Bab 1 Sampai Bab 4 Baru Sovia

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 51

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tindakan pemasangan infus merupakan salah satu tindakan prosedur

invasif yang dapat menimbulkan nyeri (Irmayani, 2018). Menurut IASP

(Internasional Asssociation for Study of Pain), Nyeri merupakan suatu perasaan

atau pengalaman yang tidak nyaman baik secara sensori maupun emosional yang

dapat ditandai dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial (Immerta, 2018 &

Susan, 2015). Anak yang menjalani perawatan di Rumah Sakit pada dasarnya

memberikan respon penerimaan yang buruk ketika dilakukan tindakan injeksi

intravena dalam pemasangan infus, diantaranya anak menjadi lebih agresif dan

tidak kooperatif dengan petugas kesehatan. Kondisi ini mempersulit perawat

dalam melaksanakan tindakan keperawatan (Susilo, 2019).

Perlu upaya meningkatkan respons penerimaan anak terhadap injeksi

intravena dalam pemasangan infus agar anak dapat memberikan respons baik

selama injeksi berlangsung, salah satu caranya adalah dengan menggunakan

teknik pengalihan perhatian nyeri pada anak saat dilakukan pemasangan infus atau

yang biasa disebut dengan teknik distraksi, namun tidak semua perawat

menerapkan teknik tersebut. Teknik distraksi audiovisual berupa menonton kartun

juga jarang dilakukan untuk mengurangi nyeri saat dilakukan pemasangan infus

pada anak usia toddler (1-3 tahun). Padahal, manajemen nyeri sangat penting

dilakukan oleh seorang perawat terutama nyeri pada anak saat dilakukan

pemasangan infus (Sarfika, Yani, & Winda, 2015) (Susilo, 2019).

1
2

Meskipun terdapat banyak bukti dalam penelitian nyeri pediatrik,

manajemen nyeri prosedural pada anak-anak tetap kurang optimal, terutama di

departemen darurat (Ali et al, 2014 ; Trottier, Ali, Le May, & Gravel, 2015).

Temuan dari studi PAMPER tentang praktik manajemen nyeri, perawat

mengungkapkan bahwa hanya 26,7% (40 dari 150) anak yang datang ke UGD

dengan nyeri sedang hingga berat menerima analgesik dan hanya 16,7% (25 dari

150) yang diberikan intervensi non farmakologis. Demikian pula, hasil dari audit

provinsi dari semua praktik dan kebijakan manajemen nyeri pediatrik menemukan

bahwa hanya 29,3% (17 dari 58) dari departemen darurat membutuhkan

dokumentasi nyeri wajib dan 16,7% (10 dari 60) di antaranya memiliki perawat

yang memulai protokol nyeri (Ali, et al, 2014). Kendala waktu, kurangnya aturan

atau kebijakan, staf pendidikan, dan kebutuhan akan lebih banyak pilihan

pengobatan dan pemberian pendidikan orang tua adalah beberapa diantaranya

hambatan utama untuk manajemen nyeri pediatrik yang optimal di UGD (Susan,

2015).

Sebuah studi cross-sectional deskriptif di antara 252 anak-anak di UGD

melaporkan bahwa 80,4% (369 dari 459) dari prosedur pemasangan infus yang

diberikan kepada anak-anak sangatlah menyakitkan Di antara prosedur ini, insersi

kateter IV perifer dinilai sebagai prosedur yang paling menyakitkan (46,3%)

(Susan, 2015). Berdasarkan hasil survey observasi pada tanggal 30 November

2019 di UGD RSI Jemursari Surabaya, setelah diamati dari 4 anak usia toodler (1-

3 tahun) yang dilakukan pemasangan infus hanya diberikan tindakan komunikasi

terapeutik oleh perawat di UGD RSI Jemursari Surabaya.

Berdasarkan Gate Control Theory pada saat perawat melakukan

pemasangan infus maka akan merangsang serabut syaraf kecil (reseptor nyeri)
3

sehingga menyebabkan inhibitory neuron tidak aktif dan gerbang terbuka

sehingga merasakan nyeri pada saat dilakukan pemasangan infus. Maka dari itu

disini saya ingin memberikan teknik distrasksi media audiovisual berupa

menonton film kartun yang akan mendistribusikan dan mengalihkan perhatian

nyeri pada anak, hal ini dapat merangsang serabut syaraf besar, menyebabkan

inhibitory neuron dan projection neuron aktif, inhibitory neuron memblok

transmisi impuls nyeri melalui sirkuit gerbang penghambat, sel-sel inhibitor dalam

kornu dornalis medula spinalis mengandung eukafalin yang menghambat nyeri,

sehingga tidak terjadi nyeri pada saat pemasangan infus berlangsung (Endang,

2019 & Irmayani 2018).

Mengurangi intensitas nyeri merupakan kebutuhan dasar dan hak dari

setiap anak. Profesional kesehatan sebaiknya memiliki kemampuan untuk

mencoba berbagai intervensi untuk mengontrol intensitas nyeri. Dalam

penatalaksanaan nyeri biasa digunakan manajemen nyeri baik secara farmakologis

dengan menggunakan analgetik dan narkotik maupun non farmakologis seperti

teknik distraksi, teknik relaksasi dan teknik stimulasi kulit. Namun, sebaliknya

tindakan non farmakologis harus di dahulukan dari pada tindakan farmakologis.

Karena tindakan non farmakologis lebih ekonomis, lebih adekuat dalam

mengontrol nyeri dan tidak ada efek samping. Hal ini dilakukan dengan harapan

anak tidak mengalami trauma psikologis dan melakukan penolakan terhadap

tindakan invasif pada saat pemasangan infus (Asriani, 2017) (Irmayani, 2018).

Intervensi non farmakologis dalam mengatasi nyeri pada anak paling

efektif bila disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak. Pada anak usia

toddler teknik distraksi audiovisual sangat efektif digunakan untuk mengalihkan

nyeri, hal ini disebabkan karena distraksi audiovisual merupakan metode atau
4

teknik yang dapat digunakan untuk mengurangi nyeri dengan mengalihkan

perhatian anak dari nyeri saat dilakukan pemasangan infus (Asmadi. 2008). Salah

satu teknik distraksi yang dapat dilakukan pada anak dalam pentalaksanaan nyeri

adalah menonton kartun (Wong, 2009). Ketika anak lebih fokus pada kegiatan

menonton film kartun, hal tersebut membuat impuls nyeri akibat adanya cedera

tidak mengalir melalui tulang belakang, pesan tidak mencapai otak sehingga anak

tidak merasakan nyeri pada saat dilakukan pemasangan infus (Immerta, 2018).

Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti mencoba untuk mengembangkan

penelitian tentang “pengaruh teknik distraksi dengan media audiovisual terhadap

penurunan nyeri pada anak usia toddler (1-3 tahun) saat dilakukan pemasangan

infus di RSI Jemursari Surabaya.

B. Pembatasan Masalah
Faktor-faktor yang yang mempengaruhi nyeri yaitu usia, pengetahuan,

jenis kelamin, pengalaman nyeri sebelumnya, temperamen, faktor budaya, dan

keluarga, faktor situasional, arti nyeri, persepsi nyeri, toleransi nyeri, reaksi nyeri,

harapan, dan placebo. Berdasarkan uraian latar belakang, maka dalam penelitian

ini peneliti membatasi tentang pengaruh pemberian teknik distraksi media

audiovisual terhadap penurunan nyeri pada anak usia toddler (1-3 tahun) saat

dilakukan pemasangan infus di RSI Jemursari.

C. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan

“Adakah pengaruh teknik distraksi media audiovisual terhadap penurunan nyeri

pada anak usia toddler (1-3 tahun) saat dilakukan pemasangan infus di RSI

Jemursari Surabaya.

D. Tujuan Masalah
1. Tujuan umum
5

Mengetahui pengaruh teknik distraksi media audiovisual terhadap

penurunan nyeri pada anak usia toddler (1-3 tahun) saat dilakukan pemasangan

infus di RSI Jemursari Surabaya.

2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi pengaruh sesudah diberikan teknik distraksi audiovisual

terhadap penurunan nyeri pada anak usia toddler (1-3 tahun) saat dilakukan

pemasangan infus.
b. Mengidentifikasi pengaruh sesudah diberikan intervensi oleh perawat di

ruangan terhadap penurunan nyeri pada anak usia toddler (1-3 tahun) saat

dilakukan pemasangan infus.


c. Menganalisis pengaruh teknik distraksi audiovisual dan intervensi yang ada

diruangan terhadap penurunan nyeri pada anak usia toddler (1-3 tahun) saat

dilakukan pemasangan infus.

E. Manfaat Penelitian
1. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi bagi ilmu

keperawatan anak dan perawat di Rumah Sakit tentang pentingnya pemberian

manajemen nyeri non farmakologis pada anak saat dilakukan pemasangan infus di

Rumah Sakit, dan Memberikan sumbangan bagi peekembangan ilmu

pengetahuan, juga sebagai bahan kajian bagi penelitian selanjutnya dan

dokumentasi ilmiah sehingga hasilnya akan lebih luas dan mendalam.

2. Praktisi
a. Bagi Peneliti

Peneliti mendapatkan pengalaman langsung dalam melakukan penelitian

dan dapat mengaplikasikan teori dengan kenyataan yang terjadi di lapangan.


6

b. Bagi Perawat

sebagai referensi yang nantinya akan diajakan bahan acuan dalam rangka

meningkatkan mutu pemberian pelayanan kesehatan dan asuhan keperawatan

khususnya keperawatan anak.

c. Bagi Universitas NU Surabaya

Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu literatur atau

referensi untuk penelitian selanjutnya.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Anak Usia Toddler


1. Pengertian Anak Usia Toddler
Anak usia toddler adalah anak usia 12-36 bulan (1-3 tahun). Pada periode

ini anak berusaha mencari tahu bagaimana sesuatu bekerja dan bagaimana

mengontrol orang lain melalui kemarahan, penolakan, dan tindakan keras kepala.

Hal ini merupakan periode yang sangat penting untuk mencapai pertumbuhan dan

perkembangan intelektual secara optimal (Perry, 1998).


2. Ciri-ciri Umum Anak Usia Toddler
Ciri-ciri umum pada anak usia toddler yaitu sebagai berikut :
a. Tinggi dan berat badan meningkat, yang menggambarkan pertumbuhan

mendorong dan melambatkan karakteristik masa toddler.


b. Karakteristik toddler dengan menonjolnya abdomen yang tidak berkembang.
c. Bagian kaki berlawanan secara khas terdapat pada amsa toddler karena otot-

otot kaki harus menopang berat badan tubuh (Rizki, 2015).


3. Perkembangan Kognitif Toddler (Menurut Piaget)
7

Menurut Piaget, perkembangan kognitif anak toddler berada pada tahap

pra-operasional (2-7 tahun). Tahap ini ditandai oleh adanya pemakaian kata-kata

lebih awal dan memanipulasi simbol-simbol yang menggambarkan objek atau

benda an hubungan diantara mereka. Tahap pra-operasional juga ditandai oleh

beberapa hal, antara lain : egosentrisme, ketidakmatangan pikiran tentang sebab-

sebab dunia di fisik, kebingungan antar simbol dan objek yang mereka wakili,

kemampuan untuk fokus pada satu dimensi pada satu waktu dan kebingungan

tentang identitas orang dan objek (Rizki, 2015).


4. Perkembangan Bahasa Usia Toddler

Tabel 2.1 Perkembangan Bahasa Usia Toddler

Usia Uraian
15 bulan Anak menggunakan istilah yang ekspresif.
2 tahun Anak bisa menggunakan 300 kata, menggunakan 2 atau 3
suku kata (frase) dan menggunakan kata ganti.
2,5 tahun anak menyebutkan nama panggilan dan nama lengkapnya,
anak juga menggunakan kata jamak.

5. Perkembangan psikososial (Menurut Erikson)


Menurut Erikson, tahap psikososial anak toddler berada pada tahap ke-2

otonomi vs perasaan malu dan ragu-ragu. Masa ini disebut masa balita yang

berlangsung mulai 1-3 tahun (early childhood). Tahap ini merupakan tahap anus

otot (anal/ mascular stages). Pada masa ini anak cenderung aktif dalam segala hal,

sehingga orang tua dianjurkan untuk tidak terlalu membatasi ruang gerak serta

kemandirian anak, namun tidak pula terlalu memberikan kebebasan melakukan

apapun yang dia mau. Pembatasan ruang gerak pada anak dapat menyebabkan

anak akan mudah menyerah dan tidak dapat melakukan segala sesuatu tanpa

bantuan orang lain. Sebaliknya, jika anak terlalu diberi kebebasan mereka akan

cenderung bertindak sesuai yang dia inginkan tanpa memperhatikan baik

buruknya tindakan tersebut. Jadi, pada usia ini orang tua harus seimbang dalam

mendidik anak antara pemberian kebebasan dan pembatasan ruang gerak anak,
8

karena dengan cara itulah anak bisa mengembangkan sikap kontrol diri dan harga

diri.

Anak usia 1-3 tahun (toddler) mulai untuk menguasai individualisasi,

seperti membedakan diri sendiri dengan orang lain, pemisahan dari orang tua,

mengontrol pada fungsi tubuh, berkomunikasi dengan kata-kata, kemahiran

perilaku yang dapat diterima secara sosial dan interaksi egosentris dengan orang

lain. Rasa malu dan ragu-ragu dapat berkembang jika anak usia balita ini tetap

ketergantungan di area-area dimana ia mampu menggunakan keterampilan-

keterampilan yang baru didapat atau jika membuatnya merasa tidak memadai

pada waktu berusaha terhadap keterampilan baru (Rizki, 2015).


6. Perkembangan Moral (Menurut Kohlberg)
Moral (bahasa latin : Moralitas) adalah istilah manusia menyebut ke

manusia atau orang lainnya dalam tindakan yang mempunyai nilai positif.

Sedangkan moral secara eksplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses

sosialisasi individu, tanpa moral manusia tidak bisa melalukan proses sosialisasi.
Lawrence Kohlberg menekankan bahwa perkembangan moral didasarkan

terutama pada penalaran moral dan berkembang secara bertahap. Tahap-tahap

perkembangan moral menurut Kohlberg terdiri dari 3 tingkat, yang masing-

masing tingkat terdiri dari 2 tahap, yaitu :


a. Tingkat Pra Konvensional (Moralitas Pra Konvensasi) : perilaku anak tunduk

pada kendali eksternal.


1) Tahap 1 : orientasi pada kepatuhan dan hukuman -) anak melakukan sesuatu

agar memperoleh hadiah (reward) dan tidak mendapat hukuman

(punishment).
2) Tahap 2 : Relativistik Hedonism -) anak tidak lagi secara mutlak tergantung

aturan yang ada. Mereka mulai menyadari bahwa setiap kejadian bersifat

relatif dan anak lebih berorientasi pada prinsip kesenangan. Menurut

Mussen, dkk orientasi anak masih bersifat individualistis, egosentris dan

konkrit.
9

b. Tingkat Konvensional (Moralitas Konvensional) : fokusnya terletak pada

kebutuhan sosial (konformitas).


1) Tahap 3 : orientasi mengenai anak yang baik -) anak memperlihatkan

perbuatan yang dapat dinilai oleh orang lain.


2) Tahap 4 : mempertahankan norma-norma sosial dan otoritas -) menyadari

kewajiban untuk melaksanakan norma-norma yang ada dan

mempertahankan pentingnya keberadaan norma, artinya untuk dapat hidup

secara harmonis, kelompok sosial harus menerima peraturan yang telah

disepakati bersama dan melaksanakannya.


c. Tingkat Post Konvensional (Moralitas Post Konvensional) : individu

mendasarkan penilaian moral pada prinsip yang benar secara inheren.


1) Tahap 5 : orientasi pada perjanjian antara individu dengan lingkungan

sosialnya -) pada tahap ini ada hubungan timbul balik antara individu

dengan lingkungan sosialnya, artinya bila seseorang melaksanakan

kewajiban yang sesuai dengan tuntutan norma sosial, maka ia berharap akan

mendapatkan perlindungan dari masyarakat.


2) Tahap 6 : prinsip universal -) pada tahap ini ada norma etik dan norma

pribadi yang bersifat subjekti. Artinya dalam hubungan antara seseorang

dengan masyarakat ada unsur-unsur subjektif yang menilai apakah suatu

perbuatan/ perilaku itu baik/ tidak baik; bermoral/ tidak bermoral. Disini

dibutuhkan unsur etik/ norma etik yang sifatnya universal sebagai sumber

untuk menentukan suatu perilaku yang berhubungan dengan moralitas.


7. Perkembangan Motorik
Perkembangan motorik pada anak toddler meliputi motorik halus dan

motorik kasar, yang akan diuraikan berikut ini :


a. Motorik Halus (Fine Motor)
Tabel 2.2 : Motorik Halus

Usia Uraian
15 bulan a. Anak menyusun mainan balok (2 balok ke atas)
b. Anak juga menulis “cakar ayam/ coret-coretan” yang spontan
18 bulan Anak menyusun 3 balok – 4 balok ke atas
24 bulan Anak meniru gerakan vertikal
30 bulan a. Anak menyusun 8 balok ke atas
b. Anak juga dapat menyalip lintasan
10

b. Motorik Kasar (Gross Motor)


Keterampilan motorik kasar yang utama adalah lokomosi (bergerak).
Tabel 2.3 Motorik Kasar

Usia Uraian
15 bulan Anak berjalan tanpa bantuan
18 bulan Anak berjalan menaiki tangga dengan satu tangan berpegangan
24 bulan Anak berjalan menaiki dan menurunitangga satu tahap/langkah
setiap kalinya
30 bulan Anak melompat dengan kedua kakinya

8. Tugas Perkembangan Usia Toddler


Anak usia toddler ini memiliki tugas perkembangan belajar untuk :
a. Berpisah secara psikologis dari orang dekatnya.
b. Menfokuskan energi dan mengembalikan kontrol diri dasar.
c. Bersosialisasi.
d. Mengkoordinasikan gerakan tubuh dan aktivitas-aktivitas dasar kehidupan

sehari-hari, termasuk buang air besar (BAB)maupun buang air kecil (BAK).
e. Mempelajari keterampilan berkomunikasi.
f. Mempelajari nilai-nilai keluarga dasar.
B. Konsep Dasar Nyeri
1. Pengertian Nyeri
IASP (1979) (Internasional Asssociation for Study of Pain),

mendefinisikan nyeri sebagai suatu sensori subjektif dan pengalaman emosional

yang tidak menyenangkan yang berkaitan dengan kerusakan jaringan yang yang

aktual, potensial, atau yang dirasakan dalam kejadian-kejadian saat terjadi

kerusakan (Andarmoyo, 2013 & Ana, 2015). Arthut C. Curton (1983) dalam

Prasetyo (2010) mengatakan bahwa nyeri merupakan suatu mekanisme proteksi

bagi tubuh, timbul ketika jaringan sedang rusak, dan menyebabkan individu

tersebut bereaksi untuk menghilangkan rasa nyeri. Nyeri merupakan sensasi

ketidaknyamanan yang bersifat individual. Klien merespon rasa nyeri dengan

beragam cara, misalnya berteriak, menangis dan lain-lain. Oleh karena itu nyeri

bersifat subjektif, maka perawat harus peka terhadap sensasi nyeri yang dialami

klien. Itulah sebabnya diperlukan kemampuan perawat dalam mengidentifikasi

dan mengatasi rasa nyeri (Imayani, 2018).


2. Fisiologi Nyeri
11

Reseptor nyeri merupakan organ tubuh yang berfungsi menerima rangsang

nyeri dan dalam hal ini organ tubuh yang berfungsi sebagai resptor nyeri adalah

ujung saraf bebas dalam kulit yang hanya berespons pada stimulasin yang kuat

secara potensial merusak. Resptor nyeri tersebut disebut juga dengan nosiseptor,

secara anatomis reseptor nyeri ada yang bermielin dan ada juga yang tidak

bermielin dari sraf eferen (Ana, 2015).


Mekanisme nyeri adalah suatu rangkaian proses elektrofisiologis terjadi

antara kerusakan jaringan sebagai sumber rangsangan nyeri sampai dirasakan

sebagai myeri yang secara kolektif disebut noiseptif. Terdapat empat proses yang

terjadi pada suatu noiseptif yaitu sebagai berikut :


1) Proses Transduksi
Proses transduksi (transduction) merupakan proses dimana suatu stimulasi

nyeri (nexious stimulasi) diubah menjadi suatu aktivitas listrik yang akan diterima

ujung-ujung saraf (nerve ending). Stimulasi ini dapat berupa stimulasi fisik

(tekanan), suhu (panas), atau kimia (substansi nyeri).


2) Proses Transmisi
Transmisi (transmission) merupakan fase dimana stimulasi dipindahkan

dari saraf perifer melalui medula spinalis (spinal cord) menuju otak.
3) Proses Modulasi
Proses modulasi (modulation) adalah proses dari mekanisme nyeri di mana

terjadi interkasi antara sistem analgesik endogen yang dihasilkan oleh tubuh kita

dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior medula spinalis. Jadi, proses

ini merupakan proses desenden yang dikontrol oleh otak. Sistem analgesik

endogen ini meliputi enkefalin, endorfin, serotonin, dan noradrenalin ; memiliki

efek yang dapat menekan impuls nyeri pada kornu posterior medula spinalis.

Kornu posterior dapat diibaratkan sebagai pintu yang dapat tertutup atau terbuka

yang dipengaruhi oleh sistem analgesik endogen tersebut di atas. Proses modulasi

ini juga memengaruhi subjektivitas dan derajat nyeri yang dirasakan seseorang.

4) Proses Persepsi
12

Hasil dari proses interaksi yang kompleks dan unik yang dimulai dari

proses transduksi dan transmisi pada gilirannya menghasilkan suatu perasaan

subjektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri. Pada saat klien menjadi sadar akan

nyeri, maka akan terjadi reaksi yang kompleks. Faktor-faktor psikologis dan

kognitif akan bereaksi dengan faktor-faktor neuro fisiologis dalam

mempersepsikan nyeri. Meinhart dan Mac Caffery (1983) menjelaskan tiga sistem

interkasi persepsi nyeri sebagai sensori diskriminatif, motivasi afektif, dan

kognitif evaluatif. Persepsi menyadarkan klien dan mengartikan nyeri sehingga

klien dapat bereaksi atau berespons (Tymbi, 2009; Carol & Taylor, 2011) (Ana,

Zakiyah, 2015).
3. Patofisiologi Nyeri
Rangkaian proses terjadinya nyeri diawali dengan tahap transduksi,

dimana hal ini terjadi ketika nosiseptor yang terletak pada bagian perifer tubuh

distimulasi oleh berbagai stimulasi seperti faktor biologis, mekanis, listrik,

thernal, radiasi, dan lain-lain. Sebagaimana telah disebutkan serabut saraf tertentu

berekasi atas stimulasi tertentu, sebagaimana juga telah disebutkan dalam

klasifikasi resptor sebelumnya (Prasetyo, 2010).


Fast pain dicetuskan oleh reseptor tipe mekanis atau thermal (yaitu serabut

saraf A-Delta), sedangkan slow pain (nyeri lambat) biasanya dicetuskan oleh

serabut saraf C. Serabut saraf A-Delta mempunyai karakteristik menghantarkan

nyeri dengan cepat serta bermielinasi, berukuran sangat kecil, dan bersifat lambat

dalam menghantarkan nyeri. Serabut A mengirim sensasi yang tajam, terlokalisasi,

dan jelas dalam melokalisasi sumber nyeri dan mendeteksi intensitas nyeri.

