0% menganggap dokumen ini bermanfaat (1 suara)
2K tayangan73 halaman

Modul Praktikum

Petunjuk Praktikum Fisika Dasar memberikan panduan mengenai pelaksanaan praktikum di Laboratorium Fisika Dasar, termasuk penjelasan tentang pengukuran dan ketidakpastian hasil pengukuran, serta modul-modul percobaan yang dapat dilakukan."

Diunggah oleh

Della Azzura
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Kami menangani hak cipta konten dengan serius. Jika Anda merasa konten ini milik Anda, ajukan klaim di sini.
Format Tersedia
Unduh sebagai PDF, TXT atau baca online di Scribd
0% menganggap dokumen ini bermanfaat (1 suara)
2K tayangan73 halaman

Modul Praktikum

Petunjuk Praktikum Fisika Dasar memberikan panduan mengenai pelaksanaan praktikum di Laboratorium Fisika Dasar, termasuk penjelasan tentang pengukuran dan ketidakpastian hasil pengukuran, serta modul-modul percobaan yang dapat dilakukan."

Diunggah oleh

Della Azzura
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Kami menangani hak cipta konten dengan serius. Jika Anda merasa konten ini milik Anda, ajukan klaim di sini.
Format Tersedia
Unduh sebagai PDF, TXT atau baca online di Scribd
Anda di halaman 1/ 73

PETUNJUK PRAKTIKUM

FISIKA DASAR

LABORATORIUM FISIKA DASAR


JURUSAN FISIKA FAKULTAS MIPA
UNIVERSITAS JEMBER
September 2019
1

KATA PENGANTAR
Laboratorium Fisika Dasar telah berupaya untuk menyediakan sarana dan
prasarana percobaan yang dirasa perlu diberikan pada mahasiswa awal dalam
menempuh mata kuliah Fisika Dasar. Berbagai peralatan percobaan Fisika Dasar
telah dibuat sendiri, diuji dan tanpa mengurangi keakuratan alat maupun data yang
diperoleh, mengingat bila kita membeli peralatan percobaan ini, membutuhkan
dana yang tidak kecil.

Sejak tahun 1997, yang merupakan awal mula Jurusan Fisika melaksanakan
pelayanan praktikum Fisika Dasar, Laboratorium Fisika Dasar tetap konsisten
untuk selalu memberikan pelayanan semaksimal mungkin dan berupaya untuk
selalu menambah jumlah modul praktikum. Saat ini, total jenis-jenis percobaan di
Lab. Fisika Dasar mencapai 50 buah. Jumlah tersebut di luar peralatan percobaan
Fisika Dasar yang diperoleh dari Pusat, yang jumlahnya masing-masing hanya
satu buah dan hanya diberikan dalam percobaan yang bersifat demonstrasi saja.

Akhirnya tak lupa kami sampaikan terimakasih kepada semua team dosen Fisika
Dasar yang telah membantu dalam penyusunan buku Petunjuk Praktikum Fisika
Dasar edisi kali ini. Kritik dan saran yang sifatnya membangun akan selalu kami
tunggu.

Jember, September 2019


Laboratorium Fisika Dasar
2

DAFTAR ISI

Halaman Judul
Kata Pengantar .................................................................................................. 1
Daftar Isi............................................................................................................. 2
Pengukuran dan Ralat (Ketidakpastian) pada Pengukuran ................................ 3
Modul 1 Pengukuran Dasar ................................................................................ 19
Modul 2 Hukum Ohm dan Rangkaian Seri-Paralel ........................................... 28
Modul 3 Pengamatan terhadap Spektrum Gelombang Elektromagnetik ........... 37
Modul 4 Penentuan Fokus Lensa ....................................................................... 41
Modul 5 Kalorimeter .......................................................................................... 46
Modul 6 Massa Jenis dan Specific Gravity Zat .................................................. 51
Modul 7 Pemuaian Panjang ............................................................................... 56
Modul 8 Koefisien Gesek Bahan ....................................................................... 61
3

Pengukuran dan Ralat


(Ketidakpastian) Pada Pengukuran

I. PENGUKURAN
Pengamatan suatu gejala pada umumnya belumlah lengkap jika belum
memberikan informasi yang kuantitatif. Proses memperoleh informasi yang
sedemikian ini memerlukan PENGUKURAN suatu sifat fisis. Lord Kelvin mengatakan
bahwa pengetahuan kita barulah memuaskan hanya jika kita dapat mengatakannya
dalam bilangan.
PENGUKURAN adalah suatu teknik untuk menyatakan suatu sifat fisis dalam
bilangan sebagai hasil membandingkannya dengan suatu besaran baku yang diterima
sebagai SATUAN.
Dalam melakukan pengukuran, harus diusahakan agar sekecil mungkin
menimbulkan gangguan pada sistem yang sedang diamati. Misalnya bila dilakukan
pengukuran terhadap batang logam, maka diusahakan tidak terjadi gangguan dari luar
yang mempengaruhi sistem logam tersebut (dengan berubahnya panjang batang
logam). Kecuali perubahan sistem tersebut memang dikehendaki dalam pengukuran.
Umumnya didalam pengukuran dibutuhkan instrumen sebagai suatu cara fisis untuk
menentukan suatu besaran (kuantitas) atau variabel.
4

II. RALAT (KETIDAKPASTIAN) PADA PENGUKURAN


Konsep utama dalam pengukuran adalah setiap pengukuran harus sekaligus
menentukan ralatnya (ketidakpastiannya). Tanpa menyatakan ralat, suatu hasil
pengukuran tidak banyak memberi informasi mengenai besaran yang diukur, mutu alat
ukur dan ketelitian pengukurannya. Ralat suatu hasil pengukuran dapat memberikan
informasi mengenai tingkat kepercayaan akan hasil pengukuran, mutu alat yang
digunakan dan ketelitian pengukuran tersebut. Sehingga sebelum melakukan
percobaan-percobaan lainnya, harus dipelajari bagaimana menentukan nilai ralat, cara-
cara menyatakannya dan cara menuliskan / melaporkan hasil pengukuran yang wajar
(‘angka berarti atau angka penting’ yang digunakan).

A. Cara Penulisan Hasil Ukur Yang Benar


Apabila hasil ukur dinyatakan dengan x̅ dan ralatnya dinyatakan dengan x,
maka cara penulisan yang benar adalah :
x = (x̅  x ) satuan ………………………………… (1a)
atau
x = x̅ satuan  x % ……………………………… (1b)
dengan :
 x 
x % =    x 100 % ……………………………. (1c)
 x 

B. Penggunaan Notasi Ilmiah


Hasil pengukuran yang diperoleh dengan jumlah digit lebih dari 3, sebaiknya
ditulis dalam bentuk perkalian 10 pangkat n → (10n) dan jumlah angka di belakang
koma untuk hasil ukur dan ralat harus sama.
Contoh :

Diperoleh hasil pengukuran ( X ) = 1205 cm dan hasil ralat (X) = 1 cm, maka
bukan dinyatakan dengan :
X = (1205  1) cm (X) salah , tetapi dengan :
X = (12,05  0,01 ) .102 cm () benar
Sama yaitu 2 digit
5

C. Penyebab Terjadinya Ralat


Ralat terjadi disebabkan oleh beberapa faktor antara lain :
1. Adanya nilai skala terkecil (nst)
2. Adanya ralat bersistem
3. Adanya ralat acak
4. Keterbatasan pada pengamat

Ad. 1. Adanya Nilai Skala Terkecil (nst)


Setiap alat ukur mempunyai skala terkecil yang merupakan keterbatasannya.
Karena itu hasil pengukuran dengan membaca skala pada alat ukur hanya dipastikan
hingga batas (jumlah angka) tertentu saja Inilah salah satu sumber ralat yang tidak
terelakkan.
Misal :
a. Pengukuran panjang batang dengan sebuah penggaris plastik biasanya hanya
dapat memberikan hasil pasti sampai nilai skala terkecilnya (nst) yaitu 1
millimeter.
b. Sedangkan pada jangka sorong yang dibantu dengan nonius yang
memungkinkan kita membaca hingga 0,05 mm, maka nst-nya = 0,05 mm.
c. Pada mikrometer mempunyai alat bantu yang memungkinkan kita membaca
hingga 0,01 mm, maka nst-nya 0,01 mm.
Tinjau kembali point (a), jika panjang batang yang diukur dengan penggaris
plastik lebih dari 10,2 cm tetapi kurang dari 10,3 cm, kita dapat menambahkan satu
angka lagi pada 10,2 cm misalnya 10,26 cm. Angka 6 terakhir, diperoleh hanya dengan
kira-kira (ditaksir) saja, tidak pasti, jadi mengandung ketidakpastian/ralat.
a. Bila pengukurannya langsung hanya sekali saja, maka hasil ralat (X)
dinyatakan dengan :
X = ½ x nst …………………………………………….. (2)
(persamaan (2) umum dipakai pada semua alat, walaupun ada juga yang
memakai X = 1/5 x nst ).
Jadi pada penggaris plastik karena nst-nya 1mm, maka 1 mm x ½ = 0,5 mm =
0,05 cm. Sehingga panjang batang diatas dapat dinyatakan dengan : X = (10,26
 0,05) cm
6

b. Bila pengukurannya sebanyak n kali, maka hasil ralat (X) dicari dengan
Standart Deviasi. Berdasarkan banyaknya pengulangan yang mungkin
dilakukan terhadap sebuah pengukuran besaran fisis, maka terdapat 2
klasifikasi penggunaan standart deviasi.
A. Bila n  10, memakai persamaan :

X  (X i  X )2
……………………………………. (3)
(n  1)

Contoh : Dilakukan pengukuran panjang batang sebanyak 3 kali (n=3)


X1 = 1,55 cm ; X2 = 1,5 cm ; X3 = 1,45 cm, maka

 1,55  1,5  1,45


X = 1,5 cm
3

( X 3  1,5) 2  ( X 2  1,5) 2  ( X 1  1,5) 2


X 
(3  1)

(1,45  1,5) 2  (1,5  1,5) 2  (1,55  1,5) 2


X 
2
= 0,05 cm
Sehingga panjang batang tersebut: X = (1,50  0,05) cm.

B. Bila n relatif besar ( n  30) dipakai persamaan :

X 
( X i  X )2 ………………………………………… (4)
n

Ad. 2. Adanya Ralat Bersistem


Ralat bersistem dapat disebut sebagai kesalahan bersumber pada kesalahan alat,
diantaranya :
- Kesalahan Kalibrasi
7

Yaitu pembubuhan nilai pada garis skala saat pembuatannya. Sehingga untuk
memperoleh hasil yang lebih baik, jika mungkin maka dilakukan pengkalibrasian
ulang dengan cara memerlukan alat standart yang penunjukkannya jauh lebih
terjamin kebenarannya caranya dengan membuat catatan (atau grafik) yang
menyatakan berapa hasil bacaan alat standart untuk setiap angka yang ditunjukkan
oleh alat yang digunakan.
Misal : terbaca arus 2,5 A, sedangkan hasil kalibrasinya sesuai dengan 2,8 A pada
alat standar, maka digunakan sebagai hasil pengukuran adalah 2,8 A.

- Kesalahan Titik Nol


Disebabkan tergesernya penunjukkan nol yang sebenarnya, dari garis nol pada
skala. Pada alat ukur yang baik, kesalahan ini dapat dikoreksi dengan memutar
tombol pengatur kedudukan (penunjukkan) jarum agar dimulai dengan menunjuk
tepat nol. Jika tidak ada tombol pengaturnya, maka harus dicatat penunjukkan awal
jarum tersebut dan kemudian mengoreksi semua hasil bacaan ( pengamatan) skala
dengan kesalahan titik nol tersebut.
Misal : jarum penunjuk amperemeter yang seharusnya menunjukkan angka 0
Ampere pada saat tidak ada arus, ternyata menunjukkan angka 0,5
Ampere. Maka harus ada koreksi titik nol sebesar (- 0,5 )Ampere.
Jadi : arus sebenarnya = arus yang terbaca + koreksi titik nol

- Kesalahan Alat Lainnya


Misalkan melemahnya pegas yang digunakan sebagai komponen alat ukur, gesekan
yang terjadi pada alat-alat yang bergerak dan lainnya yang semuanya dapat
dikoreksi dengan mengkalibrasi ulang alat yang akan digunakan.

- Kesalahan Pada Arah Pandang Membaca Nilai Skala


Cara membaca penunjukkan jarum yang agak jauh dari skala artinya ada jarak
antara jarum dan garis-garis skala, maka hal ini akan menjadi sumber kesalahan
yang disebut sebagai PARALAKS (arah pandang).
8

Ad.3. Adanya Ralat Acak


Ralat ini ditimbulkan oleh kondisi lingkungan yang tidak menentu yang
menggangu kerja alat ukur. Penyebabnya antara lain gerakan molekul udara (gerak
BROWN), fluktuasi tegangan listrik, bising (noise) elektronik, yang semuanya sering
diluar kemampuan kita untuk mengendalikannya. Untuk mengatasi gerakan molekul
udara, maka pengukuran dapat dilakukan di ruang yang tertutup (mengurangi pengaruh
angin), sedang fluktuasi tegangan listrik dapat diatasi dengan memakai sumber
tegangan yang berkualitas tinggi yang menjamin tidak terjadi fluktuasi yang tinggi, dan
lain sebagainya.

Ad.4. Keterbatasan Pada Pengamat


Sumber ralat yang tidak boleh dianggap ringan adalah keterbatasan pada si
pengamat. Artinya sekalipun alat tersebut bermutu tinggi maka belum menjamin hasil
pengukuran yang bermutu pula. Karena faktor pengamat sangat menentukan. Apalagi
jika pengamat kurang trampil menggunakan alat lebih-lebih alat canggih yang
melibatkan banyak komponen yang harus diatur atau kurang tajam mata pengamat
dalam membaca skala yang halus. Dengan kata lain, pengamat merupakan sumber
kesalahan atau ralat (ketidakpastian).

D. Cara Mendapatkan Ralat


Cara mendapatkan ralat, dibedakan menjadi 2 macam :
1. Bila hasil ukur dari pengukuran langsung, terdiri dari :
a. Pengukuran langung hanya sekali
b. Pengukuran sebanyak n kali
(Nomer 1 telah dibahas di atas)
Maka hasil yang diperoleh adalah hasil ralat (X) baik pada point a atau b yang
disebut RALAT MUTLAK. Ralat mutlak hanya memberikan informasi mengenai
mutu alat ukur yang digunakan, namun belum mengungkapkan mutu pengukuran.
Untuk menyatakan ketelitian pengukuran yang menggambarkan mutu pengukuran,
digunakan :
9

 X 
Ralat Relatif / Ralat Nisbi (I) =    x 100 % (5)
 X 

Contoh 1:
Sebuah batang A yang panjangnya sekitar 1 meter bila diukur dengan penggaris
biasa dapat memberikan hasil :
LA = (1,0000  0,0005) meter
Bila alat yang sama digunakan untuk mengukur batang B yang panjangnya sekitar
10 cm hasilnya :
LB = (10,00  0,05) centimeter
Terlihat bahwa kedua hasil di atas mempunyai :
Ralat mutlak XA = XB = X = 0,05 cm = 0,0005 m
Sedangkan ketelitian pengukuran antara kedua batang tersebut digunakan Ralat
Relatif :
 
 X A   0,0005
 x100%  0,05%
    1,0000 
Batang A
 XA 


X 
 0,05 
Batang B   B     x100%  0,5%
 X  10,00 
 B 
Terlihat bahwa mutu hasil pengukuran XA lebih baik dari XB.
Jadi kesimpulannya : “Semakin kecil hasil ralat relatif, maka semakin tinggi
ketelitian (mutu) pengukuran “.

Contoh 2 : Hasil Pengukuran Panjang Batang Logam

Ulangan Panjang (x) x - x̅ (x - x̅ )2


(m) (m)
1 20,1 +0,1 0,01
2 20,0 0,0 0,00
3 20,2 +0,2 0,04
4 19,8 -0,2 0,04
5 19,9 -0,1 0,01
Rata-rata x̅ = 20,0 ∑(x - x̅ )2 = 0,1
10

 x  x
2

Ralat Mutlak x  ; di mana n jumlah pengukuran


n  1

0,10
 = 0,025 = 0,16 m
5  1

x
Ralat Relatif / nisbi (I) : x100%  0,8%
x
Keseksamaan (K) = 100% - I
= 99,2 %

2. Bila hasil ukur diperoleh tidak langsung


Hasil ukur yang diperoleh tidak langsung disebut sebagai ralat tak langsung didapat
dari beberapa percobaan yang adakalanya suatu besaran tersebut tidak dapat diukur
secara langsung, melainkan diturunkan dari besaran lain yang dapat diukur secara
langsung. Besaran yang tidak dapat diukur secara langsung adalah suatu besaran
yang tidak dapat dilakukan pengukuran kuantitas besaran yang bersangkutan secara
langsung didalan suatu alat ukur.
Contoh : rapat massa () dari suatu balok

Ralat tak langsung dibedakan menjadi :

a. Ralat asal nilai skala terkecil

Dinyatakan dengan ; bila Z = Z(X,Y)



X = ( X  X )

Y = ( Y  Y )
dan X , Y dengan ½ x nst, maka :

 Z   Z 
Z    X    Y (6)
 X   Y 
Contoh :
11

Suatu besaran dinyatakan dengan V = p,L,T. Bila p,L,T diperoleh dari


pengukuran tidak langsung ½ kali nst, maka diperoleh hasil :

 V 
   LT
 p  p, L,T

 V   V 
   pT    pL
 L  p , L,T  T  p , L,T

maka :
V = LT (p) + pT (L) + pL (T) (7)
Apabila pada persamaan (7) masing-masing suku dibagi dengan V diperoleh :
V p L T
   (8)
V p L T

b. Ralat asal standart deviasi


Bila X dan Y diperoleh dari standart deviasi, maka :

 Z   Z 
2 2

Z    (X )2    (Y )2 (9)


 X   Y 
Contoh :
Seperti pada contoh soal di atas V = pLT, maka

 V 
   LT ;  V   pT ;  V 
   pL
 p  p, L,T  L  p , L,T  T  p , L,T

Jadi :


V  ( LT ) 2 (p) 2  ( pT ) 2 (L) 2  ( pL) 2 (T ) 2 
1/ 2

c. Ralat asal gabungan


Bila X dari ½ skala terkecil dan Y dari standart deviasi, maka untuk mengubah
ralat dari ½ skala terkecil ke standart deviasi harus dikalikan dengan 0,68 (atau
2/3). Karena tingkat kepercayaan (keyakinan) untuk standart deviasi hanya 68 %
(sedangkan tingkat kepercayaan /keyakinan pada ½ skala terkecil sebesar 100 %).
Jadi :
12

 Z   Z 
2 2

Z    (0,68X )2    (Y )2 (10)


 X   Y 
Contoh : Persamaan untuk rapat massa adalah
m
  mV 1
V
Massa benda = m diukur dengan ½ skala terkecil, sedangkan volume
benda = V diukur dengan standart deviasi, maka

   2    1
   mV ;   V
 V   m 
Jadi :

  V  (0,68m)   mV  (V )
1 2 2 2 2 2

III. ANGKA PENTING (ANGKA BERARTI)


Pengertian angka penting (angka berarti) adalah : banyaknya angka yang masih
layak dipercaya untuk menampilkan hasil ukur (termasuk 1 angka paling belakang yang
paling meragukan).
Misal :
Pengukuran panjang benda dengan penggaris biasa, diperoleh 12,15 cm
Skala terkecil alat / mistar diketahui adalah 1 mm, maka dari x̅ = 12,1 cm adalah angka
pasti, sedangkan 0,05 cm adalah angka meragukan. Jadi x̅ = 12,15 cm terdiri 4
angka penting.

3.1 Aturan Operasi Bilangan


a. Perkalian dan Pembagian
Aturan : faktor dengan angka penting paling sedikit menentukan jumlah angka
penting dalam jawaban.

Misal : A  (8,2239)(2,7)(98,35)  7,79789 faktor yang menentukan !!


2

2764
= dibulatkan menjadi = 7,8 () benar !!
13

b. Penjumlahan dan Pembagian


Aturan : Jangan menyertakan hasil di belakang kolom pertama yang merupakan
angka yang meragukan
Misal : IV III II I kolom
3 5 7 ,1 angka yang diragukan !!
4 ,37
0 ,087
+
3 6 1 , 557 dibulatkan menjadi 361,6 () benar!

Satu indikasi bagi ketepatan pengukuran diperoleh dari banyaknya angka penting
(significant figure). Angka-angka penting tersebut memberikan informasi yang aktual
(nyata) mengenai kebesaran dan ketepatan pengukuran. Makin banyak angka-angka
yang penting, ketepatan pengukuran semakin besar.

Beberapa kriteria/aturan angka penting diberikan di bawah ini :


a. Semua angka bukan nol adalah angka penting.
Contoh: 1234 (4 angka penting)
b. Angka nol diantara angka bukan nol adalah angka penting.
Contoh : 1909,304 (7 angka penting).
c. Angka nol dibelakang angka bukan nol yang terakhir dan terletak di depan
tanda desimal adalah angka penting.
Contoh : 2210,5 (5 angka penting).
d. Angka nol dibelakang angka bukan nol yang terakhir dan terletak di belakang
tanda desimal adalah angka penting .
Contoh : 765,50 (5 angka penting).
e. Angka nol dibelakang angka bukan nol yang terakhir tetapi tidak dengan tanda
desimal adalah bukan angka penting.
Contoh : 9800 (2 angka penting, yaitu 9 dan 8 ) 9,8 x 103
f. Angka nol didepan angka bukan nol yang pertama dengan tanda desimal adalah
angka penting.
Contoh: 0,05 (3 angka penting).
g. Angka nol didepan angka bukan nol yang pertama adalah bukan angka penting.
Contoh : 00243 ( 3 angka penting yaitu 2,4 dan 4)
14

Sedangkan untuk membulatkan hasil pengukuran berlaku aturan :


a. untuk angka <5 dibulatkan ke bawah
b. untuk angka >5 dibulatkan ke atas
c. untuk 5 dibulatkan ke bilangan genap terdekat,
contoh : 0,085 → 0,08

3.2 Persamaan Untuk Banyaknya Angka Penting


Dalam menentukan nilai rata-rata x̅ dan standart deviasi x mungkin saja cara
penulisan seperti ini lebih memperlihatkan bahwa angka yang kedua telah mengandung
ketidakpastian atau ralat. Penulisan angka ketiga dan seterusnya tentulah tidak berarti
lagi. Bila diperoleh hasil pengukuran sebagai berikut :

X = (0,33  0,03) cm
= (0,033  0,003) dm
= (0,0033  0,0003) m
Didalam laporan ilmiah diutamakan menggunakan satu angka di depan koma sbb:

X = (3,3  0,3) x 10-1 cm
= (3,3  0,3) x 10-2 dm
= (3,3  0,3) x 10-3 m
Jumlah angka penting yang digunakan dapat pula dilihat dari ralat relatif, dinyatakan
dengan :
 X 
Banyaknya angka penting (AP) = 1 - log   …………………… (11)
 X 
 X 
Untuk   === > * sekitar 10 % digunakan 2 angka penting
 X 
* sekitar 1 % digunakan 3 angka penting
* sekitar 0,1 % digunakan 4 angka penting
Jadi : semakin banyak angka penting menunjukkan persentase ralat yang kecil
berarti semakin tepat hasil pengukuran.
15

IV. Membuat Grafik


Agar dapat digunakan sesuai dengan tujuan yaitu memberikan informasi maka
sebuah grafik harus memenuhi beberapa ketentuan dibawah ini:
1. Grafik harus dibuat pada kertas milimeter dan titik-titik pada grafik yang
menggambarkan hasil perhitungan/pengukuran diberi tanda yang jelas :
. , . , . , dst
2. Besarnya skala dan titik nol harus dibuat sedemikian rupa hingga grafiknya
mudah dibaca dan dimengerti. Artinya besarnya skala ordinat harus sama dengan
besar absisnya, sedang letak titik nol harus dipusat sumbu. (lihat gambar 1a dan
1b).
3. Pada grafik harus disertai keterangan-keterangan secara lengkap “mengenai
skala-skala dari absis dan skala-skala dari ordinat.
4. Jika kita mengharapkan garis lurus dari garik itu, maka garis yang ditarik harus
sedapat mungkin melalui titik-titik tersebut (lihat Gambar 2).
5. Apabila kita tidak yakin akan bentuk grafik, maka harus ditarik garis lengkung
penuh, (bukan garis patah) melalui hampir semua titik (lihat Gambar 3)
6. Berikanlah “interpretasi” dari grafik yang diperoleh tersebut misal : linier,
parabola, eksponensial, ada maksimum dan ada minimum
7. Bila kita hendak menggambarkan lebih dari satu grafik pada suatu gambar sistem
salib sumbu) maka untuk setiap titik pada masing-masing grafik kita beri tanda
yang berbeda.
Misal : pada Gambar 4, titik pada grafik y1 kita beri tanda . dan grafik y2
= f2 (x) kita beri tanda .
16

Gambar 1a (grafik salah)


y
5 Keterangan :
4
- Skala absis kurang tepat
3 - Grafik sulit dibaca
2
- Puncak grafik terlalu tajam, karena
dipaksakan melalui sumua titik
1
x
4 5 6 7 8 9 10

Grafik 1b (Grafik Benar)


y
5 Keterangan :
4 - Skala absis sudah benar
- Grafik muda dibaca
3
- Grafik tidak dipaksakan melalui semua
titik.
2

1
x
4 5 6 7 8 9 10

Gambar 2
y
Keterangan gambar 2:
0.5 - grafik linier y = ax + b, dengan
0.4 demikian : a = tan 
0.3 - 1 cm skala absis = 1 skala x
0.2 1
- 1 cm skala ordinat = 0,1 skala y.
2
0.1
x
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
17

Gambar 3
y
006

005

004

003

002

001
2.8 x
0 1 2 3 4 5 6 8 9

Gambar 4 :
Y
3 y1 = f1(x)
y2 = f2(x)
2

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
18

Modul – Modul Praktikum


 Pengukuran Dasar
 Hukum Ohm dan Rangkaian Seri-Paralel
 Pengamatan terhadap Spektrum Gelombang
Elektromagnetik
 Penentuan Fokus Lensa
 Kalorimeter
 Massa Jenis dan Specific Gravity Zat
 Pemuaian Panjang
 Koefisien Gesek Bahan
19

Modul 1 Pengukuran Dasar


Di dalam modul ini, akan disampaikan teknik dasar di dalam penggunaan beberapa alat
ukur, meliputi prosedur pemakaian, cara membaca skala hingga mengenalkan berbagai
kesalahan yang mungkin muncul di dalam penggunaan. Di samping itu, akan dilakukan
pula pengukuran langsung dan tak langsung dari beberapa besaran fisika. Teknik
penyampaian data dan perhitungan ketidakpastiaan di dalam pengukuran juga akan
dilatihkan kepada mahasiswa, sehingga diperoleh hasil ukur yang dapat dipercaya tingkat
presisi maupun akurasinya.
20

1.1 Tujuan Praktikum


1. Mampu menggunakan beberapa alat ukur dasar.
2. Mampu menentukan nilai skala terkecil (nst) dari alat ukur.
3. Mampu melakukan pengukuran langsung sebanyak satu kali dan menghitung
ketidakpastian hasil pengukuran menggunakan ralat nst.
4. Mampu melakukan pengukuran langsung secara berulang dan dan menghitung
ketidakpastian hasil pengukuran menggunakan ralat standart deviasi.
5. Mampu menentukan pengukuran tidak langsung dengan satu kali pengukuran
dan menentukan ralat nst.
6. Mampu menentukan pengukuran tidak langsung dengan pengukuran secara
berulang dan menggunakan ralat standart deviasi.
7. Mampu menentukan pengukuran tidak langsung secara gabungan yaitu
pengukuran secara berulang menggunakan ralat standart deviasi dan satu kali
pengukuran menggunakan ralat nst.
8. Mampu menentukan angka penting/berarti dan menjelaskan arti fisik dan
statistiknya

1.2 Peralatan dan Bahan Praktikum


1. Jangka sorong
2. Mikrometer
3. Amperemeter
4. Voltmeter
5. Stop Watch
6. Mistar/penggaris panjang
7. Neraca
8. Termometer
9. Balok logam
10. Bola besi kecil
11. Resistor
12. Kabel penghubung

1.3 Dasar Teori


Pengukuran langsung terhadap kuantitas dari suatu besaran dilakukan dengan
menggunakan sebuah alat ukur. Adapun jika pengukuran tidak didapatkan secara
langsung, maka pengukuran dilakukan terhadap besaran lain yang memiliki hubungan
matematis dengan besaran yang dicari. Beberapa alat ukur dasar yang digunakan sebagai
pengukur besaran dalam fisika meliputi jangka sorong, mikrometer, voltmeter,
amperemeter, ohmmeter dalam sebuah multitester, neraca dan termometer. Dalam modul
1 ini, anda akan menggunakan alat-alat tersebut untuk menentukan besaran-besaran
fisika yang dapat diukur baik secara langsung maupun tidak langsung.
21

A. Jangka Sorong
Jangka sorong digunakan sebagai alat pengukur dari besaran panjang. Alat ini dapat
dipakai untuk mengukur panjang, lebar, tinggi, diameter luar dan dalam, serta kedalaman
lubang suatu benda dengan cukup teliti. Bentuk fisik dan bagian-bagian dari sebuah
jangka sorong ditunjukkan pada Gambar 1.1.

Gambar 1.1 Jangka sorong

Bagian-bagian jangka sorong meliputi:


1 = rahang pengukur diameter luar
2 = rahang pengukur diameter dalam
3 = batang pengukur kedalaman
4 = skala utama dalam cm
5 = skala utama dalam inchi
6 = skala bantu/nonius dalam cm
7 = skala bantu/nonius dalam inchi
8 = scrol penggeser

Pada umumnya jangka sorong disediakan baik dalam bentuk digital maupun analog.
Pada jenis digital, anda dengan mudah dapat mencatat hasil ukur panjang yang tertera
pada display. Carilah informasi berkenaan dengan bentuk fisik dari sebuah jangka sorong
digital. Pada jenis analog, dibutuhkan teknik pembacaan khusus terhadap hasil ukur yang
diperoleh dengan memperhatikan ketelitian dari alat ukur.

B. Mikrometer
Mikrometer merupakan alat ukur yang digunakan khusus untuk mengukur panjang,
tebal ataupun diameter luar dari sebuah benda yang berukuran relatif kecil. Bentuk fisik
beserta bagian-bagian dari sebuah mikrometer ditunjukkan pada Gambar 1.2.
22

Gambar 1.2 Mikrometer

Bagian-bagian mikrometer meliputi:


1 = landasan (anvil) penjepit bahan uji
2 = permukaan batang ulir (spindle face) penjepit bahan uji
3 = batang ulir (spindle)
4 = pengunci (lock nut)
5 = selubung (sleeve) berisi skala utama
6 = selongsong (thimble) putar penggerak batang ulir yang berisi skala nonius
7 = roda gigi (ratchet)

C. Amperemeter
Amperemeter digunakan untuk mengukur besarnya kuat arus yang mengalir dalam
sebuah rangkaian tertutup yang menghubungkan sebuah sumber tegangan dengan beban
(seperti hambatan, lampu dan alat elektronik lainnya). Berdasarkan jenis dari sumber
arus, maka amperemeter dibedakan atas amperemeter DC dan amperemeter AC. Pada
penggunaan yang membutuhkan skala yang sangat sensitif terhadap perubahan arus yang
mengalir, maka amperemeter dirancang dalam bentuk digital. Bentuk fisik beserta
bagian-bagian dari sebuah amperemeter ditunjukkan pada Gambar 1.3. Bagian (a)
merupakan amperemeter AC dan bagian (b) adalah amperemeter jenis DC.

(a) (b)
Gambar 1.3 Amperemeter analog (a) untuk sumber AC dan (b) sumber DC
23

Penggunaan amperemeter dalam sebuah rangkaian senantiasa terhubung secara seri


dengan bahan yang akan diukur kuat arusnya. Sebelum anda menggunakan sebuah
amperemeter, periksa terlebih dahulu apakah sumber tegangan yang digunakan
menghasilkan arus jenis AC atau DC. Dengan demikian anda dapat menentukan jenis
amperemeter yang akan digunakan. Gambar 1.4 menunjukkan penggunaan dari sebuah
amperemeter DC.

Gambar 1.4 Amperemeter harus dirangkai seri dengan beban/lampu yang akan
diukur kuat arusnya

Perhatikan bahwasanya kutub positif dari amperemeter DC selalu terhubung dengan


kutub positif dari baterai/sumber tegangan. Hal inilah yang membedakan penggunaan
amperemeter jenis DC dan AC.

D. Voltmeter
Voltmeter digunakan untuk mengukur besar tegangan dalam sebuah beban yang
dialiri oleh arus listrik. Berdasarkan jenis dari arus yang mengalir, maka voltmeter juga
dibedakan atas voltmeter DC dan voltmeter AC. Pada penggunaan yang membutuhkan
skala yang sangat sensitif terhadap perubahan arus yang mengalir, maka voltmeter juga
tersedia dalam bentuk digital. Bentuk fisik sebuah voltmeter ditunjukkan pada Gambar
1.5. Bagian (a) merupakan voltmeter AC dan bagian (b) adalah voltmeter jenis DC.

(a) (b)
Gambar 1.5 Bentuk fisik dari (a) voltmeter AC an (b) voltmeter DC
24

Berbeda dengan amperemeter, voltmeter selalu dirangkai secara paralel terhadap beban
yang akan diukur tegangannya baik sumber yang digunakan adalah menghasilkan AC
maupun DC (Gambar 1.6).

Gambar 1.6 Voltmeter harus dirangkai paralel dengan beban/lampu yang akan diukur
tegangannya

E. Neraca
Neraca merupakan standart alat pengukur dari besaran massa. Berdasarkan
sensitivitasnya, neraca dibedakan atas neraca digital dan neraca analog. Berbeda dengan
neraca digital, sebuah neraca analog memiliki beberapa macam bentuk berdasarkan
prinsip kerjanya. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1.7, sebuah neraca balance
bekerja berdasarkan prinsip kesetimbangan sedangkan neraca pegas menggunakan
prinsip kesebandingan beban terhadap jangkauan perpindahan pegas yang dihasilkan.

