JURNAL Lakon Watu Gunung

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 25

ARTIKEL ILMIAH

PAKELIRAN WAYANG KULIT PURWA LAKON WATUGUNUNG

Oleh:

Restu Wijayadi
1010096016

JURUSAN SENI KARAWITAN


FAKULTAS SENI PERTUNJUKAN
INSTITUT SENI INDONESIA YOGYAKARTA
2017

UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta


Pakeliran Wayang Kulit Purwa Lakon Watugunung

Restu Wijayadi
Jurusan Pedalangan FSP ISI Yogyakarta

Abstraksi
Tulisan ini akan memaparkan bagaimana proses penggarapan penyajian karya seni lakon
Watugunung Gaya Yogyakarta yang dikemas dalam durasi waktu sekitar dua jam. Lakon
Watugunung mengisahkan perjalanan Jaka Wudug setelah lari dari asuhan ibu, dengan usaha dan
jerih payah atas kesusahannya, kelak di masa dewasa berhasil menjadi raja. Lakon ini tidak lagi
sering dipentaskan dan tidak lagi dikenal di masyarakat, sehingga karya ini ingin
memperkenalkan kembali kekayaan tradisi Jawa dalam pertunjukan wayang, yang tidak dijumpai
dalam tradisi Mahabarata maupuan Ramayanan India.

Kata kunci: lakon Watugunung, Gaya Yogyakarta.

Pendahuluan
Tulisan ini akan menjelaskan bagaimana proses penggarapan karya untuk menyampaikan
gagasan tentang salah satu tokoh wayang yaitu Watugunung, yang ketika muda bernama Jaka
Wudhug untuk disajikan dalam pakeliran wayang kulit purwa. Lakon Watugunung merupakan
salah satu lakon wayang kulit purwa yang bersumber dari mitologi Jawa yang tersirat dalam
Babad Tanah Jawa (Sindhunata, 2013, 16) sehingga tidak ditemukan dalam epos Mahabarata
maupun Ramayana. Selain lakon Watugunung, lakon-lakon lain yang tidak ditemukan dalam
epos Mahabarata dan Ramayana diantaranya Mikukuhan, Ngruna-Ngruni, Wisnu Ratu, Wisnu
Krama, Murwakala dsb.

Watugunung sendiri adalah nama seorang raja di Negara Gilingwesi yang juga bergelar
Selacala secara etimologi berasal dari bahasa Jawa. Nama Watugunung terdiri dari dua suku kata
yaitu watu berarti batu dan gunung berarti gunung. Istilah ini sama dengan Selacala yang terdiri
dari dua suku kata sela berarti batu dan acala berarti gunung (Poerwadarminta, 1939: 623).
Lakon Watugunung tersebut mengisahkan cerita Prabu Watugunung dari menjadi raja hingga
gugur beserta seluruh keluarganya dalam peperangan melawan dewa. Peristiwa tersebut oleh
orang Jawa diabadikan menjadi sistem perhitungan waktu yang dinamakan wuku.

UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta


Fenomena yang didapat dari pengamatan terhadap lakon Watugunung tersebut pengkarya
anggap menarik untuk diangkat. Perjalanan tokoh Jaka Wudhug yang pergi meninggalkan ibu di
usia yang masih kecil setelah dipukul dengan enthong, tidak mengenal sosok ayah sejak lahir,
kemudian berguru hingga kesuksesannya menjadi raja. Peristiwa tersebut menginspirasi
pengkarya mengangkat kisah ini dalam karya pakeliran.

Cerita Watugunung sendiri sebenarnya sudah banyak ditulis dalam beberapa buku antara
lain Mudjanatistomo dalam Pedhalangan Ngayogyakarta Jilid I (1977), Kamajaya dalam Serat
Pustakaraja Purwa Jilid 2 (1993), Sumanto Susilamadya Serat Purwakandha Jilid I (2016), Sri
Mulyono dalam buku Wayang dan Karakter Manusia (1979), serta Ki Tristuti dalam Balungan
Lakon Pustakaraja Purwa (1983). Dari pengamatan pustaka-pustaka terdahulu tersebut,
diketahui terdapat perbedaan penceritaan. Cerita yang ditulis Tristuti dan Mudjanattistomo lebih
dekat dengan Pustakaraja Purwa Jilid I, sedangkan Sri Mulyono hanya sedikit mengenai
karakter tokoh Watugunung sebagai seorang yang serakah. Versi cerita dari Serat Purwakandha
memiliki perbedaan dari berbagai sumber tertulis tersebut, dapat diperlihatkan dengan tabel
perbandingan versi Pustakaraja dengan Purwakandha sebagai berikut:

No Perbedaan Pustakaraja Purwa Jilid 2, serat Purwakandha


Pedalangan Ngayogyakarta Jilid I,
Balungan Lakon Ki Tristuti

1 Tempat kelahiran Jaka Dhukuh Cangkring Gunung Lampit


Wudhug
2 Nama ayah Jaka Prabu Palindriya Raden Gana
Wudhug
3 Alat untuk mengambil Énthong Ènthong dari Kayu Kemuning
nasi Dewi Sinta
4 Senjata Gandhewa Bajra panah Herawana Tidak ada

5 Musuh Jaka Wudhug Prabu Sintawaka, Prabu Resi Tama


Heryanalodra

Selain studi kepustakaan, lakon Watugunung juga telah banyak dipentaskan oleh dalang
terdahulu seperti, Ki Timbul Hadiprayitno (alm.) seorang maestro dalang wayang kulit purwa
gagrag Ngayogyakarta menyajikan Lakon Watugunung. Lakon ini dapat ditemukan dalam
bentuk file mp3 di situs https://wayangprabu.com dengan durasi waktu 07:15:21. Lakon tersebut
mengisahkan dari Prabu Watugunung menjadi seorang raja di Negara Gilingwesi sampai gugur
perang melawan dewa. Cerita ini disajikan dalam kerangka pakeliran wayang kulit purwa

UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta


gagrag Ngayogyakarta dengan pembagian tiga pathet yaitu pathet nem, pathet sanga dan pathet
manyura dan enam jejer.

Pengamatan juga dilakukan pada pertunjukan Ki Purbo Asmoro (2016) seorang dalang
gagrag Surakarta dan seorang Akademisi ISI Surakarta. Ki Purbo Asmoro mementaskan
pakeliran dengan lakon Watugunung dalam rangka syukuran Kitsie Emerson yang telah
menyelesaikan studi S3 di Universitas Leiden Belanda. Pementasan ini dilaksanakan di Gebang,
Kadipiro, Surakarta pada 31 Juli 2016 serta didokumentasikan dalam bentuk rekaman audio
visual dengan durasi 06:50:43. Lakon tersebut mengisahkan Watugunung dari masa remaja
hingga gugur melawan dewa.

