WSBM
WSBM
WSBM
BAB 1
PIP KELAUTAN, VISI DAN TUJUAN PEMBELAJARAN WAWASAN SOSIAL
BUDAYA MARITIM (WSBM)
BAB 2
BENUA MARITIM INDONESIA (BMI)
Benua Maritim Indonesia (BMI) adalah wilayah perairan dengan hamparan pulau – pulau
didalamnya, sebagai satu kesatuan alamiah antara darat, laut dan udara di atasnya tertata unik
dengan sudut pandang iklim dan cuaca keadaan airnya, tatanan kerak bumi, keragaman biota
serta tatanan sosial budaya.
Dalam era globalisasi, perhatian bangsa Indonesia terhadap fungsi, peranan dan potensi
wilayah laut semakin berkembang. Kecenderungan ini di pengaruhi oleh perkembangan
pembangunan yang mengakibatkan semakin terbatasnya potensi sumber daya nasional di darat.
Pengaruh lainnya adalah perkembangan teknologi maritim sendiri sangat pesat sehingga
memberikan kemudahan dalam pemanfaatan dan pengelolahan sumberdaya laut.
A. Karakteristik BMI
BMI terbentang dari 92° BT sampai 141° BT dan 720° LU sampai dengan 14° LS yang merupakan
Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari:
a. 5.707 pulau yang telah bernama dan 11.801 pulau yang belum bernama.
b. Luas perairan 3,1 juta km2, dan luas perairan ZEE 2,7 juta km2.
c. Panjang seluruh garis pantai 80.791 km, panjang garis dasar 14.698 km.
B. Batas – batas yuridis wilayah laut
a. Perairan pedalaman merupakan bagian dari wilayah perairan nusantara, pada wilayah ini Indonesia
memiliki kedaulatan mutlak dan kapal – kapal asing tidak mempunyai hak lintas.
b. Perairan Nusantara, merupakan laut yang terletak di antara pulau, dibatasi atau dikelilingi oleh garis
pangkal tanpa memperhatikan kedalaman dan lebar laut tersebut.
c. Laut Territorial, adalah wilayah perairan di luar perairan nusantara yang lebarnya tidak melebihi 12 mil
laut di ukur dari garis pangkal.
d. Zona tambahan, adalah wilayah laut yang diukur dari 12 mil dari laut territorial atau 24 mil dari pangkal
pantai. Pada batas ini, Indonesia hanya bisa melaksanakan hak – hak tertentu saja.
e. Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), adalah suatu daerah diluar dan berdampingan dengan laut territorial,
lebar zona ini 200 mil dari garis pangkal. Di perairan ini, Indonesia memiliki hak daulat atas eksploitasi.
f. Landas Kontinen, adalah batas laut yang lebih dari 200 mil dari pangkal dengan ketentuan: 1). Lebar
tidak lebih 350 mil dari pangkal, tidak melebihi 100 mil di ukur dari garis kedalaman 2.500 m.
g. Laut lepas.
C. Batas wilayah udara
Kebebasan udara terbatas:1) negara bawah yang berhak mengambil tindakan tertentu dalam
memelihara keamanan. 2) negara bawah hanya mempunyai hak terhadap wilayah udara zona territorial
tertentu.
BAB 3
POTENSI DAN SUMBER DAYA KEMARITIMAN
2) Pengaturan iklim
3) Keindahan alam
4) Penyebaran limbah
5) Wisata bahari
BAB 4
FAKTA SOSIAL DEMOGRAFI KEMARITIMAN
A. Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat Pesisir
Besarnya potensi kelautan tersebut ternyata tidak diikuti oleh kesejahteraan masyarakat nelayan.
Hal ini terlihat dimana kondisi sosial ekonomi nelayan kita sangat jauh berbeda dengan potensi
sumberdaya alamnya. Hal ini dibuktikan dengan masih rendahnya sumbangan sektor kelautan selama
Pelita VI terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional yaitu 12,1% dengan laju pertumbuhan 3,8%
jauh di bawah laju pertumbuhan rata-rata seluruh sektor sebesar 7,4% (Waspada, 18 Maret 2000).
Nelayan adalah suatu fenomena sosial yang sampai saat ini masih merupakan tema yang
sangat menarik untuk didiskusikan. Membicarakan nelayan hampir pasti isu yang selalu muncul adalah
masyarakat yang marjinal, miskin dan menjadi sasaran eksploitasi penguasa baik secara ekonomi
maupun politik. Kemiskinan yang selalu menjadi “trade mark” bagi nelayan dalam beberapa hal dapat
dibenarkan dengan beberapa fakta seperti kondisi pemukiman yang kumuh, tingkat pendapatan dan
pendidikan yang rendah, rentannya mereka terhadap perubahan-perubahan sosial, politik, dan
ekonomi yang melanda, dan ketidakberdayaan mereka terhadap intervensi pemodal, dan penguasa
yang datang.
Hasil penelitian Mubyarto dkk (1984) menunjukkan bahwa masyarakat nelayan di daerah
Jepara sebagian berasal dari golongan sedang, miskin, dan miskin sekali. Data dari Kantor Statistik
Propinsi Sumatera Utara juga menunjukkan bahwa hampir 50% penduduk Desa Pantai Sumatera
Utara berpendapatan 25 – 149 ribu rupiah perbulan (BPS, 1989). Rata-rata pendapatan perkapita
nelayan tersebut tidak lebih 15 ribu/bulan. Padahal pendapatan perkapita penduduk Sumatera Utara
rata-rata 37.267 rupiah/ bulan (BPS, 1989). Beberapa tulisan mengenai nelayan yang menggambarkan
tentang kemiskinan/ kondisi ekonomi nelayan seperti berikut ini. Tulisan Mubyarto (1984) misalnya,
menganalisis perekonomian masyarakat nelayan miskin di Jepara. Menurut Mubyarto dkk, kemiskinan
nelayan lebih banyak disebabkan oleh adanya tekanan struktur yaitu nelayan terbagi atas kelompok
kaya dan kaya sekali di satu pihak, miskin dan miskin sekali di satu pihak. Penelitian ini menunjukkan
adanya dominasi/eksploitasi dari nelayan kaya terhadap nelayan miskin. Hampir sama dengan
penelitian di atas selanjutnya Mubyarto dan Sutrisno (1988) juga melihat kemiskinan nelayan di
Kepulauan Riau.
Menurut Mubyarto dkk, kemiskinan nelayan lebih banyak disebabkan oleh adanya tekanan
struktur, yaitu nelayan kaya/penguasa yang menekan nelayan miskin. Hampir sama dengan asumsi
yang dibangun oleh Mubyarto tentang pengaruh struktur, Resusun (1985) juga menemukan data
bahwa nelayan di Pulau Sembilan, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, ada satu kelompok nelayan
yang hidupnya tidak berkecukupan, yaitu nelayan yang tidak punya modal (nelayan kecil), dan mereka
selalu diekspoitasi oleh nelayan yang punya modal (punggawa) dan pedagang (pa’bilolo) yaitu sawi
bagang atau Pa’bagang atau pembantu utama punggawa dalam menangani kegiatan operasi
penangkapan ikan. Penelitian yang dilakukan oleh Resusun di atas juga menunjukkan adanya struktur
hubungan sosial yang khas pada masyarakat nelayan. Hubungan itu adalah adanya ketidak
seimbangan antara yang mempunyai modal usaha dan para pekerjanya. Hubungan itu adalah
antara punggawasawi/pa’bagang yang bersifat timbal balik (reprocity). Walaupun sawi perlu
sang punggawa sebagai sumber lapangan kerja, punggawa juga memerlukan tenaga sawi.
Seorang punggawa akan berusaha supaya sawi yang dipercayai menetap diusahanya. Akibatnya
terjadi hubungan yang selalu merugikan sawi. Karena seringkali kerelaan punggawa untuk
meminjamkan uang kepada sawi berdasarkan motivasi agar sawi tetap berada di lingkaran setan.
Hutang yang tidak bisa dilunasi seringkali harus dibalas dengan jasa yang sangat berlebihan.
Hal ini terlihat dalam penelitian yang dilakukan oleh Rizal (1985) di Desa Bari, Kabupaten
Bulukumba menyebutkan bahwa seorang istri sawi mengerjakan apa saja di rumah isteri punggawa
untuk membalas jasa punggwa membantu suaminya. Sejalan dengan hal di atas di Propinsi Sumatera
Utara hasil penelitian-penelitian mengenai nelayan cenderung juga menunjukkan kondisi yang sama
yaitu nelayan hidup dalam kemiskinan. Misalnya penelitian yang dilakukan oleh Zulkifli (1989) di Desa
Bagan Deli, Kecamatan Medan Labuhan, yang menyebutkan akibat struktur patron dan klien antara
pemborong dan nelayan, maka nelayan Desa Bagan Deli menjadi miskin. Harahap (1992,1993,1994,)
telah melakukan serangkaian penelitian yang berkaitan dengan kemiskinan nelayan di tigadesa di
Pantai Timur Sumatera Utara.
BAB 5
SEJARAH KEMARITIMAN INDONESIA
BAB 6
KONSEP DASAR SISTEM SOSIAL DAN BUDAYA
A. Pengertian Sistem
Sistem berasal dari bahasa Latin dan Yunani, istilah "sistem" diartikan sebagai
mengabungkan, untuk mendirikan, untuk menempatkan bersama.Sistem adalah kumpulan
elemen berhubungan yang merupakan suatu kesatuan.Sistem adalah Suatu jaringan kerja dari
prosedur-prosedur yang saling berhubungan, berkumpul bersama-sama untuk melakukan suatu
kegiatan atau untuk menyelesaikan suatu sasaran tertentu.
B. Pengertian Sosial Budaya
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan
bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi
dan akal manusia.
Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere,
yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani.
Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia.
Menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian, nilai, norma,
ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religius, dan lain-lain, tambahan
lagi segala pernyataan intelektual dan artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
Menurut Edward B. Tylor, kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di
dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan
kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat.
Perubahan sosial budaya dapat terjadi bila sebuah kebudayaan melakukan kontak dengan
kebudayaan asing. Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial
dan pola budaya dalam suatu masyarakat.
C. Pokok-pokok Bahasan Dalam Sistem Sosial
Interaksi Sosial
Manusia dalam hidup bermasyarakat, akan saling berhubungan dan saling
membutuhkan satu sama lain. Kebutuhan itulah yang dapat menimbulkan suatu proses interaksi
sosial.
Macam - Macam Interaksi Sosial
Menurut Maryati dan Suryawati (2003) interaksi sosial dibagi menjadi tiga macam, yaitu (p.
23) :
1. Interaksi antara individu dan individu
2. Interaksi antara individu dan kelompok
3. Interaksi sosial antara kelompok dan kelompok
Stratifikasi Sosial
Stratifikasi sosial adalah perbedaan individu atau kelompok dalam masyarakat yang
menempatkan seseorang pada kelas-kelas sosial sosial yang berbeda-beda secara hierarki dan
memberikan hak serta kewajiban yang berbeda-beda pula antara individu pada suatu lapisan
sosial lainnya. Stratifikasi sosial muncul karena adanya sesuatu yang dianggap berharga dalam
masyarakat.
Stratifikasi sosial yang diperoleh secara alami yaitu:
1. stratifikasi sosial berdasakan usia
2. stratifikasi sosial karena senioritas
3. stratifikasi sosial berdasarkan jenis kelamin
4. stratifikasi sosial berdasarkan sistem kekerabatan
5. stratifikasi sosial berdasarkan keanggotaan dalam kelompok tertentu
Lembaga Sosial
Menurut Hoarton dan Hunt, lembaga social (institutation) bukanlah sebuah bangunan,
bukan kumpulan dari sekelompok orang, dan bukan sebuah organisasi. Lembaga
(institutations) adalah suatu sistem norma untuk mencapai suatu tujuan atau kegiatan yang oleh
masyarakat dipandang penting atau secara formal, sekumpulan kebiasaan dan tata kelakuan
yang berkisar pada suatu kegiatan pokok manusia. Dengan kata lain Lembaga adalah proses
yang terstruktur (tersusun} untuk melaksanakan berbagai kegiatan tertentu.
BAB 7
MASYARAKAT MARIRIM
BAB 8
KEBUDAYAAN MARITIM
Menurut Boeke (1983), desa tradisional merupakan sebuah rumah tangga yang secara
ekonomi “berdaulat”, “mandiri”. Desa tradisional juga merupakan sebuah “unit produksi” bagi
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan konsumtif kalangan kelas menengah dan atas (penguasa,
bangsawan, pemilik tanah/modal, dll), sementara bagi kalangan bawah, hal itu tidak lain
merupakan “kewajiban sosial dan ekonomis” mereka atas perlindungan dan pimpinan yang
diberikan oleh kalangan menengah dan atas dan ini berarti pula sebagai bentuk pengabdian
kepada penguasa alam yang Maha Kuasa. Desa tradisional merupakan manifestasi sederhana
dari ‘perkampungan nelayan’ yang sebagian besar menunjukkan bahwa taraf hidup masyarakat
memang belum banyak beranjak dari ciri serta karakteristik dari desa tradisional.
Sebuah perkampungan nelayan merupakan bentuk desa sederhana dimana masyarakat
yang tinggal di dalamnya masih terikat dengan norma-norma kebudayaan yang kuat. Norma
tersebut terbentuk baik secara alamiah maupun diperkuat dengan aturan dan bentuk
perundangan sederhana yang membuat masyarakat tetap tunduk dibawahnya.
Pendek kata, setiap aktivitas ekonomi mereka senantiasa ditundukkan pada dan
dicampur dengan berbagai macam motif yaitu, motif sosial, keagamaan, etis dan tradisional.
Dari sisi konsumsi, kehidupan ekonomi desa tradisional dibangun atas dasar “prinsip
swasembada”, dimana hampir seluruh kebutuhan hidup kesehariannya diproduksi/dipenuhi
oleh desa tradisional sendiri. Kemampuan desa tradisional membangun struktur ekonomi
demikian, karena didukung penuh oleh adanya ikatan-ikatan sosial yang asli dan organis,
sistem kesukuan tradisional, kebutuhan-kebutuhan yang tak terbatas dan bersahaja, prinsip
produksi pertanian semata-mata untuk keperluan keluarga, pengekangan pertukaran sebagai
alat untuk memuaskan kebutuhan, serta tidak terlalu berorientasi kepada laba (non profit
oriented). Landasan struktur ekonomi desa tradisional diletakkan pada prinsip” hemat, ingat,
dan istirahat (Boeke, 1983: 22).
Sebuah potret kehidupan desa nelayan tradisional, yang menggerakkan aktivitas
perekonomiannya sangat mengandalkan pada mata pencaharian sebagai nelayan, dan sedikit
sekali yang memiliki mata pencaharian tetap. Selain itu, para nelayan dan beberapa pelaku
ekonomi setempat (juragan pemilik kapal, bakul ikan) mengelola dan mengembangkan
aktivitas perekonomi-an mereka secara “swasembada”, yaitu bertumpu pada pemberdayaan
potensi daerah dan modal yang terdapat di lingkungan setempat (lokal), yang merupakan ciri
khas dari sebuah struktur ekonomi desa.
Sebagai daerah pemukiman cukup padat, upaya mereka untuk memenuhi kebutuhan
kesehariannya, tampaknya dapat dipenuhi sendiri dari berbagai fasilitas warung atau pertokoan
yang ada di desanya; kecuali sebagian kebutuhan sandang dan papan yang tidak terdapat di
desanya atau terdapat kekurangan, mereka membeli di kota-kota terdekat.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, aktivitas nelayan sebagai aktivitas ekonomi
utama masyarakat desa pesisiran tradisional di desa nelayan seperti halnya aktivitas-aktivitas
perekonomian lainnya, tumbuh dan berkembang secara timbal-balik dengan aspek-aspek sosial
dan budaya masyarakat setempat. Aktivitas nelayan meliputi banyak aspek antara lain sistem
penangkapan ikan yang digunakan, organisasi dan pola kerjasama antar-nelayan, hubungan-
hubungan ekonomi dalam praktik perdagangan ikan di antara nelayan-bakul-tengkulak ikan,
maupun keterlibatan para pelaku ekonomi lokal dalam pengembangan struktur ekonomi di
tingkat lokal.
Karakteristik terpenting dari masyarakat desa nelayan tradisional memungkinkan
struktur ekonomi di desa mereka dapat dibangun dan dikembangkan atas dasar kemampuan
ekonomi lokal atau secara “berswasembada”. Berbagai bentuk dan pola perilaku ekonomi
masyarakat nelayan tradisional desa Bandaran di atas, tidak lain sebagai upaya (ikhtiar) mereka
untuk senantiasa dapat mempertahankan hidup sesuai dengan tuntutan kehidupan sosial,
budaya, sekaligus ekonomi yang senantiasa berubah ke arah yang lebih “modern” dan
“praktis”, tetapi tetap bergerak dalam kerangka sebuah tradisi.
BAB 9
PEMBANGUNAN BENUA MARITIM
A. Pembangunan Maritim
Pada dasarnya wilayah negara kesatuan Republik Indonesia jika ditinjau dari berbagai segi,
baik dari segi geografi sampai dengan social budaya serta ekonomi, maka layak diebut sebuah
benua. Dan karena di dalamnya terdapat massa air yang mencapai lebih dari tiga perempat luas
wilayah RI, maka sebutan yang cocok untuk Indonesia adalah benua maritime Inonesia, atau
disingkat BMI.
Pembangunan Benua Maritim Indonesia memandang daratan, lautan dan dirgantara, serta
segala sumberdaya di dalamnya dalam suatu konsep pengembangan sehingga hal ini
merupakan salah satu wujud aktualisasi Wawasan Nusantara yang telah menjadi cara pandang
bangsa Indonesia dalam melaksanakan pembangunan nasional yang berdasarkan Pancasila dan
Undang – undang Dasar 1945
Pemikiran pembangunan Maritim Indonesia dilandasi oleh kenyataan bahwa:
1) Lautan merupakan bagian terbesar wilayah RI dan merupakan factor utama yang harus
dikelola dengan baik guna mewujudkan cita – cita nasional
2) Pengelolaan aktivitas pembangunan laut harus bersifat integral
Dalam menyusun rencana dalam melaksanakan pembangunan maritime kita menghadapai
empat kendala utama, berikut :
1) Mental attitude dan semangat cinta bahari masih lemah
2) Techno structure dan struktur nasional ekonomi maritime belum siap
3) Peraturan dan perundangan belum mendukung
4) Kelembagaan yang juga belum mendukung
B. Keadaan dan Masalah Maritim Indonesia
Pembanguunan maritime memerlukan system pengelolaan terpadu, yaitu sistem
Pengelolaan terpadu wilayah Pesisir dan Lautan. Dalam pengelolaan ini berbagai maslaah akan
muncul, berbagai konflik akan terjadi yang disebabkan oleh adanya degradasi mutu dan fungsi
lingkungan hidup yang antara lain disebabkan karena musnahnya hutan bakau, rusaknya
terumbu karang, abrsi pantai, intrusi air laut, pencemaran lingkungan pesisir dan laut serta
perubahan iklim global. Berbagai masalah tersebut berakar dari :
1) Masing – masing pelaku pembangunan dalam menyusun perencanaanya sangat terikat pada
sektornya sendiri tanpa adanya sistem koordinasi baku lintas sektor.
