BAB II
PEMBAHASAN
1.1 Pengertian Patogenesis Penyakit Defisiensi Gizi
Pengertian secara umum tentang Patogenesis adalah perkembangan atau evolusi
terjadinya penyakit dalam lingkungan tertentu, yang dalam dalam ini adalah patogensis
penyakit defisiensi gizi, merupakan bagian dari masalah gizi, ketidak seimbangan antara
intake (makanan yang dimakan) dan kebutuhan gizi tubuh adalah masalah gizi. Defisiensi
gizi terjadi jika zat-zat gizi yang terdapat dalam makanan yang dikonsumsi mengalami
defisiensi atau kekurangan, bila ini terjadi secara bertahap sel, intrasel, jaringan, dan organ
tubuh akan mengalami kematian. Jika sebaliknya, terjadi kelebihan gizi, zat-zat gizi
makanan yang dikonsumsi mengalami kelebihan maka secara bertahap pula akan
mengalami proses toksisitas (over) dan selanjutnya secara bertahap sel, intrasel, jaringan,
dan organ tubuh akan mengalami kematian (lihat gambar diatas).
Ketidak seimbangan antara intake dan kebutuhan tubuh yaitu ketidak seimbangan
zat-zat gizi yang terdapat dalam makanan yaitu karbohidrat, protein, lemak, vitamin,
mineral, air dan serat yang diperlukan seseorang sehari yang dapat menimbulkan gejala
kekurangan/kelebihan akan zat makanan tersebut. Ketidak kesimbangan ini selalu berada
dalam suatu lingkungan tertentu, artinya lingkungan juga dapat mempengaruhi ketidak
seimbangan antara intake dan kebutuhan gizi tubuh. Misalnya lingkungan dimana terjadi
gagal panen padi, disini tentunya ketersediaan pangan akan berkurang sampai ketingkat
konsumsi dan akhirnya akan terjadi kekurangan gizi.
Secara keseluruhan patogenesis penyakit defisiensi gizi adalah
perkembangan proses interaksi antara seseorang, dengan penyebab defisiensi gizi (zat-zat
gizi makanan yaitu KH, protein, Lemak, vitamin, mineral dan air) serta dengan lingkungan
dimana seseorang dan zat-zat gizi berada. Proses ini akan mengakibatkan sel, intrasel,
jaringan, dan organ tubuh secara bertahap akan mengalami gangguan dan dapat berakhir
dengan kematian
1.2 Konsep Alamiah Terjadinya Masalah Gizi (Patogenesis Penyakit Defisiensi Gizi)
Pada gambar di bawah ini yaitu gambar riwayat alamiah terjadinya masalah gizi (penyakit
defisiensi gizi), yang telah dibuat oleh ahli epidemiologi gizi, gambar ini dapat
menunjukkan perkembangan patogenesis penyakit defisiensi gizi.
Riwayat alamiah terjadinya masalah gizi (defisiensi gizi), dimulai dari tahap prepatogenesis
yaitu proses interaksi antara penjamu (host=manusia), dengan penyebab (agent=zat-zat
gizi) serta lingkungan (environment). Pada tahap ini terjadi keseimbangan antara ketiga
komponen yaitu tubuh manusia, zat gizi dan lingkungan dimana manusia dan zat-zat gizi
makanan berada (konsep :John Gordon). Ada 4 kemungkinan terjadinya patogenesis
penyakit defisiensi gizi.
1. makanan yang dikonsumsi kurang baik dari segi kualitas maupun kuantitas.
2. Peningkatan kepekaan host terhadap kebutuhan gizi mis : kebutuhan yang
meningkat karena sakit.
3. Pergeseran lingkungan yang memungkinkan kekurangan pangan, misalnya
misalnya gagal panen.
4. Perubahan lingkungan yang mengubah meningkatkan kerentanan host mis :
kepadatan penduduk di daerah kumuh
Catatan :
HOST (pejamu) : Manusia atau makhluk hidup lainnya yang menjadi tempat proses
alamiah perkembangan penyakit defisiensi gizi.AGENT (penyebab): Zat-zat gizi yang
terdapat dalam makanan yang dapat menyebabkan suatu penyakit defisiensi
gizi.ENVIRONMENT (lingkungan): Semua faktor luar dari individu (manusia)
Bila salah satu kemungkinan terjadinya penyakit defisiensi gizi tersebut diatas, maka tahap
pertama yang terjadi adalah “simpanan berkurang” yaitu zat-zat gizi dalam tubuh
terutama simpanan dalam bentuk lemak termasuk unsur-unsur biokatalisnya akan
menggantikan kebutuhan energi dari KH yang kurang, bila terus terjadi maka “Simpanan
Habis” yaitu titik kritis, tubuh akan menyesuaikan dua kemungkinan yaitu menunggu
asupan gizi yang memadai atau menggunakan protein tubuh untuk keperluan energi. Bila
menggunakan protein tubuh maka “perubahan faal dan metabolik” akan terjadi. Pada
tahap awal akan terlihat seseorang “ Tidak Sakit dan Tidak Sehat” sebagai batas klinis
terjadinya penyakit defisiensi gizi, bukan saja terjadi pada zat gizi penghasil energi tetapi
juga vitamin mineral dan air termasuk serat.
Prinsipnya terjadinya patogenesis penyakit defisiensi gizi, seperti terlihat pada gambar
prinsip monitoring gizi di bawah ini
Zat gizi dipergunakan oleh sel tubuh untuk dipergunakan berbebagai aktifitas, bila zat gizi
kurang maka sel tubuh akan mengambil cadangan zat gizi (depot), bila zat gizi yang
dikonsumsi berlebihan maka akan disimpan dalam tubuh. Bila depot simpanan habis dan
konsumsi zat gizi kurang maka akan terjadi proses biokimia untuk mengubah unsur-
unsur pengaangun strutuk tubuh, ini artinya telah terjadi gangguan biokimia tubuh
misalnya saja kadar Hb dan serum yang turun. Bila terus berlanjut maka terjadi gangguan
fungsi sel, jaringan dan organ tubuh. Bila tidak segera diatasi dengan konsumsi gizi yang
adekuat maka secara anatomi sel-sel, jaringan dan organ tubuh akan terlihat mengalami
kerusakan misalnya saja pada penyakit defisiensi gizi kwashirkor dan marasmus. Gangguan
anatomi dengan kerusakan jaringan yang parah dapat berakhir dengan kematian.
Sebagai pembanding proses terjadinya penyakit defisiensi gizi, dibawah ini diliperlihatkan
bagan riwayat alamiah terjadi penyakit.
Pada masa prepatogenesis bibit penyakit belum mamasuki penjamu, namun demikian telah
ada interaksi antara penjamu, bibit penjakit dan lingkungan, jika penjamu tidak dalam
keadaan baik, maka kondisi kesehatan menurun sehinga ada kemungkinan bibit penyakit
masuk kedalam tubuh.
Bila bibit penyakit telah masuk dalam tubuh, maka tahapan patogenesis dengan gejala yang
terlihat dan gejala yang tidak terlihat (horizon klinis). Dimulai dengan masa inkubasi yaitu
mulai masuknya bibit penyakit ke dalam tubuh dan timbulnya gejala atau tanda sakit. Bila
sudah muncul gejala maka masa penyakit dini yaitu mulai munculnya gejala penyakit,
dengan sifat penyakit masih ringan. Selanjutnya bila tidak segera diatasi maka masa
penyakit lanjut akan muncul yaitu penderita tidak dapat melakukan aktivitas, dan
memerlukan perawatan. Dan yang terakhir adalah masa penyakit berakhir yaitu dapat
sembuh sempurna atau sembuh dengan cacat, dapat juga Carrier, Kronis dan meninggal
dunia.
1.3 Penerapan patogenesis Penyakit Defisiensi Gizi
Penerapan patogenesis penyakit defisiensi gizi dalam upaya-upaya pencegahan dan
penanggulangan masalah gizi akan lebih mudah lagi difahami jika diterapkan dalam konsep
“pohon masalah” yang dapat memperlihatkan penyebab langsung, tidak langsung,
penyebab utama dan akar masalah. Seperti diperlihatkan dibawah ini ( Konsep Masalah
Gizi menurut Unicef). Masalah gizi dalam tahapan penyebab langsung disebabkan
oleh konsumsi zat gizi (yang rendah), pada pendekatan patogenesis dinyatakan sebagai
Agent dan adanya penyakit infeksi dinyatakan sebagai host. Kedua penyebab langsung ini
juga saling berinteraksi memperparah terjadinya masalah gizi.
Dengan di diketahui penyebab langsung. Maka selanjutnya Penyebab tidak langsung,
penyebab utama dan akar masalah akan dengan mudah dijabarkan dalam upaya-upaya
pencegahan dan penanggulangan masalah gizi.
Mempelajari konsep patogenesis (penyakit defisiensi gizi), sekaligus juga akan akan terurai
upaya-upaya pencegahan sesuai dengan tahapan patogenesis yang terjadi, yang telah
menjabarkan lima tahapan pencegahan berdasarkan proses alamiah terjadi penyakit yang
bisa juga diterapkan dalam upaya pencegahan penyakit defisiensi gizi, seperti yang
diperlihatkan pada gambar Five Level of Prevention.
Lima tingkatan (tahapan) pencegahan itu adalah :
Pertama; Promosi Kesehatan (Health Promotion), penyusunan Standar Kebutuhan Gizi
yang di Anjurkan, atau pedoman penerapan gizi seimbang – yang dulu lebih dikenal dengan
4 sehat 5 sempurna— merupakan bagian dari promosi kesehatan.
Kedua ; Perlindungan Khusus (specific Protektion) , pemberian zat gizi
tertentu misalnya saja Pemberian vitamin A pada anak balita dua kali dalam setahun untuk
melindungi anak dari kebutahan, merupakan salah satu upaya dalam tahapan perlindungan
khusus ini. Tahap pertama dan Kedua ini pencegahan yang berada pada periode
prepatogenesis.
Ketiga; Diagnosa Dini dan Pengobatan yang tepat (Early Diagnosis and Prompt
Treatment), sekrening survei berat badan dibawah garis merah pada KMS balita untuk
penentukan anak balita yang benar-benar menderita gizi kurang dan anak balita yang benar-
benar tidak menderita gizi kurang adalah salah satu contoh dari tahapan ini.
Kempat; Mengurangi Kelemahan (Disability Limitation). Pemberian diet sebagai
bagian dari proses penyembuhan penyakit merupakan bagian dari tahapan ini.
Kelima; Rehabilitasi, Pemberian makanan yang disesuaikan dengan keadaan pasien
merupakan bagian dari tahapan ini.
2.1 Defisiensi Gizi terhadap faktor predisposing penyakit kronik
2.1.1 Gizi Buruk
Di Indonesia kelompok anak balita menunjukkan prevalensi paling tinggi untuk
menderita KKP (Kekurangan Kalori Protein) dan defisiensi vitamin Aserta anemia
defisiensi gizi fe. Kelompok umur ini sulit dijangkau oleh berbagai upaya kegiatan
perbaikan gizi dan kesehatan lainnya, karena tidak dapat datang sendiri ke tempat
pelayanan kesehatan gizi dan kesehatan (Agus Krisno, 2009).
Secara umum status gizi dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu:
a. Kecukupan Gizi (Gizi Seimbang)
Dalam hal ini asupan gizi, seimbang dengan kebutuhan gizi seseorang yang bersangkutan.
b. Gizi Kurang
Gizi kurang merupakan keadaan tidak sehat yang timbul karena tidak cukup makan,
dengan demikian konsumsi energi dan protein kurang selama jangka waktu tertentu.
c. Gizi Lebih
Keadaan patologis (tidak sehat) yang disebabkan kebanyakan makan (Agus Krisno,
2009).Penyakit gangguan gizi banyak ditemui pada masyarakat golongan rentan, yaitu
golongan yang mudah sekali menderita akibat kekurangan gizi dan juga kekurangan
makanan (dificiency) misalnya kwashiorkor, busung lapar, marasmus, beri-beri dan lain-
lain. Kegemukan (obesity), kelebihan berat badan (over weight) merupakan tanda gizi
salah yang berdasarkan kelebihan dalam makanan (Agus Krisno, 2009).
Keadaan penyakit kekurangan gizi terbagi menjadi dua kelas, yaitu kelas pertama,
penyakit kurang gizi primer, contohnya pada kekurangan zat gizi esensial spesifik, seperti
kekurangan vitamin C maka penderita mengalami gejala scurvy, kelas yang kedua yaitu
penyakit kurang gizi sekunder, contohnya penyakit yang disebabkan oleh adanya
gangguan absorpsi zat gizi atau gangguan metabolisme zat gizi (Departemen Gizi dan
Kesehatan Masyarakat, 2007).
Penyakit-penyakit atau gangguan kesehatan akibat kekurangan atau kelebihan gizi dan
merupakan masalah kesehatan masyarakat antara lain adalah:
1. Penyakit KKP (Kurang Kalori / KEP)
Kurang kalori protein adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya
konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari sehingga tidak mencukupi angka
kecukupan gizi. Pada pemerikasaan klinis, penderita KKP akan memperlihatkan tanda-
tanda sebagai berikut:
a. Marasmus
1) Anak tampak sangat kurus, tinggal tulang terbungkus kulit.
2) Wajah seperti orang tua.
3) Cengeng, rewel.
4) Kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit, bahkan sampai tidak ada.
5) Sering disertai diare kronik atau konstipasi/ susah buang air besar, serta penyakit
kronik.
6) Tekanan darah, detak jantung, dan pernafasan berkurang.
b. Kwashiorkor
1) Oedema umumnya diseluruh tubuh dan terutama pada kaki (dorsum pedis).
2) Wajahnya membulat dan sembab
3) Otot-otot mengecil, lebih nyata apabila diperiksa pada posisi berdiri dan duduk,
anak anak berbaring terus-menerus.
4) Perubahan status mental: cengeng, rewel, kadang apatis.
5) Anak sering menolak segala jenis makanan (anoreksia).
6) Pembesaran hati.
7) Sering disertai infeksi, anemia, dan diare/mencret.
8) Rambut berwarna kusam dan mudah dicabut.
9) Gangguan kulit berupa bercak merah yang meluas dan berubah menjadi hitam
terkelupas (crazy pavement dermatosis)
10) Pandangan mata anak tampak sayu.
c. Marasmus-kwashiorkor
Tanda-tanda marasmus-kwashiorkor adalah gangguan dari tanda- tanda yang ada
pada marasmus dan kwashiorkor.
2. Penyakit kegemukan (obesitas)
Obesitas adalah kelebihan berat badan sebagai akibat dari penimbunan lemak tubuh
yang berlebihan. Seseorang yang memiliki berat badan 20% lebih tinggi dari nilai
tengah kisaran berat badannya yang normal dianggap mengalami obesitas. Adapun
penggolongan
obesitas ada tiga kelompok, yaitu:
a. Obesitas ringan: kelebihan berat badan 20-40%
b. Obesitas sedang: kelebihan berat badan 41-100%
c. Obesitas berat: kelebihan berat badan > 100%
(Hariza Adnani, 2011)
Menurut departemen gizi dan kesehatan masyarakat (2007), kwashiorkor (kekurangan
protein) adalah istilah pertama dari afrika, artinya sindroma perkembangan anak di
mana anak tersebut disapih tidak mendapatkan ASI sesudah 1 tahun karena menanti
kelahiran bayi berikutnya. Makanan pengganti ASI sebagian besar terdiri dari pati
atau air gula, tetapi kurang protein baik kualitas dan kuantitasnya. Sedangkan
marasmus adalah suatu keadaan kekurangan protein dan kilokalori yang kronis.
Karakteristik dari marasmus adalah berat badan sangat rendah.
2.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Status Gizi
Menurut Soekirman (2000), faktor penyebab kurang gizi atau yang mempengaruhi
status gizi seseorang adalah :
1. Penyebab langsung yaitu makanan anak dan penyakit infeksi yang mungkin
diderita anak. Timbulnya gizi kurang tidak hanya karena makanan yang kurang, tetapi
juga karena penyakit. Anak yang mendapatkan makanan cukup baik, tetapi sering
diserang diare atau
demam, akhirnya dapat menderita kurang gizi. Demikian juga pada anak yang makan
tidak cukup baik, maka daya tahan tubuhnya akan melemah. Dalam keadaan demikian
mudah diserang infeksi yang dapat mengurangi nafsu makan, dan akhirnya dapat
menderita kurang gizi. Pada kenyataannya keduanya baik makanan dan penyakit
infeksi secara bersama-sama merupakan penyebab kurang gizi.
2. Penyebab tidak langsung yaitu ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan
anak, serta pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan (Hariza Adnina, 2011).
Secara medik, indikator yang dapat digunakan untuk menyatakan masalah gizi adalah
indikator antropometri (ukurannya adalah berat dan tinggi badan yang dibandingkan
dengan standar), indikator hematologi (ukurannya adalah kadar hemoglobin dalam
darah), dan sebagainya.
Di luar aspek medik, masalah gizi dapat diakibatkan oleh kemiskinan, social budaya,
kurangnya pengetahuan dan pengertian, pengadaan dan distribusi pangan, dan
bencana alam (Khumaidi, 1994).
1. Masalah gizi karena kemiskinan indikatornya taraf ekonomi keluarga dan ukuran
yang dipakai adalah garis kemiskinan.
2. Masalah gizi karena sosial budaya indikatornya adalah stabilitas keluarga dengan
ukuran frekuensi nikah-cerai-rujuk, anak-anak yang dilahirkan di lingkungan
keluarga yang tidak stabil akan sangat rentan terhadap penyakit gizi-kurang. Juga
indikator demografi yang meliputi susunan dan pola kegiatan penduduk.
3. Masalah gizi karena kurangnya pengetahuan dan keterampilan di bidang
memasak, konsumsi anak, keragaman bahan, dan keragaman jenis masakan yang
mempengaruhi kejiwaan, misalnya kebosanan.
4. Masalah gizi karena pengadaan dan distribusi pangan, indicator pengadaan
pangan (food supply) yang biasanya diperhitungkan dalam bentuk neraca bahan
pangan, diterjemahkan ke dalam nilai gizi dan dibandingkan dengan nilai rata-rata
kecukupan penduduk.
3.1 Masalah Gizi
Masalah gizi terbagi menjadi masalah gizi makro dan mikro. Masalah gizi makro
adalah masalah yang terutama disebabkan oleh kekurangan atau ketidakseimbangan
asupan energi dan protein (KEP). Bila terjadi pada anak balita akan mengakibatkan
marasmus, kwashiorkor, atau marasmik-kwashiorkor, dan selanjutnya akan
menyebabkan gangguan pertumbuhan pada anak usia sekolah. Gejala klinis
kwashiorkor melipui odema menyeluruh, terutama pada punggung kaki (dorsum
pedis), wajah membulat dan sembab, pandangan mata sayu, rambut tipis kemerahan
seperti rambut jagung dan mudah dicabut tanpa rasa sakit serta rontok, perubahan
status mental, apatis dan rewel, perubahan hati, otot mengecil, kelainan kulit berupa
bercak merah muda yang meluas dan berubah warna menjadi coklat kehitaman dan
terkelupas, sering disertai penyakit akut, anemia dan diare.
