File PDF

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 96

UNIVERSITAS INDONESIA

PERBEDAAN LAMA MASA RAWAT, KUALITAS HIDUP,


DAN EFEKTIVITAS BIAYA PERAWATAN PASIEN
GERIATRI DI RUANG RAWAT AKUT RSCM SEBELUM DAN
SESUDAH PENERAPAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar


Spesialis-1 Ilmu Penyakit Dalam

IKA FITRIANA
NPM. 1006767456

FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI ILMU PENYAKIT DALAM
JAKARTA
JANUARI 2015

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015
Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015
iv

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


v

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


UCAPAN TERIMA KASIH

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.


Puji syukur ya Allah atas karunia-Mu yang tak terhingga, atas izin-Mu Hamba dapat
menyelesaikan pendidikan dan penyelesaian tesis di Departemen Ilmu Penyakit
Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Shalawat dan salam untuk
tauladanku yang kujunjung tinggi, Nabi besar Muhammad SAW beserta keluarga,
sahabat dan pengikutnya.
Kepada Dr. dr. Ratna Sitompul, SpM(K) selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia saat ini, terimakasih telah memberi kesempatan pada saya
untuk mengikuti program dokter spesialis hingga menyelesaikan tesis ini.
Terimakasih untuk Prof. dr. Menaldi Rasmin, SpP(K) dan Prof. dr. Ali
Sulaiman, Ph.D, SpPD, K-GEH sebagai Dekan Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia terdahulu telah memberi kesempatan pada saya untuk menyelesaikan
pendidikan dokter umum hingga spesialis ini.
Kepada Dr. dr. Imam Subekti, SpPD, K-EMD, Kepala Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia saat ini, dan Dr. dr.
Czeresna Heriawan Soejono, SpPD, K-GER, M.Epid, Kepala Departemen
terdahulu, saya menyampaikan rasa hormat dan terima kasih saya mendapat
kesempatan mengenyam pendidikan di bidang keilmuan yang bersifat holistik
paripurna di bawah naungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam yang beliau pimpin.
Kepada dr. Aida Lidya,Ph.D, SpPD, K-GH selaku Ketua Program Studi Sp-1
Ilmu Penyakit Dalam FKUI saya ucapkan banyak terimakasih dan penghormatan
yang tulus kepada beliau yang telah mengorbankan hampir seluruh waktunya untuk
pendidikan kami hingga mencapai kelulusan. Semoga lulusan Spesialis Ilmu
Penyakit Dalam FKUI dapat mengharumkan almamaternya. Juga kepada Dr. dr.
Aru W Sudoyo, SpPD, K-HOM, FACP selaku Ketua Program Studi Sp-1 Ilnu
Penyakit Dalam FKUI terdahulu, saya mengucapkan terima kasih atas kepercayaan,
bimbingan dan perhatian selama saya menjalani masa studi di Departemen Ilmu
Penyakit Dalam. Tak lupa juga saya ucapkan rasa terima kasih yang mendalam
kepada para Staf Program Studi dan Koordinator Pendidikan, para Guru
Besar, seluruh Ketua Divisi dan Staf Pengajar di lingkungan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI, yang telah memberikan dukungan, sarana dan prasarana
selama proses pendidikan saya.
Kepada dr. Arya Govinda R, SpPD, KGer, Ketua divisi Geriatri yang telah
mengijinkan saya untuk melakukan penelitian di divisi Geriatri, memotivasi dan
mendukung langkah-langkah dala menyelesaikan tesis. Juga kepada seluruh staf
pengajar divisi geriatri yang mendukung terlaksananya penelitian ini, saya
ucapkan banyak terimakasih.
Kepada Dr. dr. Czeresna Heriawan Soejono, SpPD, KGer, M.Epid sebagai
pembimbing utama penelitian ini, saya sangat bersyukur mendapat kesempatan
untuk dibimbing langsung oleh Dokter, yang di tengah kesibukannya masih sempat

vi
Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


vii

menanamkan nilai-nilai, menekankan pentingnya integritas dan kejujuran dalam


bekerja, memberi teladan, membagikan ilmunya yang tak habis-habisnya, memberi
arahan agar penelitian ini berjalan dengan baik dan memberi manfaat. Sekali lagi,
saya sampaikan hormat saya yang sebesar-besarnya, Insya Allah ilmu yang Dokter
sebarkan akan berbuah terus hingga bilang tak terhingga.
Kepada Dr. dr. Kuntjoro Harimurti, SpPD-KGer, MSc, sebagai pembimbing
kedua saya, dengan kerendahan hati saya ucapkan banyak terimakasih dan ijinkan
saya sampaikan rasa kagum kepada Dokter yang mengabdikan diri sepenuhnya di
dunia pendidikan dan penelitian. Tentu hal yang sulit mendidik kami, mahasiswa,
yang penuh dengan kekurangan. Saya mengucapkan maaf karena telah menyita
waktu dokter, berulang kali dokter mengoreksi kesalahan, berulang kali pula Kami
kembali dengan kesalahan (lagi). Bimbingan dan masukan dokter membuat
penelitian saya menjadi ber”jiwa” dan saya sangat beruntung mendapat
pembimbing sebaik dan sesabar dokter yang menyediakan waktu 24 jam untuk
Kami. Semoga Allah membalasnya dengan beribu kebaikan untuk dokter dan
keluarga. Amiin.
Kepada Ibu Siti Rizny Saldi, S.Apt, MSc, saya ucapkan terimakasih telah menjadi
pembimbing metode penelitian saya. Saya mendapat kesempatan untuk banyak
belajar tentang metode penelitian terutama tentang analisis efektivitas dan utilitas
biaya. Mbak Riris dengan sabar mengajarkan bagaimana metode penelitian yang
baik, memotivasi dan meluangkan waktu untuk membimbing dan memberi
masukan hingga tesis selesai. Insya Allah ilmu yang Mbak Riris bagikan akan
bermanfaat untuk saya di mana pun saya bekerja di kemudian hari.
Kepada pembimbing akademik saya, DR.dr. Cleopas Martin Rumende , SpPD,
K-P, saya menyampaikan rasa hormat dan terimakasih atas segala perhatian
Dokter, saran dan petuah tentang bagaimana menjalankan pendidikan ini dengan
baik.
Kepada para penguji saya dalam ujian proposal dan ujian tesis tertutup: Dr. dr.
Zullkifli Amin, SpPD-KP yang ditengah kesibukannya masih meluangkan waktu
untuk memberi masukan terutama tentang bagaimana mempresentasikan hasil, dr.
Dyah purnamasari, SpPD-KEMD dan dr. Imam Effendi, SpPD-KGH yang
memberi masukan mengenai konsep mendasar penelitian ini, Dr. dr. Aida Lydia,
SpPD-KGH yang sangat support dan terus menyemangati saya untuk
menyelesaikan tesis secepatnya, Dr. dr. Suhendro, SpPD-KPTI yang memberi
masukan sangat berharga untuk penelitian ini, dan Dr. Sally Aman Nasution,
SpPD-KKV yang banyak memberikan masukan dan bersedia meluangkan waktu
untuk berdiskusi. Kepada para penguji ujian tesis terbuka: Prof. Dr. dr. Harry
Isbagio SpPD-KR, KGer, saya ucapkan banyak terimakasih dan rasa hormat saya
atas masukan yang sangat bermanfaat untuk perbaikan tesis ini, membuat saya
makin memahami pentingnya analisis efektivitas/utilitas biaya, kepada dr. E.
Mudjaddid, SpPD-KPsi, terimakasih atas waktu Dokter untuk membaca,
mengoreksi, memberi masukan hingga membuat tesis saya menjadi lebih “cantik”.

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


viii

Dan khususnya kepada Prof. Dr. dr. Siti setiati SpPD-KGer, salah satu guru
terbaik yang FKUI miliki, yang telah banyak memberi masukan sejak ujian tesis
tertutup hingga terbuka, meluruskan berbagai salah pemahaman saya tentang
konsep penelitian, membuat saya bersemangat untuk melanjutkan minat saya di
bidang keilmuan geriatri. Saya sampaikan kekaguman saya yang mendalam atas
semangat dan dedikasi Prof. mendidik kami semua.
Terima kasih juga saya sampaikan kepada para Guru Besar dan Staf Pengajar di
lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM, yang telah
menjadi guru dan teladan selama masa pendidikan ini dan yang akan tetap menjadi
tempat bertanya bagi saya di kemudian hari.
Kepada mas Iwa, mbak Yanti, dan staf administrasi lain di divisi geriatri yang
telah banyak saya ganggu dan sangat banyak membantu saya untuk kelancaran
penelitian ini. Juga kepada mbak Yanti dan Pak Total di sekretariat direksi RSCM
yang juga banyak diganggu tentang penjadwalan, saya ucapkan terimakasih. Hanya
Allah yang dapat membalas semua kebaikan kalian. Kepada Mbak Tami (Utami
Susilowati, SKM), saya ucapkan banyak terima kasih atas bantuan selama proses
pengolahan dan analisis statistik.. Juga tak lupa untuk Bu Atun, petugas
administrasi lantai 8 ruang geriatri akut Gedung A RSCM terimakasih atas segala
data yang telah ibu berikan.
Kepada para staf administrasi pendidikan PPDS Sp1, Ibu Yanti, Ibu Aminah dan
Pak Heri juga kepada para staf administrasi semua divisi di lingkungan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam, saya mengucapkan terima kasih dan
penghargaan atas semua bentuk perhatian, bantuan dan kerja sama yang diberikan
selama saya menjalani program pendidikan dokter spesialis.
Ucapan terimakasih tak terhingga untuk semua pasien, terutama pasien geriatri di
ruang rawat geriatri akut RSCM yang telah menyumbangkan datanya untuk
penelitian. Semoga saya tetap amanah menjadi dokter yang menjaga integritas dan
profesionalitas, tetap bersahaja, dan mengutamakan kepentingan pasien, seperti
sumpah Hipokrates yang pernah diucapkan. Ya Allah bantu Hamba menjaga
amanah ini.
Kepada para Staf Pengajar, Staf Administrasi, Perawat, Paramedis di RSUPN
Cipto Mangunkusumo, RSUP Persahabatan, RSUP Fatmawati, RSPAD Gatot
Subroto dan RSU Tangerang yang telah memberikan sumbangsih ilmu pengetahuan
dan pengalaman hidup yang berharga kepada saya selama proses pendidikan di
Departemen Ilmu Penyakit Dalam saya ucapkan rasa terima kasih yang sebesar-
besarnya.
Kepada para kakak dan adik angkatan, dan Teman Sejawat sesama Peserta
Program Pendidikan Dokter Spesialis di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam, terima kasih atas bimbingan, dukungan dan kerjasamanya selama ini.
Kepada teman-teman seperjuangan: Dokter Ulin, Sisi, Wiwi, Diah, Farid, Fandy,
Ferry, Hari, Imelda, M. Ikhsan, Adli, Paskalis Andrew “gamers juga bisa
sukses” Gunawan, Tanti, Toni, Suzy, dan Ucup aka cupi aka Yusuf. Khususnya

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


ix

buat Deka, teman seperjuanganku dari belajar bersama sebelum ujian masuk
spesialis dan pendidikan S-1 dulu, tetap semangat meski umur “geriatri” pantang
menyerah dalam pendidikan. Terimakasih atas kebersamaan ini, terimakasih atas
segala canda tawa, berbagi suka, duka, dan cerita. Terimakasih atas kekompakan
angkatan Juli 2010 yang tidak terbantahkan, Saya sangat bersyukur dan bangga
berada dalam angkatan ini. Semoga silaturahhim ini terus berlanjut hingga nanti,
semoga kita semua sukses dan menjadi dokter spesialis yang bermanfaat bagi
berbagai kalangan.
Untuk teman-teman seperjuangan selama di Puskesmas CIkulur Lebak Banten,
terimakasih telah mendukung saya untuk melanjutkan sekolah. Kepada Dr. dr.
Hardiono Pusponegoro, SpA(K) yang telah mengijinkan saya tetap bekerja
sebagai penulis di Majalah Anakku meski dalam pendidikan, saya ucapkan
penghargaan dan terimakasih sebesar-besarnya. Juga buat teman-temanku di
majalah Anakku yang masih bergabung atau yang telah sukses di tempat lain yang
tak bisa kusebut satu persatu, khususnya mbak-ku yang ayu dan selalu semangat,
mbak Diah, terimakasih atas dukungan dan kebersamaannya selama ini.
Kepada Ayahku, Bpk Drs. H.A. Chowasyi Mandala, terimakasih tak terhingga
atas segala dorongan, nasehat, semangat, dan doa yang membuat aku bisa
menjalankan pendidikan ini. Pendidikan yang keras selama masa kecil dan remaja
membuatku memiliki kepribadian yang pantang menyerah untuk pendidikan.
Ucapan terimakasih tak terhingga untuk ibuku Siti Qudsiyah, BA,. Begitu banyak
pengorbanan yang telah diberikan untuk kesuksesan ini. Doamu yang selalu terucap
dalam hati, dalam setiap bulir kata, teladanmu untuk orang-orang sekitar, cucu,
anak, menantu, membuat namamu menjadi harum dimanapun berada. Setiap kali
gelap, kau membuatnya benderang, setiap kali terik, kau membuatnya sejuk. Setiap
kali gelisah, kau menciptakan kedamaian. Ya Allah, sehatkanlah dan bahagiakan
selalu ayah ibuku, berikan aku kesempatan untuk mencapai segala harapan mereka.
Amiin.
Kepada Bapak Alm. Sutrisno Kurdi, bapak mertua yang telah tenang di Alam
sana, terimakasih atas segala dukungan dan kesabaran, Untuk Ibu Wahyudiati,
yang selalu mencurahkan doa tak habis-habisnya, memberi perhatian dan kasih
sayang tanpa pamrih kepada kami anak-anaknya. Maafkan aku tak bisa banyak
menjenguk karena kesibukan selama ini. Untuk A’ Yossi, mbak Nui, Indra, Lisna,
keponakanku semua. Terimakasih atas segala dukungan dan kebersamaannya.
Terimakasih juga untuk bulik dan budeku sayang, Eyang putri, untuk keluaga besar
Bani sadja’i, Uwa dan omku, Almarhum dan almarhumah mbah yang telah banyak
mendukung, mengajarkan arti ketulusan dan keikhlasan.
Kepada suamiku yang kucintai, Bapak yang hebat dari anak-anakku, Dede
Ariwibowo, S.Sos, yang ketulusannya dalam mendorong istri untuk maju
membuatnya mengorbankan banyak hal. Maaf karena banyak waktu kebersamaan
hilang selama pendidikan ini dan terimakasih tak terhingga untuk segala doa dan
kasih sayang. Buat dua cahaya hidupku, Hashifaya Immani Mumtaz dan Kun

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


x

Magnar Amaruzzarvan yang dari mereka aku belajar kesabaran dan ketulusan
mencintai, yang tangan-tangan kecilnya selalu menyambutku ketika aku pulang
kelelahan. Terimakasih sayang, karena kalianlah ibu semangat menyelesaikan
pendidikan secepatnya, semoga ibu dapat menebus segala kehilangan waktu selama
ini dan maafkan telah banyak hakmu terlanggar.
Dan untuk semua pihak yang tak dapat saya sebutkan satu persatu, saya ucapkan
terimakasih atas segala bantuan dalam menyelesaikan pendidikan spesialis dan
penerbitan tesis ini. Semoga Allah membalas dengan kebaikan yang lebih.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Jakarta, 25 Januari 2015

Penulis

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015
xii

ABSTRAK

Nama : Ika Fitriana


Program studi : Spesialis Ilmu Penyakit Dalam
Judul :
Perbedaan Lama Masa Rawat, Kualitas Hidup, dan Efektivitas Biaya Perawatan
Pasien Geriatri di Ruang Rawat Akut RSCM Sebelum dan Sesudah Penerapan
Jaminan Kesehatan Nasional

Latar belakang :
Kelompok geriatri memiliki karakteristik khusus yang berpotensi meningkatkan
lama masa rawat dan menurunkan kualitas hidup dan terbukti dapat diperbaiki
dengan Pendekatan Paripurna Pasien Geriatri (P3G). Terdapat kemungkinan
adanya perbedaan antara lama masa rawat dan kualitas hidup pasien geriatri dengan
P3G sebelum dengan sesudah adanya sistem pembiayaan JKN (Jaminan Kesehatan
Nasional)
Tujuan : melakukan evaluasi pelaksanaan sistem JKN terhadap lama rawat, quality
adjusted life days (QALD) dan efektivitas biaya pasien geriatri yang dirawat di
ruang rawat geriatri akut RSCM.
Metode : Penelitian kohort retrospektif dengan kontrol historis dilakukan pada
pasien geriatri ≥ 60 tahun dengan ≥ 1 sindrom geriatri yang dirawat di ruang rawat
geriatri akut RSCM periode Juli-Desember 2013 (era non JKN) dan Januari-Juni
2014 (era JKN). Perbedaan dua rerata lama rawat dan QALD era non JKN dengan
JKN dianalisis dengan uji-T tidak berpasangan. Dilakukan juga penghitungan
incremental cost effectivity ratio (ICER) program JKN dengan outcome lama rawat
dan QALD yang akan dipresentasikan dalam skema ICER.
Hasil : Dari total 225 subjek, 100 subjek berada di era non JKN dan 125 subjek di
era JKN dengan karakteristik relatif sama. Rerata usia adalah 70 [60-86] tahun dan
68 [60-85] tahun secara berurutan. Tidak ada perbedaan lama rawat antara era non
JKN dan JKN dengan median 12 [2-76] dan 12 [2-59] hari, p= 0,974. Begitu juga
tak ada perbedan QALD antara kelompok non JKN dan JKN dengan median
0,812[-3,1 – 24,37] dan 0,000 [-7,37 – 22,43], p= 0,256. Biaya per satu kali rawat
pada era non JKN adalah Rp. 19.961,000 [Rp.2.57 juta –Rp. 100 juta] dan JKN Rp.
20.832.000,- [Rp.3.067 juta - Rp.100 juta]. Skema ICER memperlihatkan biaya
rawat lebih mahal Rp. 1.500.000,- untuk mendapatkan lama rawat lebih pendek
0,91 hari. Berdasarkan QALD, biaya rawat lebih murah Rp.3.484.887,- dengan 0,25
QALD lebih rendah dibanding era non JKN.
Simpulan : Tidak ada perbedaan lama rawat dan kualitas hidup pasien yang dirawat
pada era non JKN dengan era JKN.
Kata kunci : geriatri, lama rawat, QALD, Incremental cost effectiveness ratio, JKN

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


ABSTRACT

Name : Ika Fitriana


Study Program : Internal Medicine
Title :The difference in Length of stay, Quality of Life, and Cost
Effectiveness of care for geriatric patients in acute care for elderly Cipto
Mangunkusumo Hospital before and after National Health Insurance Program
implementation

Background:
Geriatric population with special characteristics tend to have longer average length
of stay and lower quality of life. CGA (comprehensive Geriatric Assesment) was
proven to improve the outcomes and has already be the standard procedure in
RSCM. There were concerns on the difference between length of stay and quality
of life before and after NHIP (National Health Insurance program) applied.
Objectives: To evaluate the implementation of NHIP system according to length
of stay, quality adjusted life days and cost effectiveness of care in geriatric patients
in acute care for elderly Cipto Mangunkusumo Hospital
Method : This is a retrospective cohort study with historical control. The subjects
were geriatric patients ≥60 years old with one or more geriatrics giants between Juli
to Desember 2013 (Non NHIP) and Januari to Juni 2014 (NHIP). We used
independent T test to compare between two mean of length of stay and QALD.
Results : The characteristics were relatively similar between 100 subject in non
NHIP group and 125 subject in NHIP group. the median of age were 70 [60- 86]
dan 68 [60- 85] years old respectively. There was no significant difference between
length of stay in non NHIP, median 12[2-76] days and NHIP group, median 12[2-
59] days, p= 0,974. Quality of life which described as QALD proved that there
was also no significant difference between non NHIP, median 0,812[-3,1 – 24,37]
and NHIP group, median 0,000 [-7,37 –22,43], p= 0,256. The cost spent for one
admission was Rp. 19.961,000 [Rp.2.57–Rp. 100 millions] in non NHIP and Rp.
20.832.000,- [Rp.3.067-Rp.100 millions] in NHIP group. Incremental cost
effectiveness ratio (ICER) scheme showed NHIP is more expensive Rp.1.500.000,-
to have 0,91 shorter days than non NHIP system. For QALD, the cost was cheaper
Rp.3.484.887,- to have 0,25 QALD lower than non NHIP.
Conclusion: There were no difference in length of stay and quality of life of patients
who admitted in acute geriatric Cipto Mangunkusumo hospital with CGA approach
before and after National Health Insurance program implementation.
Key words : elderly, geriatrics, length of stay, quality of life, incremental cost
effectiveness ratio, National Health Insurance Program

xiii
Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME .............................................. ii
SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS ......................................................... iii
LEMBAR PERSETUJUAN................................................................................... iv
LEMBAR PERSETUJUAN PENGUJI ...................................................................v
UCAPAN TERIMAKASIH .................................................................................. vi
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ....................................................... xii
ABSTRAK ........................................................................................................... xiii
ABSTRACT ........................................................................................................... xiv
DAFTAR ISI ..........................................................................................................xv
DAFTAR TABEL ............................................................................................... xvii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xviii
DAFTAR TANDA DAN SINGKATAN ............................................................. xix
DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................................xx

BAB 1 PENDAHULUAN ......................................................................................1


1.1 Latar Belakang ......................................................................................1
1.2 Identifikasi dan rumusan masalah .........................................................4
1.3 Hipotesis Penelitian ...............................................................................5
1.4 Tujuan Umum .......................................................................................5
1.5 Tujuan khusus .......................................................................................5
1.6 Manfaat Penelitian.................................................................................6