2) Belum adanya lembaga yang berwenang penuh baik di pusat maupun di daerah yang
memepunyai wewenang penentu dalam pembangunan maritim secara utuh.
3) Belum lengkapnya peraturan perundang – undangan yang mengatur kewenangan pengelolaan
sumberdaya maritim.
4) Belum lengkapnya tata ruang yang mencakup wilayah pesisir laut dan laut nasional yang dapat
dijadikan sebagai induk perencanaan bagi daerah.
C. Pembangunan Maritim Indonesia Jangka Panjang
Tujuan pembangunan Maritim Indonesia pada hakekeatnya adalah bagian integral dari
tujuan pembangunan nasional dengan lebiih memanfaatkan unsur maritime. Sedangkan sasaran
pembngunan Maritim Indonesia adalah terciptanya kualitas manusia dan masyarakat Indonesia
yang mandiri serta mamapu mentransformasikan potensi maritim menjadi kekuatan maritim
nasional melalui serangkaian pembangunan nasional yang dilaksanakan berdasarkan Pancasila
dan Undang – Undang Dasar 1945
Dalam PJP II Pembangunan Maritim Indoneisa dilakukan secara bertahap, dengan waktu
yang masih tersisa 4 pelita (20 tahun) pertahapannya dilakukan sebagai berikut :
1) Pelita VII penekanan dilakukan pada perikanan dan pariwisata bahari dengan tanpa
mengesampingkan pengembangan sumberdaya manusia dan iptek maritim yang sesuai,
2) Pelita VIII penekanan diletakkan pada perikanan, perhubungan laut dan pariwisata bahari
sering dengan pengembangan Iptek dan SDM yang diperlukan.
3) Pelita IX penekanannya diletakkan pada perhubungan laut, pariwisata bahari seiring dengan
peningkatan iptek dan SDM
4) Pelita X penekanan diletakkan pada pertambangan dan energy seiring dengan pengembangan
SDM dan iptek yang diperlukan
Sistem Sosial Budaya Masyarakat Maritim
3 Januari 2015 03:30 Diperbarui: 17 Juni 2015 13:56 7316 0 0
By : Muh Jamil
PENDAHULUAN
Setiap kebudayaan dan masyarakat di dunia, tidak terkecuali kebudayaan dan masyarakat
maritim, cepat atau lambat pasti mengalami dinamika / perkembangan. Dinamika tersebut meliputi
wujud-wujud teknologi dan benda/karya, perilaku dan kelembagaan, sistem-sistem budaya
kognitif/mental, etos/sikap kepribadian. Menjadi kenyataan pula bahwa biasanya dalam dinamika
ada tradisi bertahan (continuety), ada elemen-elemen dan tatanan inti (struktur elementer)
bertahan, yang dalam banyak hal justru ditopang oleh atau menopang proses dinamika itu sendiri.
Proses dinamika dan bertahannya tradisi akan mempengaruhi situasi dan kondisi sosial ekonomi
serta lingkungan sumberdaya alam dimanfaatkannya.
Dalam masyarakat maritim, termasuk di Indonesia, telah tumbuh berbagai sektor dan
subsektor ekonomi kemaritiman baru yang memunculkan segmen-segmen atau kategori-kategori
sosial seperti petambang, pekerja industri, pengelola dan karyawan wisata,
marinir,akademisi/peneliti, birokrat, dan lain-lain. Tumbuh kembangnya sektor-sektor ekonomi dan
jasa dengan segmen-segmen masyarakat maritim tersebut memerlukan dan diikuti dengan
perkembangan dan perubahan-perubahan kelembagaannya menjadi wadah dan regulasinya.
Tumbuhnya sektor-sektor ekonomi baru dan berkembangnya sektor-sektor ekonomi kemaritiman
lama, terutama perikanan dan pelayaran, tampak dalamperkembangan dan perubahan-perubahan
teknologi, perubahan struktural, dan sistem-sistem budaya kemaritiman (pengetahuan, gagasan,
kepercayaan, nilai, norma/aturan). Gambaran tentang fenomena dinamika sosial budaya maritim
berikut menggunakan kasus desa-desa Nelayan Bugis, Bajo dan Makasar di Sulawesi Selatan (sumber
data/informasidiperoleh dari berbagai hasil penelitian lapangan).
PEMBAHASAN
Motorisasi Perahu/kapal Nelayan
Seperti halnya di berbagai desa nelayan di kawasan timur Indonesia lainnya, motorisasi
perahu dan kapal penangkapan ikan di desa-desa nelayan Sulawesi Selatan baru mulai di tahun-
tahun 1970-an. Mula-mula hanya beberapa orang nelayan berstatus ponggawa (pengusaha
danpemilik ala-ala produksi) mampu mengkredit motor dari pengusaha besar di kota
Makasar (Bos dalam istilah lokal).
Dinamika Struktural
Di Sulawesi Selatan, tempat kediaman dan asal usul komunitas-komunitas nelayan Bugis,
Bajo dan Makasar di berbagai tempat di Nusantara ini, dikenal kelompok kerjasama nelaya yang
dikenal dengan istilah Po(u)nggawa-Sawi (P-Sawi), yang menurut keterangan dari setiap desa telah
ada dan bertahan sejalk ratusan tahun silam. Meskipun kelompok P-Sawijuga digunakan dalam
kegiatan pertanian, perdagangan di darat dan pengelolaan tambak, namun kelompok ini lebih eksis
dan menyolok peranannya dalam aktivitas pelayaran dan perikanan rakyat Bugis, Makasar, dan Bajo
di Sulawesi Selatan dan tempat-tempat lainnya di Indonesia.
Pola hubungan (struktur sosial) yang menandai hubungan dalam kelompok P.Sawi baik
dalam bentuknya yang elementer (P.Laut/Juragan-Sawi) maupun bentuk lebih kompleks
(P.Darat/P.Lompo-P.Laut/Juragan-Sawi) ialah hubungan patron-client. Hubungan patron-client
memolakan dari atas bersifat memberi servis ekonomi, perlindungan, pendidikan informal,
sedangkan dari bawah mengandung muatan moral dan sikap ketaatan dan kepatuhan, kerja keras,
disiplin, kejujuran, loyalitas, tanggung jawab, pengakuan, dan lain-lain (dapat dipahami sebagai
modal sosial).
Gejala perubahan sruktural paling menyolok dan terasa ketika berlangsung adopsi inovasi
teknologi perikanan terutama motor/mesin,peningkatan volume perahu, beberapa jenis alat
tangkap baru skala besar, sarana pengawetan modern (penggunaan es balok). Untuk
meresponsdifusi inovasi teknologi eksploitasi dan sarana penggerak tersebut,
paraP.Darat/P.Lompo/pengusaha lokal yang mempunyai kemampuan modal terbatas terpaksa
mengusahakan bagian besar dari modalnya ke pihak-pihak lain, yaitu pengusaha besar di kota-kota
besar, teurutama Makassar,dengan sistem kredit. Sudah menjadi pola umum dalam masyarakat
nelayan tradisional bahwa dari mana diperoleh pinjaman modal, ke situ pula dipasarkan
tangkapan. Pola ini sekaligus sudah menjadi norma pemasaran yang mengakar. Cara seperti inilah
memungkinkan para pengusaha modal dari luar secara berangsur-angsur mengambil alih sebagian
besar posisi dan peranan vital para pengusaha lokal, yang lemah dalam faktor modal. Mula-mula
mereka menuntut hasil tangkap dijual kepada mereka, kemudian banyak menentukan spesis-spesis
tangkapan nelayan dan tingkat harga, dan jika ketentuan-ketentua kurang dipenuhi maka pinjaman
(dalam bentuk perahu dan mesin) ditarik kembali dari nelayan dan para ponggawa-nya.
Dalam perubahan struktural seperti ini, para pengusaha modal besar di Makasar dapat
diposisikan pada strata paling atas yang dikenal dengan istilah Bos, P.Pulau/P.Darat sebagai
peminjam pada posisi tengah (peranannya menyerupai makelar), sementara
para P.Laut/Juragang danSawi (nelayan) sebagai penyewa atau penyicil alat-alat
produksi sematadari Bos melalui P.Darat/P.Pulau/P.Lompo. Keterlibatan dan dominasi Bosdalam
hirarkis struktur hubungan kerjasama nelayan, menyebabkan hubungan patron-client di
antara P.Lompo/P.Darat dengan nelayan sebagian berubah menjadi hubungan eksploitatif,
sementara hubungan terpercaya cenderung dibangun dan dimantapkan antara para P.Darat danBos.
Tinggal P.Lautdengan Sawi-nya relatif masih mempertahankan hubungan harmonis yang terbangun
sejak dahulu kala.
Untuk sekedar menyegarkan pemahaman, sekali lagi diungkapkan bahwa kebudayaan tidak
lain dari dunia kehidupan manusia itu sendiri. Kebudayaan atau dunia kehidupan manusia tersebut
sekurang-kurangnya meliputi tujuh unsur umum (cultural universal), yakni pengetahuan
(cognitive/ideational/mental material), bahasa, organisasi sosial, ekonomi, teknologi, kesenian, religi
dan kepercayaan. Setiap unsur kebudayaan terdiri dari tiga tingkatan wujud/rupa, yakni sistem
budaya (gagasan, pengetahuan, nilai, keyakinan, norma, moral, perasaan, intuisi, dan lain-lain),
sistem sosial (tindakan dan kehidupan kolektif), dan sistem alat peralatan/teknologi. Sudah
dijelaskan pula bahwa sistem budaya (terkristalisasi menjadi sistem nilai budaya) merupakan
pedoman/acuan (preference/dominant) bagi sistem sosial dan sistem alat peralatan, sebaliknya
sistem alat peralatan dan sistem sosial menjadi prasyarat/penentu (determinant) terhadap sistem
budaya. Adapun sistem sosial sendiri merupakan wadah bagi pengamalan sistem nilai budaya dan
penerapan sistem alat peralatan/teknologi.
Oleh karena sistem nilai budaya merupakan pedoman/acuan bagi sistem sosial
(berkehidupan bersama) dan sistem teknologi (rekayasa dan penggunaan alat peralatan), maka
dalam rangka pengembangan atau pembangunan kebudayaan maritim ke depan tentu tepatnya
dimulai dari sistem nilai budaya maritim itu sendiri. Dengan terbangunnya sistem nilai budaya
maritim yang ideal dan pragmatis, maka pembangunan dimensi kehidupan bermasyarakat dan
teknologinya akan terarahkan dan terkendali dengan baik dalam konteks kristalisasi nilai dan moral
budaya maritim yang mengakar dan rekayasa baru individu atau kelompok potensial dari segmen-
segmen masyarakat pemangku kepentingan (stakeholders). Termasuk dalam segmen-
segmen stakeholders yang kreatif-inovatif dalam merekayasa unsur-unsur budaya maritim baru yang
ideal, pragmatis, dan aplikatif ialah kalangan akademisi, ahli dan pemerhati lingkungan, praktisi
pembangunan, tokoh agama, LSM, dan sebagainya.
Dari gambaran dan ilustrasi unsur-unsur budaya nelayan dan pelayar disajian sebelumnya,
dapat diramu dan diseleksi berbagai unsur nilai budaya maritim yang dianggap potensial untuk
direvitalisasi dan dikembangkan ke depan sebagai landasan bagi pembangunan budaya maritim di
Indonesia pada segala unsur atau aspeknya. Unsur-unsur nilai dan norma budaya positif yang
mengakar dalam berbagai kelompok nelayan dan pelayar dari berbagai suku bangsa (ethnic groups)
yaitu : Komunalisme, Arif lingkungan, Religius, Berkehidupan bersama/kolektivitas, Egalitarian,
Rukun dan setia kawan dalam kelompoknya, Saling mempercayai, Patuh/taat norma, Bertanggung
jawab, Disiplin, Kreatif-inovatif, Teguh pendirian, Kepetualangan, Berani menanggung risiko, Adaptif
dan kompetitif, Berwawasan kelautan dan kepulauan, Multikulturalis, Nasionalis, Berpandangan
dunia/keterbukaan
Tentang nilai-nilai budaya maritim tersebut, tidak diasumsikan dianut dan diaplikasikan oleh
kelompok atau komunitas masyarakat nelayan pada umumnya dan berlaku pada semua periode
waktu atau masa. Sebaliknya, keberadaan sebagian besar unsur nilai budaya maritim tersebut
bersifat kontekstual. Misalnya, keberanian dan kepetualangan, keketatan organisasi kerjasama, etos
ekonomi yang tinggi, wawasan kelautan, multikulturalisme, nasionalisme, dan sikap keterbukaan,
banyak dimiliki nelayan dan pelayar Bugis dan Makassar dengan kelembagaan P-Sawi; sikap
hemat/efisien dalam pemanfaatan uang dimiliki kebanyakan dimiliki komunitas nelayan Dufadupa
(Ternate) dengan kelembagaan arisan, menabung, ke-Dibodibo-an; sikap tolong-menolong
antaranggota kelompok nelayan dari unit-unit usaha yang berbeda dimiliki komunitas nelayan
Bonebone (Baubau --Buton) dengan kelembagaan rektur Kuli Jala; sikap kebersamaan dengan dan
melestarikan lingkungan ekosistem dan sumberdaya perikanan laut, dan pemanfaatan hasil-hasil
secara bersama dan adil dimiliki oleh komunitas nelayan Maluku, Irian, dan Aceh dengan
kelembagaan lokal Sasi, Tyatiki, dan Panglima Laut); dan lain-lain.
Sistem nilai budaya, sikap kolektivitas, dan perilaku budaya kemaritiman tersebut tumbuh
berkembang sebagai reproduksi dari pengalaman berinteraksi dengan laut, pekerjaan berat dan
rumit, ancaman bahaya dan ketidakmenentuan, lingkungan sosial budaya masyarakat pengguna
sumberdaya dan jasa laut yang lain, pemerintah, pasar, dan sebagainya.
Kelangkaan sumberdaya memang telah menjadi isu global, ketika sumberdaya ikan dunia
hanya tinggal 4% yang belum dieksploitasi, 21% dieskploitasi pada tingkat sedang, 65% dieskploitasi
pada tingkat penuh dan berlebihan, 9% rusak, dan tidak lebih dari 1% yang pulih (Garcia & Moreno,
2001). Intensifnya pemanfaatan sumberdaya ikan tidak hanya meninggalkan permasalahan akut
kelangkaan sumberdaya, tetapi juga krisis ekologi, ekonomi, dan sosial terutama di daerah-daerah
pantai.
Perikanan Indonesia juga sedang mengalami nasib yang serupa. Secara nasional, hasil
pengkajian stok ikan oleh Pusat Riset Perikanan Tangkap dan Pusat Penelitian Oseanologi tahun
2001 menunjukkan 65% sumberdaya dieksploitasi secara penuh atau berlebihan dan sumberdaya
ikan di kawasan barat mendapat tekanan yang paling berat. Dari aspek produksi, pertumbuhan yang
tinggi terjadi pada dekade 1970an akibat pesatnya laju motorisasi perikanan yang mencapai lebih
dari 10% per tahun. Sayangnya, motorisasi ini menghasilkan dualisme industri perikanan.
Keberpihakan berlebihan pada perikanan skala besar (trawl dan purse-seine) melahirkan berbagai
konflik dan menjadi catatan buruk pengelolaan perikanan Indonesia. Saat ini, perikanan cenderung
tumbuh semakin terbatas dan berdasarkan data FAOSTAT (2005) pertumbuhan produksi tidak lebih
dari 2% per tahun selama periode 1999-2001. Dalam periode yang sama, berdasarkan data DKP
(2003) nelayan tumbuh di atas 2% per tahun dan melebihi laju pertumbuhan kapal ikan. Indikasi ini
tidak hanya menunjukkan sumberdaya ikan semakin terbatas mendukung ekonomi nelayan, tetapi
juga menjadikan perikanan sebagai pelabuhan terakhir masyarakat yang tidak memiliki akses
terhadap lapangan kerja lainnya. Tidaklah mengherankan jika Béné dalam Jurnal World
Development (2003) menyebut perikanan yang sedang berjalan seirama dengan kemiskinan.
b. Kemiskinan
Tekanan terhadap sumber daya pesisir sering diperberat oleh tingginya angka kemiskinan di
wilayah tersebut. Kemiskinan sering pula menjadi lingkaran karena penduduk yang miskin sering
menjadi sebab rusaknya lingkungan pesisir, namun penduduk miskin pula yang akan menanggung
dampak dari kerusakan lingkungan. Dengan kondisi tersebut, tidak mengherankan jika praktik
perikanan yang merusak masih sering terjadi di wilayah pesisir.
Pendapatan mereka dari kegiatan pengeboman dan penangkapan ikan karang dengan
cyanide masih jauh lebih besar dari pendapatan mereka sebagai nelayan. Sebagai contoh,
pendapatan dari penjualan ikan karang berkisar antara Rp 500.000 sampai Rp 700.000 per bulan
(Erdman dan Pet, 2000). Dengan besarnya perbedaan pendapatan tersebut di atas, sulit untuk
mengatasi masalah kerusakan ekosistem pesisir tanpa memecahkan masalah kemiskinan yang
terjadi di wilayah pesisir itu sendiri.
c. Faktor Penyebab
Secara garis besar ada dua cara memandang kemiskinan. Sebagian orang berpendapat,
kemiskinan adalah suatu proses, sedangkan sebagian lagi memandang kemiskinan sebagai suatu
akibat atau fenomena dalam masyarakat.
Sebagai suatu proses, kemiskinan mencerminkan kegagalan suatu sistem masyarakat dalam
mengalokasikan sumber daya dan dana secara adil kepada anggota masyarakat (Pakpahan dan
Hermanto, 1992). Dari hasil kajian mereka di 14 kecamatan daerah pantai yang tersebar di beberapa
provinsi diketahui, nelayan yang miskin umumnya belum banyak tersentuh teknologi modern,
kualitas sumber daya manusia rendah dan tingkat produktivitas hasil tangkapannya juga sangat
rendah.
Faktor utama bukan karena kekuatan modal untuk mengakses teknologi, namun ternyata
lebih banyak disebabkan oleh kurangnya aktivitas penyuluhan atau teknologi dan rendahnya
lembaga penyedia teknologi. Yang menarik dari hasil penelitian mereka adalah ditemukannya
korelasi positif antara tingkat kemiskinan dengan perkembangan sistem ijon. Para nelayan miskin
umumnya, kehidupan ekonomi mereka sangat tergantung kepada para pemilik modal, yaitu pemilik
perahu atau alat tangkap serta juragan yang siap menyediakan keperluan perahu untuk berlayar.
