MAKALAH Maslahah
MAKALAH Maslahah
MAKALAH Maslahah
PENDAHULAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari kita juga terdapat berbagai maslahah
yang terjadi. Namun, tidak semua kebaikan didukung oleh hukum
syara’. Hal ini disebabkan perbedaan pendapat yang terjadi. Ada
kebaikan yang didukung serta yang tidak didukung. Sementara itu,
terbentuknya hukum syar’i tidak lain hanyalah dengan
mempertimbangkan terwujudnya kemaslahatan umat Islam.
Dalam makalah ini pemakalah akan membahas tentang pengertian
maslahah, jenis-jenis maslahah, arti maslahah, maslahah mursalah
sebaagai metode ijtihad, syarat-syarat berlakunya maslahah mursalah,
pembagian maslahah, dan kehujjahan maslahah mursalah yang akan
menambah dan membuka wawasan kita mengenai materi ushul fiqh.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian maslahah?
2. Sebutkan jenis-jenis maslahah?
3. Apa arti maslahah mursalah?
4. Jelaskan mashlahah mursalah sebagai metode ijtihad?
5. Apa syarat-syarat berlakunya maslahah mursalah?
6. Bagaimana pembagian maslahah?
7. Apa kehujjahan maslahah mursalah?
C. Tujuan
1. Untuk memahami apa itu pengertian maslahah.
2. Untuk mengetahui jenis-jenis maslahah.
3. Untuk mengetahui dan memahami arti maslahah mursalah.
4. Untuk mengatahui maslahah mursalah sebagai metode ijtihad.
1
5. Untuk menambah pengetahuan tentang syarat-syarat berlakunya
maslahah mursalah.
6. Untuk mengetahui tentang pembagian maslahah.
7. Untuk mengetahui dan memahami tentang kehujjahan maslahah
mursalah.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Mashlahah
Sebelum menjelaskan arti maslahah mursalah, perlu dibahas lebih
dahulu tentang maslahah, karena maslahah mursalah itu merupakan salah
satu bentuk dari maslahah. Maslahah berasal dari kata shalaha dengan
menambahakan alif di awalnya yang secara arti kata berarti “ baik” lawan
dari kata “buruk” atau “rusak”. Ia adalah masdar dengan arti kata shalah,
yaitu “ manfaat” atau “terlepas daripadanya kerusakan”.
Pengertian mashlahah dalam bahasa arab berarti “ perbuatan
perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia. “ dalam artinya
adalah setiap segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, baik dalam
arti menarikatau menghasilkan seperti keuntunganatau kesenangan atau
menghindarkan kemudorotan atau kerusakan.jadi setiap yang mengandung
manfaat patut disebut maslahah, atau mendatangkan kemaslahatan dan
menolak atau menghindarkan kemudaratan.
Dalam mengartikan mashlahah secara definitive terdapar
perbedaan rumusan dikalangan ulama yang kalau dianalisis ternyata
hakikatnya adalah sama.
1. Al ghozali menjelaskan bahwa menurut asalnya mashlahah itu
berarti sesuatu yang mendatangkan manfaat (keuntungan) dan
menjauhkan mudorot (kerusakan) namun hakikat dari
mashlahah adalah “ memelihara tujuan syara’ dalam
menetapkan hukum”. Sedangkan tujuan syara’ dalam
menentapkan hukum itu ada lima, yaitu memelihara agama,
jiwa, akal, keturunan dan harta.
2. Al khawarizmi memberikan definisi yang hamper sama dengan
definisi al Ghozali yaitu: “memelihara tujuan syara’ dalam
3
menetapkan hukum dengan cara menghindarkan kerusakan
dari manusia.” Definisi ini memilikikesamaan dengan definisi
al ghozali dari segi arti dan tujuan, karena menolak kerusakan
itu menghandung arti menarik kemanfaatan dan menolak
kemaslahat berarti menarik kerusakan.
3. Al lez ibn Abdi al Salam dalam mktabnya, Qaawa’id al
Ahkam, memberikan arti maslahah dalam bentuk hakikinya
dengan “ kesenangan dan kenikmatan” sedangkan bentuk
majazinya adalah “ sebab sebab yang mendatangkan
kesenangan dan kenikmataan” tersebut. Arti ini didasarkan
bahwa prinsipnya ada empat bentuk manfaat , yaitu : kelezatan
dan sebab sebabnya saat kesenangan dan sebab sebabnya.