Berdasarkan dari kedua dalang tersebut, terdapat perbedaan antara Ki Timbul


Hadiprayitno dan Ki Purbo Asmoro dalam menyajikan pakeliran Lakon Prabu Watugunung.
Perbedaan tersebut terlihat diantaranya dari penceritaan. Ki Timbul menyajikan pakeliran
dengan gagrag Ngayogyakarta yang disajikan dengan garap tradisi. Cerita yang disajikan
berawal dari Prabu Watugunung menjadi raja di Gilingwesi sampai gugur perang melawan dewa.
Sedangkan Ki Purbo Asmoro menyajikan pakeliran dengan gagrag Surakarta, gendhing yang
digunakan sebagian ada gendhing tradisi dan gendhing garapan baru yang disajikan dengan
penggarapan model pakeliran padat dimana iringan dan suluk terkadang tidak diawali dari awal
pembukaan dan diakhiri dengan suwuk konvensional. Cerita yang disajikan berawal dari Prabu
Watugunung ketika masa kecil bernama Jaka Wudhug pergi meninggalkan Dhukuh Cangkring,
menjadi raja di Gilingwesi sampai akhirnya gugur melawan dewa.

Konsep Karya

Pakeliran wayang kulit purwa dengan Lakon Watugunung dalam karya ini terinspirasi
dari beberapa pertunjukan pakeliran wayang kulit purwa dengan Lakon Prabu Watugunung yang
dipentaskan oleh Ki Timbul Hadiprayitna yang diunduh dari https://wayangprabu.com dan Ki
Purbo Asmoro dalam Lakon Watugunung (31 Juli 2016). Teks tertulis buku “ Pedalangan
Ngayogyakarta Jilid I: Gegaran Pamulangan Habirandha”, Serat Pustakaraja Purwa Jilid 2
dan Balungan Lakon Pustakaraja Purwa Ki Tristuti Rahmadi, Lakon Watugunung dalam teks
tertulis ini akan dieksplorasi, dikembangkan dan diwujudkan dalam pakeliran wayang kulit
purwa dengan durasi sekitar dua jam.

UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta


Kedua pakeliran wayang kulit purwa dengan Lakon Watugunung dan beberapa teks
tertulis tersebut akan diubah penyajianya sesuai dengan orientasi penyaji. Beberapa adegan cerita
dalam teks tertulis tersebut dipilih kemudian mengalami penggarapan sanggit cerita, yaitu proses
penggarapan kreatifitas dalang yang berhubungan dengan penafsiran unsur-unsur pakeliran
untuk mencapai kemantapan estetik pertunjukan wayang. Menurut Soetarno (2007), sanggit
sebagai wahana pembawa pesan dan penggarapan unsur pakeliran meliputi garap lakon, garap
adegan, garap tokoh, garap sabet, dan garap iringan karawitan, bertujuan memberikan peluang
dan ruang bagi dalang untuk memunculkan kecenderungan pribadi dalam pertunjukan wayang.
Sedangkan garap lakon menurut Sudarko (2002) adalah penentuan sanggit lakon yang
merupakan kerangka dasar lakon, sehingga mendapatkan gambaran garis besar lakon yang
memiliki kepaduan jalinan peristiwa dan tokoh dengan tema cerita.

Mengacu pada dua keterangan sanggit tersebut, dalam karya ini akan ditampilkan
mengenai tokoh Prabu Watugunung. Gagasan tersebut akan dituangkan dalam pakeliran dengan
menampilkan kisah Dewi Sinta yang sedang hamil kemudian diusir dari istana, masa remaja Jaka
Wudhug, hingga ia menjadi raja di Gilingwesi. Beberapa peristiwa penting terkait kisah Jaka
Wudhug akan diceritakan baik dengan visual pengadegan di kelir, maupun sanggit carita. Yakni
peristiwa Jaka Wudhug yang sejak lahir diasuh di Dhukuh Cangkring tanpa mengenal sosok
ayah, peristiwa ketika Jaka Wudhug meninggalkan ibunya setelah dipukul kepalanya
menggunakan énthong, peristiwa ketika Jaka Wudhug memulai kehidupan yang baru dengan
berguru dan menuntut ilmu, serta peristiwa Jaka Wudhug bertapa di atas Sela Garingging. Berkat
ketekunanya, ia bertapa mendapat anugerah berbagai ilmu kesaktian dan mendapatkan pusaka
berupa panah Hérawana yang kelak menghantarkanya menjadi seorang raja.

Beberapa fenomena yang dianggap mendukung akan dirancang, disusun, menjadi sebuah
pertunjukan pakeliran, disajikan dengan durasi dua jam dengan model pakeliran gagrag
Ngayogyakarta yang mengacu pada gagrag Yogyakarta pada umumnya, dengan menggunakan
pedoman pembagian wilayah pathet diantaranya pathet nem, pathet sanga, dan pathet manyura.
Pengkarya menggunakan beberapa suluk gagrag Ngayogyakarta seperti yang digunakan oleh Ki
Timbul Hadiprayitno dan Mudjanattistomo. Bahasa yang akan digunakan adalah bahasa Jawa
pedalangan. Alat musik pengiring menggunakan instrumen gamelan bernada slendro yang

UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta


dibantu oleh para pengrawit, sindhen, penggerong, untuk menyajikan pakeliran wayang kulit
purwa Lakon Watugunung.

Berdasarkan paparan seperti yang telah diuraikan di atas mengenai Lakon Watugunung,
karya ini ingin menyajikan kisah tokoh Watugunung yang belum disajikan oleh dalang dengan
lakon tersendiri yang mengisahkan perjalanan hidupnya sejak lahir hingga menjadi raja
Gilingwesi. Gagasan dan pesan yang ingin disampaikan dari karya ini adalah mengenai
pentingnya usaha dengan daya juang yang tinggi, sabar dan semangat untuk meraih keberhasilan
masa depan yang lebih baik, sebagaimana yang ditunjukkan oleh kisah Jaka Wudhug yang tabah
menjalani ujian dengan latar belakang kehidupan yang kurang beruntung, namun dengan daya
juang serta keuletannya menuntut ilmu dapat meraih keberhasilan menjadi raja Gilingwesi.

Proses karya

Langkah-langkah yang diperlukan dalam proses penggarapan karya seni lakon


Watugunung ini telah mengalami serangkaian tahapan diantaranya: Mengumpulkan data, yakni
dengan mencari berbagai referensi pertunjukan melalui sumber audio (Mp3) dan Audio Visual.
Pada tahap ini, pengkarya melakukan pengumpulan data untuk mencari keterangan yang
berkaitan dengan cerita Prabu Watugunung. Data yang diperoleh dari sumber audio Mp3 yaitu
Lakon Prabu Watugunung dengan dalang Ki Timbul Hadiprayitno dari Bantul dan audio visual
Lakon Watugunung dengan dalang Ki Purbo Asmoro.

Di samping mengamati pertunjukan, pengkarya juga melakukan wawancara dengan


beberapa dalang senior untuk memperoleh keterangan cerita Prabu Watugunung. Di antara
dalang yang dijadikan narasumber, Ki Margiyono dari Sewon Bantul, Ki Hadi Sutoyo dari
Pajangan Bantul, Ki Warjudi Cerma Utama dari Babatan dan Ki Cerma Suteja dari Banguntapan
Bantul. Studi kepustakaan juga dilakukan, dalam rangka mencari sumber teks tertulis dan
literatur sebagai referensi dan acuan dalam proses pengkaryaan karya seni.