Berdasarkan studi di lima provinsi, Satria, et.al. (2002) mengidentifikasi paling tidak terdapat
empat macam konflik nelayan berdasarkan faktor penyebabnya.
Pertama, konflik kelas, yaitu konflik yang terjadi antarkelas sosial nelayan dalam
memperebutkan wilayah penangkapan (fishing ground), yang mirip dengan kategori gearwar
conflict-nya Charles (2001). Ini terjadi karena nelayan tradisional merasakan ketidakadilan dalam
pemanfaatan sumberdaya ikan akibat perbedaan tingkat penguasaan kapital. Seperti, konflik yang
terjadi akibat beroperasinya kapal trawl pada perairan pesisir yang sebenarnya merupakan wilayah
penangkapan nelayan tradisional.
Kedua, konflik orientasi, adalah konflik yang terjadi antar nelayan yang memiliki perbedaan
orientasi dalam pemanfaatan sumberdaya, yaitu antara nelayan yang memiliki kepedulian terhadap
cara-cara pemanfaatan sumberdaya yang ramah lingkungan (orientasi jangka panjang) dengan
nelayan yang melakukan kegiatan pemanfaatan yang bersifat merusak lingkungan, seperti
penggunaan bom, potasium, dan lain sebagainya (orientasi jangka pendek).
Ketiga, konflik agraria, merupakan konflik yang terjadi akibat perebutan fishing ground, yang
bisa terjadi antar kelas nelayan, maupun inter-kelas nelayan. Ini juga bisa terjadi antara nelayan
dengan pihak lain non-nelayan, seperti antara nelayan dengan pelaku usaha lain, seperti akuakultur,
wisata, pertambangan, yang oleh Charles (2001) diistilahkan sebagai external allocation conflict.
Keempat, konflik primordial, merupakan konflik yang terjadi akibat perbedaan identitas,
seperti etnik, asal daerah, dan seterusnya. Anatomi konflik di atas menggambarkan betapa
kompleksnya konflik nelayan. Keempat tipe tersebut terjadi baik sebelum maupun sesudah otonomi
daerah. Perebutan sumberdaya ikan yang semakin langka menjadi salah satu akar konflik perikanan
saat ini, sehingga menuntut kita untuk bepikir ulang tentang cara mengelola sumberdaya ini. Banyak
kepentingan nelayan terkalahkan oleh kepentingan non nelayan karena nelayan tidak memiliki
organisasi dengan posisi tawar yang kuat. Di era otonomi daerah ini lebih-lebih adanya
kecenderungan Pemda mengejar kepentingan jangka pendek dengan mengedepankan proyek-
proyek yang quick yielding yang seringkali bersebarangan dengan kepentingan nelayan, kehadiran
organisasi nelayan yang solid menjadi kian mendesak.
Terakhir, dalam jangka panjang pemberdayaan nelayan sangat penting dalam
mengantisipasi konflik. Pemberdayaan tentu utamanya diarahkan pada peningkatan ketahanan
ekonomi rumah tangga nelayan. Berbagai bentuk praktek penangkapan ikan secara destruktif
ternyata tidak bisa lepas dari perspektif ekonomi. Ketika nelayan dengan alat tangkap yang sangat
terbatas dan menghasilkan tangkapan ikan yang secara minimal, maka dorongan untuk melakukan
praktik penangkapan secara destruktif menjadi besar. Akibatnya konflik orientasi pun sering terjadi.
Tentu aspek ekonomi ini juga mesti diiringi dengan aspek sosial budaya yaitu dengan melakukan
pengkayaan pengetahuan dan pola sikap para nelayan terhadap sumberdaya laut yang di beberapa
tempat sudah mulai bergeser.
Saat ini banyak program pemberdayaan yang menklaim sebagai program yang berdasar
kepada keinginan dan kebutuhan masyarakat (bottom up), tapi ironisnya masyarakat tetap saja tidak
merasa memiliki akan program-program tersebut sehingga tidak aneh banyak program yang hanya
seumur masa proyek dan berakhir tanpa dampak berarti bagi kehidupan
masyarakat. Memberdayakan masyarakat pesisir berarti menciptakan peluang bagi masyarakat
pesisir untuk menentukan kebutuhannya, merencanakan dan melaksanakan kegiatannya, yang
akhirnya menciptakan kemandirian permanen dalam kehidupan masyarakat itu sendiri.
Memberdayakan masyarakat pesisir tidaklah seperti memberdayakan kelompok-kelompok
masyarakat lainnya, karena didalam habitat pesisir terdapat banyak kelompok kehidupan
masayarakat yaitu : Masyarakat nelayan tangkap, Masyarakat nelayan pengumpul/bakul,
Masayarakat nelayan buruh, dan Masyarakat nelayan tambak, masyarakat nelayan pengolah, dan
kelompok masyarakat nelayan buruh.
Banyak program pemberdayaan yang telah dilaksanakan pemerintah, salah satunya adalah
pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP). Pada intinya program ini dilakukan melalui tiga
pendekatan, yaitu: Kelembagaan, Pendampingan dan Dana Usaha Produktif Bergulir.
DAFTAR PUSTAKA
Tim Pengajar. 2011. Wawasan Sosial Budaya Maritim. Universitas Hasanuddin. Makassar
DINAMIKA KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MARITIM
Makalah Kelompok
OLEH
KELOMPOK 5A
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2012
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap kebudayaan dan masyarakat di dunia, tidak terkecuali kebudayaan dan masyarakat
bahari, cepat atau lambat pasti mengalami dinamika / perkembangan. Dinamika tersebut meliputi
wujud-wujud teknologi dan benda/karya, perilaku dan kelembagaan, sistem-sistem budaya
kognitif/mental, etos/sikap kepribadian. Menjadi kenyataan pula bahwa biasanya dalam dinamika ada
tradisi bertahan (continuety), ada elemen-elemen dan tatanan inti (struktur elementer) bertahan,
yang dalam banyak hal justru ditopang oleh atau menopang proses dinamika itu sendiri. Proses
dinamika dan bertahannya tradisi akan mempengaruhi situasi dan kondisi sosial ekonomi serta
lingkungan sumberdaya alam dimanfaatkannya.
Dalam masyarakat bahari, termasuk di Indonesia, telah tumbuh berbagai sektor dan subsektor
ekonomi kebaharian baru yang memunculkan segmen-segmen atau kategori-kategori sosial seperti
petambang, pekerja industri, pengelola dan karyawan wisata, marinir, akademisi/peneliti, birokrat, dan
lain-lain. Tumbuh kembangnya sektor-sektor ekonomi dan jasa dengan segmen-segmen masyarakat
bahari tersebut memerlukan dan diikuti dengan perkembangan dan perubahan-perubahan
kelembagaannya menjadi wadah dan regulasinya. Tumbuhnya sektor-sektor ekonomi baru
dan berkembangnya sektor-sektor ekonomi kebaharian lama, terutama perikanan dan
pelayaran, tampak dalamperkembangan dan perubahan-perubahan teknologi, perubahan struktural,
dan sistem-sistem budaya kebaharian (pengetahuan, gagasan, kepercayaan, nilai, norma/aturan).
Gambaran tentang fenomena dinamika sosial budaya bahari berikut menggunakan kasus desa-desa
Nelayan Bugis, Bajo dan Makasar di Sulawesi Selatan (sumber data/informasi diperoleh dari berbagai
hasil penelitian lapangan).
B. Tujuan
1. Untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Wawasan Sosial Budaya Maritim.
4. Untuk menegtahui cara-cara untuk meningkatkan kualitas sosial budaya maritim di Indonesia.
C. Manfaat
PEMBAHASAN
Seperti halnya di berbagai desa nelayan di kawasan timur Indonesia lainnya, motorisasi
perahu dan kapal penangkapan ikan di desa-desa nelayan Sulawesi Selatan baru mulai di tahun-tahun
1970-an. Mula-mula hanya beberapa orang nelayan berstatus ponggawa (pengusaha dan pemilik ala-
ala produksi) mampu mengkredit motor dari pengusaha besar di kota Makasar (Bos dalam istilah lokal).
Introduksi inovasi motor ke desa-desa nelayan melalui Dinas Perikanan, namun pengusaha/ pedagang
besaryang berkedudukan di kota, khususnya Makassar, yang memegang peranan
penting menyampaikan dan mensosialisasikan sekaligus mendagangkan inovasi motor kepada lapisan
nelayan melalui para ponggawa dari desa-desa pantai dan pulau-pulau di Sulawesi Selatan
dengan aturan kredit tradisional. Menurut informasi, bahwa pada mulanya semua unit motor yang
masuk ke desa-desa nelayan hanya berukuran 4,5-10 pk. Motor-motor kecil dipasang di luar perahu
(outboard motor). Di tahun 1980-an diperkirakan sudah ada separuh dari perahu-perahu nelayan yang
ada telah dilengkapi dengan motor dalam (inboard motor) berkekuatan 10-30 pk. Di tahun-tahun 1990-
an sebagian terbesar perahu nelayan sudah menggunakan motor berkekuatan minimal 20 pk. Perahu-
perahu nelayan yang mengoperasikan gae/rengge dan bagang (pukat apung besar) bahkan rata-rata
menggunakan dua mesin berkekuatan 100-130 pk. Tinggal nelayan pancing dan jaring ringan yang
beroperasi di perairan pantai yang sebagian besar masih menggunakan motor kecil berukuran 5-10 pk
dengan perahu-perahu kecil. Motor sebagai tenaga penggerak menggantikan komponen layar dapat
dipasang pada semua jenis/tipe perahu tradisional mulai dari ukuran kecil sampai pada
perahu besar dan tipe bodi/kapal.
Sejak pertamakali motor diadopsi sampai sekarang belum ada kesan diperoleh dari
masyarakat nelayan akan adanya sikap penolakan terhadap inovasi tersebut. Semua nelayan suka
motor, meskipun ternyata hanya sebagian di antaranya mempunyai peluang pada kepemilikan inovasi
tersebut. Boleh dikatakan bahwa memiliki perahu motor sekecil apapun merupakan dambaan setiap
nelayan.
Karena motor sendiri adalah salah satu komponen modal vital yang membutuhkan biaya
operasioanl secara terus-menerus, maka ini harus difungsikan dengan penggunaan alat-alat tangkap
produktif. Di Sulawesi Selatan, di antara sekian banyak alat tangkap tradisional yang masih digunakan
nelayan, terdapat beberapa di antaranya lebih berasosiasi dengan motor seperti pukat gae (Bugis)
atau rengge (Makasar), jala/panjak (payang), bagang, pancing sunu (p.kerapu), pancing tongkol,
bubu, kompresor (sarana selam), dan lain-lain. Trawl (pukat harimau) termasuk alat tangkap baru dan
modern yang kemudian dilarang dan memang tidak pernah disukai oleh nelayan lapisan bawah karena
merugikan mereka, merusak sumberdaya dan ekologi. Alat-alat tangkap tradisional tersebut di
atas kemudian menjadi lebih produktif berkat dioperasikan dengan perahu-perahu motor. Dapat
dikatakan bahwa adopsi inovasi motor dapat memberikan sumbangan kepada pengembangan dan
kontinyuitas teknologi tangkap tradisional tersebut, jadi bukannya memusnahkannya.
1. Gae
Gae atau rengge adalah tipe pukat paling besar dan produktif dalam perikanan laut di
Sulawesi Selatan sampai sekarang ini. Berdasarkan keterangan nelayan Makasar dari Galesong
(Takalar), bahwa gae baru muncul dan mulai digunakan di akhir tahun 1970-an atau awal tahun
1980-an dengan ukuran lebih kecil daripada yang sekarang. Gae menurut keterangan merupakan
modifikasi dari gae tawang (sejenis pukat kecil) kalau bukan hasil modifikasi dari panjak/jala
lompo (payang). Ide pengembangan pukat tradisional ini menjadi pukat raksasa sudah pasti muncul
dari teradopsinya mesin dari berbagai jenis merk dan ukuran kekuatan.
Karena untuk menggerakkan bodi berkapasitas puluhan ton dengan kecepatan lebih tinggi
ke daerah perikanan dalam yang jauh dari pantai serta mengangkat jaring dari air, maka mutlak
diperlukan beberapa buah mesin berkekuatan tinggi. Ada gejala bahwa gae/rengge akan menjadi cikal
bakal perkembangan mekanisasi armada perikanan laut di Indonesia bagian timur di masa akan
datang. Akhir-akhir ini, investasi usaha gae/rengge telah mencapai 180-250 juta rupiah. Di beberapa
desa nelayan Sulawesi Selatan, antara alain seperti Desa Tamalate, Desa Engbatu-batu,
Desa Tammasaju (Kab. Takalar), Jennepnto, Bantaeng, dan KelurahanKassi Kajang (Bulukumba),
perikanan gae terbukti telah meningkatkan kesejahteraan nelayan pemilik dan keluarga-
keluarga juragan (nakoda), bahkan sebagian besar dari pemilik dapat mengembangkan usahanya dan
menambah beberapa unit uasaha gae baru. Di desa-desa nelayan pantai berdasarkan pengamatan,
keluarga-keluarga nelayan pemilik gae inilah yang paling kaya di antara semua kategori masyarakat
nelayan.
2. Bagang
Alat tangkap ini adalah sejenis alat tangkap tradisional nelayan Bugis yang sejak tahun
1970-an telah mengalami perkembangan teknis secara pesat seiring dengan adopsi inovasi motor di
Sulawesi Selatan. Bentuk paling kompleks dari teknik ini ialah bagang rambo (bagangraksasa) yang
telah digunakan oleh nelayan Palopo dan Malili (Luwu), nelayan Lappa (Sinjai) dan nelayan Barru.
Komponen inti bagang ramboterdiri dari perahu bagang 1 buah (panjang 8-9 m, lebar 2-2,5 m), 1
buah perahu kecil untuk mengangkut sawi (10-15 orang) dan hasil tangkapan, rangka pondok/tenda
(dari bambu atau balok-balok kayu yang dipasang di atas perahu), net halus (dari: Bugis) luas 30x30
m, mesin 2 buah (masing-masing berfungsi sarana penggerak dan pembangkit tenaga listrik untuk
penerangan) yang semuanya berkekuatan 100-140 pk, dan bola lampu (merk phillips) sebanyak 40-
60 buah (100-200 watt masing-masing). Demikianlah bagang rambo yang dioperasikan pada perairan
dekat pantai pada waktu siang tampak dari luar seperti pondok/tenda besar, dan di waktu
malam tampak terang gemerlap dengan lampu-lampu terpasang sekeliling rangka bagang. Besar
investasi untuk satu unit usaha bagang rambo bervariasi dari 250-300 juta rupiah.
Salah satu jenis usaha perikanan laut dalam di Sulawesi Selatan yang mengalami
perkembangan cukup pesat berkat inovasi motor dan fasilitas pengawetan tangkapan ialah usaha
tongkol yang sebagian terbesar dikelola oleh nelayan dari desa-desa pantai dalam kabupaten-
kabupaten Bone, Sinjai, Bulukumba, Bantaeng, Jeneponto, Takalar, dan lain-lain.
Sebelum motorisasi armada penangkapan ikan, jumlah nelayan tongkol masih sedikit dan
mereka pada umumnya hanya beroperasi dalam batas-batas wilayah perairan Sulawesi Selatan. Daya
jangkau perahu-perahu layar yang rendah dan belum tersedianya sarana pengawetan untuk ikan segar
merupakan faktor utama tidak berkembangnya aktivitas perikanan laut dalam
sebelum mekanisasi perahu-perahu penangkapan ikan tersebut.
Dengan adopsi inovasi motor dan sarana pengawetan ikan, maka jumlah jenis-jenis usaha
dan nelayan yang terlibat di dalamnya meningkat pesat. Kemudian nelayan tidak lagi hanya beroperasi
dalam batas-batas perairan Sulawesi Selatan saja, melainkan telah memperluas wilayah
penangkapannya sampai ke NTT, Sulawesi Tenggara, Maluku, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan,
dan bahkan kelompok-kelompok nelayan dari Sinjai Timur yang hanya terdiri dari 3-5 orang per perahu
telah mendatangi peraiarn pantai Cilacap (Jawa Tengah) sejak tahun 1998.
Perkembangan usaha tongkol di Sulawesi Selatan dapat dibandingkan dengan yang terjadi
di kawasan timur Indonesia lainnya seperti Sulawesi Utara, Buton, Ternate, Biak, dan lain-lain.
Fenomena perkembangan usaha perikanan tongkol dan tuna yang memproduksi ikan-ikan segar
berkualitas tinggi dapat dipahami sebagai kemampuan nelayan merespons permintaan pasar ekspor
dan terlibat dalam jaringan pasar ekspor dunia, khususnya Asia Tenggara.
Kompresor adalah kompnen utama dari perangkat sarana selam selam modern. Adopsi
kompresor atau mesin pompa udara ini dihubungkan dengan usaha-usaha teripang, bubu
(penangkapan ikan hidup), usaha hiu, dan kegiatan-kegiatan ilegal seperti pemboman dan
pembiusan ikan. Sebelum kompresor diadopsi sejak pertengahan tahun 1980-an, para penyelam
(sebagian besar dari Pulau Sembilan) menggunakan tabung/tangki gas yang dianggap bisa
berbahaya bagi kesehatan nelayan. Tabung gas menggantikan teknik selam tradisional yang alamiah
dengan menggunakan ladung (alat tusuk) untuk mengambil teripang, yang masih banyak dipraktikkan
hingga tahun 1970-an. Baik dengan kompresor maupun tabung, keduanya memerlukan perahu-
perahu motor ukuran sedang ke atas untuk penerapannya secara intensif dan efektif. Dengan
semakin jauhnya lokasi-lokasi pencarian teripang (termasuk kerang-kerangan) --- sejak
pertengahan periode 1980-an, nelayan penyelam dari Sulawesi Selatan telah sampai ke Sulawesi
Tenggara, NTT, NTB, Maluku, Biak (Irja), Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Kalimantan Selatan,
Sibolga, Nias dan Mentawai (Sumatra) --- maka nelayan teripang Sulawesi Selatan, khususnya yang
dari Pulau-pulau Sembilan, Barranglompo, merasa mutlak memerlukan perahu-perahu motor besar
dilengkapi dengan kompresor. Demikian halnya bagi pengusaha ikan hidup dan para pengusaha ikan
segar yang mempraktikkan kegiatan ilegal seperti pemboman di laut.
Disebabkan investasi untuk pemilikan satu unit kompresor cukup besar, yaitu 25-30 juta
rupiah, maka kepemilikan sarana selam tersebut terbatas kepada sebagian nelayan/pengusaha
mampu saja.