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................7


2.1 Ciri pasien geriatri .................................................................................7
2.2 Pendekatan paripurna pasien geriatri ....................................................9
2.3 Kualitas hidup dan Adjusted quality of life years ................................12
2.4 Quality adjusted life years...................................................................13
2.5 Lama maisa rawat pasien geriatri ........................................................14
2.6 Perkembangan sistem asuransi kesehatan ...........................................16
2.6.1 Diagnosis related groups dan case based groups ......................17
2.6.2 Perkembangan asuransi kesehatan dengan klasifikasi casemix di
Indonesia ...........................................................................................18
2.7 Telaah analisis efektifitas biaya ..........................................................21
Kerangka teori .....................................................................................25

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ................26


3.1 Kerangka Konsep ................................................................................26
3.2 Definisi Operasional ............................................................................26

BAB 4 METODE PENELITIAN ........................................................................28


4.1 Desain .................................................................................................28
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ............................................................28
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ..........................................................28
4.4 Kriteria inklusi dan ekslusi..................................................................29
4.4.1 Kriteria inklusi ...........................................................................29

xiv
Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


xv

4.4.2 Kriteria eksklusi .........................................................................29


4.5 Estimasi Besar Sampel ........................................................................29
4.6 Tata cara pengumpulan data ................................................................30
4.7 Alur Penelitian.....................................................................................32
4.8 Analisis data ........................................................................................32
4.9 Masalah etika......................................................................................31
4.10 Penulisan dan pelaporam hasil ...........................................................34

BAB 5 HASIL PENELITIAN .............................................................................35


5.1 Karakteristik Subjek ............................................................................36
5.2 Perbandingan lama rawat antara JKN dengan era JKN ......................38
5.3 Perbandngan pencapaian kalitas hidup pasien geriatri sebelum dan
sesudah JKN ........................................................................................40
5.4 Incremental cost effectiveness ratio ....................................................41
5.4.1 Incremental cost effectiveness ratio untuk lama masa rawat .....42
5.4.2 Incremental cost effectiveness ratio untuk kualitas hidup .........43

BAB 6 PEMBAHASAN .......................................................................................47


6.1 Alur perekrutan subjek.. ......................................................................47
6.2 Karakteristik subjek.............................................................................47
6.3 Perbedaan lama masa rawat antara sebelum JKN dengan JKN ..........49
6.4 Perbedaan QALD antara era non JKN dengan JKN ...........................53
6.5 Incremental cost effectiveness Ratio ...................................................56
6.6 Telaah kritis .........................................................................................58
6.6.1. Validity ......................................................................................58
6.6.2. Importancy ................................................................................58
6.6.3. Applicability ..............................................................................58

BAB 7 SIMPULAN DAN SARAN ......................................................................63


7.1 Simpulan..............................................................................................63
7.2 Saran ....................................................................................................63

RINGKASAN ........................................................................................................65
SUMMARY .............................................................................................................67
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................68
LAMPIRAN ...........................................................................................................73

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Perbandingan berbagai model evaluasi ekonomi ...................................23


Tabel 5.1 Gambaran karakteristik demografik pada kelompok non JKN dan
kelompok JKN .......................................................................................................36
Tabel 5.2 Karakteristik subjek berdasarkan keluhan utama, diagnosis, geriatric
giants, ADL gain, dan outcome rawat ....................................................................37
Tabel 5.3 Tindakan selama perawatan ...................................................................38
Tabel 5.4 Perbedaan lama masa rawat antara sebelum dan sesudah JKN .............39
Tabel 5.5 Perbedaan median kualitas hidup sebelum dan sesudah JKN................41
Tabel 5.6 Perbedaan median kualitas hidup sebelum dan sesudah JKN post
imputasi multipel....................................................................................................41
Tabel 5.7 Perbedaan biaya antara kelompok sebelum dengan sesudah JKN .........42
Tabel 5.9 Proporsi subjek dengan EQ5D negatif, EQ5D masuk SWD, EQ5D
keluar SWD berdasarkan outcome .........................................................................46

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


xvii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Skema homesotenosis ..............................................................8


Gambar 2.2 Komponen sistem casemix .....................................................19
Gambar 2.3 Langkah langkah analisis efektifitas biaya.............................21
Gambar 5.1 Alur pengambilan sampel.......................................................35
Gambar 5.2 Box plot length of stay berdasarkan kategori biaya ................39
Gambar 5.3 Perbandingan lama masa rawat sebelum dan sesudah JKN ...40
Gambar 5.4 Incremental cost effectiveness ratio biaya terhadap lama rawat
pada era JKN dibanding non JKN..............................................................43

Gambar 5.5 Sebaran biaya total berdasarkan lama rawat ..........................43


Gambar 5.6 Incremental cost effectiveness ratio biaya terhadap QALD...44
Gambar 5.7 Sebaran biaya total rawat berdasarkan QALD .......................45

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


xviii

DAFTAR SINGKATAN DAN TANDA

ACS Acute confusional state


ADL Activity daily living
ALOS Average Length of Stay
ASA American Society of Anesthesiologists
Askes Asuransi kesehatan
BMP Bone marrow puncture
BSI Blood stream infection
CDL Catheter double lumen
CHF Congestive heart failure
CIRS Cumulative illness rating scale
CVC Central Venous Catheter
DALY Disabiliy adjusted life years
DM Diabetes melitus
DRG Diagnosis related grouper
EKG Elektrokardiografi
EQ5D European Quality of 5 Domain
FEES Functional endoscopic sinus surgery
GGK Gagal ginjal kronik
HRQol Health related quality of life (HRQoL)
ICU Intensive care unit
ICD International Classification of Disease
INA-CBG Indonesia Case Based Groups
IK Interval Kepercayaan
IMT Indeks massa tubuh
Jamkesmas Jaminan Kesehatan Masyarakat
JKN Jaminan Kesehatan Nasional
JNC Joint National Committee
MMSE Mini Mental State Examination
OR Odds Ratio
P3G Pendekatan paripurna pasien geriatri

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


xix

QALD Quality adjusted life days


QALY Quality adjusted life years
Riskesdas Riset Kesehatan Dasar
RSCM Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
RR Risiko relatif
SBD States better than death
SIRS Systemic inflammatory respons syndrome
SJSN Sistem Jaminan Sosial Nasional
STSG Split thickness skin graft
SWD States worse than death
VAS Visual Analog Scale
WHO World of health organization

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Formulir Status kualitas hidup…………………………... 71


Lampiran 2 Formulir persetujuan etik………………………………... 72
Lampiran 3 Formulir penelitian………………………………………. 73

xx
Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1.LATAR BELAKANG

World Health Organization menyepakati kelompok usila (usia lanjut) atau geriatri
adalah mereka yang berusia lebih atau sama dengan 60 tahun, di negara
berkembang ada yang menggunakan batasan 65 tahun.1 Saat ini, di Amerika,
penduduk usila di atas 65 tahun menyumbang 12% populasi, atau sekitar 32,6 juta
jiwa. Angka ini diprediksi akan meningkat secara dramatis pada 20-30 tahun ke
depan. Dari tahun 1990 sampai 2020, jumlah penduduk usila akan meningkat
sebanyak 74% sedangkan populasi bukan usila hanya meningkat sebanyak 24%.
Kondisi ini menyebabkan pada masa mendatang satu dari lima orang adalah usila.2
Pada tahun 2050, jumlah kelompok usila di Asia diprediksi mencapai 1,2 milyar
jiwa (59% dari populasi total di dunia), sementara pada tahun yang sama,
seperempat penduduk Indonesia akan mencapai usila dibandingkan saat ini yang
hanya seperduabelas penduduk Indonesia.3 Meningkatnya jumlah populasi usila
akan meningkatkan insidensi usila yang dirawat di rumah sakit dengan berbagai
penyebab.

Kelompok geriatri merupakan kelompok dengan karakteristik khusus. Makin


berkurangnya cadangan fisiologis, adanya komorbiditas, dan manifestasi penyakit
yang tidak jelas menyebabkan kelompok ini menjadi kelompok yang rentan
memiliki lama masa rawat yang panjang yang akan berdampak pada pembiayaan
yang lebih besar. Data Centers for Disease Control tahun 2010 melaporkan lama
masa rawat pasien kategori lama masa rawat pendek berturut-turut yaitu 3,6 hari, 5
hari, dan 5,5 hari untuk usia 15-44, 45-64, dan 65 tahun ke atas menunjukkan usia
memengaruhi lama masa rawat.4

Karena pasien geriatri sering memiliki komorbiditas penyakit kronik dan penurunan
fungsi, mereka juga sulit mencapai kesembuhan sehingga perbaikan kualitas hidup
menjadi salah satu luaran perawatan. Nilai kualitas hidup pada

1
Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


2

geriatri diukur menggunakan EQ5D, sesuai dengan penelitian Harmaini tahun 2006
di RSCM yang membuktikan EQ5D lebih ringkas namun tetap andal dan sahih.5
EQ5D mengukur kualitas hidup melalui suatu indeks dari lima domain yaitu
mobilitas, perawatan diri, aktifitas harian, rasa nyeri/tidak nyaman, dan
cemas/depresi.

Perbaikan lama masa rawat dan kualitas hidup pasien geriatri selama perawatan
terbukti dapat dicapai melalui pendekatan P3G (pengkajian paripurna pasien
geriatri). P3G adalah Pendekatan melalui evidence based medicine dan value based
medicine yang dituangkan secara holistik mencakup berbagai aspek medis, fisik,
6
sosial, dan psikologis. Metaanalisis oleh Ellis, dkk. memperlihatkan P3G
menurunkan angka mortalitas, memperpendek masa rawat, meningkatkan kualitas
hidup dan status fungsional, dan menurunkan rehospitalization. Berdasarkan
Soejono, dkk. 7 lama masa rawat pasien geriatri dengan metode P3G di ruang rawat
geriatri akut RSCM pada tahun 2007 adalah 10.99[SD 0.79] hari dibandingkan
pasien geriatri non P3G 20.16[SD 2.62], p<0.01 dengan biaya
Rp.4.760.965(338.089) dibandingkan non P3G Rp.9.746.426 (1.180.331).
Sedangkan skor EQ5D 0,71[0,04] dibandingkan 0,61[0,04], p=0,09. Pendekatan ini
dikatakan dapat mereorganisasi pelayanan tanpa menyebabkan peningkatan biaya.
Dengan sistem pembiayaan yang ada selama ini, P3G telah menjadi prosedur
standar di ruang rawat akut geriatri RS Cipto Mangunkusumo dan dinilai berjalan
cukup baik.

Mulai tanggal 1 januari 2014, untuk mencapai universal coverage, Indonesia


mengembangkan sistem pembiayaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dengan
target seluruh rakyat Indonesia memilikinya pada tahun 2019.8 Sistem JKN
merupakan program pemerintah yang akan menyatukan seluruh asuransi sosial
dalam satu badan. BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) sebagai badan yang
ditunjuk pemerintah membayarkan tagihan ke rumah sakit melalui sistem
prospektif lewat penghitungan INA CBG (Indonesia case based group). Sistem ini
mengadaptasi sistem casemix dari United Nation University International Institute
for Global Health (UNU-IIGH) dihitung per satu discharge planning dan bukan
berdasarkan jumlah masa rawat, obat, atau tindakan. Kelebihan sistem ini adalah

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


3

mengutamakan efisiensi, memiliki klasifikasi yang transparan sesuai ICD 10 dan


ICD9 CM, mendorong adanya efisiensi dan pembentukan clinical pathway untuk
menghindari moral hazard hingga “memaksa” dokter menggunakan teknologi atau
obat yang efektif biaya. Pada akhirnya, sistem ini cenderung mengendalikan biaya,
mengurangi lama masa rawat, dan menambah jumlah pasien yang dirawat. Dengan
sistem ini diharapkan tercipta efisiensi, pelayanan kesehatan bersifat merata,
persaingan antar rumah sakit makin sehat, dengan melindungi kepentingan pasien.
Sedangkan kelemahan sistem ini adalah tidak menyertakan kelainan berkaitan
dengan status fungsional dan disabilitas pasien geriatri. Karena karakteristiknya
yang menekankan efisiensi, penyedia layanan kesehatan harus mempertimbangkan
keputusan klinis, namun di lain pihak tetap menyediakan layanan bermutu dan
efisien.8-10 Sistem JKN sedikit berbeda dengan sistem sebelumnya seperti fee for
service (contoh Kartu Jakarta Sehat [KJS]) atau cost sharing (contoh Askes).
Sistem sebelum JKN tidak bersifat prospektif sehingga biaya perawatan belum bisa
diperkirakan saat awal perawatan, pembayaran oleh penyedia asuransi sesuai
dengan jumlah klaim dan kekurangan dibayarkan oleh pemerintah atau oleh pasien
sendiri sehingga kurang bisa mengendalikan lama masa rawat atau biaya
perawatan. Dengan sistem pembayaran ini, persaingan antar rumah sakit menjadi
kurang terkendali dan pelayanan kesehatan menjadi kurang merata karena hanya
rumah sakit dengan keuntungan besar yang mampu menyediakan layanan yang
lebih lengkap.

Terdapat kekhawatiran sistem JKN akan memengaruhi dokter dalam mengambil


keputusan klinisnya karena berpegang pada biaya paket yang tersedia. Telaah oleh
Gosden, dkk. 11 yang dimuat di Cochrane Database terhadap lebih dari 6400 dokter
tingkat layanan primer memperlihatkan sistem pembiayaan menentukan sikap
perilaku dokter. Menurut peneliti, pada tingkat rawat jalan, dokter dengan
pembayaran sistem prospektif berusaha menekan kuantitas pelayanan guna
meminimalisasi biaya agar tetap sesuai dengan paket. Jumlah perawatan juga lebih
kecil pada kelompok prospektif karena dokter mendapat insentif untuk setiap
efisiensi biaya.

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


4

12
Sahadevan, dkk. meneliti pengaruh sistem asuransi prospektif berdasarkan
klasifikasi DRG (diagnosis related group) terhadap perawatan lansia di suatu
rumah sakit geriatri di Singapura dan menemukan bahwa sistem ini memengaruhi
lama masa rawat pasien. Menurut Sahadevan,12 pasien geriatri dengan
multipatologi (imobilisasi, jatuh, demensia, inkontinensia) secara natural memiliki
lama masa rawat lebih panjang dengan komplikasi lebih banyak sehingga ikut
memengaruhi biaya perawatan. Hal ini berhubungan dengan salah satu kelemahan
sistem DRG yaitu tidak dapat menggabungkan dimensi derajat beratnya penyakit.
Padahal geriatri memiliki dimensi derajat berat penyakit yang bervariasi.

Dengan sistem pembiayaan yang relatif baru ini, di sisi lain adanya sistem P3G
yang telah berjalan di ruang rawat akut pasien geriatri di RSCM, muncul pertanyaan
apakah sistem pembiayaan ini akan memengaruhi pelaksanaan P3G hingga
menyebabkan perubahan komponen lama masa rawat dan kualitas hidup pasien di
ruang rawat geriatri akut RSCM. Kemudian, apakah sistem JKN ini lebih efektif
biaya dibandingkan sistem sebelumnya.

1.2. IDENTIFIKASI DAN RUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang masalah di atas, dapat diidentifikasi masalah sebagai berikut:

1. Sistem asuransi kesehatan nasional JKN dengan klasifikasi INA-CBG


menuntut efisiensi dan efektivitas biaya. Di sisi lain, tidak
memperhitungkan komponen status fungsional dan disabilitas padahal hal
ini dengan karakteristik pasien geriatri.

2. Sistem pembiayaan JKN melalui klasifikasi INA-CBG dikhawatirkan


memengaruhi keputusan klinis dokter sehingga mengubah pelaksanaan P3G
yang pada akhirnya ikut memengaruhi luaran lama masa rawat dan kualitas
hidup pasien geriatri.

3. Belum ada evaluasi pengaruh sistem JKN terhadap pelaksanaan dan


outcome dari tatalaksana P3G di RSCM.

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


5

Atas dasar identifikasi masalah di atas dapat dirumuskan masalah penelitian


sebagai berikut:

1. Apakah terdapat perbedaan lama masa rawat pasien geriatri selama


perawatan dengan metode P3G pada era JKN dengan era Sebelum JKN.
2. Apakah terdapat perbedaan kualitas hidup geriatri selama perawatan dengan
metode P3G pada era JKN dengan era Sebelum JKN.
3. Bagaimanakah efektivitas biaya penerapan JKN dibandingkan dengan
sebelum JKN terhadap kompnen lama masa rawat dan kualitas hidup pada
pasien geriatri yang dirawat dengan P3G

1.3.HIPOTESIS

1. Terdapat perbedaan rerata lama masa rawat pasien geriatri yang dirawat
dengan metode P3G sebelum dan sesudah penerapan JKN
2. Terdapat perbedaan kualitas hidup pasien geriatri yang dirawat dengan
metode P3G sebelum dan sesudah penerapan JKN

1.4. TUJUAN

1.4.1. Tujuan Umum


Melakukan evaluasi awal pelaksanaan JKN terhadap pasien geriatri yang mendapat
P3G sebagai upaya peningkatan pelayanan kesehatan di bidang geriatri.

1.4.2. Tujuan Khusus


Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui perbedaan lama masa rawat pasien geriatri selama perawatan
dengan metode P3G sebelum dan sesudah penerapan JKN
2. Mengetahui perbedaan pencapaian kualitas hidup geriatri selama perawatan
dengan metode P3G sebelum dan sesudah penerapan JKN
3. Mengevaluasi efektivitas biaya penerapan JKN terhadap lama masa rawat
dan pencapaian kualitas hidup

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


6

1.4. MANFAAT PENELITIAN

Untuk penentu kebijakan

1. Penelitian ini dapat menjadi masukan untuk pemegang kebijakan tingkat rumah
sakit untuk memilih kebijakan yang efektivitas biaya

2. Penelitian ini dapat menjadi sumbangsih bagi Rumah Sakit Cipto


Mangunkusumo untuk lebih meningkatkan kualitas pelayanan berdasarkan sistem
pembiayaan yang ada.

3. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan untuk penentu kebijakan terkait
penetapan tarif sesuai INA CBG untuk pasien geriatri dengan karakteristiknya yang
khusus.

Untuk klinisi

Penelitian ini dapat mengevaluasi seberapa jauh efektivitas pengambilan keputusan


klinis terhadap lama masa rawat dan peningkatan kualitas hidup pasien geriatri yang
dirawat di rumah sakit

Untuk masyarakat

Penelitian ini menjadi bahan evaluasi pelaksanaan P3G selama era JKN untuk
perbaikan pelayanan pada pasien geriatri khususnya yang dirawat di ruang rawat
akut geriatri.

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

The Royal College of Physicians (London) seperti dikutip oleh British Geriatric
Society menggambarkan kedokteran geriatri sebagai cabang kedokteran umum
yang mempelajari aspek klinis, preventif, remedial, dan sosial dari penyakit usia
lanjut. Tantangan seperti frailty, komorbiditas, penampilan pola penyakit yang
berbeda, respon yang lebih lambat terhadap terapi dan perlunya dukungan sosial
membutuhkan keterampilan medis khusus.13

Seringkali pasien usia lanjut muncul dengan gejala dan penyakit yang tidak spesifik
sehingga dokter perlu fokus pada riwayat jatuh, imobilisasi, inkontinensia,
perubahan kesadaran juga reaksi simpang obat. Komorbiditas bisa muncul terutama
stroke, penyakit jantung, infeksi, diabetes, delirium, dan demensia.

Perawatan pasien geriatri memerlukan penilaian komprehensif terhadap penyakit


dan ketidakmampuan pada seseorang sehingga diperlukan interdisiplin ilmu baik
dengan divisi lain, terapis, ahli farmasi, perawat, ahli diet, pekerja sosial, dan
sebagainya.

Karena gejalanya yang tidak khas, seringkali pasien geriatri terlambat didiagnosis
sakit dan dibawa ke rumah sakit dengan diagnosis yang kompleks.

2.1. CIRI PASIEN GERIATRI

Perubahan fisiologis terjadi seiring dengan penuaan, termasuk kekuatan otot dan
kapasitas aerobik yang berkurang, terjadi instabilitas vasomotor serta insensitivitas
baroreseptor. Begitu juga total body water, densitas tulang, ventilasi, dan kapasitas
sensorik ikut berkurang. Pasien geriatri juga memiliki penyakit komorbid dan
kronik yang memperberat perubahan fisiologis tersebut. Akibatnya pasien geriatri
memiliki risiko lebih tinggi terjadi komplikasi selama penyakit akut, termasuk
gangguan terhadap status fungsional sehari-hari. Adanya frailty (kerapuhan), suatu
kondisi kelemahan muskuloskeletal dan kehilangan menyeluruh struktur dan fungsi

7
Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


8

pasien, dihubungkan dengan proses penuaan dan ikut menurunkan tingkat aktifitas.
Pada akhirnya, pasien geriatri rentan mengalami penurunan fungsi selama
perawatan dan berakibat lama masa rawat yang bertambah.14

Usia lanjut juga berhubungan dengan sindroma geriatri, suatu kondisi klinis pasien
lanjut usia yang tidak bisa dikategorikan dalam penyakit spesifik tertentu. Sehingga
diciptakanlah oleh Berdnard Isaacs istilah “Giants of Geriatrics” untuk
menggabungkan beberapa gejala geriatri mayor yaitu 4 I (Instabilitas, immobilisasi,
intellectual impairment, dan inkontinensia), namun tetap konsep besar sindroma
geriatri belum dapat sepenuhnya didefinisikan.15

Sindrom geriatri seringkali diartikan sebagai “multifactorial health conditions that


occurs when the accumulated effect of impairments in multiple system renders a
person vulnerable to situational challenge”.16Sindrom geriatri ini berhubungan
dengan kualitas hidup yang lebih rendah serta disabilitas, juga berhubungan dengan
kesintasan yang lebih buruk.