Beberapa hal yang terkait dengan unsur-unsur pakeliran seperti sanggit lakon, sanggit
ginem, sanggit sabet, dan sebagainya melalui sumber teks dan pertunjukan (audio Mp3, audio
visual, wawancara dengan nara sumber). Sanggit-sanggit yang telah didapatkan melalui proses

UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta


eksplorasi diteliti kembali dan dipilih yang benar-benar akan dijadikan acuan pendukung dalam
penyusunan naskah. Kemudian beberapa tahapan tadi akan diuraikan serta dijabarkan dalam
penyajian pertunjukan.

Penyajian Lakon Watugunung


Seperti telah dipaparkan pada bab sebelumnya, pakeliran sebagai sebuah pertunjukan
memiliki beberapa unsur penyajian yang dapat dilihat maupun unsur pendukung penyajian,
sebagaimana telah disarikan dari keterangan Soetarno (2005) dalam bukunya, Pertunjukan
Wayang dan Makna Simbolisme. Bab ini selanjutnya akan dipaparkan mengenai konsep
penyajian Lakon Watugunung, serta diskripsi unsur-unsur penyajian Lakon Watugunung dalam
model pakeliran Yogyakarta dengan durasi selama kurang lebih dua jam. Konsep penyajian
Lakon Watugunung dalam karya ini dapat diuraikan sebagai berikut:
A. Tema
Setiap karya pakeliran tentunya akan menyajikan lakon melalui unsur-unsur pakeliran
yang dapat dilihat dan didengar. Lakon tersebut menjadi perhatian, karena lakon berisi kumpulan
ide dan gagasan yang akan menyampaikan pesan tertentu pada penonton. Ide dan gagasan inilah
yang dirumuskan sebagai sebuah tema dalam pakeliran. Dengan kata lain, jika merujuk
pernyataan Wahyudi (2014: 64) dalam bukunya, Sambung-Rapet dan Greget-Sahut Sebuah
Paradigma Dramaturgi Wayang, dikatakan bahwa tema kemudian akan mewadahi seluruh ide
dan gagasan dalang. Dapat disimpulkan, tema dibentuk oleh gagasan seniman untuk
menyampaikan pesan atau makna tertentu yang kemudian ingin disampaikan pada penonton dan
masyarakat.
Berdasarkan keterangan dan penjelasan mengenai tema seperti di atas, dalam karya ini
akan diuraikan mengenai tema yang mewadahi ide serta gagasan pengkarya yakni mengenai
perjuangan. Perjalanan hidup Watugunung yang berliku-liku dan mengalami ketidak
beruntungan di masa kecil, namun kelak mendapatkan keberhasilan dengan menjadi seorang
raja, menurut pengkarya merupakan hasil jerih payah dan ketekunan Jaka Wudhug ketika
menghadapi ujian kehidupan. Jerih payah, ketekunan, keuletan dan ketabahan tersebut dilandasi
oleh sebuah motivasi, yakni semangat perjuangan untuk meraih masa depan yang lebih baik.
B. Penokohan
Penokohan dalam sebuah lakon adalah poin utama yang akan mendapatkan perhatian,
karena pada dasarnya cerita akan berbunyi jika ada tokoh-tokoh yang memainkan peranan dalam

UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta


perjalanan penceritaan. Interaksi masing-masing tokoh kemudian akan menyebabkan konflik
dalam sebuah cerita, dengan demikian, tokoh merupakan penyampai ide dan gagasan yang telah
dibungkus dalam tema untuk disampaikan pada penonton, sebagaimana telah dipaparkan oleh
Nurgiyantoro (2002) dalam, Teori Pengkajian Fiksi. Selanjutnya, penokohan akan meliputi
beberapa aspek seperti diantaranya tokoh, asal usul, dan perwatakannya.
Karena tokoh-tokoh dalam Lakon Watugunung belum memiliki tokoh baku yang
dijadikan acuan, bahkan para dalang jarang yang memiliki sesuai dengan wayang yang spesifik,
maka lazim digunakan wayang tokoh lain untuk mewakili penokohan tokoh-tokoh tersebut.
Peminjaman tokoh-tokoh tersebut didasarkan pada gambar wayang pada Pawukon 3000 oleh
Sindhunata (2013), wawancara dengan Ki Cerma Suteja dari Gedongkunig dan Ki Margiyono
dari Kowen Bantul. Tokoh-tokoh yang berperan dalam Lakon Watugunung dalam karya ini
tokoh yang meliputi ciri-ciri, dan karakter dalam penceritaan, seperti sebagai berikut:
1. Kayon
Kayon atau lazim juga disebut sebagai Gunungan, digunakan untuk mendeskripsikan
pegunungan, pepohonan, maupun keraton. Menurut bentuk dan lukisannya, Kayon wayang kulit
dibedakan menjadi dua jenis, yaitu Kayon Gapuran dan Kayon Blumbangan (Soetarno, 2005:
63).

Gambar 1. Kayon Gapuran Yogyakarta Koleksi Jurusan Pedalangan


(Foto: Restu Wijayadi, 2017)

2. Prabu Palindriya
Prabu Palindriya putra dari Prabu Kandhihawa, dalam karya ini akan menggunakan
wayang katongan gabahan luruh, meminjam tokoh yang biasa digunakan untuk menokohkan
Prabu Ramawijaya bokongan, tetapi dengan rambut ngore. Adapun ciri-ciri fisik boneka tokoh
ini diantaranya: polatan wajah luruh (merunduk) dengan sunggingan warna emas, mata liyepan,
hidung ambangir, mulut salitan; menggunakan makutha (mahkota) dengan jamang susun tiga,
kancing garudha mungkur, menggunakan praba, menggunakan sampir, kelat bahu naga

UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta


karangrang, gelang kana pada pergelangan tangan, serta kaki menggunakan gelang kroncong
(Sagio: 1991).
Karakter tokoh Prabu Palindriya digambarkan sebagai raja bijaksana, pandai, sakti, dan
berwibawa. Karakter tersebut akan ditunjukkan dengan penggunaan suara yang sedang, tidak
berat, lembut, layaknya menyuarakan tokoh Ramawijaya. Penggunaan wayang katongan
gabahan luruh seperti ini berdasarkan keterangan dari wawancara dengan Ki Margiyono
Bagong, Ki Sutoyo, dan Ki Cerma Sutedjo (2017). Tokoh Prabu Palindriya selanjutnya dapat
dilihat seperti pada gambar berikut ini:

Gambar 2. Prabu Palindriya Gaya Yogyakarta Koleksi Jurusan Pedalangan


(Foto: Restu Wijayadi, 2017)

