JURNAL Lakon Watu Gunung
JURNAL Lakon Watu Gunung
JURNAL Lakon Watu Gunung
Oleh:
Restu Wijayadi
1010096016
Restu Wijayadi
Jurusan Pedalangan FSP ISI Yogyakarta
Abstraksi
Tulisan ini akan memaparkan bagaimana proses penggarapan penyajian karya seni lakon
Watugunung Gaya Yogyakarta yang dikemas dalam durasi waktu sekitar dua jam. Lakon
Watugunung mengisahkan perjalanan Jaka Wudug setelah lari dari asuhan ibu, dengan usaha dan
jerih payah atas kesusahannya, kelak di masa dewasa berhasil menjadi raja. Lakon ini tidak lagi
sering dipentaskan dan tidak lagi dikenal di masyarakat, sehingga karya ini ingin
memperkenalkan kembali kekayaan tradisi Jawa dalam pertunjukan wayang, yang tidak dijumpai
dalam tradisi Mahabarata maupuan Ramayanan India.
Pendahuluan
Tulisan ini akan menjelaskan bagaimana proses penggarapan karya untuk menyampaikan
gagasan tentang salah satu tokoh wayang yaitu Watugunung, yang ketika muda bernama Jaka
Wudhug untuk disajikan dalam pakeliran wayang kulit purwa. Lakon Watugunung merupakan
salah satu lakon wayang kulit purwa yang bersumber dari mitologi Jawa yang tersirat dalam
Babad Tanah Jawa (Sindhunata, 2013, 16) sehingga tidak ditemukan dalam epos Mahabarata
maupun Ramayana. Selain lakon Watugunung, lakon-lakon lain yang tidak ditemukan dalam
epos Mahabarata dan Ramayana diantaranya Mikukuhan, Ngruna-Ngruni, Wisnu Ratu, Wisnu
Krama, Murwakala dsb.
Watugunung sendiri adalah nama seorang raja di Negara Gilingwesi yang juga bergelar
Selacala secara etimologi berasal dari bahasa Jawa. Nama Watugunung terdiri dari dua suku kata
yaitu watu berarti batu dan gunung berarti gunung. Istilah ini sama dengan Selacala yang terdiri
dari dua suku kata sela berarti batu dan acala berarti gunung (Poerwadarminta, 1939: 623).
Lakon Watugunung tersebut mengisahkan cerita Prabu Watugunung dari menjadi raja hingga
gugur beserta seluruh keluarganya dalam peperangan melawan dewa. Peristiwa tersebut oleh
orang Jawa diabadikan menjadi sistem perhitungan waktu yang dinamakan wuku.
Cerita Watugunung sendiri sebenarnya sudah banyak ditulis dalam beberapa buku antara
lain Mudjanatistomo dalam Pedhalangan Ngayogyakarta Jilid I (1977), Kamajaya dalam Serat
Pustakaraja Purwa Jilid 2 (1993), Sumanto Susilamadya Serat Purwakandha Jilid I (2016), Sri
Mulyono dalam buku Wayang dan Karakter Manusia (1979), serta Ki Tristuti dalam Balungan
Lakon Pustakaraja Purwa (1983). Dari pengamatan pustaka-pustaka terdahulu tersebut,
diketahui terdapat perbedaan penceritaan. Cerita yang ditulis Tristuti dan Mudjanattistomo lebih
dekat dengan Pustakaraja Purwa Jilid I, sedangkan Sri Mulyono hanya sedikit mengenai
karakter tokoh Watugunung sebagai seorang yang serakah. Versi cerita dari Serat Purwakandha
memiliki perbedaan dari berbagai sumber tertulis tersebut, dapat diperlihatkan dengan tabel
perbandingan versi Pustakaraja dengan Purwakandha sebagai berikut:
Selain studi kepustakaan, lakon Watugunung juga telah banyak dipentaskan oleh dalang
terdahulu seperti, Ki Timbul Hadiprayitno (alm.) seorang maestro dalang wayang kulit purwa
gagrag Ngayogyakarta menyajikan Lakon Watugunung. Lakon ini dapat ditemukan dalam
bentuk file mp3 di situs https://wayangprabu.com dengan durasi waktu 07:15:21. Lakon tersebut
mengisahkan dari Prabu Watugunung menjadi seorang raja di Negara Gilingwesi sampai gugur
perang melawan dewa. Cerita ini disajikan dalam kerangka pakeliran wayang kulit purwa
Pengamatan juga dilakukan pada pertunjukan Ki Purbo Asmoro (2016) seorang dalang
gagrag Surakarta dan seorang Akademisi ISI Surakarta. Ki Purbo Asmoro mementaskan
pakeliran dengan lakon Watugunung dalam rangka syukuran Kitsie Emerson yang telah
menyelesaikan studi S3 di Universitas Leiden Belanda. Pementasan ini dilaksanakan di Gebang,
Kadipiro, Surakarta pada 31 Juli 2016 serta didokumentasikan dalam bentuk rekaman audio
visual dengan durasi 06:50:43. Lakon tersebut mengisahkan Watugunung dari masa remaja
hingga gugur melawan dewa.
Konsep Karya
Pakeliran wayang kulit purwa dengan Lakon Watugunung dalam karya ini terinspirasi
dari beberapa pertunjukan pakeliran wayang kulit purwa dengan Lakon Prabu Watugunung yang
dipentaskan oleh Ki Timbul Hadiprayitna yang diunduh dari https://wayangprabu.com dan Ki
Purbo Asmoro dalam Lakon Watugunung (31 Juli 2016). Teks tertulis buku “ Pedalangan
Ngayogyakarta Jilid I: Gegaran Pamulangan Habirandha”, Serat Pustakaraja Purwa Jilid 2
dan Balungan Lakon Pustakaraja Purwa Ki Tristuti Rahmadi, Lakon Watugunung dalam teks
tertulis ini akan dieksplorasi, dikembangkan dan diwujudkan dalam pakeliran wayang kulit
purwa dengan durasi sekitar dua jam.
Mengacu pada dua keterangan sanggit tersebut, dalam karya ini akan ditampilkan
mengenai tokoh Prabu Watugunung. Gagasan tersebut akan dituangkan dalam pakeliran dengan
menampilkan kisah Dewi Sinta yang sedang hamil kemudian diusir dari istana, masa remaja Jaka
Wudhug, hingga ia menjadi raja di Gilingwesi. Beberapa peristiwa penting terkait kisah Jaka
Wudhug akan diceritakan baik dengan visual pengadegan di kelir, maupun sanggit carita. Yakni
peristiwa Jaka Wudhug yang sejak lahir diasuh di Dhukuh Cangkring tanpa mengenal sosok
ayah, peristiwa ketika Jaka Wudhug meninggalkan ibunya setelah dipukul kepalanya
menggunakan énthong, peristiwa ketika Jaka Wudhug memulai kehidupan yang baru dengan
berguru dan menuntut ilmu, serta peristiwa Jaka Wudhug bertapa di atas Sela Garingging. Berkat
ketekunanya, ia bertapa mendapat anugerah berbagai ilmu kesaktian dan mendapatkan pusaka
berupa panah Hérawana yang kelak menghantarkanya menjadi seorang raja.
Beberapa fenomena yang dianggap mendukung akan dirancang, disusun, menjadi sebuah
pertunjukan pakeliran, disajikan dengan durasi dua jam dengan model pakeliran gagrag
Ngayogyakarta yang mengacu pada gagrag Yogyakarta pada umumnya, dengan menggunakan
pedoman pembagian wilayah pathet diantaranya pathet nem, pathet sanga, dan pathet manyura.
Pengkarya menggunakan beberapa suluk gagrag Ngayogyakarta seperti yang digunakan oleh Ki
Timbul Hadiprayitno dan Mudjanattistomo. Bahasa yang akan digunakan adalah bahasa Jawa
pedalangan. Alat musik pengiring menggunakan instrumen gamelan bernada slendro yang
Berdasarkan paparan seperti yang telah diuraikan di atas mengenai Lakon Watugunung,
karya ini ingin menyajikan kisah tokoh Watugunung yang belum disajikan oleh dalang dengan
lakon tersendiri yang mengisahkan perjalanan hidupnya sejak lahir hingga menjadi raja
Gilingwesi. Gagasan dan pesan yang ingin disampaikan dari karya ini adalah mengenai
pentingnya usaha dengan daya juang yang tinggi, sabar dan semangat untuk meraih keberhasilan
masa depan yang lebih baik, sebagaimana yang ditunjukkan oleh kisah Jaka Wudhug yang tabah
menjalani ujian dengan latar belakang kehidupan yang kurang beruntung, namun dengan daya
juang serta keuletannya menuntut ilmu dapat meraih keberhasilan menjadi raja Gilingwesi.
Proses karya
Beberapa hal yang terkait dengan unsur-unsur pakeliran seperti sanggit lakon, sanggit
ginem, sanggit sabet, dan sebagainya melalui sumber teks dan pertunjukan (audio Mp3, audio
visual, wawancara dengan nara sumber). Sanggit-sanggit yang telah didapatkan melalui proses
2. Prabu Palindriya
Prabu Palindriya putra dari Prabu Kandhihawa, dalam karya ini akan menggunakan
wayang katongan gabahan luruh, meminjam tokoh yang biasa digunakan untuk menokohkan
Prabu Ramawijaya bokongan, tetapi dengan rambut ngore. Adapun ciri-ciri fisik boneka tokoh
ini diantaranya: polatan wajah luruh (merunduk) dengan sunggingan warna emas, mata liyepan,
hidung ambangir, mulut salitan; menggunakan makutha (mahkota) dengan jamang susun tiga,
kancing garudha mungkur, menggunakan praba, menggunakan sampir, kelat bahu naga
3. Dewi Soma
Dewi Soma adalah anak Resi Sucandra dari Widarba. Kemudian menjadi istri Prabu
palindriya. Wayang yang digunakan meminjam wayang putren lanyap dengan rambut gendhong
panjang terurai. Adapun ciri fisik dan busana yang digunakan yaitu: wajah lanyap badan
ramping, warna sunggingan wajah putih bersih, mata liyepan, hidung ambangir, mulut salitan,
tubuh mbombrong, menggunakan jamang, memakai cundhuk, menggunakan gelung keling
dengan kancing garudha mungkur dan menggunakan rimong. Lengan atas menggunakan kelat
bahu naga karangrang, pergelangan tangan menggunakan gelang kana calumpringan, serta kaki
menggunakan kroncong binggel.
Karakter yang digambarkan pada tokoh Dewi Soma adalah sosok perempuan yang
ceriwis serta licik. Suara yang digunakan bernada tinggi, melengking, mengesankan tokoh
perempuan yang lamis dan licik. Penggunaan wayang ini untuk menokohkan Dewi Soma
berdasarkan wawancara dengan Ki Margiyono Bagong dan Ki Cerma Sutedja (2017). Adapun
tokoh Dewi Soma dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
5. Raden Buda
Raden Buda adalah putra Prabu Palindriya, adik dari Raden Anggara. Untuk tokoh ini
digunakan wayang caplangan ndangak. Adapun ciri Wujud fisik dan busananya yaitu: wajah
ndangak (melongok) dengan warna sunggingan merah muda, pasemon luruh, mata
kedhondhong, hidung sembada, berkumis dan berjenggot, tubuh ukuran sedang, warna kuning,
6. Raden Sukra
Raden Sukra adalah putra Prabu Palindriya yang ketiga. Tokoh ini menggunakan wayang
caplangan luruh, dengan ciri fisik dan busananya sebagai berikut: wajah luruh ndhungkluk
(merunduk) dengan praupan cakrak warna merah, polatan luruh, mata kedhondhongan, hidung
sembada, mulut slilitan, berkumis dan berjenggot, tubuh berukuran sedang, memakai gelung
supit urang, sumping sekar kluwih, kelatbahu naga mangsa, gelang calumpringan. Penggunaan
wayang ini berdasarkan wawancara dengan Ki Margiyono Bagong dan Ki Cerma Sutedja (2017).
Karakter tokoh ini pemberani, patuh pada perintah. Suara yang digunakan sperti ketika
menyuarakan tokoh Setyaki maupun Wratsangka. Adapun wayang tokoh Raden Sukra dapat
dilihat seperti pada gambar di bawah ini.
10
8. Dewi Landhep
Dewi Landhep adalah adik dari Dewi Sinta. Tokoh ini akan menggunakan wayang putren
lanyap (ndangak), dengan ciri-ciri fisik sebagai berikut: wajah melongok, warna sunggingan
wajah putih bersih, memiliki rambut sinom, memakai jamang sada sakler, sumping kudhup turi,
kancing gelung garudha mungkur, rambut terurai panjang, menggunakan rimong, lengan atas
kelat bahu ngangrangan, pergelangan tangan memakai gelang kana. Penggunaan tokoh ini
didasarkan gambar pada buku Pawukon 3000 oleh Sindhunata (2013). Tokoh Dewi Landhep
dapat dilihat seperti pada gambar berikut:
11
9. Jaka Wudhug
Jaka Wudhug adalah anak dari Dewi Sinta dengan Prabu Palindriya. Jaka Wudhug kecil
dalam karya ini diceritakan berusia sekitar enam tahun, maka wayang yang digunakan adalah
wayang Bayen (bayi). Ciri-ciri wayang Jaka Wudhug kecil adalah: ukuran tubuh kecil, tangan
depan dapat digerakkan, sementara tangan belakang digendhong, wajah tampan, hidung
ambangir, mata liyepan, pasemon luruh, rambut digelung, menggunakan kelat bahu.
Penggunaan wayang bayen ini didasarkan pada sanggit cerita yang pengkarya pilih dalam lakon
ini untuk menggambarkan sosok anak dengan usia sekitar enam tahun dengan karakter kanak-
kanak yang aktif bergerak, tidak sabar, cengeng, dan gemar makan. Adapun wujud fisik Jaka
Wudhug dapat dilihat dibawah ini.
12
13
14
15
16
17
18
Masalah : Prabu Palindriya bersedih karena hilangnya panah pusaka miliknya Gandhewa
Bajra panah Herawana.. Kesedihan sang raja juga dirasakan karena mengetahui
bahwa Dewi Sinta dan Dewi Landhep pergi dari istana ketika ia sedang berburu
di hutan. Prabu Palindriya berprasangka bahwa yang menyebabkan kepergian
Dewi Sinta dan Dewi Landhep akibat ulah dari Dewi Soma. Akan tetapi Dewi
Soma tidak mengakui perbuatanya, Percekcokan dapat dikendalikan ketika
Raden Anggara dan ketiga adiknya sanggup untuk mencari Dewi Sinta dan
Dewi Landhep.
2. Adegan : Paseban nJawi
Tokoh : Raden Buda dan Raden Sukra.
Masalah : Raden Buda mengajak Raden Sukra beserta prajurit Medhangkamulan untuk
mencari Dewi Sinta dan Dewi Landhep.
3. Jejer II : Dhukuh Cangkring.
Masalah :Dewi Sinta membicarakan nafsu makan Jaka Wudhug berbeda dengan anak-
anak pada umumnya. Ketika Dewi Sinta menanak nasi, Jaka Wudhuk
mengganggu Dewi Sinta. Hal tersebut membuat marah Dewi Sinta. Jaka
Wudhug di pukul menggunakan énthong, Mengakibatkan Jaka Wudhug pergi
dari Dhukuh Cangkring.
19
Masalah :Jaka Wudhug menguasai berbagai macam ilmu kesaktian. Brahmana Radhi
melihat cerdasan jaka wudhug maka Jaka Wudhug disuruh untuk mengambil
senjata pusaka di Wukir Haswata. Setelah dapat mengambil senjata tersebut,
Jaka Wudhug disuruh untuk mengabdi kepada Prabu Palindriya di Negara
Medhangkamulan.
Masalah :Jaka Wudhug berhasil mengambil senjata pusaka berupa Gandhewa Bajra dan
panah Herawana. Kemudia ia melanjutkan perjalanan mengabdi ke
Medhangkamulan.
Masalah :Prabu Palindriya menerima kedatangan Jaka Wudhug dengan tujuan ingin
mengabdi. Ketika diterima sebagai abdi, Jaka Wudhug menyerahkan senjata
pusaka Gandhewa Bajra dan panah Herawana. Prabu Palindriya merasa senang
karena pusaka tersebut adalah miliknya yang hilang. Atas jasa Jaka Wudhug, ia
diangkat menjadi patih bergelar Patih Silacala. Ketika itu, datanglah prajurit
dari Gilingaya membuat kerusakan di Medhangkamulan.
20
Masalah :Patih Nindyamantri menyuruh Raden Buda bahwa Prabu Palindriya supaya
menyerahkan kekuasaanya kepada Prabu Heryanalodra. Terjadilah perang,
Raden Buda kalah melawan patih Nindyamantri.
Masalah :Prabu palindriya merasa senang karena Patih Silacala dapat membunuh Prabu
Heryanalodra, sehingga Negara Gilingaya dapat dikalahkan. Atas jasa Patih
Silacala, Prabu Palindriya menobatkanya menjadi raja di Gilingaya bergelar
Prabu Watugunung. Negara Gilingaya diganti nama menjadi Gilingwesi.
B. Ringkasan Cerita
21
Dewi Sinta dan Dewi Landhep pergi meninggalkan istana Medhangkamulan akhirnya
sampai dan menetap di Dhukuh Cangkring. Sampai akhirnya Dewi Sinta melahirkan seorang
anak laki-laki bernama Jaka Wudhug, ia mempunyai kebiasaan yang berbeda dengan teman-
teman sebayanya yaitu memiliki porsi makan yang berlebihan. Hal tersebut ketika Dewi Sinta
sedang menanak nasi, Jaka Wudhug ingin segera memakanya membuka tutup kukusan, hal
tersebut Dewi Sinta marah akhirnya Jaka Wudhug dipukul menggunakan énthong sehingga Jaka
Wudhug lari sampai hutan bernama Sela Garingging.
Ketika Jaka Wudhug bertemu dengan Resi Randhi, ia di jadikan sebagai anak angkat.
Jaka Wudhug diberi berbagai ilmu kesaktian. Suatu hari Jaka Wudhug mengambil pusaka
Gandhewa Bajra Panah Herawana atas perintah Brahmana Randhi. Jaka Wudhug mengabdi
kepada Prabu Palindriya dan menyerahkan pusaka Gandhewa Bajra Panah Herawana, ia
diangkat menjadi patih bernama Patih Silacala.
Kesimpulan
Pakeliran wayang kulit purwa Lakon Watugunung disajikan dengan durasi waktu dua
setengah jam dengan menggunakan konsep pakeliran yang masih mengacu pada gaya
Yogyakarta. Pesan dan gagasan yang ingin disampaikan melalui karya ini adalah mengenai
pentingnya motivasi dan daya juang yang seyogyanya dimiliki dalam kehidupan. Dengan
motivasi yang kuat serta dorongan semangat, serta daya juang yang tinggi, seseorang akan dapat
melewati berbagai permasalahan kehidupan yang diujikan. Seperti dalam Lakon Watugunung
telah dicontohkan, daya juang yang tinggi dapat menjawab permasalahan, perubahan nasib Jaka
Wudhug dari keprihatinan menuju lembaran baru kehidupan yang penuh kesuksesan.
22
Kepustakaan
Junaidi. 2010. “Pakeliran Wayang kulit Purwa Gaya Surakarta Oleh dalang Anak”. Disertasi
untuk memperoleh gelar S-3, Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan Dan Seni
Rupa, sekolah Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
2012. Wayang Kulit Gaya Surakarta Ikonografi &Teknik Pakeliranya. Yogyakarta: BP
ISI Yogyakarta.
Kamajaya. 1993. Serat Pustakaraja Purwa Jilid 2. Surakarta:Yayasan ’Mangadeg’ Surakarta.
Mudjanatistomo. 1977. Pedalangan Ngayogyakarta Jilid I. Yogyakarta: Yayasan
Habirandha.
Mulyono, Sri. 1978. Sejarah Wayang dan Karakter Manusia. Jakarta: CV Haji Samsung.
Nurgiyantoro, Burhan. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Poerwadarminta. 1939. Baoesastra Jawa. Batavia: J.B Wolters.
Sajid, R.M. 1958. Bauwarno Wajang. Jogjkarta: PT Pertjetakan Republik Indonesia.
Sindhunata. 2013. Pawukon 3000. Yogyakarta:Bentara Budaya Yogyakarta.
Soetarno. 2006. Pertunjukan Wayang dan Makna Simbolisme. Surakarta:STSI Press.
Susilamadya, Sumanto. 2016. Sari Serat Purwakandha. Yogyakarta:Aswaja.
Sudarko. 2002. Pakeliran Padat: Pembentukan dan Penyebaran. Surakarta: Yayasan Citra
Etnika.
Wahyudi. Aris. 2014. Sambung Rapet dan greget Saut. Yogyakarta: Bagaskara.
Narasumber
Ki Margiyana (67 tahun). Dalang wayang kulit tinggal di Dusun Kowen, Timbulharjo, Sewon,
Bantul.
23
24