C. Dinamika Struktural
Di Sulawesi Selatan, tempat kediaman dan asal usul komunitas-komunitas nelayan Bugis,
Bajo dan Makasar di berbagai tempat di Nusantara ini, dikenal kelompok kerjasama nelaya yang
dikenal dengan istilah Po(u)nggawa-Sawi (P-Sawi), yang menurut keterangan dari setiap desa telah
ada dan bertahan sejalk ratusan tahun silam. Meskipun kelompok P-Sawi juga digunakan dalam
kegiatan pertanian, perdagangan di darat dan pengelolaan tambak, namun kelompok ini lebih eksis
dan menyolok peranannya dalam aktivitas pelayaran dan perikanan rakyat Bugis, Makasar, dan Bajo
di Sulawesi Selatan dan tempat-tempat lainnya di Indonesia.
Suatu perubahan struktural yang berarti terjadi ketika suatu usaha perikanan mengalami
perkembangan jumlah unit perahu dan alat-alat produksi yang dikuasai oleh
seorang P.Laut/Juragan tadi sebagai akibat dari pengaruh kapitalisme. Untuk pengembangan dan
eksistensi usaha, maka P.Laut/Juragan tidak lagi ikut memimpin pelayaran dan proses produksi di laut,
melainkan tetap tinggal di darat/pulau untuk mengelola perolehan pinjaman modal dari pihak lain,
mengurus biaya-biaya anggota yang beroperasi di laut, membangun jaringan pemasaran, dan lain-lain.
Di sinilah pada awalnya muncul satu status baru pada strata tertinggi dalam kelompok kerja nelayan
yang disebut P.Darat/P.Pulau. Untuk memimpin pelayaran dan aktivitas produksi di
laut, P.Darat merekrut juragan-juraganbaru untuk menggantikan posisinya dalam memimpin unit-unit
usaha yang sedang berkembang dan meningkat jumlahnya. Para P.Laut/Juragan dalam proses
dinamika ini sebagian masih berstatus pemilik, sebagain lainnya hanyalah berstatus pemimpin operasi
kelompok nelayan. Para juragan yang direkrut dari sawi-sawi berbakat/potensial dikenal juga dengan
istilah P.Caddi, sedangkan P.Darat disebut P.Lompo.
Pola hubungan (struktur sosial) yang menandai hubungan dalam kelompok P.Sawi baik
dalam bentuknya yang elementer (P.Laut/Juragan-Sawi) maupun bentuk lebih kompleks
(P.Darat/P.Lompo-P.Laut/Juragan-Sawi) ialah hubungan patron-client. Hubungan patron-client
memolakan dari atas bersifat memberi servis ekonomi, perlindungan, pendidikan informal, sedangkan
dari bawah mengandung muatan moral dan sikap ketaatan dan kepatuhan, kerja keras, disiplin,
kejujuran, loyalitas, tanggungjawab, pengakuan, dan lain-lain (dapat dipahami sebagai modal sosial).
Gejala perubahan sruktural paling menyolok dan terasa ketika berlangsung adopsi inovasi
teknologi perikanan terutama motor/mesin, peningkatan volume perahu, beberapa jenis alat
tangkap baru skala besar, sarana pengawetan modern (penggunaan es balok). Untuk
meresponsdifusi inovasi teknologi eksploitasi dan sarana penggerak tersebut,
para P.Darat/P.Lompo/pengusaha lokal yang mempunyai kemampuan modal terbatas terpaksa
mengusahakan bagian besar dari modalnya ke pihak-pihak lain, yaitu pengusaha besar di kota-kota
besar, teurutama Makassar,dengan sistem kredit. Sudah menjadi pola umum dalam masyarakat
nelayan tradisional bahwa dari mana diperoleh pinjaman modal, ke situ pula dipasarkan
tangkapan. Pola ini sekaligus sudah menjadi norma pemasaran yang mengakar. Cara seperti inilah
memungkinkan para pengusaha modal dari luar secara berangsur-angsur mengambil alih sebagian
besar posisi dan peranan vital para pengusaha lokal, yang lemah dalam faktor modal. Mula-mula
mereka menuntut hasil tangkap dijual kepada mereka, kemudian banyak menentukan spesis-spesis
tangkapan nelayan dan tingkat harga, dan jika ketentuan-ketentua kurang dipenuhi maka pinjaman
(dalam bentuk perahu dan mesin) ditarik kembali dari nelayan dan para ponggawa-nya.
Dalam perubahan struktural seperti ini, para pengusaha modal besar di Makasar dapat
diposisikan pada strata paling atas yang dikenal dengan istilah Bos, P.Pulau/P.Darat sebagai
peminjam pada posisi tengah (peranannya menyerupai makelar), sementara
para P.Laut/Juragang dan Sawi (nelayan) sebagai penyewa atau penyicil alat-alat
produksi sematadari Bos melalui P.Darat/P.Pulau/P.Lompo. Keterlibatan dan dominasi Bosdalam
hirarkis struktur hubungan kerjasama nelayan, menyebabkan hubungan patron-client di
antara P.Lompo/P.Darat dengan nelayan sebagian berubah menjadi hubungan eksploitatif, sementara
hubungan terpercaya cenderung dibangun dan dimantapkan antara para P.Darat dan Bos.
Tinggal P.Laut dengan Sawi-nya relatif masih mempertahankan hubungan harmonis yang terbangun
sejak dahulu kala.
Sebetulnya, sejak awal tahun 1990-an sudah ada alternatif sumber pinjaman biaya
operasional dan biaya hidup keluarga nelayan pesisir dan pulau, yaitu para pengusaha kios yang
menjual berbagai kebutuhan pokok dan bahan pembuatan alat-alat penangkapan ikan. Sebagian di
antara pengusaha kios tersebut adalah keluarga P.Pulau juga.
Untuk sekedar menyegarkan pemahaman, sekali lagi diungkapkan bahwa kebudayaan tidak
lain dari dunia kehidupan manusia itu sendiri. Kebudayaan atau dunia kehidupan manusia tersebut
sekurang-kurangnya meliputi tujuh unsur umum (cultural universal), yakni pengetahuan
(cognitive/ideational/mental material), bahasa, organisasi sosial, ekonomi, teknologi, kesenian, religi
dan kepercayaan. Setiap unsur kebudayaan terdiri dari tiga tingkatan wujud/rupa, yakni sistem
budaya (gagasan, pengetahuan, nilai, keyakinan, norma, moral, perasaan, intuisi, dan lain-lain),
sistem sosial (tindakan dan kehidupan kolektif), dan sistem alat peralatan/teknologi. Sudah dijelaskan
pula bahwa sistem budaya (terkristalisasi menjadi sistem nilai budaya) merupakan pedoman/acuan
(preference/dominant) bagi sistem sosial dan sistem alat peralatan, sebaliknya sistem alat peralatan
dan sistem sosial menjadi prasyarat/penentu (determinant) terhadap sistem budaya. Adapun sistem
sosial sendiri merupakan wadah bagi pengamalan sistem nilai budaya dan penerapan sistem alat
peralatan/teknologi.
Oleh karena sistem nilai budaya merupakan pedoman/acuan bagi sistem sosial
(berkehidupan bersama) dan sistem teknologi (rekayasa dan penggunaan alat peralatan), maka
dalam rangka pengembangan atau pembangunan kebudayaan bahari ke depan tentu tepatnya
dimulai dari sistem nilai budaya bahari itu sendiri. Dengan terbangunnya sistem nilai budaya bahari
yang ideal dan pragmatis, maka pembangunan dimensi kehidupan bermasyarakat dan teknologinya
akan terarahkan dan terkendali dengan baik dalam konteks kristalisasi nilai dan moral budaya bahari
yang mengakar dan rekayasa baru individu atau kelompok potensial dari segmen-segmen
masyarakat pemangku kepentingan (stakeholders). Termasuk dalam segmen-
segmen stakeholders yang kreatif-inovatif dalam merekayasa unsur-unsur budaya bahari baru yang
ideal, pragmatis, dan aplikatif ialah kalangan akademisi, ahli dan pemerhati lingkungan, praktisi
pembangunan, tokoh agama, LSM, dan sebagainya.
Dari gambaran dan ilustrasi unsur-unsur budaya nelayan dan pelayar disajian sebelumnya,
dapat diramu dan diseleksi berbagai unsur nilai budaya bahari yang dianggap potensial untuk
direvitalisasi dan dikembangkan ke depan sebagai landasan bagi pembangunan budaya bahari di
Indonesia pada segala unsur atau aspeknya. Unsur-unsur nilai dan norma budaya positif yang
mengakar dalam berbagai kelompok nelayan dan pelayar dari berbagai suku bangsa (ethnic groups)
seperti di bawah ini:
• Komunalisme
• Arif lingkungan
• Religius
• Berkehidupan bersama/kolektivitas
• Egalitarian
• Saling mempercayai
• Patuh/taat norma
• Bertanggung jawab
• Disiplin
• Kreatif-inovatif
• Teguh pendirian
• Kepetualangan
• Multikulturalis
• Nasionalis
• Berpandangan dunia/keterbukaan
Tentang nilai-nilai budaya bahari tersebut, tidak diasumsikan dianut dan diaplikasikan oleh
kelompok atau komunitas masyarakat nelayan pada umumnya dan berlaku pada semua periode
waktu atau masa. Sebaliknya, keberadaan sebagian besar unsur nilai budaya bahari tersebut bersifat
kontekstual. Misalnya, keberanian dan kepetualangan, keketatan organisasi kerjasama, etos ekonomi
yang tinggi, wawasan kelautan, multikulturalisme, nasionalisme, dan sikap keterbukaan, banyak
dimiliki nelayan dan pelayar Bugis dan Makassar dengan kelembagaan P-Sawi; sikap hemat/efisien
dalam pemanfaatan uang dimiliki kebanyakan dimiliki komunitas nelayan Dufadupa (Ternate) dengan
kelembagaan arisan, menabung, ke-Dibodibo-an; sikap tolong-menolong antaranggota kelompok
nelayan dari unit-unit usaha yang berbeda dimiliki komunitas nelayan Bonebone (Baubau --Buton)
dengan kelembagaan rektur Kuli Jala; sikap kebersamaan dengan dan melestarikan lingkungan
ekosistem dan sumberdaya perikanan laut, dan pemanfaatan hasil-hasil secara bersama dan adil
dimiliki oleh komunitas nelayan Maluku, Irian, dan Aceh dengan kelembagaan lokal Sasi, Tyatiki, dan
Panglima Laut); dan lain-lain.
Sistem nilai budaya, sikap kolektivitas, dan perilaku budaya kebaharian tersebut tumbuh
berkembang sebagai reproduksi dari pengalaman berinteraksi dengan laut, pekerjaan berat dan
rumit, ancaman bahaya dan ketidakmenentuan, lingkungan sosial budaya masyarakat pengguna
sumberdaya dan jasa laut yang lain, pemerintah, pasar, dan sebagainya. Nilai-nilai budaya yang
mengakar dalam masyarakat bahari ini perlu diimput dengan rekayasa nilai-nilai integratif, asimilatif,
futuralistik, dan adaptif (input values) yang terkandung dalam visi Universitas Hasanuddin (“Unhas
sebagai pusat pengembangan budaya bahari”) yang akan menjelmakan nilai-nilai budaya bahri yang
holistik, interkonektif, dan mandiri (output values) untuk menjadi acuan sekaligus tujuan
pengembangan budaya bahari di masa depan.
Kelangkaan sumberdaya memang telah menjadi isu global, ketika sumberdaya ikan dunia
hanya tinggal 4% yang belum dieksploitasi, 21% dieskploitasi pada tingkat sedang, 65% dieskploitasi
pada tingkat penuh dan berlebihan, 9% rusak, dan tidak lebih dari 1% yang pulih (Garcia & Moreno,
2001). Intensifnya pemanfaatan sumberdaya ikan tidak hanya meninggalkan permasalahan akut
kelangkaan sumberdaya, tetapi juga krisis ekologi, ekonomi, dan sosial terutama di daerah-daerah
pantai. Kini, ciri dasar perikanan sedang mengikuti perikanan hipotetik Ricker (1975) dimana pada fase
awal populasi ikan tumbuh sampai ukuran maksimum dan perubahannya hanya diatur oleh
pertumbuhan dan kematian alami. Ketika tekanan ekploitasi semakin intensif dengan sedikit intervensi
untuk konservasi dan rehabilitasi, sumberdaya ikan terus menurun dan hanya sedikit yang dapat pulih
kembali. Gambaran terakhir inilah yang menjadi ciri perikanan di Asia Tenggara seperti dikemukan
Butcher (2004) dalam bukunnya “The closing of the frontier: a history of the marine fisheries in South
East Asia c. 1850-2000”.
Perikanan Indonesia juga sedang mengalami nasib yang serupa. Secara nasional, hasil
pengkajian stok ikan oleh Pusat Riset Perikanan Tangkap dan Pusat Penelitian Oseanologi tahun 2001
menunjukkan 65% sumberdaya dieksploitasi secara penuh atau berlebihan dan sumberdaya ikan di
kawasan barat mendapat tekanan yang paling berat. Dari aspek produksi, pertumbuhan yang tinggi
terjadi pada dekade 1970an akibat pesatnya laju motorisasi perikanan yang mencapai lebih dari 10%
per tahun. Sayangnya, motorisasi ini menghasilkan dualisme industri perikanan. Keberpihakan
berlebihan pada perikanan skala besar (trawl dan purse-seine) melahirkan berbagai konflik dan menjadi
catatan buruk pengelolaan perikanan Indonesia. Saat ini, perikanan cenderung tumbuh semakin
terbatas dan berdasarkan data FAOSTAT (2005) pertumbuhan produksi tidak lebih dari 2% per tahun
selama periode 1999-2001. Dalam periode yang sama, berdasarkan data DKP (2003) nelayan tumbuh
di atas 2% per tahun dan melebihi laju pertumbuhan kapal ikan. Indikasi ini tidak hanya menunjukkan
sumberdaya ikan semakin terbatas mendukung ekonomi nelayan, tetapi juga menjadikan perikanan
sebagai pelabuhan terakhir masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap lapangan kerja
lainnya. Tidaklah mengherankan jika Béné dalam Jurnal World Development (2003) menyebut
perikanan yang sedang berjalan seirama dengan kemiskinan.
Tentu, integrasi perikanan kedalam pembangunan desa perlu didorong untuk menghindarkan
pembangunan yang bersifat sektoral. Berkembangnya usaha-usaha berbasis kelompok seperti
pengolahan dan perdagangan ikan, budidaya ikan/udang, pertanian lahan pasir, peternakan, dan
pariwisata termasuk usaha berbasis wanita di beberapa wilayah pesisir menjadi modal sosial untuk
mengintegrasikan perikanan ke dalam pembangunan desa. Berbagai upaya ini tentu sangat tergantung
”sense of urgency” dan ”political will” pemerintah yang saat ini banyak memegang kendali pengelolaan
perikanan. Bukanlah hal yang mudah ketika pemerintah tengah memasang berbagai target
pembangunan di atas tahun-tahun sebelumnya, seperti produksi perikanan 7,7 juta ton, penerimaan
devisa US$ 3,2 miliar, konsumsi ikan 28 kg/kapita/tahun, penyerapan tenaga kerja 7,7 juta orang, dan
kontribusi terhadap PDB 3,1%. Prioritas pada pengelolaan tidak hanya bermakna menjaga
keberlanjutan perikanan laut yang menyumbang 75% total produksi perikanan nasional, tetapi juga
menyelamatkan lebih dari 2,5 juta nelayan yang segara langsung tergantung padanya.
2. Kemiskinan
Dalam konteks yang demikian timbul sebuah stereotif yang positif tentang identitas nelayan
khususnya dan masyarakat pesisir pada umumnya. Mereka dinilai lebih berpendidikan, wawasannya
tentang kehidupan jauh lebih luas, lebih tahan terhadap cobaan hidup dan toleran terhadap perbedaan.
Ombak besar dan terpaan angin laut yang ganas memberikan pengaruh terhadap mentalitas
mereka. Di masa lalu, ketika teknologi komunikasi belum mencapai kemajuan seperti sekarang,
perubahan-perubahan besar yang terjadi pada masyarakat pedesaan (daratan) ditentukan oleh
intensitas komunikasi yang berhasil diwujudkan masyarakat pedesaan dengan para nelayan.
Dalam perkembangan, justru masyarakat nelayan belum menunjukkan kemajuan yang berarti
dibandingkan kelompok masyarakat lainnya. Keberadaan mereka sebagai agen perubahan sosial
ternyata tidak ditunjukkan secara positif dengan kehidupan ekonominya. Persoalan sosial paling
dominan yang dihadapi di wilayah pesisir justru masalah kemiskinan nelayan. Meski data akurat
mengenai jumlah penduduk miskin di wilayah pesisir ini belum tersedia, data dari hasil-hasil penelitian
yang ada menunjukan adanya incidence poverty di beberapa pesisir.
Tekanan terhadap sumber daya pesisir sering diperberat oleh tingginya angka kemiskinan di
wilayah tersebut. Kemiskinan sering pula menjadi lingkaran karena penduduk yang miskin sering
menjadi sebab rusaknya lingkungan pesisir, namun penduduk miskin pula yang akan menanggung
dampak dari kerusakan lingkungan. Dengan kondisi tersebut, tidak mengherankan jika praktik
perikanan yang merusak masih sering terjadi di wilayah pesisir.
Pendapatan mereka dari kegiatan pengeboman dan penangkapan ikan karang dengan
cyanide masih jauh lebih besar dari pendapatan mereka sebagai nelayan. Sebagai contoh, pendapatan
dari penjualan ikan karang berkisar antara Rp 500.000 sampai Rp 700.000 per bulan (Erdman dan Pet,
2000). Dengan besarnya perbedaan pendapatan tersebut di atas, sulit untuk mengatasi masalah
kerusakan ekosistem pesisir tanpa memecahkan masalah kemiskinan yang terjadi di wilayah pesisir itu
sendiri.
3. Faktor Penyebab
Masalah kemiskinan kembali mencuat sebagai persoalan serius yang harus segera ditangani
pemerintah ketika krisis ekonomi melanda perekonomian nasional mulai akhir tahun 1998. Krisis yang
hampir membangkrutkan bangsa dan negara Indonesia telah meningkatkan jumlah penduduk miskin
kembali ke tahun sebelum 1990.
Meningkatnya jumlah tenaga kerja Indonesia ilegal yang mencari pekerjaan di negara jiran
Malaysia adalah bukti konkret akan rendahnya harapan bagi masyarakat pedesaan, terutama yang
kurang berpendidikan untuk menggantungkan kehidupannya dengan mengadu nasib sebagai
masyarakat urban dan suburban di Indonesia.
Secara garis besar ada dua cara memandang kemiskinan. Sebagian orang berpendapat,
kemiskinan adalah suatu proses, sedangkan sebagian lagi memandang kemiskinan sebagai suatu
akibat atau fenomena dalam masyarakat.
Sebagai suatu proses, kemiskinan mencerminkan kegagalan suatu sistem masyarakat dalam
mengalokasikan sumber daya dan dana secara adil kepada anggota masyarakat (Pakpahan dan
Hermanto, 1992). Dari hasil kajian mereka di 14 kecamatan daerah pantai yang tersebar di beberapa
provinsi diketahui, nelayan yang miskin umumnya belum banyak tersentuh teknologi modern, kualitas
sumber daya manusia rendah dan tingkat produktivitas hasil tangkapannya juga sangat rendah.
Faktor utama bukan karena kekuatan modal untuk mengakses teknologi, namun ternyata
lebih banyak disebabkan oleh kurangnya aktivitas penyuluhan atau teknologi dan rendahnya lembaga
penyedia teknologi. Yang menarik dari hasil penelitian mereka adalah ditemukannya korelasi positif
antara tingkat kemiskinan dengan perkembangan sistem ijon. Para nelayan miskin umumnya,
kehidupan ekonomi mereka sangat tergantung kepada para pemilik modal, yaitu pemilik perahu atau
alat tangkap serta juragan yang siap menyediakan keperluan perahu untuk berlayar.
Indikator ini memang tidak selalu sama di setiap daerah karena seperti di Pekalongan, banyak
juragan kapal yang mengeluh dengan sikap anak buah kapal (nelayan) yang cenderung terlalu banyak
menuntut sehingga keuntungan juragan kapal menjadi terbatas. Namun secara umum terbatasnya
kemampuan nelayan dalam mengembangkan kemampuan ekonominya karena nelayan seperti ini
telah terjerat oleh utang yang dipinjam dari para juragan. Mereka biasanya membayar utang tersebut
dengan ikan hasil tangkapannya yang harganya ditetapkan menurut selera para juragan.
Bisa dibayangkan apa yang akan diterima para nelayan dengan sistem yang demikian,
sehingga sangatlah wajar jika kemiskinan menjadi bagian yang akrab dalam kehidupan mereka.
4. Kelebihan
Ada hal yang berbeda ketika kita berbicara tentang ekonomi nelayan dan ekonomi petani
terutama di Jawa Tengah. Di kalangan petani, pemasaran hasil merupakan second generation problem
yang sulit sekali dicarikan pemecahannnya. Sedangkan di kalangan nelayan Jawa Tengah, pemasaran
bukanlah persoalan serius yang membuat mereka jatuh miskin. Di Provinsi Jawa Tengah terdapat
tempat pelelangan ikan (TPI) yang menjadi sarana transaksi hasil-hasil ikan laut. Dalam proses
transaksi di TPI, nelayan berhadapan dengan banyak pembeli sehingga nelayan yang menjual hasil
ikannya di TPI umumnya akan mendapat harga yang paling menarik jika dibandingkan dengan mereka
yang menjual di laut lepas atau di luar TPI. TPI Jawa Tengah yang dikelola oleh Koperasi Unit Desa
yang tergabung dalam Puskud Mina Baruna saat ini terbilang sebagai TPI paling solid dan terbaik di
Indonesia. Sayangnya, tidak semua proes transaksi dilakukan secara kontan, terkadang di beberapa
TPI banyak nelayan yang harus menunggu pembayaran dua sampai tiga hari karena tidak semua
pembeli membawa uang yang cukup.
Hal inilah yang mendorong para nelayan, yang memerlukan uang kontan segera dan tidak
sabar, menjual hasilnya di luar TPI. Akibatnya harga ikan yang mereka jual jauh di bawah harga TPI
dan seringkali hanya bisa untuk menutup biaya operasi menangkap ikan di laut lepas.
Kondisi ini seringkali menimpa para nelayan-nelayan kecil yang membutuhkan dana segar
sesegera mungkin untuk menutup biaya kehidupan ekonomi mereka. Pemerintah tampaknya perlu
mendorong sektor perbankan untuk membuka kantor kasnya di setiap TPI yang bisa mengatasi
kesulitan para bakul untuk menutup tagihannya. Termasuk fungsi perbankan disini adalah
menyediakan dana yang diperlukan nelayan untuk berlayar. Sayangnya dengan kondisi kehidupan
nelayan yang pas-pasan, tampaknya sangat sulit bagi perbankan untuk menjalankan fungsi tersebut
tanpa adanya agunan yang memadai dari para nelayan. Di sini bila dimungkinkan pemerintah bisa
menyediakan dana khusus sebagai jaminan kepada perbankan untuk menyalurkan dananya kepada
nelayan. Kalaupun perbankan tidak mampu memenuhi peran tersebut, pemerintah bisa menempatkan
dananya sebagai penyertaan modal kepada KUD-KUD pengelola TPI. Memang, nada miring tentang
KUD seringkali kita dengar sehingga pemerintah pun cenderung berhati-hati bila ingin memberdayakan
KUD. Namun, pendapat ini tidak bisa digeneralisasi secara membabi buta, karena masih cukup banyak
pengurus KUD yang mempunyai hati nurani seperti KUD-KUD pengelola TPI. Tidak ada salahnya,
mulai sekarang pemerintah mulai mencoba mengalokasikan dana retribusi dari transaksi di TPI untuk
diarahkan kepada penyediaan modal bagi nelayan. Dengan demikian misalokasi anggaran diharapkan
tidak akan banyak terjadi, karena dengan memberdayakan KUD berarti pula mendorong bangkitnya
kekuatan ekonomi nelayan.
Konflik perikanan akhir-akhir ini kembali menjadi berita setelah di era 1970-an konflik sangat
mudah dan sering muncul kepermukaan sebagai akibat dualisme industri perikanan laut. Selama bulan
Januari yang lalu konflik dengan kekerasan terjadi sekurang-kurangnya lima kali antara nelayan Jawa
Tengah dan Kalimantan (Kompas 25/1). Konflik nelayan pada 20 November 2005 di Pulau
Tambolongan, Selayar, Sulawesi Selatan juga meninggalkan luka dengan tewasnya seorang nelayan
dan ditahannya 38 nelayan lainnya (RRI 6/2). Selama bulan September 2004 juga terjadi beberapa kali
antara nelayan Madura dan Sidoharjo yang juga berakibat kehilangan nyawa. Pada tahun yang sama
juga Kompas (16/1) melaporkan konflik dengan ancaman bom terhadap nelayan Jawa Tengah di selat
Makasar.
Berdasarkan studi di lima provinsi, Satria, et.al. (2002) mengidentifikasi paling tidak terdapat
empat macam konflik nelayan berdasarkan faktor penyebabnya. Pertama, konflik kelas, yaitu konflik
yang terjadi antarkelas sosial nelayan dalam memperebutkan wilayah penangkapan (fishing ground),
yang mirip dengan kategori gearwar conflict-nya Charles (2001).
Kedua, konflik orientasi, adalah konflik yang terjadi antar nelayan yang memiliki perbedaan
orientasi dalam pemanfaatan sumberdaya, yaitu antara nelayan yang memiliki kepedulian terhadap
cara-cara pemanfaatan sumberdaya yang ramah lingkungan (orientasi jangka panjang) dengan
nelayan yang melakukan kegiatan pemanfaatan yang bersifat merusak lingkungan, seperti
penggunaan bom, potasium, dan lain sebagainya (orientasi jangka pendek).
Ketiga, konflik agraria, merupakan konflik yang terjadi akibat perebutan fishing ground, yang
bisa terjadi antar kelas nelayan, maupun inter-kelas nelayan. Ini juga bisa terjadi antara nelayan dengan
pihak lain non-nelayan, seperti antara nelayan dengan pelaku usaha lain, seperti akuakultur, wisata,
pertambangan, yang oleh Charles (2001) diistilahkan sebagai external allocation conflict.
Keempat, konflik primordial, merupakan konflik yang terjadi akibat perbedaan identitas,
seperti etnik, asal daerah, dan seterusnya. Anatomi konflik di atas menggambarkan betapa
kompleksnya konflik nelayan. Keempat tipe tersebut terjadi baik sebelum maupun sesudah otonomi
daerah. Perebutan sumberdaya ikan yang semakin langka menjadi salah satu akar konflik perikanan
saat ini, sehingga menuntut kita untuk bepikir ulang tentang cara mengelola sumberdaya ini. Banyak
kepentingan nelayan terkalahkan oleh kepentingan non nelayan karena nelayan tidak memiliki
organisasi dengan posisi tawar yang kuat. Di era otonomi daerah ini lebih-lebih adanya kecenderungan
Pemda mengejar kepentingan jangka pendek dengan mengedepankan proyek-proyek yang quick
yielding yang seringkali bersebarangan dengan kepentingan nelayan, kehadiran organisasi nelayan
yang solid menjadi kian mendesak.
F. Solusi Alternatif
Saat ini banyak program pemberdayaan yang menklaim sebagai program yang berdasar
kepada keinginan dan kebutuhan masyarakat (bottom up), tapi ironisnya masyarakat tetap saja tidak
merasa memiliki akan program-program tersebut sehingga tidak aneh banyak program yang hanya
seumur masa proyek dan berakhir tanpa dampak berarti bagi kehidupan
masyarakat. Memberdayakan masyarakat pesisir berarti menciptakan peluang bagi masyarakat
pesisir untuk menentukan kebutuhannya, merencanakan dan melaksanakan kegiatannya, yang
akhirnya menciptakan kemandirian permanen dalam kehidupan masyarakat itu sendiri.
Memberdayakan masyarakat pesisir tidaklah seperti memberdayakan kelompok-kelompok masyarakat
lainnya, karena didalam habitat pesisir terdapat banyak kelompok kehidupan masayarakat diantaranya:
1. Masyarakat nelayan tangkap, adalah kelompok masyarakat pesisir yang mata pencaharian utamanya
adalah menangkap ikan dilaut. Kelompok ini dibagi lagi dalam dua kelompok besar, yaitu nelayan
tangkap modern dan nelayan tangkap tradisional. Keduanya kelompok ini dapat dibedakan dari jenis
kapal/peralatan yang digunakan dan jangkauan wilayah tangkapannya.
2. Masyarakat nelayan pengumpul/bakul, adalah kelompok masyarakt pesisir yang bekerja disekitar
tempat pendaratan dan pelelangan ikan. Mereka akan mengumpulkan ikan-ikan hasil tangkapan baik
melalui pelelangan maupun dari sisa ikan yang tidak terlelang yang selanjutnya dijual ke masyarakat
sekitarnya atau dibawah ke pasar-pasar lokal. Umumnya yang menjadi pengumpul ini adalah
kelompok masyarakat pesisir perempuan.
3. Masayarakat nelayan buruh, adalah kelompok masyarakat nelayan yang paling banyak dijumpai dalam
kehidupan masyarakat pesisir. Ciri dari mereka dapat terlihat dari kemiskinan yang selalu
membelenggu kehidupan mereka, mereka tidak memiliki modal atau peralatan yang memadai untuk
usaha produktif. Umumnya mereka bekerja sebagai buruh/anak buah kapal (ABK) pada kapal-kapal
juragan dengan penghasilan yang minim.
4. Masyarakat nelayan tambak, masyarakat nelayan pengolah, dan kelompok masyarakat nelayan
buruh.
Setiap kelompok masyarakat tersebut haruslah mendapat penanganan dan perlakuan khusus
sesuai dengan kelompok, usaha, dan aktivitas ekonomi mereka. Pemberdayaan masyarakat tangkap
minsalnya, mereka membutukan sarana penangkapan dan kepastian wilayah tangkap. Berbeda
dengan kelompok masyarakat tambak, yang mereka butuhkan adalah modal kerja dan modal investasi,
begitu juga untuk kelompok masyarakat pengolah dan buruh. Kebutuhan setiap kelompok yang
berbeda tersebut, menunjukkan keanekaragaman pola pemberdayaan yang akan diterapkan untuk
setiap kelompok tersebut.
Banyak program pemberdayaan yang telah dilaksanakan pemerintah, salah satunya adalah
pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP). Pada intinya program ini dilakukan melalui tiga
pendekatan, yaitu:
1. Kelembagaan. Bahwa untuk memperkuat posisi tawar masyarakat, mereka haruslah terhimpun dalam
suatu kelembagaan yang kokoh, sehingga segala aspirasi dan tuntutan mereka dapat disalurkan
secara baik. Kelembagaan ini juga dapat menjadi penghubung (intermediate) antara pemerintah dan
swasta. Selain itu kelembagaan ini juga dapat menjadi suatu forum untuk menjamin terjadinya
perguliran dana produktif diantara kelompok lainnya.
3. Dana Usaha Produktif Bergulir. Pada program PEMP juga disediakan dana untuk mengembangkan
usaha-usaha produktif yang menjadi pilihan dari masyarakat itu sendiri. Setelah kelompok pemanfaat
dana tersebut berhasil, mereka harus menyisihkan keuntungannya untuk digulirkan kepada kelompok
masyarakat lain yang membutuhkannya. Pengaturan pergulirannya akan disepakati di dalam forum
atau lembaga yang dibentuk oleh masyarakat sendiri dengan fasilitasi pemerintah setempat dan tenaga
pendamping.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
3. Pola hubungan (struktur sosial) yang menandai hubungan dalam kelompok P.Sawi baik dalam
bentuknya yang elementer (P.Laut/Juragan-Sawi) maupun bentuk lebih kompleks (P.Darat/P.Lompo-
P.Laut/Juragan-Sawi) ialah hubungan patron-client.
4. Kebudayaan atau dunia kehidupan manusia tersebut sekurang-kurangnya meliputi tujuh unsur umum
(cultural universal), yakni pengetahuan (cognitive/ideational/mental material), bahasa, organisasi
sosial, ekonomi, teknologi, kesenian, religi dan kepercayaan.
5. Kelestarian sumber daya, khususnya sumber daya laut adalah sesuatu yang sangat substansial, oleh
karena itu kelestariannya harus dijaga.
B. Saran
Anonima. 2010. Perubahan Sosial Budaya. http://www.crayonpedia.org. Diakses pada hari Minggu, 18 Maret
2012.
Anonimb. 2006. Dinamika Perubahan Sosial maritim. http://www.crayonpedia.org Diakses Selasa 12 Maret
2012 pukul 20.15 Wita
Anonimc . 2009. Mengatasi Perubahan Sosial Budaya. http://reza-andi.blogspot.com. Diakses pada tanggal 19
April 2012 pukul 20.00 WITA.
Tim Pengajar. 2011. Wawasan Sosial Budaya Maritim. Universitas Hasanuddin. Makassar
Tulisan berikut adalah lanjutan dari tulisan sebelumnya, "Spirit Pelaut Bugis Makassar",
Bagian terakhir dari paper tugas Ekonomi Maritim :). Topik Sosial Budaya Masyarakat
Pesisir Makassar dan sekitarnya.
Menurut Garna (1994), “sistem sosial adalah suatu perangkat peran sosial yang berinteraksi
atau kelompok sosial yang memiliki nilai-nilai, norma dan tujuan yang bersama”. Seperti
yang diungkapkan oleh Parsons(1951), “Sistem sosial merupakan proses interaksi di antara
pelaku sosial”. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sistem sosial itu pada dasarnya
ialah suatu sistem dari tindakan-tindakan yang tercipta karena adanya interaksi.
Dari berbagai definisi budaya, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan
yaitu sesuatu yang mempengaruhi tingkat pengetahuan yang meliputi sistem ide atau
gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan
kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang
berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata (konkrit), misalnya pola-
pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang
kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan
bermasyarakat.
Sistem Sosial Budaya adalah suatu keseluruhan dari unsur-unsur tata nilai, tata
sosial, dan tata laku manusia yang saling berkaitan dan masing-masing unsur bekerja secara
mandiri serta bersama sama satu sama lain saling mendukung untuk mencapai tujuan hidup
manusia dalam bermasyarakat.
Dalam sistem sosial, juga dikenal adanya hubungan kekerabatan dalam masyarakat
seperti : Sipa’anakang/sianakang,Sipamanakang, Sikalu-kaluki, serta Sambori.
Kesemua kekerabatan yang disebut di atas terjalin erat antar satu dengan yang lain.
Mereka merasa senasib dan sepenanggungan. Oleh karena jika seorang membutuhkan yang
lain, bantuan dan harapannya akan terpenuhi, bahkan mereka bersedia untuk segalanya.
Sirik na pacce juga merupakan prinsip hidup bagi suku Makassar. Sirik dipergunakan
untuk membela kehormatan terhadap orang-orang yang mau memperkosa harga dirinya,
sedangkan pacce dipakai untuk membantu sesama anggota masyarakat yang berada dalam
penderitaan. Sering kita dengar ungkapan suku Makassar berbunyi “Punna tena siriknu,
paccenu seng paknia” (kalau tidak ada siri’mu paccelah yang kau pegang teguh). Apabila
sirikna pacce sebagai pandangan hidup tidak dimiliki seseorang, akan dapat berakibat orang
tersebut bertingkah laku melebihi tingkah laku binatang karena tidak memiliki unsur
kepedulian sosial, dan hanya mau menang sendiri.
Sistem sosial, kekerabatan dan nilai-nilai budaya yang dipaparkan di atas juga terdapat dan
termanifestasi di daerah pesisir Makassar sejak dahulu hingga kini.
Nilai-nilai Budaya dan Roh Keberlanjutan Sumber Daya Laut (SDL)
Pada pembahasan sistem nilai budaya masyarakat pesisir Makassar . Sepertinya
Patorani (Nelayan penangkap Ikan terbang dan telurnya) yang banyak di pesisir pantai
Galesong dan Barombong cukup kapabel untuk menggambarkan nilai budaya masyarakat
pesisir Makassar. Karena budaya patorani masih berlangsung hingga kini, selain itu hasil
tangkapan (telur ikan terbang) di ekspor, penangkapan ikan terbang juga tergolong unik,
karena hanya dilakukan pada musim kemarau dengan alat tradisional. Menurut para ahli, di
Indonesia terdapat 18 jenis ikan terbang, dan 10 diantaranya hidup diperairan Sulawesi
selatan dan wilayah timur Indonesia. Menurut McKnight (1976) Indonesia adalah
pengekspor teripang dan telur torani tertua didunia, saat Belanda mengalahkan Makassar di
Buton tahun 1667, dan membuat batasan perdagangan bagi orang Makassar, banyak di
antara mereka melarikan diri ke Teluk Carpentaria di Australia, dan kemmbali dengan
memuat tangkapan hasil laut termasuk teripang. Bukti lain yang mendukung sejarah ini
adalah catatan Flinder dan Pobaso di tahun 1803, yaitu tentang nelayan Makassar yang
sudah sejak 20 tahun sebelumnya berlayar mencari ikan terbang ke pulau-pulau sekitar
Jawa sampai ke daerah kering yang terletak di selatan Pulai Rote dan Pantai Kimberly,
Australia Barat (Clark, 2000; Mc Knight 1976).
Dari sisi teknologi penangkapan tradisional yang mereka pertahankan itu, hanya
menggunakan gillnet (jarring insang) dan pakkaja, sedangkan untuk menangkap telurnya
digunakan pakkaja dan bale-bale. Penangkapan dilakukan empat atau lima trip, dan setiap
trip sekitar satu bulan dengan jumlah nelayan tiga atau empat orang. Setiap kapal pattorani
membawa bale-bale sekitar 400-1.000 lembar (Safrudin Sihotang, 2008).
Sisi menariknya adalah penggunaan teknologi dan pengetahuan tradisional (kearifan
lokal) yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya. Tradisi
mereka tetap dipertahankan walau pengaruh teknologi modern begitu kuat
mempengaruhinya. Struktur sosial masyarakt nelayan ikan terbang memiliki
garis patrilineal dengan bentuk kerjasama berdasarkan sistem patron klien yang tetap
terpelihara.
Struktur kepatoranian terbentuk suatu organisasi yang saling terkait satu sama lain
antara paplele (pinggawa darat),juragong (pinggawa taut) dan sawi (pekerja/buruh) yang
berkisar pada kepentingan-kepentingan untuk saling mendukung dan sating memeriukan
dalam lingkungan unt uk beraktivitas sebagai kcmunitas nelayan patorani. lama kelamaan
pranata-pranata tersebut di atas semakin teratur dan mapan datam arti sudah melembaga di
dikalangan patorani, selanjutnya terbentuklah suatu organisasi yang disebut popolele_
pinggowa don sawi.
Menurut mereka, sistem nilai budaya yang berujud siri' dan pesse bahkan menjadi
jiwa bagi empat kelompom etnik besar di Sulawesi Selatan yaitu Bugis, Makasar, Mandar
dan Toraja. Siri' merujuk pada budaya rasa-malu yang mendorong dinamika masyarakat.
Menurut Hamid (2007:7) siri' mendorong munculnya kreativitas dan prestasi, serta rasa
malu kalau berbuat salah dan mengingkari janji atau disiplin. Walapun demikian,
menurutnya, sekarang ini pengertian siri' bergeser pada konsep martabat atau harga diri
bahkan seringkali secara sempit diartikan sebagai ketersinggungan. Sementara pesse atau
pacce mengandung implikasi berikut dari siri' yang berupa rasa solidaritas (Farid 2007:28-
29). Pacce merupakan suatu perasaan sedih yang menyayat hati apabila ada sesama warga,
keluarga atau kawan tertimpa kemalangan. Rasa ini mendorong orang untuk menolong dan
membantu sesamanya.
Umumnya masyarakat nelayan pesisir pantai Galesong dan Barombong masih
percaya sepenuhnya bahwa lautan itu adalah hasil ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa sesuai
dengan ajaran agama Islam yang mereka yakini dan anut secara resmi. Merekapun tahu
bahwa segala sesuatu yang ada di alam raya ini, termasuk lautan berada di bawah kekuasaan
Tuhan Yang Maha Esa, namun
secara tradisional warga masyarakat yang bersangkutan mempunyai pula kepercayaan,
bahwa Tuhan yang disebutnya Koraeng Allah Tao/a telah melimpahkan penguasaan wilayah
lautan kepada Nabi Hellerek.
Nelayan Mandar pun meyakini juga akan keberadaan Nabi Khaidir dalam struktur
dunia gaib, dimana menempatkannya diurutan pertama sebagai pemimpin dan penguasa
laut. Sementara makhluk-makhluk halus lainnya dianggap sebagai anggota di bawah
kekuasaan dan perintah Nabi Khaidir. (Arifuddin Ismail, 2007:92).
Masyarakat nelayan patorani (penangkap ikan terbang /tuing-tuing) membutuhkan
persiapan- persiapan:
1. Tahap perencanaan ;
mencari waktu baik, menentukan sawi, persiapan dan pemeliharaan peralatan, persiapan
bekal nelayan (bokong), kelengkapan surat-surat.
2. Tahap operasional
Sebelum berangkat Punggawa laut membaca Pakdoangan (do’a) yang disebutnya sebagai
bagian dari erang pakboya-boyang juku. Adapun isi dari pakdoangang sebagai berikut:
"Irate rammang makdonteng, kupailalang sorongang. Naungkomae, pirassianga
tangngana biseangku. Rossi ipantarang, rassi ilalang. Oh ....... , Nabbi. sareanga dalleku ri
Allah Taalah, siagang Nabi Muhammad. Oh ........ , Nabbi Pakere, Nabbi Hedere, sareanga
mange dallekku ri Allah Taalah, siagang Nabbi Muhammad”
Artinya : Di atas awan menggumpal, dengan penuh harapan. Turunlah, penuhilah perahuku.
Penuh di luar, penuh di dalam. Wahai .... Nabi (Dewa-dewa ikan), berikan rezeki dari Allah
SWT bersama Nabi Muhammad. Wahai..... Nabi Pakere, Nabi Haidir, berikan juga rezekiku
dari Allah bersama Nabi Muhammad.
"lkau makkalepu, areng tojennu ri Allah Taalah. Boyangak dallekku battu ri Allah Taala.
Malewai ri kanang, I Mandacingi ri kairi. Tallangpi lina, kutallang todong. Jai leko rilino.
Jai tongi dallekku ri Allah Taala. 0 ..... , Nabbi Hellerek. Allei dalleknu. Palakkang tongak
dollekku.
Artinya: Engkau yang sempurna. Nama aslimu dari Allah Taala. Carikan rezekiku dari Allah.
Si penegak di sebelah kanan, Si penyeimbang disebelah kiri. Tenggelam dunia, kutenggelam
juga. Banyak daun di dunia, Banyak juga rezekiku dari Allah. Oh ... , Nabi Khaidir, Ambillah
rezekimu, mintakan juga rezekiku.
Dan masih banyak lagi do’a-do’a lainnya, yang pola umumnya mengharapkan Ridho
Allaw swt melalui perantara Nabi (Tawassul).
PENUTUP
Sistem Sosial Budaya merupakan suatu keseluruhan dari unsur-unsur tata nilai, tata
sosial, dan tata laku manusia yang saling berkaitan dan masing-masing unsur bekerja secara
mandiri serta bersama sama satu sama lain saling mendukung untuk mencapai tujuan hidup
manusia dalam bermasyarakat.
Sistem sosial dan nilai budaya masyarakat pesisir Makassar sejak dahulu kala
mampu menjadi kekuatan untuk bertahan hidup, dan memenuhi kebutuhan dasar mereka,
bahkan komoditas tertentu bisa menajdi komoditas ekspor. Selain itu nilai budaya yang
menunjukkan penyerahan diri total kepa Allaw SWT dalam melakukan aktivitas ekonomi
dapat menjadi formula untuk menjaga kelestarian dan keberlanjutan sumberdaya laut. Hal
ini merupak wujud semangat Akkareso (Makkareso) dengan menjaga harmoni semesta
Tuhan-Alam-Manusia.
REFERENSI
Mattuladda. 1974. Bugis Makassar, Manusia dan Kebudayaan. Makassar: Berita Antropologi No.
16, Fakultas Sastra UNHAS.
Nasruddin., Kearifan Lokal dalam Penangkapan Telur Ikan Torani sebagai Komoditas Ekspor
pada Masyarakat Pesisir di Galesong, Sulawesi Selatan. Kementistek, 2010
------------. 1975. Latoa, Suatu Lukisan Analitis Antropologi Politik Orang Bugis. Makassar:
Disertasi.
Wahyudin, Yudi., Sistem Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat Pesisir. PKSPL-IPB. Bogor.
http://texbuk.blogspot.com/2011/11/kebudayaan-suku-bangsa-bugis-makassar_1709.html .
http://bkmsamaturu.com/
http://www.rappang.com/2010/02/pasompe-jiwa-pelaut-pedagang-bugis.html?m=0
MASYARAKAT PESISIR 1
Oleh:
Yudi Wahyudin 2
PKSPL-IPB 3
1. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia, dengan jumlah
pulau mencapai lebih kurang 17.500 buah dan dikenal sebagai salah satu negara yang
memiliki keanekaragaman hayati terbesar, dengan kekayaan ragam flora dan faunanya,
sumberdaya alam. Sebagai negara kepulauan, tidaklah mengherankan jika lebih kurang
dua pertiga dari luas keseluruhan teritorial negara kesatuan yang berbentuk republik ini
merupakan perairan, dengan luas lebih kurang 5,8 juta km2. Selain itu, Indonesia juga
merupakan salah satu negara yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia setelah
Kanada, yang mencapai lebih kurang 81.000 km. Dan sudah barang tentu dengan luas
perairan, panjang garis pantai dan jumlah pulau yang demikian besar, secara alami
Indonesia merupakan yang terbesar kelima di dunia, yaitu lebih kurang 220 juta jiwa.
Dan, lebih kurang 60 persen diantaranya hidup dan bermukim di sekitar wilayah pesisir.
sumberdaya alam pesisir dan lautan. Sehingga tidaklah mengherankan bahwa sebagian
sumberdaya di sekitarnya.
digunakan sangat ekstraktif dan cenderung destruktif, maka hal ini akan menjadi
ancaman yang sangat signifikan bagi keberlangsungnan sumberdaya pesisir dan laut
Indonesia.
Oleh karena itu, demi menjaga keberlanjutan sumberdaya tersebut, maka perlu kiranya
dirancang dan diimplementasikan rambu-rambu atau batasan-batasan eksploitasi
1 Disampaikan pada Pelatihan Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan, tanggal 5 Desember 2003,
di
2 Peneliti PKSPL-IPB
3 Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB), Gedung Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB Lt.4, Telp. (0251) 624815, 625556, 628137; Fx. (0251) 621086;
Email: [email protected]
dinamis dan sangat tergantung pada ketersediaan sumberdaya pesisir dan laut di
sekitarnya.
Masyarakat pesisir pada umumnya telah menjadi bagian masyarakat yang pluraristik
tapi masih tetap memiliki jiwa kebersamaan. Artinya bahwa struktur masyarakat pesisir
Karena, struktur masyarakat pesisir sangat plurar, sehingga mampu membentuk sistem
dan nilai budaya yang merupakan akulturasi budaya dari masing-masing komponen
Hal menarik adalah bahwa bagi masyarakat pesisir, hidup di dekat pantai merupakan hal
yang paling diinginkan untuk dilakukan mengingat segenap aspek kemudahan dapat
mereka peroleh dalam berbagai aktivitas kesehariannya. Dua contoh sederhana dari
dari dan ke sumber mata pencaharian lebih terjamin, mengingat sebagian masyarakat
rumput laut, dan sebagainya. Kedua, bahwa mereka lebih mudah mendapatkan
kebutuhan akan MCK (mandi, cuci dan kakus), dimana mereka dapat dengan serta
dan perlengkapan rumah tangga, seperti pakaian, gelas dan piring; bahkan mereka lebih
mudah membuang air (besar maupun kecil). Selain itu, mereka juga dapat dengan
Sifat ini sangat erat kaitannya dengan sifat usaha di bidang perikanan itu sendiri.
Karena sifat dari usaha-usaha perikanan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti
lingkungan, musim dan pasar, maka karakteristik masyarakat pesisir juga terpengaruhi
Salah satu sifat usaha perikanan yang sangat menonjol adalah bahwa keberlanjutan atau
keberhasilan usaha tersebut sangat bergantung pada kondisi lingkungan, khususnya air.
Keadaan ini mempunyai implikasi yang sangat penting bagi kondisi kehidupan sosial
pada kondisi lingkungan itu dan sangat rentan terhadap kerusakan lingkungan,
produksi udang tambak anjlok secara drastis. Hal ini tentu mempunyai konsekuensi
musim ini semakin besar bagi para nelayan kecil. Pada musim penangkapan para
nelayan sangat sibuk melaut. Sebaliknya, pada musim peceklik kegiatan melaut
Kondisi ini mempunyai implikasi besar pula terhadap kondisi sosial ekonomi
masyarakat pantai secara umum dan kaum nelayan khususnya. Mereka mungkin
mampu membeli barang-barang yang mahal seperti kursi-meja, lemari, dan sebagainya.
Secara umum pendapatan nelayan memang sangat berfluktuasi dari hari ke hari. Pada
satu hari mungkin memperoleh tangkapan yang sangat tinggi, tapi pada hari berikutnya
bisa saja “kosong”. Hasil tangkapan, dan pada gilirannya pendapatan nelayan, juga
sangat dipengaruhi oleh jumlah nelayan yang beroperasi di suatu daerah penangkapan
(fishing ground). Di daerah yang padat penduduknya seperti daerah pantai utara Jawa,
volume hasil tangkapan para nelayan menjadi semakin kecil, sehingga pada akhirnya
Kondisi di atas turut pula mendorong munculnya pola hubungan tertentu yang sangat
umum dijumpai di kalangan nelayan dan juga petani tambak, yakni pola hubungan yang
bersifat patron-klien. Karena keadaan ekonomi yang buruk, maka para nelayan kecil,
buruh nelayan, petani tambak kecil, dan buruh tambak seringkali terpaksa meminjam
uang dan barang-barang kebutuhan hidup sehari-hari dari para juragan atau para
dengan pihak juragan atau pedagang. Keterikatan tersebut antara lain berupa keharusan
menjual produknya kepada pedagang atau juragan tersebut. Pola hubungan yang tidak
simetris ini tentu saja sangat mudah berubah menjadi alat dominansi dan eksploitasi.
Stratifikasi sosial yang sangat menonjol pada masyarakat nelayan dan petani tambak
(1) Strata pertama dan yang paling atas adalah mereka yang memiliki kapal motor
lengkap dengan alat tangkapnya. Mereka ini biasanya dikenal dengan nelayan
besar atau modern. Biasanya mereka tidak ikut melaut. Operasi penangkapan
diserahkan kepada orang lain. Buruh atau tenaga kerja yang digunakan cukup
(2) Strata kedua adalah mereka yang memiliki perahu dengan motor tempel. Pada
penangkapan. Buruh yang ikut mungkin ada tapi terbatas dan seringkali
(3) Strata terakhir adalah buruh nelayan. Meskipun para nelayan kecil bisa juga
merangkap menjadi buruh, tetapi banyak pula buruh ini yang tidak memiliki
demikian, biasanya ada pula pedagang pengumpul yang bukan nelayan, sehingga
pedagang ini merupakan kelas tersendiri. Mereka biasanya menempati posisi yang
produksi ini juga menonjol. Mirip dengan strata sosial yang ada pada masyarakat
nelayan, masyarakat petani tambak juga terdiri dari 3 strata sosial yang dominan
yaitu :
(1) Strata atas adalah mereka yang menguasai tambak yang luas,
Bagi para nelayan, penguasaan alat produksi tadi sangat berhubungan dengan daya
menggunakan perahu tanpa motor hanya mampu beroperasi di daerah yang dekat atau
Sifat usaha penangkapan juga menyebabkan munculnya pola tertentu dalam hal
kebersamaan antar anggota keluarga nelayan. Bagi para nelayan kecil, misalnya,
seringkali mereka berangkat sore hari kemudian kembali besok harinya. Ada juga yang
berangkat pagi-pagi sekali, kemudian kembali pada sore atau malam harinya. Sementara
mereka yang beroperasi dengan kapal motor bisa meninggalkan rumah berminggu-
Aspek lain yang perlu diperhatikan pada masyarakat pantai adalah aktivitas kaum
wanita dan anak-anak. Pada masyarakat ini, umumnya wanita dan anak-anak ikut
bekerja mencari nafkah. Kaum wanita (orang tua maupun anak-anak) seringkali bekerja
sebagai pedagang ikan (pengencer), baik pengencer ikan segar maupun ikan olahan.
Mereka juga melakukan pengolahan ikan, baik kecil-kecilan di rumah untuk dijual
sendiri maupun sebagai buruh pada pengusaha pengolahan ikan. Sementara itu, anak
laki-laki seringkali sudah dilibatkan dalam kegiatan melaut. Ini antara lain yang
Karakteristik lain dari usaha perikanan yang dilakukan oleh masyarakat pesisir ini
adalah ketergantungan pada pasar. Tidak seperti petani padi, para nelayan dan petani
tambak ini sangat tergantung pada keadaan pasar. Hal ini disebabkan karena komoditas
yang dihasilkan oleh mereka itu harus dijual baru bisa digunakan untuk memenuhi
keperluan hidup. Jika petani padi yang bersifat tradisional bisa hidup tanpa menjual
produknya atau hanya menjual sedikit saja, maka nelayan dan petani tambak harus
menjual sebagian besar hasilnya. Setradisional atau sekecil apapun nelayan dan petani
tambak tersebut, mereka harus menjual sebagian besar hasilnya demi memenuhi
kebutuhan hidup.
perikanan sangat peka terhadap harga. Perubahan harga produk perikanan sangat
Sejarah pengelolaan sumberdaya alam di wilayah pesisir telah ada sejak jaman nenek
mereka. Sebelum era dunia modern pengelolaan sumberdaya alam masih bersifat lokal,
dimana struktur masyarakat dan aktivitasnya masih sederhana. Beberapa ciri dari
suatu undang-undang atau hukum yang lebih dikenal sebagai hukum adat. Dalam
Sistem pengelolaan di atas dapat berjalan dengan baik di dalam struktur masyarakat
yang masih sederhana dan belum banyak dimasuki oleh pihak luar. Hal ini dikarenakan
baik budaya, tatanan hidup dan kegiatan masyarakat relatif homogen dan masing-
masing individu merasa mempunyai kepentingan yang sama dan tanggung jawab dalam
melaksanakan dan mengawasi hukum yang sudah disepakati bersama. Hal yang sangat
dikarenakan adanya rasa memiliki dan ketergantungan dari masyarakat akan keberadaan
sumberdaya alam yang ada dalam menunjang kehidupan mereka. Keadaan ini dapat
Masyarakat yang strukturnya masih sederhana (belum banyak dicampuri oleh pihak
luar) memiliki sistem pengelolaan yang berakar pada masyarakat (community based
dilakukan secara bersama oleh masyarakat. Konsekuensinya, segala aturan yang telah
dibuat dan disepakati bersama cenderung dapat dilakukan dan ditaati dengan sepenuh
hati. Di samping itu, setiap anggota masyarakat juga merasa memiliki tanggung jawab
salah satu bentuk pendekatan pengelolaan sumberdaya alam yang melibatkan partisipasi
3.1. Seke di Desa Para, Kabupaten Sangihe Talaud, Propinsi Sulawesi Utara
sumberdaya perikanan adalah tradisi Seke yang dijumpai di Desa Para, Kabupaten
Sangihe Talaud, Propinsi Sulawesi Utara. Dalam kasus Seke ini, sumberdaya
alam yang dikelola adalah sumberdaya perikanan, karena memang sebagian besar
Menurut Wahyono et.al (1992), masyarakat Desa Para mengenal 3 jenis wilayah
perairan yang dijadikan sebagai tempat penangkapan ikan (fishing ground) yaitu (1)
Sanghe, (2) Inahe dan (3) Elie. Sanghe adalah suatu wilayah laut tempat
terdapatnya terumbu karang (bahasa lokal nyare), di mana pada perairan di sekitar
terumbu karang banyak dihuni oleh ikan-ikan karang. Sedangkan Inahe adalah wilayah
perairan yang menjadi batas antara wilayah Sanghe dan Elie. Sementara itu, Elie
adalah suatu wilayah penangkapan ikan yang paling jauh dari daratan (off shore).
membentuk sebuah kelompok nelayan yang diberi nama Seke. Nama Seke ini
diambil dari nama sebuah alat tangkap ikan layang yang berbentuk persegi panjang dan
memiliki ukuran panjang 30 m dan lebar 82 cm. Alat ini dibuat dari tumbuh-tumbuhan
lokal, yaitu bambu (bulo), kayu nibung, rotan (uwe), dan daun kelapa atau janur kuning
Dalam organisasi Seke, dikenal beberapa istilah keanggotaan berdasarkan fungsi dan
Tonaas, Mandora, dan Mendoreso. Lekdeng adalah sebuah istilah lokal yang
berarti anggota. Sedangkan Tatalide adalah sebutan untuk anggota yang ditugaskan
memegang talontong (tongkat yang digunakan untuk menjaga Seke agar posisinya tegak
lurus di atas permukaan laut). Tugas anggota ini menggerak-gerakan Seke suoaya ikan
yang sudah berada di dalamnya tidak lari ke luar. Seke Kengkang adalah sebutan
untuk anggota yang berada di atas perahu tempat meletakkan Seke (perahu kengkang).
Anggota ini bertugas menurunkan Seke ke laut apabila ada aba-aba yang diberikan
pemimpin pengoperasian Seke. Matobo adalah sebutan untuk anggota yang bertugas
menyelam dan melihat posisi gerombolan ikan layang sebelum Seke diturunkan ke laut.
Tonaas adalah sebutan untuk nelayan yang memimpin pengoperasian Seke, sedangkan
wakilnya disebut Tonaseng Karuane. Mandore adalah sebutan lokal untuk orang
yang selalu membangunkan anggota Seke setiap kali pergi beroperasi dan membagi
hasil tangkapan kepada anggota. Mandore ini mempunyai kemampuan menaksir jumlah
hasil tangkapan yang akan dibagikan ke seluruh anggota. Sementara itu, Mendoreso
adalah sebutan untuk orang yang menjadi bendahara organisasi Seke (Wahyono et al.
1992). Dari uraian tentang keanggotaan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa
konsep bagi hasil yang baik seperti ciri yang terdapat pada organisasi moderen.
Salah satu variabel penting yang dapat diketahui dari konsep pengelolaan
sumberdaya perikanan berakar pada masyarakat di Desa Para ini adalah bahwa
kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan betul-betul oleh, dari dan untuk
masyarakat desa. Hal ini tercirikan dari konsep bagi hasil yang diterapkan dalam
pengelolaan Seke tersebut. Menurut Wahyono et al. (1992) sistem bagi hasil yang
ada di Desa Para paling tidak diarahkan kepada 4 pertimbangan yaitu : (1) Bagi
hasil tangkapan yang diberikan kepada warga desa yang sudah berkeluarga (termasuk
janda/duda); (2) Bagi hasil tangkapan untuk warga desa yang belum berkeluarga; (3)
Bagi hasil tangkapan yang didasarkan dari status sosial tertentu, antara lain seperti
kepala desa, guru, pendeta, perawat dan sebagainya; serta (4) Bagi hasil tangkapan
yang diberikan menurut status keanggotaan dalam organisasi Seke, yaitu tonaas,
yang eksklusif dalam arti bahwa terdapat kaitan antara satu lokasi dengan satu jenis alat
penangkapan yang dilakukan secara bergilir. Dalam setiap harinya, kecuali Hari
Minggu, ada empat Seke yang dioperasikan pada empat tempat penangkapan. Salah
satu contoh pengaturan Seke dalam satu minggunya dapat dilihat pada Tabel 1.
Apabila terdapat pelanggaran lokasi, pihak yang melanggar dikenakan sanksi ganti rugi
berupa barang yaitu 5-10 zak semen atau uang senilai barang itu. Barang ini nantinya
digunakan untuk keperluan pembangunan gereja atau fasilitas umum lainnya di Desa
Para.
Seke merupakan salah satu contoh pengelolaan sumberdaya alam pesisir dan
lautan, dalam hal ini adalah sumberdaya perikanan, yang muncul dan dilakukan
oleh masyarakat secara mandiri. Dalam kasus Seke ini, paling tidak ada dua
masyarakat. Hal ini tercermin dari adanya pembagian waktu dan lokasi untuk
setiap kelompok Seke dalam satu periode waktu (misalnya 1 minggu). Dengan
distribusi yang adil seperti ini maka konflik pemanfaatan akan semakin kecil
potensinya.
pentingnya kebersamaan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dapat dilihat dari
Seke tertentu. Dalam konteks moderen, sistem distribusi pendapatan seperti ini
Para.
masyarakat seperti kelompok Seke ini perlu diadopsi dalam bentuk baru
Contoh lain dari pengelolaan sumberdaya alam wilayah pesisir dan lautan yang
berakar pada masyarakat adalah tradisi Sasi yang dilakukan oleh sebagian
masyarakat pesisir di Propinsi Maluku. Salah satunya yang terkenal adalah tradisi
yang disusun oleh masyarakat dan disahkan melalui mekanisme struktural adat di
suatu desa. Pelaksanaan Sasi di Desa Nolloth pada saat ini berdasarkan atas
Keputusan Desa tentang Peraturan Sasi Desa Nolloth yang dikeluarkan pada tanggal 21
Januari 1994 dan disahkan oleh kepala desa dan kewang. Bersamaan dengan keputusan
tersebut, juga dikeluarkan aturan tentang sanksi terhadap pelanggaran Sasi. Zona Sasi
meliputi seluas 125.000 m2 pada pesisir pantai sepanjang 2,5 km, mulai dari pantai
Umisin (batu berlubang) sampai dengan pantai Waillessy (batas dengan Desa Ihamahu).
Sedangkan ke arah laut, zona ini mulai dari surut terendah sampai kedalaman 25 m.
Dengan demikian sebuah zona sasi merupakan daerah terbatas bagi pemanfaatan
Seperti yang telah dikemukakan di atas, Sasi merupakan salah satu institusi adat
Sasi dikatakan bahwa zona ini tertutup bagi anak negeri maupun orang luar. Kegiatan
lain yang dilarang, yaitu memanah ikan serta kegiatan wisata bahari yang belum
mendapat ijin dari kepala desa. Landasan institusi dan struktur organisasi pelaksanaan
Siri Sori
Tujuan
− Melindungi tradisi
− Meningkatkan
pendapatan desa
− Melindungi tradisi
− meningkatkan pendapatan
desa
− Melindungi lingkungan
− Meningkatkan
pendapatan desa
− Melindungi
sumberdaya dari
eksploitasi oleh
orang lain
Noma
(Kaidah)
− Dilarang mengambil
: ola, batulaga,
bahar ikan
− Pengambilan dapat
dilaksanakan bila
Sasi dibuka
− Daerah yang
dilarang, yaitu
kedalaman air
hingga 25 m)
− Penangkapan ikan
umum)
− Dilarang mengambil
caping-caping
− Penangkapan
dibuka
− Daerah yang
dilarang adalah
perairan pesisir
sepanjang desa
Tingkah Laku − Buka Sasi
dikoordinir oleh
desa
lelang
cara lelang
Struktur
Organisasi
dengan keputusan
desa
− Dilaksanakan oleh
pemerintah desa
− Pelaksanaan dan
pengawasan oleh
− Dilaksanakan oleh
pemerintah desa
− Pelaksanaan dan
(polisi desa)
dengan keputusan
desa
− Dilaksanakan oleh
pemerintah desa
− Pelaksanaan dan
pengawasan oleh
kewang (polisi desa)
10
penyelenggaraan Sasi yaitu (1) Sasi Negeri (Sasi adat) dan (2) Sasi Gereja. Seperti
yang telah tersirat pada namanya, perbedaan pokok antara 2 sistem Sasi tersebut
Negeri, penyelenggara utamanya adalah Kewang dengan Kepala Desa, sedangkan pada
Secara alamiah, segenap peraturan yang terdapat pada sistem Sasi disampaikan
secara lisan dari generasi ke generasi. Berbeda dengan beberapa sistem tradisional
oleh pemerintah formal melalui legitimasi secara tertulis dan formal oleh
pemerintah desa pada tahun 1990. Dengan demikian sejak saat itu Sasi menjadi suatu
Sebagai layaknya sebuah peraturan, pada sistem Sasi juga diatur tentang
Sasi. Jika terjadi pelanggaran Sasi, maka orang yang bersangkutan akan ditangkap dan
akan dijatuhi sanksi dengan cara membayar denda. Berdasarkan aturan yang dibakukan
dalam bentuk tertulis, besarnya denda yang dikenakan terhadap pelanggaran Sasi
Tabel 3. Jenis Pengaturan Sanksi Pelanggaran Sasi Berdasarkan Jenis Pelanggaran dan
Besarnya Denda
Sama dengan sistem Seke yang ada di Kabupaten Sangihe Talaud, sistem Sasi di
adat dan disampaikan secara alamiah dari generasi ke generasi. Perbedaan sistem
Sasi dengan sistem Seke ini adalah bahwa sistem Sasi ini kemudian dilegitimasi
Sasi tersebut.
11
Pelajaran yang dapat dipetik dari pelaksanaan sistem Sasi ini adalah bahwa
sendiri dapat diwujudkan. Salah satu kelemahan yang mungkin suatu saat dapat
mengancam pelaksanaan Sasi adalah adanya peraturan bahwa sistem Sasi hanya
berlaku bagi masyarakat lokal dan tidak berlaku bagi masyarakat luar. Hal ini
secara legal mempunyai posisi tawar menawar atau bargaining position yang
lemah karena begitu ada pihak lain yang masuk ke kawasan Sasi dengan
membawa legitimasi pemerintah yang lebih tinggi (misalnya tingkat Propinsi atau
Dalam konteks ini lah keterpaduan antara masyarakat lokal dengan pemerintah
Rompong adalah suatu tradisi penguasaan perairan pantai yang sudah lama dikenal
Bahkan di beberapa wilayah, seperti di perairan Selat Makassar, Teluk Bone dan Laut
Flores perairan yang mengelilingi Propinsi Sulawesi Selatan sudah sejak lama
akhir-akhir ini, mulai tampak penguasaan perairan pantai untuk kegiatan usaha budidaya
laut.
kebaharian dengan latar belakang sejarah yang dapat dijadikan rujukan apabila hendak
penangkapan ikan.
Secara fisik, Rompong diwujudkan dalam bentuk dua atau tiga batang bambu
panjang yang diikat menjadi satu, kemudian pada salah satu ujungnya diikatkan batu
besar pemberat, sehingga batang bambu tegak vertikal. Pada bagian tali yang
menghubungkan ujung bawah bambu dengan batu pemberat diikatkan lagi daun-daun
kelapa yang berfungsi sebagai tempat bermainnya ikan-ikan. Salah satu ujung bambu
muncul di permukaan laut dan itulah yang dijadikan titik pusat untuk mengukur luas
Tradisi Rompong adalah suatu tradisi yang mengarah pada pemberian hak
sebagaimana layaknya hak milik. Konsekuensi dari klaim itu ialah di dalam radius
12
kurang lebih satu hektar, tidak seorangpun yang boleh melakukan penangkapan ikan
selain pemilik Rompong. Pengecualian terhadap larangan ini ialah penangkapan ikan
dengan memakai alat tangkap pancing. Dilihat dari kacamata ekonomi, setiap
perompong harus mengeluarkan modal sebesar Rp. 6.000.000 dengan rincian Rp.
1.000.000 untuk 5 unit rompong (@ Rp. 200.000) dan Rp. 5.000.000 untuk
pembelian 1 unit perahu motor (tempel). Selain itu, dalam pelaksanaan sehari-hari
sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil yang diterapkan adalah 50 % dari hasil
Seperti yang telah dijelaskan di muka, esensi dari tradisi rompong di kawasan
perairan Bugis adalah bahwa secara adat dan kebiasaan terdapat klaim penguasaan
suatu kawasan perairan tertentu. Menurut Saad (1994), setiap rompong biasanya
meliputi luas perairan kurang lebih 10.000 m2 yang diukur secara simetris masing-
masing sepanjang 250 meter pada satu sisi (sejajar arus air) dan masing-masing sepuluh
meter pada sisi lainnya. Luasan tersebut setara dengan satu hektar.
Lebih lanjut Saad (1994) mengemukakan bahwa nelayan yang memiliki rompong
memiliki rompong antara lima dan enam unit (5,75 Ha). Besarnya kelompok tergantung
dari lingkungan perairan yang dinilai oleh mereka memiliki potensi yang besar. Jadi,
sebelum merompong, biasanya perairan tersebut diperiksa terlebih dahulu (seperti pola
arus bawah dan permukaan, arah angin dan keadaan karang) dengan cara melakukan
penyelaman.
Tempat-tempat rompong dipasang, biasanya diberi nama seperti nama desa. Sebagai
contoh, untuk kawasan yang dimiliki oleh para perrompong yang bermukim di
Kelurahan Bantengnge terdiri atas enam kawasan, yaitu kawasan Sangnge, Mabelae,
Rilau, Riase, Tengngae dan Lembang (Saad, 1994). Gambaran tentang penguasaan
Tabel 6. Luas Perairan yang Dikuasai oleh Para Parrompong di Kelurahan Bentengnge
Luas Perairan
(Ha) Frekuensi
(orang) Persen
(%)
1,00 – 3,49 8 40
3,50 – 5,99 1 5
> 6,00 11 55
Jumlah 20 100
Sumber : Saad (1994).
telah berlangsung selama turun temurun. Kebiasaan tersebut biasanya berupa pewarisan
Berdasarkan deskripsi mengenai klaim penguasaan perairan oleh para perompong, maka
dapat dirumuskan hak dan kewajibannya atas perairan pantai yang menjadi klaimnya
13
(1) Parrompong memiliki hak menguasai atas perairan untuk menangkap ikan dalam
penangkapan ikan oleh nelayan lain yang menggunakan alat tangkap berupa
pancing.
(2) Klaim atas perairan pantai itu dapat diwariskan dan dihibahkan.
(3) Terhadap rompong yang tidak dimanfaatkan lagi (tidak ada kegiatan
tersebut.
lain untuk berlayar dalam wilayah yang diklaimnya. Selain itu, parrompong diwajibkan
kewajiban lainnya yang harus ditanggung oleh parrompong termasuk tidak ada
Jika terjadi pelanggaran oleh para nelayan bukan pemilik Rompong, para perompong
Saad (1994) juga menegaskan bahwa hak pengelolaan rompong tersebut lebih
tepat disebut dengan hak pemeliharaan dan penangkapan ikan, sebagaimana diatur
kualitasnya masih berada di bawah hak milik. Dalam konteks ini, hak ulayat laut
seperti rompong ini dapat ditingkatkan menjadi hukum nasional apabila memenuhi
(3) Tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang tercantum dalam UUPA
14
Saad (1994) juga menyatakan bahwa dalam konteks penguasaan perairan sebagai
sumber daya hayati, maka klaim rompong merupakan hak milik bersama.
Konsep milik bersama hanya merujuk pada hak untuk menggunakan sumberdaya,
dan tidak termasuk di dalamnya hak untuk melimpahkannya. Ahli waris dari
pemilik bersama memang mempunyai hak mewaris tetapi hak itu semata-mata
hanya karena ia merupakan anggota dari kelompok (suku, desa, dan sebagainya).
oleh UUPA.
Provinsi Aceh (sekarang Nanggroe Aceh Darussalam) memiliki hukum adat laut yang
berlaku secara turun temurun dan hingga saat ini masih dipertahankan. Hukum adat laut
ini dibuat dan dirancang pada zaman Pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636).
Hukum adat laut di Nangroe Aceh Darussalam dikenal dengan istilah Panglima Laut,
hal ini dikarenakan sistem tradisional tersebut di pimpin oleh seorang Panglima Laut.
Tugas dari seorang Panglima Laut adalah memimpin adat, kebiasaan dan menyelesaikan
persengketaan yang terjadi di bidang penangkapan ikan serta diberi tanggung jawab
untuk mempertahankan hukum adat laut agar tetap dilaksanakan sebagai pranata sosial
Pada daerah yang berlaku hukum adat laut ini, diatur secara lokal pada masing-masing
wilayah kerjanya. Hukum adat laut ini mulanya tidak tertulis secara rinci dan ketentuan
sanksi pada masing-masing lokasi sangat bervariasi, karena pada saat tersebut
penangkapan ikan di laut masih menggunakan alat-alat yang sederhana dan tidak
menggunakan mesin.
perikanan tangkap pada tahun 1970-an, maka keberadaan hukum adat laut pun
perkembangan yang terjadi di bidang perikanan, maka pada Bulan Januari 1972
Hasil dari musyawarah ini adalah terbentuknya sebuah lembaga panglima laut
kabupaten yang kemudian menjadi hukum adat laut motor boat atau motor tempel.
Selain itu, hasil dari musyawarah tersebut adalah berhasil merumuskan ketentuan serta
Setelah itu, pada Bulan Desember 1978 kembali diadakan musyawarah kedua yang
menghasilkan keputusan tentang perombakan dan penyempurnaan hukum adat laut yang
menyangkut persidangan hukuman adat laut dalam tata cara penangkapan ikan dengan
motor boat, ketertiban administrasi keuangan, serta sanksi hukum yang dikenakan
Perkembangan hukum adat laut ini semakin mendapatkan legitimasi yang kuat dari
Pemerintah Daerah. Hal ini dapat dilihat dari ketetapan yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Daerah Istimewa Aceh pada tahun 1990 melalui Peraturan Daerah (Perda)
15
Nomor 2 Tahun 1990 tentang Pembinaan dan Pengembangan Adat Istiadat, Kebiasaan-
Selanjutnya pada Bulan Januari 1992 diadakan kembali musyawarah panglima laut se
Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang bertujuan untuk menyeragamkan aturan yang
bersifat umum, seperti susunan organisasi dan lembaga hukum adat laut, tugas
panglima laut dan lain-lain. Kekuatan hukum diperkuat lagi setelah Tahun 2000,
menjadi kegiatan penting dalam undang-undang ini. Namun sampai saat ini panglima
laut secara formal belum merupakan hukum positif yang memiliki kekuatan hukum
yang mutlak, walaupun dari panglima laut se-Aceh menyepakati untuk mengajukan
Menurut Peraturan Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 7 Tahun 2000 Pasal 1
ayat 14, panglima laut didefinisikan sebagai orang yang memimpin adat istiadat,
(4) Menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang terjadi antar sesama anggota
(6) Menjaga dan mengawasi hutan bakau dan pohon-pohon lain di tepi pantai agar
(7) Merupakan badan penghubung antara nelayan dengan pemerintah dan panglima
laut.
Adapun ketentuan-ketentuan yang diatur dalam hukum adat laut diantaranya adalah (1)
ketentuan tata cara penangkapan ikan dan sistem bagi hasil; (2) ketentuan tentang
penyelesaian sengketa antar nelayan dalam penangkapan ikan; (3) pantangan turun ke
laut; (4) ketentuan tentang adat social; serta (5) ketentuan adat tentang pemeliharaan
lingkungan.
16
(1) Ketentuan tata cara penangkapan ikan dan sistem bagi hasil
Ketentuan tentang tata cara penangkapan ikan dan sistem bagi hasil diatur dalam
12 pasal. Dalam usaha penangkapan ikan di laut ada aturan tertentu yang
mewajibkan agar satu perahu dengan perahu yang lainnya dapat bekerjasama
dengan baik. Apabila sebuah perahu melihat segerombolan ikan maka anak
buah kapal (ABK) harus mengangkat topi (tudong) atau tanda lain yang berarti
bahwa gerombolan ikan tersebut sudah menjadi milik mereka, sehingga perahu
lain tidak boleh memasang jaring pada gerombolan ikan tersebut. Bila perahu
tersebut tetap mendekat maka hasilnya harus dibagi dua dengan pukat pertama
Apabila hasil yang diperoleh perahu kedua cukup banyak, maka perahu kedua
harus langsung pulang dengan dikawal oleh salah seorang ABK dari perahu
pertama dan hasil tangkapan tetap harus dibagi dua. Hukum adat laut tidak
hanya berlaku untuk alat tangkap tradisional saja, tetapi juga berlaku bagi alat
tangkap modern.
Sedangkan sistem bagi hasil pada hukum adat laut dibedakan antara :
(b) bagi hasil karena perkongsian antara satu perahu dengan beberapa perahu
penangkapan ikan
- Sengketa antara ABK dengan ABK dalam satu perahu atau dengan perahu
lain;
17
(3) Pantangan turun ke laut
antara lain :
- Setiap malam jumat (mulai kamis malam hingga jumat saat matahari
tenggelam);
- Bila dalam kurun waktu 6 bulan melakukan pelanggaran lagi, dilarang melaut
- Bila dalam kurun waktu 6 bulan melakukan pelanggaran yang ketiga kali,
- Bila dalam kurun waktu 6 bulan masih melakukan pelanggaran lagi, maka
tidak boleh beroperasi selama satu tahun dan izin penangkapannya dibatalkan.
- Pada saat terjadi kerusakan kapal di laut harus memberi tanda untuk meminta
bantuan (SOS);
membawanya ke darat.
18
- Dilarang menangkap ikan dengan menggunakan bom, racun obat bius, aliran
listrik;
- Dilarang menebang atau merusak pohon kayu di pesisir pantai seperti bakau,
- Bila nelayahn melihat ada pelanggaran harus melapor kepada panglima laut.
Aturan pengelolaan sumberdaya perikanan pantai yang ada di Nusa Penida, Provinsi
Bali disebut dengan awig-awig. Awig-awig tersebut merupakan aturan turun temurun
yang tertulis dalam tulisan Kawi atau Jawa Kuno pada daun lontar, kemudian
diterjemahkan ke dalam tulisan latin dengan menggunakan Bahasa Bali, pada Tahun
Peraturan pemanfaatan dan pengelolaan pantai yang saat ini berlaku di Jungat Batu
aturan yang menyangkut sumberdaya perikanan pantai ditetapkan oleh pemerintah desa,
(1) Masyarakat Adat Desa Jungat Batu dilarang mengambil dan memanfaatkan kayu
(2) Masyarakat Adat Desa Jungat Batu tidak diperkenankan mengambil batu karang
karena dapat merusak ekosistem yang menyebabkan abrasi pantai dan merusak
keindahan
(4) Zonasi lahan budidaya rumput laut diatur agar tidak mengganggu alur pelayaran
(5) Lahan budidaya rumput laut apabila tidak diusahakan selama tiga bulan harus
Masyarakat nelayan penduduk pantai di Bali sangat mematuhi aturan yang ditetapkan,
karena :
(1) Masyarakat Bali merupakan masyarakat religius yang memiliki ikatan kuat
terhadap agama dan adat, karena aturan yang ditetapkan agama dan adat
(2) Hukuman yang ditetapkan oleh adat mengarah pada hukuman non materi bagi
masyarakat yang menjunjung tinggi kehormatan
19
(3) Ada alternatif kegiatan usaha yang lebih ramah lingkungan dari pada kegiatan
destruktif lainnya
(4) Kesadaran akan menjaga kelestarian sudah dilakukan sejak adanya abrasi pantai
Masyarakat Lombok Barat telah mengenal aturan yang berkaitan dengan kegiatan
pengelolaan sumberdaya perikanan laut sejak Islam waktu telu. Hal tersebut tercermin
dengan adanya kebiasaan adat istiadat yang disebut upacara adat sawen. Sawen adalah
Bahasa Suku Sasak yang berarti tanda, isyarat atau larangan. Dengan demikian, setiap
wilayah laut yang di sawen tidak boleh ditangkap sumberdaya ikan lautnya, sehingga
sawen diartikan sebagai larangan untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan di suatu
zona dalam waktu yang sudah ditetapkan melalui kesepakatan masyarakat lokal.
Tujuan dilaksanakannya upacara adat sawen adalah agar ikan-ikan menjadi jinak
sehingga akan tercapai hasil yang optimal. Aturan adat sawen dalam pengelolaan
sumberdaya perikanan merupakan kebiasaan yang berlaku secara turun temurun dan
sentralistis (orde baru), masyarakat yang secara turun temurun melaksanakan hukum
Adanya penguatan aturan lokal ini dipengaruhi oleh masalah pokok, yaitu konflik dalam
lapangan pekerjaan yang makin sedikit, lingkungan politik legal, perubahan teknologi
dan jelas serta adanya lembaga yang mampu mengakomodir aspirasi masyarakat
nelayan.
Wilayah yang diatur oleh awig-awig sejauh tiga mil dari garis pantai dan bersifat
eksklusif, karena setiap kegiatan yang memanfaatkan sumberdaya perikanan laut harus
sesuai dengan aturan yang berlaku dan alat tangkap yang dipergunakan adalah alat
tangkap tradisional. Batasan zona tangkapan yang diperuntukan bersifat imajiner, yaitu
berdasarkan sejauh mata memandang dari pinggir pantai ke tengah laut dan masyarakat
nelayan yakin jarak tersebut sejauh tiga mil dan sesuai pula dengan kemampuan armada
perikanan yang digunakan nelayan tradisional. Adapun sifat kepemilikan hak dalam
dalam pengelolaan sumberdaya perikanan laut bersifat individual, artinya setiap orang
20
tangkap yang telah ditentukan sebagai hasil kesepakatan masyarakat lokal. Adapun
(1) Apabila ditemukan dan terbukti ada oknum yang melakukan pengeboman dan
pemotasan serta penangkapan ikan dengan bahan beracun lainnya, maka oknum
(2) Apabila oknum tersebut untuk kedua kalinya terbukti melakukan perbuatan ini
(3) Apabila setelah dikenakan sanksi pada point pertama dan kedua tersebut diatas,
awig dalam pengelolaan sumberdaya perikanan laut di Lombok Barat bagian Utara
adalah Lembaga Musyawarah Nelayan Lombok Utara (LMNLU) sesuai dengan Surat
Nomor 06/LMNLU/V/2000 dengan susunan pengurus yang terdiri dari ketua, wakil
ketua, sekretaris, bendahara, dan seksi-seksi yaitu kemanan laut, kebersihan pantai,
perikanan laut berdasarkan hukum adat Lembaga Masyarakat Desa (LMD) Desa
November 1994 telah mengeluarkan peraturan adat secara tertulis yang dituangkan
(2) Sanksi terhadap pelanggaran batas dan jalur penangkapan ikan di Perairan
Tanjung Luar
(1) Demi keamanan, ketertiban dan kenyamanan para nelayan dalam menangkap
(2) Sering terjadi pertikaian dan perkelahian di laut antara sesama nelayan
21
Penangkapan Ikan bagi Nelayan atau Awig-awig Jalur Laut. adapun keputusan ini
mengatur tentang adanya 4 (empat) jalur penangkapan ikan bagi para nelayan
tradisional yang melakukan kegiatan penangkapan ikan di laut. Penentuan jalur tersebut
meliputi :
(1) Jalur penangkapan I adalah perairan selebar 3 mil laut (± 4,8 km) dari batas air
titik terendah pada waktu air surut (surut terjauh) yang diperuntukan bagi
setingkat lebih modern, mereka diperkenankan menangkap ikan pada jalur II.
(2) Jalur penangkapan II adalah perairan selebar 3-6 mil laut (± 9,6 km) yang
sasaran apung (in board). Mereka tidak diperkenankan menangkap ikan dengan
(3) Jalur penangkapan III adalah perairan selebar 6-12 mil laut (± 19 km) yang
jalur IV, mereka tidak diperkenankan menangkap ikan pada jalur tradisional.
(4) Jalur penangkapan IV adalah perairan selebar 12 mil sampai ke ZEE. Jalur ini
diperuntukan bagi nelayan yang menggunakan alat tangkap long line apung.
Pada keputusan desa tersebut ditentukan pula bahwa nelayan tradisional diperkenankan
untuk menangkap ikan pada jalur II, III dan IV sampai ke ZEE selama mereka tidak
Pada keputusan Desa Tanjung Luar, Kecamatan Keruak, Kabupaten Lombok Timur
tentang Sanksi Pelanggaran Batas dan Jalur Penangkapan Ikan di Perairan Tanjung Luar
ditentukan bahwa Bagi nelayan setingkat lebih modern yang menggunakan purse seine
semi dan purse seine mini yang sengaja melakukan kegiatan penangkapan ikan pada
(1) Semua hasil tangkapan diambil oleh pemerintah desa untuk kebutuhan
(2) Bagi nelayan setingkat lebih modern yang melakukan pelanggaran pada kegiatan
diambil oleh pemerintah desa dan hasilnya akan dipergunakan desa tersebut,
serta alat tangkap akan disita dan selanjutnya diajukan kepada pihak yang
22
Peraturan awig-awig yang ini berlaku di Desa Tanjung Luar, Kecamatan Keruak,
Kabupaten Lombok Timur pada dasarnya adalah suatu implementasi dari peraturan
diterapkan secara lokal. Menyadari hal tersebut maka keputusan Menteri Pertanian itu
diterjemahkan secara parsial dalam aturan-aturan setempat yang bersifat lokal yang
awig-awig jalur laut yang dibuat berdasarkan hasil musyawarah Lembaga Masyarakat
Desa dihadiri oleh Pimpinan Resort Perikanan Kecamatan, Kepala Desa, Sekretaris
Desa, Ketua Bidang Pembangunan, dan Ketua Bidang Keuangan, LKMD, Tokoh
Nelayan, nelayan tradisional, dan nelayan setingkat modern. Keputusan desa ini
disahkan oleh Bupati Kepala Daerah Lombok Timur pada tanggal 8 Agustus 1995.
melalui Gerbang Masa Depan (Gerakan Pembangunan Masyarakat Desa Pantai), maka
Dinas Perikanan Kabupaten Lombok Timur telah membuat pembagian areal dengan
berbagai sanksinya, yaitu : sanksi inti, sanksi pemanfaatan dan sanksi penyangga.
Pelaksanaan dari kegiatan ini sudah dimulai pada tahun 1998 dan pelaksanaannya
Adapun alat pendukung dari Gerbang Masa Depan di Desa Benteng, Kabupaten
Lombok Timur terdiri dari Kepala Dinas Perikanan, PPS, tokoh masyarakat dan lain-
(1) Terciptanya kondisi yang baik antar stakeholders atas perhatian mereka terhadap
semua pihak.
(3) Terciptanya kondisi kehidupan masyarakat desa pantai agar dapat hidup layak
dan sejahtera.
Sumberdaya yang menjadi perhatian utama masyarakat Sulawesi Selatan adalah wilayah
laut. Hal ini dikarenakan doktrin atau asumsi lokal masyarakatnya yang menganggap
bahwa laut sudah menjadi bagian dari hidup mereka, sehingga ini tidak dapat
orang yang selalu menyediakan bantuan sosial termasuk modal kepada sawinya,
sedangkan sawi (klien) adalah orang yang bekerja pada punggawa tersebut.
23
kepada orang lain, maka akan sangat sulit bagi orang yang menerima bantuan tersebut
untuk menentang orang yang telah memberikan bantuan kepadanya. Mekanisme yang di
terapkan dari sistem punggawa-sawi adalah pola bagi hasil. Sawi akan menggantungkan
melalui pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari keluarga sawi. Selain itu, norma
hubungan sosial ini bukan hanya untuk sawi sendiri, melainkan juga diperuntukan para
ponggawa agar dapat meningkatkan kesejahteraan para sawi. Tingkat kesejahteraan ini
menjadi tolak ukur efektivitas hubungan norma sosial dan seberapa jauh suatu etnis
Hubungan antara ponggawa dan sawi tidak bersifat kaku, melainkan lebih bersifat
fleksibel. Hal ini dicerminkan dengan sikap ponggawa yang bisa kapan saja
memutuskan hubungan dengan pihak sawi, apabila sawi dianggap tidak lagi mematuhi
dan menjalankan aturan-aturan yang telah disepakati. Akan tetapi, sawi pun bisa
Umumnya ponggawa melakukan dua cara untuk mendapatkan sawi, yaitu : Pertama,
transfer fungsi kerja. Cara ini terjadi apabila sawi mengalami musibah, sehingga tidak
lagi mampu berperan sebagai buruh, maka orang tua akan melakukan trasfer fungsi
kerjanya kepada anak-anaknya. Sedangkan cara yang kedua adalah dengan membentuk
hubungan patron-client baru dalam lingkungan etnisnya sendiri; dan ini terutama terjadi
sehingga eksistensi dari sistem ini semakin lama semakin melemah. Sebagai contoh,
tidak dikenalinya sistem ini dalam pengelolaan sumberdaya perikanan laut pada UU No.
9 tahun 1985 dan Undang-Undang Pemerintahan Daerah No. No.5/75. Dari kedua
undang-undang tersebut tidak satu kata pun menyebutkan bahwa sistem tradisional ini
konstelasi politik Pemerintah Indonesia pada tahun 1998 telah merombak sistem
sumberdaya perikanan laut, akan tapi pelaksanaan sistem tradisional ini juga
memperhatikan aspek kelestarian sumberdaya. Hal ini tercermin dari adanya mekanisme
terhadap sumberdaya yang ada, ditambah dengan lemahnya aparat pemerintah dalam
fisnhing akan mungkin sangat terjadi. Oleh karena itu, adanya pelibatan sistem
24
Hal ini tidak saja bermanfaat pada keberlanjutan pelaksanaan sistem tradisional
Endokisi adalah sebuah desa pantai yang berada di Teluk Tanah Merah, yang secara
luasnya ± 774 km2 ini pada tahun 1992 dihuni oleh 309 orang dan 100% beragama
Kristen Protestan. Desa ini bari dibentuk tahun 1991 dan merupakan pecahan dari Desa
Senamay dan merupakan salah satu kampung (RW) yang dikenal dengan nama
Kantumilena Kampung Endokisi (Kantumelana), dahulunya dipegang oleh dua koramo,
Mata pencaharian penduduk Endokisi pada mulanya sebagai petani tetapi kemudian
banyak yang beralih menjadi nelayan. Kepemimpinan di Desa Endokisi bertumpu pada
“tiga tungkai” yaitu pemerintah, pemimpin tradisional dan gereja yang menyatu dalam
dewan adat dan dibentuk tahun tahun 1986. Tugas Dewan Adat adalah menyelesaikan
(kedalaman ± 100 meter) dan periran dalam. Wilayah perairan ini dimiliki oleh empat
suku, batas wilayah antara suku ditentukan oleh batu karang di tengah laut dan oleh
tanjung di tepi laut serta tanda-tanda alam yang lain. Walaupun ada batas-batas wilayah
hak ulayat laut yang dimiliki oleh suku-suku dalam melakukan kegiatan penangkapan
ikan mempergunakan panah, jaring dan tombak, namun orang di luar suku pemilik
Dengan dikenalnya alat tangkap jaring dan sero apung yang dapat mengeksploitasi
sumberdaya secara lebih besar, menimbulkan kesadaran para pemegang hak ulayat laut
untuk memberlakukan aturan yang mengharuskan pemilik sero atau jaring yang akan
mengoperasikan alat tangkapnya di wilayah suku lain untuk meminta izin kepada kepala
suku yang bersangkutan melalui Dewan Adat. Keputusan Dewan Adat itulah yang
merupakan sumber legalitas dari pelaksanaan hak ulayat laut disamping legenda tentang
pelaksanaan hak ulayat laut, hal tersebut disebabkan oleh kekhawatiran masyarakat
terhadap tingkat eksploitasi sero dan jaring yang dianggap lebih tinggi. Mengenai
permohonan dan pemberian izin tidak dilakukan dalam bentuk tertulis dan tidak
didasarkan pada perhitungan materi, hanya pemilik alat kerjanya akan menyerahkan
sebagain uang dari hasil penjualan ikan kepada Dewan Adat. Sanksi oleh Dewan Adat
hanya diberikan kepada para nelayan yang mengoperasikan jaring atau sero apung atau
alat tangkap lain yang dianggap memiliki tingkat eksploitasi yang tinggi.
25
Di Desa Endokisi dikenal empat tingkatan sanksi, yaitu (1) teguran, (2) tobu (disuruh
mencari kelapa), (3) disuruh menangkap babi, dan (4) Hukuman mati. Hukuman
tersebut sejak masuknya Injil tidak diberlakukan lagi. Pada saat ini sanksi terhadap
4. BAHAN BACAAN
Antariksa, IGP. 1995. Hak Ulayat Laut Masyarakat Maritim Kecamatan Pulau-Pulau
Kei Keci,l Kabupaten Maluku Tenggara, Maluku. Jakarta, PMB – LIPI No 85.
79 hal.
Antariksa, IGP. 1998. Manajemen Tradisional Sumberdaya Laut, Studi Kasus Wabula
Laut, 93:79-92.
Purwaka, T.H. 1997. Sistem Hukum dan Kelembagaan dalam Pengelolaan Wilayah
Wahyono, A., Sudiyono, dan F.I. Thufail. 1993. Aspek-aspek Sosial Budaya
Masyarakat Maritim Indonesia Bagian Timur. Hak Ulayat Laut Desa Para,
halaman.
Sistem Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat Pesisir (PDF Download Available). Available from:
https://www.researchgate.net/publication/282662169_Sistem_Sosial_Ekonomi_dan_Budaya_Masy
arakat_Pesisir [accessed Feb 23 2018].