3. Dewi Soma
Dewi Soma adalah anak Resi Sucandra dari Widarba. Kemudian menjadi istri Prabu
palindriya. Wayang yang digunakan meminjam wayang putren lanyap dengan rambut gendhong
panjang terurai. Adapun ciri fisik dan busana yang digunakan yaitu: wajah lanyap badan
ramping, warna sunggingan wajah putih bersih, mata liyepan, hidung ambangir, mulut salitan,
tubuh mbombrong, menggunakan jamang, memakai cundhuk, menggunakan gelung keling
dengan kancing garudha mungkur dan menggunakan rimong. Lengan atas menggunakan kelat
bahu naga karangrang, pergelangan tangan menggunakan gelang kana calumpringan, serta kaki
menggunakan kroncong binggel.
Karakter yang digambarkan pada tokoh Dewi Soma adalah sosok perempuan yang
ceriwis serta licik. Suara yang digunakan bernada tinggi, melengking, mengesankan tokoh
perempuan yang lamis dan licik. Penggunaan wayang ini untuk menokohkan Dewi Soma
berdasarkan wawancara dengan Ki Margiyono Bagong dan Ki Cerma Sutedja (2017). Adapun
tokoh Dewi Soma dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta


Foto 3. Dewi Soma Koleksi Jurusan Pedalangan
(Foto: Restu Wijayadi, 2017)
4. Raden Anggara
Raden Anggara diceritakan sebagai putra sulung Prabu Palindriya raja Medhangkamulan.
Tokoh ini akan menggunakan wayang caplangan seperti tokoh Raden Setyaki, namun tidak
menggunakan kancing gelung garudha mungkur. Adapun ciri fisik dan busananya yaitu:
praupan cakrak wajah melongok (ndangak) dengan warna sunggingan wajah merah muda, mata
kedhondhong, hidung sembada, mulut slilitan, berkumis dan berjenggot, tubuh ukuran
tanggungwarna kuning, memakai turidha dan jamang, gelung supit urang, sumping gajah
ngoling, kalung pananggalan, kelat bahu naga mangsa, gelang kana banda, cincin gunung
sepikul, kampuh parangrusak, uncal kencana, celana panjang cindhe, dan keroncong sarpraja.
Karakter yang digambarkan pada tokoh ini adalah sosok satriya yang patuh dan
pemberani. Suara yang digunakan sedang tapi tegas. Penggunaan wayang untuk menggambarkan
tokoh Raden Anggara ini berdasarkan wawancara dengan Ki Margiyono Bagong dan Ki Cerma
Sutedja. Adapun wujud fisik Raden Anggara dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Foto 4. Raden Anggara Gaya Yogyakarta Koleksi Jurusan Pedalangan


(Foto: Restu Wijayadi, 2017)

5. Raden Buda
Raden Buda adalah putra Prabu Palindriya, adik dari Raden Anggara. Untuk tokoh ini
digunakan wayang caplangan ndangak. Adapun ciri Wujud fisik dan busananya yaitu: wajah
ndangak (melongok) dengan warna sunggingan merah muda, pasemon luruh, mata
kedhondhong, hidung sembada, berkumis dan berjenggot, tubuh ukuran sedang, warna kuning,

UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta


memakai gelung supit urang, memakai turidha dan jamang, sumping sekar kluwih, kalung
pananggalan, kelatbahu naga mangsa, gelang kana kanda, cincing gunung sepikul, kampuh
parangrusak, uncal kencana, celana panjang cindhe, dan kroncong sarparaja (Sagio: 1991).
Raden Buda diceritakan memiliki karakter yang pemberani, tegas, dan patuh pada
perintah orang tua. Penggunaan wayang ini berdasarkan wawancara dengan Ki Margiyono
Bagong dan Ki Cerma Sutedjo (2017). Adapun wujud fisik Raden Buda lihat gambar di bawah
ini.

Foto 5. Raden Buda Koleksi Jurusan Pedalangan ISI Yogyakarta


(Foto: Restu Wijayadi, 2017)

6. Raden Sukra
Raden Sukra adalah putra Prabu Palindriya yang ketiga. Tokoh ini menggunakan wayang
caplangan luruh, dengan ciri fisik dan busananya sebagai berikut: wajah luruh ndhungkluk
(merunduk) dengan praupan cakrak warna merah, polatan luruh, mata kedhondhongan, hidung
sembada, mulut slilitan, berkumis dan berjenggot, tubuh berukuran sedang, memakai gelung
supit urang, sumping sekar kluwih, kelatbahu naga mangsa, gelang calumpringan. Penggunaan
wayang ini berdasarkan wawancara dengan Ki Margiyono Bagong dan Ki Cerma Sutedja (2017).
Karakter tokoh ini pemberani, patuh pada perintah. Suara yang digunakan sperti ketika
menyuarakan tokoh Setyaki maupun Wratsangka. Adapun wayang tokoh Raden Sukra dapat
dilihat seperti pada gambar di bawah ini.

Foto 6. Raden Sukra Koleksi Jurusan Pedalangan ISI Yogyakarta


(Foto: Restu Wijayadi, 2017)

10

UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta


7. Dewi Sinta
Dewi Sinta adalah istri Prabu Palindriya. Wayang yang digunakan meminjam wayang
putren luruh dengan ciri wujud fisik dan busananya yaitu: wajah luruh (merunduk), hidung
ambangir, mata liyepan, mulut salitan, polatan luruh, rambut ngore, tubuh kuning langsing
berwarna emas, rambut bersinom, menggunakan jamang sada saler, pengikat garudha mungkur,
rambut panjang terurai, dan menggunakan rimong.
Karakter yang digambarkan pada tokoh ini adalah sosok perempuan yang keibuan, tabah,
namun sesekali tegas. Suara yang digunakan kecil dengan nada dan pembawaan yang tenang
seperti menyuarakan tokoh Dewi Subadra ataupun Dewi Sinta istri Ramawijaya. Penggunaan
wayang ini berdasarkan gambar pada buku Pawukon 3000 oleh Sindhunata (2013).

Gambar 7. Dewi Sinta Koleksi Jurusan Pedalangan ISI Yogyakarta


(Foto: Restu Wijayadi,2017)

8. Dewi Landhep
Dewi Landhep adalah adik dari Dewi Sinta. Tokoh ini akan menggunakan wayang putren
lanyap (ndangak), dengan ciri-ciri fisik sebagai berikut: wajah melongok, warna sunggingan
wajah putih bersih, memiliki rambut sinom, memakai jamang sada sakler, sumping kudhup turi,
kancing gelung garudha mungkur, rambut terurai panjang, menggunakan rimong, lengan atas
kelat bahu ngangrangan, pergelangan tangan memakai gelang kana. Penggunaan tokoh ini
didasarkan gambar pada buku Pawukon 3000 oleh Sindhunata (2013). Tokoh Dewi Landhep
dapat dilihat seperti pada gambar berikut:

11

UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta


Gambar 8. Dewi Landhep Koleksi Jurusan Pedalangan ISI Yogyakarta
(Foto: Restu Wijayadi,2017)

9. Jaka Wudhug
Jaka Wudhug adalah anak dari Dewi Sinta dengan Prabu Palindriya. Jaka Wudhug kecil
dalam karya ini diceritakan berusia sekitar enam tahun, maka wayang yang digunakan adalah
wayang Bayen (bayi). Ciri-ciri wayang Jaka Wudhug kecil adalah: ukuran tubuh kecil, tangan
depan dapat digerakkan, sementara tangan belakang digendhong, wajah tampan, hidung
ambangir, mata liyepan, pasemon luruh, rambut digelung, menggunakan kelat bahu.
Penggunaan wayang bayen ini didasarkan pada sanggit cerita yang pengkarya pilih dalam lakon
ini untuk menggambarkan sosok anak dengan usia sekitar enam tahun dengan karakter kanak-
kanak yang aktif bergerak, tidak sabar, cengeng, dan gemar makan. Adapun wujud fisik Jaka
Wudhug dapat dilihat dibawah ini.