Serabut C menyampaikan impuls yang tidak melokalisasi (bersifat difusi), viseral

dan terus-menerus. Sebagai contoh mekanisme kerja serabut A-delta dan serabut

C dalam suatu trauma adalah ketika seseorang menginjak paku, sesaat setelah

kejadian orang tersebut dalam waktu dari 1 detik akan merasakan nyeri yang

terlokasasi dan tajam, yang merupakan transmisi dari serabut A. Dalam beberapa
13

detik selanjutnya, nyeri menyebar sampai seluruh kaki terasa sakit karena

persarafan serabut C.
Tabel 2.4 : Perbedaan Serabut Saraf A-Delta dan C

Serabut A-Delta Serabut C


Bermielinasi Tidak bermielinasi
Diameter 2-5 mikrometer Diameter 0,4-12,2 mikrometer
Kecepatan hantar 12-30 m/dt Kecepatan hantar 0,5-2 m/dt
Menyalurkan impuls nyeri yang Menyalurkan impuls nyeri yang bersifat
bersifat tajam, menusuk, terlokalisasi, tidak terlokalisasi, viseral dan terus-
dan jelas menerus

Tahap selanjutnya adalah transmisi, dimana impuls nyeri kemudian

ditransmisikan serat afferen (A-delta dan C) ke medulla spinalis melalui dorsal

horn, dimana disini akan bersinapsis di substansi gelatinosa (lamina II dan I).

Impuls kemudian menyeberang ke atas melewati traktus spinothalamus lateral

diteruskan langsung ke thalamus tanpa singgah di formatio retikularis membawa

impuls fast pain. Di bagian thalamus dan korteks serebri inilah individu kemudian

dapat mempersepsikan, menggambarkan, melokasasi, menginterpretasikan dan

mulai berespon terhadap myeri (Prasetyo, 2010).


Beberapa impuls nyeri ditransmisikan melalui traktus paleospinothalamus

pada bagian tengah medulla spinalis. Impuls ini memasuk formatio retikularis

dan sismtem limbik yang mengatur perilaku emosi dan kognitif, serta integrasi

dari sistem saraf otonom (Prasetyo, 2010).


Gambar 2.1 : Pathway Nyeri

Stimulasi nyeri : biologis, zat kimia, panas, listrik serta mekanik

Stimulasi nyeri menstimulasi nosiseptor di perifer

Impuls nyeri diteruskan oleh serat afferen (A-delta & C) ke medulla

spinalis melalui dorsal horn

Impuls bersinapsis di substansi gelatinosa (Lamina II dan I)

Impuls melewati traktus spinothalamus

Impuls masuk ke formatio retikularis Impuls langsung masuk ke thalamus

Sistem limbik Fast pain


14

Slow pain

(Prasetyo, 2010)

4. Sifat Nyeri
Nyeri bersifat subjektif dan sangat bersifat individual. Menurut Mc

Caffery (1980) dalam E. S Saute (1992) Nyeri adalah segala sesuatu yang

dikatakan seseorang tentang nyeri tersebut dan terjadi kapan saja seseorang

mengatakan bahwa ia merasa nyeri. Mc Mahon (1994) menemukan empat atribut

pasti untuk pengalaman nyeri, antara lain : (1) bersifat individual, (2) tidak

menyenangkan, (3) merupakan suatu kekuatan yang mendominasi, (4) bersifat

tidak berkesudahan. Nyeri adalah suatu mekanisme protektif bagi tubuh, ia timbul

bilamana jaringan sedang dirusak dan ia menyebabkan individu tersebut bereaksi

untuk menghilangkan rangsang nyeri tersebut (Guyton, 1995). Nyeri merupakan

tanda peringatan bahwa terjadi kerusakan jaringan, yang harus menjadi

pertimbangan utama perawat saat mengkaji nyeri (Prasetyo, 2010).


5. Teori-teori Nyeri
Banyak teori berusaha menjelaskan dasar neurologis dari nyeri.

Bagaimanapun, tidak ada satu pun teori yang menjelaskan secara sempurna

bagaimana nyeri ditransmisikan atau dicerap, tidak juga menjelaskan

kompleksitas dari jaras yang memengaruhi transmisi impuls nyeri (Smeltzer

Bare, 2002). Berikut ini akan disajikan beberapa teori terkait dengan nyeri untuk

memberikan pemahaman dalam mempelajari kompleksitas nyeri (Andarmoyo,

2013).
a. Teori spesivitas (Specivicity Theory)
Teori spesivitas nyeri ini diperkenalkan oleh Descartes. Teori ini

menjelaskan bahwa nyeri berjalan dari reseptor-resptor nyeri yang spesifik

melalui jalur neuroanatomik tertentu ke pusat nyeri di otak dan bahwa hubungan

antara stimulasi dan respons nyeri yang bersifat langsung dan invariabel. Prinsip
15

teori ini adalah (1) reseptor somatosensorik adalah reseptor yang mengalami

spesialisasi untuk berespons secara optimal terhadap satu atau lebih tipe stimulasi

tertentu, dan (2) tujuan perjalanan neuron aferen primer dan jalur ascendens

merupakan faktor kritis dalam membedakan sifat stimulus di perifer (Price &

Wilson, 2002).
b. Teori pola (Pattern Theory)
Teori pola diperkenalkan oleh Goldscheider pada 1989. Teori pola ini

menjelaskan bahwa nyeri disebabkan oleh berbagai reseptor sensori yang

dirangsang oleh pola tertentu. Nyeri merupakan akibat stimulasi reseptor yang

menghasilkan pola tertentu dari impuls saraf. Pada sejumlah causalgia, nyeri

pantom, dan neuralgia teori pola ini bertujuan bahwa rangsangan yang kuat

mengakibatkan berkembangnya gaung terus-menerus pada spinal cord sehingga

saraf transmisi nyeri bersifat hipersensitif yang mana rangsangan dengan

intensitas rendah dapat menghasilkan transmisi nyeri (Lewis, 1983).


c. Teori pengontrolan nyeri (Theory Gate Control)
Teori gate control dari Melzack dan Wall (1965) mengusulkan bahwa

impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang

sistem saraf pusat. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat

sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar

teori menghilangkan nyeri (Andarmoyo, 2013)

.
6. Klasifikasi Nyeri
Berdasarkan lama keluhan atau waktu kejadian, nyeri dibagi menjadi :
a. Nyeri akut
Menurut Federation of State Medical Boards of Unted State, nyeri akut

adalah respons fisiologis normal yang diramalkan terhadap rangsangan kimiawi,

panas, atau mekanik menyusul atau suatu pembedahan, trauma, dan penyakit akut.

Ciri khas nyeri akut adalah nyeri yang diakibatkan kerusakan jaringan yang nyata

dan akan hilang seirama dengan proses penyembuhannya, terjadi dalam waktu

singkat dari 1 detik sampai kurang dari 6 bulan.


16

b. Nyeri kronis
IASP (Internasional Asssociation for Study of Pain) mendefinisikan nyeri

kronis sebagai nyeri yang menetap melampaui waktu penyembuhan normal yakni

enam bulan. Nyeri kronis deibedakan menjadi dua yaitu nyeri non maligna (nyeri

kronis persisten dan nyeri kronis intermitten) dan nyeri kronis maligna.

Karakteristik penyembuhan nyeri kronis tidak dapat diprediksi meskipun

penyebabnya mudah ditentukan, namun pada beberapa kasus, penyebabnya

kadang sulit ditentukan.


Berdasarkan lokasi nyeri, nyeri dapat dibedakan menjadi empat yaitu :
a. Somatic Pain
Nyeri timbul karena gangguan bagian luar tubuh, nyeri dibagi menjadi tiga

yaitu :
1) Nyeri superfisial (Cutaneous pain)
Biasanya timbul pada bagian permukaan tubuh akibat stimulasi kulit

seperti laserasi, luka bakar, dan sebagainya.


2) Nyeri somatik dalam
Nyeri somatik dalam adalah nyeri yang terjadi pada otot dan tulang serta

struktur penyokong lainnya.


3) Nyeri viseral
Nyeri yang disebabkan oleh kerusakan organ internal.
b. Nyeri pantom (phantom pain)
Nyeri pantom merupakan nyeri khusus yang dirasakan klien yang

mengalami amputasi, oleh klien nyeri dipersepsikan berada pada organ yang

diamputasi seolah-olah organ yang diamputasi masih ada. Contoh : nyeri pada

klien yang menjalani operasi pengangkatan ekstermitas.


c. Nyeri menjalar (radiation of pain)
Nyeri menjalar merupakan sensasi nyeri yang meluas dari tempat awal

cedera ke bagian tubuh yang lain. Nyeri seakan menyebar ke bagian tubuh bawah

atau sepanjang bagian tubuh, nyeri dapat bersifat intermitten atau konstan. Contoh

: nyeri punggung bagian bawah akibat ruptur diskus intravertebral disertai nyeri

yang menyebar pada tungkai dan iritasi saraf skiatik.


d. Nyeri alih (reffed pain)
Nyeri alih merupakan nyeri yang timbul akibat adanya nyeri viseral yang

menjalar ke organ lain sehingga nyeri dirasakan pada beberapa tempat. Nyeri jenis
17

ini dapat timbul karena masuknya neuron sensori dari organ yang mengalami

nyeri ke dalam medulla spinalis dan mengalami sinapsis dengan serabut saraf

yang berada pada bagian tubuh lainnya. Nyeri ini biasanya timbul pada lokasi atau

tempat yang berlawanan atau berjauhan dari lokasi asal nyeri (Ana, 2015).

7. Penilaian Respon Intensitas Nyeri


Intensitas nyeri merupakan gambaran tentang seberapa parah nyeri

dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan

individual serta kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat

berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan

objektif yang paling mungkin adalah menggunakan respons fisiologik tubuh

terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan teknik ini juga tidak dapat

memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri 2007).


Penilaian intensitas nyeri dapat dilakukan dengan menggunakan skala

sebagai berikut :
a. Skala Numerik
Skala penilaian numerik (Numerial Rting Scale/NRS) lebih digunakan

sebagai pengganti alat pendiskripsian kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri

dengan menggunakan skala 0-10. Skala digunakan saat mengkaji intensitas nyeri

sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk menilai

nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR, 1992 dalam Perry dan

Potter, 2006). Contoh, pasien post-appendiktomi hari pertama menunjukkan skala

nyerinya 9, setelah dilakukan intervensi keperawatan, hari ketiga perawatan

pasien menunjukkan skala nyerinya 4.


Gambar 2.2 : Skala Numerik

b. Skala Deskriptif
18

Skala deskriptif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang

lebih objektif. Skala pendeskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale / VSD)

merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendiskripsi yang

tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendiskripsi ini diranking

dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan”. Perawat

menunjukkan klien skala tersebut dan meminta klien untuk memilih intensitas

nyeri terbaru yang ia rasakan. Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri

terasa paling menyakitkan dan seberapa jauh nyeri terasa paling tidak

menyakitkan. Alat VSD ini memungkinkan klien memilih sebuah kategori untuk

mendiskripsikan nyeri (Potter & Perry, 2006).


Gambar 2.3 : Skala Deskriptif

c. Skala Analog Visual


Skala analog visual (Visual Analog Scale/VAS) adalah suatu garis

lurus/horizontal sepanjang 10 cm, yang mewakili intensitas nyeri yang terus

menerus dan pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Pasien diminta untuk

menunjuk titik pada garis yang menunjukkan letak nyeri terjadi sepanjang garus

tersebut. Ujung kiri biasanya menandakan “tidak ada” atau “tidak nyeri”,

sedangkan ujung kanan biasanya menandakan “berat” atau “nyeri yang paling

buruk” untuk menilai hasilnya, sebuah penggaris diletakkan sepanjang garis dan

jarak yang dibuat pasien pada garis dari “tidak ada nyeri” diukur dan ditulis dalam

centimeter (Smelzer, 2002).


Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi

keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukuran keparahan nyeri yang lebih

sensitif karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada
19

dipaksa memilih satu kata atau satu angka (Mc Guire, 1884 dalam Potter & Perry,

2006).
Untuk mengukur skala intensitas nyeri pada anak-anak, dikembangkan alat

yang dinamakan Oucher. Beyer dkk (1992) Dalam Potter & Perry (2006) telah

mengembangkan Ouche, yang terdiri dari dua skala yang terpisah : sebuah skala

dengan nilai 0-100 pada sisi sebelah kiri untuk anak-anak yang lebih besar dan

skala fotografik enam gambar pada sisi kanan untuk anak-anak yang lebih kecil.

Foto wajah seorang anak (dengan peningkatan rasa tidak nyaman) dirancang

sebagai petunjuk untuk memberi anak-anak pengertian sehingga dapat memahami

makna dan tingkat keparahan nyeri. Seorang anak biasanya menunjukkan ke

sejumlah pilihan gambar yang mendeskripsikan nyeri. Cara ini membuat usaha

mendeskripsikan nyeri menjadi lebih sederhana. Versi etnik yang baru pada alat

telah dikembangkan. Wong Baker (1988) dalam Potter & Perry (2006)

mengembangkan skala wajah untuk mengkaji nyeri pada anak.


Skala tersebut terdiri dari 6 wajah dengan profil kartun yang

menggambarkan wajah dari wajah yang sedang tersenyum “tidak merasa nyeri”

kemudian secara bertahap meningkat menjadi wajah kurang bahagia, wajah yang

sangat sedih, sampai wajah yang sangat ketakutan “sangat nyeri”. Anak-anak

berusia 3 tahun bisa menggunakan skala tersebut. Para peneliti mulai meneliti

penggunaan skala wajah ini pada orang-orang dewasa. Skala nyeri harus

dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan tidak mengonsumsi

banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila klien dapat membaca dan

memahami skala maka deskripsi nyeri akan lebih akurat. Skala deskripsis

bermanfaat bukan saja dalam upaya menkaji tingkat keparahan nyeri, melainkan

juga mengevaluasi perubahan kondisi klien. Perawat dapat menggunakan skala

setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih buruk untuk menilai apakah nyeri
20

mengalami penurunan atau peningkatan. Berikut Penjelasan Faces Rating Scale

yaitu:
1). Nilai 0 : nyeri tidak dirasakan oleh anak
2). Nilai 1: nyeri dirasakan sedikit saja
3). Nilai 2: nyeri agak dirasakan oleh anak
4). Nilai 3: nyeri yang dirasakan anak lebih banyak
5). Nilai 4: nyeri yang dirasakan anak secara keseluruhan
6). Nilai 5: nyeri sekali dan anak menjadi menangis
Gambar 2.5 : Skala VAS

(Andarmoyo, 2013)

d. Skala FLACC (Face, Legs, Activity, Cry, Consolability)


Skala FLACC merupakan alat pengkajian nyeri yang dapat digunakan

pada pasien ynag secara non verbal yang tidak dapat melaporkan nyerinya.
Tabel 2.5 : Skala FLACC

Kategori Skor
0 1 2
Muka Tidak ada Wajah cemberut, Sering dahi tidak
ekspresi atau dahi mengkerut, konstan
senyuman menyendiri
tertentu, tidak
mencari
Kaki Tidak ada posisi Gelisah, resah dan Menendang
menegang
Aktivitas Berbaring, posisi Mengeliat, Menekuk, kaku
normal, mudah menaikkan atau menghentak
bergerak punggung, dan
maju, menegang
Menangis Tidak menangis Merintih atau Menangis keras,
merengek sedu sedan
Hiburan Rileks Kadang-kadang Kesulitan untuk
hati tentram dengan menghibur atau
sentuhan memluk, kenyamanan
berbicara untuk
mengalihkan

8. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Nyeri


21

Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri (Ana, 2015) yaitu sebagai berikut :


a. Usia
Usia mempengaruhi persepsi dan ekspresi seseorang terhadap nyeri.

Perbedaan perkembangan pada orang dewasa dan anak sangat memengaruhi

bagaimana bereaksi terhadap nyeri. Anak yang masih kecil mempunyai kesulitan

dalam menginterpretasikan nyeri pada orang tua atau petugas kesehatan. Anak

toddler dan prasekolah juga akan mengalami kesulitan mengingat penjelasan

tentang nyeri dan mengasosiasikan nyeri sebagai pengalaman yang dapat terjadi

pada berbagai situasi.


b. Jenis kelamin
Jenis kelamin merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi nyeri,

secara umum pria dan wanita tidak berbeda dalam berespons terhadap nyeri, akan

tetapi beberapa kebudayaan memengaruhi pria dan wanita dalam

mengekspresikan nyeri. Misalnya seorang pria tidak boleh menangis dan harus

berani sehingga tidak boleh menangis sedangkan wanita boleh menangis dalam

situasi yang sama.


c. Kebudayaan
Pengaruh kebudayaan dapat menimbulkan anggapan pada orang bahwa

memperlihatkan tanda-tanda kesakitan berarti memperlihatkan kelemahan

pribadinya, dalam hal ini seperti itu maka sifat tenang dan pengendalian diri

merupakan sifat yang terpuji. Pada beberapa kebudayaan lain justru sebaliknya,

memperlihatkan nyeri merupakan suatu hal yang alamiah nyeri juga dikaitkan

dengan hukuman sepanjang sejarah kehidupan, bagi hukuman, maka penyakit

merupakan cara untuk menebus kesalahan atau dosa-dosa yang sudah diperbuat.
d. Perhatian
Perhatian yang meningkat dihubungkan dengan peningkatan nyeri,

sedangkan upaya untuk mengalihkan perhatian dihubungkan dengan penurunan

sensasi nyeri. Pengalihan perhatian dilakukan dengan cara memfokuskan

perhatian dan konsentrasi klien pada stimulus yang lain sehingga sensasi yang
22

dialami endogen, yaitu endorfin dan enkefalin yang merangsang kerja serabut

berdiameter kecil (delta A dan C).

e. Makna nyeri
Makna seorang nyeri dikaitkan dengan nyeri dapat memengaruhi

pengalaman nyeri dan cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri. Tiap klien akan

memberikan respons yang berbeda-beda apabila nyeri tersebut memberi kesan

suatu ancaman, kehilangan, hukuman, atau suatu tantangan.


f. Ansietas
Hubungan antara ansietas dengan nyeri merupakan suatu hal yang

kompleks. Ansoetas dapat meningkatkan persepsi nyeri dan sebaliknya, nyeri juga

dapat menyebabkan timbulnya ansietas bagi klien yang mengalami nyeri. Adanya

bukti bahwa sistem limbik yang diyakini dapat mengendalikan emosi seseorang

khusunya ansietas juga dapat memproses reaksi terhadap nyeri yaitu dapat

memperburuk atau menghilangkan nyeri. Nyeri yang tidak kunjung sembuh dapat

mengakibatkan psikosis dan gangguan kepribadian.


g. Mekanisme koping
Gaya koping dapat memengaruhi klien dalam mengatasi nyeri. Klien yang

mempunyai lokus kendali internal mempersepsikan diri mereka sebagai klien

yang dapat mengendalikan lingkungan mereka serta hasil akhir suatu peristiwa

seperti nyeri, klien tersebut juga melaporkan bahwa dirinya mengalami nyeri yang

tidak terlalu berat. Sebaliknya klien yang mempunyai lokus kendali eksternal,

mempersiapkan faktor-faktor lain di dalam lingkungan seperti perawat sebagai

klien yang bertanggung jawab terhadap hasil akhir mereka.

h. Keletihan
Rasa keletihan menyebabkan peningkatan sensasi nyeri dan dapat

menurunkan kemampuan koping untuk mengatasi nyeri, apabila kelelahan disertai

dengan masalah tidur maka sensasi nyeri terasa bertambah berat.


i. Pengalaman sebelumnya
23

Seorang klien yang tidak pernah merasakan nyeri, maka persepsi pertama

dapat mengganggu mekanisme koping terhadap nyeri, akan tetapi pengalaman

nyeri sebelumnya tidak selalu berarti bahwa klien tersebut akan dengan mudah

menerima nyeri pada masa yang akan datang, apabila klien sejak lama mengalami

serangkaian episode nyeri tanpa pernah sembuh atau menderita nyeri yang berat

maka ansietas atau rasa takut akan muncul. Sebaliknya, apabila seorang klien

mengalami nyeri dengan jenis yang sama dan berhasil menghilangkannya, maka

akan lebih mudah bagi klien tersebut untuk menginterprestasikan sensasi nyri dan

klien tersebut akan lebih siap untuk melakukan tindakan untuk mengatasi nyeri.
j. Dukungan keluarga dan sosial
Kehadiran orang terdekat dan bagaimana sikap mereka terhadap klien

dapat memengaruhi respons terhadap nyeri. Klien yang mengalami nyeri sering

kali bergantung pada anggota keluarga atau teman dekat untuk mendapatkan

dukungan, bantuan, atau perlindungan. Walaupun nyeri tetap dirasakan tetapi

kehadiran orang terdekat dapat meminimalkan rasa kesepian dan ketakutan. Bagi

anak-anak, kehadiran orang tua ketika mereka mengalami nyeri sangat penting.

9. Manajemen Nyeri
Brunner & Suddart (2002), menyatakan bahwa alat-alat pengukur nyeri

dapat digunakan untuk mengkaji persepsi nyeri seseorang. Agar alat-alat

pengkajian nyeri dapat bermanfaat. Manajemen nyeri mancakup baik pendekatan

farmakologis dan non farmakologis. Pendekataan ini diseleksi berdasarkan pada

kebutuhan dan tujuan pasien secara individu. Semua intervensi akan sangat

berhasil bila dilakukan sebelum nyeri menjadi parah, dan keberhasilan terbesar

sering dicapai jika beberapa intervensi diterapkan secara simulan.


a. Intervensi farmakologis
Menangani nyeri yang dialami pasien malalui intervensi farmakologis

dilakukan dalam kolaborasi dengan dokter atau pemberi perawatan utama lainnya

dan pasien. Obat-obatan tertentu untuk penatalaksanaan nyeri seperti analgesika,


24

opoid atau obat anti inflamasi nonsteroid mungkin diresepkan atau kateter

epidural mungkin dipasang untuk memberikan dosis awal. Untuk pemberian

analgesia, mengkaji keefektifannya dan melaporkannya jika intervensi tersebut

tidak efektif atau menimbulkan efek samping. Oleh karena itu, penatalaksanaan

nyeri memerlukan kolaborasi erat dan komunikasi yang efektif diantara pemberi

perawatan kesehatan (Andarmoyo, 2013).


b. Intervensi non farmakologis
Manajemen non farmakologis merupakan tindakan menurunkan respons

nyeri tanpa menggunakan agen farmakologi. Dalam melakukan intervensi

keperawatan, manajemen nyeri non farmakologi merupakan tindakan independen

dari seorang perawat dalam mengatasi respons nyeri klien.


Banyak aktivitas keperawatan yang menggunakan pendekatan non

farmakologis dalam menghilangkan nyeri. Meskipun demikian masih banyak

pasien maupun tim kesehatan yang cenderung memandang obat sebagai satu-

satunya metode untuk menghilangkan nyeri. Metode pereda nyeri non

farmakologis biasanya memiliki resiko yang sangat rendah karena tindakan ini

diperlukan untuk mempersingkat episode nyeri yang berlangsung hanya beberapa

detik atau menit. Dalam hal ini, pada saat nyeri hebat berlangsung selama berjam-

jam atau berhari-hari, mengkombinasikan teknik non farmakologis dengan obat-

obatan mungkin cara efektif untuk menghilagkan nyeri (Andarmoyo, 2013).


Bunner & Suddarth (2002), mengemukakan bahwa adapun tindakan non

farmakologis yang biasa dilakukan antara lain :


1) Stimulasi dan masase kutaneus
Masase adalah melakukan tekanan tangan pada jaringan lunak, biasanya

otot, tendon, ligamentum, tanpa menyebabkan gerakan atau perubahan posisi

sendi untuk meredakan nyeri, menghasilkan relaksasi, dan/atau memperbaiki

sirkulasi (Mander, 2004 yang mengkombinasikan definisi nyeri dari Haldeman,

1994 : 1252 ; Mobily, dkk., 1994). Malkin 1994 sebagaimana dikutip dalam

Mander, (2003), merinci enam gerakan dasar yang dilakukan dalam masase.
25

Gerakan tersebut adalah effleurage (gerakan tangan mengurut), petrissage

(perkusi), hacking (gerakan tangan mencincang), kneading (gerakan tangan

meremas), dan capping (tangan membentuk seperti mangkuk). Setiap gerakan

ditandai dengan perbedaan tekanan, arah, kecepatan, posisi tangan dan gerakan

untuk mencapai pengaruh yan berbeda pada jaringan di bawahnya.


Tindakan utama masase dianggap “menutup gerbang” untuk menghambat

perjalanan rangsang nyeri pada pusat yang lebih tinggi pada sistem saraf pusat.

Selanjutnya, rangsangan taktil dan perasaan potifis, yang berkembang ketika

dilakukan bentuk sentuhan yang penuh perhatian dan empatik, bertndak

memperkuat efek mesase untuk mengendalikan nyeri (Forrell-Torry & Glick,

1993 dalam Mander, 2003).


2) Kompres es dan panas
Pilihan alternatif lain dalam meredakan nyeri adalah terapi es (dingin) dan

panas. Namun begitu, perlu adanya studi lebih lanjut untuk melihat keefektifannya

dan bagaimana meknisme kerjanya. Terpi es (dingin) dan panas diduga bekerja

dengan menstimulasi reseptor tidak nyeri (non-nosiseptor) dalam bidang reseptor

yang sama pada cedera.


Pemakaian kompres panas biasanya dilakukan hanya setempat saja pada

bagian tubuh tertentu. Dengan pemberian panas, pembuluh-pembuluh darah akan

melebar sehingga memperbaiki peredarah darah di dalam jaringan tersebut.

Dengan cara ini penyaluran zat asam dan bahan makanan ke sel-sel diperbesar dan

pembuangan dari zat-zat yang dibuang akan diperbaiki. Aktivitas sel yang

meningkat akan mengurangi rasa sakit/nyeri dan menunjang proses penyembuhan

luka dan proses peradangan (Stevens dkk, 2000).


Terapi es dapat menurunkan prostaglandin yang memperkuat sensitivitas

reseptor nyeri dan subkutan lain pada tempat cedera dengan menghambat proses

inflamasi. Agar efektif, es dapa diletakkan pada tempat cedera segera setelah cepat

terjadi. Sementara terapi panas mempunyai keuntungan meningkatkab aliran

darah ke suatu area dan kemumngkinan dapat menurunkan nyeri.


26

3) Stimulasi Saraf Elektris Transkutan (TENS)


TENS (Transcutaneuus Elektrical Nerve Stimulation) adalah alat yang

menggunakan aliran listrik, baik dengan frekuensi rendah maupun tinggi, yang

dihubungkan dengan beberapa elektroda pada kulit untuk menghasilak sensasi

kesemutan, menggetar, atau mendengung pada area nyeri. TENS adalah prosedur

non-invasif dan merupakan metode yang aman untuk mengurangi nyeri, baik akut

maupun kronis.
Beberapa penelitian menunjukka bahwa pasien dengan prosedur

pengobatan menggunakan TENS melaporkan efektivitas dalam peredaan nyeri

dibandingkan dengan pasien yang mendapatkan pengobatan yang biasa saja.

Sebagai perhatian untuk keamanan klien, elektroda sebaiknya tidak dipasang pada

bagian yang dekat dengan mata, mulut, bagian depan leher, atau pada area kulit

yang cedera/luka. Pengguna TENS juga perlu dipertimbangkan pada klien epilepsi

atau pada wanita hamil.


4) Teknik distraksi
Distraksi yang mencakup menfokuskan perhatian pasien pada sesuatu

selain nyeri. Jenis-jenis teknik distraksi antara lain : distraksi audiovisual,

distraksi visual, distraksi pendengaran, distraksi pernafasan, distraksi intelektual,

distraksi imajinasi. Distraksi diduga dapat menurunkan persepsi nyeri dengan

menstimulasi sistem kontrol desenden, yang mengakibatkan lebih sedikit

stimulasi nyeri yang ditransmisikan ke otak. Keefektifan distraksi tergantung

kemampuan pasien untuk menerima dan membangkitkan input sensori selain

nyeri.

5) Teknik relaksasi
Relaksasi adalah suatu tindakan untuk membebaskan mental dan fisik dari

ketegangan dan stress sehingga dapat meningkatkan toleransi terhadap nyeri.

Teknik relaksasi yang sederhana yang sederhana terdiri atas napas abdomen

dengan frekuensi lambat, berirama. Pasien dapat memejamkan matanya dan

bernafas dengan perlahan dan nyaman. Irama yang konstan dapat dipertahankan
27

dengan menghitung dalam hati dan lambat bersama setiap inhalasi(“hirup, dua,

tiga”) dan ekhalasi (“hembuskan, dua, tiga”). Pada saat perawat mengajarkan ini,

akan sangat membantu bila menghitung dengan keras bersama pasien pada

awalnya.
6) Imajinasi terbimbing
Imajinasi terbimbing adalah menggunakan imajinasi seseorang dalam

suatu cara yang dirancang secara khusus untuk mencapai efek positif tertentu

(Smeltzer & Bare, 2002). Tindakan ini membutuhkan konsentrasi yang cukup.

Upayakan kondisi lingkungan klien mendukung untuk tindakan ini. Kegaduhan,

kebisingan, bau menyengat, atau cahaya yang sangat terang perlu

dipertimbangkan agar tidak mengganggu klien untuk berkonsentrasi. Beberapa

klien lebih rileks dengan cara menutup matanya (Prasetyo, 2010).


7) Hipnotis
Hipnotis adalah sebuah teknik yang mengahasilkan suatu keadaan yang

tidak sadarkan diri, yang dicapai melalui gagasan yang disampaikan oleh orang

yang menghipnotisnya. Hipnotis dapat membantu dalam memberikan peredaan

nyeri terutama dalam situasi sulit misalnya luka bakar. Keefektifan hipnotis juga

tergantung pada kemudahan hipnotik individu (Prasetyo, 2010).


C. Konsep Dasar Pemasangan Infus
1. Pengertian
Pemasangan infus adalah memasukkan cairan atau obat langsung dalam

pembuluh darah vena dalam jumlah banyak dan dalam waktu yang lama dengan

menggunakan jarum abocath dan infus set (Potter, 1999). Selain itu menurut

Hidayat (2008), pemasangan infus didefinisikan sebagai suatu tindakan

pengobatan yang dilakukan dengan cara memasukkan cairan eletrolit, nutrisi, dan

obat-obatan ke dalam melalui pembuluh darah vena dalam jumlah yang banyak

serta dalam waktu yang cukup lama dengan menggunakan kanul.


2. Tujuan
Tujuan dari pemasangan infus yaitu sebagai berikut :
a. Memenuhi cairan dan elektrolit setelah banyak kehilangan cairan.
b. Memberikan nutrisi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
c. Menyediakan suatu medium untuk pemberian obat secara intravena.
3. Indikasi pemasangan infus melalui jalur pembuluh darah vena
28

a. Pemberian cairan intravena (intravenous fluids).


b. Pemberian nutrisi parenteral (langsung masuk ke dalam darah) dalam jarum

terbatas.
c. Pemberian kantong darah dan produk darah.
d. Pemberian obat yang terus-menerus (kontinyu).
4. Alat dan bahan
a. Set infus
b. Winged needle (jarum bersayap atau buuterfly needle dengan ukuran bayi (23-

25) dan anak (19-22).


c. Cairan
d. Kapas alkohol
e. Betadine 10 % atau lodi tinktur 1 %
f. Alat pencukur
g. Alas
h. Gunting
i. Kasa steril
j. Korentang
k. Plester
l. Bengkok
m. Perban
n. Spalk
o. Sarung tangan
5. Prosedur kerja
a. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan
b. Cuci tangan
c. Gunakan sarung tangan
d. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan menggunakan bahasa yang dimengerti

anak atau orang tua.


e. Atur posisi dengan tidur terlentang atau dibedong atau minta bantuan orang

lain atau orang tua untuk memegangi anak.


f. Beri alas.
g. Daerah yang akan dipasang infus dicukur terlebih dahulu atau dibersihkan.
h. Pasang cairan dan sambungkan dengan set infus.
i. Lakukan desinfeksi pada daerah yang akan diinfus.
j. Lakukan penusukan dengan menggunakan jarum bersayap ke arah aliran darah
k. Puji anak atas kerjasamanya.
l. Beri tanggal dan jam pelaksanaan infus pada plester, serta inisial perawat yang

melaksanakan prosedur.
m. Cuci tangan
D. Konsep Dasar Distraksi
1. Pengertian teknik distrkasi
Distraksi merupakan pengalihan perhatian klien ke hal yang lain sehingga

dapat menurunkan kewaspadaan terhadap nyeri, bahkan meningkatkan toleransi

terhadap nyeri (prasetyo, 2010). Pada prinsipnya teknik distraksi merupakan suatu
29

cara untuk mengalihkan fokus anak dari rasa sakit pada kegiatan lain yang

menyenangkan bagi anak (pillitteri, 2010).


2. Tujuan dan manfaat teknik distraksi
Teknik distraksi dalam intervensi keperawatan bertujuan untuk pengalihan

atau menjauhkan perhatian klien terhadap sesuatu yang sedang dihadapi, misalnya

rasa nyeri. Sedangakn manfaat dari penggunaan teknik ini, yaitu agar seseorang

yang menerima teknik merasa lebih nyaman, santai, dan merasa berada pada

situasi yang lebih menyenangkan. Apabila tujuan dan manfaat distraksi tercapai,

maka snyeri yang dialami saat pemasangan infus dapat diatasi. (Asmadi, 2012).
3. Prosedur teknik distraksi
Menurut Asmadi (2012), teknik distraksi dapat bekerja secara efektif

dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu:


a. Komunikasi antar perawat dan klien
b. Media distraksi yang dipakai
c. Jangka waktu yang digunakan
d. Tingkat stress, cemas maupun depresi yang dialami pada anak
Prosedur teknik distraksi berdasarkan jenisnya, antara lain (Asmadi, 2012)

sebagai berikut :
1) Distraksi audiovisual
Distraksi audiovisual merupakan jenis distraksi gabungan dari distraksi

audio dan distraksi visual. Contoh distraksi audiovisual adalah menonton animasi

kartun yang menggunakan media animasi kartun dalam pelaksanaannya. Media

animasi adalah media berupa gambar yang bergerak disertai dengan suara (Utami,

2007). Kartun biasa disebut dengan animasi 2 dimensi. Kartun berasal dari kata

cartoon yang berarti gambar lucu. Contohnya : looney, Pink Pather, Tom and

Jerry, Scooby Doo, Doraemon, Mulan, Lion King, Brther Bear, Spirit , Snow

White and Pinocchio. Teknik ini dapat menggunakan bantuan dari media

elektronik seperti TV, Tablet, Handphone, dan lain-lain, tergantung dari usia anak.

Misalnya untuk usia dini dapat menggunakan media yang sesuai dengan ukuran

tubuh agar anak dapat menikmati animasi kartun yang diberikan. Anak-anak

menyukai unsur-unsur seperti gambar, warna, dan cerita pada film kartun animasi.

Unsur-unsur seperti gambar, warna cerita dan emosi (senang, sedih, seru,
30

bersemangat) yang terdapat pada film kartun merupakan unsur otak kartun dan

suara yang timbul dari film tersebut merupakan unsur otak kiri. Sehingga dengan

menonton film kartun animasi otak kanan dan otak kiri anak pada saat yang

bersamaan digunakan dua-duanya seimbang dan anak fokus pada film kartun

(Windura, 2008).
Penggunaan teknik distraksi menonton animasi kartun dapat efektif

dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :


a. Komunikasi antar perawat dan klien/anak
b. Media distraksi yang dipakai
c. Jangka waktu yang digunakan
d. Tingkat nyeri dan cemas yang dialami klien/anak
2) Distraksi visual
Distraksi visual atau penglihatan merupakan pengalihan perhatian selain

nyeri yang diarahkan ke dalam tindakan-tindakan visual atau melalui pengamatan.

Contoh distraksi visual adalah dengan meonton televisi, membaca koran, melihat

majalah, melihat pemandangan dan gambar (Prasetyo, 2010).


3) Distraksi pendengaran (audio)
Distraksi pendengaran adalah jenis distraksi yang menggunakan indra

mendengar. Contoh distraksi pendengaran berupa mendengarkan musik yang

disukai, suara burung, atau gemercik air. Klien diminta untuk memilih musik yang

disukai dan musik yang tenang, seperti musik klasik. Klien diarahkan untuk

berkonsentrasi pada lirik dan irama lagu. Klien juga dianjurkan untuk

menggerakkan tubuh mengikuti irama lahgu, seperti bergoyang, mengetukkan jari

atau kaki (Tamsuri, 2007).


4) Distraksi pernafasan
Distraksi pernafasan dilakukan dengan beberapa tahap yakni tahap

pertama, yaitu bernafas ritmik. Klien dianjurkan untuk memandang fokus pada

satu objek atau memejamkan mata, kemudian melakukan inhalasi perlahan

melalui hidup dengan hitungan satu sampai empat (dalam hati), lalu

menghembuskan nafas melalui mulut secara perlahan dengan menghitung satu

sampai empat (dalam hati). Klien dianjurkan untuk berkonsentrasi pada sensasi

pernafasan serta terhadap gambar yang memberi ketenangan, lanjutkan teknik ini
31

hingga terbentuk pola pernafasan ritmik. Tahap kedua, yaitu bernafas ritmik dan

massase, klien diintruksikan untuk melakukan pernafasan ritmik dan pada saat

yang bersamaan lakukan massase pada bagian tubuh yang mengalami nyeri

dengan melakukan pijatan atau gerakan memutar di area nyeri.


5) Distraksi intelektual
Distraksi intelektual dapat dilakukan dengan beberapa cara seperti mengisi

teka-teki silang, bermain kartu, melakukan kegemaran (ditempat tidur), misalnya

mengumpulkan parangko atau menulis cerita. Pada anak dapat digunakan teknik

menghitung benda atau barang yang ada di sekeliling anak. Contoh distraksi

intelektual antara lain : mengisi teka-teki, bermain kartu, melakukan kegemaran

(ditempat tidur), seperti mengumpulkan perangko, dan menulis cerita.


6) Distraksi sentuhan
Distraksi sentuhan merupakan distraksi dengan memberikan sentuhan

pada lengan, mengusap, atau menepuk-nepuk tubuh klien. Tindakan ini dapat

digunakan untuk mengaktifkan saraf lainnya guna menerima respons atau teknik

gateway control. Teknik sentuhan memungkinkan impuls yang berasal dari saraf

penerima imput sakit atau nyeri tidak sampai ke medula spinalis sehingga otak

tidak menangkap respons sakit atau nyeri tersebut. Impuls yang berasal daro input

saraf nyeri tersebut diblok oleh input saraf yang menerima rangsang sentuhan

karena saraf yang menerima sentuhan lebih besar dari saraf nyeri.
4. Kelemahan dan kelebihan animasi sebagai media distraksi saat dilakukan

pemasangan infus
Artawan (2010), mengemukakan bahwa animasi memiliki beberapa

kelemahan serta kelebihan apabila digunakan sebagai media distraksi, diantaranya

sebagai berikut :
a. Kelemahan
1) Memerlukan kreatifitas dan ketrampilan yang cukup memadai untuk

mendesain animasi yang dapat secara efektif digunakan sebagai media

distraksi.
32

2) Memerlukan media yang sesuai dengan usia untuk membukanya. Penggunaan

media yang sesuai usia juga perlu diperhatikan agar saat digunakan dapat

berfungsi dengan baik, misalnya ukuran gadget yang sesuai dengan usia anak.
b. Kelebihan
1) Memudahkan tenaga kesehatan untuk membuat anak kooperatif saat tindakan

keperawatan.
2) Memperkecil ukuran objek yang cukup besar.
3) Mengalihkan perhatian anak terhadap stressor dengan menghadirkan daya tarik

bagi anak terutama animasi yang dilengkapi dengan suara.


4) Memiliki lebih dari satu media yang konvergen, misalnya menggabungkan

unsur audio dan visual.

E. Pembahasan Jurnal / Evidanbace

1. Pengaruh Teknik Distraksi Terhadap Skala Nyeri Pada Tindakan Pemasangan

Infus Di Ruang Perawatan Anak Rsud Syekh Yusuf Gowa (Irmayani, 2018)
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh teknik distraksi

terhadap skala nyeri pada tindakan pemasangan infus. Desain Penelitian

menggunakan Rancangan Penelitian Perbandingan Kelompok Statis (Static Group

Comparison). Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan

Convenience Sampling dengan jumlah sampel 28 orang anak usia pra sekolah (3-6

tahun), 14 orang kelompok intervensi dan 14 orang kelompok kontrol. Nyeri saat

pemasangan infus pada anak diukur secara langsung dengan skala FLACC (Face,

Legs, Activity, Cry, Consolability). Analisa data dilakukan dengan Uji Mann

Whitney. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan rata-rata skala nyeri

yang signifikan nilai ρ=0,000 (ρ<0,05) antara anak yang diberikan teknik distaksi

menonton kartun animasi saat dilakukan pemasangan infus dengan anak yang

tidak diberikan teknik distraksi menonton kartun animasi saat pemasangan infus.
33

2. Analisis Intervensi Teknik Distraksi Menonton Kartun Edukasi Terhadap Skala

Nyeri Pada Anak Usia Toddler Saat Pengambilan Darah Intravena Di Ruang

Cempaka Anak Rumah Sakit Pelni Jakarta (Immerta, 2018)

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan atau mengetahui intervensi

teknik distraksi menonton kartun edukasi untuk menurunkan skala nyeri pada

anak usia toddler pada saat pengambilan darah intravena. Metode penelitian ini

merupakan deskriptif sederhana dengan desain penelitian adalah studi kasus,

subjek penelitian yang diteliti sebanyak 2 orang. Variabel independent dalam

penelitian ini yaitu teknik distraksi menonton kartun edukasi sedangkan variabel

dependent meliputi skala nyeri. Analisis hubungan antara variabel independent

dengan variabel dependent dengan menggunakan studi kasus. Hasil penelitian

studi kasus yang telah dilakukan menunjukkan bahwa terjadinya penurunan skala

nyeri pada anak usia toddler saat pengambilan darah intravena setelah diberikan

intervensi teknik distraksi menonton kartun edukasi, anak yang lebih muda

memiliki tingkat nyeri yang lebih tinggi dan semakin bertambah usia tingkat

nyerinya menjadi lebih rendah.

3. Pengaruh Distraksi Audiovisual Terhadap Nyeri Saat Pemasangan Infus Pada

Pasien Anak Di IGD RSUD Bangil (Susilo, 2019)


Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh ditraksi

audiovisual terhadap nyeri saat pemasangan infus pada pasien anak di IGD RSUD

Bangil. Desain penelitian ini adalah “Pre-Eksperimental Design dengan

rancangan Intact-Group Comparison yaitu dengan mengukur pengaruh perlakuan

(intervensi) pada kelompok eksperimen dengan cara membandingkan kelompok

tersebut dengan kelompok kontrol. Terdapat perbedaan yang signifikan yaitu

diketahui pada kelompok kontrol bahwa sebagian besar responden kategori nyeri

berat sebanyak 2 orang (66,6%), dan hampir separuh kategori nyeri sedang yaitu 1

orang (33,3%) dan pada kelompok intervensi sebagian besar responden kategori
34

nyeri ringan sebanyak 2 orang (66,6%), dan hampir separuh kategori nyeri sedang

yaitu 1 orang (33,3%).


4. Managemen Nyeri Pada Anak PrasekolahSaat Tindakan Invasif Dengan

Distraksi Storytelling (Endang, 2019)


Tujuan penelitian: untuk mengetahui pengaruh pendampingan ibu dengan

bercerita terhadap tingkat nyeri anak pada saat pemasangan infus. Metode

penelitian: quasi eksperimen dengan desain post test only with control group.

Sampel penelitian sebanyak 32 anak usia 3-6 tahun, yang terbagi menjadi 2

kelompok yaitu kelompok intervensi (pendampingan ibu dengan bercerita)

sebanyak 16 anak dan kelompok kontrol (pendampingan ibu saja tanpa bercerita)

sebanyak 16 anak. Pengukuran tingkat nyeri menggunakan FLACC. Hasil:

diperoleh t hitung sebesar 3,531 (pv = 0,001< 0,05) maka Ho ditolak, bahwa ada

perbedaan tingkat nyeri yang signifikan saat pemasangan infus pada kelompok

intervensi dibandingkan dengan kelompok kontrol.


5. Pengaruh Terapi Musik Dan Terapi Video Game Terhadap Tingkat Nyeri Anak

Usia Prasekolah Yang Dilakukan Pemasangan Infus (Novitasari, 2019)


Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan rata-rata

tingkat nyeri pada anak usia prasekolah yang dilakukan pemasangan infus setelah

diberikan terapi musik dan terapi video game di Rumah sakit Bhayangkara TK III

kota Bengkulu. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan Jenis

penelitian yaitu penelitian quasy eksperimenental dengan pendekatan post tes only

control group yaitu penelitian yang tidak melakukan pengukuran sebelum

intervensi, pengukuran hanya dilakukan setelah intervensi, dengan jumlah sampel

yang diambil sebanyak 24 responden yang dibagi dalam 2 kelompok yaitu terapi

musik dan terapi video game. Instrumen pengumpulan data yang digunakan untuk

mengukur nyeri dengan wong baker face pain rating scale. Analisa data

menggunakan uji t Hasil penelitian yang didapatkan adalah ada perbedaan yang
35

signifikan tingkat nyeri pada anak usia prasekolah yang dilakukan pemasangan

infus sebelum dan setelah diberikan terapi musik dan terapi video game.
6. The effects of two non-pharmacologic pain management methods for

intramuscular injection pain in children (Marzieh, 2006)


Purpose: To study the effect of local cold therapy and distraction in pain

relief using penicillin intramuscular injection in children. Methods: In this work,

90 children with ages from 5 to 12 who had penicillin injection intramuscularly in

a health centre were studied. The samples were chosen randomly and divided into

three groups: the first group received local cold therapy, the second group

received distraction and the third group (the control group) received routine care.

The data were collected through interview and questionnaire. Oucher scale was

used to measure pain intensity. Descriptive and inferential statistics were used to

analyse the findings. Results: Average pain intensity in local cold therapy,

distraction, and control groups was 26.3, 34.3, and 83.3, respectively. The findings

indicate that pain intensity was significantly higher in the control group than the

experimental groups. Also, pain intensity among children was inversely

proportional to their age.


7. The Assessment and Non-Pharmacologic Treatment of Procedural Pain From

Infancy to School Age Through a Developmental Lens: A Synthesis of

Evidence With Recommendations1 (Susan, 2015)

Introduction: The 2011 IOM report stated that pain management in

children is often lacking especially during routine medical procedures. The

purpose of this review is to bring a developmental lens to the challenges in

assessment and non-pharmacologic treatment of pain in young children. Method:

Asynthesis of the findings from an electronic search of PubMed and the university

library using the keywords pain, assessment, treatment, alternative,

complementary, integrative, infant, toddler, preschool, young, pediatric, and child

was completed. A targeted search identified additional sources for best evidence.
36

Results: Assessment of developmental cues is essential. For example, crying,

facial expression, and body posture are behaviors in infancy that indicate pain:

however in toddlers these same behaviors are not necessarily indicative of pain.

Preschoolers need observation scales in combination with self-report while for

older children self-report is the gold standard. Pain management in infants

includes swaddling and sucking. However for toddlers, preschoolers and older

children, increasingly sophisticated distraction techniques such as easily

implemented non-pharmacologic painmanagement strategies include reading

stories,watching cartoons, or listening to music.

8. Distraction Kits for Pain Management of Children Undergoing Painful

Procedures in the Emergency Department: A Pilot Study (Ariane, 2017)


To assess the feasibility, usefulness, and acceptability of using distraction

kits, tailored to age, for procedural pain management of young children visiting

the emergency department and requiring a needle-related procedure. A pre-

experimental design was piloted. A kit, tailored to age (infants-toddlers: 3

months–2 years; preschoolers: 3-5 years), was provided to parents before their

child’s needle-related procedure. Data was collected to assess feasibility,

usefulness, and acceptability of the kits by parents and nurses. Pain was measured

pre-, peri-, and postprocedure using the Face, Legs, Activity, Cry, Consolability

scale. A total of 25 infants and toddlers (mean age: 1.4 ± .7 years) and 25

preschoolers (mean age: 4.0 ± .9) participated in the study. Parents and nurses

considered the kits useful and acceptable for distraction in the emergency

department, especially in the postprocedural period. Addition of more animated

and interactive toys to the kits was suggested. In the infants-toddlers group, mean

pain scores were 1.6 ± 2.5 preprocedure, 7.1 ± 3.0 periprocedure, and 2.5 ± 2.5

postprocedure. In the preschoolers group, mean pain scores were 1.6 ± 3.0

preprocedure, 4.8 ± 3.4 periprocedure, and 2.0 ± 3.2 postprocedure. Distraction


37

kits were deemed useful and acceptable by parents and emergency nurses. They

are an interesting nonpharmacologic option for nurses to distract children, giving

them a sense of control over their pain and improving their hospital experience.
9. Efficacy of Non-pharmacological Methods of Pain Management in Children

Undergoing Venipuncture in a Pediatric Outpatient Clinic: A Randomized

Controlled Trial of Audiovisual Distraction and External Cold and Vibration

(Piera, 2018)
Purpose: Venipuncture generates anxiety and pain in children. The primary

aimof the studywas to evaluate two non-pharmacological techniques, vibration

combined with cryotherapeutic topical analgesia by means of the Buzzy device

and animated cartoons, in terms of pain and anxiety relief during venipuncture in

children. Designs and Methods: 150 children undergoing venipuncturewere

randomized into four groups: the ‘no method’ group, the Buzzy device group, the

animated cartoon group and the combination of Buzzy and an animated cartoon

group. Children's pain and anxiety levels along with parents' and nurses' anxiety

levels were evaluated by means of validated grading scales. Results: Overall

children's pain increased less in the non-pharmacological intervention groups as

compared to the group without intervention. Notably, the difference was

statistically significant in the animated cartoon group for children's perception of

pain. Children's anxiety and parents' anxiety decreasedmore in non-

pharmacological interventions groups as compared to the group without

intervention.
10. The Effects of Two Methods on Venipuncture Pain in Children: Procedural

Restraint and Cognitive-Behavioral Intervention Package (Fatma, 2019)

Background: Invasive interventions can produce fear, anxiety, and pain in

children. This may negatively affect the children's treatment and care. Aim: This

study was conducted to determine the effects of procedural restraint (PR) and

cognitivebehavioral intervention package (CBIP) on venipuncture pain in children


38

between 6-12 years of age. Design: Quasi-experimental study.

Participants/Subjects: The population of the study consisted of children admitted

to the blood collection service during the study period who met the inclusion

criteria. Methods: The children included in the study were divided into two

groups. Group 1 (n ¼ 31) received PR in accordance with routine clinical practice.

Group 2 (n ¼ 30) received the CBIP. The data were collected by the researchers

using a questionnaire, the visual analog scale (VAS), and the Wong-Baker FACES

(WBFACES) Pain Rating Scale. Results: The children in the PR group had a mean

VAS score of 5.90 ± 3.22 and a mean WB-FACES score of 8.70 ± 2.22. The

children in the CBIP group had a mean VAS score of 2.43 ± 2.02 and a mean WB-

FACES score of 2.80 ± 2.49. A statistically significant difference was found

between the mean VAS and WBFACES pain scores of the groups (p < .05).

BAB 3

KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN

A. Kerangka Konseptual
Manajemen nyeri ada dua
intervensi yaitu :
1. Intervensi farmakologi
2. Intervensi non farmakologi
a. Stimulasi
b. Kompres es dan panas
Proses atau mekanisme c. TENS
nyeri ada empat tahap d. Teknik distraksi
yaitu :
1. Transduksi 1)
2. Transmisi 2) Distraksi visual
2. Transmisi 1)
3) Distraksi
Distraksi audiovisual
pendengaran
3. Modulasi 4) Distraksi pernafasan
4. Persepsi 5) Distraksi intelektual
6) Distraksi imajinasi
e. Teknik relaksasi
f. Imajinasi terbimbing
g. Hipnotis
39

Penurunan nyeri pada anak


usia toddler saat dilakukan
pemasangan infus

Sumber : (Asmadi, 2012, Andarmoyo, 2013, Prasetyo, 2010)

Keterangan :

= Variabel yang diteliti

= Variabel yang tidak diteliti

= Mempengaruhi

Gambar 3.1 Kerangka konsep pengaruh teknik distraksi media audiovisual


terhadap penurunan nyeri pada anak usia toddler (1-3 tahun) saat
dilakukan pemasangan infus di RSI Jemursari Surabaya.

Proses terjadinya nyeri ada empat tahap yaitu transduksi, transmisi,

modulasi, dan persepsi. Manajemen nyeri ada dua jenis intervensi yaitu intervensi

farmakologi, dan intervensi non farmakologi yaitu stimulasi, kompres es dan

panas, TENS, teknik distraksi, teknik relaksasi, imajinasi terbimbing, dan

hipnotis. Teknik distraksi ada lima jenis yaitu distraksi visual, distraksi

pendengaran, distraksi pernafasan, distraksi intelektual, distraksi imajinasi

(Andarmoyo, 2013 & .Asmadi, 2013).

B. Hipotesis Penelitian

Hipotetis dalam penelitian ini adalah:

Ada pengaruh teknik distraksi media audiovisual terhadap penurunan nyeri

pada anak usia toddler (1-3 tahun) saat dilakukan pemasangan infus di RSI

Jemursari Surabaya.
40

BAB 4

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Bangun Penelitian

Dalam penelitian ini desain yang digunakan yaitu Quasi Eksperimental

yaitu penelitian yang bertujuan untuk menguji satu kelompok dilakukan intervensi

sesuai dengan metode yang dikehendaki, kelompok lainnya dilakukan seperti

biasa, sedangkan pendekatan yang digunakan yaitu dengan tehnik post test only

non equivalent control group yaitu desain penelitian ini hampir sama dengan

desain post test only group yaitu dengan memberikan intervensi atau perlakuan

kemudian di lihat hasilnya, akan tetapi desain penelitian ini tidak melakukan

randomisasi (Kelana, 2013).


Tabel 4.1 : berikut skema desain post test only non equivalent control group:

Tidak dilakukan R1 X1 O2
ramdom alokasi
R2 X0 O2

R
Keterangan :
41

R : Responden penelitian semua mendapat perlakuan/intervensi


R1 : Responden kelompok perlakuan mengikuti post tes
R2 : Responden kelompok kontrol mengikuti post test
X0 : Kelompok kontrol tanpa intervensi
X1 : Uji coba/intervensi pada kelompok perlakuan sesuai protokol
O2 : Post test setelah perlakuan
(Kelana, 2013)

B. Populasi Penelitian

Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti

(Notoatmodjo, 2010). Populasi dalam penelitian ini yaitu anak usia toddler (1-3

tahun) saat dilakukan pemasangan infus di RSI Jemursari Surabaya selama 1

bulan sebesar 50 anak.

C. Sampel, Besar Sampel, dan Cara Pengambilan Sampel

1. Sampel

Sampel adalah objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi

(Notoatmodjo, 2010). Sampel dalam penelitian ini adalah anak usia toddler (1-3

tahun) di RSI Jemursari Surabaya sebesar 50 anak dengan kriteria inklusi dan

ekslusi yaitu :

a. Kriteria inklusi

1) Anak didampingi orang tua/wali.

2) Anak keadaan sadar

3) Bersedia menjadi responden yang mendapatkan persetujuan dari orang tua

4) Jenis Kelamin (Perempuan dan Laki-laki)

5) Pengalaman sebelumnya

6) Dukungan keluarga

b. Kriteria ekslusi

1) Anak sedang kondisi lemah dan mengalami gangguan kesadaran

2) Anak yang tidak didampingi orang tua/wali


42

2. Besar sampel
Besar sampel adalah banyaknya responden yang akan dijadikan sampel.

Besar sampel yang diambil dalam penelitian ini dihitung dengan rumus dalam

buku Nursalam (2013), Adapun besar sampel yaitu penelitian ini berdasarkan

rumus sebagai berikut:

N
n=
1 + N (d2)
Keterangan :

n = sampel

N = populasi

d = tingkat signifikasi (0,05)

Dengan Perhitungan :

Diketahui :

N = 50

d = 0,05

Ditanya : n ?

Jawab :

N
n=
1 + N (d2)

50
n=
1 + 50 (0,05)2
43

50
n=
1 + 0,125

50
n=
1,125
n = 44,44

n = 44 anak

Jadi besar sampel adalah 44 responden

3. Cara Pengambilan Sampel

Sampling adalah proses menyeleksi porsi dari populasi untuk dapat

mewakili populasi (Nursalam, 2013). Pada penelitian ini menggunakan teknik

pengambilan sampel dilakukan dengan cara non probability sampling dan teknik

yang digunakan yaitu Purposive Sampling yaitu suatu metode pemilihan sampel

yang dilakukan ebrdasarkan maksud atau tujuan tertentu yang ditentukan oleh

peneliti.

D. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi penelitian
Penelitian dilakukan di RSI Jemursari Surabaya dengan alasan : Belum

pernah dilakukan penelitian yang sama tentang pengaruh teknik distraksi media

audiovisual terhadap penurunan nyeri pada anak usia toddler (1-3 tahun) saat

dilakukan pemasangan infus.


2. Waktu Penelitian
Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2020.

E. Kerangka Operasional Penelitian

Kerangka operasional penelitian ini adalah sebagai berikut :


Populasi
Seluruh anak usia toddler (1-3 tahun) saat dilakukan pemasangan infus di
RSI Jemursari Surabaya sebesar 50 anak
44

Sampling
Non probability sampling dengan teknik Purposive Sampling

Sampel
Sebagian anak usia toddler (1-3 tahun) saat dilakukan pemasangan infus di
RSI Jemursari Surabaya sebesar 44 anak.

Kelompok eksperimen (22) Kelompok kontrol (22)


Diberikan intervensi dengan diberikan intervensi yang ada
media teknik distraksi audiovisual diruangan

Pengumpulan Data
Diperoleh melalui pengisian lembar observasi (pengukuran
tingkat nyeri dengan menggunakan skala nyeri “wajah”)

Pengolahan data
Editing, Scoring, Coding, Processing, Cleaning, Tabulation

Analisa data
Uji Wilcoxon Rank Sum Test

Penyajian hasil penelitian

Simpulan dan Saran

Gambar 4.1 Kerangka kerja pengaruh teknik distraksi media audiovisual terhadap
penurunan nyeri pada anak usia toddler (1-3 tahun) saat dilakukan pemasangan
infus di RSI Jemursari Surabaya.

F. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional

1. Variabel penelitian

Variabel dalam penelitian ini dibedakan menjadi 2 variable yaitu variabel

independen dan variabel dependen .

a. Variabel bebas (independen)


45

Variabel bebas dalam penelitian ini yaitu teknik distraksi media

audiovisual.

b. Variabel terikat (dependen)

Variabel terikat dalam penelitian ini yaitu penurunan nyeri saat dilakukan

pemasangan infus

2. Definisi Operasional

4.2 Definisi operasional variabel pengaruh teknik distraksi media audiovisual

terhadap penurunan nyeri pada anak usia toddler (1-3 tahun) saat dilakukan

pemasangan infus di RSI Jemursari Surabaya.

Tabel 4.2 : Definisi Operasional

Variable Definisi operasional Kategori dan criteria Skala


pengukuran
Independen Distraksi merupakan - -
teknik pengalihan perhatian klien ke
distraksi hal yang lain sehingga dapat
media menurunkan kewaspadaan
audiovisual terhadap nyeri, bahkan
meningkatkan toleransi
terhadap nyeri. Contoh
distraksi audiovisual adalah
menonton animasi kartun
yang menggunakan media
animasi kartun dalam
pelaksanaannya. Media
animasi adalah media berupa
gambar yang bergerak
disertai dengan suara.

Dependen Tingkatan nyeri yang Skor : Ordinal


penurunan dirasakan oleh anak setalah Tidak nyeri = 0
nyeri saat dilakukan teknik distraksi Ringan =1
dilakukan audiovisual pada saat Sedikit nyeri= 2
pemasangan pemasangan infus, yang Sedang =3
infus diukur dengan skala Berat =4
peningkat nyeri “wajah”. Sangat berat = 5
Faces Rating Scale dari
Wong Baker yang
menggunakan skala VAS
terdiri dari 6 gambar skala
wajah yang bertingkat dari
wajah yang tersenyum untuk
“no pain” sampai wajah yang
46

berlinang air mata no 6 :


1. Nilai 0 : nyeri tidak
dirasakan oleh anak.
2. Nilai 1 : nyeri dirasakan
sedikit saja.
3. Nilai 2 : nyeri agak
dirasakan oleh anak.
4. Nilai 3 : nyeri yang
dirasakan oleh anak lebih
banyak.
5. Nilai 4 : nyeri yang
dirasakan anak secara
keseluruhan.
6. Nilai 5 : nyeri sekali dan
anak menjadi menangis.

G. Instrument Penelitian dan Cara Pengumpulan Data

1. Instrumen

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan

menggunakan handphone/tablet untuk menonton video animasi kartun agar pada

saat pemasangan infus nyeri pada anak berkurang. Sedangkan lembar observasi

yang berisi catatan tentang intensitas nyeri “wajah” dari Wong Baker yang

dirasakan anak pada saat dilakukan pemasangan infus .

2. Cara pengumpulan data


Pengumpulan data penelitian ini dilakukan setelah peneliti mendapat surat

pengantar dari kampus UNUSA untuk diberikan kepada RSI Jemursari Surabaya.

Pengumpulan data dapat dilakukan dengan data primer dan data sekunder. Data

primer diambil dengan cara melakukan observasi langsung pada pasien. Data

sekunder diperoleh dari instansi terkait, arsip catatan medik pasien, serta dokumen

penting lainnya.

H. Pengolahan dan Analisis Data

1. Pengolahan data
47

Ada beberapa kegiatan yang dilakukan oleh peneliti dalam pengolahan

data di bagi menjadi 5 tahap yaitu:

a. Editing atau memeriksa


Editing adalah upaya memeriksa kembali kebenaran data yang diperoleh

atau dikumpulkan. Editing dapat dilakukan pada tahap pengumpulan data atau

setelah data terkumpul.


b. Scoring
Skoring adalah melakukan penilaian intersitas respon nyeri anak saat

melakukan pemasangan infus untuk mengetahui skala nyeri yang dirasakan anak

dari tidak nyeri sampai dengan menangis.


Berikut penjelasan dari skala VAS menurut Wong Baker :
1) Nilai 0 : nyeri tidak dirasakan oleh anak.
2) Nilai 1 : nyeri dirasakan sedikit saja.
3) Nilai 2 : nyeri agak dirasakan oleh anak.
4) Nilai 3 : nyeri yang dirasakan oleh anak lebih banyak.
5) Nilai 4 : nyeri yang dirasakan anak secara keseluruhan.
6) Nilai 5 : nyeri sekali dan anak menjadi menangis.
c. Coding
Coding merupakan kegiatan memberikab kode numerik (angka) terhadap

data yang terdiri atas beberapa kategori.


1) Lembar observasi dengan penilaian :
a) Tidak nyeri =0
b) Ringan =1
c) Sedikit nyeri =2
d) Sedang =3
e) Berat =4
f) Sangat berat =5
d. Processing

Setelah untuk semua isian kuesioner terisi penuh dan benar, juga sudah

melewati pengkodingan, maka langkah selanjutnya adalah memproses data agar

dapat dianalisis. Pemprosesan data dilakukan dengan cara meng-entr data dari

kuesioner ke paket program komputer. Paket program komputer yang digunakan

untuk entr data adalah program SPSS for Windows.

e. Cleaning
Cleaning (pembersihan data) merupakan kegiatan pengecekan

kembali data yang sudah di-entry apakah ada kesalahan atau tidak. Kesalahan

tersebut dimungkinkan terjadi pada saat kita mengenter data ke komputer.


48

f. Tabulasi
Tabulasi adalah proses pengelompokan data ke suatu tabel tertentu

menurut sifat yang dimiliki. Data hasil dari pegumpulan hasil lembar observasi di

coding. Kemudian dimasukan ke dalam tabel. Setelah terbentuk tabel, selanjutnya

tabel tersebut dianalisis dan dinyatakan dalam bentuk tulisan.


Pembacaan tabel menurut Arikunto (2005) :
100 % : Seluruhnya
76% - 99% : Hampir seluruhnya
51% - 75% : Sebagian besar
50 % : Setegahnya
26% - 49% : Hampi setegahnya
15 % - 25% : Sebagian kecil
0% : Tidak satupun
2. Analisis data

Setelah data diolah langkah selanjutnya data dianalisis, analisis yang

digunakan yaitu uji Wilcoxon Rank Sum Test dengan menggunakan program SPSS

versi 12,0 for windows dengan tingkat signifikan α = 0,05. Jika hasil uji statistik

menunjukkan p < 0,05 maka H0 ditolak yang berarti ada pengaruh teknik distraksi

media audiovisual terhadap penurunan nyeri pada anak usia toddler (1-3 tahun)

saat dilakukan pemasangan infus di RSI Jemursari Surabaya.

I. Etika Penelitian

Sebelum melakukan penelitian, Penelitian ini mengajukan izin kepada

Rumah Sakit Jemursari Surabaya untuk mendapat persetujuan. Melakukan

pendekatan pada responden untuk mendapatkan persetujuan dari responden, lalu

kuesioner diberikan kepada responden dengan menekankan pada masalah etik

meliputi :
49

1. Informend concent (lembar persetujuan peneliti)

Lembar persetujuan penelitian di berikan pada responden. Tujuannya adalah

agar subjek mengetahui maksud dan tujuan penelitian serta dampak selama

pengumpulan data. Apabila subjek bersedia maka harus menandatangani lembar

persetujuan, dan bila subjek menolak maka peneliti tidak akan memaksa dan

menghormati haknya.

2. Anonimity (tanpa nama)

Untuk menjaga kerahasiaan identitas subyek penelitian, peneliti tidak

mencantumkan nama subyek pada lembar observasi, tetapi hanya nomer

responden, inisial dan tanda tangan responden.

3. Confidentiality (kerahasiaan)

Kerahasiaan informasi dijamin oleh peneliti, dan tidak akan

disebarluaskan dikalangan umum, hanya kelompok data yang diperlukan saja

yang akan dilaporkan sebagai hasil penelitian.


4. Non maleficence (tidak merugikan)
Peneliti berusaha semaksimal mungkin untuk tidak merugikan responden

sama sekali.

5. Beneficence ( berbuat baik)


Peneliti tidak membahayakan responden dan peneliti berusaha melindungi

responden dengan baik.


50

DAFTAR PUSTAKA

Ana, Zakiyah. 2015. Nyeri Konsep dan Penatalaksanaan dalam Praktik


Keperawatan Berbasisi Bukti. Jakarta : Saelmba Medika

Andarmoyo, S. 2013. Konsep dan Proses Keperawatan Nyeri. Yogyakarta : Ar-


Ruz Medika

Ariane, Dkk. 2017. Distraction Kits for Pain Management of Children


Undergoing Painful Procedures in the Emergency Departement : A Pilot
Study. Canada : UDM

Asmadi.2008. Teknik Prosedural Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien.


Jakarta : Salemba Medika

Dewi, Lina.2018. Distraction Techniques : Telling Stories to Decrease Pain for


Preschool Children During Infusion. Jakarta : UI

Endang, Zulaicha. 2019. Managemen Nyeri pada Anak Prasekolah saat Tindakan
Invasif dengan Distraksi STORITELLING. Surakarta : Stikes Kusum
Husada Surakarta

Hidayat, Alimul. A.(2013). Pengantar ilmu keperawatan anak..Jakarta : Salemba


Medika
51

Immerta.2018. Analisis Intervensi Teknik Distraksi Menonton Kartun Edukasi


terhadap Skala Nyeri pada Anak Toddler saat Pengambilan Darah
Intravena di Ruang Cempaka Anak RS Pelni. Jakarta : UMT

Irmayani.2018. Pengaruh Teknik Distraksi terhadap Skala Nyeri pada Tindakan


Pemasangan Infus di Ruangan Perawatan Anak RSUD Syekh Yusuf Gowa.
Makassar : Stikes Nani Hasanuddin Makassar

Kelana, Kusuma. 2013. Metodologi Penelitian Keperawatan. Jakarta : CV. Trans


Info Media

Marzieh, Dkk. 2006. The Effects Of Two Non Pharmacologic Pain Mangement
Methods For Intramuscular Injection Pain ini Children. Iran : Faculty
Member in Shahrekord University of Medical Scienes

Novitasari, Selvia.2019. Pengaruh Terapi Musik dan Terapi Video Gane terhadap
Tingkat Nyeri Anak pada Usia Prasekolah yang dilakukan Pemasangan
Infus. Jakarta : UMB

Nursalam. 2017. Metodelogi Penelitian Ilmu Keperawatan :Pendekatan Praktis.


Jakarta : Salemba Medika

Prasetyo, Sigit Nian.2010. Konsep dan Proses Keperawatan Nyeri. Yogyakarta :


Graha ilmu

Riski, Ns.2015. Teori & Konsep Tumbuh Kembang Bayi, Toddler, Anak, dan Usia
Remaja.Yogyakarta : Nuha Medika

Susan, Dkk. 2015. The Assessment and Non Pharmacologic Treatment Of


Procedural Pain From Infancy to School Age Through a Developmental
Lens : A Synthesis of Evidance with Recommendations. Columbus, OH :
Uvinersity of Pittsburgh

Susilo, Indung. 2019. Pengaruh Distraksi Audiovisual terhadap Nyeri saat


Pemasangan Infus pada Pasien Anak di RSUD Bangil. Malang : PSIKE

Tamsuri, A (2007). Seri Kebutuhan Dasar Manusia : Konsep dan


PenatalaksannanNyeri. Jakarta : EGC

Wong, D.L ., Eaton, M.H ., Wilson, D ., Winkelstein, M.L & Schwartz, P (2009).
Buku Ajar Keperawatan Pediatrik, Edisi 6. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai