File PDF
File PDF
File PDF
TESIS
IKA FITRIANA
NPM. 1006767456
FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI ILMU PENYAKIT DALAM
JAKARTA
JANUARI 2015
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
vi
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Dan khususnya kepada Prof. Dr. dr. Siti setiati SpPD-KGer, salah satu guru
terbaik yang FKUI miliki, yang telah banyak memberi masukan sejak ujian tesis
tertutup hingga terbuka, meluruskan berbagai salah pemahaman saya tentang
konsep penelitian, membuat saya bersemangat untuk melanjutkan minat saya di
bidang keilmuan geriatri. Saya sampaikan kekaguman saya yang mendalam atas
semangat dan dedikasi Prof. mendidik kami semua.
Terima kasih juga saya sampaikan kepada para Guru Besar dan Staf Pengajar di
lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM, yang telah
menjadi guru dan teladan selama masa pendidikan ini dan yang akan tetap menjadi
tempat bertanya bagi saya di kemudian hari.
Kepada mas Iwa, mbak Yanti, dan staf administrasi lain di divisi geriatri yang
telah banyak saya ganggu dan sangat banyak membantu saya untuk kelancaran
penelitian ini. Juga kepada mbak Yanti dan Pak Total di sekretariat direksi RSCM
yang juga banyak diganggu tentang penjadwalan, saya ucapkan terimakasih. Hanya
Allah yang dapat membalas semua kebaikan kalian. Kepada Mbak Tami (Utami
Susilowati, SKM), saya ucapkan banyak terima kasih atas bantuan selama proses
pengolahan dan analisis statistik.. Juga tak lupa untuk Bu Atun, petugas
administrasi lantai 8 ruang geriatri akut Gedung A RSCM terimakasih atas segala
data yang telah ibu berikan.
Kepada para staf administrasi pendidikan PPDS Sp1, Ibu Yanti, Ibu Aminah dan
Pak Heri juga kepada para staf administrasi semua divisi di lingkungan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam, saya mengucapkan terima kasih dan
penghargaan atas semua bentuk perhatian, bantuan dan kerja sama yang diberikan
selama saya menjalani program pendidikan dokter spesialis.
Ucapan terimakasih tak terhingga untuk semua pasien, terutama pasien geriatri di
ruang rawat geriatri akut RSCM yang telah menyumbangkan datanya untuk
penelitian. Semoga saya tetap amanah menjadi dokter yang menjaga integritas dan
profesionalitas, tetap bersahaja, dan mengutamakan kepentingan pasien, seperti
sumpah Hipokrates yang pernah diucapkan. Ya Allah bantu Hamba menjaga
amanah ini.
Kepada para Staf Pengajar, Staf Administrasi, Perawat, Paramedis di RSUPN
Cipto Mangunkusumo, RSUP Persahabatan, RSUP Fatmawati, RSPAD Gatot
Subroto dan RSU Tangerang yang telah memberikan sumbangsih ilmu pengetahuan
dan pengalaman hidup yang berharga kepada saya selama proses pendidikan di
Departemen Ilmu Penyakit Dalam saya ucapkan rasa terima kasih yang sebesar-
besarnya.
Kepada para kakak dan adik angkatan, dan Teman Sejawat sesama Peserta
Program Pendidikan Dokter Spesialis di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam, terima kasih atas bimbingan, dukungan dan kerjasamanya selama ini.
Kepada teman-teman seperjuangan: Dokter Ulin, Sisi, Wiwi, Diah, Farid, Fandy,
Ferry, Hari, Imelda, M. Ikhsan, Adli, Paskalis Andrew “gamers juga bisa
sukses” Gunawan, Tanti, Toni, Suzy, dan Ucup aka cupi aka Yusuf. Khususnya
Universitas Indonesia
buat Deka, teman seperjuanganku dari belajar bersama sebelum ujian masuk
spesialis dan pendidikan S-1 dulu, tetap semangat meski umur “geriatri” pantang
menyerah dalam pendidikan. Terimakasih atas kebersamaan ini, terimakasih atas
segala canda tawa, berbagi suka, duka, dan cerita. Terimakasih atas kekompakan
angkatan Juli 2010 yang tidak terbantahkan, Saya sangat bersyukur dan bangga
berada dalam angkatan ini. Semoga silaturahhim ini terus berlanjut hingga nanti,
semoga kita semua sukses dan menjadi dokter spesialis yang bermanfaat bagi
berbagai kalangan.
Untuk teman-teman seperjuangan selama di Puskesmas CIkulur Lebak Banten,
terimakasih telah mendukung saya untuk melanjutkan sekolah. Kepada Dr. dr.
Hardiono Pusponegoro, SpA(K) yang telah mengijinkan saya tetap bekerja
sebagai penulis di Majalah Anakku meski dalam pendidikan, saya ucapkan
penghargaan dan terimakasih sebesar-besarnya. Juga buat teman-temanku di
majalah Anakku yang masih bergabung atau yang telah sukses di tempat lain yang
tak bisa kusebut satu persatu, khususnya mbak-ku yang ayu dan selalu semangat,
mbak Diah, terimakasih atas dukungan dan kebersamaannya selama ini.
Kepada Ayahku, Bpk Drs. H.A. Chowasyi Mandala, terimakasih tak terhingga
atas segala dorongan, nasehat, semangat, dan doa yang membuat aku bisa
menjalankan pendidikan ini. Pendidikan yang keras selama masa kecil dan remaja
membuatku memiliki kepribadian yang pantang menyerah untuk pendidikan.
Ucapan terimakasih tak terhingga untuk ibuku Siti Qudsiyah, BA,. Begitu banyak
pengorbanan yang telah diberikan untuk kesuksesan ini. Doamu yang selalu terucap
dalam hati, dalam setiap bulir kata, teladanmu untuk orang-orang sekitar, cucu,
anak, menantu, membuat namamu menjadi harum dimanapun berada. Setiap kali
gelap, kau membuatnya benderang, setiap kali terik, kau membuatnya sejuk. Setiap
kali gelisah, kau menciptakan kedamaian. Ya Allah, sehatkanlah dan bahagiakan
selalu ayah ibuku, berikan aku kesempatan untuk mencapai segala harapan mereka.
Amiin.
Kepada Bapak Alm. Sutrisno Kurdi, bapak mertua yang telah tenang di Alam
sana, terimakasih atas segala dukungan dan kesabaran, Untuk Ibu Wahyudiati,
yang selalu mencurahkan doa tak habis-habisnya, memberi perhatian dan kasih
sayang tanpa pamrih kepada kami anak-anaknya. Maafkan aku tak bisa banyak
menjenguk karena kesibukan selama ini. Untuk A’ Yossi, mbak Nui, Indra, Lisna,
keponakanku semua. Terimakasih atas segala dukungan dan kebersamaannya.
Terimakasih juga untuk bulik dan budeku sayang, Eyang putri, untuk keluaga besar
Bani sadja’i, Uwa dan omku, Almarhum dan almarhumah mbah yang telah banyak
mendukung, mengajarkan arti ketulusan dan keikhlasan.
Kepada suamiku yang kucintai, Bapak yang hebat dari anak-anakku, Dede
Ariwibowo, S.Sos, yang ketulusannya dalam mendorong istri untuk maju
membuatnya mengorbankan banyak hal. Maaf karena banyak waktu kebersamaan
hilang selama pendidikan ini dan terimakasih tak terhingga untuk segala doa dan
kasih sayang. Buat dua cahaya hidupku, Hashifaya Immani Mumtaz dan Kun
Universitas Indonesia
Magnar Amaruzzarvan yang dari mereka aku belajar kesabaran dan ketulusan
mencintai, yang tangan-tangan kecilnya selalu menyambutku ketika aku pulang
kelelahan. Terimakasih sayang, karena kalianlah ibu semangat menyelesaikan
pendidikan secepatnya, semoga ibu dapat menebus segala kehilangan waktu selama
ini dan maafkan telah banyak hakmu terlanggar.
Dan untuk semua pihak yang tak dapat saya sebutkan satu persatu, saya ucapkan
terimakasih atas segala bantuan dalam menyelesaikan pendidikan spesialis dan
penerbitan tesis ini. Semoga Allah membalas dengan kebaikan yang lebih.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Jakarta, 25 Januari 2015
Penulis
Universitas Indonesia
ABSTRAK
Latar belakang :
Kelompok geriatri memiliki karakteristik khusus yang berpotensi meningkatkan
lama masa rawat dan menurunkan kualitas hidup dan terbukti dapat diperbaiki
dengan Pendekatan Paripurna Pasien Geriatri (P3G). Terdapat kemungkinan
adanya perbedaan antara lama masa rawat dan kualitas hidup pasien geriatri dengan
P3G sebelum dengan sesudah adanya sistem pembiayaan JKN (Jaminan Kesehatan
Nasional)
Tujuan : melakukan evaluasi pelaksanaan sistem JKN terhadap lama rawat, quality
adjusted life days (QALD) dan efektivitas biaya pasien geriatri yang dirawat di
ruang rawat geriatri akut RSCM.
Metode : Penelitian kohort retrospektif dengan kontrol historis dilakukan pada
pasien geriatri ≥ 60 tahun dengan ≥ 1 sindrom geriatri yang dirawat di ruang rawat
geriatri akut RSCM periode Juli-Desember 2013 (era non JKN) dan Januari-Juni
2014 (era JKN). Perbedaan dua rerata lama rawat dan QALD era non JKN dengan
JKN dianalisis dengan uji-T tidak berpasangan. Dilakukan juga penghitungan
incremental cost effectivity ratio (ICER) program JKN dengan outcome lama rawat
dan QALD yang akan dipresentasikan dalam skema ICER.
Hasil : Dari total 225 subjek, 100 subjek berada di era non JKN dan 125 subjek di
era JKN dengan karakteristik relatif sama. Rerata usia adalah 70 [60-86] tahun dan
68 [60-85] tahun secara berurutan. Tidak ada perbedaan lama rawat antara era non
JKN dan JKN dengan median 12 [2-76] dan 12 [2-59] hari, p= 0,974. Begitu juga
tak ada perbedan QALD antara kelompok non JKN dan JKN dengan median
0,812[-3,1 – 24,37] dan 0,000 [-7,37 – 22,43], p= 0,256. Biaya per satu kali rawat
pada era non JKN adalah Rp. 19.961,000 [Rp.2.57 juta –Rp. 100 juta] dan JKN Rp.
20.832.000,- [Rp.3.067 juta - Rp.100 juta]. Skema ICER memperlihatkan biaya
rawat lebih mahal Rp. 1.500.000,- untuk mendapatkan lama rawat lebih pendek
0,91 hari. Berdasarkan QALD, biaya rawat lebih murah Rp.3.484.887,- dengan 0,25
QALD lebih rendah dibanding era non JKN.
Simpulan : Tidak ada perbedaan lama rawat dan kualitas hidup pasien yang dirawat
pada era non JKN dengan era JKN.
Kata kunci : geriatri, lama rawat, QALD, Incremental cost effectiveness ratio, JKN
Universitas Indonesia
Background:
Geriatric population with special characteristics tend to have longer average length
of stay and lower quality of life. CGA (comprehensive Geriatric Assesment) was
proven to improve the outcomes and has already be the standard procedure in
RSCM. There were concerns on the difference between length of stay and quality
of life before and after NHIP (National Health Insurance program) applied.
Objectives: To evaluate the implementation of NHIP system according to length
of stay, quality adjusted life days and cost effectiveness of care in geriatric patients
in acute care for elderly Cipto Mangunkusumo Hospital
Method : This is a retrospective cohort study with historical control. The subjects
were geriatric patients ≥60 years old with one or more geriatrics giants between Juli
to Desember 2013 (Non NHIP) and Januari to Juni 2014 (NHIP). We used
independent T test to compare between two mean of length of stay and QALD.
Results : The characteristics were relatively similar between 100 subject in non
NHIP group and 125 subject in NHIP group. the median of age were 70 [60- 86]
dan 68 [60- 85] years old respectively. There was no significant difference between
length of stay in non NHIP, median 12[2-76] days and NHIP group, median 12[2-
59] days, p= 0,974. Quality of life which described as QALD proved that there
was also no significant difference between non NHIP, median 0,812[-3,1 – 24,37]
and NHIP group, median 0,000 [-7,37 –22,43], p= 0,256. The cost spent for one
admission was Rp. 19.961,000 [Rp.2.57–Rp. 100 millions] in non NHIP and Rp.
20.832.000,- [Rp.3.067-Rp.100 millions] in NHIP group. Incremental cost
effectiveness ratio (ICER) scheme showed NHIP is more expensive Rp.1.500.000,-
to have 0,91 shorter days than non NHIP system. For QALD, the cost was cheaper
Rp.3.484.887,- to have 0,25 QALD lower than non NHIP.
Conclusion: There were no difference in length of stay and quality of life of patients
who admitted in acute geriatric Cipto Mangunkusumo hospital with CGA approach
before and after National Health Insurance program implementation.
Key words : elderly, geriatrics, length of stay, quality of life, incremental cost
effectiveness ratio, National Health Insurance Program
xiii
Universitas Indonesia
HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME .............................................. ii
SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS ......................................................... iii
LEMBAR PERSETUJUAN................................................................................... iv
LEMBAR PERSETUJUAN PENGUJI ...................................................................v
UCAPAN TERIMAKASIH .................................................................................. vi
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ....................................................... xii
ABSTRAK ........................................................................................................... xiii
ABSTRACT ........................................................................................................... xiv
DAFTAR ISI ..........................................................................................................xv
DAFTAR TABEL ............................................................................................... xvii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xviii
DAFTAR TANDA DAN SINGKATAN ............................................................. xix
DAFTAR LAMPIRAN ..........................................................................................xx
xiv
Universitas Indonesia
RINGKASAN ........................................................................................................65
SUMMARY .............................................................................................................67
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................68
LAMPIRAN ...........................................................................................................73
Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
xx
Universitas Indonesia
1.1.LATAR BELAKANG
World Health Organization menyepakati kelompok usila (usia lanjut) atau geriatri
adalah mereka yang berusia lebih atau sama dengan 60 tahun, di negara
berkembang ada yang menggunakan batasan 65 tahun.1 Saat ini, di Amerika,
penduduk usila di atas 65 tahun menyumbang 12% populasi, atau sekitar 32,6 juta
jiwa. Angka ini diprediksi akan meningkat secara dramatis pada 20-30 tahun ke
depan. Dari tahun 1990 sampai 2020, jumlah penduduk usila akan meningkat
sebanyak 74% sedangkan populasi bukan usila hanya meningkat sebanyak 24%.
Kondisi ini menyebabkan pada masa mendatang satu dari lima orang adalah usila.2
Pada tahun 2050, jumlah kelompok usila di Asia diprediksi mencapai 1,2 milyar
jiwa (59% dari populasi total di dunia), sementara pada tahun yang sama,
seperempat penduduk Indonesia akan mencapai usila dibandingkan saat ini yang
hanya seperduabelas penduduk Indonesia.3 Meningkatnya jumlah populasi usila
akan meningkatkan insidensi usila yang dirawat di rumah sakit dengan berbagai
penyebab.
Karena pasien geriatri sering memiliki komorbiditas penyakit kronik dan penurunan
fungsi, mereka juga sulit mencapai kesembuhan sehingga perbaikan kualitas hidup
menjadi salah satu luaran perawatan. Nilai kualitas hidup pada
1
Universitas Indonesia
geriatri diukur menggunakan EQ5D, sesuai dengan penelitian Harmaini tahun 2006
di RSCM yang membuktikan EQ5D lebih ringkas namun tetap andal dan sahih.5
EQ5D mengukur kualitas hidup melalui suatu indeks dari lima domain yaitu
mobilitas, perawatan diri, aktifitas harian, rasa nyeri/tidak nyaman, dan
cemas/depresi.
Perbaikan lama masa rawat dan kualitas hidup pasien geriatri selama perawatan
terbukti dapat dicapai melalui pendekatan P3G (pengkajian paripurna pasien
geriatri). P3G adalah Pendekatan melalui evidence based medicine dan value based
medicine yang dituangkan secara holistik mencakup berbagai aspek medis, fisik,
6
sosial, dan psikologis. Metaanalisis oleh Ellis, dkk. memperlihatkan P3G
menurunkan angka mortalitas, memperpendek masa rawat, meningkatkan kualitas
hidup dan status fungsional, dan menurunkan rehospitalization. Berdasarkan
Soejono, dkk. 7 lama masa rawat pasien geriatri dengan metode P3G di ruang rawat
geriatri akut RSCM pada tahun 2007 adalah 10.99[SD 0.79] hari dibandingkan
pasien geriatri non P3G 20.16[SD 2.62], p<0.01 dengan biaya
Rp.4.760.965(338.089) dibandingkan non P3G Rp.9.746.426 (1.180.331).
Sedangkan skor EQ5D 0,71[0,04] dibandingkan 0,61[0,04], p=0,09. Pendekatan ini
dikatakan dapat mereorganisasi pelayanan tanpa menyebabkan peningkatan biaya.
Dengan sistem pembiayaan yang ada selama ini, P3G telah menjadi prosedur
standar di ruang rawat akut geriatri RS Cipto Mangunkusumo dan dinilai berjalan
cukup baik.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
12
Sahadevan, dkk. meneliti pengaruh sistem asuransi prospektif berdasarkan
klasifikasi DRG (diagnosis related group) terhadap perawatan lansia di suatu
rumah sakit geriatri di Singapura dan menemukan bahwa sistem ini memengaruhi
lama masa rawat pasien. Menurut Sahadevan,12 pasien geriatri dengan
multipatologi (imobilisasi, jatuh, demensia, inkontinensia) secara natural memiliki
lama masa rawat lebih panjang dengan komplikasi lebih banyak sehingga ikut
memengaruhi biaya perawatan. Hal ini berhubungan dengan salah satu kelemahan
sistem DRG yaitu tidak dapat menggabungkan dimensi derajat beratnya penyakit.
Padahal geriatri memiliki dimensi derajat berat penyakit yang bervariasi.
Dengan sistem pembiayaan yang relatif baru ini, di sisi lain adanya sistem P3G
yang telah berjalan di ruang rawat akut pasien geriatri di RSCM, muncul pertanyaan
apakah sistem pembiayaan ini akan memengaruhi pelaksanaan P3G hingga
menyebabkan perubahan komponen lama masa rawat dan kualitas hidup pasien di
ruang rawat geriatri akut RSCM. Kemudian, apakah sistem JKN ini lebih efektif
biaya dibandingkan sistem sebelumnya.
Dari latar belakang masalah di atas, dapat diidentifikasi masalah sebagai berikut:
Universitas Indonesia
1.3.HIPOTESIS
1. Terdapat perbedaan rerata lama masa rawat pasien geriatri yang dirawat
dengan metode P3G sebelum dan sesudah penerapan JKN
2. Terdapat perbedaan kualitas hidup pasien geriatri yang dirawat dengan
metode P3G sebelum dan sesudah penerapan JKN
1.4. TUJUAN
Universitas Indonesia
1. Penelitian ini dapat menjadi masukan untuk pemegang kebijakan tingkat rumah
sakit untuk memilih kebijakan yang efektivitas biaya
3. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan untuk penentu kebijakan terkait
penetapan tarif sesuai INA CBG untuk pasien geriatri dengan karakteristiknya yang
khusus.
Untuk klinisi
Untuk masyarakat
Penelitian ini menjadi bahan evaluasi pelaksanaan P3G selama era JKN untuk
perbaikan pelayanan pada pasien geriatri khususnya yang dirawat di ruang rawat
akut geriatri.
Universitas Indonesia
TINJAUAN PUSTAKA
The Royal College of Physicians (London) seperti dikutip oleh British Geriatric
Society menggambarkan kedokteran geriatri sebagai cabang kedokteran umum
yang mempelajari aspek klinis, preventif, remedial, dan sosial dari penyakit usia
lanjut. Tantangan seperti frailty, komorbiditas, penampilan pola penyakit yang
berbeda, respon yang lebih lambat terhadap terapi dan perlunya dukungan sosial
membutuhkan keterampilan medis khusus.13
Seringkali pasien usia lanjut muncul dengan gejala dan penyakit yang tidak spesifik
sehingga dokter perlu fokus pada riwayat jatuh, imobilisasi, inkontinensia,
perubahan kesadaran juga reaksi simpang obat. Komorbiditas bisa muncul terutama
stroke, penyakit jantung, infeksi, diabetes, delirium, dan demensia.
Karena gejalanya yang tidak khas, seringkali pasien geriatri terlambat didiagnosis
sakit dan dibawa ke rumah sakit dengan diagnosis yang kompleks.
Perubahan fisiologis terjadi seiring dengan penuaan, termasuk kekuatan otot dan
kapasitas aerobik yang berkurang, terjadi instabilitas vasomotor serta insensitivitas
baroreseptor. Begitu juga total body water, densitas tulang, ventilasi, dan kapasitas
sensorik ikut berkurang. Pasien geriatri juga memiliki penyakit komorbid dan
kronik yang memperberat perubahan fisiologis tersebut. Akibatnya pasien geriatri
memiliki risiko lebih tinggi terjadi komplikasi selama penyakit akut, termasuk
gangguan terhadap status fungsional sehari-hari. Adanya frailty (kerapuhan), suatu
kondisi kelemahan muskuloskeletal dan kehilangan menyeluruh struktur dan fungsi
7
Universitas Indonesia
pasien, dihubungkan dengan proses penuaan dan ikut menurunkan tingkat aktifitas.
Pada akhirnya, pasien geriatri rentan mengalami penurunan fungsi selama
perawatan dan berakibat lama masa rawat yang bertambah.14
Usia lanjut juga berhubungan dengan sindroma geriatri, suatu kondisi klinis pasien
lanjut usia yang tidak bisa dikategorikan dalam penyakit spesifik tertentu. Sehingga
diciptakanlah oleh Berdnard Isaacs istilah “Giants of Geriatrics” untuk
menggabungkan beberapa gejala geriatri mayor yaitu 4 I (Instabilitas, immobilisasi,
intellectual impairment, dan inkontinensia), namun tetap konsep besar sindroma
geriatri belum dapat sepenuhnya didefinisikan.15
Pasien geriatri memiliki risiko untuk lebih banyak dirawat dan masa rawat yang
15
lebih panjang. Suatu telaah sistematis oleh Wang, dkk. menunjukkan bahwa
pasien geriatri dengan lebih dari dua komorbiditas mempunyai kemungkinan lebih
besar untuk dirawat dibandingkan tanpa komorbiditas. Sedangkan polifarmasi
lebih dari lima obat memiliki OR untuk terjadinya perawatan 2,9 (95% IK 2,2- 4,1)
lebih sering dibandingkan dengan pasien tanpa polifarmasi. Begitu pula dengan
pasien geriatri yang disertai malnutrisi memiliki RR 3 (95% IK 1,9-3,2) untuk
masuk unit gawat darurat dibandingkan yang tidak. Wang menyimpulkan sindrom
geriatri terutama frailty (kerapuhan), disabilitas, dan komorbiditas multipel
memegang peran paling penting dalam memprediksi kemungkinan perawatan
rumah sakit pada pasien lanjut usia.
Dasar dari segala karakteristik pasien geriatri ini berhubungan dengan fisiologi
penuaan. Penuaan disebabkan oleh berkurangnya cadangan fisiologis yang
diterminologikan sebagai homeostenosis, menyebabkan meningkatnya kerentanan
terhadap penyakit yang muncul bersamaan dengan usia. Dengan penuaan,
kapasitas pasien geriatri untuk mengembalikan dirinya ke kondisi homeostasis
Universitas Indonesia
setelah suatu tantangan menjadi lebih kecil. Semakin banyak tantangan akan
menuntut cadangan fisiologi yang lebih besar untuk kembali ke kondisi
homeostasis. Proses penuaan sendiri membuat seseorang makin dekat pada
“precipice” atau ambang menuju kehilangan cadangan fisiologisnya.
“the precipice”
Cadangan
fisiologi
Bertambahnya umur
Fisiologi penuaan ini membuat pasien usia lanjut lebih rentan terhadap suatu
penyakit atau kejadian (serangan jantung, kematian) dan lebih lambat untuk pulih.
Mereka juga memiliki manifestasi penyakit yang berbeda dan memiliki ambang
yang berbeda dengan usia yang lebih muda. Hal ini menyebabkan pasien usia lanjut
yang dirawat karena sebab akut memerlukan pendekatan khusus. Berbagai
pendekatan untuk meningkatkan kualitas pelayanan pasien geriatri telah dilakukan,
salah satunya adalah dengan pendekatan paripurna pasien geriatri (P3G).
Universitas Indonesia
pendekatan pada pasien dewasa muda yang umumnya bertujuan untuk diagnosis
pasti dan penyembuhan, pada pasien usia lanjut, tujuan tatalaksana dan rencana
jangka panjang tak hanya menekankan aspek kesehatan tetapi juga aspek
kesejahteraan dan kemampuan fungsional. Tujuan kesembuhan kerap sulit dicapai
karena pasien biasanya telah memiliki penyakit kronik dengan gangguan status
fungsional. Untuk itu, pendekatan pada pasien geriatri bersifat individually tailored,
yaitu keunikan dan perbedaan karakter pasien sangat dihargai, dengan lebih
menekankan pada kualitas hidup yang baik berdasarkan value-based medicine. 7
Kunci P3G meliputi penilaian multidisiplin yang terkordinasi, ekpertise dokter ahli
geriatri, indentifikasi masalah medis, fisik, sosial, dan psikologis, rencana
perawatan selanjutnya termasuk rehabilitasi, dan kemampuan implementasi
tatalaksana yang direkomendasikan, juga evaluasi jangka panjangnya. 6
Hubungan kerja interdisiplin dalam P3G merupakan salah satu kunci pendekatan
P3G, yaitu hubungan yang menyadari adanya tumpang tindih dalam kompetensi.
Masing-masing disiplin mengembangkan diri bersama dam menerapkannya untuk
mengatasi masalah pasien geriatri yang kompleks.
Universitas Indonesia
Tatalaksana pasien geriatri merupakan hasil interaksi banyak hal dari medis, fisik,
dan psikososial. Mengidentifikasi berbagai faktor yang berhubungan dengan
sindrom geriatri dan komplikasi selama perawatan pasien geriatri melalui P3G
dapat memperbaiki kualitas pelayanan dan pada akhirnya berpotensi mengurangi
biaya rawat.
Universitas Indonesia
Penilaian kualitas hidup pada seorang geriatri sangat penting mengingat target
kesembuhan pada pasien geriatri dengan berbagai penyakit kronik dan penurunan
fungsi sulit dicapai. Kualitas hidup saat ini menjadi satu bagian penting dalam value
based medicine dan penilaian efektivitas biaya.
Health related quality of life (HRQoL) adalah instrumen yang diambil dari
penilaian psikometrik menggunakan praktik yang kompleks dan mendalam dan
diformulasikan menjadi instrumen yang pendek, sederhana, dan mampu laksana.21
WHO mendefinisikan kualitas hidup sebagai “individual’s perception of his or her
position in life in the context of culture and value system”. Kualitas hidup bersifat
multidimensi yang secara konsisten dibagi menjadi enam domain yaitu fisik,
psikologis, materi, sosial, lingkungan, dan derajat ketergantungan. Domain
tambahan adalah untuk populasi khusus seperti pasien kondisi rentan atau memiliki
penyakit kronik. 22
Berbagai instrumen telah diuji untuk menilai kualitas hidup seseorang, salah
satunya yang umum digunakan pada pasien geriatri adalah EQ5D dan EQ5D-VAS.
Euroqol 5 Domain mengukur kualitas hidup terkait kesehatan dengan cara membuat
nilai indeks tunggal (dengan skala 0-100) melalui pengukuran lima dimensi:
mobilitas, perawatan diri, aktifitas harian, rasa nyeri/tidak nyaman, dan
cemas/depresi. Respon pasien yang menjawab terdiri dari tiga tingkat penilaian
yaitu 1) tidak ada masalah, 2) ada beberapa masalah/keterbatasan, dan 3) tidak
mampu sama sekali. Nilai setiap dimensi dihitung dan dikonversi menjadi indeks
EQ5D. 7
Instrumen EQ5D meliputi dua bagian yaitu bagian deskripsi dan bagian VAS
(visual analogue scale). Beberapa faktor dapat menjadi prediktor kualitas hidup
seperti jenis kelamin, status nutrisi, jumlah penyakit kronik yang diderita, status
fungsional, dan adanya depresi.23
Kualitas hidup pada pasien geriatri tak terlepas dari komorbiditas yang sering
menyertai. Komorbiditas pada pasien lanjut kadang tak bisa dihindari dan memiliki
efek negatif terhadap mortalitas, hospitalization, dan rehospitalization. Hunger,
Universitas Indonesia
24
dkk. memperlihatkan bahwa setiap kondisi kronik berhubungan dengan
menurunnya HRQoL, secara signifikan adalah riwayat stroke dan adanya bronkitis
kronik. Sebelumnya, HRQoL juga dihubungkan dengan indeks massa tubuh
pasien.25Dalam penelitian lain, Wicke, dkk. 26 menyimpulkan adanya depresi pada
geriatri lewat skor geriatric depression scale merupakan salah satu komorbiditas
yang harus dipertimbangkan yang akan memengaruhi kualitas hidup usia lanjut.
Pasien dengan disabilitas, seperti adanya fraktur leher femoral akibat osteoporosis
pada usia lanjut, ikut memengaruhi skor EQ5D dalam domain mobilitas , nyeri,
perawatan diri, dan ansietas. Prasad, dkk. 27 menunjukkan dari 21 pasien geriatri
dengan fraktur,sebanyak 57,1% bermasalah dengan mobilitas, 76,2% dengan nyeri,
81% dengan aktifitas biasa, 52,6% perawatan diri, dan 85,7% dengan ansietas. Skor
EQ5D kelompok fraktur 0,08 (SD 0,27) dibandingkan kontrol (0,971, SD 0,08)
dengan perbedaan yang signifikan (Z -4,05, p<0,001).
Sejak WHO mendeklarasikan definisi sehat sebagai “…tak hanya tidak adanya
penyakit tetapi juga kesejahteraan fisik, mental, dan sosial”, mulailah periode
ketika penilaian kesehatan tak hanya data berupa penyakit. Model psikososial mulai
berkembang dengan pengenalan “kualitas hidup individual”. Pada saat ini konsep
biomedis diperkaya dengan kebutuhan individu tersebut untuk beradaptasi dengan
komunitas, disabilitas, akses kesehatan, dan persepsinya terhadap definisi well
being.
Universitas Indonesia
untuk kondisi “mati” dan 1 untuk kondisi “sehat sempurna”. Konsep QALY sangat
sederhana yaitu mengasumsikan satu tahun seseorang hidup dalam kondisi sehat
sempurna bernilai 1 QALY (1 tahun hidup x 1 utilitas = 1 QALY), bila hidup per
tahun dengan kondisi kurang sehat berarti kurang dari nilai 1. 28
QALY saat ini makin banyak dimanfaatkan untuk mengukur luaran kesehatan
karena tiga karakternya. Pertama, mengombinasikan perubahan morbiditas
(kualitas) dan mortalitas (jumlah) dalam satu indikator. Kedua, mudah dikalkulasi
lewat multiplikasi sederhana. Ketiga, QALY merupakan bagian integral dari
analisis ekonomi kesehatan yaitu analisis-utilitas-biaya, dengan perbaikan
incremental ditunjukkan dengan nilai QALY. Keuntungan lebih lanjut QALY
adalah dapat menilai dan membandingkan efektivitas biaya berbagai intervensi
pada berbagai kondisi kehsehatan hingga menjadi masukan bagi penentu kebijakan
dalam mengalokasikan dana bagi suatu intervensi kesehatan.
Dengan berbagai komorbiditas, lama masa rawat pasien geriatri secara natural lebih
lama dibandingkan pasien dengan penyakit tunggal. Hal ini akan memengaruhi
besaran biaya yang dikeluarkan untuk perawatan seorang geriatri.
Diperkirakan sekitar setengah dari pasien usia dewasa yang dirawat adalah usia 65
tahun atau lebih tua, meskipun usia 65 tahun ke atas dilaporkan hanya
merepresentasikan sekitar 12,5% dari populasi. Rerata lama masa rawat pasien
geriatri adalah 5,7 hari, berkurang dari 8,7 hari pada tahun 1990.29 Hal ini senada
30
dengan data yang disajikan oleh Russo, dkk. yang melaporkan bahwa biaya
perawatan geriatri berkisar US$ 7800 per perawatan pada tahun 1997 menjadi US$
9800 per perawatan pada tahun 2004 dengan beda rawat 6,4 hari pada tahun 1997
menjadi 5,7 hari pada tahun 2004.
31
Toshiyuki dkk. memperlihatkan demensia memperpanjang lama masa rawat
pasien geriatri dan menunjukkan ALOS berhubungan dengan jenis kelamin. Wanita
dilaporkan memiliki ALOS lebih lama dibanding laki-laki atas indikasi masalah
psikologis dan perilaku seperti demensia/alzheimer, demensia vaskular, atau
demensia tipe lain, yaitu 119 hari dibandingkan 83 hari (p=0,007). Meski demikian,
Universitas Indonesia
komorbiditas dan komplikasi lebih sedikit pada wanita (67,2% dan 41,2%)
dibandingkan laki-laki (77,3% dan 53,1%).
Demikian halnya, perawatan pasien geriatri juga dipengaruhi oleh adanya gangguan
psikiatri yang kerap menyertai misalnya depresi atau mood disorder. Pasien depresi
memiliki angka hospitalization lebih cepat setelah suatu home care dibanding
pasien tanpa depresi. Sheeran, T. dkk. 32 menemukan pasien geriatri dengan depresi
yang baru menjalani home care lebih cepat mengalami perawatan rumah sakit yaitu
8,4 hari dibandingkan dengan 19,5 hari pada pasien tanpa depresi.33Sedangkan
pasien geriatri dengan mood disorder juga mengalami masa rawat lebih lama
dibandingkan dengan pasien bukan geriatri.
Delirium juga merupakan kelainan mental yang meningkatkan lama masa rawat dan
biaya perawatan. Sekitar 10-13% pasien geriatri masuk rumah sakit dengan
diagnosis delirium, dan pada pasien geriatri yang rapuh, angkanya mencapai 60%.
Prevalensi delirium saat perawatan paska coronary artery bypass graft (CABG)
mencapai 33,6%, setelah knee replacement bilateral 41%, setelah fraktur panggul
mencapai 43-61%, pasien perawatan intensif 41%, dan pasien kanker 18%. Siddiqi,
dkk. 34 membuktikan bahwa faktor risiko terjadinya delirium ini berkorelasi dengan
gangguan tidur post operasi dan adanya demensia.
36
Kaye, dkk. membuktikan bahwa infeksi aliran darah atau BSI (blood stream
infection) juga memperpanjang lama masa rawat dibanding mereka yang tidak
terkena infeksi. Dilaporkan median lama masa rawat 23 (IQR 14-36 hari) pada
geriatri yang mengalami BSI dibandingkan 15 (IQR 8-27 hari) yang tidak, dengan
rerata LOS 29,2 SD 27,2 dibandingkan 20,2 SD 18 setelah disesuaikan dengan
beberapa faktor. Tagihan rumah sakit akibat infeksi ini meningkat dengan median
$ 65,037 (IQR 33,097-230,395) dengan mean $102,276 SD 118,79 (p<0,001)
Universitas Indonesia
Karena rerata lama masa rawat lebih besar pada populasi pasien geriatri dan hal ini
terkait dengan peningkatan biaya rawat, beberapa penelitian berusaha mencari cara
untuk menilai efektivitas biaya suatu intervensi pada kelompok populasi ini. Garcia,
37
dkk. memprediksi lama masa rawat pasien geriatri post operasi panggul
menggunakan skor ASA dengan hasil setiap kenaikan satu nilai ASA, rerata lama
masa rawat akan naik sebanyak 2,053 hari (p<0,001) dengan biaya perhari sebesar
$4530 yang meningkat menjadi $9300. Penelitian ini dilakukan sebagai dasar
alokasi pembiayaan melalui mekanisme prospektif Medicare, yang merupakan
asuransi berbasis DRG (diagnosis related Goals) di Amerika Serikat.
Adanya ulkus dekubitus bisa memprediksi biaya dan lama masa rawat yang lebih
lama. Theisen, dkk. 38 melaporkan ulkus dekubitus memperlama masa rawat, rerata
lama masa rawat 19 hari (SD 16,4), median 15 hari (25% persentil 7, 75% persentil
27). Pada mereka yang memiliki masa rawat lebih atau sama dengan 30 hari, ulkus
dekubitus biasanya disertai dengan komorbiditas seperti DM, infeksi didapat di
rumah sakit, perawatan ICU ataupun ventilator. Dengan sistem pembayaran DRG
oleh US Medicare, adanya ulkus dekubitus membuat terjadinya prolong admission
time yaitu 2,6 hari lebih dari yang diperkirakan. Meski demikian, terdapat variabel
lain selain ulkus dekubitus yang memperlama masa rawat yaitu infeksi kuman
multiresisten, perawatan ICU > 24 jam, penggunaan ventilator >24 jam, adanya
keterlambatan tindakan, obesitas, gangguan ginjal, dan faktor sosial yang
menyebabkan alokasi DRG tidak sesuai dengan pembiayaan.
Sistem pembayaran pasien mau tak mau ikut menentukan keputusan klinis seorang
dokter dalam menentukan intervensi pada pasien. Saat ini hampir seluruh negara
maju di Eropa dan Amerika telah memiliki jaringan asuransi kesehatan nasional
yang mendanai berbagai intervensi kesehatan di berbagai rumah sakit. Tujuannya
adalah untuk meningkatkan dan menyamakan kualitas pelayanan kesehatan. Sistem
pembayaran fee for service menyebabkan rumah sakit berlomba memberikan
Universitas Indonesia
intervensi yang belum tentu memiliki efektivitas biaya bagi pasien yang pada
akhirnya dapat merugikan pasien dan menyebabkan pelayanan menjadi tidak
merata.
Sejak tahun 1990-an, sistem pembayaran DRG sudah menjadi sistem pembiayaan
utama di berbagai rumah sakit untuk pasien rawat inap akut di negara
berpenghasilan tinggi dengan harapan efisiensi meningkat. Di Eropa, sistem ini
mendapat banyak dukungan dan dilaporkan dapat membantu meningkatkan
Universitas Indonesia
efisiensi rumah sakit dengan cara mengurangi rerata lama masa rawat tetapi di sisi
lain meningkatkan jumlah kasus. Tetapi di negara dengan penghasilan kecil-
menengah, sistem berbasis DRG ini baru saja dikembangkan.
Universitas Indonesia
Sistem casemix yang dikembangkan oleh UNU IIGH ini juga merupakan sistem
yang terutama dibuat untuk negara-negara berkembang, menggunakan sistem
klasifikasi yang menggabungkan beberapa unsur:37
Kelemahan dari sistem ini adalah tidak menyertakan kelainan yang berkaitan
dengan status fungsional dan disabilitas menyebabkan tidak terklasifikasikannya
pasien-pasien berkebutuhan khusus seperti pasien dengan gangguan komunikasi
yang datang ke rumah sakit karena penyakit akut atau pasien dengan gangguan
status fungsional seperti pada pasien geriatri.
Universitas Indonesia
memperlihatkan perubahan luaran salah satunya adalah rerata lama masa rawat
yang lebih besar. 38
Klasifikasi
penyakit
Casemix
Biaya Clinical
pathway
kasus tertentu. Diagnosis yang tertera dicirikan dengan pola pengobatan dan
pelayanan yang sama, sehingga secara medis dan ekonomi dianggap serupa.
Universitas Indonesia
Penentuan casemix didasarkan pada klasifikasi penyakit dan biaya yang harus
dikeluarkan untuk suatu intervensi, yang digambarkan melalui suatu clinical
pathway. Sistem pembayaran ini diharapkan dapat menghindari moral hazard dan
akan “memaksa” dokter untuk menggunakan teknologi atau obat yang efektif
biaya.40
Dengan sistem ini, pemilihan tatalaksana yang paling efisien menjadi kunci untuk
memberi insentif pada sebuah rumah sakit. Ini menyebabkan berkembangnya
berbagai penelitian medis yang menyertakan analisis efektivitas biaya ataupun
analisis utilitas biaya sebagai bahan masukan penentu kebijakan untuk menilai
apakah suatu intervensi efektif biaya atau tidak sebagai bentuk efisiensi.
Salah satu cara untuk memberi masukan bagi penentu kebijakan bidang kesehatan
dan dokter dalam menentukan keputusan klinis adalah melalui bukti dalam bentuk
Universitas Indonesia
Analisis efektivitas biaya tidak menyediakan informasi yang cukup bagi penentu
kebijakan untuk membuat suatu keputusan terkait program atau intervensi. Tetapi,
analisis ini akan menjadi awal kolaborasi antara peneliti dengan penentu kebijakan
dalam menilai efikasi suatu program dan relevansinya terhadap situasi khusus.
Analisis efektivitas biaya adalah suatu cara untuk membantu membuat keputusan
di berbagai bidang baik pendidikan, kesehatan, industri dalam suatu badan
(pemerintah/swasta). Alat ini mengidentifikasi cara atau program yang paling
efisien. Sebagai bagian evaluasi, analisis ini juga dapat menilai efisiensi dari suatu
program atau suatu proyek dari sudut ekonomi.
Kelebihan dari analisis ini adalah merupakan alat evaluasi sederhana untuk
membuat/merekomendasikan suatu intervensi/program yang membandingkan dua
intervensi yang berbeda dengan tujuan yang sama. Kekurangannya adalah berfokus
pada dampak yang secara langsung disebabkan oleh intervensi sehingga luaran
disederhanakan dan tidak bisa menganalisis luaran sekunder atau tak langsung.44
Universitas Indonesia
Tujuan dari studi efektivitas biaya kesehatan adalah mengevaluasi luaran dan biaya
suatu intervensi yang didisain untuk memperbaiki kesehatan. Hasil dari analisis ini
akan menjadi panduan para pembuat kebijakan untuk membuat keputusan
berdasarkan informasi objektif untuk memaksimalkan efektivitas biaya terhadap
luaran kesehatan per unit monetari yang dikeluarkan.
Dua jenis analisis yang sering digunakan dalam dunia kesehatan adalah analisis
efektivitas biaya dan utilitas biaya. Analisis efektivitas biaya merupakan evaluasi
ekonomi kesehatan yang paling langsung melihat perbedaan luaran dari suatu
intervensi. Sedangkan analisis utilitas biaya menghitung biaya per unit utilitas (unit
yang berkaitan dengan well being manusia). Unit yang paling sering digunakan
Universitas Indonesia
adalah QALY dan DALY (disability adjusted life years). Luaran pengukuran
analisis utilitas-biaya merupakan suatu rasio yang merepresentasikan jumlah
QALY atau DALY yang didapat sebagai hasil dari suatu intervensi disertai biaya
per unit monetari dari intervensi yang diberikan. Analisis ini dapat digunakan untuk
memutuskan intervensi yang paling baik berdasarkan alokasi dana kesehatan secara
keseluruhan. Analisis ini dianggap suatu varian dari analisis efektivitas biaya
dengan tujuan yang lebih luas namun lebih kompleks dalam menilai luaran.44
Universitas Indonesia
25
Universitas Indonesia
26
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
4.1. DESAIN
Desain penelitian ini adalah kohort dengan kontrol historis.42 Kohort pertama
merupakan pasien yang dirawat pada saat sistem pembiayaan sebelum JKN (Juli
2013-Desember 2013), kohort kedua merupakan pasien yang dirawat pada saat
sistem pembiayaan JKN diberlakukan (Januari-Juni 2014). Kohort pertama
merupakan kontrol bagi kohort kedua.
28
Universitas Indonesia
n = 2{(Z1-α/2 + Z1-β)s}2
(x1 – x2)2
Z1-α= nilai Z pada derajat kepercayaan 1-α/2 atau derajat kemaknaan α pada uji dua
sisi yakni 1,96.
Z1-β = nilai Z pada kekuatan uji (power) 1-β = 90% yakni 1,28
x1 = rerata pada kelompok intervensi (JKN)
x2 = rerata pada kelompok sebelum intervensi (sebelum JKN)
s2 = standar deviasi beda rerata, sehingga s adalah akar dari s2
Universitas Indonesia
Kualitas hidup
Dengan rumus yang sama dari penelitian soejono dkk.7, n1=n2= 107 subjek
x1 = 0,71 ± 0,04 (standar deviasi dianggap ± 0,35)
x2 = belum ada penelitian kualitas hidup selama periode JKN, sehingga
diperkirakan kualitas hidup saat pulang 0,81 ± 0,4
Dengan rumus di atas, diperoleh n pada penelitian ini adalah 29,4 subjek
(dibulatkan menjadi 30 subjek)
Sedangkan untuk analisis efektivitas biaya, jumlah sampel adalah total sampel
sehingga sampel yang dibutuhkan sesuai dengan penghitungan di atas.
Peneliti mengumpulkan daftar pasien yang dirawat di ruang rawat geriatri akut
melalui data yang ada di lantai 8 RSCM pada periode Juli 2013-Juni 2014. Data
dicocokkan dengan rekam medik yang ada di pusat rekam medik RSCM. Semua
pasien yang masuk ke dalam kriteria inklusi dipilih dan dicatat identitas, jenis
kelamin, usia, status, jenis pembiayaan, pengeluaran per bulan, tanggal masuk, skor
ADL/WHO-Unescap, EQ5D, skor depresi, MMSE, MNA, diagnosis, adanya
imobilisasi, ulkus dekubitus, demensia, delirium akut, jumlah obat, nilai
Universitas Indonesia
laboratorium penting dan tanggal diperbolehkan pulang serta kondisi saat pulang
(meninggal, pulang atas permintaan sendiri, atau sembuh). Sesuai dengan nomor
rekam medik, dilakukan penelurusan data komputer untuk mengetahui biaya yang
dikeluarkan RSCM selama perawatan dalam satuan rupiah.
Variabel dependen adalah lama masa rawat dan kualitas hidup pasien geriatri
dalam bentuk QALD (Quality Adjusted Life Days).
Data yang didapat akan dikumpulkan dalam program Microsoft excel. Analisis
statistik menggunakan program SPSS.
Biaya yang didapat selama masa rawat dan QALD per pasien sebelum intervensi
JKN akan dibandingkan dengan biaya selama masa rawat dan QALD per pasien
sesudah intervensi melalui penghitungan incremental cost effectiveness ratio.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
ICER dihitung berdasarkan rerata biaya yang dikeluarkan selama masa rawat
sesudah periode JKN dikurangi rerata biaya selama masa rawat sebelum periode
JKN dibagi dengan rerata lama masa rawat sesudah periode JKN dikurangi rerata
lama masa rawat sebelum periode JKN. Nilai ini akan di plot dalam suatu kurva
dengan garis x menandakan perbedaan efek lama masa rawat dan garis y
menandakan perbedaan biaya yang dikeluarkan.
Selanjutnya ICER dinilai dengan cara mengurangi rerata biaya yang ditanggung
JKN selama periode t dikurangi rerata biaya yang ditanggung sebelum JKN selama
periode t dibagi dengan rerata QALD selama periode JKN dikurangi rerata QALD
selama periode sebelum JKN dan diplot dalam skema Incremental Cost
Effectiveness Ratio.
Penelitian ini diambil dari rekam medik rumah sakit. Penelitian ini dimintakan
ethical clearance dari Panitia Etik Penelitian Kedokteran FKUI
(No753/UN2.F1/ETIK/1014). Semua data rekam medik yang dipergunakan akan
dijaga kerahasiaannya.
Universitas Indonesia
Hasil penelitian ini akan diajukan untuk dipublikasikan di dalam jurnal kedokteran
atau kesehatan nasional dan/atau internasional. Secara keseluruhan hasil akhir
penelitian dibuat dalam bentuk tesis sebagai salah satu syarat untuk mencapai
sebutan Spesialis Ilmu Penyakit Dalam di Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Universitas Indonesia
HASIL PENELITIAN
Total sampling:
319 subjek
73 RM tidak lengkap/tidak
ada
40 subjek JKN
33 subjek sebelum JKN
Inklusi: 246 subjek
Eksklusi:
8 subjek pindah ruangan
13 subjek melintasi dua periode
pembiayaan
225 subjek
35
Universitas Indonesia
Gambaran karakteristik demografi dijabarkan pada Tabel 5.1. Median usia 70 tahun
(rentang 60-86 tahun) dan 68 (rentang 60-85 tahun) pada era sebelum dan sesudah
JKN. Sebagian besar berada pada usia 60-69 tahun, diikuti kelompok usia 70-79
tahun. Sistem pembiayaan terbesar sebelum JKN adalah Askes (42%) diikuti KJS
(41%), sementara pada era JKN, semua ditanggung sistem pembiayaan JKN.
Tabel 5.1 Gambaran karakteristik demografik pada kelompok sebelum JKN dan
kelompok JKN
Karakteristik Subjek Kelompok sebelum JKN Kelompok JKN
n = 100 n = 125
Jenis kelamin, n(%)
Laki-laki 41 (41) 58 (46,4)
Perempuan 59 (59) 67 (53,6)
Usia, n(%)
60-69 tahun 48 (48) 72 (57,6)
70-79 tahun 44 (44) 42 (33,6)
80-89 tahun 8 (8) 11 (8,8)
Usia, median(rentang) 70 (60-86) 68 (60-85)
Status pernikahan, n(%)
Menikah 55 (55) 70 (56)
Tidak Menikah 1 (1) 0
Janda/Duda 21 (21) 26 (20,8)
Tidak ada data 23 (23) 29 (23,2)
Pendidikan, n(%)
Tidak sekolah-SD 28 (28) 37 (29,8)
SMP-SMA 24 (24) 29 (23,4)
Diploma-Sarjana 14 (14) 13 (10,5)
Tidak ada data 34 (34) 45 (36,3)
Pekerjaan, n(%)
Pegawai Negeri 3 (3) 4 (3,2)
Pegawai swasta 8 (8) 16 (12,8)
Pensiun 26 (26) 13 (10,4)
Tidak bekerja 37 (37) 55 (44)
Tidak ada data 26 (26) 37 (29,6)
Penghasilan, n(%)
<1 juta 21 (21) 30 (24)
1-3 juta 30 (30) 28 (22,4)
3-5 juta 4 (4) 10 (8)
>5 juta 0 2 (1,6)
Tidak ada data 45 (45) 55 (44)
Sistem pembiayaan, n(%)
Askes 42 (42) -
KJS 41 (41) -
Umum 8 (8) -
Jamkesda 6 (6) -
Jamkesmas 3 (3) -
JKN - 125 (100)
Universitas Indonesia
Tabel 5.2 menyajikan karakteristik berdasarkan profil medis yaitu diagnosis, ADL,
meninggal/tidak selama rawat, dan status nutrisi berdasarkan IMT. Pneumonia
selama perawatan (68% vs. 68,8%), sedangkan infeksi non pneumonia terdiri dari
infeksi saluran kemih, infeksi kulit dan jaringannya, diare, osteomielitis, empiema,
dan abses organ. Pada akhirnya, subjek yang meninggal selama perawatan adalah
28% vs. 31,2% secara berurutan. Diagnosis terbanyak pada kelompok yang
meninggal adalah pneumonia (79,1%), disusul sepsis (68,7%), dan sindrom
delirium akut (64,2%).
Universitas Indonesia
Adanya tindakan bedah dan intervensi non bedah disajikan untuk menggambarkan
faktor yang kemungkinan terkait lama masa rawat dan biaya perawatan (Tabel.5.3).
dialisis, pemasangan mini drain, aspirasi cairan asites, pleura dan abses hati, ekstraksi gigi, FEES,
BMP, bronkoskopi, dan biopsi
Universitas Indonesia
Berdasarkan gambar 5.3, dapat dilihat bahwa setelah lama masa rawat 15-21 hari,
proporsi subjek kelompok JKN lebih tajam penurunannya dibandingkan sebelum
JKN. Pada kelompok lama masa rawat lebih dari 14 hari, didapatkan diagnosis
terbanyak secara berurutan adalah pneumonia, sindrom delirium akut, infeksi,
sepsis, DM dengan komplikasi, gagal jantung, dan malignansi. Karakteristik ini
relatif sama dengan pasien yang memiliki lama masa rawat kurang dari 14 hari
dengan urutan pneumonia, sindrom delirium akut, sepsis, infeksi, DM dengan
komplikasi, malignansi, dan perdarahan saluran cerna. Perlu menjadi catatan bahwa
diagnosis dalam penelitian ini adalah diagnosis saat masuk dan selama rawat, tidak
mencantumkan waktu didapatkannya diagnosis tersebut.
Universitas Indonesia
Gambar 5.3. Perbandingan lama masa rawat sebelum dan sesudah JKN
Dari total 225 subjek, hanya 88 subjek memiliki nilai EQ5D berpasangan (46 subjek
pada era sebelum JKN dan 42 subjek pada era JKN) dengan distribusi tidak normal,
meski demikian jumlah sampel masih memenuhi kriteria sampel minimal.
Berdasarkan data, nilai EQ5D masuk pada era sebelum JKN adalah 0,595 (rentang
-0,111 sd. 1,000) dan pada era JKN 0,670 (rentang -0,111 sd. 1,000). Sedangkan
nilai EQ5D keluar 0,735 (rentang -0,111 sd. 1,000) dan 0,729 (rentang -0,062 sd.
1,000), secara berturutan. Analisis statistik dilakukan untuk pencapaian kualitas
hidup (EQ5D gain) dan QALD. Dilakukan imputasi multipel dan analisis
sensitivitas (Tabel 5.6). Berdasarkan Tabel 5.5 dan Tabel 5.6., sebelum dan sesudah
imputasi multipel tetap tidak ada perbedaan antara EQ5D gain dan QALD pada era
sebelum JKN dengan JKN.
Universitas Indonesia
Tabel. 5.5 Perbedaan median kualitas hidup era JKN dan sebelum JKN
Sebelum JKN JKN Nilai p
n=46 n=42
EQ5D gain
Median [rentang] 0,085 [-0,23 sd. 0,95] 0,000 [-0,39 sd. 0,62] p = 0,469*
QALD
Median [rentang] 0,812 [-3,1 sd. 24,37] 0,000 [-7,37 sd. 22,43] p= 0,256*
Tabel. 5.6 Perbedaan median parameter kualitas hidup era JKN dan sebelum
JKN post imputasi multipel
Sebelum JKN JKN nilai p
n=100 n=125
EQ5D gain
Median [rentang] 0,084 [-0,67 sd. 1,24] 0,066 [-0,92 sd. 1,096] p = 0,864*
QALD
Median [rentang] 0,93 [-12,21 sd. 59,68] 0,629 [-18.13 sd. 35.90] p= 0,758*
Universitas Indonesia
Bila dituangkan dalam diagram ICER (Diagram 1) akan didapatkan program JKN
lebih mahal Rp. 1.500.000,- untuk mendapatkan lama masa rawat lebih pendek 0,91
hari. Sedangkan Gambar 5.5 menggambarkan sebaran biaya total subjek
berdasarkan lama rawatnya.
Universitas Indonesia
4
Biaya (Rp. juta)
2
1.5
0 Series1
-6 -4 -2 0 2 4 6 icer
-2
-4
-6
Lama rawat (hari)
Gambar 5.4. Incremental cost effectiveness Ratio biaya terhadap lama masa
rawat pada era JKN dibanding sebelum JKN
1.00E+08
5.00E+07
0.00E+00
0 20 40 60 80
LOS
QALD merupakan satuan hitungan dalam cost utility analysis yang nilainya didapat
dari nilai EQ5D gain dikali lama masa rawat. Tujuannya adalah untuk
menggambarkan besaran perubahan EQ5D bila subjek mendapatkan intervensi
dibandingkan tidak mendapatkan intervensi dalam kurun waktu tertentu. Dalam hal
Universitas Indonesia
ini, intervensi adalah program JKN. Biaya yang dikeluarkan untuk satu QALD yang
dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:
Dari perhitungan di atas, program JKN lebih murah Rp.3.484.887,- namun QALD
yang didapatkan 0,25 QALD lebih kecil dibandingkan dengan era sebelum JKN,
seperti digambarkan dalam Gambar 5.6.
4
biaya (Rp.juta)
0
-6 -4 -2 0 2 4 6
-2
-3.48
-4
-6
QALD (indeks EQ5Dxlama rawat)
Universitas Indonesia
Sesuai sebaran QALD dari gambar 5.7, 11 subjek berada di bawah nilai nol, yang
artinya EQ5D gain subjek negatif (QALD merupakan perkalian lama masa rawat
dengan EQ5D gain). Nilai EQ5D gain negatif menunjukkan bahwa kualitas hidup
pasien saat keluar lebih buruk dibandingkan saat masuk rumah sakit. Lebih dari
50% subjek dengan nilai EQ5D gain negatif memiliki diagnosis imobilisasi,
pneumonia dan ulkus dekubitus. Dapat dilihat dari Tabel 5.8. bahwa 45,5% subjek
dengan EQ5D gain negatif memiliki outcome pulang paksa.
Enam subjek memiliki EQ5D masuk < 0 dan 6 subjek memiliki EQ5D keluar < 0.
EQ5D < 0 yang menggambarkan kondisi SWD (states of worse than death), artinya
seseorang menilai kualitas hidup diri mereka lebih buruk dari kondisi meninggal,
yang ditandai dengan nilai EQ5D negatif.
Universitas Indonesia
Tabel 5.8. proporsi subjek dengan EQ5D gain negatif, EQ5D masuk SWD, dan
EQ5D keluar SWD berdasarkan outcome.
Outcome
pulang Pulang Meninggal
paksa
EQ5D gain 6/11 5/11
negatif (54,5%) (45,5%)
EQ5D masuk 4/16 2 /16 10/16
SWD (25%) (12,5%) (62,5%)
EQ5D keluar 3/6 3/6
SWD (50%) (50%)
Terdapat 5 subjek dengan nilai EQ5D masuk yang ekstrim (-0,111), yang setelah
ditelusuri semuanya memiliki malnutrisi dan imobilisasi. Terdapat empat subjek
dengan EQ5D keluar ekstrim (-0,111), dua di antaranya memiliki EQ5D gain nol,
artinya subjek memiliki EQ5D masuk dan keluar -0,111. Dari total subjek, terdapat
tiga pasien menyeberang dari kondisi states of better than death (SBD) menjadi
SWD.
Universitas Indonesia
PEMBAHASAN
47
Universitas Indonesia
rawat lebih tua dibandingkan geriatri di Indonesia. Profil penyakit pada penelitian
ini masih didominasi dengan infeksi, terbanyak adalah pneumonia. Infeksi, sindrom
delirium akut, dan sepsis masih menjadi tiga masalah utama dan seringkali terjadi
bersamaan. Hal ini serupa dengan penelitian Soejono dkk.,7 pada tahun 2007,
dengan pneumonia (42,06%) dan sindrom delirium akut (38,79%) sebagai dua
penyakit terbanyak. Penelitian oleh Isfandiaty45 tahun 2012 menemukan insidens
delirium 18,8% dalam 14 hari pertama perawatan. Laporan Riskesdas tahun 2013
menunjukkan prevalensi pneumonia semakin naik seiring usia, terutama pada usia
lebih dari 75 tahun, dengan prevalensi 6,2% pada usia 55-64 tahun, 7,7% pada usia
65-74 tahun, dan 7,8% setelah usai di atas 75 tahun.9 Penelitian berskala besar di
Italia dari data tahun 2004 sd. 2012 pada seluruh populasi penduduk
memperlihatkan perawatan terbesar pasien pneumonia ada pada usia balita yaitu 0-
4 tahun, usia 65 tahun ke atas, memuncak pada usia 80 tahun ke atas dengan angka
mortalitas dan biaya perawatan tertinggi pada kelompok lansia.47
Pasien geriatri juga lebih mudah menjadi sepsis selama perawatan karena tingginya
faktor risiko, seperti komorbiditas dan jumlah obat meski dikatakan perlu ada faktor
lain seperti instrumentasi atau perawatan rumah sakit berulang. Faktor risiko lain
adalah adanya malnutrisi, kondisi frailty (kerapuhan) dan geriatric giants.48
Tingginya infeksi dan sepsis berhubungan dengan immunosenescence dan
hoemostenosis pada geriatri. Geriatri juga mudah mengalami gangguan koagulasi
yang membuatnya rentan menjadi trombosis (stroke, sindrom koroner akut) dan
sebaliknya perdarahan saat perawatan.48 Geriatri memiliki manifestasi infeksi dan
sepsis yang berbeda mencakup gangguan mental, tidak mau makan, lemah, terjatuh,
14
atau inkontinensia urin. Sesuai dengan Taffet dkk., ciri khas geriatri ini
membuatnya rentan mengalami penurunan fungsi selama perawatan dan berakibat
lama masa rawat yang bertambah.
Berdasarkan Tabel 5.2., subjek diirawat dengan beberapa geriatric giants yang
muncul bersamaan. Terbanyak adalah imobilisasi, sindrom delirium akut,
instabilitas dengan riwayat jatuh, dan ulkus dekubitus. Karakteristik subjek
Universitas Indonesia
berdasarkan diagnosis, dan geriatric giants memberi kesan profil kesehatan pasien
pada era JKN relatif sama dibanding era sebelum JKN.
Lama masa rawat pasien geriatri pada era sebelum JKN adalah 12 hari [rentang 2-
76 hari) dan kelompok JKN 12 hari [rentang 2-59 hari]. Soejono dkk.7 Pada tahun
2007 memperlihatkan hasil yang tidak berbeda jauh, yaitu 10.99[SD 0.79]. De
Buyser dkk. 49 mengumpulkan data dari 1123 subjek yang dirawat di ruang rawat
geriatri dan ruang rawat penyakit dalam di Italia mendapatkan median lama masa
rawat 10 hari.
Tidak normalnya distribusi lama masa rawat pada kedua era ini mungkin
disebabkan variasi penyakit, komplikasi selama perawatan, macam komorbiditas,
dan tindakan yang dilakukan selama perawatan. Pasien dengan lama masa rawat
terlama berada pada era sebelum JKN, demikian juga subjek yang dirawat lebih 28
hari (yaitu rentang 29-42 hari) lebih banyak pada era sebelum JKN (14%)
dibandingkan era JKN (10,4%) menunjukkan lama masa rawat cenderung lebih
lama pada era sebelum JKN. Namun demikian median perawatan di kedua
kelompok adalah sama dengan proporsi terbanyak 2-14 hari (57% vs. 58,9%)
diikuti 15-28 hari (27% vs. 29,6%).
Lama masa rawat yang lebih panjang erat dihubungkan dengan diagnosis penyakit
50
antara lain sindrom delirium akut. Penelitian Limpawattana, dkk. di Thailand
memperlihatkan lama masa rawat pasien dengan delirium akut meningkat menjadi
rerata 22,3 hari dibandingkan 5,4 hari pasien tanpa delirium dengan biaya lebih
tinggi yaitu 53,174 dibandingkan 18,230 baht. Pada era sebelum JKN, diagnosis
delirium akut terjadi pada 38,6% dan era JKN 41,2% subjek yang menunjukkan
angka cukup tinggi. Siddiqi dalam suatu metaanalisis tahun 2007 melaporkan angka
delirium lebih rendah yaitu 10-13%, namun pada pasien geriatri yang rapuh (frail),
34
angkanya mencapai 60%. Sepsis merupakan masalah lain yang perlu
dipertimbangkan sebagai penyebab perawatan yang lebih lama. Sesuai dengan
Universitas Indonesia
penelitian Kaye dkk. 36 yang menemukan bahwa median lama masa rawat menjadi
23 [rentang 14-36 ahari] dibandingkan 15 [14-36 hari] pada mereka yang
mengalami sepsis selama perawatan. Sindrom kerapuhan adalah sindrom yang juga
ditandai dengan imunitas terganggu menyebabkan pasien geriatri lebih mudah
terkena infeksi dan deteriorisasi saat perawatan yang berefek pada lama masa rawat
lebih panjang.51
Adanya ulkus dekubitus juga bisa memprediksi biaya dan lama masa rawat yang
38
lebih lama. Theisen, dkk. Tahun 2012 di Jerman melaporkan ulkus dekubitus
memperlama masa rawat dengan rerata 19 hari (SD 16,4), median 15 hari (25%
persentil 7, 75% persentil 27). Pada penelitian ini, ulkus dekubitus terjadi pada
17,8% vs.17.5% pada era sebelum JKN dan JKN, menempati urutan keempat
setelah imobilisasi dan sindrom delirium akut.38 Malignansi juga banyak
dihubungkan dengan prevalensi yang tinggi pada geriatri karena 60% dari seluruh
kanker diperkirakan terjadi pada kelompok usia di atas 65 tahun. Pada penelitian
JKN ini malignansi menempati urutan keenam sebagai diagnosis terbanyak pada
pasien di ruang rawat geriatri akut sebelum dan sesudah JKN. Salah satunya
mungkin disebabkan karena ruang rawat geriatri akut lebih diutamakan untuk
pasien dengan sindrom geriatri dan segala komorbiditasnya sehingga penyakit
masih didominasi sindrom delirium akut dan infeksi sebagai pencetusnya.
Gambar 5.3 menunjukkan proporsi subjek era JKN pada rentang lama masa rawat
2-21 hari cukup tinggi namun menurun lebih tajam dibandingkan subjek pada era
sebelum JKN setelah lama masa rawat 21 hari. Bila dihubungkan dengan sistem
pembiayaan INA-CBG yang memperhatikan lama masa rawat sebagai salah satu
indikator efisiensi, kemungkinan hal ini disebabkan pengambil keputusan klinis
(dalam hal ini dokter penanggung jawab pasien) memulangkan pasien lebih cepat
dibandingkan sebelum penerapan JKN. Karena median lama masa rawat yang
didapatkan kedua kelompok adalah sama yaitu 12 hari, diambil batasan lebih dari
14 hari sebagai lama masa rawat yang yang dianggap panjang. Proporsi diagnosis
kelompok pada lama masa rawat lebih dari 14 hari didominasi oleh penyakit
pneumonia, diikuti sindrom delirium akut, infeksi non pneumonia, dan sepsis.
Sedangkan geriatric giants pada kelompok ini adalah imobilisasi, sindrom delirium
Universitas Indonesia
akut, instabilitas, dan ulkus dekubitus. Hal ini sesuai dengan penelitian-penelitian
yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa sindrom delirium akut, sepsis,
pneumonia, dan geriatrics giant seperti delirium dan ulkus dekubitus memang
menyumbang lama masa rawat yang lebih panjang. Rhao dkk.52 melaporkan bahwa
pasien geriatri dengan malignansi juga memiliki lama masa rawat lebih panjang
(31,7 hari) dibandingkan pasien bukan geriatri dengan penyakit yang sama (21,9
hari) meski tidak signifikan p=0,08. Namun pada penelitian JKN ini, malignansi
menempati urutan ke tujuh setelah diabetes dan penyakit gagal jantung.
Banyak faktor yang mungkin menyebabkan hasil yang tidak berbeda sebelum dan
setelah era JKN. Pertama, karakteristik, profil penyakit, geriatric giants, dan
komorbiditas subjek yang tidak berbeda antara era sebelum JKN dan JKN. Kedua,
dari segi metodologi yaitu waktu penelitian yang dilakukan pada enam bulan
pertama pelaksanaan JKN ketika sistem ini belum terlaksana sepenuhnya. Ketiga,
prosedur standar pelaksanaan sistem INA CBG belum menyeluruh. Beberapa faktor
yang perlu diperhatikan adalah tersedianya sumber daya manusia, peresepan obat
formularium, pembentukan clinical pathway, evaluasi tim, cepatnya pengajuan
klaim sehingga tersedia dana untuk terlaksananya pelayanan kesehatan termasuk
pengadaan obat.53 Clinical pathway diperlukan untuk menghindari moral hazard
dan “memaksa” dokter menggunakan teknologi atau obat yang efektif biaya. 40
Adanya clinical pathway juga telah terbukti memperpendek masa rawat pada
beberapa penyakit seperti PPOK ataupun sindrom koroner akut. Meski
pelaksanaannya dipengaruhi oleh usia, komorbiditas, rehospitalization, ataupun
komplikasi sehingga mungkin sulit diterapkan pada pasien-pasien geriatri.54, 55
Lama masa rawat memang menjadi salah satu indikator efisiensi. Dikatakan
semakin pendek lama masa rawat, efisiensi semakin baik. Semakin lama masa
rawat, perawatan dinilai semakin tidak efisien. Lama masa rawat yang terlalu
Universitas Indonesia
Salah satu cara menekan lama masa rawat adalah dengan mengembalikan fungsi
ruang geriatri akut sebagai ruang khusus kondisi akut pasien geriatri. Conroy S,
57
dkk. dalam website British Geriatry society, mengungkapkan perawatan akut
pasien geriatri tak bisa dihindari karena makin banyaknya populasi geriatri. Banyak
pasien geriatri yang datang dengan gejala tidak jelas antara akut dan subakut,
dengan komorbiditas, deteriorasi fungsi dan kognitif yang pada akhirnya akan
memperlama masa rawat. Adanya alur perawatan yang jelas antara acute geriatric
ward dan intermediate geriatric ward akan membuat perawatan menjadi lebih
efektif biaya.
Universitas Indonesia
Idealnya, sistem JKN dapat memperpendek masa rawat karena secara prinsip,
klasifikasi CBG cenderung menciptakan insentif untuk meningkatkan jumlah
kasus yang diterima, mengontrol biaya, dan mengurangi lama masa rawat.
Berkurangnya lama masa rawat lewat sistem ini terbukti sejak diimplementasikan
dalam US medicare, yang memperlihatkan lama masa rawat menurun 15% dalam
tahun pertama terutama pada kasus-kasus kronik dan elektif. Di Korea, sistem CBG
menurunkan 14% biaya rerata disebabkan penggunaan antibiotika yang lebih
rasional karena efisiensi ini.43
Kualitas hidup diukur dengan menggunakan alat ukur dari Euroqol yaitu EQ5D
yang lebih ringkas namun tetap andal dan sahih dalam menilai kualitas hidup pasien
geriatri. EQ5D meliputi lima pertanyaan untuk mewakili lima domain yaitu
mobilitas, perawatan diri sendiri, aktivitas sehari-hari, rasa nyeri/tidak nyaman, dan
rasa cemas/depresi (Lampiran I).
Dari 225 sampel yang dikumpulkan, terdapat 46 subjek di era sebelum JKN dan
42 subjek di era JKN memiliki data EQ5D lengkap berpasangan (EQ5D masuk dan
keluar). Tidak lengkapnya data EQ5D dari total sampel kemungkinan disebabkan
beberapa hal. Pertama, pasien yang datang dengan kondisi penurunan kesadaran
yang tidak memungkinkan untuk mendapat data EQ5D. Kedua, karena lama masa
rawat yang cukup panjang, pasien dioperkan ke dokter yang merawat selanjutnya
sehingga data EQ5D masuk terpisah dengan EQ5D keluar. Ketiga, pasien
meninggal saat perawatan tidak memungkinkan mendapatkan nilai EQ5D keluar.
Keempat, penyerahan status P3G ke pusat pendataan yang belun optimal.
Hilangnya data perlu diatasi karena dapat menyebabkan bias dan berkurangnya
power penelitian, apalagi pada penelitian dengan sampel yang tidak banyak.59
Untuk mengatasi hal ini, dipilih imputasi multipel karena dianggap dapat mengatasi
terjadinya effect size underestimation dan mengurangi bias dibanding cara lain.59 60
Universitas Indonesia
Setelah itu dilakukan analisis sensitivitas dan didapatkan nilai EQ5D gain dan
QALD yang tidk jauh berbeda sebelum dan sesudah imputasi multipel.
Tidak ada perbedaan pencapaian kualitas hidup (EQ5D gain) dan QALD pada
kedua era berdasarkan uji mann whitney U. Kebanyakan penelitian sebelumnya
mengambil data EQ5D dari rawat jalan5, komunitas23, spesifik untuk penyakit
tertentu (kardiovaskular61, ortopedi62, artritis63, stroke64), definisi operasional yang
berbeda (misalnya 30 hari paska rawat)7 65, atau indeks EQ5D menggunakan indeks
5,65
EQ5D Eropa. Dengan demikian, hasil pada penelitian era sebelum JKN dan
JKN sulit dibandingkan dengan penelitian lain.
Beberapa kondisi dapat memengaruhi kualitas hidup pasien geriatri. Kondisi kronik
berhubungan dengan menurunnya kualitas hidup, secara signifikan adalah riwayat
stroke dan bronkitis kronik.24 Indeks massa tubuh yang rendah juga berhubungan
dengan kualitas hidup yang lebih rendah.25 Dalam penelitian lain, Wicke, dkk. 26
menyimpulkan adanya depresi pada geriatri lewat skor geriatric depression scale
merupakan salah satu komorbiditas yang harus dipertimbangkan yang akan
memengaruhi kualitas hidup usia lanjut. Pasien dengan disabilitas, seperti adanya
fraktur leher femoral akibat osteoporosis pada usia lanjut, ikut memengaruhi skor
EQ5D dalam domain mobilitas, nyeri, perawatan diri, dan ansietas.27 Penelitian lain
menyimpulkan selain depresi, faktor lain seperti jenis kelamin wanita, lama masa
rawat, usia, rehabilitasi di rumah sakit, juga memengaruhi kualitas hidup pasien
pulang dari rumah sakit.66 Penelitian multisenter oleh Setiati, dkk. 23 di komunitas
melaporkan hal serupa yaitu jenis kelamin wanita, malnutrisi, gangguan kognitif,
penyakit kronik yang tidak terkontrol, gangguan fungsional, dan adanya depresi
dapat menjadi prediktor kualitas hidup yang lebih rendah.
Beberapa nilai ekstrim terjadi pada penelitian ini. Nilai EQ5D maksimal adalah 1
yaitu kualitas hidup terbaik (sehat) dan minimal adalah -0,111 yaitu kualitas hidup
67
terburuk. Devlin dkk. Menjelaskan bahwa terdapat dua kondisi kualitas hidup
yaitu states of better than death (SBD) atau states of worse than death (SWD).
SWD digambarkan dengan nilai negatif berdasarkan indeks EQ5D yang berarti
subjek merasa sangat terganggu pada lima domain EQ5D. Pada penelitian ini
terdapat lima subjek dengan kondisi SWD pada era sebelum JKN dan tiga subjek
Universitas Indonesia
pada era JKN, yaitu 9,09% dari total subjek dengan nilai EQ5D lengkap. Penelitian
berskala besar secara potong lintang oleh Goodacre dkk.65 di Inggris pada pasien
30 hari setelah perawatan gawat darurat menemukan angkanya 11% yang termasuk
SWD. Pada era sebelum JKN dan JKN, terdapat lima orang dengan nilai terendah
yaitu -0,111 yang semuanya memiliki gangguan malnutrisi dan imobilisasi. Dari
delapan pasien dengan SWD, semua memiliki komorbiditas antara lain depresi,
PPOK, riwayat stroke, gagal jantung, atau DM dengan komplikasi. Semua subjek
memiliki geriatric giants yang berhubungan dengan masalah keterbatasan aktifitas
(instabilitas, imobilisasi, ulkus dekubitus). Malnutrisi, gangguan fungsional dan
kognitif, depresi, komorbiditas, dan disabilitas memang terbukti berhubungan
dengan kualitas hidup yang lebih buruk.23-27 66 68
Pasien yang memiliki EQ5D
masuk dengan keluar yang sama-sama -0,111 adalah mereka yang pulang paksa
ataupun memiliki disabilitas saat pulang, yang menunjukkan tatalaksana belum
selesai atau adanya disabilitas yang belum tertangani sebelum pulang.
Pelaksanaan P3G mungkin menjadi salah satu faktor yang perlu diperhatikan dalam
menilai kenaikan kualitas hidup pada era sebelum JKN dan JKN. Banyak penelitian
membuktikan P3G berkorelasi dengan perbaikan kualitas hidup yang signifikan.
P3G idealnya dapat mengidentifikasi berbagai faktor baik medis, fisik, dan
psikososial dan merumuskan tatalaksana yang tepat sehingga kualitas hidup pasien
naik secara signifikan, lama masa rawat lebih singkat, dan biaya rawat lebih rendah.
Dengan demikian, pelaksanaan P3G seharusnya sejalan dengan prinsip INA CBG
yang mengutamakan efisiensi dan peningkatan mutu pelayanan. Namun demikian,
median EQ5D gain pada kelompok sebelum JKN dan JKN menunjukkan kenaikan
yang tidak signifikan. Tidak adanya kenaikan signifikan ini salah satunya dapat
disebabkan penerapan P3G yang perlu dievaluasi kembali. Misalnya, apakah
benar-benar sudah memenuhi syarat-syarat seperti koordinasi interdisiplin,
identifikasi dan inventarisasi menyeluruh masalah medis, fisik, sosial, psikologi,
pengambilan keputusan klinis termasuk rehabilitasi, dan implementasi tatalaksana
yang direkomendasikan, termasuk evaluasinya.6 Pelaksanaan P3G di ruang rawat
akut geriatri, seperti diungkapkan oleh Conroy juga memerlukan evaluasi berkala
mencakup laju konversi, lama masa rawat, rehospitalization, mortalitas,
keterlambatan non klinis, pembuatan P3G saat pasien masuk, dan kepuasan pelaku
Universitas Indonesia
rawat dan pasien. Selain itu, diperlukan audit berkala mengenai terapi obat yang
diberikan, proporsi pasien yang mendapatkan pengkajian kognitif saat pasien
masuk, pengkajian riwayat jatuh, serta diagnosis dan manajemen infeksi saluran
kemih.57
Rerata biaya total perawatan relatif sama antara era sebelum JKN dan era JKN, hal
ini dapat dijelaskan antara lain karena profil penyakit dan komorbiditas subjek serta
lama masa rawat yang tak berbeda bermakna. Biaya material yaitu obat dan alat
medis menyumbang biaya rawat terbesar. Pos kedua adalah biaya sarana termasuk
tindakan bedah, intervensi non bedah, hemodialisis, dan transfusi. Berdasarkan
pengamatan, transfusi merupakan salah satu sumber pengeluaran yang perlu
diperhatikan karena satu kantong komponen darah PRC atau FFP membutuhkan
biaya Rp. 388.000,- dan satu unit albumin 20% 100 cc adalah Rp.1.500.000,-. Tiga
pasien dengan biaya tertinggi adalah mereka yang memiliki lama masa rawat >42
hari. Pasien dengan biaya paling tinggi merupakan pasien dengan lama masa rawat
paling lama. Berdasarkan Gambar 5.5. bisa dilihat bahwa semakin lama pasien
dirawat semakin besar biaya dikeluarkan.
Universitas Indonesia
Secara deskriptif, dapat dilihat bahwa ICER JKN berada pada kuadran kanan atas
yang artinya program JKN mengeluarkan Rp. 1.500.000,- untuk mendapatkan masa
rawat lebih pendek 0,91 hari. Sedangkan bila dilihat dari QALD, ICER JKN berada
pada kuadran kiri bawah yang artinya program JKN mengurangi Rp.3.484.887,-
namun memiliki 0,25 QALD lebih kecil dibandingkan dengan era sebelum JKN.
Bisa diartikan program JKN lebih murah namun dengan biaya demikian,
peningkatan kualitas hidup pada lama masa rawat tersebut lebih rendah dibanding
sebelum JKN.
QALD merupakan alat untuk menilai analisis utilitas biaya agar dapat
membuktikan apakah suatu program efektif atau tidak dengan menghitung biaya
per unit utilitas (unit yang berkaitan dengan well being manusia). Namun, penelitian
ini tidak meneliti seluruh aspek outcome (kenaikan ADL, rehospitalization, dan
mortalitas) untuk menilai suatu perawatan efektif atau tidak sehingga tidak dapat
ditentukan analisis untuk menilai apakah program JKN efektif atau tidak sehingga
perlu penelitian lebih lanjut untuk menilai efektivitasnya. Namun demikian, dari
kedua skema tersebut dapat dilihat JKN tidaklah berada pada posisi kanan bawah,
yaitu lebih mahal dengan efek lebih buruk. Perlu penelitian lebih lanjut setelah
sistem JKN sepenuhnya dijalankan apakah terjadi pergeseran ICER menuju yang
paling ideal yaitu lebih murah dengan efek lebih baik, atau tidak lebih mahal namun
efek lebih baik.
Kelebihan penelitian ini adalah antara lain, pertama, penelitian ini merupakan
penelitian pertama dan pendahuluan yang menggambarkan perbedaan luaran
perawatan pada pasien geriatri yang dirawat dengan metode P3G sehubungan
Universitas Indonesia
dengan sistem pembiayaan (JKN) yang baru diaplikasikan 1 Januari 2014. Dengan
demikian, penelitian ini dapat menjadi bahan evaluasi untuk perbaikan pelayanan
kesehatan di RSCM selanjutnya. Kedua, penelitian ini memperlihatkan pentingnya
system based practice sebagai salah satu kompetensi yang harus dimiliki dokter
yaitu kemampuan untuk peduli dan merespon sistem pelayanan kesehatan di
tempatnya bekerja agar pasien mendapat pelayanan kesehatan yang optimal.
Untuk menilai penelitian ini secara keseluruhan, dilakukan telaah kritis terkait
validity, importancy, dan applicability (VIA) penelitian. Telaah kritis
menggunakan panduan dari CASP (Critical appraisal Skills Programme) dari
universitas Oxford.
6.6.1. Validity
Penelitian ini memiliki luaran yang jelas yaitu lama masa rawat, kualitas hidup, dan
efektivitas biaya dan diteliti pada populasi yang jelas yaitu populasi geriatri yang
dirawat di ruang rawat geriatri akut pada periode penelitian. Metode perekrutan
cukup baik dengan metode total sampling. Namun demikian, tidak semua subjek
dapat diikutsertakan karena 22% dari total subjek tidak memiliki rekam medik yang
lengkap/tidak tersedia yang menyebabkan kemungkinan adanya bias seleksi
terutama pada sampel dengan jumlah tidak besar. Pada analisis untuk variabel
dependen kualitas hidup, adanya missing data diatasi dengan imputasi multipel dan
analisis sensitivitas. Adanya kemungkinan bias seleksi ini menyebabkan validitas
penelitian ini kurang baik. Untuk mengatasi hal ini sebaiknya dilakukan penelitian
dengan metodologi yang lebih baik seperti kohort prospektif dengan jumlah sampel
yang besar dan rentang waktu yang lebih panjang.
Universitas Indonesia
6.6.2. Importancy
Penting tidaknya penelitian dapat dilihat pada bab hasil penelitian. Secara statistik,
penelitian ini tak dapat dinilai akurasinya karena tidak mencantumkan konfidens
interval. Hasil penelitian yang menunjukkan tidak adanya perbedaan bermakna baik
untuk lama masa rawat dan kualitas hidup menunjukkan secara statistik, penelitian
ini menjadi kurang penting.
Sedangkan secara klinis, tidak adanya perbedaan lama masa rawat sebelum dengan
sesudah JKN dapat dipandang dari dua sudut perspektif. Hasil ini secara klinis
menjadi penting karena lama masa rawat menunjukkan efisiensi suatu perawatan.
Tidak berbedanya lama masa perawatan selama era JKN dengan sebelum JKN bisa
menunjukkan efisiensi perawatan geriatri saat ini belum optimal karena belum ada
perbaikan lama masa rawat dibandingkan saat sistem sebelumnya. Di sisi lain lama
masa rawat pada geriatri bisa dipandang sudah optimal karena berdasarkan
Permenkes No 79 Tahun 2014, rerata lama masa rawat geriatri adalah 12 hari, dan
adanya sistem pembiayaan baru ini ternyata tidak mengubah luaran tersebut.
Dari segi kualitas hidup, secara klinis hasil ini menjadi penting sebagai bahan
evaluasi karena tidak adanya perbedaan kualitas hidup sebelum dan sesudah era
JKN bisa diartikan sistem pembiayaan baru ini tidak mengubah luaran terkait
kualitas hidup. Selain itu, hasil ini dapat menjadi masukan untuk evaluasi
pelaksanaan P3G baik sebelum maupun sesudah penerapan JKN.
Demikian halnya dengan ICER untuk kualitas hidup yang menunjukkan hasil
Rp.3.484.887,- lebih murah namun QALD yang didapatkan adalah 0,25 QALD
Universitas Indonesia
lebih kecil dari sistem pembiayaan sebelumnya. Apakah penentu kebijakan mau
menginvestasikan keuntungan Rp.3484.887,- namun kehilangan sebesar 0,25
QALD? Sebaliknya, apakah kehilangan 0,25 QALD tidak seimbang dengan
penghematan biaya sebesar demikian? Penelitian ini menjadi penting karena
menjadi masukan untuk pengambil keputusan terkait kebijakan rumah sakit.
Keputusan berdasarkan hasil ini salah satunya dapat ditentukan oleh willingness to
pay (WTP). WTP merupakan cut off value dari pengambil keputusan dalam menilai
sesuatu terkait pembiayaan. WTP dipengaruhi oleh value yang dianut dan alokasi
anggaran yang tersedia. Hal inilah yang akan menentukan apakah suatu intervensi
atau keputusan klinis dinilai efektif biaya atau tidak.
6.6.3. Applicability
Penelitian ini dilakukan pada pasien geriatri yang mendapatkan metode P3G di
ruang rawat geriatri akut. Tidak semua rumah sakit tipe A memiliki ruang rawat
geriatri akut dan menerapkan metode P3G. Dengan demikian, penerapan hasil
penelitian ini terbatas pada sentra-sentra rumah sakit yang memiliki fasilitas ruang
rawat geriatri akut, seperti rumah sakit-rumah sakit pendidikan yang memiliki pusat
geriatri.
Universitas Indonesia
7.1. SIMPULAN
1. Tidak ada perbedaan lama masa rawat pasien di ruang rawat geriatri akut
RSCM pada era sebelum JKN dengan era JKN.
2. Tidak ada perbedaan kualitas hidup pasien di ruang rawat geriatri akut
RSCM pada era sebelum JKN dengan era JKN.
7.2. SARAN
1. Dengan hasil lama masa rawat dan pencapaian kualitas hidup tidak berbeda
signifikan, perlu penelitian berkala setelah program JKN dilaksanakan
sepenuhnya dengan memerhatikan lama penelitian dan jumlah sampel yang
memenuhi syarat, dan dilakukan tidak hanya pada pasien geriatri.
2. Pasien geriatri berpotensi memiliki lama masa rawat panjang dan biaya
lebih besar hingga perlu ditambahkan klasifikasi international classification
of functioning, disability, and health (ICF) sebagai tambahan klasifikasi
disamping ICD 10 dan ICD 9 CM.
61
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
RINGKASAN
Universitas Indonesia
[2-76] dan 12 [2-59] hari, p= 0,540. Begitu juga tak ada perbedan QALD antara
kelompok sebelum JKN dan JKN dengan median 0,812[-3,1 – 24,37] dan 0,000 [-
7,37 – 22,43], p= 0,843. Biaya per satu kali rawat pada era sebelum JKN adalah
Rp. 19.961,000 [Rp.2.57 juta –Rp. 100 juta] dan JKN Rp. 20.832.000,- [Rp.3.067
juta - Rp.100 juta]. Skema ICER memperlihatkan biaya rawat lebih mahal Rp.
1.500.000,- untuk mendapatkan lama masa rawat lebih pendek 0,91 hari.
Berdasarkan QALD, biaya rawat lebih murah Rp.3.484.887,- dengan 0,25 QALD
lebih rendah dibanding era sebelum JKN.
Dari penelitian ini, dapat disimpulkan tidak ada perbedaan lama masa rawat dan
kualitas hidup pasien yang dirawat pada era sebelum JKN dengan era JKN.
Diperlukan penelitian lebih lanjut setelah program JKN sudah diterapkan
sepenuhnya dengan metodologi penelitian yang lebih baik untuk mendapatkan hasil
yang lebih valid dan meyakinkan.
Universitas Indonesia
SUMMARY
Universitas Indonesia
QALD, the cost was cheaper Rp.3.484.887,- to have 0,25 QALD lower than non
NHIP.
From this study, we can conclude that there were no difference either in length of
stay or quality of life before NHIP and after NHIP periods. For further study, we
suggest more robust methodology after NHIP has fully applied to get more valid
and convincing result.
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Universitas Indonesia
15. Wang SY, Shamliyan TA, Talley KM, Ramakrishnan R, Kane RL. Not just
specific diseases: systematic review of the association of geriatric syndromes
with hospitalization or nursing home admission. Arch Gerontol Geriatr.
2013;57(1):16-26.
16. Tinetti ME, Inouye SK, Gill TM, Doucette JT. Shared risk factors for falls,
incontinence, and functional dependence. Unifying the approach to geriatric
syndromes. JAMA. 1995;273(17):1348-53.
17. Caprio TV, Williams TF. Comprehensive geriatric assessment. In: Caprio, TV,
ed. Practice of Geriatrics. 4th ed. Michigan: Saunders/Elsevier, 2007.
18. Rodriguez-Pascual C, Rodriguez-Justo S, Garcia-Villar E, Narro-Vidal M,
Torrente-Carballido M, Paredes-Galan E. Quality of life, characteristics and
metabolic control in diabetic geriatric patients. Maturitas; 69(4):343-7.
19. Klepin HD, Geiger AM, Tooze JA, Kritchevsky SB, Williamson JD, Pardee TS,
et al. Geriatric assessment predicts survival for older adults receiving induction
chemotherapy for acute myelogenous leukemia. Blood 2013;121(21):4287-94.
20. Bo M, Martini B, Ruatta C, Massaia M, Ricauda NA, Varetto A, et al. Geriatric
ward hospitalization reduced incidence delirium among older medical
inpatients. Am J Geriatr Psychiatry. 2009;17(9):760-8.
21. Bottomley A. The journey of health-related quality of life assessment. Lancet
Oncol. 2008;9(9):906.
22. Kirkova, J. Measuring Quality of Life. In: Walsh, AT, Caraceni, R. Fainsinger,
KM, Foley, P, Glare, C, Goh L, eds. Palliative medicine. 1st ed. Philadelphia:
Saunders Elsevier, 2008. p175-181
23. Setiati S, Harimurti K, Dewiasty E, Istanti R. Predictors and scoring system for
health-related quality of life in an Indonesian community-dwelling elderly
population. Acta Med Indones. 2011;43(4):237-42.
24. Hunger M, Thorand B, Schunk M, Doring A, Menn P, Peters A, et al.
Multimorbidity and health-related quality of life in the older population: results
from the German KORA-age study. Health Qual Life Outcomes. 2011;9:53.
25. Giuli C, Papa R, Bevilacqua R, Felici E, Gagliardi C, Marcellini F, et al.
Correlates of perceived health related quality of life in obese, overweight and
normal weight older adults: an observational study. BMC Public Health.
2014;14:35.
26. Wicke FS, Guthlin C, Mergenthal K, Gensichen J, Loffler C, Bickel H, et al.
Depressive mood mediates the influence of social support on health-related
quality of life in elderly, multimorbid patients. BMC Fam Pract. 2014;15(1):62.
27. Prasad JD, Varghese AK, Jamkhandi D, Chakraborty A, Rakesh PS, Abraham
VJ. Quality-of-Life among Elderly with Untreated Fracture of Neck of Femur:
A Community Based Study from Southern India. J Family Med Prim Care.
2013;2(3):270-3.
28. Prieto L, Sacristan JA. Problems and solutions in calculating quality-adjusted
life years (QALYs). Health Qual Life Outcomes. 2003;1:80.
29. Hughes RG, Blegen MA. Patient Safety and Quality: An evidence Based
Handbook for Nurses. In: Hughes RG, editor. Medication Administration
Safety. Rockville: Agency for Healthcare Research and Quality, 2008.p2-397-
2-458
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
62. Jansson KA, Granath F. Health-related quality of life (EQ-5D) before and after
orthopedic surgery. Acta Orthop, 2011;82(1):82-9.
63. Gaujoux-Viala C, Fautrel B, Guillemin F, Flipo RM, Bourgeois P, Rat AC. Who
are the patients with early arthritis with worse than death scores on the EQ-5D?
Results from the ESPOIR cohort. Rheumatology (Oxford). 2012;52(5):832-8.
64. Sprigg N, Selby J, Fox L, Berge E, Whynes D, Bath PM. Very low quality of
life after acute stroke: data from the Efficacy of Nitric Oxide in Stroke trial.
Stroke. 2013;44(12):3458-62.
65. Goodacre SW, Wilson RW, Bradburn M, Santarelli M, Nicholl JP. Health utility
after emergency medical admission: a cross-sectional survey. Health Qual Life
Outcomes. 2010;10:20.
66. Lin JH, Huang MW, Wang DW, Chen YM, Lin CS, Tang YJ, et al. Late-life
depression and quality of life in a geriatric evaluation and management unit: an
exploratory study. BMC Geriatr. 2014;14:77.
67. Devlin NJ, Tsuchiya A, Buckingham K, Tilling C. A uniform time trade off
method for states better and worse than dead: feasibility study of the 'lead time'
approach. Health Econ. 2011;20(3):348-61.
68. Boyd CM, Landefeld CS, Counsell SR, Palmer RM, Fortinsky RH, Kresevic D,
et al. Recovery of activities of daily living in older adults after hospitalization
for acute medical illness. J Am Geriatr Soc. 2008;56(12):2171-9.
Universitas Indonesia
LAMPIRAN I
Universitas Indonesia
LAMPIRAN II
Universitas Indonesia
LAMPIRAN II (LANJUTAN)
Universitas Indonesia
LAMPIRAN II (LANJUTAN)
Universitas Indonesia
LAMPIRAN III
Universitas Indonesia