Gambar 9. Bayen koleksi Jurusan Pedalangan ISI Yogyakarta.


(Foto: Restu Wijayadi, 2017)

10. Jaka Wudhug Muda


Tokoh Jaka Wudug muda akan menggunakan wayang bambangan jangkah luruh, dengan
ciri sebagai berikut: wajah luruh berwarna emas, mata liyepan, hidung ambangir, mulut salitan,
gelung sapit urang tanpa sumping dan kancing gelung, jangkahan, tanpa celana panjang, tangan
dan kaki tidak menggunakan gelang ataupun kelat bahu. Penggunaan wayang ini berdasarkan
buku Pawukon 3000 oleh Sindhunata (2013). Pengkraya memilih tidak menggunakan kalung dan

12

UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta


kelat bahu, untuk lebih menggambarkan kesan sederhana sebagai anak muda yang dibesarkan di
pedesaan dan pertapan.
Karakter yang muncul dari tokoh ini adalah sosok pemuda desa sederhana, pandai, tabah,
namun ulet dan bersemangat. Wayang tokoh Jaka Wudhug muda diperlihatkan dalam gambar
berikut:

Gambar 10. Watugunung Muda Koleksi Jurusan Pedalangan Isi Yogyakarta.


(Foto: Restu Wijayadi, 2017)
11. Prabu Watugunung
Tokoh Prabu Watugunung akan menggunakan wayang Ramawijaya Jangkah dengan ciri-
ciri sebagai berikut: wajah luruh berwarna emas, mata liyepan, hidung ambangir, mulut salitan,
menggunakan jamang susun tiga, makutha, kancing garudha mungkur, praba, uncal wastra dan
uncal kencana, celana panjang cindhe, tangan menggunakan kelat bahu naga ngangrang dan
gelang kana. Penggunaan wayang ini berasarkan wawancara dengan Ki Margiyono Bagong dan
Ki Cerma Sutedjo (2017). Pada karya ini, Prabu Watugunung sebagai raja belum diceritakan
memiliki karakteristik tertentu, karena kedudukannya sebagai raja merupakan akhir cerita dalam
lakon ini. Adapun gambar tokoh Prabu Watugunung dapat dilihat seperti berikut:

Gambar 11. Prabu Watugunung Koleksi Restu Wijayadi.


(Foto: Restu Wijayadi, 2017)

12. Brahmana Randhi


Brahmana Randhi adalah seorang guru spiritual Jaka Wudhug. Tokoh ini akan
menggunakan wayang tokoh pandhita seperti yang sering digunakan sebagai tokoh Bhisma. Ciri

13

UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta


fisik dan busananya yaitu: wajah berwarna merah, ndungkluk, hidung sembada, mata kedhelen,
mulut slilitan, berkumis dan berjenggot, tubuh sedang, warna kuning.
Tokoh Brahmana Randhi diceritakan sebagai sosok guru yang bijaksana, penyayang,
sakti dan waskitha. Penyuaraan tokoh ini sebagaimana menyuarakan tokoh Bhisma, suara sedang
tidak terlalu berat namun tegas dalam tekanan-tekanan kalimat, untuk menunjukkan sebagai
seorang guru yang bijaksana. Penggunaan wayang ini berdasarkan wawancara Ki Margiyono
Bagong (2017). Mengenai gambar Resi Radi dapat dilihat dibawah ini.

Gambar 12. Resi Radi Koleksi Jurusan Pedalangan ISI Yogyakarta.


(Foto: Restu Wijayadi, 2017)
13. Semar
Semar merupakan panakawan atau abdi Jaka Wudhug. Ciri tokoh Semar adalah: mata
rembes, hidung nemlik, mulut mesem, mempunyai kuncung, tubuh subur dengan perut dan
bokong besar, memakai jarik kambil secukil dan tergolong tokoh dhagelan. Dalam lakon ini
Semar berperan sebagai punakawan yang memberikan petuah dan mengingatkan setiap
pekerjaan yang akan dilakukan oleh Jaka Wudhug muda. Adapun wujud Semar dapat dilihat
dibawah ini.

Gambar 13. Semar Koleksi Jurusan Pedalangan ISI Yogyakarta


(Foto: Restu Wijayadi, 2017)

14. Prabu Heryanalodra


Prabu Heryanalodra adalah seorang raja Negara Gilingaya. Tokoh ini akan menggunakan
wayang tokoh Baladewa dengan wujud fisik dan busananya yaitu: wajah longok dengan
sunggingan warna merah, mata kedhondhongan, hidung sembada, memakai makutha, jamang

14

UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta


susun, kancing garudha mungkur, sumping surengpati, praba, kelatbahu naga mangsa, gelang
calumpringan, celana panjang cinde.
Karakter tokoh ini digambarkan sebagai sosok raja sabrang yang beringas, ambisius,
jahat dan licik. Suara lantang, kasar dan keras. Wayang dipilih berdasarkan keterangan pada
buku Bauwarna Wayang, R. Sajid (19) mengenai tokoh raja sabrang. Adapun wujud fisik Prabu
Heryanalodra dapat dilihat dibawah ini.

Gambar 14. Prabu Heryanalodra Koleksi Jurusan Pedalangan ISI Yogyakarta


(Foto: Restu Wijayadi,2017)
15. Patih Nindyamantri
Patih Nindyamantri adalah patih Negara Gilingaya. Tokoh ini menggunakan wayang
patihan seperti lazimnya digunakan untuk Patih Tuhayata, dengan wujud fisik sebagai berikut:
wajah luruh warna biru, polatan luruh, mata kedhondhongan, hidung bentulan, berkumis dan
berjenggot, tubuh ukuran tanggung, warna kuning, memakai jamang susun, kancing garudha
mungkur, sumping sekar kluwih, kalung salendang, kelat bahu naga mangsa, gelang kana
ganda, cincin gunung sepikul, keris ladrangan, kampuh lung-lungan, celana panjang cinde.
Karakter yang digambarkan dari tokoh ini adalah sosok patih yang bijaksana, pemberani,
tangguh dan patuh pada peritah. Adapun wujud fisik Patih Nindyamantri dapat dilihat dibawah
ini.

Gambar 15. Patih Nindyamantri Koleksi Jurusan Pedalangan ISI Yogyakarta


(Foto: Restu Wijayadi, 2017)
16. Rampogan
Rampogan adalah penggambaran sekelompok prajurit yang sedang melaksanakan
perjalanan lengkap dengan persiapan perang meliputi, kendaraan, senjata seperti: senapan api,

15

UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta


tombak, panah, perisai, pedang dan meriam serta peralatan yang lain seperti payung, bendera dan
sebagainya. Adapun wujud fisik wayangnya dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Gambar 16. Rampogan Koleksi Jurusan Pedalangan ISI Yogyakarta.


(Foto: Restu Wijayadi, 2017)

C. Sanggit Lakon Watugunung


Sanggit di sini diberi arti sebagaimana disarikan dari keterangan Sumanto (2002: 8)
dalam “Modul Garap Lakon, Makalah Mata Kuliah Analisis Sanggit II”, sebagai upaya-upaya
untuk mengemas lakon sedemikian rupa, berdasarkan kemampuan dan kreatifitas dalang guna
menghasilkan sajian pertunjukan yang baik sekaligus berbobot. Sanggit di sini dapat meliputi
berbagai unsur dalam pakeliran diantaranya sanggit ginem (catur), sanggit sabet, sanggit
karakter, maupun iringan pakeliran. Berdasarkan pengertian mengenai sanggit tersebut, di sini
akan dipaparkan bagaimana sanggit cerita Lakon Watugunung yang telah diolah dari berbagai
sumber menjadi lakon tersendiri, yakni Lakon Watugunung yang mengisahkan masa kecil Jaka
Wudhug sampai menjadi raja.
Adapun sanggit Lakon Watugunung adalah sebagai berikut:
Bagian pathet nem; terdiri dari jejer I, adegan Paseban njawi dan jejer II. Menggunakan
gendhing tradisi yaitu Ayak-ayak Lasem Slendro Pathet Nem kemudian diteruskan Gendhing
Karawitan untuk menjantur Kerajaan Medhangkamulan, setelah janturan selesai dilanjutkan
Ladrang Karawitan Laras slendro Pathet Nem. Playon Lasem Laras Slendro Pathet Nem,
Ladrang Jatikumara Laras Slendro Pathet Nem.
Jejer I di Kerajaan Medhangkamulan. Prabu Palindriya sedang bertahta dihadap oleh
Dewi Soma, Raden Buda dan Raden Anggara. Prabu Palindriya bersedih karena hilangnya panah
pusaka miliknya Gandhewa Bajra panah Herawana ketika digunakan untuk memanah Sang
Hyang Nagaraja. Kesedihan sang raja juga dirasakan karena mengetahui bahwa Dewi Sinta dan
Dewi Landhep pergi dari istana ketika ia sedang berburu di hutan. Hal tersebut menjadikan
kebingungan Prabu Palindriya, karena Dewi Sinta pada saat itu sudah mengandung. Prabu

16

UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta


Palindriya berprasangka bahwa yang menyebabkan kepergian Dewi Sinta dan Dewi Landhep
akibat ulah dari Dewi Soma. Akan tetapi Dewi Soma tidak mengakui perbuatanya, sehingga
terjadi perang mulut. Melihat keadaan yang semakin memanas, Raden Budha segera melerai
Dewi Soma dan Prabu Palindriya. Percekcokan dapat dikendalikan ketika Raden Budha dan
ketiga adiknya sanggup untuk mencari Dewi Sinta dan Dewi Landhep.
Adegan Paseban Jawi, Raden Buda memanggil kedua adiknya dan prajurit kerajaan
Medhanggele. Raden Budha memerintahkan Raden Anggara, Raden Sukra dan prajurit untuk
mencari Dewi Sinta, Dewi Landhep serta mencari Kyai Bajra Herawana yang hilang. Semua
prajurit menyiapkan seluruh keperluan bergegas untuk melaksanakan tugas.
Jejer II Dhukuh Cangkring, Dewi Sinta dihadap Dewi Landhep. Dikisahkan Dewi Sinta
sudah melahirkan anak laki-laki dan diberi nama Jaka Wudhug. Ketika Jaka Wudhug sedang
bermain, Dewi Sinta memasak nasi. Nasi yang dimasak belum sampai matang, Jaka Wudhug
pulang menangis memeluk ibunya yang sedang memasak. Hal tersebut menjadikan Dewi Sinta
marah. Dengan tidak sadar, Jaka Wudhug dipukul kepalanya. Jaka Wudhug merasa sakit dan
takut, maka ia lari, pergi meninggalkan ibunya sampai di hutan Sela Garingging. Dewi Sinta dan
Landhep berusaha mengejar mencari Jaka Wudhug tetapi tidak berhasil sehingga pupus
harapanya, keduanya kembali ke Dhukuh Cangkring.
Bagian pathet sanga ini terdiri dari Jejer III, dan adegan di Wukir Haswata.
Menggunakan gendhing tradisi yaitu Ketawang Subakastawa Laras Slendro Pathet Sanga,
Playon Laras Slendro Pathet Sanga, Ladrang Gonjang-ganjing Laras Slendro Pathet Sanga.
Jejer III di Sela Garingging, Begawan Randhi dihadap oleh Jaka Wudhug dan Semar.
Jaka Wudhug diangkat sebagai murid Begawan Randhi. Ia diberi berbagai macam ilmu kesaktian
oleh sang begawan. Dikisahkan Jaka Wudhug disuruh untuk mengambil pusaka Kyai Bajra
Herawana yang berada di Wukir Haswata. Setelah berhasil mengambil pusaka tersebut supaya
mengabdi ke Medhanggele. Kelak pusaka tersebut jika dapat diambil, Jaka Wudhug akan
memperoleh anugrah. Jaka Wudhug dihantar oleh Bagawan Randhi dan Panakawan menuju
Wukir Haswata untuk mengambil pusaka Kyai Bajra Herawana.
Adegan di Wukir Haswata, Jaka Wudhug dan Semar. Jaka Wudhug setelah sampai di
Wukir Haswata segera menuruti perintah Begawan Randhi mengambil panah pusaka tersebut.
Bersamaan dengan munculnya pusaka Kyai Bajra Herawana, sang Begawan Randhi menghilang
tanpa sepengetahuan Jaka Wudhug. Ia sedih karena telah kehilangan gurunya, tetapi kejadian

17

UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta


tersebut dapat ditenangkan oleh Semar Badranaya. Setelah berhasil mengambil pusaka Kyai
Bajra Herawana Jaka wudhug segera meninggalkan Wukir Haswata menuju ke Negara
Medhangkamulan untuk mengabdi kepada Prabu Palindriya.
Bagian Pathet Manyura ini terdiri dari Jejer V dan Jejer VI. Menggunakan gendhing
tradisi yaitu Playon Manyura Laras Slendro, Playon Galong Laras Slendro, Sampak Galong
Laras Slendro.
Jejer IV Negara Gilingaya, Prabu Heryanalodra dihadap Patih Nindyamantri. Prabu
Heryanalodra ingin memperluas wilayah kekuasaan Negara Gilingaya. Mendengar kabar bahwa
negara Medhangkamulan merupakan Negara yang subur, makmur dan berwibawa, Prabu
Heryanalodra ingin merebut wilayah kekuasaanya. Patih Nindyamantri memberangkatkan wadya
bala prajurit Gilingaya untuk menghancurkan kerajaan Medhangkamulan. Berangkatlah semua
prajurit beserta kelengkapan perang.
Jejer V Negara Medhangkamulan. Prabu Palindriya dihadap Raden Buda dan Jaka
Wudhug. Prabu Palindriya menerima laporan dari Raden Buda bahwa ia tidak dapat menemukan
Dewi Sinta, Landhep dan Kyai Bajra Herawana. Datanglah Jaka Wudhug yang ingin mengabdi
dengan menyerahkan pusaka kyai Bajra Herawana. Prabu Palindriya melihat pusaka yang
diserahkan sangat senang sehingga Jaka Wudhug diangkat menjadi patih negara
Medhangkamulan bernama Patih Silacala. Terjadilah keributan di alun-alun Negara
Medhangkamulan, prajurit Gilingaya membuat kerusakan sambil menantang perang. Patih
Silacala diutus untuk perang mengalahkan Prabu Heryanalodra beserta prajuritnya. Terjadilah
perang sangat ramai, Prabu Haryanalodra mati terkena senjata panah Kyai Bajra Herawana,
prajurit Gilingaya menyerah ke Medhangkamulan.
Jejer VI Gilingaya, Prabu Palindriya sangat senang atas keberhasilan Patih Silacala
membunuh Prabu Heryanalodra. Atas keberhasilan ini Patih Silacala diangkat menjadi raja di
kerajaan Gilingaya dengan gelar Prabu Watugunung. Negara Gilingaya diganti nama menjadi
Gilingwesi. Tanceb Kayon.
D. Iringan Lakon Watugunung
Seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya, Lakon Watugunung dalam karya ini akan
menggunakan model pakeliran Yogyakarta dengan durasi sekitar dua jam. Untuk mendukung
suasana adegan dan penceritaan adegan, sajian pakeliran tidak lepas dari iringan pakeliran itu
sendiri. Maka dalam karya ini juga akan menggunakan iringan pakeliran Yogyakarta yang lazim

18

UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta


dan pada umumnya telah digunakan juga oleh dalang-dalang sebelumnya. Diantaranya: Ayak-
Ayak Lasem Laras Slendro Pathet nem, Playon Lasem Laras Slendro Pathet Nem, Ladrang
Jatikumara Laras Slendro Pathet Nem, Ketawang Subakastawa Slendro Pathet Sanga, Playon
Slendro Pathet Sanga, Ladrang Gonjang-ganjing Laras Slendro Pathet Sanga, Playon Manyura,
Playon Galong dan Sampak Manyura.

1. Jejer I : Negara Medhangkamulan.

Tokoh : Prabu Palindriya, Dewi Soma, Raden Anggara, Raden Buda.

Masalah : Prabu Palindriya bersedih karena hilangnya panah pusaka miliknya Gandhewa
Bajra panah Herawana.. Kesedihan sang raja juga dirasakan karena mengetahui
bahwa Dewi Sinta dan Dewi Landhep pergi dari istana ketika ia sedang berburu
di hutan. Prabu Palindriya berprasangka bahwa yang menyebabkan kepergian
Dewi Sinta dan Dewi Landhep akibat ulah dari Dewi Soma. Akan tetapi Dewi
Soma tidak mengakui perbuatanya, Percekcokan dapat dikendalikan ketika
Raden Anggara dan ketiga adiknya sanggup untuk mencari Dewi Sinta dan
Dewi Landhep.
2. Adegan : Paseban nJawi
Tokoh : Raden Buda dan Raden Sukra.
Masalah : Raden Buda mengajak Raden Sukra beserta prajurit Medhangkamulan untuk
mencari Dewi Sinta dan Dewi Landhep.
3. Jejer II : Dhukuh Cangkring.

Tokoh : Dewi Sinta, Dewi Landhep dan Jaka Wudhug.

Masalah :Dewi Sinta membicarakan nafsu makan Jaka Wudhug berbeda dengan anak-
anak pada umumnya. Ketika Dewi Sinta menanak nasi, Jaka Wudhuk
mengganggu Dewi Sinta. Hal tersebut membuat marah Dewi Sinta. Jaka
Wudhug di pukul menggunakan énthong, Mengakibatkan Jaka Wudhug pergi
dari Dhukuh Cangkring.

4. Jejer III :Sela Garingging.

19

UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta


Tokoh :Brahmana Radhi, Jaka Wudhug, Semar.

Masalah :Jaka Wudhug menguasai berbagai macam ilmu kesaktian. Brahmana Radhi
melihat cerdasan jaka wudhug maka Jaka Wudhug disuruh untuk mengambil
senjata pusaka di Wukir Haswata. Setelah dapat mengambil senjata tersebut,
Jaka Wudhug disuruh untuk mengabdi kepada Prabu Palindriya di Negara
Medhangkamulan.

5. Adegan :Wukir Haswata.

Tokoh :Jaka Wudhug dan Semar.

Masalah :Jaka Wudhug berhasil mengambil senjata pusaka berupa Gandhewa Bajra dan
panah Herawana. Kemudia ia melanjutkan perjalanan mengabdi ke
Medhangkamulan.

6. Jejer IV :Negara Gilingaya.

Tokoh :Prabu Heryanalodra dan Patih Nindyamantri.

Masalah :Prabu Heryanalodra ingin memperluas kekuasaanya, dengan cara akan


mengalahkan Negara Medhangkamulan. Berangkatlah Prabu Heryanalodra dan
Patih Nindyamantri ke Medhangkamulan.

7. Jejer V :Negara Medhangkamulan.

Tokoh :Prabu Palindriya, Raden Buda, Jaka Wudhug.

Masalah :Prabu Palindriya menerima kedatangan Jaka Wudhug dengan tujuan ingin
mengabdi. Ketika diterima sebagai abdi, Jaka Wudhug menyerahkan senjata
pusaka Gandhewa Bajra dan panah Herawana. Prabu Palindriya merasa senang
karena pusaka tersebut adalah miliknya yang hilang. Atas jasa Jaka Wudhug, ia
diangkat menjadi patih bergelar Patih Silacala. Ketika itu, datanglah prajurit
dari Gilingaya membuat kerusakan di Medhangkamulan.

20

UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta


8. Adegan Perang

Tokoh :Raden Buda, Patih Nindyamantri.

Masalah :Patih Nindyamantri menyuruh Raden Buda bahwa Prabu Palindriya supaya
menyerahkan kekuasaanya kepada Prabu Heryanalodra. Terjadilah perang,
Raden Buda kalah melawan patih Nindyamantri.

9. Adegan Alun-alun Medhangkamulan

Tokoh :Prabu Palindriya, Patih Silacala dan Raden Buda.

Masalah :Prabu Palindriya mengutus Patih Silacala untuk menghadapi Prabu


Heryanalodra. Patih Silacala maju di medan perang.

10. Adegan perang

Tokoh :Prabu Heryanalodra dan Patih Silacala.

Masalah :Prabu Palindriya disuruh menyerahkan Negara Medhangkamulan kepada Prabu


Heryanalodra. Patih Silacala tidak menyetujui permintaan tersebut. Prabu
Heryanalodra perang melawan Patih silacala, Prabu Heryanalodra mati terkena
senjata pusaka panah Herawana.

11. Jejer VI :Negara Gilingaya.

Tokoh :Prabu Palindriya dan Patih Silacala.

Masalah :Prabu palindriya merasa senang karena Patih Silacala dapat membunuh Prabu
Heryanalodra, sehingga Negara Gilingaya dapat dikalahkan. Atas jasa Patih
Silacala, Prabu Palindriya menobatkanya menjadi raja di Gilingaya bergelar
Prabu Watugunung. Negara Gilingaya diganti nama menjadi Gilingwesi.

B. Ringkasan Cerita

Raja Medhangkamulan Prabu Palindriya mengumpulkan ketiga putranya yaitu Raden


Anggara, Raden Buda, Raden Sukra dan Dewi Soma untuk membicarakan tentang Dewi Sinta
dan Dewi Landhep pergi dari istana tanpa sepengetahuan. Yang menjadikan kekhawatiran sang

21

UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta


raja yaitu, saat ini Dewi Sinta sedang mengandhung. Selain itu hal yang menjadi pembicaraan di
pasewakan yaitu hilangnya pusaka Gandhewa Bajra dan Panah Herawana. Hal tersebut
membuat bingung sang raja sehingga Prabu Palindriya mengutus Raden Anggara beserta kedua
adiknya untuk mencari Dewi Sinta, Dewi landhep dan pusaka Gandhewa Bajra Jemparing
Herawana.

Dewi Sinta dan Dewi Landhep pergi meninggalkan istana Medhangkamulan akhirnya
sampai dan menetap di Dhukuh Cangkring. Sampai akhirnya Dewi Sinta melahirkan seorang
anak laki-laki bernama Jaka Wudhug, ia mempunyai kebiasaan yang berbeda dengan teman-
teman sebayanya yaitu memiliki porsi makan yang berlebihan. Hal tersebut ketika Dewi Sinta
sedang menanak nasi, Jaka Wudhug ingin segera memakanya membuka tutup kukusan, hal
tersebut Dewi Sinta marah akhirnya Jaka Wudhug dipukul menggunakan énthong sehingga Jaka
Wudhug lari sampai hutan bernama Sela Garingging.

Ketika Jaka Wudhug bertemu dengan Resi Randhi, ia di jadikan sebagai anak angkat.
Jaka Wudhug diberi berbagai ilmu kesaktian. Suatu hari Jaka Wudhug mengambil pusaka
Gandhewa Bajra Panah Herawana atas perintah Brahmana Randhi. Jaka Wudhug mengabdi
kepada Prabu Palindriya dan menyerahkan pusaka Gandhewa Bajra Panah Herawana, ia
diangkat menjadi patih bernama Patih Silacala.

Medhangkamulan terjadi perang dengan Gilingaya, Patih Silacala dapat membunuh


Prabu Heryanalodra. Atas kehendak Prabu Palindriya, Patih Silacala dijadikan raja di Negara
Gilingaya, bernama Prabu Watugunung. Negara Gilingaya diganti nama Gilingwesi.

Kesimpulan

Pakeliran wayang kulit purwa Lakon Watugunung disajikan dengan durasi waktu dua
setengah jam dengan menggunakan konsep pakeliran yang masih mengacu pada gaya
Yogyakarta. Pesan dan gagasan yang ingin disampaikan melalui karya ini adalah mengenai
pentingnya motivasi dan daya juang yang seyogyanya dimiliki dalam kehidupan. Dengan
motivasi yang kuat serta dorongan semangat, serta daya juang yang tinggi, seseorang akan dapat
melewati berbagai permasalahan kehidupan yang diujikan. Seperti dalam Lakon Watugunung
telah dicontohkan, daya juang yang tinggi dapat menjawab permasalahan, perubahan nasib Jaka
Wudhug dari keprihatinan menuju lembaran baru kehidupan yang penuh kesuksesan.

22

UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta


Karya ini diharapkan dapat berkontribusi sebagai salah satu contoh model perancangan
karya seni, yaitu pakeliran wayang kulit purwa Lakon Watugunung berdurasi kurang lebih dua
setengah jam. Karya ini diharapkan juga menjadi salah satu alternatif dalam model pakeliran
wayang kulit purwa gagrag Yogyakarta. Tentunya karya tugas akhir Lakon Watugunung ini
masih memiliki banyak kekurangan. Dengan keterbatasan dan kekurangan yang ada, ke depan
diperlukan penggarapan dan pendalaman yang lebih lagi mengenai Lakon Watugunung.

Kepustakaan

Junaidi. 2010. “Pakeliran Wayang kulit Purwa Gaya Surakarta Oleh dalang Anak”. Disertasi
untuk memperoleh gelar S-3, Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan Dan Seni
Rupa, sekolah Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
2012. Wayang Kulit Gaya Surakarta Ikonografi &Teknik Pakeliranya. Yogyakarta: BP
ISI Yogyakarta.
Kamajaya. 1993. Serat Pustakaraja Purwa Jilid 2. Surakarta:Yayasan ’Mangadeg’ Surakarta.
Mudjanatistomo. 1977. Pedalangan Ngayogyakarta Jilid I. Yogyakarta: Yayasan
Habirandha.
Mulyono, Sri. 1978. Sejarah Wayang dan Karakter Manusia. Jakarta: CV Haji Samsung.
Nurgiyantoro, Burhan. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Poerwadarminta. 1939. Baoesastra Jawa. Batavia: J.B Wolters.
Sajid, R.M. 1958. Bauwarno Wajang. Jogjkarta: PT Pertjetakan Republik Indonesia.
Sindhunata. 2013. Pawukon 3000. Yogyakarta:Bentara Budaya Yogyakarta.
Soetarno. 2006. Pertunjukan Wayang dan Makna Simbolisme. Surakarta:STSI Press.
Susilamadya, Sumanto. 2016. Sari Serat Purwakandha. Yogyakarta:Aswaja.
Sudarko. 2002. Pakeliran Padat: Pembentukan dan Penyebaran. Surakarta: Yayasan Citra
Etnika.
Wahyudi. Aris. 2014. Sambung Rapet dan greget Saut. Yogyakarta: Bagaskara.

Sumber Audio Visual


Ki Timbul Hadiprayitno, Prabu Watugunung. Rekaman Audio Mp3
Ki Purbo Asmoro, Watugunung, Pagelaran wayang kulit purwa, 31 Juli 2016, di Gebang,
Kadipiro, Surakarta.

Narasumber
Ki Margiyana (67 tahun). Dalang wayang kulit tinggal di Dusun Kowen, Timbulharjo, Sewon,
Bantul.

23

UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta


Ki Mas Penewu Cermo Sutejo (60 tahun). Dalang wayang kulit tinggal di Gedongkuning,
Banguntapan, Bantul..

Ki Warjudi (54 Tahun). Dalang wayang kulit tinggal di Babatan Yogyakarta.

24

UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai