamic Decoupled Control for Robotic
Using Active Force Control. Trans. Mechanism and Machine Theory. 16(5).
535-542.
Hibbeler, R. C. dan Fan, S. C. (1997). Enginering Mechanics: Statics. Buku
Teks. Singapore: Simon & Schuster (Asia) Pte. Ltd.

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 5 - 77
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

BAB VI
MOBILE ROBOT

6.1 Pengenalan Mobile Robot


Mobile Robot adalah konstruksi robot yang memiliki ciri khasnya yaitu
mempunyai aktuator berupa roda untuk menggerakkan keseluruhan badan
robot tersebut, sehingga robot tersebut dapat melakukan perpindahan posisi
dari satu titik ke titik yang lain. Robot mobile ini sangat disukai bagi orang
yang memulai mempelajari robot. Hal ini karena membuat robot mobile tidak
memerlukan kerja fisik yang berat. Untuk dapat membuat sebuah robot mobile
minimal diperlukan pengetahuan tentang mikrokontroler dan sensor-sensor
elektronik. Dasar robot mobile dapat dengan mudah dibuat dengan
menggunakan plywood /triplek, akrilik sampai menggunakan logam
(aluminium). Robot mobile dapat dibuat sebagai pengikut garis ( Line Follower
) atau pengikut dinding ( Wall Follower ) ataupun pengikut cahaya. Berikut
contoh gambar mobile robot.

Gambar 6.1 Robot Line Follower

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 6 - 1
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Gambar 6.2 Robot Pemadam Api

Secara umum bentuk blok diagram robot mobile seperti berikut:

Input Proses Output

Meliputi : Meliputi : Meliputi :


 Sensor  Mikrokontroler  Aktuator
 Power  Indikator

Gambar 6.3 Bentuk blok diagram robot mobile

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 6 - 2
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

6.1.1. Sensor

Sensor merupakan suatu komponen elektronika atau rangkaian


komponen elektronika yang bertindak sebagai peng-indra lingkungan disekitar
robot. Suatu sensor dapat berfungsi sesuai dengan lingkungan yang
diinderanya. Terdapat berbagai macam sensor yang biasa digunakan pada
robot. Namun itu semua tergantung tujuan pembuatan sebuah robot, tugas apa
yang harus di kerjakan robot. Jadi, tidak perlu menggunakan berbagai macam
sensor jika robot yang dibuat hanya sekedar mengerjakan tugas-tugas yang
sederhana. Berikut sensor yang sering digunakan pada mobile robot khususnya
untuk robot pemadam api dalam kontes robot cerdas Indonesia (KRCI).
- Sensor Ultrasonik (ping)
- Sensor Infra Red
- Sensor Api
- Sensor Kompas

1. Sensor Ultrasonik
Sensor ultrasonik adalah sensor yang bekerja berdasarkan prinsip
pantulan gelombang suara, dimana sensor ini menghasilkan gelombang suara
yang kemudian menangkapnya kembali dengan perbedaan waktu sebagai dasar
penginderaannya. Perbedaan waktu antara gelombang suara yang dipancarkan
dengan gelombang suara ditangkap kembali tersebut adalah berbanding lurus
dengan jarak atau tinggi objek yang memantulkannya. Jenis objek yang dapat
diindera diantaranya adalah: objek padat, cair, butiran maupun tekstil.

Gambar 6.3 Sensor ultrasonik

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 6 - 3
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Sensor ultrasonik mendeteksi jarak obyek dengan cara memancarkan


gelombang ultrasonik (40 kHz) selama tBURST (200 μs) kemudian mendeteksi
pantulannya. Sensor Ping memancarkan gelombang ultrasonik sesuai dengan
kontrol dari mikrokontroler pengendali (pulsa trigger dengan tOUT min. 2 μs).
Gelombang ultrasonik ini melalui udara dengan kecepatan 344 meter per detik,
mengenai obyek dan memantul kembali ke sensor. Ultrasonik mengeluarkan
pulsa output high pada pin SIG setelah memancarkan gelombang ultrasonik
dan setelah gelombang pantulan terdeteksi ultrasonik akan membuat output low
pada pin SIG. Lebar pulsa High (tIN) akan sesuai dengan lama waktu tempuh
gelombang ultrasonik untuk 2xjarak ukur dengan obyek. Maka jarak yang
diukur ialah [(tIN s x 344 m/s) : 2] meter.

Gambar 6.4 Diagram Waktu Sensor

Karakteristik dari sensor ultrasonik adalah :


- Jarak jangkau : 2cm to 3m (~.75" to 10').
- Suplai tegangan: 5V +/-10% (Absolute: Minimum 4.5V, Maximum
6V).
- Suplai arus: 25 mA to 30 mA max.
- 3-pin interface (power, ground, signal).
- Konsumsi daya: 20 mA.

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 6 - 4
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Berikut merupakan program pada penggunaan sensor ultrasonic menggunakan


Modul Ping Parallax

#include <mega8535.h>
#include <delay.h>
#include <stdio.h>

#define pulse PORTA.0


#define echo PINA.0
#define arah DDRA.0
#define out 1
#define inp 0

unsigned int count=0;


float jarak;
unsigned char kata1[16];
unsigned char kata2[16];

// Alphanumeric LCD Module functions


#asm
.equ __lcd_port=0x15 ;PORTC
#endasm
#include <lcd.h>

// Declare your global variables here

void main(void)
{
PORTA=0x00;
DDRA=0x00;

PORTB=0x00;
DDRB=0x00;

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 6 - 5
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

PORTC=0x00;
DDRC=0x00;

PORTD=0x00;
DDRD=0x00;

TCCR0=0x00;
TCNT0=0x00;
OCR0=0x00;

TCCR1A=0x00;
TCCR1B=0x00;
TCNT1H=0x00;
TCNT1L=0x00;
ICR1H=0x00;
ICR1L=0x00;
OCR1AH=0x00;
OCR1AL=0x00;
OCR1BH=0x00;
OCR1BL=0x00;

ASSR=0x00;
TCCR2=0x00;
TCNT2=0x00;
OCR2=0x00;

MCUCR=0x00;
MCUCSR=0x00;

TIMSK=0x00;

ACSR=0x80;
SFIOR=0x00;

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 6 - 6
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

lcd_init(16);

while (1)
{
count=0;
arah=out;
pulse=1;
delay_us(5);
pulse=0;
arah=inp;
pulse=1;

while(echo==0){};
while(echo==1)
{
count++;
}

jarak=((float)count)/242*10;
sprintf(kata1,"Counter=%d",count);
sprintf(kata2,"jarak=%3.2f cm",jarak);
lcd_clear();
lcd_gotoxy(0,0);lcd_puts(kata1);
lcd_gotoxy(0,1);lcd_puts(kata2);
delay_ms(200);

};
}

2. Sensor Inframerah

Ketika menggunakan sensor inframerah sebagai solid-state bumper,


kamu secara khas ingin pola teladan berkas cahaya yang paling luas yang
mungkin untuk menyediakan pemenuhan untuk suatu area yang besar seperti
keseluruhan medan robot. Bungkus ini yang dengan mudah terpenuhi

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 6 - 7
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

penggunaan dua detektor yang menyeberang di atas masing-masing lain di


depan robot. Detektor yang paling umum untuk menggunakan pengaturan ini
adalah sensor GP2D15.
Berkas cahaya mempola untuk detektor ini adalah di antara jenis.
Cakupan secara khas di suatu tempat antara 10-80 cm dan berkas cahaya
dengan kasar sepak bola shaped dengan bagian yang paling luas dalam area
pertengahan menjadi sekitar 16 cm lebar/luas. Ini adalah suatu layak yang pola
khusus berkas sempit buat bagi besar berkisar data ketika menggabungkan
dengan suatu detektor pengambilan membaca.

Gambar 6.5 Pola pantulan dari sensor inframerah

Sensor Sharp GP2D15 memancarkan pulsa inframerah berupa cahaya


oleh emiter. Proses selama pemancaran cahaya ke luar dalam bidang
pandangan dan dipantulkan suatu obyek maupun hanya diteruskan. Jika tidak
ada obyek, cahaya tidak akan dicerminkan dan tidak membaca pantulan obyek.
Jika cahaya mencerminkan suatu obyek, maka kembali ke detektor dan
menciptakan suatu sudut segitiga antar titik pemantulan emiter dan detektor.

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 6 - 8
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

Gambar 6.6 Jangkauan Sensor Inframerah

Sensor ini adalah suatu penambahan besar kepada deretan sensor yang
tersedia untuk robotik. Sensor sharp adalah yang sungguh murah, penggunaan
sangat kecil tenaga, cocok ruang kecil, dan mempunyai suatu cakupan unik
yang idealnya disesuaikan untuk robot kecil dalam ruang manusia seperti gang,
ruang, dan simpang siur jalan yang sekali-kali. Berikut merupakan program
pada penggunaan sensor IR menggunakan Modul Sharp GP2D15.

#include <mega8535.h>
#define IR PORTA.0

// Alphanumeric LCD Module functions


#asm
.equ __lcd_port=0x18 ;PORTB
#endasm
#include <lcd.h>

// Declare your global variables here

void main(void)
{
PORTA=0x01;
DDRA=0x00;

PORTB=0x00;
DDRB=0x00;

PORTC=0x00;

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 6 - 9
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

DDRC=0x00;

PORTD=0x00;
DDRD=0x00;

TCCR0=0x00;
TCNT0=0x00;
OCR0=0x00;

TCCR1A=0x00;
TCCR1B=0x00;
TCNT1H=0x00;
TCNT1L=0x00;
ICR1H=0x00;
ICR1L=0x00;
OCR1AH=0x00;
OCR1AL=0x00;
OCR1BH=0x00;
OCR1BL=0x00;

ASSR=0x00;
TCCR2=0x00;
TCNT2=0x00;
OCR2=0x00;

MCUCR=0x00;
MCUCSR=0x00;

TIMSK=0x00;

ACSR=0x80;
SFIOR=0x00;

lcd_init(16);

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 6 - 10
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

while (1)
{
// Place your code here
if (IR==0){
lcd_gotoxy(0,0);lcd_putsf(" Terkena Sensor ");
}
else {
lcd_clear();
}

};
}

3. Sensor Api
Sistem informasi pada robot untuk mendapatkan kondisi ada tidaknya
api lilin pada ruangan dan posisi api di dalam ruangan merupakan masalah
tersendiri dalam penyelesaiannya. Salah satu pemecahan tersebut ádalah
dipasangnya sensor yang bekerja dengan mendeteksi adanya panas api. Sensor
ini memberikan sinyal aktif apabila mendeteksi adanya api dalam ruangan. dan
bekerja berdasarkan filter yang dibuat.
Hamamatsu UVTron Flame Detector dan rangkaian driver dapat
mendeteksi api dari lilin atau puntung rokok dalam jarak 5 meter. Biasanya
digunakan sebagai alat untuk mendeteksi sumber api seperti lilin, yang
beroperasi pada panjang spectral 185 hingga 160nm. Sensor ini juga dapat
mendeteksi beberapa fenomena yang tak nampak seperti transmisi tegangan
tinggi. [ 4 ]

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 6 - 11
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

(a) Sensor Api (b) DC Processing

Gambar 6.7 Bentuk Sensor UVTron dan rangkaian driver [ 4 ]

Adapun karakteristik dari sensor api tersebut adalah :

Gambar 6.8 Grafik Respon UVTRON [ 4 ]

Nampak pada gambar tersebut menunjukkan respon UVTRON


dibandingan dengan cahaya matahari, nyala api gas maupun cahaya Tungsten.
Berikut program Sensor api menggunakan modul Uvitron.

#include <mega8535.h>

#define UVTRON PINA.1

R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,


Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 6 - 12
PHK-I 2010 Buku Ajar
Robotika

// Alphanumeric LCD Module functions


#asm
.equ __lcd_port=0x18 ;PORTB
#endasm
#include <lcd.h>

// Declare your global variables here

void main(void)
{
// Declare your local variables here

PORTA=0x00;
DDRA=0x00;

PORTB=0x00;
DDRB=0x00;

PORTC=0x00;
DDRC=0x00;

PORTD=0x00;
DDRD=0x00;

TCCR0=0x00;
TCNT0=0x00;
OCR0=0x00;

TCCR1A=0x00;
TCCR1B=0x00;
TCNT1H=0x00;
TCNT1L=0x00;
ICR1H=0x00;
ICR1L=0x00;
R. Supriyanto, Hustinawati, Ary Bima K, Rigathi. W. N,
Yogi Permadi, Abdurachman Sa’ad Hal 6 - 13

Anda mungkin juga menyukai