Pasien geriatri memiliki risiko untuk lebih banyak dirawat dan masa rawat yang
15
lebih panjang. Suatu telaah sistematis oleh Wang, dkk. menunjukkan bahwa
pasien geriatri dengan lebih dari dua komorbiditas mempunyai kemungkinan lebih
besar untuk dirawat dibandingkan tanpa komorbiditas. Sedangkan polifarmasi
lebih dari lima obat memiliki OR untuk terjadinya perawatan 2,9 (95% IK 2,2- 4,1)
lebih sering dibandingkan dengan pasien tanpa polifarmasi. Begitu pula dengan
pasien geriatri yang disertai malnutrisi memiliki RR 3 (95% IK 1,9-3,2) untuk
masuk unit gawat darurat dibandingkan yang tidak. Wang menyimpulkan sindrom
geriatri terutama frailty (kerapuhan), disabilitas, dan komorbiditas multipel
memegang peran paling penting dalam memprediksi kemungkinan perawatan
rumah sakit pada pasien lanjut usia.

Dasar dari segala karakteristik pasien geriatri ini berhubungan dengan fisiologi
penuaan. Penuaan disebabkan oleh berkurangnya cadangan fisiologis yang
diterminologikan sebagai homeostenosis, menyebabkan meningkatnya kerentanan
terhadap penyakit yang muncul bersamaan dengan usia. Dengan penuaan,
kapasitas pasien geriatri untuk mengembalikan dirinya ke kondisi homeostasis

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


9

setelah suatu tantangan menjadi lebih kecil. Semakin banyak tantangan akan
menuntut cadangan fisiologi yang lebih besar untuk kembali ke kondisi
homeostasis. Proses penuaan sendiri membuat seseorang makin dekat pada
“precipice” atau ambang menuju kehilangan cadangan fisiologisnya.

“the precipice”

Cadangan
fisiologi

Bertambahnya umur

Gambar 2.1. Skema homeostenosis.


Suatu kejadian terhadap homeostasis digambarkan sebagai tanda panah yang menjauhi
garis dasar. “the precipice” bisa berupa kejadian seperti kematian, confusion, atau henti
jantung. (dimodifikasi dari Teffat, dkk.8)

Fisiologi penuaan ini membuat pasien usia lanjut lebih rentan terhadap suatu
penyakit atau kejadian (serangan jantung, kematian) dan lebih lambat untuk pulih.
Mereka juga memiliki manifestasi penyakit yang berbeda dan memiliki ambang
yang berbeda dengan usia yang lebih muda. Hal ini menyebabkan pasien usia lanjut
yang dirawat karena sebab akut memerlukan pendekatan khusus. Berbagai
pendekatan untuk meningkatkan kualitas pelayanan pasien geriatri telah dilakukan,
salah satunya adalah dengan pendekatan paripurna pasien geriatri (P3G).

2.2. PENDEKATAN PARIPURNA PASIEN GERIATRI

Pendekatan paripurna pasien geriatri (P3G) atau comprehensive geriatric


assessment didefinisikan sebagai proses diagnostik multidimensional –biasanya
interdisiplin- yang didisain untuk mengkuantifikasi permasalahan dan kemampuan
medis, psikososial, dan fungsional pasien usia lanjut dengan tujuan membuat
rencana komprehensif untuk terapi dan evaluasi jangka panjang.17Tidak seperti

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


10

pendekatan pada pasien dewasa muda yang umumnya bertujuan untuk diagnosis
pasti dan penyembuhan, pada pasien usia lanjut, tujuan tatalaksana dan rencana
jangka panjang tak hanya menekankan aspek kesehatan tetapi juga aspek
kesejahteraan dan kemampuan fungsional. Tujuan kesembuhan kerap sulit dicapai
karena pasien biasanya telah memiliki penyakit kronik dengan gangguan status
fungsional. Untuk itu, pendekatan pada pasien geriatri bersifat individually tailored,
yaitu keunikan dan perbedaan karakter pasien sangat dihargai, dengan lebih
menekankan pada kualitas hidup yang baik berdasarkan value-based medicine. 7

Pendekatan paripurna pasien geriatri didisain tergantung tujuannya. Informasi yang


didapat dapat menjadi bahan formulasi tatalaksana selanjutnya seperti pelayanan
yang diperlukan, hendaya dan kemampuan fungsional pasien, biaya, pelaku rawat
pasien, dan kondisi mental/emosional yang mempengaruhi.

Kunci P3G meliputi penilaian multidisiplin yang terkordinasi, ekpertise dokter ahli
geriatri, indentifikasi masalah medis, fisik, sosial, dan psikologis, rencana
perawatan selanjutnya termasuk rehabilitasi, dan kemampuan implementasi
tatalaksana yang direkomendasikan, juga evaluasi jangka panjangnya. 6

Hubungan kerja interdisiplin dalam P3G merupakan salah satu kunci pendekatan
P3G, yaitu hubungan yang menyadari adanya tumpang tindih dalam kompetensi.
Masing-masing disiplin mengembangkan diri bersama dam menerapkannya untuk
mengatasi masalah pasien geriatri yang kompleks.

Banyak penelitian membuktikan P3G berkorelasi dengan makin pendeknya masa


rawat, makin baiknya kualitas hidup pasien, meningkatnya status fungsional, dan
rendahnya rehospitalization. Ellis, dkk. 6 dalam metaanalisisnya memperlihatkan
pasien dengan komorbiditas yang mendapat P3G baik disertai frailty ataupun tidak
akan lebih rendah mortalitasnya dan akan lebih mungkin pulang ke rumah. Hasil
lebih konsisten pada mereka yang dirawat di ruang rawat geriatri akut. P3G dapat
mereorganisasi pelayanan yang diperlukan tanpa menyebabkan peningkatan biaya.

Pendekatan paripurna pasien geriatri juga dapat mengidentifikasi pasien yang


18
berisiko mengalami peruburukan selama perawatan. Penelitian Pascual, dkk.
memperlihatkan P3G dapat memprediksi mortalitas pasien geriatri yang dirawat

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


11

karena penyakit jantung dekompensata. Dikatakan berdasarkan P3G, pasien yang


mengalami penurunan status fungsional adalah 41,7% dengan lebih dari 3,8%
mengalami sindrom delirium akut selama perawatan. Mereka yang memiliki risiko
perburukan dan mortalitas lebih tinggi adalah pasien geriatri dengan koeksistensi
gangguan kognitif, komorbiditas, dan polifarmasi.

Pendekatan paripurna pasien geriatri dapat memprediksi prognosis kesintasan


pasien geriatri yang akan menjalani kemoterapi induksi leukemia mielositik akut
karena dapat mengidentifikasi pasien yang rentan terhadap efek samping obat.
Dilaporkan bahwa uji kognitif dapat memprediksi pasien yang akan mengalami
delirium, terutama delirium hipoaktif yang merupakan faktor independen
mortalitas.19

Pendekatan paripurna pasieng geriatri dapat mendeteksi kelainan delirium yang


berhubungan dengan luaran kematian lebih tinggi, masa rawat lebih lama, status
fungsional lebih buruk dan biaya rawat lebih lama. Bo, M. dkk. 20 menyimpulkan
bahwa pasien yang dirawat dengan metode P3G dan mengalami sindrom delirium
akut memiliki skor komorbiditas yang lebih tinggi (p<0,001 untuk CIRS 1 atau 2),
status fungsional lebih berat (p<0,001, dengan ADL) dan gangguan kognitif lebih
tinggi (p<0,001) dibandingkan dengan mereka tanpa sindrom delirium akut.
Mereka juga memiliki lama masa rawat lebih panjang signifikan (12,3 SD 3,4 vs
6,3 SD 2 hari, p<0,001).

Tatalaksana pasien geriatri merupakan hasil interaksi banyak hal dari medis, fisik,
dan psikososial. Mengidentifikasi berbagai faktor yang berhubungan dengan
sindrom geriatri dan komplikasi selama perawatan pasien geriatri melalui P3G
dapat memperbaiki kualitas pelayanan dan pada akhirnya berpotensi mengurangi
biaya rawat.

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


12

2.3. KUALITAS HIDUP PASIEN GERIATRI

Penilaian kualitas hidup pada seorang geriatri sangat penting mengingat target
kesembuhan pada pasien geriatri dengan berbagai penyakit kronik dan penurunan
fungsi sulit dicapai. Kualitas hidup saat ini menjadi satu bagian penting dalam value
based medicine dan penilaian efektivitas biaya.

Health related quality of life (HRQoL) adalah instrumen yang diambil dari
penilaian psikometrik menggunakan praktik yang kompleks dan mendalam dan
diformulasikan menjadi instrumen yang pendek, sederhana, dan mampu laksana.21
WHO mendefinisikan kualitas hidup sebagai “individual’s perception of his or her
position in life in the context of culture and value system”. Kualitas hidup bersifat
multidimensi yang secara konsisten dibagi menjadi enam domain yaitu fisik,
psikologis, materi, sosial, lingkungan, dan derajat ketergantungan. Domain
tambahan adalah untuk populasi khusus seperti pasien kondisi rentan atau memiliki
penyakit kronik. 22

Berbagai instrumen telah diuji untuk menilai kualitas hidup seseorang, salah
satunya yang umum digunakan pada pasien geriatri adalah EQ5D dan EQ5D-VAS.
Euroqol 5 Domain mengukur kualitas hidup terkait kesehatan dengan cara membuat
nilai indeks tunggal (dengan skala 0-100) melalui pengukuran lima dimensi:
mobilitas, perawatan diri, aktifitas harian, rasa nyeri/tidak nyaman, dan
cemas/depresi. Respon pasien yang menjawab terdiri dari tiga tingkat penilaian
yaitu 1) tidak ada masalah, 2) ada beberapa masalah/keterbatasan, dan 3) tidak
mampu sama sekali. Nilai setiap dimensi dihitung dan dikonversi menjadi indeks
EQ5D. 7

Instrumen EQ5D meliputi dua bagian yaitu bagian deskripsi dan bagian VAS
(visual analogue scale). Beberapa faktor dapat menjadi prediktor kualitas hidup
seperti jenis kelamin, status nutrisi, jumlah penyakit kronik yang diderita, status
fungsional, dan adanya depresi.23

Kualitas hidup pada pasien geriatri tak terlepas dari komorbiditas yang sering
menyertai. Komorbiditas pada pasien lanjut kadang tak bisa dihindari dan memiliki
efek negatif terhadap mortalitas, hospitalization, dan rehospitalization. Hunger,

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


13

24
dkk. memperlihatkan bahwa setiap kondisi kronik berhubungan dengan
menurunnya HRQoL, secara signifikan adalah riwayat stroke dan adanya bronkitis
kronik. Sebelumnya, HRQoL juga dihubungkan dengan indeks massa tubuh
pasien.25Dalam penelitian lain, Wicke, dkk. 26 menyimpulkan adanya depresi pada
geriatri lewat skor geriatric depression scale merupakan salah satu komorbiditas
yang harus dipertimbangkan yang akan memengaruhi kualitas hidup usia lanjut.

Pasien dengan disabilitas, seperti adanya fraktur leher femoral akibat osteoporosis
pada usia lanjut, ikut memengaruhi skor EQ5D dalam domain mobilitas , nyeri,
perawatan diri, dan ansietas. Prasad, dkk. 27 menunjukkan dari 21 pasien geriatri
dengan fraktur,sebanyak 57,1% bermasalah dengan mobilitas, 76,2% dengan nyeri,
81% dengan aktifitas biasa, 52,6% perawatan diri, dan 85,7% dengan ansietas. Skor
EQ5D kelompok fraktur 0,08 (SD 0,27) dibandingkan kontrol (0,971, SD 0,08)
dengan perbedaan yang signifikan (Z -4,05, p<0,001).

2.4. QUALITY ADJUSTED LIFE YEARS

Sejak WHO mendeklarasikan definisi sehat sebagai “…tak hanya tidak adanya
penyakit tetapi juga kesejahteraan fisik, mental, dan sosial”, mulailah periode
ketika penilaian kesehatan tak hanya data berupa penyakit. Model psikososial mulai
berkembang dengan pengenalan “kualitas hidup individual”. Pada saat ini konsep
biomedis diperkaya dengan kebutuhan individu tersebut untuk beradaptasi dengan
komunitas, disabilitas, akses kesehatan, dan persepsinya terhadap definisi well
being.

Pendekatan Quality adjusted life years (QALY) merupakan pendekatan model


biopsikososial yang menjembatani persepektif biologis dengan perspektif individu
ataupun masyarakat. QALY merupakan komposit yang menggabungkan kuantitas
dan kualitas hidup dalam satu indeks dengan cara mengkuantifikasi kualitas hidup
lewat konsep utilitas. Konsep ini didasarkan pada consumer choice theory bahwa
pelanggan menentukan apa yang dibeli berdasarkan budget dan preferensi, dan
preferensi untuk berbagai benda yang dikonsumsi disebut konsep utilitas. Dalam
dunia kesehatan, preferensi terhadap suatu kondisi kesehatan diebut utilitas yang
diekspresikan dalam skala numerik dari 0-1, dengan 0 merepresentasikan utilitas

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


14

untuk kondisi “mati” dan 1 untuk kondisi “sehat sempurna”. Konsep QALY sangat
sederhana yaitu mengasumsikan satu tahun seseorang hidup dalam kondisi sehat
sempurna bernilai 1 QALY (1 tahun hidup x 1 utilitas = 1 QALY), bila hidup per
tahun dengan kondisi kurang sehat berarti kurang dari nilai 1. 28

QALY saat ini makin banyak dimanfaatkan untuk mengukur luaran kesehatan
karena tiga karakternya. Pertama, mengombinasikan perubahan morbiditas
(kualitas) dan mortalitas (jumlah) dalam satu indikator. Kedua, mudah dikalkulasi
lewat multiplikasi sederhana. Ketiga, QALY merupakan bagian integral dari
analisis ekonomi kesehatan yaitu analisis-utilitas-biaya, dengan perbaikan
incremental ditunjukkan dengan nilai QALY. Keuntungan lebih lanjut QALY
adalah dapat menilai dan membandingkan efektivitas biaya berbagai intervensi
pada berbagai kondisi kehsehatan hingga menjadi masukan bagi penentu kebijakan
dalam mengalokasikan dana bagi suatu intervensi kesehatan.

2.5. LAMA MASA RAWAT GERIATR1

Dengan berbagai komorbiditas, lama masa rawat pasien geriatri secara natural lebih
lama dibandingkan pasien dengan penyakit tunggal. Hal ini akan memengaruhi
besaran biaya yang dikeluarkan untuk perawatan seorang geriatri.

Diperkirakan sekitar setengah dari pasien usia dewasa yang dirawat adalah usia 65
tahun atau lebih tua, meskipun usia 65 tahun ke atas dilaporkan hanya
merepresentasikan sekitar 12,5% dari populasi. Rerata lama masa rawat pasien
geriatri adalah 5,7 hari, berkurang dari 8,7 hari pada tahun 1990.29 Hal ini senada
30
dengan data yang disajikan oleh Russo, dkk. yang melaporkan bahwa biaya
perawatan geriatri berkisar US$ 7800 per perawatan pada tahun 1997 menjadi US$
9800 per perawatan pada tahun 2004 dengan beda rawat 6,4 hari pada tahun 1997
menjadi 5,7 hari pada tahun 2004.

31
Toshiyuki dkk. memperlihatkan demensia memperpanjang lama masa rawat
pasien geriatri dan menunjukkan ALOS berhubungan dengan jenis kelamin. Wanita
dilaporkan memiliki ALOS lebih lama dibanding laki-laki atas indikasi masalah
psikologis dan perilaku seperti demensia/alzheimer, demensia vaskular, atau
demensia tipe lain, yaitu 119 hari dibandingkan 83 hari (p=0,007). Meski demikian,

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


15

komorbiditas dan komplikasi lebih sedikit pada wanita (67,2% dan 41,2%)
dibandingkan laki-laki (77,3% dan 53,1%).

Demikian halnya, perawatan pasien geriatri juga dipengaruhi oleh adanya gangguan
psikiatri yang kerap menyertai misalnya depresi atau mood disorder. Pasien depresi
memiliki angka hospitalization lebih cepat setelah suatu home care dibanding
pasien tanpa depresi. Sheeran, T. dkk. 32 menemukan pasien geriatri dengan depresi
yang baru menjalani home care lebih cepat mengalami perawatan rumah sakit yaitu
8,4 hari dibandingkan dengan 19,5 hari pada pasien tanpa depresi.33Sedangkan
pasien geriatri dengan mood disorder juga mengalami masa rawat lebih lama
dibandingkan dengan pasien bukan geriatri.

Delirium juga merupakan kelainan mental yang meningkatkan lama masa rawat dan
biaya perawatan. Sekitar 10-13% pasien geriatri masuk rumah sakit dengan
diagnosis delirium, dan pada pasien geriatri yang rapuh, angkanya mencapai 60%.
Prevalensi delirium saat perawatan paska coronary artery bypass graft (CABG)
mencapai 33,6%, setelah knee replacement bilateral 41%, setelah fraktur panggul
mencapai 43-61%, pasien perawatan intensif 41%, dan pasien kanker 18%. Siddiqi,
dkk. 34 membuktikan bahwa faktor risiko terjadinya delirium ini berkorelasi dengan
gangguan tidur post operasi dan adanya demensia.

Komorbiditas juga terbukti memperlama masa rawat, meski beberapa penelitian


menunjukkan hasil berbeda. Komorbiditas diabetes hanya menambah masa rawat
satu hari dibandingkan tanpa diabetes pada pasien geriatri yang sedang menjalani
operasi fraktur femur akibat osteoporosis, dengan RR 1,13 (95% CI 0,98-1,3,
p=0,17) yang dianggap tidak bermakna.35

36
Kaye, dkk. membuktikan bahwa infeksi aliran darah atau BSI (blood stream
infection) juga memperpanjang lama masa rawat dibanding mereka yang tidak
terkena infeksi. Dilaporkan median lama masa rawat 23 (IQR 14-36 hari) pada
geriatri yang mengalami BSI dibandingkan 15 (IQR 8-27 hari) yang tidak, dengan
rerata LOS 29,2 SD 27,2 dibandingkan 20,2 SD 18 setelah disesuaikan dengan
beberapa faktor. Tagihan rumah sakit akibat infeksi ini meningkat dengan median
$ 65,037 (IQR 33,097-230,395) dengan mean $102,276 SD 118,79 (p<0,001)

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


16

dibandingkan kontrol median $ 35,596 (IQR 15,7-82,883), mean $43,208 (95% CI


$30,665-58,54).

Karena rerata lama masa rawat lebih besar pada populasi pasien geriatri dan hal ini
terkait dengan peningkatan biaya rawat, beberapa penelitian berusaha mencari cara
untuk menilai efektivitas biaya suatu intervensi pada kelompok populasi ini. Garcia,
37
dkk. memprediksi lama masa rawat pasien geriatri post operasi panggul
menggunakan skor ASA dengan hasil setiap kenaikan satu nilai ASA, rerata lama
masa rawat akan naik sebanyak 2,053 hari (p<0,001) dengan biaya perhari sebesar
$4530 yang meningkat menjadi $9300. Penelitian ini dilakukan sebagai dasar
alokasi pembiayaan melalui mekanisme prospektif Medicare, yang merupakan
asuransi berbasis DRG (diagnosis related Goals) di Amerika Serikat.

Adanya ulkus dekubitus bisa memprediksi biaya dan lama masa rawat yang lebih
lama. Theisen, dkk. 38 melaporkan ulkus dekubitus memperlama masa rawat, rerata
lama masa rawat 19 hari (SD 16,4), median 15 hari (25% persentil 7, 75% persentil
27). Pada mereka yang memiliki masa rawat lebih atau sama dengan 30 hari, ulkus
dekubitus biasanya disertai dengan komorbiditas seperti DM, infeksi didapat di
rumah sakit, perawatan ICU ataupun ventilator. Dengan sistem pembayaran DRG
oleh US Medicare, adanya ulkus dekubitus membuat terjadinya prolong admission
time yaitu 2,6 hari lebih dari yang diperkirakan. Meski demikian, terdapat variabel
lain selain ulkus dekubitus yang memperlama masa rawat yaitu infeksi kuman
multiresisten, perawatan ICU > 24 jam, penggunaan ventilator >24 jam, adanya
keterlambatan tindakan, obesitas, gangguan ginjal, dan faktor sosial yang
menyebabkan alokasi DRG tidak sesuai dengan pembiayaan.

2.6. PERKEMBANGAN SISTEM ASURANSI KESEHATAN

Sistem pembayaran pasien mau tak mau ikut menentukan keputusan klinis seorang
dokter dalam menentukan intervensi pada pasien. Saat ini hampir seluruh negara
maju di Eropa dan Amerika telah memiliki jaringan asuransi kesehatan nasional
yang mendanai berbagai intervensi kesehatan di berbagai rumah sakit. Tujuannya
adalah untuk meningkatkan dan menyamakan kualitas pelayanan kesehatan. Sistem
pembayaran fee for service menyebabkan rumah sakit berlomba memberikan

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


17

intervensi yang belum tentu memiliki efektivitas biaya bagi pasien yang pada
akhirnya dapat merugikan pasien dan menyebabkan pelayanan menjadi tidak
merata.

Jaminan kesehatan melalui pembayaran berbasis asuransi kesehatan sosial pertama


kali dicetuskan di Inggris pada tahun 1912, berdasarkan apa yang telah
diselenggarakan di Jerman tahun 1883. Setelah itu banyak negara mengembangkan
sistem pembayaran nasional seperti di Kanada (1961), Taiwan (1995), Filipina
(1997), dan Korea Selatan (2000). Penetapan pembiayaan yang dipakai oleh
asuransi kesehatan sosial dapat melalui berbagai mekanisme, salah satu yang
banyak dianut adalah berdasarkan klasifikasi diagnosis related groups (DRG) atau
case based group (CBG) atau casemix. 39

2.6.1. Diagnosis Related Groups dan Case Based Groups

Klasifikasi diagnosis related groups dikembangkan pertama kali di universitas


Yale pada tahun 1970-an. Medicare memperkenalkan DRG sebagai model
pembayaran mulai tahun 1983. Setelah itu, DRG merupakan sistem pembayaran
yang banyak di adopsi di berbagai negara industri termasuk Eropa. Eropa
menggunakan sistem klasifikasi pembayaran DRG agar pembiayaan kesehatan
lebih transparan dan memperbaiki efisiensi. DRG dianggap transparan karena
mengelompokkan pasien dalam angka-angka yang secara ekonomi dan klinis
bermakna dan dapat diukur misalnya penggantian panggul primer (primary hip
replacement) secara elektif atau transient ischemic attack pada pasien di bawah 70
tahun. DRG juga dianggap efisien karena menyediakan insentif bagi rumah sakit
dengan cara membatasi pelayanan per pasien hingga secara jumlah lebih banyak
pasien tertatalaksana. Pada akhirnya, tahun 1990-an kebanyakan negara Eropa
sudah mengembangkan sistem DRG.40

Sejak tahun 1990-an, sistem pembayaran DRG sudah menjadi sistem pembiayaan
utama di berbagai rumah sakit untuk pasien rawat inap akut di negara
berpenghasilan tinggi dengan harapan efisiensi meningkat. Di Eropa, sistem ini
mendapat banyak dukungan dan dilaporkan dapat membantu meningkatkan

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


18

efisiensi rumah sakit dengan cara mengurangi rerata lama masa rawat tetapi di sisi
lain meningkatkan jumlah kasus. Tetapi di negara dengan penghasilan kecil-
menengah, sistem berbasis DRG ini baru saja dikembangkan.

Sistem pembayaran DRG sering disamakan dengan case-based atau case-mixed


based, tetapi keduanya tidak serupa meski saling bisa tumpang tindih. Pada
praktiknya, sistem berbasis DRG memiliki algoritme DRG, dengan karakteristik
utama sistem pembayaran (1) sistem klasifikasi kasus pasien lengkap, dan (2)
formula pembayaran yang didasarkan oleh rerata basal dikalikan dengan harga
relatif sesuai dengan masing-masing DRG. 41

2.6.2. Perkembangan Asuransi Kesehatan dengan Klasifikasi Casemix di


Indonesia

Indonesia pertama kali diperkenalkan dengan skema asuransi berbasis komunitas


pada tahun 2004. Melalui Asuransi Kesehatan Masyarakat miskin (Askeskin) yang
ditargetkan untuk masyarakat tidak mampu, penduduk Indonesia mampu
mendapatkan akses pelayanan yang lebih besar. Pada tahun 2008, Askeskin
berubah menjadi Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang melindungi
sekitar 76,4 juta penduduk Indonesia. Pada evaluasinya, terjadi peningkatan budget
menjadi tiga kali lipat dibandingkan awal program yang menyebabkan pengeluaran
anggaran untuk kesehatan membengkak. Muncul pertanyaan yang mendasar terkait
ekuitas, kemampuan bayar, dan kelanggengan program lewat sistem asuransi
kesehatan ini. Pada akhirnya sistem ini menyebabkan banyak inefisiensi karena
luasnya geografi Indonesia, adanya ketimpangan urban-rural, dan
ketidakseimbangan antara pasien yang benar-benar tidak mampu atau pasien yang
sebenarnya mampu, sampai lemahnya pengawasan terhadap kualitas pelayanan
melalui sistem ini. 42

Berdasarkan berbagai hal tersebut, dibuatlah undang-undang tentang SJSN (Sistem


Jaminan Sosial Nasional) dan Undang-undang No.24 tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) yang pelaksanaannya dimulai pada tanggal
1 Januari 2014, lewat nama Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Targetnya adalah

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


19

Jaminan Kesehatan Nasional (INA-Medicare) untuk seluruh penduduk Indonesia


pada tahun 2019. Sistem penghitungan pembiayaan asuransi kesehatan JKN
mengadaptasi sistem casemix dari United Nation University International Institute
for Global Health (UNU-IIGH). Sistem ini bersifat dinamis artinya total jumlah
CBG dapat berubah sesuai keadaan. Sistem ini juga telah dilakukan di beberapa
negara Asia, Timur tengah, Amerika Selatan, Afrika, dan Eropa, terutama di
negara-negara sedang berkembang.

Sistem casemix yang dikembangkan oleh UNU IIGH ini juga merupakan sistem
yang terutama dibuat untuk negara-negara berkembang, menggunakan sistem
klasifikasi yang menggabungkan beberapa unsur:37

- Meliputi seluruh tipe perawatan: akut, subakut, kronik

- Bersifat dinamis: jumlah diagnosis dapat disesuaikan, menilai derajat berat


penyakit, klasifikasinya sangat detail

- Dapat dikembangkan bila terjadi perubahan klasifikasi prosedur dan


diagnosis (misalnya bila menggunakan ICD-11)

Kelemahan dari sistem ini adalah tidak menyertakan kelainan yang berkaitan
dengan status fungsional dan disabilitas menyebabkan tidak terklasifikasikannya
pasien-pasien berkebutuhan khusus seperti pasien dengan gangguan komunikasi
yang datang ke rumah sakit karena penyakit akut atau pasien dengan gangguan
status fungsional seperti pada pasien geriatri.

WHO telah membuat ICF (International Classification of functioning, disability,


and health), suatu klasifikasi diluar ICD 10 atau ICD 9, yang termasuk dalam
klasifikasi internasional WHO, mengklasifikasikan kondisi kesehatan terkait fungsi
dan disabilitas. ICD-10 dan ICF selayaknya bersifat komplementer dan penggunaan
keduanya akan menciptakan gambaran kesehatan individu yang lebih bermakna.
Beberapa negara seperti Singapura, Italia, Amerika Serikat, dan Inggris Raya telah
memasukkan informasi fungsional ke dalam klasifikasi casemix, hasilnya

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


20

memperlihatkan perubahan luaran salah satunya adalah rerata lama masa rawat
yang lebih besar. 38

Di Amerika Serikat, sistem pembiayaan kesehatan nasional US Medicare juga telah


mengembangkan metode pembayaran CBG sejak tahun 1983 yang juga merupakan
pengembangan dari DRG. Sistem pembiayaan ini menggunakan mekanisme fixed
rate untuk setiap kasus rumah sakit yang dirawat. CBG dianggap memiliki
keunggulan sebagai alat yang dapat menilai konteks dan situasi yang bervariasi luas
karena dapat me-reorientasi pembiayaan dari berbagai masukan dan dapat menjaga
infrastruktur rumah sakit untuk membiayai luarannya. Selain itu, CBG merupakan
cara untuk memberi peluang pada rumah sakit agar efisien dan berkompetisi untuk
memberikan pelayanan yang terbaik. 39

Di Indonesia, sistem DRG/CBG mulai digunakan oleh Jamkesmas pada tahun


2010. Berdasarkan definisinya, sistem ini dihitung menggunakan beberapa
variabel: diagnosis utama dan diagnosis sekunder, usia, adanya komorbiditas dan
komplikasi dan prosedur kedokteran yang dilakukan, serta lama masa rawat untuk

Klasifikasi
penyakit

Casemix

Biaya Clinical
pathway

Gambar 2.2 Komponen sistem casemix40

kasus tertentu. Diagnosis yang tertera dicirikan dengan pola pengobatan dan
pelayanan yang sama, sehingga secara medis dan ekonomi dianggap serupa.

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


21

Penentuan casemix didasarkan pada klasifikasi penyakit dan biaya yang harus
dikeluarkan untuk suatu intervensi, yang digambarkan melalui suatu clinical
pathway. Sistem pembayaran ini diharapkan dapat menghindari moral hazard dan
akan “memaksa” dokter untuk menggunakan teknologi atau obat yang efektif
biaya.40

Sistem CBG cenderung menciptakan insentif untuk meningkatkan jumlah kasus


yang diterima, mengontrol biaya, dan mengurangi rerata lama masa rawat.
Berkurangnya rerata lama masa rawat lewat sistem ini terbukti sejak
diimplementasikan dalam US Medicare, yang memperlihatkan rerata lama masa
rawat menurun 15% dalam tahun pertama terutama pada kasus-kasus kronik dan
elektif. Sistem ini cenderung membuat rumah sakit menghindari kasus-kasus
berbiaya mahal, atau membagi kasus yang mahal dalam beberapa kali rawat, yang
menyebabkan kesulitan pada pasien dengan penyakit derajat berat (severely ill).
Karena pembayaran dihitung per unit luaran, misalnya setiap suatu discharge
pasien, diharapkan terdapat insentif setiap kali peningkatan efisiensi, berbeda
dengan pembiayaan per kasus yang akan menciptakan hanya sedikit atau tidak ada
insentif untuk tiap kenaikan efisiensi. Sistem ini dapat menciptakan surplus untuk
beberapa kasus tetapi kehilangan untung untuk kasus lain. Persaingan antar rumah
sakit akan berasal dari seberapa efisiennya suatu kasus ditatalaksana, dan surplus
itu akan didinvestasikan untuk memperbaiki kualitas pelayanan selanjutnya.
Misalnya, di Korea, sistem CBG menurunkan 14% biaya rerata disebabkan
penggunaan antibiotika yang lebih rasional karena efisiensi ini.43

Dengan sistem ini, pemilihan tatalaksana yang paling efisien menjadi kunci untuk
memberi insentif pada sebuah rumah sakit. Ini menyebabkan berkembangnya
berbagai penelitian medis yang menyertakan analisis efektivitas biaya ataupun
analisis utilitas biaya sebagai bahan masukan penentu kebijakan untuk menilai
apakah suatu intervensi efektif biaya atau tidak sebagai bentuk efisiensi.

2.7. TELAAH ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA

Salah satu cara untuk memberi masukan bagi penentu kebijakan bidang kesehatan
dan dokter dalam menentukan keputusan klinis adalah melalui bukti dalam bentuk

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


22

cost effectiveness analysis (analisis efektivitas biaya). Metodologi ini


membandingkan dampak dan harga dari berbagai program di berbagai negara yang
berbeda. Analisis ini dapat menjembatani antara keinginan peneliti dengan
keinginan penentu kebijakan melalui penyajian bukti keilmuan.

Analisis efektivitas biaya tidak menyediakan informasi yang cukup bagi penentu
kebijakan untuk membuat suatu keputusan terkait program atau intervensi. Tetapi,
analisis ini akan menjadi awal kolaborasi antara peneliti dengan penentu kebijakan
dalam menilai efikasi suatu program dan relevansinya terhadap situasi khusus.

Analisis efektivitas biaya adalah suatu cara untuk membantu membuat keputusan
di berbagai bidang baik pendidikan, kesehatan, industri dalam suatu badan
(pemerintah/swasta). Alat ini mengidentifikasi cara atau program yang paling
efisien. Sebagai bagian evaluasi, analisis ini juga dapat menilai efisiensi dari suatu
program atau suatu proyek dari sudut ekonomi.

Analisis efektivitas biaya memiliki langkah-langkah sebagai berikut:

Gambar 2.3 Langkah-langkah analisis efektivitas-biaya

Kelebihan dari analisis ini adalah merupakan alat evaluasi sederhana untuk
membuat/merekomendasikan suatu intervensi/program yang membandingkan dua
intervensi yang berbeda dengan tujuan yang sama. Kekurangannya adalah berfokus
pada dampak yang secara langsung disebabkan oleh intervensi sehingga luaran
disederhanakan dan tidak bisa menganalisis luaran sekunder atau tak langsung.44

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


23

Tujuan dari studi efektivitas biaya kesehatan adalah mengevaluasi luaran dan biaya
suatu intervensi yang didisain untuk memperbaiki kesehatan. Hasil dari analisis ini
akan menjadi panduan para pembuat kebijakan untuk membuat keputusan
berdasarkan informasi objektif untuk memaksimalkan efektivitas biaya terhadap
luaran kesehatan per unit monetari yang dikeluarkan.

Evaluasi ini disajikan dalam bentuk ICER (incremental cost-effectiveness ratio)


yang secara perbandingan menganalisis biaya dengan efek dari dua atau lebih
intervensi. Umumnya, suatu intervensi baru akan dibandingkan dengan yang lama,
bisa berupa intervensi standar atau tidak ada intervensi sama sekali. Luaran evaluasi
ekonomik diekspresikan dalam bentuk rasio biaya dan hubungannya terhadap efek.
Beberapa tipe evaluasi ekonomi yang digambarkan dalam Tabel 1.

Tabel 2.1 Perbandingan berbagai model evaluasi ekonomi

Metode Biaya Efek Pertanyaan evaluasi

Analisis efektivitas Unit monetari Unit alami (life- Perbandingan


biaya years gained, luka intervensi dengan
bakar yang bisa tujuan yang sama
dicegah)

Analisis utilitas Unit monetari Utilitas dan QALY Perbandingan


biaya atau DALY intervensi dengan
tujuan yang berbeda

Analisis Unit monetari Efek tidak diukur Biaya yang lebih


minimalisasi biaya karena dianggap sedikit diantara dua
sama program dengan
luaran yang sama

Analisis Unit monetari Unit monetari Apakah


keuntungan-biaya keuntungannnya
sebanding dengan
biaya

Dua jenis analisis yang sering digunakan dalam dunia kesehatan adalah analisis
efektivitas biaya dan utilitas biaya. Analisis efektivitas biaya merupakan evaluasi
ekonomi kesehatan yang paling langsung melihat perbedaan luaran dari suatu
intervensi. Sedangkan analisis utilitas biaya menghitung biaya per unit utilitas (unit
yang berkaitan dengan well being manusia). Unit yang paling sering digunakan

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


24

adalah QALY dan DALY (disability adjusted life years). Luaran pengukuran
analisis utilitas-biaya merupakan suatu rasio yang merepresentasikan jumlah
QALY atau DALY yang didapat sebagai hasil dari suatu intervensi disertai biaya
per unit monetari dari intervensi yang diberikan. Analisis ini dapat digunakan untuk
memutuskan intervensi yang paling baik berdasarkan alokasi dana kesehatan secara
keseluruhan. Analisis ini dianggap suatu varian dari analisis efektivitas biaya
dengan tujuan yang lebih luas namun lebih kompleks dalam menilai luaran.44

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


KERANGKA TEORI

25
Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. KERANGKA KONSEP

Sistem pembiayaan: • Kualitas hidup


JKN • Lama masa rawat
Pra-JKN • Efektivitas biaya

3.2. DEFINISI OPERASIONAL

Variabel Definisi operasional Cara pengukuran Skala

Lama masa Lama seseorang  Mencatat dari electronic Rasio


rawat dirawat sejak masuk ke health record
Instalasi gawat darurat  Melakukan pengurangan
hingga pulang atau tanggal/bulan/tahun pasien
meninggal, dalam pulang/meninggal dengan
satuan hari tanggal/bulan/tahun pasien
diterima di IGD

EQ5D masuk Status kualitas hidup  Menelusuri data status Rasio


subjek saat masuk geriatri dokter yang merawat
ruang rawat yang atau data soft dari divisi
didapat dari formulir geriatri IPD RSCM
euroqol 5 domain  Mengkonversikan data dari
lima domain menjadi satu
indeks menggunakan index
calculator EuroQol

EQ5D keluar Status kualitas hidup  Menelusuri data status Rasio


subjek saat masuk geriatri dokter yang merawat
ruang rawat atau data soft dari divisi
geriatric IPD RSCM
 Mengkonversikan data dari
lima domain menjadi satu
indeks menggunakan index
kalkulator EuroQol

EQ5D gain Perubahan status  Mendapatkan data EQ5D Rasio


kualitas hidup masuk dan keluar
 Mengurangi EQ5D keluar
dengan EQ5D masuk

QALD Singkatan dari Quality  Mendapatkan data EQ5D Rasio


adjusted life days, gain
mencerminkan kualitas

26
Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


27

hidup dalam satuan  Mengalikan EQ5D gain


hari. dengan lama masa rawat

Pembiayaan Pembiayaan yang  Sistem pembiayaan pasien Nominal


JKN ditanggung oleh dilihat dari electronic health Ya/tidak
pemerintah (BPJS) record
dengan sistem
klasifikasi INA CBG
sejak 1 januari 2014

Pembiayaan Sistem pembiayaan  Sistem pembiayaan pasien Nominal


sebelum JKN sebelum JKN dilihat dari electronic health Ya/tidak
diberlakukan. record

Biaya total Biaya yang dikeluarkan  Diambil dari electronic Rasio


perawatan oleh rumah sakit untuk health record
satu periode perawatan  Menghitung total biaya dari
pasien, dalam satuan kolom biaya rawat, material,
rupiah. jasa medis, sarana, dan
penunjang

Sindrom Sindrom klinis pasien  Mencatat dari rekam medik Nominal


geriatri lanjut usia yang tidak pada kolom diagnosis Ya/Tidak
dapat dikategorikan masuk/selama/pulang rawat
dalam penyakit spesifik
tertentu, terdiri dari
instabilitas dan/atau
jatuh, gangguan
kognitif ringan,
depresi, inkontinensia
urin dan alvi,
immobilisasi,
dekubitus, Malnutrisi

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


BAB 4
METODE PENELITIAN

4.1. DESAIN
Desain penelitian ini adalah kohort dengan kontrol historis.42 Kohort pertama
merupakan pasien yang dirawat pada saat sistem pembiayaan sebelum JKN (Juli
2013-Desember 2013), kohort kedua merupakan pasien yang dirawat pada saat
sistem pembiayaan JKN diberlakukan (Januari-Juni 2014). Kohort pertama
merupakan kontrol bagi kohort kedua.

4.2. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN


Penelitian dilakukan terhadap pasien-pasien di ruang rawat geriatri akut FKUI-
RSCM di atas 60 tahun. Sebagai kontrol, sampel diambil periode waktu Juli-
Desember 2013. Untuk kelompok JKN, diambil sampel dari periode Januari-Juni
2014. Data kedua periode waktu tersebut diambil dari rekam medik di pusat rekam
medik dan/atau data EHR (electronic Health Record).Tempat penelitian adalah
ruang rawat geriatri akut di lantai 8 Gedung A RS Cipto Mangunkusumo.

4.3. POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN


 Populasi target adalah pasien usia lebih dari 60 tahun yang mendapat P3G
dan dirawat di ruang rawat geriatri akut RSCM
 Populasi terjangkau adalah pasien geriatri yang mendapat P3G dirawat di
ruang rawat geriatri akut pada periode penelitian.
 Sampel penelitian adalah pasien-pasien yang memenuhi kriteria
inklusi/eksklusi penelitian. Semua pasien yang masuk dalam kriteria inklusi
pada periode penelitian akan diikutsertakan.

28
Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


29

4.4. KRITERIA PEMILIHAN SUBJEK PENELITIAN


4.4.1. Kriteria Inklusi
1. Orang usia lanjut (usia ≥60 tahun).
2. Dirawat dengan diagnosis satu atau lebih mencakup sindrom geriatri:
sindrom delirium, instabilitas dan/atau jatuh, gangguan kognitif ringan,
depresi, inkontinensia urin dan alvi, dekubitus, imobilisasi.
3. Mendapatkan tatalaksana secara P3G.
4.4.2. Kriteria Eksklusi
1. Pasien meninggal dalam 24 jam pertama perawatan rumah sakit.
2. Pasien pindah ke ruang rawat lain sebelum selesai penelitian.
3. Pasien melewati dua sistem pembiayaan JKN dan sebelum JKN.
4. Rekam medik tidak ditemukan sampai akhir masa penelitian

4.5. ESTIMASI BESAR SAMPEL


Karena dalam analisis, selain analisis utama yaitu analisis efektivitas biaya, peneliti
juga akan melihat ada tidaknya perbedaan dua rerata lama masa rawat dan kualitas
hidup, jumlah sampel mengikuti penghitungan sampel perbedaan dua rerata.
Estimasi besar sampel untuk lama masa rawat dan skor kualitas hidup pasien
dihitung menggunakan rumus uji hipotesis beda dua rerata (mean) sebagai berikut

n = 2{(Z1-α/2 + Z1-β)s}2
(x1 – x2)2

Z1-α= nilai Z pada derajat kepercayaan 1-α/2 atau derajat kemaknaan α pada uji dua
sisi yakni 1,96.
Z1-β = nilai Z pada kekuatan uji (power) 1-β = 90% yakni 1,28
x1 = rerata pada kelompok intervensi (JKN)
x2 = rerata pada kelompok sebelum intervensi (sebelum JKN)
s2 = standar deviasi beda rerata, sehingga s adalah akar dari s2

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


30

s2 dihitung dengan rumus [(n1-1)s12 + (n2-1)s22]


(n1-1) + (n2-1)

S12 : standar deviasi x1


S22: standar deviasi x2

Lama masa rawat


n1 = 107 pasien7, dengan n1=n2, maka n2 = 107 subjek
x1= 10,99 ± 0,79 hari
x2 = Belum ada penelitian lama masa rawat selama periode JKN, sehingga
diperkirakan lama masa rawat 9 ± 4.25 hari
Dengan rumus di atas, diperoleh n pada penelitian ini adalah 98,2 subjek, dibulatkan
menjadi 100 subjek

Kualitas hidup
Dengan rumus yang sama dari penelitian soejono dkk.7, n1=n2= 107 subjek
x1 = 0,71 ± 0,04 (standar deviasi dianggap ± 0,35)
x2 = belum ada penelitian kualitas hidup selama periode JKN, sehingga
diperkirakan kualitas hidup saat pulang 0,81 ± 0,4
Dengan rumus di atas, diperoleh n pada penelitian ini adalah 29,4 subjek
(dibulatkan menjadi 30 subjek)

Sedangkan untuk analisis efektivitas biaya, jumlah sampel adalah total sampel
sehingga sampel yang dibutuhkan sesuai dengan penghitungan di atas.

4.6. TATA CARA PENGUMPULAN DATA

Peneliti mengumpulkan daftar pasien yang dirawat di ruang rawat geriatri akut
melalui data yang ada di lantai 8 RSCM pada periode Juli 2013-Juni 2014. Data
dicocokkan dengan rekam medik yang ada di pusat rekam medik RSCM. Semua
pasien yang masuk ke dalam kriteria inklusi dipilih dan dicatat identitas, jenis
kelamin, usia, status, jenis pembiayaan, pengeluaran per bulan, tanggal masuk, skor
ADL/WHO-Unescap, EQ5D, skor depresi, MMSE, MNA, diagnosis, adanya
imobilisasi, ulkus dekubitus, demensia, delirium akut, jumlah obat, nilai

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


31

laboratorium penting dan tanggal diperbolehkan pulang serta kondisi saat pulang
(meninggal, pulang atas permintaan sendiri, atau sembuh). Sesuai dengan nomor
rekam medik, dilakukan penelurusan data komputer untuk mengetahui biaya yang
dikeluarkan RSCM selama perawatan dalam satuan rupiah.

 Variabel independen adalah sistem JKN dan sebelum JKN.

 Variabel dependen adalah lama masa rawat dan kualitas hidup pasien geriatri
dalam bentuk QALD (Quality Adjusted Life Days).

Data yang didapat akan dikumpulkan dalam program Microsoft excel. Analisis
statistik menggunakan program SPSS.

Biaya yang didapat selama masa rawat dan QALD per pasien sebelum intervensi
JKN akan dibandingkan dengan biaya selama masa rawat dan QALD per pasien
sesudah intervensi melalui penghitungan incremental cost effectiveness ratio.

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


32

6.7. ALUR PENELITIAN

Pasien masuk IGD dan dirawat di ruang rawat geriatri


akut RSCM dengan metode P3G

Pendataan Sosiodemografik, diagnosis, komorbiditas, sindrom


geriatri, ADL, EQ5D masuk dan keluar, IMT, lama masa rawat,
biaya perawatan, data tindakan/terapi, laboratorium dasar

Analisis data: uji t test independen, alternatif dengan Mann whitney.


Dihitung incremental cost effectivity ratio dan plotting dalam skema
ICER

Penyusunan laporan dan publikasi

4.7. ANALISIS DATA

Tabulasi dilakukan menggunakan program pengumpulan data elektronik Microsoft


Access 2010, sedangkan analisis data menggunakan program SPSS 20.Data
karakteristik sosio-demografik, diagnosis klinis, mortalitas rumah sakit,
komorbiditas, ADL, tindakan, dan IMT dijabarkan dengan menggunakan metode
statistik deskriptif. Data yang dikumpulkan sebelum periode JKN disebut sebagai
kelompok pra JKN dan sesudah periode JKN sebagai kelompok JKN. Untuk
membandingkan dua rerata lama masa rawat dan nilai EQ5D digunakan uji t tidak
berpasangan. Incremental cost effectiveness ratio (ICER) dinilai untuk menilai
rasio efektivitas intervensi yaitu sistem pembiayaan hubungannya dengan efek.

Rumus ICER adalah:

 Biaya program baru – lama


Efek program baru – efek lama

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


33

ICER dihitung berdasarkan rerata biaya yang dikeluarkan selama masa rawat
sesudah periode JKN dikurangi rerata biaya selama masa rawat sebelum periode
JKN dibagi dengan rerata lama masa rawat sesudah periode JKN dikurangi rerata
lama masa rawat sebelum periode JKN. Nilai ini akan di plot dalam suatu kurva
dengan garis x menandakan perbedaan efek lama masa rawat dan garis y
menandakan perbedaan biaya yang dikeluarkan.

Sedangkan Quality adjusted life-days dinilai untuk melihat adakah perbaikan


kualitas hidup lewat suatu intervensi baru dibandingkan intervensi lama. Intervensi
dalam hal ini adalah perubahan sistem pembiayaan. Secara rumus, nilai QALY atau
QALD dapat dihitung sebagai EQ5D yang diterjemahkan dalam konsep utilitas
berdasarkan suatu value set, kemudian dihitung perubahannya setelah suatu periode
rawat (QALD gain) sebagai berikut:41

QALD gain = (Lama masa rawat x [EQ5Dpulang - EQ5Dmasuk])

Lama masa rawat : rerata lama masa rawat pasien

EQ5Dpulang : index value EQ5D yang dicapai pasien saat pulang

EQ5Dmasuk: index value EQ5D saat pasien baru masuk perawatan

Selanjutnya ICER dinilai dengan cara mengurangi rerata biaya yang ditanggung
JKN selama periode t dikurangi rerata biaya yang ditanggung sebelum JKN selama
periode t dibagi dengan rerata QALD selama periode JKN dikurangi rerata QALD
selama periode sebelum JKN dan diplot dalam skema Incremental Cost
Effectiveness Ratio.

4.8. Masalah etika

Penelitian ini diambil dari rekam medik rumah sakit. Penelitian ini dimintakan
ethical clearance dari Panitia Etik Penelitian Kedokteran FKUI
(No753/UN2.F1/ETIK/1014). Semua data rekam medik yang dipergunakan akan
dijaga kerahasiaannya.

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


34

4.9. Penulisan dan Pelaporan Hasil Penelitian

Hasil penelitian ini akan diajukan untuk dipublikasikan di dalam jurnal kedokteran
atau kesehatan nasional dan/atau internasional. Secara keseluruhan hasil akhir
penelitian dibuat dalam bentuk tesis sebagai salah satu syarat untuk mencapai
sebutan Spesialis Ilmu Penyakit Dalam di Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


BAB 5

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan pada bulan September-Oktober 2014 dengan mempelajari


rekam medis pasien geriatri yang dirawat di ruang geriatri akut pada dua periode,
yaitu periode sebelum JKN sebagai kontrol dan periode JKN sebagai kelompok
studi. Periode sebelum JKN diambil dari periode perawatan juni-desember 2013,
dan periode JKN dari bulan januari hingga juli 2014 dengan sistem pengambilan
total sampling. Bagan pengambilan dan inklusi sampel terdapat pada Gambar 5.1.
Tujuh puluh tiga subjek yang rekam medisnya tidak ditemukan terdiri dari 33
subjek dari kelompok pra JKN dan 40 subjek dari kelompok JKN.

Total sampling:
319 subjek
73 RM tidak lengkap/tidak
ada
40 subjek JKN
33 subjek sebelum JKN
Inklusi: 246 subjek
Eksklusi:
8 subjek pindah ruangan
13 subjek melintasi dua periode
pembiayaan
225 subjek

Sebelum JKN JKN


100 subjek 125 subjek

Gambar 5.1. Alur pengambilan sampel

35
Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


36

5.1. KARAKTERISTIK SUBJEK

Gambaran karakteristik demografi dijabarkan pada Tabel 5.1. Median usia 70 tahun
(rentang 60-86 tahun) dan 68 (rentang 60-85 tahun) pada era sebelum dan sesudah
JKN. Sebagian besar berada pada usia 60-69 tahun, diikuti kelompok usia 70-79
tahun. Sistem pembiayaan terbesar sebelum JKN adalah Askes (42%) diikuti KJS
(41%), sementara pada era JKN, semua ditanggung sistem pembiayaan JKN.

Tabel 5.1 Gambaran karakteristik demografik pada kelompok sebelum JKN dan
kelompok JKN
Karakteristik Subjek Kelompok sebelum JKN Kelompok JKN
n = 100 n = 125
Jenis kelamin, n(%)
Laki-laki 41 (41) 58 (46,4)
Perempuan 59 (59) 67 (53,6)
Usia, n(%)
60-69 tahun 48 (48) 72 (57,6)
70-79 tahun 44 (44) 42 (33,6)
80-89 tahun 8 (8) 11 (8,8)
Usia, median(rentang) 70 (60-86) 68 (60-85)
Status pernikahan, n(%)
Menikah 55 (55) 70 (56)
Tidak Menikah 1 (1) 0
Janda/Duda 21 (21) 26 (20,8)
Tidak ada data 23 (23) 29 (23,2)
Pendidikan, n(%)
Tidak sekolah-SD 28 (28) 37 (29,8)
SMP-SMA 24 (24) 29 (23,4)
Diploma-Sarjana 14 (14) 13 (10,5)
Tidak ada data 34 (34) 45 (36,3)
Pekerjaan, n(%)
Pegawai Negeri 3 (3) 4 (3,2)
Pegawai swasta 8 (8) 16 (12,8)
Pensiun 26 (26) 13 (10,4)
Tidak bekerja 37 (37) 55 (44)
Tidak ada data 26 (26) 37 (29,6)
Penghasilan, n(%)
<1 juta 21 (21) 30 (24)
1-3 juta 30 (30) 28 (22,4)
3-5 juta 4 (4) 10 (8)
>5 juta 0 2 (1,6)
Tidak ada data 45 (45) 55 (44)
Sistem pembiayaan, n(%)
Askes 42 (42) -
KJS 41 (41) -
Umum 8 (8) -
Jamkesda 6 (6) -
Jamkesmas 3 (3) -
JKN - 125 (100)

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


37

Tabel 5.2 menyajikan karakteristik berdasarkan profil medis yaitu diagnosis, ADL,
meninggal/tidak selama rawat, dan status nutrisi berdasarkan IMT. Pneumonia
selama perawatan (68% vs. 68,8%), sedangkan infeksi non pneumonia terdiri dari
infeksi saluran kemih, infeksi kulit dan jaringannya, diare, osteomielitis, empiema,
dan abses organ. Pada akhirnya, subjek yang meninggal selama perawatan adalah
28% vs. 31,2% secara berurutan. Diagnosis terbanyak pada kelompok yang
meninggal adalah pneumonia (79,1%), disusul sepsis (68,7%), dan sindrom
delirium akut (64,2%).

Tabel.5.2. Karakteristik subjek berdasarkan keluhan utama, diagnosis, geriatrics


giants, ADL gain dan outcome rawat.
Karakterikstik Subyek Sebelum JKN JKN
n= 100 n = 125
Diagnosis selama rawat, n(%)
Pneumonia 68 (68) 85 (68,8)
ACS 34 (34) 49 (39,2)
Sepsis 29 (29) 38 (30,4)
Infeksi bukan pneumonia 27 (27) 38 (31,2)
Diabetes dan komplikasi 22 (22) 24 (19,2)
Malignansi 22 (22) 20 (16)
Perdarahan saluran cerna 22 (22) 17 (13,6)
Gagal jantung 18 (18) 18 (14,4)
Stroke 9 (9) 13 (10,4)
Aritmia 12 (12) 12 (9,6)
CKD stage V on HD 8 (8) 10 (8)
Fraktur 7(7) 3(2,4)
Penyakit koroner akut 7 (7) 5 (4)
Sirosis hepatis 6 (6) 5 (4)
PPOK 3 (3) 5 (4)
Geriatrics giants, n(%)
Imobilisasi 54 (54,5) 62 (54,9)
Sindrom delirium akut 38 (38,4) 46 (41,1)
Instabilitas riw jatuh 32 (32,3) 42(37,5)
Ulkus dekubitus 18 (18,2) 19 (17,0)
Malnutrisi 12 (12,1) 9 (8,0)
Inkontinensia uri 11 (11,1) 9 (8,0)
Depresi 8 (8,1) 6 (5,4)
Inkontinensia alvi 6 (6,1) 3 (2,7)
Mild cognitive impairment 4 (4) 6 (5,4)
Demensia 4 (4,0) 11 (9,8)
ADL, median (rentang) 1(-5 sd. 13) 2(-5sd. 15)
Meninggal selama rawat, 28 (28) 39 (31,2)
n(%)
Indeks massa tubuh
<18,5 14 (20) 19 (26,8)
18,5-22,9 21 (30) 23 (32,4)
>23 35 (50) 29 (40,8)

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


38

Adanya tindakan bedah dan intervensi non bedah disajikan untuk menggambarkan
faktor yang kemungkinan terkait lama masa rawat dan biaya perawatan (Tabel.5.3).

Tabel.5.3. Tindakan selama perawatan


Tindakan selama rawat, Sebelum JKN JKN
n% n= 100 n=125
Tanpa tindakan 56 (56) 75 (60)
Tindakan bedah* 9 (9) 17 (13,6)
Tindakan non bedah+ 35 (35) 33 (26,4)
* debridement, nefrostomi, pintas arteriovena, STSG, double J stent
+ endoskopi, kolonoskopi, ligasi varises esofagus, pemasangan CDL dan CVC, kateterisasi jantung,

dialisis, pemasangan mini drain, aspirasi cairan asites, pleura dan abses hati, ekstraksi gigi, FEES,
BMP, bronkoskopi, dan biopsi

5.2. PERBANDINGAN LAMA MASA RAWAT ANTARA ERA JKN


DENGAN SEBELUM JKN
Rerata lama masa rawat pasien yang dirawat di ruang rawat geriatri akut pada era
sebelum JKN adalah 12 hari (rentang 2-76 hari) dan kelompok JKN 12 hari (rentang
2-59 hari). Satu subjek outlier lama masa rawat dengan masa perawatan 76 hari
pada era sebelum JKN adalah wanita, 75 tahun, yang dirawat dengan ACS, sepsis,
ulkus DM, pneumonia, imobilisasi, ulkus dekubitus, gangguan penglihatan, dan
pendengaran menjalani debridemant dua kali dan menghabiskan biaya total Rp.
141.555.223,- dengan sistem pembiayaan Askes. Outlier kedua dengan perawatan
59 hari pada era JKN adalah subjek wanita, 67 tahun, dengan diagnosis ACS, sepsis,
infeksi saluran kemih komplikata, riwayat melena, imobilisasi, gangguan
penglihatan, ulkus dekubitus, gagal jantung kongestif dan gagal ginjal kronik
dengan terapi pengganti ginjal. Tidak ada tindakan bedah maupun intervensi non
bedah selama perawatan. Biaya yang dikeluarkan adalah Rp.104.022.475,- sistem
pembiayaan JKN.

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


39

Tabel.5.4. Perbedaan lama masa rawat sebelum dan sesudah JKN


Lama masa rawat Sebelum JKN (n=100) JKN (n=125)
2-14 hari 57 (57) 73 (58,9)
15-28 hari 27 (27) 37 (29,6)
29-42 hari 14 (14) 13 (10,4)
43-56 hari 1 (1) 2 (0,9)
57-70 hari 0 (0) 1 (0,4)
71-84 hari 1(1) 0 (0)
Median [rentang] 12[2 sd.76] 12[2 sd. 59] p=0,974*
*mann-whitney U test

Gambar 5.2. Boxplot lama masa rawat berdasarkan kategori biaya

Berdasarkan gambar 5.3, dapat dilihat bahwa setelah lama masa rawat 15-21 hari,
proporsi subjek kelompok JKN lebih tajam penurunannya dibandingkan sebelum
JKN. Pada kelompok lama masa rawat lebih dari 14 hari, didapatkan diagnosis
terbanyak secara berurutan adalah pneumonia, sindrom delirium akut, infeksi,
sepsis, DM dengan komplikasi, gagal jantung, dan malignansi. Karakteristik ini
relatif sama dengan pasien yang memiliki lama masa rawat kurang dari 14 hari
dengan urutan pneumonia, sindrom delirium akut, sepsis, infeksi, DM dengan
komplikasi, malignansi, dan perdarahan saluran cerna. Perlu menjadi catatan bahwa
diagnosis dalam penelitian ini adalah diagnosis saat masuk dan selama rawat, tidak
mencantumkan waktu didapatkannya diagnosis tersebut.

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


40

Perbandingan lama masa rawat


era sebelum dan sesudah JKN
40
Lama masa rawat 35
30
25
20
15
10
5
0
2 sd 7 8 sd 14 15 sd 21 22 sd 28 29 sd 35 >35
Lama masa rawat

non JKN JKN Linear (non JKN) Linear (JKN)

Gambar 5.3. Perbandingan lama masa rawat sebelum dan sesudah JKN

5.3. PERBANDINGAN PENCAPAIAN KUALITAS HIDUP PASIEN


GERIATRI SEBELUM DAN SESUDAH JKN

Dari total 225 subjek, hanya 88 subjek memiliki nilai EQ5D berpasangan (46 subjek
pada era sebelum JKN dan 42 subjek pada era JKN) dengan distribusi tidak normal,
meski demikian jumlah sampel masih memenuhi kriteria sampel minimal.
Berdasarkan data, nilai EQ5D masuk pada era sebelum JKN adalah 0,595 (rentang
-0,111 sd. 1,000) dan pada era JKN 0,670 (rentang -0,111 sd. 1,000). Sedangkan
nilai EQ5D keluar 0,735 (rentang -0,111 sd. 1,000) dan 0,729 (rentang -0,062 sd.
1,000), secara berturutan. Analisis statistik dilakukan untuk pencapaian kualitas
hidup (EQ5D gain) dan QALD. Dilakukan imputasi multipel dan analisis
sensitivitas (Tabel 5.6). Berdasarkan Tabel 5.5 dan Tabel 5.6., sebelum dan sesudah
imputasi multipel tetap tidak ada perbedaan antara EQ5D gain dan QALD pada era
sebelum JKN dengan JKN.

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


41

Tabel. 5.5 Perbedaan median kualitas hidup era JKN dan sebelum JKN
Sebelum JKN JKN Nilai p
n=46 n=42

EQ5D gain
Median [rentang] 0,085 [-0,23 sd. 0,95] 0,000 [-0,39 sd. 0,62] p = 0,469*

QALD
Median [rentang] 0,812 [-3,1 sd. 24,37] 0,000 [-7,37 sd. 22,43] p= 0,256*

*mann whitney U test

Tabel. 5.6 Perbedaan median parameter kualitas hidup era JKN dan sebelum
JKN post imputasi multipel
Sebelum JKN JKN nilai p
n=100 n=125

EQ5D gain
Median [rentang] 0,084 [-0,67 sd. 1,24] 0,066 [-0,92 sd. 1,096] p = 0,864*

QALD
Median [rentang] 0,93 [-12,21 sd. 59,68] 0,629 [-18.13 sd. 35.90] p= 0,758*

*mann whitney U test

5.4. INCREMENTAL COST EFFECTIVENESS RATIO


Tabel 5.9 Menggambarkan rerata biaya perawatan total selama era pra JKN dan era
JKN, rerata biaya total yang ditagihkan rumah sakit untuk pembiayaan satu kali
rawat pada era pra JKN adalah Rp. 19.961.000,- [Rp. 2,57 juta sd. Rp. 100 juta]
dan era JKN yaitu Rp.20.832.000,- [Rp. 3,067 juta sd. Rp. 100 juta]. Komponen
biaya terbesar berasal dari biaya material yang mencakup obat dan alat medis
diikuti biaya sarana yang mencakup tindakan bedah, intervensi non bedah, terapi
pengganti ginjal dan transfusi.

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


42

Tabel.5.7. Perbedaan biaya antara kelompok sebelum JKN dengan JKN


Jenis Biaya Sebelum JKN JKN
(x103) Rupiah (x103) Rupiah
n= 100 n=125
Biaya rawat 2750 [547-1862] 2886 [148,6-39556]
Biaya material 5828 [98,191-69235] 6397 [121,3-58677]
Biaya sarana 5154 [272-39384] 5091 [155-29482]
Biaya penunjang 3732 [50-29646] 2878 [234,5-28866]
Biaya total 19961 [2570-100000] 20832 [3067-100000]

5.4.1. INCREMENTAL COST EFFECTIVENESS RATIO UNTUK LAMA


MASA RAWAT
Analisis efektivitas biaya akan disajikan secara deskriptif karena tidak
memenuhinya syarat-syarat untuk dilakukan analisis. ICER deskriptif untuk lama
masa rawat adalah sebagai berikut.

Rerata biaya JKN – Rerata biaya sebelum JKN


Rerata lama masa rawat JKN – rerata lama masa rawat sebelum JKN

Rp.27.200.000 – 25.700.000,- = Rp.1.500.000,-


15,19 – 16,10 hari -0,91 hari

Bila dituangkan dalam diagram ICER (Diagram 1) akan didapatkan program JKN
lebih mahal Rp. 1.500.000,- untuk mendapatkan lama masa rawat lebih pendek 0,91
hari. Sedangkan Gambar 5.5 menggambarkan sebaran biaya total subjek
berdasarkan lama rawatnya.

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


43

Incremental Cost Effectivenes Ratio biaya


terhadap lama rawat
6

4
Biaya (Rp. juta)

2
1.5
0 Series1
-6 -4 -2 0 2 4 6 icer
-2

-4

-6
Lama rawat (hari)

Gambar 5.4. Incremental cost effectiveness Ratio biaya terhadap lama masa
rawat pada era JKN dibanding sebelum JKN

Sebaran biaya total berdasarkan lama


rawat pada era non JKN dan JKN
1.50E+08
BIaya total

1.00E+08

5.00E+07

0.00E+00
0 20 40 60 80
LOS

JKN non JKN


Linear (JKN) Linear (non JKN)

Gambar.5.5. Sebaran biaya total berdasarkan lama masa rawat pasien

5.4.2. INCREMENTAL COST EFFECTIVENESS RATIO UNTUK


KUALITAS HIDUP

QALD merupakan satuan hitungan dalam cost utility analysis yang nilainya didapat
dari nilai EQ5D gain dikali lama masa rawat. Tujuannya adalah untuk
menggambarkan besaran perubahan EQ5D bila subjek mendapatkan intervensi
dibandingkan tidak mendapatkan intervensi dalam kurun waktu tertentu. Dalam hal

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


44

ini, intervensi adalah program JKN. Biaya yang dikeluarkan untuk satu QALD yang
dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:

Rerata biaya JKN – Rerata biaya sebelum JKN


Rerata QALD JKN – rerata QALD sebelum JKN

Rp. 21.266845 - 24.751.732,- = -Rp.3.484.887


2,728 – 2,980 QALD -0,25 QALD

Dari perhitungan di atas, program JKN lebih murah Rp.3.484.887,- namun QALD
yang didapatkan 0,25 QALD lebih kecil dibandingkan dengan era sebelum JKN,
seperti digambarkan dalam Gambar 5.6.

Incremental cost effectiveness ratio


biaya terhadap QALD
6

4
biaya (Rp.juta)

0
-6 -4 -2 0 2 4 6
-2
-3.48
-4

-6
QALD (indeks EQ5Dxlama rawat)

Gambar.5.6. Incremental Cost effectiveness ratio biaya terhadap QALD

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


45

Sebaran Biaya Total Rawat berdasarkan


QALD pada era JKN dan NON JKN
80000000
70000000
60000000
50000000
BIAYA
40000000
30000000
20000000
10000000
0
-10 -5 0 5 10 15 20 25 30
QALD

JKN NON JKN Linear (JKN)


Linear (JKN) Linear (NON JKN)

Gambar 5.7. Sebaran biaya total rawat berdasarkan QALD

Sesuai sebaran QALD dari gambar 5.7, 11 subjek berada di bawah nilai nol, yang
artinya EQ5D gain subjek negatif (QALD merupakan perkalian lama masa rawat
dengan EQ5D gain). Nilai EQ5D gain negatif menunjukkan bahwa kualitas hidup
pasien saat keluar lebih buruk dibandingkan saat masuk rumah sakit. Lebih dari
50% subjek dengan nilai EQ5D gain negatif memiliki diagnosis imobilisasi,
pneumonia dan ulkus dekubitus. Dapat dilihat dari Tabel 5.8. bahwa 45,5% subjek
dengan EQ5D gain negatif memiliki outcome pulang paksa.

Enam subjek memiliki EQ5D masuk < 0 dan 6 subjek memiliki EQ5D keluar < 0.
EQ5D < 0 yang menggambarkan kondisi SWD (states of worse than death), artinya
seseorang menilai kualitas hidup diri mereka lebih buruk dari kondisi meninggal,
yang ditandai dengan nilai EQ5D negatif.

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


46

Tabel 5.8. proporsi subjek dengan EQ5D gain negatif, EQ5D masuk SWD, dan
EQ5D keluar SWD berdasarkan outcome.
Outcome
pulang Pulang Meninggal
paksa
EQ5D gain 6/11 5/11
negatif (54,5%) (45,5%)
EQ5D masuk 4/16 2 /16 10/16
SWD (25%) (12,5%) (62,5%)
EQ5D keluar 3/6 3/6
SWD (50%) (50%)

Terdapat 5 subjek dengan nilai EQ5D masuk yang ekstrim (-0,111), yang setelah
ditelusuri semuanya memiliki malnutrisi dan imobilisasi. Terdapat empat subjek
dengan EQ5D keluar ekstrim (-0,111), dua di antaranya memiliki EQ5D gain nol,
artinya subjek memiliki EQ5D masuk dan keluar -0,111. Dari total subjek, terdapat
tiga pasien menyeberang dari kondisi states of better than death (SBD) menjadi
SWD.

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


BAB 6

PEMBAHASAN

6.1. ALUR PEREKRUTAN SUBJEK

Untuk penghitungan Incremental Cost Effectiveness Ratio, dilakukan pengambilan


sampel dengan cara total sampling. Dengan demikian didapatkan 319 subjek yang
dirawat di dua periode sebelum dan sesudah penerapan JKN. Terdapat 73 subjek
memiliki status rekam medik yang tidak lengkap atau tidak ada sehingga hanya 246
subjek dapat dianalisis. Dari 246 subjek, terdapat 21 (8,5%) subjek dieksklusi
karena 8 subjek pindah ruangan dan 13 subjek melintasi 1 Januari 2014 ketika JKN
pertama kali diterapkan. Dengan teknik total sampling di atas, diharapkan jumlah
sampel minimal untuk perbandingan lama masa rawat dan kualitas hidup tetap
dapat terpenuhi. Namun terdapat missing data lebih dari 50% pada saat
menganalisis quality adjusted life days. Untuk mengatasi hal ini dilakukan imputasi
multipel dan analisis sensitivitas.

6.2. KARAKTERISTIK SUBJEK

Karakteristik subjek di kedua kelompok relatif serupa dengan perbandingan kurang


lebih sama antara jenis kelamin perempuan dan laki-laki. Demikian halnya rentang
usia, dengan kelompok usia 60-69 tahun merupakan yang terbanyak. Median usia
terbanyak adalah 70 [rentang 60 sd. 86] tahun untuk era sebelum JKN dan 68
[rentang 60 sd. 85] untuk JKN. Hal ini serupa dengan penelitian Soejono pada tahun
7
2007 dengan rerata usia subjek yang dirawat 69,88 (SD 0,52) tahun. Penelitian
Isfandiaty tahun 2010-2012 di ruang rawat geriatri akut RSCM menunjukkan rerata
usia 69,6 (SD 7,09) tahun.45 Penelitian di Singapura baik di ruang geriatri akut dan
bangsal penyakit dalam menunjukkan median usia pasien geriatri yang dirawat
adalah 77 (rentang 65 sd. 98) tahun.12 Di Belanda, penelitian terhadap 639 subjek
pada usia di atas 65 tahun mendapatkan rerata pasien geriatri yang dirawat adalah
46
usia 78 tahun. Kemungkinan karena penelitian di Singapura dan Belanda
menggunakan batasan 65 tahun atau harapan hidup lebih baik sehingga usia rerata

47
Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


48

rawat lebih tua dibandingkan geriatri di Indonesia. Profil penyakit pada penelitian
ini masih didominasi dengan infeksi, terbanyak adalah pneumonia. Infeksi, sindrom
delirium akut, dan sepsis masih menjadi tiga masalah utama dan seringkali terjadi
bersamaan. Hal ini serupa dengan penelitian Soejono dkk.,7 pada tahun 2007,
dengan pneumonia (42,06%) dan sindrom delirium akut (38,79%) sebagai dua
penyakit terbanyak. Penelitian oleh Isfandiaty45 tahun 2012 menemukan insidens
delirium 18,8% dalam 14 hari pertama perawatan. Laporan Riskesdas tahun 2013
menunjukkan prevalensi pneumonia semakin naik seiring usia, terutama pada usia
lebih dari 75 tahun, dengan prevalensi 6,2% pada usia 55-64 tahun, 7,7% pada usia
65-74 tahun, dan 7,8% setelah usai di atas 75 tahun.9 Penelitian berskala besar di
Italia dari data tahun 2004 sd. 2012 pada seluruh populasi penduduk
memperlihatkan perawatan terbesar pasien pneumonia ada pada usia balita yaitu 0-
4 tahun, usia 65 tahun ke atas, memuncak pada usia 80 tahun ke atas dengan angka
mortalitas dan biaya perawatan tertinggi pada kelompok lansia.47

Pasien geriatri juga lebih mudah menjadi sepsis selama perawatan karena tingginya
faktor risiko, seperti komorbiditas dan jumlah obat meski dikatakan perlu ada faktor
lain seperti instrumentasi atau perawatan rumah sakit berulang. Faktor risiko lain
adalah adanya malnutrisi, kondisi frailty (kerapuhan) dan geriatric giants.48
Tingginya infeksi dan sepsis berhubungan dengan immunosenescence dan
hoemostenosis pada geriatri. Geriatri juga mudah mengalami gangguan koagulasi
yang membuatnya rentan menjadi trombosis (stroke, sindrom koroner akut) dan
sebaliknya perdarahan saat perawatan.48 Geriatri memiliki manifestasi infeksi dan
sepsis yang berbeda mencakup gangguan mental, tidak mau makan, lemah, terjatuh,
14
atau inkontinensia urin. Sesuai dengan Taffet dkk., ciri khas geriatri ini
membuatnya rentan mengalami penurunan fungsi selama perawatan dan berakibat
lama masa rawat yang bertambah.

Berdasarkan Tabel 5.2., subjek diirawat dengan beberapa geriatric giants yang
muncul bersamaan. Terbanyak adalah imobilisasi, sindrom delirium akut,
instabilitas dengan riwayat jatuh, dan ulkus dekubitus. Karakteristik subjek

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


49

berdasarkan diagnosis, dan geriatric giants memberi kesan profil kesehatan pasien
pada era JKN relatif sama dibanding era sebelum JKN.

6.3. PERBEDAAN LAMA MASA RAWAT ERA SEBELUM JKN DENGAN


JKN

Lama masa rawat pasien geriatri pada era sebelum JKN adalah 12 hari [rentang 2-
76 hari) dan kelompok JKN 12 hari [rentang 2-59 hari]. Soejono dkk.7 Pada tahun
2007 memperlihatkan hasil yang tidak berbeda jauh, yaitu 10.99[SD 0.79]. De
Buyser dkk. 49 mengumpulkan data dari 1123 subjek yang dirawat di ruang rawat
geriatri dan ruang rawat penyakit dalam di Italia mendapatkan median lama masa
rawat 10 hari.

Tidak normalnya distribusi lama masa rawat pada kedua era ini mungkin
disebabkan variasi penyakit, komplikasi selama perawatan, macam komorbiditas,
dan tindakan yang dilakukan selama perawatan. Pasien dengan lama masa rawat
terlama berada pada era sebelum JKN, demikian juga subjek yang dirawat lebih 28
hari (yaitu rentang 29-42 hari) lebih banyak pada era sebelum JKN (14%)
dibandingkan era JKN (10,4%) menunjukkan lama masa rawat cenderung lebih
lama pada era sebelum JKN. Namun demikian median perawatan di kedua
kelompok adalah sama dengan proporsi terbanyak 2-14 hari (57% vs. 58,9%)
diikuti 15-28 hari (27% vs. 29,6%).

Lama masa rawat yang lebih panjang erat dihubungkan dengan diagnosis penyakit
50
antara lain sindrom delirium akut. Penelitian Limpawattana, dkk. di Thailand
memperlihatkan lama masa rawat pasien dengan delirium akut meningkat menjadi
rerata 22,3 hari dibandingkan 5,4 hari pasien tanpa delirium dengan biaya lebih
tinggi yaitu 53,174 dibandingkan 18,230 baht. Pada era sebelum JKN, diagnosis
delirium akut terjadi pada 38,6% dan era JKN 41,2% subjek yang menunjukkan
angka cukup tinggi. Siddiqi dalam suatu metaanalisis tahun 2007 melaporkan angka
delirium lebih rendah yaitu 10-13%, namun pada pasien geriatri yang rapuh (frail),
34
angkanya mencapai 60%. Sepsis merupakan masalah lain yang perlu
dipertimbangkan sebagai penyebab perawatan yang lebih lama. Sesuai dengan

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


50

penelitian Kaye dkk. 36 yang menemukan bahwa median lama masa rawat menjadi
23 [rentang 14-36 ahari] dibandingkan 15 [14-36 hari] pada mereka yang
mengalami sepsis selama perawatan. Sindrom kerapuhan adalah sindrom yang juga
ditandai dengan imunitas terganggu menyebabkan pasien geriatri lebih mudah
terkena infeksi dan deteriorisasi saat perawatan yang berefek pada lama masa rawat
lebih panjang.51

Adanya ulkus dekubitus juga bisa memprediksi biaya dan lama masa rawat yang
38
lebih lama. Theisen, dkk. Tahun 2012 di Jerman melaporkan ulkus dekubitus
memperlama masa rawat dengan rerata 19 hari (SD 16,4), median 15 hari (25%
persentil 7, 75% persentil 27). Pada penelitian ini, ulkus dekubitus terjadi pada
17,8% vs.17.5% pada era sebelum JKN dan JKN, menempati urutan keempat
setelah imobilisasi dan sindrom delirium akut.38 Malignansi juga banyak
dihubungkan dengan prevalensi yang tinggi pada geriatri karena 60% dari seluruh
kanker diperkirakan terjadi pada kelompok usia di atas 65 tahun. Pada penelitian
JKN ini malignansi menempati urutan keenam sebagai diagnosis terbanyak pada
pasien di ruang rawat geriatri akut sebelum dan sesudah JKN. Salah satunya
mungkin disebabkan karena ruang rawat geriatri akut lebih diutamakan untuk
pasien dengan sindrom geriatri dan segala komorbiditasnya sehingga penyakit
masih didominasi sindrom delirium akut dan infeksi sebagai pencetusnya.

Gambar 5.3 menunjukkan proporsi subjek era JKN pada rentang lama masa rawat
2-21 hari cukup tinggi namun menurun lebih tajam dibandingkan subjek pada era
sebelum JKN setelah lama masa rawat 21 hari. Bila dihubungkan dengan sistem
pembiayaan INA-CBG yang memperhatikan lama masa rawat sebagai salah satu
indikator efisiensi, kemungkinan hal ini disebabkan pengambil keputusan klinis
(dalam hal ini dokter penanggung jawab pasien) memulangkan pasien lebih cepat
dibandingkan sebelum penerapan JKN. Karena median lama masa rawat yang
didapatkan kedua kelompok adalah sama yaitu 12 hari, diambil batasan lebih dari
14 hari sebagai lama masa rawat yang yang dianggap panjang. Proporsi diagnosis
kelompok pada lama masa rawat lebih dari 14 hari didominasi oleh penyakit
pneumonia, diikuti sindrom delirium akut, infeksi non pneumonia, dan sepsis.
Sedangkan geriatric giants pada kelompok ini adalah imobilisasi, sindrom delirium

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


51

akut, instabilitas, dan ulkus dekubitus. Hal ini sesuai dengan penelitian-penelitian
yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa sindrom delirium akut, sepsis,
pneumonia, dan geriatrics giant seperti delirium dan ulkus dekubitus memang
menyumbang lama masa rawat yang lebih panjang. Rhao dkk.52 melaporkan bahwa
pasien geriatri dengan malignansi juga memiliki lama masa rawat lebih panjang
(31,7 hari) dibandingkan pasien bukan geriatri dengan penyakit yang sama (21,9
hari) meski tidak signifikan p=0,08. Namun pada penelitian JKN ini, malignansi
menempati urutan ke tujuh setelah diabetes dan penyakit gagal jantung.

Banyak faktor yang mungkin menyebabkan hasil yang tidak berbeda sebelum dan
setelah era JKN. Pertama, karakteristik, profil penyakit, geriatric giants, dan
komorbiditas subjek yang tidak berbeda antara era sebelum JKN dan JKN. Kedua,
dari segi metodologi yaitu waktu penelitian yang dilakukan pada enam bulan
pertama pelaksanaan JKN ketika sistem ini belum terlaksana sepenuhnya. Ketiga,
prosedur standar pelaksanaan sistem INA CBG belum menyeluruh. Beberapa faktor
yang perlu diperhatikan adalah tersedianya sumber daya manusia, peresepan obat
formularium, pembentukan clinical pathway, evaluasi tim, cepatnya pengajuan
klaim sehingga tersedia dana untuk terlaksananya pelayanan kesehatan termasuk
pengadaan obat.53 Clinical pathway diperlukan untuk menghindari moral hazard
dan “memaksa” dokter menggunakan teknologi atau obat yang efektif biaya. 40

Adanya clinical pathway juga telah terbukti memperpendek masa rawat pada
beberapa penyakit seperti PPOK ataupun sindrom koroner akut. Meski
pelaksanaannya dipengaruhi oleh usia, komorbiditas, rehospitalization, ataupun
komplikasi sehingga mungkin sulit diterapkan pada pasien-pasien geriatri.54, 55

Perubahan sistem yang menunjang pelaksanaan JKN seperti penjadwalan tindakan


yang lebih cepat, pemberian antibiotik sesuai hasil kultur, pengadaan obat dan
barang segera, pengenalan sistem pada para petugas kesehatan termasuk dokter, dan
berbagai faktor terkait implementasi sistem pembiayaan ini masih terus dilakukan
pada masa penelitian ini.

Lama masa rawat memang menjadi salah satu indikator efisiensi. Dikatakan
semakin pendek lama masa rawat, efisiensi semakin baik. Semakin lama masa
rawat, perawatan dinilai semakin tidak efisien. Lama masa rawat yang terlalu

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


52

panjang meningkatkan efek samping demikian juga bila terlalu pendek.56


Sahadevan dkk. 12 di Singapura pada tahun 2004 melaporkan bahwa median lama
masa rawat pasien geriatri adalah 8 [rentang 2-53] hari, namun mereka yang dirawat
di ruang geriatri akut memiliki masa rawat lebih lama yaitu 11 [3-53] hari
dibandingkan di bangsal biasa 6 [2-49] hari, p=<0,001. Menurut Sahadevan faktor
yang menentukan adalah penyakit medis yang berhubungan penurunan status
fungsional yang lebih sering terjadi pada kelompok geriatri yang dirawat di ruang
rawat geriatri akut. Sahadevan menyimpulkan sistem DRG perlu
mempertimbangkan faktor penurunan status fungsional karena memang pasien
geriatri cenderung memiliki masa rawat lebih tinggi yang menyebabkan biaya
perawatan lebih besar. 12

Salah satu cara menekan lama masa rawat adalah dengan mengembalikan fungsi
ruang geriatri akut sebagai ruang khusus kondisi akut pasien geriatri. Conroy S,
57
dkk. dalam website British Geriatry society, mengungkapkan perawatan akut
pasien geriatri tak bisa dihindari karena makin banyaknya populasi geriatri. Banyak
pasien geriatri yang datang dengan gejala tidak jelas antara akut dan subakut,
dengan komorbiditas, deteriorasi fungsi dan kognitif yang pada akhirnya akan
memperlama masa rawat. Adanya alur perawatan yang jelas antara acute geriatric
ward dan intermediate geriatric ward akan membuat perawatan menjadi lebih
efektif biaya.

Sebagai contoh, Australia selatan membuat kebijakan pembagian perawatan


geriatri menjadi ruang rawat geriatri akut dan ruang evaluasi dan manajemen
geriatri. Ruang rawat geriatri akut difokuskan untuk pasien geriatri dengan
kerapuhan dan risiko tinggi, terutama dengan delirium dan demensia. Perawatan di
ruang ini menuntut akuitas tinggi dengan dokter spesialis geriatri sebagai
penanggung jawab tim interdisiplin, yang sudah harus membuat pengkajian
masalah bersama dalam 24 jam. Setelah masalah akut selesai dan pasien
membutuhkan perawatan lebih lanjut untuk perbaikan fungsi dan kemandirian,
pasien dipindahkan ke unit evaluasi dan manajemen geriatri sesuai indikasi untuk
mendapat tatalaksana lebih lanjut. Pembagian ini akan memperpendek lama masa
rawat di ruang rawat geriatri akut. 58

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


53

Idealnya, sistem JKN dapat memperpendek masa rawat karena secara prinsip,
klasifikasi CBG cenderung menciptakan insentif untuk meningkatkan jumlah
kasus yang diterima, mengontrol biaya, dan mengurangi lama masa rawat.
Berkurangnya lama masa rawat lewat sistem ini terbukti sejak diimplementasikan
dalam US medicare, yang memperlihatkan lama masa rawat menurun 15% dalam
tahun pertama terutama pada kasus-kasus kronik dan elektif. Di Korea, sistem CBG
menurunkan 14% biaya rerata disebabkan penggunaan antibiotika yang lebih
rasional karena efisiensi ini.43

6.4. PERBEDAAN PENCAPAIAN KUALITAS HIDUP ANTARA ERA


SEBELUM JKN DAN JKN

Kualitas hidup diukur dengan menggunakan alat ukur dari Euroqol yaitu EQ5D
yang lebih ringkas namun tetap andal dan sahih dalam menilai kualitas hidup pasien
geriatri. EQ5D meliputi lima pertanyaan untuk mewakili lima domain yaitu
mobilitas, perawatan diri sendiri, aktivitas sehari-hari, rasa nyeri/tidak nyaman, dan
rasa cemas/depresi (Lampiran I).

Dari 225 sampel yang dikumpulkan, terdapat 46 subjek di era sebelum JKN dan
42 subjek di era JKN memiliki data EQ5D lengkap berpasangan (EQ5D masuk dan
keluar). Tidak lengkapnya data EQ5D dari total sampel kemungkinan disebabkan
beberapa hal. Pertama, pasien yang datang dengan kondisi penurunan kesadaran
yang tidak memungkinkan untuk mendapat data EQ5D. Kedua, karena lama masa
rawat yang cukup panjang, pasien dioperkan ke dokter yang merawat selanjutnya
sehingga data EQ5D masuk terpisah dengan EQ5D keluar. Ketiga, pasien
meninggal saat perawatan tidak memungkinkan mendapatkan nilai EQ5D keluar.
Keempat, penyerahan status P3G ke pusat pendataan yang belun optimal.
Hilangnya data perlu diatasi karena dapat menyebabkan bias dan berkurangnya
power penelitian, apalagi pada penelitian dengan sampel yang tidak banyak.59
Untuk mengatasi hal ini, dipilih imputasi multipel karena dianggap dapat mengatasi
terjadinya effect size underestimation dan mengurangi bias dibanding cara lain.59 60

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


54

Setelah itu dilakukan analisis sensitivitas dan didapatkan nilai EQ5D gain dan
QALD yang tidk jauh berbeda sebelum dan sesudah imputasi multipel.

Tidak ada perbedaan pencapaian kualitas hidup (EQ5D gain) dan QALD pada
kedua era berdasarkan uji mann whitney U. Kebanyakan penelitian sebelumnya
mengambil data EQ5D dari rawat jalan5, komunitas23, spesifik untuk penyakit
tertentu (kardiovaskular61, ortopedi62, artritis63, stroke64), definisi operasional yang
berbeda (misalnya 30 hari paska rawat)7 65, atau indeks EQ5D menggunakan indeks
5,65
EQ5D Eropa. Dengan demikian, hasil pada penelitian era sebelum JKN dan
JKN sulit dibandingkan dengan penelitian lain.

Beberapa kondisi dapat memengaruhi kualitas hidup pasien geriatri. Kondisi kronik
berhubungan dengan menurunnya kualitas hidup, secara signifikan adalah riwayat
stroke dan bronkitis kronik.24 Indeks massa tubuh yang rendah juga berhubungan
dengan kualitas hidup yang lebih rendah.25 Dalam penelitian lain, Wicke, dkk. 26

menyimpulkan adanya depresi pada geriatri lewat skor geriatric depression scale
merupakan salah satu komorbiditas yang harus dipertimbangkan yang akan
memengaruhi kualitas hidup usia lanjut. Pasien dengan disabilitas, seperti adanya
fraktur leher femoral akibat osteoporosis pada usia lanjut, ikut memengaruhi skor
EQ5D dalam domain mobilitas, nyeri, perawatan diri, dan ansietas.27 Penelitian lain
menyimpulkan selain depresi, faktor lain seperti jenis kelamin wanita, lama masa
rawat, usia, rehabilitasi di rumah sakit, juga memengaruhi kualitas hidup pasien
pulang dari rumah sakit.66 Penelitian multisenter oleh Setiati, dkk. 23 di komunitas
melaporkan hal serupa yaitu jenis kelamin wanita, malnutrisi, gangguan kognitif,
penyakit kronik yang tidak terkontrol, gangguan fungsional, dan adanya depresi
dapat menjadi prediktor kualitas hidup yang lebih rendah.

Beberapa nilai ekstrim terjadi pada penelitian ini. Nilai EQ5D maksimal adalah 1
yaitu kualitas hidup terbaik (sehat) dan minimal adalah -0,111 yaitu kualitas hidup
67
terburuk. Devlin dkk. Menjelaskan bahwa terdapat dua kondisi kualitas hidup
yaitu states of better than death (SBD) atau states of worse than death (SWD).
SWD digambarkan dengan nilai negatif berdasarkan indeks EQ5D yang berarti
subjek merasa sangat terganggu pada lima domain EQ5D. Pada penelitian ini
terdapat lima subjek dengan kondisi SWD pada era sebelum JKN dan tiga subjek

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


55

pada era JKN, yaitu 9,09% dari total subjek dengan nilai EQ5D lengkap. Penelitian
berskala besar secara potong lintang oleh Goodacre dkk.65 di Inggris pada pasien
30 hari setelah perawatan gawat darurat menemukan angkanya 11% yang termasuk
SWD. Pada era sebelum JKN dan JKN, terdapat lima orang dengan nilai terendah
yaitu -0,111 yang semuanya memiliki gangguan malnutrisi dan imobilisasi. Dari
delapan pasien dengan SWD, semua memiliki komorbiditas antara lain depresi,
PPOK, riwayat stroke, gagal jantung, atau DM dengan komplikasi. Semua subjek
memiliki geriatric giants yang berhubungan dengan masalah keterbatasan aktifitas
(instabilitas, imobilisasi, ulkus dekubitus). Malnutrisi, gangguan fungsional dan
kognitif, depresi, komorbiditas, dan disabilitas memang terbukti berhubungan
dengan kualitas hidup yang lebih buruk.23-27 66 68
Pasien yang memiliki EQ5D
masuk dengan keluar yang sama-sama -0,111 adalah mereka yang pulang paksa
ataupun memiliki disabilitas saat pulang, yang menunjukkan tatalaksana belum
selesai atau adanya disabilitas yang belum tertangani sebelum pulang.

Pelaksanaan P3G mungkin menjadi salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam
menilai kenaikan kualitas hidup pada era sebelum JKN dan JKN. Banyak penelitian
membuktikan P3G berkorelasi dengan perbaikan kualitas hidup yang signifikan.
P3G idealnya dapat mengidentifikasi berbagai faktor baik medis, fisik, dan
psikososial dan merumuskan tatalaksana yang tepat sehingga kualitas hidup pasien
naik secara signifikan, lama masa rawat lebih singkat, dan biaya rawat lebih rendah.
Dengan demikian, pelaksanaan P3G seharusnya sejalan dengan prinsip INA CBG
yang mengutamakan efisiensi dan peningkatan mutu pelayanan. Namun demikian,
median EQ5D gain pada kelompok sebelum JKN dan JKN menunjukkan kenaikan
yang tidak signifikan. Tidak adanya kenaikan signifikan ini salah satunya dapat
disebabkan penerapan P3G yang perlu dievaluasi kembali. Misalnya, apakah
benar-benar sudah memenuhi syarat-syarat seperti koordinasi interdisiplin,
identifikasi dan inventarisasi menyeluruh masalah medis, fisik, sosial, psikologi,
pengambilan keputusan klinis termasuk rehabilitasi, dan implementasi tatalaksana
yang direkomendasikan, termasuk evaluasinya.6 Pelaksanaan P3G di ruang rawat
akut geriatri, seperti diungkapkan oleh Conroy juga memerlukan evaluasi berkala
mencakup laju konversi, lama masa rawat, rehospitalization, mortalitas,
keterlambatan non klinis, pembuatan P3G saat pasien masuk, dan kepuasan pelaku

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


56

rawat dan pasien. Selain itu, diperlukan audit berkala mengenai terapi obat yang
diberikan, proporsi pasien yang mendapatkan pengkajian kognitif saat pasien
masuk, pengkajian riwayat jatuh, serta diagnosis dan manajemen infeksi saluran
kemih.57

6.5. INCREMENTAL COST EFFECTIVENESS RATIO

Rerata biaya total perawatan relatif sama antara era sebelum JKN dan era JKN, hal
ini dapat dijelaskan antara lain karena profil penyakit dan komorbiditas subjek serta
lama masa rawat yang tak berbeda bermakna. Biaya material yaitu obat dan alat
medis menyumbang biaya rawat terbesar. Pos kedua adalah biaya sarana termasuk
tindakan bedah, intervensi non bedah, hemodialisis, dan transfusi. Berdasarkan
pengamatan, transfusi merupakan salah satu sumber pengeluaran yang perlu
diperhatikan karena satu kantong komponen darah PRC atau FFP membutuhkan
biaya Rp. 388.000,- dan satu unit albumin 20% 100 cc adalah Rp.1.500.000,-. Tiga
pasien dengan biaya tertinggi adalah mereka yang memiliki lama masa rawat >42
hari. Pasien dengan biaya paling tinggi merupakan pasien dengan lama masa rawat
paling lama. Berdasarkan Gambar 5.5. bisa dilihat bahwa semakin lama pasien
dirawat semakin besar biaya dikeluarkan.

Klasifikasi INA-CBG memungkinkan untuk mengajukan besaran tagihan


berdasarkan klasifikasi ICD 10 untuk penyakit dan ICD 9 CM untuk penyakit
dengan tindakan. Namun terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama,
sistem pembayaran adalah sistem paket berdasarkan klasifikasi penyakit dan bukan
fee for service sehingga perlu diperhatikan efektivitas biaya suatu terapi atau
tindakan untuk suatu diagnosis. Kedua, sistem ini tidak menyertakan kelainan yang
berkaitan dengan status fungsional dan disabilitas menyebabkan tidak
terklasifikasikannya pasien-pasien berkebutuhan khusus seperti pasien dengan
gangguan komunikasi yang datang ke rumah sakit karena penyakit akut atau pasien
dengan gangguan status fungsional seperti pada pasien geriatri. Pada praktiknya,
diagnosis pasien geriatri dipecah menjadi diagnosis utama dan diagnosis sekunder
seperti halnya pasien lain yaitu menggunakan ICD 10 dan ICD 9 CM. Lama masa
rawat yang relatif lebih panjang pada pasien geriatri tidak terklasifikasi pada sistem
pembiayaan ini karena INA CBG hanya memperhitungkan lama masa rawat untuk

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


57

pasien kusta dan psikiatri.52 WHO telah mengeluarkan ICF (International


Classification of functioning, disability, and health). ICF selayaknya bersifat
komplementer dengan ICD 10 dan penggunaan keduanya akan menciptakan
gambaran kesehatan individu yang lebih bermakna. Dengan memasukkan
klasifikasi ICF, seperti telah dilakukan beberapa negara seperti Singapura, Italia,
Amerika Serikat, dan Inggris Raya, ke dalam casemix mungkin dapat berguna untuk
pasien dengan kompleksitas seperti geriatri dengan lama masa rawat yang lebih
lama. 38

Secara deskriptif, dapat dilihat bahwa ICER JKN berada pada kuadran kanan atas
yang artinya program JKN mengeluarkan Rp. 1.500.000,- untuk mendapatkan masa
rawat lebih pendek 0,91 hari. Sedangkan bila dilihat dari QALD, ICER JKN berada
pada kuadran kiri bawah yang artinya program JKN mengurangi Rp.3.484.887,-
namun memiliki 0,25 QALD lebih kecil dibandingkan dengan era sebelum JKN.
Bisa diartikan program JKN lebih murah namun dengan biaya demikian,
peningkatan kualitas hidup pada lama masa rawat tersebut lebih rendah dibanding
sebelum JKN.

QALD merupakan alat untuk menilai analisis utilitas biaya agar dapat
membuktikan apakah suatu program efektif atau tidak dengan menghitung biaya
per unit utilitas (unit yang berkaitan dengan well being manusia). Namun, penelitian
ini tidak meneliti seluruh aspek outcome (kenaikan ADL, rehospitalization, dan
mortalitas) untuk menilai suatu perawatan efektif atau tidak sehingga tidak dapat
ditentukan analisis untuk menilai apakah program JKN efektif atau tidak sehingga
perlu penelitian lebih lanjut untuk menilai efektivitasnya. Namun demikian, dari
kedua skema tersebut dapat dilihat JKN tidaklah berada pada posisi kanan bawah,
yaitu lebih mahal dengan efek lebih buruk. Perlu penelitian lebih lanjut setelah
sistem JKN sepenuhnya dijalankan apakah terjadi pergeseran ICER menuju yang
paling ideal yaitu lebih murah dengan efek lebih baik, atau tidak lebih mahal namun
efek lebih baik.

Kelebihan penelitian ini adalah antara lain, pertama, penelitian ini merupakan
penelitian pertama dan pendahuluan yang menggambarkan perbedaan luaran
perawatan pada pasien geriatri yang dirawat dengan metode P3G sehubungan

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


58

dengan sistem pembiayaan (JKN) yang baru diaplikasikan 1 Januari 2014. Dengan
demikian, penelitian ini dapat menjadi bahan evaluasi untuk perbaikan pelayanan
kesehatan di RSCM selanjutnya. Kedua, penelitian ini memperlihatkan pentingnya
system based practice sebagai salah satu kompetensi yang harus dimiliki dokter
yaitu kemampuan untuk peduli dan merespon sistem pelayanan kesehatan di
tempatnya bekerja agar pasien mendapat pelayanan kesehatan yang optimal.

Kekurangan penelitian ini adalah tidak lengkapnya pencatatan medis yang


menyebabkan kendala dalam analisis statistik sehingga berisiko menyebabkan
kurangnya power penelitian.

6.6. TELAAH KRITIS

Untuk menilai penelitian ini secara keseluruhan, dilakukan telaah kritis terkait
validity, importancy, dan applicability (VIA) penelitian. Telaah kritis
menggunakan panduan dari CASP (Critical appraisal Skills Programme) dari
universitas Oxford.

6.6.1. Validity

Penelitian ini memiliki luaran yang jelas yaitu lama masa rawat, kualitas hidup, dan
efektivitas biaya dan diteliti pada populasi yang jelas yaitu populasi geriatri yang
dirawat di ruang rawat geriatri akut pada periode penelitian. Metode perekrutan
cukup baik dengan metode total sampling. Namun demikian, tidak semua subjek
dapat diikutsertakan karena 22% dari total subjek tidak memiliki rekam medik yang
lengkap/tidak tersedia yang menyebabkan kemungkinan adanya bias seleksi
terutama pada sampel dengan jumlah tidak besar. Pada analisis untuk variabel
dependen kualitas hidup, adanya missing data diatasi dengan imputasi multipel dan
analisis sensitivitas. Adanya kemungkinan bias seleksi ini menyebabkan validitas
penelitian ini kurang baik. Untuk mengatasi hal ini sebaiknya dilakukan penelitian
dengan metodologi yang lebih baik seperti kohort prospektif dengan jumlah sampel
yang besar dan rentang waktu yang lebih panjang.

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


59

6.6.2. Importancy

Penting tidaknya penelitian dapat dilihat pada bab hasil penelitian. Secara statistik,
penelitian ini tak dapat dinilai akurasinya karena tidak mencantumkan konfidens
interval. Hasil penelitian yang menunjukkan tidak adanya perbedaan bermakna baik
untuk lama masa rawat dan kualitas hidup menunjukkan secara statistik, penelitian
ini menjadi kurang penting.

Sedangkan secara klinis, tidak adanya perbedaan lama masa rawat sebelum dengan
sesudah JKN dapat dipandang dari dua sudut perspektif. Hasil ini secara klinis
menjadi penting karena lama masa rawat menunjukkan efisiensi suatu perawatan.
Tidak berbedanya lama masa perawatan selama era JKN dengan sebelum JKN bisa
menunjukkan efisiensi perawatan geriatri saat ini belum optimal karena belum ada
perbaikan lama masa rawat dibandingkan saat sistem sebelumnya. Di sisi lain lama
masa rawat pada geriatri bisa dipandang sudah optimal karena berdasarkan
Permenkes No 79 Tahun 2014, rerata lama masa rawat geriatri adalah 12 hari, dan
adanya sistem pembiayaan baru ini ternyata tidak mengubah luaran tersebut.

Dari segi kualitas hidup, secara klinis hasil ini menjadi penting sebagai bahan
evaluasi karena tidak adanya perbedaan kualitas hidup sebelum dan sesudah era
JKN bisa diartikan sistem pembiayaan baru ini tidak mengubah luaran terkait
kualitas hidup. Selain itu, hasil ini dapat menjadi masukan untuk evaluasi
pelaksanaan P3G baik sebelum maupun sesudah penerapan JKN.

Sedangkan dari pengukuran incremental cost effectiveness ratio, hasil penelitian


ini sangat penting sebagai masukan untuk pihak penentu kebijakan. ICER
memperlihatkan sistem JKN mengeluarkan Rp.1.500.000,- lebih tinggi namun lama
masa rawat lebih pendek sebanyak 0,91 hari. Apakah penentu kebijakan bersedia
menginvestasikan sebesar biaya tersebut untuk memperpendek lama masa rawat
sejumlah 0,9 hari? Apakah dengan memendeknya lama rawat sebesar 0,9 hari, bed
occupancy rate menjadi lebih baik sehingga perputaran pasien lebih cepat dan
dianggap lebih efektif?

Demikian halnya dengan ICER untuk kualitas hidup yang menunjukkan hasil
Rp.3.484.887,- lebih murah namun QALD yang didapatkan adalah 0,25 QALD

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


60

lebih kecil dari sistem pembiayaan sebelumnya. Apakah penentu kebijakan mau
menginvestasikan keuntungan Rp.3484.887,- namun kehilangan sebesar 0,25
QALD? Sebaliknya, apakah kehilangan 0,25 QALD tidak seimbang dengan
penghematan biaya sebesar demikian? Penelitian ini menjadi penting karena
menjadi masukan untuk pengambil keputusan terkait kebijakan rumah sakit.
Keputusan berdasarkan hasil ini salah satunya dapat ditentukan oleh willingness to
pay (WTP). WTP merupakan cut off value dari pengambil keputusan dalam menilai
sesuatu terkait pembiayaan. WTP dipengaruhi oleh value yang dianut dan alokasi
anggaran yang tersedia. Hal inilah yang akan menentukan apakah suatu intervensi
atau keputusan klinis dinilai efektif biaya atau tidak.

6.6.3. Applicability

Penelitian ini dilakukan pada pasien geriatri yang mendapatkan metode P3G di
ruang rawat geriatri akut. Tidak semua rumah sakit tipe A memiliki ruang rawat
geriatri akut dan menerapkan metode P3G. Dengan demikian, penerapan hasil
penelitian ini terbatas pada sentra-sentra rumah sakit yang memiliki fasilitas ruang
rawat geriatri akut, seperti rumah sakit-rumah sakit pendidikan yang memiliki pusat
geriatri.

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


BAB 7

SIMPULAN DAN SARAN

7.1. SIMPULAN

1. Tidak ada perbedaan lama masa rawat pasien di ruang rawat geriatri akut
RSCM pada era sebelum JKN dengan era JKN.

2. Tidak ada perbedaan kualitas hidup pasien di ruang rawat geriatri akut
RSCM pada era sebelum JKN dengan era JKN.

3. Berdasarkan incremental cost effectiveness ratio, program JKN memiliki


biaya lebih tinggi namun masa rawat lebih pendek. Berdasarkan kualitas
hidup, JKN memiliki biaya lebih murah namun QALD yang lebih kecil
dibandingkan sebelum JKN.

7.2. SARAN

1. Dengan hasil lama masa rawat dan pencapaian kualitas hidup tidak berbeda
signifikan, perlu penelitian berkala setelah program JKN dilaksanakan
sepenuhnya dengan memerhatikan lama penelitian dan jumlah sampel yang
memenuhi syarat, dan dilakukan tidak hanya pada pasien geriatri.

2. Pasien geriatri berpotensi memiliki lama masa rawat panjang dan biaya
lebih besar hingga perlu ditambahkan klasifikasi international classification
of functioning, disability, and health (ICF) sebagai tambahan klasifikasi
disamping ICD 10 dan ICD 9 CM.

3. Selain luaran perawatan pasien geriatri lain seperti kesintasan,


rehospitalization, peningkatan activity daily living, perlu penelitian terkait
implementasi JKN secara langsung antara lain kepuasan dokter dan pasien,
kelengkapan rekam medik, kecepatan klaim biaya perawatan, penggunaan
obat formularium, audit klinis, dan ada/tidaknya clinical pathway.

61
Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


62

4. Pihak penentu kebijakan dapat menggunakan analisis efektivitas/utilitas


biaya terkait lama masa rawat dan kualitas hidup pada pasien geriatri pada
penelitian ini untuk perbaikan pelayanan pasien geriatri di RSCM, melalui
pelaksanaan P3G sesuai dengan standard pelayanan yang berlaku.

5. Dengan adanya program JKN, penelitian terkait analisis efektivitas biaya


untuk setiap terapi atau metode diagnostik baru yang berpotensi berbiaya
besar diperbanyak sebagai masukan untuk penentu kebijakan

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


63

RINGKASAN

Meningkatnya prevalensi populasi usila menyebabkan makin meningkat pula angka


perawatan pada geriatri. Sesuai dengan fisiologi penuaan seperti adanya
komorbiditas, imunonescence dan homeostenosis menyebabkan kelompok ini
rentan mengalami komplikasi selama perawatan menyebabkan lama masa rawat
yang meningkat. Adanya komorbiditas dan penyakit kronik juga menyebabkan
kesembuhan pada pasien geriatri sulit dicapai sehingga kualitas hidup merupakan
salah satu luaran utama pada perawatan pasien geriatri. Pendekatan Paripurna
Pasien Geriatri (P3G) merupakan salah satu core kedokteran geriatri yang terbukti
dapat memperbaiki lama masa rawat dan kualitas hidup tanpa memengaruhi sistem
pembiayaan dan telah menjadi prosedur standar di RSCM. Sejak Januari 2014
terjadi perubahan sistem pembiayaan menjadi JKN (Jaminan Kesehatan Nasional)
yang mengadaptasi sistem casemix dari United Nation University International
Institute for Global Health (UNU-IIGH) dengan nama INA-CBG. Sistem
pembiayaan prospektif ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi namun di sisi
lain terdapat kekhawatiran sistem ini akan memengaruhi dokter dalam mengambil
keputusan klinis sehingga memengaruhi luaran. Penelitian ini bertujuan melihat
perbedaan dua luaran yaitu lama masa rawat dan kualitas hidup pada periode pra
JKN dan JKN.
Metode penelitian yang dipilih adalah kohort retrospektif dengan kontrol historis
dilakukan pada pasien geriatri ≥ 60 tahun dengan ≥ 1 sindrom geriatri yang dirawat
di ruang rawat geriatri akut RSCM periode Juli-Desember 2013 (periode pra JKN)
dan Januari-Juni 2014 (era JKN). Variabel independen adalah pra JKN dan JKN,
sedangkan variabel dependen adalah lama masa rawat dan kualitas hidup. Selain
menilai perbedaan antara lama masa rawat dan kualitas hidup menggunakan uji t
tidak berpasangan, dinilai juga efektivitas biaya program JKN terhadap luaran di
atas sehingga dilakukan pengambilan sampel total sampling untuk mendapatkan
incremental cost effectiveness ratio. ICER akan ditampilkan dalam bentuk deskripsi
untuk memperlihatkan apakah program baru ini lebih mahal/murah dengan hasil
yang lebih atau kurang baik melalui suatu skema ICER.
Lama masa rawat dihitung mulai dari pasien masuk instalasi gawat darurat
kemudian dirawat di ruang rawat akut geriatri hingga discharge. Kualitas hidup
dinilai menggunakan form Euroqol 5 Domain (EQ5D) yang hasilnya ditampilkan
dalam bentuk indeks EQ5D. Diukur pula peningkatan kualitas hidup selama
perawatan dengan mengukur selisih indeks EQ5D keluar dengan EQ5D masuk
(EQ5D gain). Untuk deskripsi utilitas biaya, dilakukan perhitungan QALD (Quality
adjusted life days) dengan cara mengalikan EQ5D gain dengan lama masa rawat.
Perbedaan dua rerata lama masa rawat dan QALD era sebelum JKN dengan JKN
dianalisis dengan uji-t tidak berpasangan.
Hasil penelitian menunjukkan secara karakteristik, tidak ada perbedaan antara
kelompok pra JKN dengan JKN. Tiga diagnosis terbanyak adalah pneumonia,
sindrom delirium akut, dan sepsis. Sedangkan sindrom geriatri yang tersering relatif
sama di kedua kelompok yaitu imobilisasi, sindrom delirium akut, instabilitas dan
riwayat jatuh, serta ulkus dekubitus. Dari total 225 subjek, 100 subjek berada di era
sebelum JKN dan 125 subjek di era JKN dengan karakteristik relatif sama. Rerata
usia adalah 70 [60-86] tahun dan 68 [60-85] tahun secara berurutan. Tidak ada
perbedaan lama masa rawat antara era sebelum JKN dan JKN dengan median 12

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


64

[2-76] dan 12 [2-59] hari, p= 0,540. Begitu juga tak ada perbedan QALD antara
kelompok sebelum JKN dan JKN dengan median 0,812[-3,1 – 24,37] dan 0,000 [-
7,37 – 22,43], p= 0,843. Biaya per satu kali rawat pada era sebelum JKN adalah
Rp. 19.961,000 [Rp.2.57 juta –Rp. 100 juta] dan JKN Rp. 20.832.000,- [Rp.3.067
juta - Rp.100 juta]. Skema ICER memperlihatkan biaya rawat lebih mahal Rp.
1.500.000,- untuk mendapatkan lama masa rawat lebih pendek 0,91 hari.
Berdasarkan QALD, biaya rawat lebih murah Rp.3.484.887,- dengan 0,25 QALD
lebih rendah dibanding era sebelum JKN.
Dari penelitian ini, dapat disimpulkan tidak ada perbedaan lama masa rawat dan
kualitas hidup pasien yang dirawat pada era sebelum JKN dengan era JKN.
Diperlukan penelitian lebih lanjut setelah program JKN sudah diterapkan
sepenuhnya dengan metodologi penelitian yang lebih baik untuk mendapatkan hasil
yang lebih valid dan meyakinkan.

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


65

SUMMARY

The increasing prevalence of elderly population also led to increasing numbers of


hospitalizations in this population. According to the physiology of aging such as
the presence of comorbidities, imunonescence, and homeostenosis, these groups are
more susceptible to have complications during treatment which will affect longer
average length of stay. The presence of comorbidities and chronic diseases will also
make geriatric patients less possible to be cured so the quality of life will be one of
the major outcomes for geriatric patients.
Comprehensive Geriatric assesment (CGA) is proven to improve length of stay and
quality of life without affecting the cost and has become standard procedure in
RSCM. Since January 2014, Indonesia has applied national health insurance
program (NHIP), adapting casemix system from the United Nations University
International Institute for Global Health (UNU-IIGH) with the name INA-CBG.
This prospective financing system is expected to improve efficiency. On the other
hand there will be a concern that this system will affect physicians in making
clinical decisions that eventually affect the outcomes. This study examined the
differences between length of stay and quality of life before NHIP and after NHIP
was applied.
The methodology was retrospective cohort with historical control performed in
geriatric patients ≥ 60 years old with ≥ 1 geriatric syndromes treated in an acute
geriatric ward RSCM from July to December 2013 (before NHIP) and January-June
2014 (after NHIP). Independent variables were before NHIP period and after NHIP
period and dependent variables were length of stay and quality of life. We used
independent t-test to compare between variables. We recruited samples with total
sampling technique because we would calculate incremental cost effectiveness
ratio. ICER will be plotted to a scheme to describe whether the new program
(NHIP) were more expensive/cheap according to length of stay and quality of life.
Length of stay was calculated from subject’s admission to discharge. Quality of life
was assessed using the form Euroqol 5 Domains (EQ5D) and presented with EQ5D
index. Quality of life gain during treatment was measured by calculate the
difference between EQ5D before and after treatment. To describe utility cost
analysis, we calculate QALD (Quality adjusted life days) by multiplying EQ5D
gain with length of stay.
The characteristics were relatively similar between 100 subject in non JKN group
and 125 subject in NHIP group . the median of age were 70 [60- 86] dan 68 [60-
85] years old respectively. There was no significant difference between length of
stay in non NHIP, median 12[2-76] days and NHIP group, median 12[2-59] days,
p= 0,540. Quality of life which described as QALD proved that there was also no
significant difference between non NHIP, median 0,812[-3,1 – 24,37] and NHIP
group, median 0,000 [-7,37 –22,43], p= 0,843. The most three diagnosis were
pneumonia, acute confusional state, and sepsis. Meanwhile, three common geriatric
giants were immobilization, acute confusional state, instability, and decubitus ulcer.
The cost spent for one admission was Rp. 19.961,000 [Rp.2.57–Rp. 100 millions]
in non NHIP and Rp. 20.832.000,- [Rp.3.067-Rp.100 millions] in NHIP group.
Incremental cost effectiveness ratio (ICER) scheme showed NHIP is more
expensive Rp.1.500.000,- to have 0,91 shorter days than non NHIP system. For

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


66

QALD, the cost was cheaper Rp.3.484.887,- to have 0,25 QALD lower than non
NHIP.
From this study, we can conclude that there were no difference either in length of
stay or quality of life before NHIP and after NHIP periods. For further study, we
suggest more robust methodology after NHIP has fully applied to get more valid
and convincing result.

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


67

DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. Definition of older or elderly person [internet].


Cited Jan 4th 2014. Available at: http://www.who.int/healthinfo/survey/
ageingdefnolder/en/.
2. Naeim A. Healthcare Cost-effectiveness Analysis for Older Patients: Using
Cataract Surgery and Breast Cancer Treatment Data. California: University of
California, 2002. p2
3. Setiati S, Harimurti K, Roosheroe AG. Proses menua dan implikasi kliniknya.
Dalam: Sudoyo, AW, Setiyohadi, B, Alwi, I, Simadibrata, M, Setiati S. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam, 2006. h1345
4. De Frances CJ, Cullen KA, Kozak LJ. National hospital discharge survey: 2005
annual summary with detailed diagnosis and procedure data. Vital Health Stat.
2007;13(165).
5. Harmaini F. Uji keandalan dan kesahihan formulir European Quality of Life-5
Dimensions (EQ-5D) untuk mengukur kualitas hidup terkait kersehatan pada
usia lanjut di RSUPNCM [Tesis Akhir]. Jakarta: Universitas Indonesia, 2006.
h65
6. Ellis G, Whitehead MA, Robinson D, O'Neill D, Langhorne P. Comprehensive
geriatric assessment for older adults admitted to hospital: meta-analysis of
randomised controlled trials. BMJ, 2011;343:d6553.
7. Soejono, CH. The impact of 'comprehensive geriatric assessment (CGA)'
implementation on the effectiveness and cost (CEA) of healthcare in an acute
geriatric ward. Acta Med Indones, 2008;40(1):3-10.
8. Pusat Pembiayaan dan Jaminan Kesehatan. Buku pegangan sosialisasi Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN) dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI, 2014. h25
9. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan. Riset
kesehatan dasar 2013. Jakarta: Departemen Kesehatan, 2013. h100-104
10. Manton KG, Woodbury MA, Vertrees JC, Stallard E. Use of Medicare services
before and after introduction of the prospective payment system. Health Serv
Res. 1993;28(3):269-92.
11. Gosden T, Forland F, Kristiansen IS, Sutton M, Leese B, Giuffrida A, et al.
Capitation, salary, fee-for-service and mixed systems of payment: effects on
the behaviour of primary care physicians. Cochrane Database Syst Rev.
2000(3):CD002215.
12. Sahadevan S, Earnest A, Koh YL, Lee KM, Soh CH, Ding YY. Improving the
diagnosis related grouping model's ability to explain length of stay of elderly
medical inpatients by incorporating function-linked variables. Ann Acad Med
Singapore. 2004;33(5):614-22.
13. Mulley G. Geriatric Medicine Defined [internet]. United Kingdom: British
Geriatrics Society; Sept 29th 2010 [cited 25 Juli 2014]. Available at:
www.bgs.uk/index/php
14. Taffet GE. Physiology of Aging. In: Cassel, CK, ed. Geriatric medicine: an
evidence-based approach. 4th ed. New York: Springer, 2003.p27-35

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


68

15. Wang SY, Shamliyan TA, Talley KM, Ramakrishnan R, Kane RL. Not just
specific diseases: systematic review of the association of geriatric syndromes
with hospitalization or nursing home admission. Arch Gerontol Geriatr.
2013;57(1):16-26.
16. Tinetti ME, Inouye SK, Gill TM, Doucette JT. Shared risk factors for falls,
incontinence, and functional dependence. Unifying the approach to geriatric
syndromes. JAMA. 1995;273(17):1348-53.
17. Caprio TV, Williams TF. Comprehensive geriatric assessment. In: Caprio, TV,
ed. Practice of Geriatrics. 4th ed. Michigan: Saunders/Elsevier, 2007.
18. Rodriguez-Pascual C, Rodriguez-Justo S, Garcia-Villar E, Narro-Vidal M,
Torrente-Carballido M, Paredes-Galan E. Quality of life, characteristics and
metabolic control in diabetic geriatric patients. Maturitas; 69(4):343-7.
19. Klepin HD, Geiger AM, Tooze JA, Kritchevsky SB, Williamson JD, Pardee TS,
et al. Geriatric assessment predicts survival for older adults receiving induction
chemotherapy for acute myelogenous leukemia. Blood 2013;121(21):4287-94.
20. Bo M, Martini B, Ruatta C, Massaia M, Ricauda NA, Varetto A, et al. Geriatric
ward hospitalization reduced incidence delirium among older medical
inpatients. Am J Geriatr Psychiatry. 2009;17(9):760-8.
21. Bottomley A. The journey of health-related quality of life assessment. Lancet
Oncol. 2008;9(9):906.
22. Kirkova, J. Measuring Quality of Life. In: Walsh, AT, Caraceni, R. Fainsinger,
KM, Foley, P, Glare, C, Goh L, eds. Palliative medicine. 1st ed. Philadelphia:
Saunders Elsevier, 2008. p175-181
23. Setiati S, Harimurti K, Dewiasty E, Istanti R. Predictors and scoring system for
health-related quality of life in an Indonesian community-dwelling elderly
population. Acta Med Indones. 2011;43(4):237-42.
24. Hunger M, Thorand B, Schunk M, Doring A, Menn P, Peters A, et al.
Multimorbidity and health-related quality of life in the older population: results
from the German KORA-age study. Health Qual Life Outcomes. 2011;9:53.
25. Giuli C, Papa R, Bevilacqua R, Felici E, Gagliardi C, Marcellini F, et al.
Correlates of perceived health related quality of life in obese, overweight and
normal weight older adults: an observational study. BMC Public Health.
2014;14:35.
26. Wicke FS, Guthlin C, Mergenthal K, Gensichen J, Loffler C, Bickel H, et al.
Depressive mood mediates the influence of social support on health-related
quality of life in elderly, multimorbid patients. BMC Fam Pract. 2014;15(1):62.
27. Prasad JD, Varghese AK, Jamkhandi D, Chakraborty A, Rakesh PS, Abraham
VJ. Quality-of-Life among Elderly with Untreated Fracture of Neck of Femur:
A Community Based Study from Southern India. J Family Med Prim Care.
2013;2(3):270-3.
28. Prieto L, Sacristan JA. Problems and solutions in calculating quality-adjusted
life years (QALYs). Health Qual Life Outcomes. 2003;1:80.
29. Hughes RG, Blegen MA. Patient Safety and Quality: An evidence Based
Handbook for Nurses. In: Hughes RG, editor. Medication Administration
Safety. Rockville: Agency for Healthcare Research and Quality, 2008.p2-397-
2-458

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


69

30. Russo CA, Steiner C, Spector W. Hospitalizations related to pressure ulcers


among adults 18 years and older. Rockville, MD: Agency for Healthcare
Research and Quality; 2006. 2008 Dec. HCUP Statistical Brief #64
31. Ono T, Tamai A, Takeuchi D, Tamai Y, Iseki H, Fukushima H, et al. Predictors
of length of stay in a ward for demented elderly: gender differences.
Psychogeriatrics. 2010;10(3):153-9.
32. Ismail Z, Arenovich T, Grieve C, Willett P, Sajeev G, Mamo DC, et al.
Predicting hospital length of stay for geriatric patients with mood disorders.
Can J Psychiatry. 2012;57(11):696-703.
33. Sheeran T, Byers AL, Bruce ML. Depression and increased short-term
hospitalization risk among geriatric patients receiving home health care
services. Psychiatr Serv. 2010;61(1):78-80.
34. Siddiqi N, Stockdale R, Britton AM, Holmes J. Interventions for preventing
delirium in hospitalised patients. Cochrane Database Syst Rev.
2007(2):CD005563.
35. Nirantharakumar K, Toulis KA, Wijesinghe H, Mastan MS, Srikantharajah M,
Bhatta S, et al. Impact of diabetes on inpatient mortality and length of stay for
elderly patients presenting with fracture of the proximal femur. J Diabetes
Complications. 2013;27(3):208-10.
36. Kaye KS, Marchaim D, Chen TY, Baures T, Anderson DJ, Choi Y, et al. Effect
of nosocomial bloodstream infections on mortality, length of stay, and hospital
costs in older adults. J Am Geriatr Soc. 2014;62(2):306-11.
37. Garcia AE, Bonnaig JV, Yoneda ZT, Richards JE, Ehrenfeld JM, Obremskey
WT, et al. Patient variables which may predict length of stay and hospital costs
in elderly patients with hip fracture. J Orthop Trauma. 2012;26(11):620-3.
38. Theisen S, Drabik A, Stock S. Pressure ulcers in older hospitalised patients and
its impact on length of stay: a retrospective observational study. J Clin Nurs.
2012;21(3-4):380-7.
39. Thabrany H. Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan Nasional: Sebuah Policy
Paper dalam Analisis Kesesuaian Tujuan dan Struktur. Suatu position paper
untuk Hatta project bekerjasama dengan perkumpulan Prakarsa dan The Asia
Foundation. Jakarta; 2009. h5
40. Busse R, Geissler A, Aaviksoo A, Cots F, Hakkinen U, Kobel C, et al. Diagnosis
related groups in Europe: moving towards transparency, efficiency, and quality
in hospitals? BMJ. 2013;346:f3197.
41. O'Reilly J, Lowson K, Young J, Forster A, Green J, Small N. A cost
effectiveness analysis within a randomised controlled trial of post-acute care
of older people in a community hospital. BMJ. 2006;333(7561):228.
42. Rokx C, Schieber G, Harimurti P, Tandon A, Somanathan A. Health financing
in Indonesia: a reform road map. Indonesia: The world bank, 2009.p1-6
43. Cashin C, O'dougherty S, Samsyshkin Y, Katsaga A, Ibrahimova A, Kutanov
Y. Case Based Hospital payment systems: A step by step guide for design and
implementation in low- and middle-income countries. USA: United States
Agency International Development, 2005.p12
44. Polinder S, Toet H, Panneman M, Beeck V. Methodological approach for cost
effectiveness and cost utility analysis of injury prevention measure. The world
Health Organization [internet]. cited june 24th 2014. Available at:
http://www.euro.who.int/en/health-topic/disease-prevention/

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


70

45. Isfandiaty R, Harimurti K, Setiati S, Roosheroe AG. Incidence and predictors


for delirium in hospitalized elderly patients: a retrospective cohort study. Acta
Med Indones.2010;44(4):290-7.
46. Buurman BM, Hoogerduijn JG, de Haan RJ, Abu-Hanna A, Lagaay AM,
Verhaar HJ, et al. Geriatric conditions in acutely hospitalized older patients:
prevalence and one-year survival and functional decline. PLoS One.
2011;6(11):e26951.
47. Baldo V, Cocchio S, Baldovin T, Buja A, Furlan P, Bertoncello C, et al. A
population-based study on the impact of hospitalization for pneumonia in
different age groups. BMC Infect Dis. 2014;14:485.
48. Nasa P, Juneja D, Singh O. Severe sepsis and septic shock in the elderly: An
overview. World J Crit Care Med. 2012;1(1):23-30.
49. De Buyser SL, Petrovic M, Taes YE, Vetrano DL, Onder G. A multicomponent
approach to identify predictors of hospital outcomes in older in-patients: a
multicentre, observational study. PLoS One. 2014;9(12):e115413.
50. Limpawattana P, Sutra S, Thavornpitak Y, Sawanyawisuth K, Chindaprasirt J,
Mairieng P. Delirium in hospitalized elderly patients of Thailand; is the figure
underrecognized? J Med Assoc Thai. 2012;95 Suppl 7:S224-8.
51. Yao X, Li H, Leng SX. Inflammation and immune system alterations in frailty.
Clin Geriatr Med. 2011;27(1):79-87.
52. Rao AV, Hsieh F, Feussner JR, Cohen HJ. Geriatric evaluation and management
units in the care of the frail elderly cancer patient. J Gerontol A Biol Sci Med
Sci. 2005;60(6):798-803.
53. Departemen Kesehatan. Peraturan menteri kesehatan Republik Indonesia nomor
27 tahun 2014 tentang petunjuk teknis sistem Indonesian case base groups
(INA CBGs). Jakarta: Departemen Kesehatan, 2014.
54. Aljunid SM, Ismail A, Sulong S. Can clinical pathways enhance the
implementation of a casemix system? a case study in a teaching hospital in
Malaysia. BMC Health Serv Res. 2011;11(suppl 1):A6.
55. Rotter T, Kinsman L, James E, Machotta A, Gothe H, Willis J, et al. Clinical
pathways: effects on professional practice, patient outcomes, length of stay and
hospital costs. Cochrane Database Syst Rev. 2010 (3):CD006632.
56. Clarke A, Rosen R. Length of stay. How short should hospital care be? Eur J
Public Health. 2001;11(2):166-70.
57. Conroy S, Cooper N. Acute medical care of elderly people [internet]. United
Kingdom: British geriatrics society: Oct 28th 2010. Cited Des 14th 2014.
Available at: www.bgs.uk/index/php
58. Statewide older people clinical network. Level 6 area geriatric service: ccute
care of the elderly unit model of care. South Australia: South Australia
Goverment, 2013. p8-11
59. Osborne, JW. Chapter 6: Dealing with missing or incomplete data: Debunking
the myth of emptiness. In: Osborne, JW, ed. Best Practices in Data Cleaning.
USA: Sage publications, 2013. p105-138
60. Kang H. The prevention and handling of the missing data. Korean J Anesthesiol.
2013;64(5):402-6.
61. Dyer MT, Goldsmith KA, Sharples LS, Buxton MJ. A review of health utilities
using the EQ-5D in studies of cardiovascular disease. Health Qual Life
Outcomes. 2010;8:13.

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


71

62. Jansson KA, Granath F. Health-related quality of life (EQ-5D) before and after
orthopedic surgery. Acta Orthop, 2011;82(1):82-9.
63. Gaujoux-Viala C, Fautrel B, Guillemin F, Flipo RM, Bourgeois P, Rat AC. Who
are the patients with early arthritis with worse than death scores on the EQ-5D?
Results from the ESPOIR cohort. Rheumatology (Oxford). 2012;52(5):832-8.
64. Sprigg N, Selby J, Fox L, Berge E, Whynes D, Bath PM. Very low quality of
life after acute stroke: data from the Efficacy of Nitric Oxide in Stroke trial.
Stroke. 2013;44(12):3458-62.
65. Goodacre SW, Wilson RW, Bradburn M, Santarelli M, Nicholl JP. Health utility
after emergency medical admission: a cross-sectional survey. Health Qual Life
Outcomes. 2010;10:20.
66. Lin JH, Huang MW, Wang DW, Chen YM, Lin CS, Tang YJ, et al. Late-life
depression and quality of life in a geriatric evaluation and management unit: an
exploratory study. BMC Geriatr. 2014;14:77.
67. Devlin NJ, Tsuchiya A, Buckingham K, Tilling C. A uniform time trade off
method for states better and worse than dead: feasibility study of the 'lead time'
approach. Health Econ. 2011;20(3):348-61.
68. Boyd CM, Landefeld CS, Counsell SR, Palmer RM, Fortinsky RH, Kresevic D,
et al. Recovery of activities of daily living in older adults after hospitalization
for acute medical illness. J Am Geriatr Soc. 2008;56(12):2171-9.

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


72

LAMPIRAN I

FORMULIR STATUS KUALITAS HIDUP (EQ5D)


Mohon beri tanda  pada kotak  yang paling sesuai untuk pernyataan tentang
tingkat kesehatan Bapak/ Ibu
1. MOBILITAS
a. Saya tidak mempunyai masalah untuk berjalan 
b. Saya ada masalah untuk berjalan 
c. Saya hanya mampu berbaring 

2. PERAWATAN DIRI SENDIRI


a. Saya tidak mempunyai kesulitan dalam perawatan diri sendiri 
b. Saya mengalami kesulitan untuk membasuh badan, mandi 
atau berpakaian
c. Saya tidak mampu membasuh badan, mandi atau berpakaian 
sendiri

3. AKTIVITAS SEHARI-HARI (mis. pekerjaan rumah tangga, aktivitas


keluarga, bersantai)
a. Saya tak mempunyai kesulitan dalam melaksanakan kegiatan 
sehari-hari saya
b. Saya mempunyai keterbatasan dalam melaksanakan kegiatan 
sehari-hari
c. Saya tak mampu melaksanakan kegiatan sehari-hari 

4. RASA NYERI / RASA TAK NYAMAN


a. Saya tidak mempunyai keluhan rasa nyeri atau rasa tak nyaman 
b. Saya sering merasakan agak nyeri/ agak kurang nyaman 
c. Saya menderita karena keluhan rasa nyeri atau tidak nyaman 

5. RASA CEMAS / DEPRESI


a. Saya tidak merasa cemas/ gelisah atau depresi (jiwa tertekan) 
b. Saya kadang merasa agak cemas atau depresi 
c. Saya merasa sangat cemas atau sangat depresi 

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


73

LAMPIRAN II

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


74

LAMPIRAN II (LANJUTAN)

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


75

LAMPIRAN II (LANJUTAN)

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015


76

LAMPIRAN III

Universitas Indonesia

Perbedaan lama..., Ika Fitriana, FK UI, 2015

Anda mungkin juga menyukai