Gejala klinis marasmus antara lain tubuh tampak sangat kurus, wajah seperti orang
tua, cengeng, rewel, kulit keriput, jaringan subkutis sangat sedikit, perut cekung,
sering disertai penyakit infeksi kronis dan diare atau susah buang air. Gejala klinis
marasmik-kwashiorkor meliputi gabungan gejala klinis antara kwashiorkor dengan
marasmus, dengan BB/U <60% baku median WHO-NCHS disertai oedema yang
tidak mencolok.
4.1 Pengetahuan Gizi
Pengetahuan gizi adalah sesuatu yang diketahui tentang makanan dalam
hubungannya dengan kesehatan optimal. Pengetahuan gizi meliputi pengetahuan
tentang pemilihan dan konsumsi sehari-hari dengan baik dan memberikan semua
zat gizi yang dibutuhkan untuk fungsi normal tubuh. Pemilihan dan konsumsi bahan
makanan berpengaruh terhadap status gizi seseorang.
Status gizi baik atau status gizi optimal terjadi apabila tubuh memperoleh cukup
zat gizi yang dibutuhkan tubuh. Status gizi kurang terjadi apabila tubuh mengalami
kekurangan satu atau lebih zat gizi essential. Sedangkan status gizi lebih terjadi
apabila tubuh memperoleh zat gizi dalam jumlah yang berlebihan, sehingga
menimbulkan efek yang membahayakan (Almatsir, 2004).
4.2 Sikap
Sikap merupakan reaksi suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak dapat
langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang
tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi
terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi
yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial (Notoatmodjo, 2007).
Newcomb, salah seorang ahli psikologi sosial dalam buku Notoatmodjo (2007),
menyatakan bahwa sikap itu merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum
merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan prediposisi suatu
perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi
terbuka atau tingkah laku yang terbuka. Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi
terhadap objek lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek
(Notoatmodjo, 2007).
Seperti halnya pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan menurut
Notoatmodjo 2007 yaitu :
a. Menerima (Receiving)
Menerima diartikan bahwa orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang
diberikan (objek).
b. Merespon (Responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan menyelesaikan tugas yang
diberikan adalah suatu indikasi dari sikap, karena dengan suatu usaha unutk
menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, terlepas dari
pekerjaan itu benar atau salah, adalah berarti orang itu menerima ide tersebut.
c. Menghargai (Valuing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu masalah.
d. Bertanggung Jawab (Responsible)
Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala
risiko merupakan sikap yang paling tinggi.
4.3 Perilaku
Perilaku (manusia) adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang
dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak sekitar
(Notoadmojo, 2007). Menurut Skiner seorang ahli psikologi dalam buku
Notoadmodjo 2007, merumuskan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus
(rangsangan dari luar). Oleh karena itu perilaku ini menjadi terjadi melalui proses
adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut
merespons, maka teori Skiner ini disebut teori “S-O-R” atas stimulus organisme
respons. Skinner membedakan adanya dua respon yaitu:
1) Respondent respons atau flexi, yakni respon yang ditimbulkan oleh
rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu. Stimulus semacam ini disebut
eleciting stimulalation karena menimbulkan respon-respon yang relatif tetap.
2) Operant respons atau instrumental respons, yakni respon yang timbul dan
berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang ini disebut
reinforcing stimulation atau reinforcer, karena mencakup respon.
Menurut Skinner dalam buku Notoatmodjo (2007), prosedur pembentukan
perilaku dalam conditioning adalah sebagai berikut:
a. Melakukan identifikasi tentang hal-hal yang merupakan penguat atau
reinforcer. Berupa hadiah-hadiah atau reward bagi pelaku yang akan dibentuk
yang membentuk perilaku yang dikehendaki.
b. Melakukan analisis untuk mengidentifikasikan komponen- komponen kecil yang
membentuk perilaku yang dikehendaki. Kemudian komponen-komponen tersebut
disusun dalam urutan yang tepat untuk menuju kepada terbentuknya perilaku yang
dibentuk.
