MAKALAH Maslahah

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULAN

A. Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari kita juga terdapat berbagai maslahah
yang terjadi. Namun, tidak semua kebaikan didukung oleh hukum
syara’. Hal ini disebabkan perbedaan pendapat yang terjadi. Ada
kebaikan yang didukung serta yang tidak didukung. Sementara itu,
terbentuknya hukum syar’i tidak lain hanyalah dengan
mempertimbangkan terwujudnya kemaslahatan umat Islam.
Dalam makalah ini pemakalah akan membahas tentang pengertian
maslahah, jenis-jenis maslahah, arti maslahah, maslahah mursalah
sebaagai metode ijtihad, syarat-syarat berlakunya maslahah mursalah,
pembagian maslahah, dan kehujjahan maslahah mursalah yang akan
menambah dan membuka wawasan kita mengenai materi ushul fiqh.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian maslahah?
2. Sebutkan jenis-jenis maslahah?
3. Apa arti maslahah mursalah?
4. Jelaskan mashlahah mursalah sebagai metode ijtihad?
5. Apa syarat-syarat berlakunya maslahah mursalah?
6. Bagaimana pembagian maslahah?
7. Apa kehujjahan maslahah mursalah?

C. Tujuan
1. Untuk memahami apa itu pengertian maslahah.
2. Untuk mengetahui jenis-jenis maslahah.
3. Untuk mengetahui dan memahami arti maslahah mursalah.
4. Untuk mengatahui maslahah mursalah sebagai metode ijtihad.

1
5. Untuk menambah pengetahuan tentang syarat-syarat berlakunya
maslahah mursalah.
6. Untuk mengetahui tentang pembagian maslahah.
7. Untuk mengetahui dan memahami tentang kehujjahan maslahah
mursalah.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Mashlahah
Sebelum menjelaskan arti maslahah mursalah, perlu dibahas lebih
dahulu tentang maslahah, karena maslahah mursalah itu merupakan salah
satu bentuk dari maslahah. Maslahah berasal dari kata shalaha dengan
menambahakan alif di awalnya yang secara arti kata berarti “ baik” lawan
dari kata “buruk” atau “rusak”. Ia adalah masdar dengan arti kata shalah,
yaitu “ manfaat” atau “terlepas daripadanya kerusakan”.
Pengertian mashlahah dalam bahasa arab berarti “ perbuatan
perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia. “ dalam artinya
adalah setiap segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, baik dalam
arti menarikatau menghasilkan seperti keuntunganatau kesenangan atau
menghindarkan kemudorotan atau kerusakan.jadi setiap yang mengandung
manfaat patut disebut maslahah, atau mendatangkan kemaslahatan dan
menolak atau menghindarkan kemudaratan.
Dalam mengartikan mashlahah secara definitive terdapar
perbedaan rumusan dikalangan ulama yang kalau dianalisis ternyata
hakikatnya adalah sama.
1. Al ghozali menjelaskan bahwa menurut asalnya mashlahah itu
berarti sesuatu yang mendatangkan manfaat (keuntungan) dan
menjauhkan mudorot (kerusakan) namun hakikat dari
mashlahah adalah “ memelihara tujuan syara’ dalam
menetapkan hukum”. Sedangkan tujuan syara’ dalam
menentapkan hukum itu ada lima, yaitu memelihara agama,
jiwa, akal, keturunan dan harta.
2. Al khawarizmi memberikan definisi yang hamper sama dengan
definisi al Ghozali yaitu: “memelihara tujuan syara’ dalam

3
menetapkan hukum dengan cara menghindarkan kerusakan
dari manusia.” Definisi ini memilikikesamaan dengan definisi
al ghozali dari segi arti dan tujuan, karena menolak kerusakan
itu menghandung arti menarik kemanfaatan dan menolak
kemaslahat berarti menarik kerusakan.
3. Al lez ibn Abdi al Salam dalam mktabnya, Qaawa’id al
Ahkam, memberikan arti maslahah dalam bentuk hakikinya
dengan “ kesenangan dan kenikmatan” sedangkan bentuk
majazinya adalah “ sebab sebab yang mendatangkan
kesenangan dan kenikmataan” tersebut. Arti ini didasarkan
bahwa prinsipnya ada empat bentuk manfaat , yaitu : kelezatan
dan sebab sebabnya saat kesenangan dan sebab sebabnya.
4. Al Syatibi mnengartikan mashlahah itu dari dua pandangan ,
yang satu dari segi terjadinya mashlahah dalam kenyataan dan
dari segi tergantungnya tuntunan syara’ kepada mashlahah.
a. Dari segi terjadinya mashlahah dalam kenyataan, berarti

“ sesuatu yang kembali kepada tegaknya kehidupan


manusia, sempurna hidupnya, tercapai apa yang
dikehendaki oleh sifat syahwati dan aklinya secara
mutlak”.

b. Dari segi tergantungnya tuntunan syara’ kepada


mashlahah, yaitu kemaslahatan yang merupakan tujuan
dari penetapan hukum syara’. Untuk menghasilkan
Allah menuntut manusia untuk berbuat.
5. Al Thufi menurut yang dinukil oleh Yusuf Hamid al Alim
dalam bukunya al Maqashid al Ammah li al Syariati al
islamiyyah mendefinisikan mashlahah yaitu “ ungkapan dari
sebab yang membaawa kepada tujuan syara dalam bentuk
ibadat atau adat”.

4
Dari kesimpulan tersebut terlihat adanya perbedaan antara
mashlahah dalam pengertian bahasa umum dengan mashlahah dalam
pengertian hukum atau syara’. Perbedaannya terlihat dari segi bahasa
merujuk pada tujuan pemenuhan kebutuhan manusia dan karenanya
mengandung pengertrian untuk mengikuti syahwat atau hawa nafsu.
Sedangkan pada mashlahah dalam arti syara’ yang menjadi titik bahasa
dalam ushul fiqh, yang selalu menjadi ukuran dan rujukannya adalaah
tujuan syara’ yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta
benda tanpa melepaskan tujuan pemenuhan kebutuhan manusia yaitu
mendapatkan kesenangan dan menghindari ketidaksengajaan.

B. Jenis Jenis Mashlahah


Kekuatan mashlahah dapat diligat dari segi tujuan, syara dalam
memetapkan hukum, yang berkaitan secara langsung atau tidak langsung
dengan lima prinsip pokok bagi kehidupan manusia, yaitu : agama, jiwa,
akal, keturunan, dan harta hidup. Juga dapat dilihat dari segi tingkat
kebutuhan dan tuntutan kehidupan manusia kepada lima hal tersebut .
1. Dari segi kekuatannya sebagai hujjah dalam menetapkan hukum,
mashlahah ada tiga macam, mashlahah durruriyah, mashlahah hajiyah ,
mdan mashlahah tahsiniyah.
a. Mashlahah duroruyah adalah kemlakhatan yang keberadaannya
sangat dibutuhkan oleh kehidupan manusia, artinya kehidupan
manusia tidak arti apa apa bila satu saja dan prinsip yang lima itu
tidak ada. Segala usaha yang secara langsung menjamin atau
menuju kepada keberadaan lima prinsip tersebut adalah baik atau
mashlahah dalam tingkatan doruri. Karena itu Alloh
memerintahkan manusia untuk melakukan usaha bagi keperluan
kebutuhan pokok. Segala usaha atau tindakan secara langsung
menuju pada tau menyebabnkan lenyap atau rusaknya satu diantara
lima unsur pokok tersebut adalah huruf, maka itu Alloh
melarangnya meninggalkan dan menjauhi larangan tersebut adalah

5
baik atau mashlahah dalam tingkatan doruri dalam hal ini Alloh
melarang murtad untuk memelihara agama :melarang untuk
membunuh untuk jiwa ; melarang meminum minuman keras untuk
memelihara akal ; melarang berzina untuk memelihara keturunan;
dan melarang mencuri untuk memelihara harta.
b. Mashlahah hajiyah adalah kemashlahatan tingkat kebutuhan hidup
manusia kepadanya tidak berada pada tingkat doruri. Bentuk
kemlahatannya tidak secara langsung bagi pemenuhan kebutuhan
pokok yang lima ( doruri) , tetapi secara tidak langsung menuju
kearag sana seperti dalam hal memberi kemudahan bagi
pemenuhan kebutuhan hidup manusia. Mashlahah hajiyah juga jika
tidak terpenuhi dalam kehidupan manusia, tidak secara langsung
menyebabkan kerusakan lima unsur pokok tersebut, tetapi tidak
langsung memang bisa mengakibatkan kerusakan.

Contoh mashlahah hajiyah adalah : menuntut ilmu agama


untuk tegaknynya agama, makan untuk kelangsungan hidup,
mengasah otak untuk kesempurnanya akal, melakukan beladiri
untuk mendapatkan harta. Semua itu merupakan perbuatan baik
atau mashlahah dalam tingkatan hajiy.

Sebaiknya ada perbuatan yang secara tidak langsung akan


berdampak kepada pengurangan atau kerusakan lima kebutuhan
pokok, seperti : menghina agama, berdampak kepada memelihara
agama ; mogok makan pada memelihara jiwa ; minum dan makan
yang merangsang pada memelihara akal ; melihat aurat dalam pada
menerima keturunan ; dan menipu akal berdampak pada
memelihara harta. Semua adalah perbuatan buruk yang dilarang.
Menjauhi larangan tersebuat adalah baik atau mashlahah dalam
tingkatan haji.

6
c. Mashlahah tahsiniyah adalah mashlahah yang kebutuhan hidup
manusua kepadanya tidak sampai tingkat doruri, juga tidak sampai
tingkat hajiy ; namun kebutuhan tersebut perlu dipenuhi dalam
rangka memberi kesempurnaan dan keindaahn hidup manusia.
Mashlahah dalam bentuk tahsini ini juga berkaitan dengan
limankebutuhan pokok ini. Tiga bentuk mashlahah tersebut, secara
berurutan menggambarkan tingkatan peringkat kekuatannya. Yang
kuat adalah mashlahah doruri, kemudian dibawahnya adalah
mashlahah tajiyyah dan berikutnya mashlahah tasniyah.
Doruriyanh yang lima itu jugabberbeda tingkat kekuatannya, yang
secara berurutan adalah : agama , jiwa, akal , keturunan dan harta.
2. Dari adanya keserasian dan kesejalanan anggapan baik oleh akal itu
dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum, ditinjau dari maksud
usaha mencari dan menetapkan hukum, mashlahah itu disebut dengan
munasib atau keserasian mashlahah dengan tujuan hukum. Mashlahah
dalam arti munasib itu dari segi pembuat hukum (syar’i)
memperhatikan atau tidak , mashlahah terbagi kepada tiga jenis , yaitu
:
a. Mashlahah al mu’tabarah , yaitu mashlahah yang diperhitungkab
oleh syar’i. maksudnya ada petunjuk dari syar’I, baik langsung
maupun tidak langsung, yang memberikan petunjuk dari syar’I,
baik langsung maupun tidak langsung, yang memberikan petunjuk
pada dadanya mashlahah yang menjadi alas an dalam menetapkan
hukum.
Dari langsungnya petunjuk (dalil) terhadap mashlahah tersebut,
mashlahah terbagi dua :
1.) Munasib mu’atsir, yaitu adanya petunjuk langsung dari
pembuat hukum (syar’i) yang memeperhatikan mashlahah
tersebut. Maksudnya ada petunjuk syara’ dalam bentuk nash
atau ijma’ yang menetapkan bahwa mashlah itu dijadikan alas
an dalam menetapkan hukum.

7
Contoh dalil nash yang menujuk langsung kepada
mashlahah, umpaanya tidak baiknya mendekati perempuaan
yang sedang haid dengan alasan haid itu adalah penyakit. Hal
ini disebut mashlahah karena menjauhkan diri dari kerusakan
atau penyakit. Alasannya adanya penyakit itu yang dikaitlan
dengan larangan mendekati perempuan, disebut munasib. Hal
ini ditegaaskan dalam surat al Baqoroh (2) :222 “ mereka
bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah bahwa haid itu
adalah penyakit, oleh karenanya jauilah perempuan yang
sedang haid”
Contoh dalil yang menunjukan langsung kepada mashlahah
dalam bentuk ijma’ , umpamanya menetapkan adanya kewalian
ayah terhadap anak anak dengan ‘illatsa dengan hukum
perwalian adalah mashlahah atau munasib. Dalam hal ini ijma’
sendiri yang mengatakan demikian.
2.) Munasib mualaim , yaitu tidak ada petunjuk langsung dari
syara’ baik dalam bentuk nash atau ijma’ tentang perhatian
syara’ terhadap mashlahah tersebut, namun secara tidak
langsung ada. Maksudnya, meskipun syara’ secara langsung
menetapkan suatu keadaan menjadi alas an untuk menetapkan
hukum yang disebutkan, namun ada petunjuk syara’ bahwa
keadaan itulah yang ditetapkan syara’ sebagai alas an untuk
hukum yang sejenis.
3.) Mashlahah al- Mulghah, atau mashlahah yang ditolak , yaitu
mashlahah yang dianggap baik oleh akal, tetapi tidak
diperhatikan oleh syara’ da nada petunjuk syara’ yang
menolaknya. Hal ini berarti akal menganggapnya baik dan telah
sejalan dengan tujuan syara’, namun ternhyata syara’
menetapkan hukum yang berbeda dengan apa yang dituntut
oleh mashlahah itu. Umpamanya seseorang raja atau orang
kaya yang melakukan pelanggaran hukum, yaitu mencampuri

8
istrinya di siang bulan ramadhan. Untuk orang ini sanksi yang
paling baik adalah disuruh puasa dua bulan berturut turut,
karena cara inilah yang diperkirakan akan membuatnya jere
melakukan pelanggaran. Pertimbangan ini memang baik dan
masuk akal, bahkan sejalan dengan tujuan syara’ dalam
menetapkan hukum, yaitu menjerakan orang dalam melakukan
pelanggaran. Namun apa yang dianggap baik oleh akal ini,
ternyata tidak demikan menurut syara’ bahkan ia menetapkan
hukum yang berbeda dengan itu, yaitu harus memperdekaakan
hamba sahaya meskimpun sangki ini bagi orang kaya dinilai
kurang relevan untuk dapat membuatnya jera. Contoh lain
umpamanya dimasa kini masyarakat telah mengakui
emansipasi wanita untuk menyamakan derajatnya dengan laki
laki. Oleh karena itu, akal menganggap baik atau mashlahah
untuk menyamakan hal antara perrempuan dan laki lak, dalam
memperoleh harta dan warisan. Hal inipun dianggap sejalan
dengan tujuan ditetapannya hukum waris oleh Alloh untuk
memberikan hak waris kepada perempuan sebagaimana berlaku
sebagai laki laki. Namun hukum Alloh telah jelas dan ternyata
berbeda dengan yang dikira baik oleh akal itu, yaitu hak anak
perempuan yang degaskan dalam surat An nisa(4) : 11 dan
penegasan Alloh tentang hak waris saudara laki laki sebesar
dua kali hak saudara perempuan sebagaimana yang dijelaskan
dalam surat An Nisa.
4.) Mashlahah al- Mursaalat, atau juga yang biasa disebut istishlah
yaitu apa yang dipandang baik oleh akal, sejalan dengan tujuan
syara’ dalam menetapkan hukum : namun tidak ada petunjuk
syara yang memperhitungkannya dan tidak ada pula petunjuk
syara yang menolaknya. Jumhur ulama sepakat menggunakan
mashlahah mutabaroh, sebagaimana juga mereka sepakat dalam
menolak mashlahah mulghuhh. Menggunakan metode

9
mashlahah mursalah dalam berijtihad ini menjadi
perpbincangan yang berkepanjangan dikalangan ulama hal ini
akan diuraikan dalam pembahasan dibawah ini.

C. Arti Mashlahah Mursalah


Mashlahah mursalah terdiri dari dua kata yang hubungan keduanya
dalam bentuk sifat-maushuf, atau dalam bentuk khusus yang menunjukan
bahwa ia merupakan bagian dari al mashlahah. Tentang arti mashlahah
telah dijelaskan diatas, secara etimologi (bahasa) dan terminilogi (istilah).
Al-Mursaalat adalah ismin maf’ul (objek) dari fi’il madhi (kata
dasar) dalam bentuk tssulasi (kata dasar yang tiga huruf), yaitu ro sal,
dengan penambahan huruf alif dipangkalannya, sehingga menjadi
arrosala. Secara etimologi (bahasa) artinya “terlepas” atau bebas. Kata “
terlepas” dan “bebas” disini bila dihubungkan dengan kata mashlahah
maksudnya dalah “terlepas atau bebas dari ketenangan yang menunjukan
boleh atau tidak bolehnya dilakukan”.
Ada beberapa rumusan definisi yang berbeda tentang mashlahah
mursalah ini, namaun masing masing memiliki kesamaan dan berdekatan
pengertiannya. Diantara definisi tersebut adalah:
1. Al Gholazi dalam kitab al-Mustasyfa nursalah “ Apa apa mashlahah
yang tidak ada bukti baginya dari syara’ dalam bentuk nash tertentu
yang membatalkannya dan tidak ada yang memperhatikannya.”.
2. Al- Syaukani dalam kitab Irsyad al-fuhul memeberikan definisi : “
Mashlaha1h yang tidak diktahui apakah syari’ menolaknya atau
memperhitungkannya.
3. Yusuf Hamid al-Alim memberikan rumusan : “ Apa apa mashlahah
yang tidak ada syara’ tidak untuk membatalkannya, juga tidak untuk
memerhatikannya.
4. Ibnu Qudamah dalam ulama Hambalu memberikan rumusan :
mashlahat yang tidak ada bukti petunjuk tertentu yang
membatalkannya dan tidak pula yang memerhatikannya.

10
5. Jalal al-Din Abd al-Rahman memberi rumusan lebih luas : mashlahah
yang selaras dengan tujuan Syari’ (pembuat hukum) dan tidak ada
petunjuk tertentu yang membuktikan tentang pengakuan atau
penolakan”.
6. Abd al-Wahhab al-Khallaf memberi rumusan berikut: “Mashlahah
ialah mashlahaht yang tidak ada dalil syara’ datang untuk
mengakuinya atau menolaknya.
7. Muhammad Abu Zahrah memebrikan definisi yang hamper sama
dengan rumusan Jalal al-Din di atas ,yaitu : “ Ada petunjuk tertentu
yang membuktikan tentang pengakuannya atau penolakannya”.

Dari beberapa rumusan definisi diatas, dapat ditarik kesimpulan tetntang


hakikat dari mashlahah mursalah tersebut, sebagai berikut :
1. Ia adalah sesuatu yang baik menurut akal dengan pertimbangan dapat
mewujudkan kebaikan atau menghindarkan keburukan bagi manusia.
2. Apa yang baik menurut akal itu, juga selaras dan sejalan dengan tujuan
syara’ dalam menetapkan humum.
3. Apa yang baik menurut akal dan selaras pula dengan tujuan syara’
tersebut tidak ada petunjuk syara’ secara khusus yang nolaknya, juga
tidak ada petunjuk syara’ yang mengakuinya.

Mashlahah mursalah tersebut dalam beberapa literature disebut dengan


“munasib mursal” ,juga ada yang menamainya dengan as-istishah.
Perbedaan namanya tidak membawa perbedaan pada hakikat
pengertiannya.

D. Mashlahah Mursalah Sebagai Metode Ijtihad

Diatas telah disinggung bahwa mashlahah mursalah itu ada tiga


macam. Yaitu mashlahah al-mutabarah, mashlahah al-mulghah, dan
mashlahah al mursalaat.

11
Jumhur ulama sepakat dalam menggunakan maashlahah al mu’tabaroh,
namun tidak menempatkan sebagai dalil dan metode yang berdiri sendiri,
ia digunakan karena adanya petunjuk syara’ yang mengakuinya, baik
secara langsung atau tidak langsung. Pengakuan akan maslhlahah
mursalah dalam bentuk ini sebagai metode ijtihad karena petunjuk syara’
tersebut. Ia diamalkan dalam rangka pengamalan qiyas.

Dengan pula terdapat kesepakatan ulama untuk tidak menggunakan


mashlahah al-mulghah dalam berijtihad , karena meskipun ada
mashlahahnya menurut akal dan dianggap sejalan pula dengan tujuan
syara’, namun bertentangan dengan dalil yang ada. Menurut jumhul ulama,
bila terdapat pertentangan antara nash dengan mashlahah, maka nash harus
didahulukan. Tetapi al-Thufi (dinukilkan olehal-Khallaf) berpendapat
bahwa bila nash dan ijma’ sejalan dengan pertimbanganuntuk memelihara
mashlahah, maka mashlahah tersebut dapat diamalkan karena dalam hal
ini ada tiga unsur yang mendukungnya untuk dijadikan ketetapan hukum,
yaitu nash dan mashlahah. Namun bila nash dan ijma’ menyalahi
pertimbangaanuntuk mashlahah dari pada nash dan ijma’ tentunya yang
dimaksud nash disini adalah nash yang lemah atau zhanni dari segi wurud-
nya dan dari segi dillah-nya. Demikian pula dengan ijma’ disini kiranya
adalah ijma yanglemah.

Adanya perbedaab pendapat di kalangan ulama mengenai


penggunaan mashlahah mursalah sebagai metode ijtihad adalah karena
tidak adanya dalil khusus yang menyatakan diterimanya mashlahah itu
oleh syari’ baik secara langsung maupun tidak langsung, karena
sebagaimana disebutkan diats bahwa diamallkannya mashlahah itu oleh
jumhur ulama adalah karena adanya dukungan syar’I , meskipun semata ia
adalah mashlahah, tetapi karena adanaya dalil syaraa yang mendukungnya.

Opini yang menyatakan perbedaan pendapat dalam penggunaaan


mashlahah mursalah itu disebabkan oleh perbedaan ulama dan penulis

12
ushul fiqh dalam menukilkan pendapat imam mazhab. Ada yang
dinukilkan imam malik sebagai yang mempopulerkan mashlahah mursalah
yang diikuti oleh para pengikutnya, sehingga menjadi pendapat
umumbahwa mashlahah mursalahg itu adalah dalilnya madzab maliki.
Ibnu al-Hajib dalam kitabnya al-Muntaha sebaagai ulama senior mazhab
maliki meluruskan bahwa menghubungkan pendapat ini kepada Imam
Maliki adalah tidak benar bahkan ia menukilkan pendapat kebanyakan
ulama Maliki bahwa mashlahah mursalah itu tidak punya dasar yang kuat
hingga harus ditolak. Yang dimaksud dengan dasar yang kuit disini adalah
adanya I’tibar syar’I untuk dapat diterimanya suatu yang bernama
mashlahat itu. Inilah pendapat umum yang dipakai oleh jumhur ulama.

Tentang pendapatulama Hanafi terhadap mashlahah mursalah ini


terdapat penukilan yang berbeda . menurut al Ahmidi, banyak ulama yang
beranggapan bahwaa ulama Hanafi tidak mengamalkannya. Namun
mnurut Ibnu Qudamah, sebagian ulama Hanafi menggunakan mashlahah
mursalah . tampaknya ulama yang beranggapan bahwa sebagai ulama
hanafiah mengamalkan mashlahah mursalah ini lebih tepat, karena
kedekatanm metoe ini dengan istihsan yang popular dikalangan ualama
Hanafiah.

Ualama syafi’iyaah tampaknya tidak menggunakan mashlahah


mursalah ini dalam berijtihad . pendapat ini didukung oleh Al-Ahmidi dan
Ibnu al-Hajib dalam kitabnuya al-Muntaha. Imam Syafi’I sendiri tidak
menyinggung metode ini dalam kitab standarnya, al-Risalah.Ibnu Subki
sebagai pengikut Syafi’I tidak membahas mashlahah mursalah dalam
pembahasan tersendiri, tetapi hanya menyinggungnya dalam bahsaan
tentang persyaratan al-illah, dia sendiri menggunakan istilah al-Munasib
al-Mursal sebagai pengganti istilah mashlahah mursalah.

Pendapat shahih yang mewakili pandangan ulama Hambali


menyatakan bahwa mashlahah mursalah itu tidak memiliki kekuatan hujah

13
dan tidak boleh melakukan ijtihad dengan menggunakan metode ini.
Kalangan ulama yang menolak penggunaan qiyas seperti al-zhahiri, ulama
syiah dan sebagai ulama kalan Mu’tazilah ,begitu pula Qadhi al-Baidhawi
menolak penggunaan mashlahah mursalah dalam berijtihad.

Dalam uraian diatas dapat disimpulkan bahwa sikap ulama


mengenai penggunaan metode mashlahah mursalag dalam berijtihad
terbagi dalam dua kelompok. Pertama, kelompok yang menolak
penggunaan mashlahah mursalah, yang oleh al-Amidhi digolongkan
kepada mayoritas (jumhur) ulama. Kedua, kelompok yang menerima
kemungkinan melakukan ijtihad dengan menggunakan mashlahah
mursalah.

Perbedaan pendapat mazhab dalam mengamalkan mashlahah


mursalah itu sejatinya disebabkan oelh beda pemahaman tentang hakikat
dari pengertian I’tibar yang menjadi syarat penerimaan mashlahat itu.
Ulama sepakat bahwa bila mashlahahitu sudah ada padanya I’tibar syar’I
maka mashlahta itu dapat diterima berdaya hujjah dn dapat dijadikan
dalildalam berijtihad. Namun i'tibar syar’i itu ada dua bentuknya yaitu
I’tibar secara langsung yang disebut juga al-mulaim (sudah dijelaskan
dalam bahasan tentang qiyas). Ulama yang diperkirakan mengamalkan
mashlahah murslah itu, seprti ulama Malikiyah, ditolak ulama lain karena
adanya anggapan mashlahat yang digunakannya tidak ada I’tibar syairnya.
Golongan ini akan membela dirinya dengan mengatakan bahwa mashlahat
yang digunkan itu ada I’tibar syar’iyah nya, walaupun hanya dalam bentuk
tidak langsung atau dalan bentuk mulaim. Sedangkan ulama Syafiiyah
yang dituding juga mengamalkan mashlahah mursalah itu akan menjawab
bahwa mereka mengamalkan mashlahah mursalah karena padanya ada
I’tibarnya walaupun dalam bentuk tidak langsung atau mulaim. Dengan

14
demikian, meloihat perbedaan ini tidak mungki hanya secara hitam putih.
(Syarifuddin, 2014)1

E. Syarat-syarat Berlakunya Maslahah Mursalah


Zakaria Al-Farisi dalam kitabnya masadirul ahkamil Islamiyah
memberikan syarat-syarat lain sebagai kelengkapan syarat , antara lain:
1. Hendaknya kemaslahatan itu bersifat hakiki bukan bersifat imajinatif
dalam arti apabila orang yang berkesempatan dan yang memusatkan
perhatian pada itu yakin bahwa membina hukum berdasarkan
kemaslahatan tersebut akan dapat menarik manfaat dan menolak
madarat bagi umat manusia.
2. Kemaslahatan itu hendaknya bersifat universal dan tidak parsial.
3. Hendaknya kemaslahatan itu bukan kemaslahatan yang mulgha yang
jelas ditolak oleh nas.

Demikianlah beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam penerapan


maslahah sebagai sumber hukum. Dan dengan mengemukakan beberapa
syarat itu dapat dihindari suatu indikasi penerapan maslahah berarti
menetapkan hokum secara subyektif emosional sebagaimana sering
dituduhkan oleh sebagian ulama.

F. Pembagian Maslahah
Ulama Usul membagi maslahah kepada tiga bagian yaitu:
1. Maslahah “dar’ul-mafasid dan maslahah ini sering disebut dengan
maslahah daruriaat.”

Yang dimaksud dengan daruriaat adalah segala sesuatu


yang essensial sifatnya yang merupakan kebutuhan primer bagi
manusia dan mau tidak mau harus dilakukan usaha pemenuhannya
jika memang dalam kehidupan tidak diinginkan timbul berbagai

1
Syarifuddin, P. D. (2014). USHUL FIQH. Jakarta: KENCANA PRENADAMEDIAGROUP.
hlm. 367-386.

15
bencana dan kesusahan serta hal-hal yang dapat membuat
kehidupan yang fatal.

2. Maslahah “Jalbul masalih” dan sering disebut pula dengan


hajiyaat.
Yang dimaksud dengan hajiyaat ini adalah segala sesuatu
yang sifatnya merupakan kebutuhan sekunder bagi manusia yang
seharusnya dilakukan usaha pemenuhannya jika dalam
kehidupannya tidak diinginkan timbul berbagai kesulitan,
kepicikan dan kemaksiatan.
3. Tahsiniyaat juga sering disebut dengan “at tatamiyat” yang
dimaksud tahsiniyat adalah segala sesuatu yang merupakan
kebutuhan komplementer bagi manusia sebaiknya dilakukan usaha
pemulihannya jika diinginkan suatu kesempurnaan dan
kelengkapan dalam kehidupan. (Dr. H. Saifudin Zuhri, 2009)2

G. Kehujjahan Maslahat Mursalah

berikut beberapa kehujjahan maslahat mursalah yang memperkuat


penerapannya :

1. praktek sahabat yang telah menggunakan maslahat mursalah, diantaranya :


a. sahabat mengumpulkan al-qur’an ke alam beberapa mushaf. padahal
hal ini tiak pernah dilakukan di masa nabi muhammad saw. alasan
yang mendorong mereka melakukan pengumpulan itu tidak lain
kecuali semata-mata karena maslahat, yaitu menjaga al-qur’an dari
kepunahan atau kehilangan kemutawattirannya karena meninggalnya
sebagian besar hafidh dari generasi sahabat.
b. umar bin khattab memerintahkan para penguasa agar memisahkan
antara harta kekayaan pribadi enggan harta yang diperoleh dari

2
Dr. H. Saifudin Zuhri, M. (2009). USHUL FIQIH. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR. hlm.
101-104.

16
kekuasaaanyya. karena umar melihat bahwa dengan cara itu
pegawai/penguasa dapat menunaikan tugasnya dengan baik, tercegah
dari melakukan manipulasi dan mengambil harta ghanimah (rampasan
perang) dengan cara yang tidak halal. jadi kemaslahatan umumlah
yang mendorong khalifah umar mengeluarkan kebijaksanaan itu.
c. khalifah umar bin khattab sengaja menumpahkan susu yang dicampur
dengan air guna memberi pelajaran kepada mereka yang berbuat
mencampur susu engan air. sikap khalifah tersebut tergolong dalam
maslahat, agar mereka tidak mengulangi perbuatannya lagi.
2. adanya maslahat sesuai dengan maqasid as-syar’i (tujuan-tujuan syar’i),
artinya dengan mengambil ,maslahat berarti sama dengan merealisasikan
maqasid as-syar’i. sedang mengesampingkan maqasid as-syar’i adalah
batal. oleh karena itu adalah wajib menggunakan maslahat atas dasar
bahwa ia adalah sumber hukum pokok (ashl) yang berdiri sendiri. sumber
hukum ini tidak keluar dari ushul (sumber-sumber pokok), bahkan terjadi
sinkronisasi antara maslahat dan maqasid as-syar’i.
3. seandainya maslahat tidak diambil pada setiap kasus yang jelas
mengandung maslahat selama berada dalam konteks maslahat-maslahat
syar’iyyah, maka orang-orang mukalaf akan mengalami kesulitan dan
kesulitan. allah berfirman yang artinya “ dia tidak sekali-kali menjadikan
untuk kamu dalam agama suatu kesempitan” (q.s al-hajj :76) dan hadist
nabi yang iriwayatkan oleh sayyidah aisyah yang artinya “ bahwasanya
tidak sekali-kali dihadapkan pada dua pilihan, kecuali beliau memilih yang
lebiih mudah/ringan selama bukan menerapkan perbuatan dosa”

adapun alasan – alasan dari golongan yang tidak memakai maslahat


mursalah dapat diringkas menjadi 4, yaitu sebagai berikut :
1. maslahat yang tidak didukung oleh dalil khusus akan mengarah paa
salah satu bentuk pelampiasan dari keinginan nafsu yang cenderung
mencari kenikmatan. padahal tidak demikian dengan prinsip- prinsip
syari’at islam. dalam menjelaskan alasan tersebut dalam kaitannya

17
dengan istihsan dan maslahat mursalah, imam ghozali berkata :”
sesungguhnya kita tahu dan yakin bahkan paa hawa nafsu dan syahwat
tanpa memandang indikasi dari bberapa dalil. istihsan tanpa
memperhitungkan dalil-dalil syar’a adlah hukum yang iasarkan pada
hawa nafu semata”. khusus mengenai maslahat mursalah ia berkata “
maslahat mursalah bila tidak itopang oleh syar;\’i kedudukannya adlah
sama dengan istihsan”
2. maslahat andaikan dapat diterima (mu’tabarah), ia termasuk kedalam
kategori qiyas dalam arti luas (umum), andaikan tidak mu’tabarah,
maka ia tidak tergolong qiyas. adalah tidak bisa dibenarkan suatu
anggapan yang mengatakan bahwa pada suatu masalah terdapat
maslahat mu’tabarah sementara maslahat itu tidak termasuk kedalam
nash dan qiyas. sebab pandangan semacam itu akan membawa pada
suatu kesimpulan tentang terbatasnya nash-nash al-qur’an atau hadist
nabi dalam menjelaskan syari’at dengan kenyataan tabligh yang telah
diperankan oleh anbi serta bertentangan dengan sabdanya : “aku
tinggallkan kamu pada jalan yang terang. malamnya bagaikan siang”
3. mengambil dalil maslahat tanpa berpegang pada nash terkadang akan
berakibat kepada suatu penyimpangan ari hukum syari’at dan tindakan
kelaliman terhadap rakyat dengan dalil maslahat, sebagaimana yang
dilakukan oleh sebagian raja-raja yang lalim. dalam hubungan ini ibnu
taimiyah berkata “ hal tersebut itinjau ari segi kemaslahatan akan
menimbulkan kegoncangan besar dalam irisan agama. sejumlah besar
ari masyarakat melihat adanya maslahat lalu menjalankannya,
berdasarkan paa prinsip tersebut (mengambil maslahat tanpa
berpegang pada nash). diantara maslahat- maslahat itu kaangkala
sebenarnya merupakan larangan syara’ yang tidak diterima atau
iketahui, kadangkala mereka mengajukan dalam maslahat mursalah
ungkapan (kalam) yang brlawanan dengan nash. malahan diantara
maslahat mursalah yang diambil, banyak yang mengesampingkan
maslahat-maslahat yang wajib iterima menurut syara’, atas dasar

18
anggapan bahwa syara’ tidaak menerangkan hal itu sehingga berbagai
kewajiban dan perbuatan sunah ditinggalkan, atau bahkan jatuh
kedalam perbuatan terlarang atau yang makruh. kadangkala juga syara’
menerangkan hal itu, tetapi tidak diketahuinya”
4. seandainya kita memakai maslahat sebagai sumber hukum pokok yang
berdiri sendiri, niscahya hal itu akan menimbulkan terjadinya
perbedaan hukum akibat perbedaan negara, bahkan perbedaan
pendapat perorangan dalam satu perkara. i suatu negara, perkara
tersebut tergolong haram karena dipandang mengandung
kemadharatan, sementara di negara lain tergolong halal karena
dipandang mengandung manfaat. atau haram karena mengandung
mudharat menurut sebagian orang, dan halal menurut orang lain.
padahal tidak demikian seharusnya syari’at yang berlaku universal
sepanjang zaman. (Zahrah, 2014)3

3
Zahrah, P. M. (2014). USHUL FIQIH. Jakarta: Pustaka Firdaus.

19
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Mashlahah mursalah terdiri dari dua kata yang hubungan keduanya
dalam bentuk sifat-maushuf, atau dalam bentuk khusus yang menunjukan
bahwa ia merupakan bagian dari al mashlahah. Bahwa sikap ulama
mengenai penggunaan metode mashlahah mursalah dalam berijtihad
terbagi dalam dua kelompok. Pertama, kelompok yang menolak
penggunaan mashlahah mursalah, yang oleh al-Amidhi digolongkan
kepada mayoritas (jumhur) ulama. Kedua, kelompok yang menerima
kemungkinan melakukan ijtihad dengan menggunakan mashlahah
mursalah.
 Pembagian Maslahah
Ulama Usul membagi maslahah kepada tiga bagian yaitu:
1. Maslahah “dar’ul-mafasid
2. Maslahah “Jalbul masalih”
3. Tahsiniyaat
 Kehujjahan maslahat mursalah yang memperkuat penerapannya :
1. praktek sahabat yang telah menggunakan maslahat
mursalah.
2. adanya maslahat sesuai dengan maqasid as-syar’i (tujuan-
tujuan syar’i).
3. seandainya maslahat tidak diambil pada setiap kasus yang
jelas mengandung maslahat selama berada dalam konteks
maslahat-maslahat syar’iyyah.

20
DAFTAR PUSTAKA

Dr. H. Saifudin Zuhri, M. (2009). USHUL FIQIH. Yogyakarta: PUSTAKA


PELAJAR.

Syarifuddin, P. D. (2014). USHUL FIQH. Jakarta: KENCANA


PRENADAMEDIAGROUP.

Zahrah, P. M. (2014). USHUL FIQIH. Jakarta: Pustaka Firdaus.

21

Anda mungkin juga menyukai