4. Al Syatibi mnengartikan mashlahah itu dari dua pandangan ,
yang satu dari segi terjadinya mashlahah dalam kenyataan dan
dari segi tergantungnya tuntunan syara’ kepada mashlahah.
a. Dari segi terjadinya mashlahah dalam kenyataan, berarti
4
Dari kesimpulan tersebut terlihat adanya perbedaan antara
mashlahah dalam pengertian bahasa umum dengan mashlahah dalam
pengertian hukum atau syara’. Perbedaannya terlihat dari segi bahasa
merujuk pada tujuan pemenuhan kebutuhan manusia dan karenanya
mengandung pengertrian untuk mengikuti syahwat atau hawa nafsu.
Sedangkan pada mashlahah dalam arti syara’ yang menjadi titik bahasa
dalam ushul fiqh, yang selalu menjadi ukuran dan rujukannya adalaah
tujuan syara’ yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta
benda tanpa melepaskan tujuan pemenuhan kebutuhan manusia yaitu
mendapatkan kesenangan dan menghindari ketidaksengajaan.
5
baik atau mashlahah dalam tingkatan doruri dalam hal ini Alloh
melarang murtad untuk memelihara agama :melarang untuk
membunuh untuk jiwa ; melarang meminum minuman keras untuk
memelihara akal ; melarang berzina untuk memelihara keturunan;
dan melarang mencuri untuk memelihara harta.
b. Mashlahah hajiyah adalah kemashlahatan tingkat kebutuhan hidup
manusia kepadanya tidak berada pada tingkat doruri. Bentuk
kemlahatannya tidak secara langsung bagi pemenuhan kebutuhan
pokok yang lima ( doruri) , tetapi secara tidak langsung menuju
kearag sana seperti dalam hal memberi kemudahan bagi
pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Mashlahah hajiyah juga jika
tidak terpenuhi dalam kehidupan manusia, tidak secara langsung
menyebabkan kerusakan lima unsur pokok tersebut, tetapi tidak
langsung memang bisa mengakibatkan kerusakan.
6
c. Mashlahah tahsiniyah adalah mashlahah yang kebutuhan hidup
manusua kepadanya tidak sampai tingkat doruri, juga tidak sampai
tingkat hajiy ; namun kebutuhan tersebut perlu dipenuhi dalam
rangka memberi kesempurnaan dan keindaahn hidup manusia.
Mashlahah dalam bentuk tahsini ini juga berkaitan dengan
limankebutuhan pokok ini. Tiga bentuk mashlahah tersebut, secara
berurutan menggambarkan tingkatan peringkat kekuatannya. Yang
kuat adalah mashlahah doruri, kemudian dibawahnya adalah
mashlahah tajiyyah dan berikutnya mashlahah tasniyah.
Doruriyanh yang lima itu jugabberbeda tingkat kekuatannya, yang
secara berurutan adalah : agama , jiwa, akal , keturunan dan harta.
2. Dari adanya keserasian dan kesejalanan anggapan baik oleh akal itu
dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum, ditinjau dari maksud
usaha mencari dan menetapkan hukum, mashlahah itu disebut dengan
munasib atau keserasian mashlahah dengan tujuan hukum. Mashlahah
dalam arti munasib itu dari segi pembuat hukum (syar’i)
memperhatikan atau tidak , mashlahah terbagi kepada tiga jenis , yaitu
:
a. Mashlahah al mu’tabarah , yaitu mashlahah yang diperhitungkab
oleh syar’i. maksudnya ada petunjuk dari syar’I, baik langsung
maupun tidak langsung, yang memberikan petunjuk dari syar’I,
baik langsung maupun tidak langsung, yang memberikan petunjuk
pada dadanya mashlahah yang menjadi alas an dalam menetapkan
hukum.
Dari langsungnya petunjuk (dalil) terhadap mashlahah tersebut,
mashlahah terbagi dua :
1.) Munasib mu’atsir, yaitu adanya petunjuk langsung dari
pembuat hukum (syar’i) yang memeperhatikan mashlahah
tersebut. Maksudnya ada petunjuk syara’ dalam bentuk nash
atau ijma’ yang menetapkan bahwa mashlah itu dijadikan alas
an dalam menetapkan hukum.
7
Contoh dalil nash yang menujuk langsung kepada
mashlahah, umpaanya tidak baiknya mendekati perempuaan
yang sedang haid dengan alasan haid itu adalah penyakit. Hal
ini disebut mashlahah karena menjauhkan diri dari kerusakan
atau penyakit. Alasannya adanya penyakit itu yang dikaitlan
dengan larangan mendekati perempuan, disebut munasib. Hal
ini ditegaaskan dalam surat al Baqoroh (2) :222 “ mereka
bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah bahwa haid itu
adalah penyakit, oleh karenanya jauilah perempuan yang
sedang haid”
Contoh dalil yang menunjukan langsung kepada mashlahah
dalam bentuk ijma’ , umpamanya menetapkan adanya kewalian
ayah terhadap anak anak dengan ‘illatsa dengan hukum
perwalian adalah mashlahah atau munasib. Dalam hal ini ijma’
sendiri yang mengatakan demikian.
