Konsep Roh Dalam Filsafat Islam
Konsep Roh Dalam Filsafat Islam
Konsep Roh Dalam Filsafat Islam
Syarifah Faradiba1
ABSTRAK
Penelitian ini merupakan penelitian perpustakaan yang menjelaskan beberapa pemikiran filosof muslim tentang roh, banyak
pemikiran dalam memahami keesaan Allah yang diambil berbagai aliran dalam islam. Berbicara tentang roh dalam dunia islam sudah ada
sejak munculnya aliran – aliran di dalam sejarah filsafat Islam diawali dengan runtuhnya peradaban Yunani Romawi dan adanya gerakan
penerjemahan esensi dari pemikiran Yunani dan diperkaya para filsuf muslim juga terpengaruh oleh pemikiran Yunani dalam membahas roh
sehingga filsafat islam diwakili oleh Ibnu Rusyd terlibat dalam perdebatan akademik dengan Al-Ghazali.
ABSTRACT
Filsafat sebagian besar dari pengetahuan yang bisa dipahami melalui dua sisi yaitu,
proses dan pemikiran begitu juga dengan filsafat Islam sebagai proses yang merupakan
kegiatan berpikir Islami yang mendalam dan berusaha secara kritis untuk menelusuri segala
persoalan secara sistematis dan logis. Orang – orang yang bekerja dalam bidang pengobatan
juga memberikan soal roh karena ada pertaliannya dengan cara mengobati penyakit, antara
lain ada filosof Al-Razi dan Ibnu Haitsam. Akan tetapi pembahasan roh yang khusus karena
keilmuan baru didapati pada Al-Kindi yang menulis bermacam – macam karangan “teori
akal” yang merupakan titik tolak kemajuan pembahasan dalam dunia Islam dan menarik ahli
pikir dunia sepanjang abad pertengahan. Mengulas pemikiran dari para filosof muslim yang
1
Mahasiswa Aktif Semester V Aqidah dan Filsafat Islam C Fakultas Ushuluddin Dan Studi Islam
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara
1
menghasilkan beberapa pemikiran sangat berharga Oleh karena itu, pembahasan tentang roh
ini ada beberapa dari filosof muslim antara lain Al-Kindi, Al-Ghazali dan lain sebagainya.
2
Ahmad hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,1996), hlm. 94.
3
Harun Nasution, Falsafat Agama, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1991), hlm. 82-83.
4
Ahmad hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,1996), hlm. 112.
2
mendefenisikan roh dengan substansi yang unik, abadi, tidak membesar, dan memiliki
kesadaran. Inilah memperjelas bahwa dia dengan tajam memedakan hidup dari ruh.5
5
Ali Mahdi, Khan, Dasar – Dasar Filsafat Islam, (Bandung: Nuansa Cendikia, 2010), hlm.62.
6
Harun Nasution, Falsafat Agama, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1991), hlm. 87.
3
melekatnya sifat pada apa yang disifati, seperti warna biru pada laut atau ilmu
pengetahuan pada ahlinya. Tetapi roh itu adalah jauhar (subtansi) yaitu suatu yang
wujud berdiri sendiri, roh mempunyai kesadaran sendiri dan akan Tuhan yang
menciptakannya.
Roh ini juga diartikan “baharu” suatu yang mulanya tidak ada, lalu diadakan
oleh Tuhan. Hakikat roh tidak diketahui oleh siapapun tidak pula dapat dianalisa, roh
tidak tergantung pada tempat tanpa tempat pun ia akan hidup. Roh ketika dalam tubuh
tidak sama dengan keberadaan air dalam gelas yang mana bila gelas pecah maka air
akan tumpah, roh tidak lah demikian, tubuhnya hancur tetapi roh tetap utuh tidak
kurang suatu apapun. Hakikat roh ini hanya Allah saja yang tahu dan ini juga rahasia
Allah yang tidak bisa dipelajari oleh siapapun, sekalipun Nabi dan Rasul Allah
sendiri.
Firman Allah dalam surah Al Isra’ 85
“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang roh katakanlah bahwa roh adalah urusan
(rahasia) Tuhanku. Dan tidaklah diberikan ilmu pengetahuan kepadamu kecuali hanya
sedikit”. (Q.S Al Isra’: 85)
7
Asyharie, Falsafat Hidup Manusia, (Surabaya: PUTRA PELAJAR, 2003), hlm. 34-35.
8
Zaprulkhan, Filsafat Islam Sebuah Kajian Tematik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm. 27.
4
dari keinginan – keinginan akal. Al-kindi menentang materialisme dan ia menulis
sebuah risalah khusus tentang akal dan dunia materi, ada dunia roh dan roh manusia
adalah sebuah emanasi darinya. Roh kita ialah esensi yang terpisah dan kekal, ia
berada di dunia akal sebelum turun ke dunia inderawi. Oleh karena itu, roh manusia
memiliki dua keterkaitan yang lebih tinggi dan yang lebih rendah.
Roh bersatu dengan jasad dalam aktivitasnya dan roh juga berkaitan dengan
dunia inderawi dan dunia materi, tetapi esensinya bersifat spiritual sehingga terkait
dengan eksistensi yang lebih tinggi (akal).9
Ada 2 perantara roh manusia memperoleh pengetahuan yang sebenarnya:
1. Pengetahuan pancaindera, ia hanya mengenai lahir – lahir, saja dalam hal ini
manusia dan binatang sama.
2. Pengetahuan akal, merupakan hakekat – hakekat dan hanya diperoleh oleh
manusia tetapi dengan syarat ia harus melepaskan dirinya dari sifat binatang
yang ada dalam tubuhnya. Yang dimaksud dengan melepaskan diri dari sifat
ini ialah dengan meninggalkan dunia dan berfikir serta berkontemplasi tentang
wujud. Tetapi kalau roh kotor, maka sama halnya dengan cermin yang kotor
yang tidak bisa menerima pengetahuan yang dipancarkan oleh cahaya yang
berasal dari Tuhan. 10
Roh bersifat kekal dan tidak hancur dengan hancurnya badan ia tidak akan
hancur karena substansinya berasal dari substansi Tuhan, ia adalah cahaya yang
dipancarkan Tuhan selama dalam badan. Roh tidak memperoleh kesenangan yang
sebenarnya dan pengetahuannya tidak sempurna. Hanya setelah bercerai dengan
badan roh pergi ke alam kebenaran atau alam akal diatas bintang – bintang dalam
lingkungan cahaya Tuhan, dekat dengan Tuhan dan dapat melihat Tuhan, disinilah
terletak kesenangan abadi dari roh.11 Potensi roh manusia yaitu kapasitas memperoleh
pengetahuan, roh pada tahap ini hanya mampu memperoleh pengetahuan tetapi belum
memperoleh pengetahuan apa pun seperti pengetahuan terpendam dalam roh, tetapi
belum memanifestasikan diri.12
9
Ali Mahdi, Khan, Dasar – Dasar Filsafat Islam, (Bandung: Nuansa Cendikia, 2010), hlm.50.
10
Abdul Qadir Djaelani, Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 2013), hlm. 130.
11
Zaprulkhan, Falsafat Islam Sebuah Kajian Tematik, (Jakarta: PT RAJA GRAFINDO, 2014), hlm.
28.
12
Affifi, FILSAFAT MISTIS‘Ibnu Arabi, (Jakarta: PT Gaya Media Pratama,1995), hlm.167.
5
D. Roh menurut Al-Razi
Abu Bakar Muhammad Ibn Zakaria Al-Razi lahir di Ray kota di dekat
Teheran, tahun 863 M dan wafat pada tahun 925 M. Ia pernah menjadi direktur rumah
sakit Ray dan Baghdad, ia terkenal di barat dengan nama Rhazes dari bukunya tentang
ilmu kedokteran karangannya yang terkenal “cakar dan campak” yang diterjemahkan
dalam bahasa Eropa dan di tahun 1866 masih dicetak untuk kali ke-40. Al-Hawi
(comprehensive book) merupakan ensiklopedia tentang ilmu kedokteran yang tersusun
lebih dari 20 jilid, dan mengandung ilmu – ilmu kedokteran Yunani, Siria, dan Arab
di tahun 1279 M ensiklopedia ini diterjemahkan ke dalam bahasa latin oleh seorang
Yahudi di Sisilia bernama Faraj Ibn Salim semenjak 1486 M dan berkali – kali
dicetak, dipakai di Eropa sampai abad XVII M.
Al-Razi membuat perbedaaan antara zaman mutlak dan zaman terbatas yaitu
antara al-dahr (durasi) dan al-waqt (waktu) yang pertama kekal dalam arti tidak
bermula dan tidak berakhir dan yang kedua disifati oleh angka, bagi benda (being)
kelima hal ini yaitu:
1) Materi: merupakan apa yang ditangkap dengan pancaindera tentang benda itu.
2) Ruang: karena materi mengambil tempat.
3) Zaman: karena materi berubah – ubah keadannya.
4) Diantara benda – benda ada yang hidup oleh karena itu perlu adanya roh dan
diantara yang hidup ada pula yang berakal yang dapat mewujudkan ciptaan –
ciptaan yang teratur.
5) Semua ini perlu pencipta Yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu.
Menurut Al-Razi Tuhan pada mulanya tidak berniat membuat alam ini, tetapi
pada suatu ketika roh tertarik pada materi pertama, bermain materi pertama itu tetapi
materi pertama itu berontak. Tuhan datang menolong roh dengan membantu alam ini
dalam susunan yang kuat sehingga roh dapat mencari kesenangan materi didalamnya,
Tuhan mewujudkan manusia dan dalamnya roh mengambil tempat. Terikat pada
materi, roh ini lupa pada asalnya dan lupa bahwa kesenangan yang sebenarnya bukan
terletak dalam persatuan materi tetapi dalam melepaskan diri dari materi. Oleh karena
itu, Tuhan mewujudkan akal dari zat Tuhan sendiri yang mana tugas akal untuk
menyadarkan manusia yang terpedaya oleh kesenangan materi, bahwa alam materi ini
bukan alam yang sebenarnya.
6
Menurut Al-Razi bahwa Tuhan tidak menciptakan dunia lewat desakan
apapun tetapi Ia memutuskan penciptaanNya setelah pada mulanya tidak berkehendak
untuk menciptakannya. Siapakah yang membuat untuk melakukan demikian itu? Di
sini mestinya harus ada keabadian lain yang membuat ia memutuskan. Apakah
keabadian itu? Demikian menurut Al-Razi.13 Keabadian lain adalah roh yang hidup,
tetapi ia bodoh dan materi juga kekal karena kebodohannya roh mencintai materi dan
membuat bentuk darinya untuk memperoleh kebahagiaan materi. Tetapi materi
menolak, sehingga Tuhan campur tangan untuk membantu roh, dengan bantuan inilah
Tuhan membuat dunia dan menciptakan di dalamnya bentuk –bentuk yang kuat
didalamnya roh memperoleh kebahagiaan jasmani, kemudian Tuhan menciptakan
manusia menyadarkan roh dan menunjukkan kepadanya bahwa dunia ini bukanlah
dunia yang sebenarnya dalam arti haqiqi.14
13
Ahmad Daudy, ALLAH DAN MANUSIA. (Jakarta: CV Rajawali, 1994), hlm.141.
14
Abu Ahmadi, Filsafat Islam Edisi Revisi, (Semarang: Toha Putra, 1997), hlm. 171.
15
Harun Nasution, Falasafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), hlm. 34.
7
2. Roh binatang mempunyai dua daya, yaitu daya gerak dan daya mengetahui.
Daya mengetahui dibagi menjadi dua bagian:
a. Mengetahui dari luar dengan panca indra.
b. Mengetahui dari dalam dengan panca indra batin yang terdiri 5 bagian
indra:
1) Indra bersama, menerima segala apa yang ditangkap oleh panca
indra luar.
2) Indra khayal, menyimpan apa yang diteruskan kepadanya oleh
indra bersama.
3) Indra imaginasi, menyusun apa yang diterima indra khayal.
4) Indra wahmiyah, melepaskan arti dari gambaran – gambaran
yang diperoleh dari indra imaginasi.
5) Indra pemelihara, menyimpan arti – arti yang diteruskan oleh
indra wahmiyah.
3. Roh manusia mempunyai dua daya, praktis dan teoritis.Daya teoritis
mempunyai 4 tingkatan yaitu:
a. Akal material, mempunyai potensi absolut untuk berfikir secara
abstrak.
b. Akal al-malakat yang mulai dilatih untuk berfikir secara abstrak
c. Akal aktual yang dapat berfikir secara abstrak.
d. Akal mustafad (perolehan) yang sanggup berfikir secara abstrak tanpa
daya upaya.16
Sifat seseorang tergantung pada roh yang mana roh tumbuh – tumbuhan, binatang,
dan manusia yang berpengaruh pada dirinya jika roh tumbuh – tumbuhan dan binatang yang
berkuasa pada dirinya maka seseorang itu menyerupai binatang, tetapi jika roh manusia yang
mempengaruhi atas dirinya maka seseorang itu akan meyerupai malaikat dan dekat dengan
kesempurnaan. Dalam hal ini, daya praktis mempunyai peran penting untuk mengontrol hawa
nafsu sehingga tidak menghalangi daya teoritis untuk membawa manusia ke tingkatan yang
tinggi dalam usaha mencapai kesempurnaan.17
Menurut Ibn Sina roh manusia terdapat unit yang tersendiri dan mempunyai wujud
yang terlepas dari badan, roh manusia ini timbul dan tercipta dari tiap kali yang ada badan.
16
Endang Saifuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1985), hlm. 140.
17
Zaprulkhan, Falsafat Islam Sebuah Kajian Tematik, (Jakarta: PT RAJA GRAFINDO, 2014), hlm. 38.
8
Roh manusia tidak mempunyai fungsi – fungsi fisik dan tidak pula berhajat pada badan untuk
menjalankan tugasnya sebagai daya berfikir, roh berhajat pada badan, karena pada permulaan
wujud badanlah yang menolong roh manusia untuk dapat berfikir. Roh manusia berlainan
dengan roh binatang dan roh tumbuhan yang kekal, jika roh manusia telah mencapai
kesempurnaan sebelum ia berpisah dengan badan maka ia selamanya akan berada dalam
kesenangan dan jika ia berpisah dengan badan dalam keadaan tidak sempurna, karena masa
bersatu dengan badan selalu dipengaruhi oleh hawa nafsu dan hidupnya dalam keadaan
menyesal untuk selama – lamanya di akhirat.18
Setelah adanya roh Ibn Sina berusaha untuk mengetahui dan menjelaskan hakikatnya,
ia mengulang-ulang pertanyaan Aritoteles “roh itu merupakan kesempurnaan aksiomatik bagi
jiwa spontanitas” Jadi, roh itu adalah bentuk tubuh, padahal bentuk itu akan sirna dengan
sirnanya materi yang ditempatinya. Oleh karena itu, Ibn Sina harus berpendapat bahwa roh
adalah substansi dan spiritual, dikatakan substansi karena ia bisa ada dengan sendirinya dan
dikatakan spiritual karena ia bisa mempresepsi kategori – kategori. Sedangkan kategori tidak
ada dalam roh maupun tubuh, disini Ibn Sina cenderung ke arah Platonisme walaupun ia
berpendapat bahwa roh itu pada dasarnya substansi dan jika dilihat dari hubungannya dengan
tubuh seolah – olah ia ingin memadukan Aristoteles dengan Plato, walaupun perpaduan ini
sulit dilakukan.19
Pengaruh Ibn Sina dalam soal roh tidak dapat diremehkan, baik dunia pikir Arab sejak
abad kesepuluh Masehi sampai akhir abad ke 19 Masehi bahkan ada juga pertaliannya
dengan pikiran – pikiran Decrates tentang hakikat roh dan wujudnya.20 Lapangan kejiwaan
Ibn Sina lebih banyak menarik perhatian masa modern daripada segi filsafatnya. Apabila
sesorang sedang membicarakan tentang dirinya atau mengajak bicara kepada orang lain,
maka yang dimaksudkan ialah roh nya bukan badannya. Jadi ketika kita mengatakan “saya
keluar atau saya tidur” maka bukan gerak kaki atau pejam mata yang dimaksudkan, tetapi
hakikat kita dan seluruh pribadi kita. Pada kata – kata tersebut kita bisa pikirkan tentang saya
yang menjadi bahan pembahasan ulama – ulama jiwa modern, pribadi atau saya bukanlah
kadar dan peristiwa – peristiwanya yang dimaksud melainkan roh dan kekuatan –
kekuatannya.21
18
Harun Nasution, Falsafat Agama, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1991), hlm. 85.
19
Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), hlm.285.
20
Iqbal Irham, Rasa Ruhani, (Jakarta: La Tansa Press, 2011), hlm. 24.
21
Ahmad hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hlm. 127.
9
KESIMPULAN
Para Filsuf Islam pada umumnya sangat dipengaruhi oleh Aristoteles dalam upaya
membuat definisi roh, Al-Farabi mengemukakan definisi roh adalah forma jasad akan tetapi
ia tidak menyetujui Aristoteles yang mengatakan “jiwa bersatu dengan jasad secara esensial
seperti halnya forma bersatu dengan materi”. Ibn Sina terpengaruh dengan Aristoteles dalam
masalah tersebut dan ia mengikuti perubahan yang dilakukan Al-Farabi tentang pengertian
forma yang dibuat Aristoteles, Al-Ghazali banyak mengikuti teori Aristoteles dan Ibn Sina
dengan memberikan berbagai penjelesan yang terperinci. Seperti halnya Ibn Sina dan Al-
Ghazali membagi jiwa itu menjadi tiga bagian, yaitu jiwa tumbuh – tumbuhan, jiwa hewani,
dan jiwa insani.
Dari ungkapan tersebut jelas menunjukkan bahwa para filsuf Islam sangat terpengaruh
dengan Aristoteles, dengan mengambil alih definisinya secara harfiyah, namun hal yang
menyangkut tentang hakikat jiwa sebagai forma seperti yang dikatakan Aristoteles dan
memihak kepada Plato yang tegas mengatakan, “jiwa itu jauhar ruhani yang berdiri sendiri.”
Berbeda dengan Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Ghazali dan Al-Kindi yang mengatakan bahwa
“jiwa insani itu jauhar insani”. tidak berbeda dengan itu pendapat sebagian ahli sufi yang
mengatakan, roh itu adalah jauhar maddiy (jauhar materi) yang berasal dari tabi’at Ilahi, dan
cenderung untuk kembali ke asal semula. Mereka pada umumnya membedakan jiwa dengan
roh, jiwa itu sumber akhlak tercela sedangkan roh adalah sumber akhlak mulia dan terpuji.
10
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Suryadi, Rudi. 2015. Dimensi – Dimensi Manusia Perspektif Pendidikan Islam
. Yogyakarta: Deepublish.
Ahmadi, Abu, dkk. 2014. Filsafat Islam Edisi Revisi. Semarang: Toha Putra.
Anshari, Endang Saifuddin. 1985. Ilmu, Filsafat dan Agama. Surabaya: PT Bina Ilmu.
Anwar, Moch. 1997. Kekuatan Ghaib Dibalik Alam Jang Njata. Bandung: Peladjar.
Basalamah, Shaleh Yahya. 1993. Manusia dan Alam Ghaib. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Khan, Ali Mahdi. 2010. DASAR – DASAR FILSAFAT ISLAM. Bandung: NUANSA.
11
Madkour, Ibrahim. 1995. Aliran dan Teori Filsafat Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Nasution, Harun. 1973. FALSAFAT DAN MISTISME Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Yasir, Muhammad. 1996. Manusia Menurut Al-Ghazali. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Zaini, Syahminan. 2008. Hakekat Agama dalam Kehidupan Manusia. Surabaya: Al-Ikhlas.
Zaprulkhan. 2014. FILSAFAT ISLAM Sebuah kajian Tematik. Jakarta: Rajawali Pers.
12