c. Menggunakan secara urut komponen-komponen itu sebagai
tujuan sementara
d. Melakukan pembentukan perilaku dengan menggunakan urutan komponen yang
telah lama tersusun itu
Menurut Green dalam buku Notoatmodjo (2007), kesehatan seseorang
dipengaruhi oleh faktor perilaku dan non perilaku. Perilaku sendiri dipengaruhi
oleh lima domain utama yaitu pengetahuan, sikap, nilai, kepercayaan, dan faktor
demografis. Faktor enabling terkait dengan akses terhadap pelayanan dan
informasi kesehatan. Faktor enabling juga berasal dari komitmen pemerintah dan
masyarakat terhadap suatu objek perilaku kesehatan. Faktor reinforcing berasal
dari kelompok atau inividu yang dekat dengan seseorang, termasuk keluarga,
teman, guru, dan petugas kesehatan.
Secara lengkap 3 faktor utama yang mempengaruhi perubahan perilaku tersebut
dapat diterangkan sebagai berikut:
a. Faktor-faktor prediposisi (predisposing factor)
Faktor-faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan,
tradisi, dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
kesehatan, sistem yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial
ekonomi, dan sebagainya. Contohnya agar seorang waria mau menggunakan
kondom diperlukan pengetahuan dan kesadaran waria tersebut tentang kondom. Di
samping itu, kadang-kadang kepercayaan, tradisi, dan sistem nilai masyarakat juga
dapat mendorong atau menghambat waria untuk menggunakan kondom.
b. Faktor- faktor pemungkin (enabling factor)
Faktor-faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas
kesehatan bagi masyarakat, misalnya tempat pembelian kondom, tempat konsultasi,
tempat berobat, ketersediaan kondom atau kemudahan mendapat kondom dan
sebagainya. Untuk perilaku sehat masyarakat memerlukan sarana dan prasarana
yang pendukung misalnya pengguaan kondom. Waria yang mau menawarkan
kondom, tidak hanya karena dia tahu dan sadar manfaat kondom saja, melainkan
waria tersebut dengan mudah harus dapat memperoleh kondom. Fasilitas ini pada
hakekatnya mendukung atau memungkinkan terwujudnya perilaku kesehatan, maka
faktor-faktor ini disebut faktor pendukung atau faktor pemungkin.
c. Faktor-faktor penguat (reinforcing factor)
Adalah faktor-faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat,
tokoh agama, sikap, dan perilaku petugas termasuk petugas kesehatan, undang-
undang peraturan-peraturan baik dari pusat maupun pemerintah daerah yang
terkaitdengankesehatan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Patogenesis Penyakit Defisiensi Gizi adalah perkembangan masalah gizi terutama
defisiensi gizi, dengan konsep alamiah terjadinya penyakit yang diterapkan dalam masalah
gizi khususnya yang berhubungan dengan defisiensi gizi, maka patogenesis Riwayat
Alamiah Terjadinya Penyakit Defisiensi Gizi dapat terpetahkan dan merupakan pintu
masuk untuk lebih memahami secara mendalam tentang zat-zat gizi yang mengalami
defisiensi. Penerapannya dapat menggunakan konsep “pohon masalah” yang dapat
memperlihatkan penyebab langsung, tidak langsung, penyebab utama dan akar
masalah. Disamping itu juga upaya pencegahan dapat dilakukan dengan lima tahapan
pencegahan berdasarkan proses alamiah terjadi penyakit yang bisa juga diterapkan dalam
upaya pencegahan penyakit defisiensi gizi.
B. Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan
lebih fokus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber-sumber
yang lebih banyak dan tentunya dapat di pertanggung jawabkan.
DAFTAR PUSTAKA
Agus Krisno Budiyanto. 2009. Dasar-dasar Ilmu Gizi. Malang: UMM Press.
Albiner Siagian. 2010. Epidemiologi Gizi. Jakarta: Erlangga.
Almatsier Sunita. 2001. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama.
Arisman M.B. 2004. Gizi Dalam Daur Hidup. Jakarta : EGC
Anonim. 2010. Ilmu Gizi Untuk Keperawatan dan Gizi Kesehatan
Masyarakat. Yogjakarta: Nuha Medika.
20