2.) Munasib mualaim , yaitu tidak ada petunjuk langsung dari
syara’ baik dalam bentuk nash atau ijma’ tentang perhatian
syara’ terhadap mashlahah tersebut, namun secara tidak
langsung ada. Maksudnya, meskipun syara’ secara langsung
menetapkan suatu keadaan menjadi alas an untuk menetapkan
hukum yang disebutkan, namun ada petunjuk syara’ bahwa
keadaan itulah yang ditetapkan syara’ sebagai alas an untuk
hukum yang sejenis.
3.) Mashlahah al- Mulghah, atau mashlahah yang ditolak , yaitu
mashlahah yang dianggap baik oleh akal, tetapi tidak
diperhatikan oleh syara’ da nada petunjuk syara’ yang
menolaknya. Hal ini berarti akal menganggapnya baik dan telah
sejalan dengan tujuan syara’, namun ternhyata syara’
menetapkan hukum yang berbeda dengan apa yang dituntut
oleh mashlahah itu. Umpamanya seseorang raja atau orang
kaya yang melakukan pelanggaran hukum, yaitu mencampuri
8
istrinya di siang bulan ramadhan. Untuk orang ini sanksi yang
paling baik adalah disuruh puasa dua bulan berturut turut,
karena cara inilah yang diperkirakan akan membuatnya jere
melakukan pelanggaran. Pertimbangan ini memang baik dan
masuk akal, bahkan sejalan dengan tujuan syara’ dalam
menetapkan hukum, yaitu menjerakan orang dalam melakukan
pelanggaran. Namun apa yang dianggap baik oleh akal ini,
ternyata tidak demikan menurut syara’ bahkan ia menetapkan
hukum yang berbeda dengan itu, yaitu harus memperdekaakan
hamba sahaya meskimpun sangki ini bagi orang kaya dinilai
kurang relevan untuk dapat membuatnya jera. Contoh lain
umpamanya dimasa kini masyarakat telah mengakui
emansipasi wanita untuk menyamakan derajatnya dengan laki
laki. Oleh karena itu, akal menganggap baik atau mashlahah
untuk menyamakan hal antara perrempuan dan laki lak, dalam
memperoleh harta dan warisan. Hal inipun dianggap sejalan
dengan tujuan ditetapannya hukum waris oleh Alloh untuk
memberikan hak waris kepada perempuan sebagaimana berlaku
sebagai laki laki. Namun hukum Alloh telah jelas dan ternyata
berbeda dengan yang dikira baik oleh akal itu, yaitu hak anak
perempuan yang degaskan dalam surat An nisa(4) : 11 dan
penegasan Alloh tentang hak waris saudara laki laki sebesar
dua kali hak saudara perempuan sebagaimana yang dijelaskan
dalam surat An Nisa.
4.) Mashlahah al- Mursaalat, atau juga yang biasa disebut istishlah
yaitu apa yang dipandang baik oleh akal, sejalan dengan tujuan
syara’ dalam menetapkan hukum : namun tidak ada petunjuk
syara yang memperhitungkannya dan tidak ada pula petunjuk
syara yang menolaknya. Jumhur ulama sepakat menggunakan
mashlahah mutabaroh, sebagaimana juga mereka sepakat dalam
menolak mashlahah mulghuhh. Menggunakan metode
9
mashlahah mursalah dalam berijtihad ini menjadi
perpbincangan yang berkepanjangan dikalangan ulama hal ini
akan diuraikan dalam pembahasan dibawah ini.
10
5. Jalal al-Din Abd al-Rahman memberi rumusan lebih luas : mashlahah
yang selaras dengan tujuan Syari’ (pembuat hukum) dan tidak ada
petunjuk tertentu yang membuktikan tentang pengakuan atau
penolakan”.
6. Abd al-Wahhab al-Khallaf memberi rumusan berikut: “Mashlahah
ialah mashlahaht yang tidak ada dalil syara’ datang untuk
mengakuinya atau menolaknya.
7. Muhammad Abu Zahrah memebrikan definisi yang hamper sama
dengan rumusan Jalal al-Din di atas ,yaitu : “ Ada petunjuk tertentu
yang membuktikan tentang pengakuannya atau penolakannya”.
11
Jumhur ulama sepakat dalam menggunakan maashlahah al mu’tabaroh,
namun tidak menempatkan sebagai dalil dan metode yang berdiri sendiri,
ia digunakan karena adanya petunjuk syara’ yang mengakuinya, baik
secara langsung atau tidak langsung. Pengakuan akan maslhlahah
mursalah dalam bentuk ini sebagai metode ijtihad karena petunjuk syara’
tersebut. Ia diamalkan dalam rangka pengamalan qiyas.
12
ushul fiqh dalam menukilkan pendapat imam mazhab. Ada yang
dinukilkan imam malik sebagai yang mempopulerkan mashlahah mursalah
yang diikuti oleh para pengikutnya, sehingga menjadi pendapat
umumbahwa mashlahah mursalahg itu adalah dalilnya madzab maliki.
Ibnu al-Hajib dalam kitabnya al-Muntaha sebaagai ulama senior mazhab
maliki meluruskan bahwa menghubungkan pendapat ini kepada Imam
Maliki adalah tidak benar bahkan ia menukilkan pendapat kebanyakan
ulama Maliki bahwa mashlahah mursalah itu tidak punya dasar yang kuat
hingga harus ditolak. Yang dimaksud dengan dasar yang kuit disini adalah
adanya I’tibar syar’I untuk dapat diterimanya suatu yang bernama
mashlahat itu. Inilah pendapat umum yang dipakai oleh jumhur ulama.
13
dan tidak boleh melakukan ijtihad dengan menggunakan metode ini.
Kalangan ulama yang menolak penggunaan qiyas seperti al-zhahiri, ulama
syiah dan sebagai ulama kalan Mu’tazilah ,begitu pula Qadhi al-Baidhawi
menolak penggunaan mashlahah mursalah dalam berijtihad.
14
demikian, meloihat perbedaan ini tidak mungki hanya secara hitam putih.
(Syarifuddin, 2014)1
F. Pembagian Maslahah
Ulama Usul membagi maslahah kepada tiga bagian yaitu:
1. Maslahah “dar’ul-mafasid dan maslahah ini sering disebut dengan
maslahah daruriaat.”
1
Syarifuddin, P. D. (2014). USHUL FIQH. Jakarta: KENCANA PRENADAMEDIAGROUP.
hlm. 367-386.
15
bencana dan kesusahan serta hal-hal yang dapat membuat
kehidupan yang fatal.
2
Dr. H. Saifudin Zuhri, M. (2009). USHUL FIQIH. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR. hlm.
101-104.
16
kekuasaaanyya. karena umar melihat bahwa dengan cara itu
pegawai/penguasa dapat menunaikan tugasnya dengan baik, tercegah
dari melakukan manipulasi dan mengambil harta ghanimah (rampasan
perang) dengan cara yang tidak halal. jadi kemaslahatan umumlah
yang mendorong khalifah umar mengeluarkan kebijaksanaan itu.
c. khalifah umar bin khattab sengaja menumpahkan susu yang dicampur
dengan air guna memberi pelajaran kepada mereka yang berbuat
mencampur susu engan air. sikap khalifah tersebut tergolong dalam
maslahat, agar mereka tidak mengulangi perbuatannya lagi.
2. adanya maslahat sesuai dengan maqasid as-syar’i (tujuan-tujuan syar’i),
artinya dengan mengambil ,maslahat berarti sama dengan merealisasikan
maqasid as-syar’i. sedang mengesampingkan maqasid as-syar’i adalah
batal. oleh karena itu adalah wajib menggunakan maslahat atas dasar
bahwa ia adalah sumber hukum pokok (ashl) yang berdiri sendiri. sumber
hukum ini tidak keluar dari ushul (sumber-sumber pokok), bahkan terjadi
sinkronisasi antara maslahat dan maqasid as-syar’i.
3. seandainya maslahat tidak diambil pada setiap kasus yang jelas
mengandung maslahat selama berada dalam konteks maslahat-maslahat
syar’iyyah, maka orang-orang mukalaf akan mengalami kesulitan dan
kesulitan. allah berfirman yang artinya “ dia tidak sekali-kali menjadikan
untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” (q.s al-hajj :76) dan hadist
nabi yang iriwayatkan oleh sayyidah aisyah yang artinya “ bahwasanya
tidak sekali-kali dihadapkan pada dua pilihan, kecuali beliau memilih yang
lebiih mudah/ringan selama bukan menerapkan perbuatan dosa”
17
dengan istihsan dan maslahat mursalah, imam ghozali berkata :”
sesungguhnya kita tahu dan yakin bahkan paa hawa nafsu dan syahwat
tanpa memandang indikasi dari bberapa dalil. istihsan tanpa
memperhitungkan dalil-dalil syar’a adlah hukum yang iasarkan pada
hawa nafu semata”. khusus mengenai maslahat mursalah ia berkata “
maslahat mursalah bila tidak itopang oleh syar;\’i kedudukannya adlah
sama dengan istihsan”
2. maslahat andaikan dapat diterima (mu’tabarah), ia termasuk kedalam
kategori qiyas dalam arti luas (umum), andaikan tidak mu’tabarah,
maka ia tidak tergolong qiyas. adalah tidak bisa dibenarkan suatu
anggapan yang mengatakan bahwa pada suatu masalah terdapat
maslahat mu’tabarah sementara maslahat itu tidak termasuk kedalam
nash dan qiyas. sebab pandangan semacam itu akan membawa pada
suatu kesimpulan tentang terbatasnya nash-nash al-qur’an atau hadist
nabi dalam menjelaskan syari’at dengan kenyataan tabligh yang telah
diperankan oleh anbi serta bertentangan dengan sabdanya : “aku
tinggallkan kamu pada jalan yang terang. malamnya bagaikan siang”
3. mengambil dalil maslahat tanpa berpegang pada nash terkadang akan
berakibat kepada suatu penyimpangan ari hukum syari’at dan tindakan
kelaliman terhadap rakyat dengan dalil maslahat, sebagaimana yang
dilakukan oleh sebagian raja-raja yang lalim. dalam hubungan ini ibnu
taimiyah berkata “ hal tersebut itinjau ari segi kemaslahatan akan
menimbulkan kegoncangan besar dalam irisan agama. sejumlah besar
ari masyarakat melihat adanya maslahat lalu menjalankannya,
berdasarkan paa prinsip tersebut (mengambil maslahat tanpa
berpegang pada nash). diantara maslahat- maslahat itu kaangkala
sebenarnya merupakan larangan syara’ yang tidak diterima atau
iketahui, kadangkala mereka mengajukan dalam maslahat mursalah
ungkapan (kalam) yang brlawanan dengan nash. malahan diantara
maslahat mursalah yang diambil, banyak yang mengesampingkan
maslahat-maslahat yang wajib iterima menurut syara’, atas dasar
18
anggapan bahwa syara’ tidaak menerangkan hal itu sehingga berbagai
kewajiban dan perbuatan sunah ditinggalkan, atau bahkan jatuh
kedalam perbuatan terlarang atau yang makruh. kadangkala juga syara’
menerangkan hal itu, tetapi tidak diketahuinya”
4. seandainya kita memakai maslahat sebagai sumber hukum pokok yang
berdiri sendiri, niscahya hal itu akan menimbulkan terjadinya
perbedaan hukum akibat perbedaan negara, bahkan perbedaan
pendapat perorangan dalam satu perkara. i suatu negara, perkara
tersebut tergolong haram karena dipandang mengandung
kemadharatan, sementara di negara lain tergolong halal karena
dipandang mengandung manfaat. atau haram karena mengandung
mudharat menurut sebagian orang, dan halal menurut orang lain.
padahal tidak demikian seharusnya syari’at yang berlaku universal
sepanjang zaman. (Zahrah, 2014)3
3
Zahrah, P. M. (2014). USHUL FIQIH. Jakarta: Pustaka Firdaus.
19
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mashlahah mursalah terdiri dari dua kata yang hubungan keduanya
dalam bentuk sifat-maushuf, atau dalam bentuk khusus yang menunjukan
bahwa ia merupakan bagian dari al mashlahah. Bahwa sikap ulama
mengenai penggunaan metode mashlahah mursalah dalam berijtihad
terbagi dalam dua kelompok. Pertama, kelompok yang menolak
penggunaan mashlahah mursalah, yang oleh al-Amidhi digolongkan
kepada mayoritas (jumhur) ulama. Kedua, kelompok yang menerima
kemungkinan melakukan ijtihad dengan menggunakan mashlahah
mursalah.
Pembagian Maslahah
Ulama Usul membagi maslahah kepada tiga bagian yaitu:
1. Maslahah “dar’ul-mafasid
2. Maslahah “Jalbul masalih”
3. Tahsiniyaat
Kehujjahan maslahat mursalah yang memperkuat penerapannya :
1. praktek sahabat yang telah menggunakan maslahat
mursalah.
2. adanya maslahat sesuai dengan maqasid as-syar’i (tujuan-
tujuan syar’i).
3. seandainya maslahat tidak diambil pada setiap kasus yang
jelas mengandung maslahat selama berada dalam konteks
maslahat-maslahat syar’iyyah.
20
DAFTAR PUSTAKA
21