(a) neraca digital (b) neraca balance (c) neraca pegas

Gambar 1.7 Berbagai pengukur massa bahan

F. Stopwatch
Stopwatch digunakan khusus sebagai alat pengukur waktu dengan sensitivitas
hingga 0,0001 s. Di pasaran, terdapat stopwatch dalam bentuk digital dan juga dalam
bentuk analog. Bentuk fisik kedua stopwatch tersebut ditunjukkan pada Gambar 1.8.
25

(a) stopwatch analog (b) stopwatch digital

Gambar 1.8 Jenis-jenis stopwatch

1.4. Prosedur Percobaan


a. Menentukan Nilai Skala Terkecil (nst) dan Kesalahan Titik Nol
1. Ambillah jangka sorong dan tentukan nst-nya. Catat juga apabila skalanya tidak
menunjukkan titik nol saat jangka sorong belum digunakan.
2. Ambil mikrometer dan tentukan nst-nya. Catat juga apabila skalanya tidak
menunjukkan titik nol saat mikrometer belum digunakan.
3. Ambil Ampermeter dan tentukan nst-nya. Catat juga apabila jarum tidak
menunjukkan titik nol saat tidak ada arus.
4. Ambil Voltmeter dan tentukan nst-nya. Catat juga apabila jarum tidak menunjukkan
titik nol saat tidak ada tegangan.
5. Ambil termometer dan tentukan nst-nya.
6. Ambil neraca pegas (spring balance) tentukan nst-nya. Catat juga apabila skalanya
tidak menunjukkan titik nol saat pegas belum terbebani.
7. Ambil stopwatch, tentukan nst-nya.
8. Ambil mistar/penggaris panjang tentukan nst-nya.
10. Ambil neraca/timbangan, tentukan nst-nya.

b. Pengukuran Langsung dengan Menggunakan Nilai Skala Terkecil


Catatan : hanya dilakukan satu kali saja
1. Dengan menggunakan jangka sorong, ukur diameter dalam dan diameter luar sebuah
cincin.
2. Dengan menggunakan mikrometer, ukurlah diameter luar dari sebuah bola besi kecil
3. Hubungan Ampermeter dan Voltmeter dalam sebuah rangkaian tertutup (tanya
assisten), catat besar arus dan besar tegangan yang muncul.
4. Berilah beban pada neraca dan catat nilai skalanya.
5. Ukurlah panjang (l), lebar (b) dan tinggi (t) balok yang tersedia dengan menggunakan
mistar panjang.
6. Berjalanlah anda dari titik A ke B sejauh 2,0 meter, hitung waktunya dengan
stopwacth.
26

c. Pengukurana Langsung Dengan Menggunakan Standart Deviasi.


Catatan : Semua langkah-langkah percobaannya seperti point b (no. 1 – 6) hanya
masing-masing diulangi selama 3 kali
1. Dengan menggunakan jangka sorong, ukur diameter dalam dan diameter luar sebuah
cincin.
2. Dengan menggunakan mikrometer, ukurlah diameter luar dari sebuah bola besi kecil
3. Hubungan Ampermeter dan Voltmeter dalam sebuah rangkaian tertutup (tanya
assisten), catat besar arus dan besar tegangan yang muncul.
4. Berilah beban pada neraca dan catat nilai skalanya.
5. Ukurlah panjang (l), lebar (b) dan tinggi (t) balok yang tersedia dengan menggunakan
mistar panjang.
6. Berjalanlah anda dari titik A ke B sejauh 2,0 meter, hitung waktunya dengan
stopwacth.

d. Pengukuran Tidak Langsung dengan Menggunakan Nilai Skala Terkecil


Catatan : Lakukan kegiatan berikut 1 kali saja
1. Lakukanlah kembali langkah pada point b no. 5 dengan balok yang sama, kemudian
timbang massa balok tersebut.
2. Lakukan langkah yang sama pada point b no. 6, ulangi untuk jarak 2,5 meter, 3 meter
dan 3,5 meter, catat masing-masing waktunya.

e. Pengukuran Tidak Langsung Dengan Menggunakan Standart Deviasi


Catatan : Lakukan kegiatan seperti point d sebanyak 3 kali

f. Pengukuran Tidak Langsung dengan Menggunakan Nilai Skala Terkecil dan


Standart Deviasi
1. Lakukan kembali langkah pada point c no. 5 dengan balok yang sama, ukur panjang
(l), lebar (b) dan tinggi (t) menggunakan standart deviasi dan kemudian penimbangan
massa balok menggunakan nst.
2. Lakukan langkah yang sama pada point d no. 2 dengan pengukuran jarak
menggunakan nst dan perhitungan waktu menggunakan standart deviasi.

1.5 Tugas Pendahuluan


1. Gambar dan jelaskan cara kerja jangka sorong.
2. Gambar dan jelaskan cara kerja mikrometer.
3. Apa yang dimaksud dengan ralat langsung dan ralat tidak langsung.
4. Apa yang dimaksud dengan nst ?
5. Apa yang dimaksud dengan standart deviasi ?
6. a. Tulis persamaan massa jenis () benda, bila massa benda = m, dan volume benda
= V.
27

b. Tuliskan bentuk ralat dari massa jenis (Δρ) jika m dan V diukur hanya satu kali
saja.
c. Tuliskan bentuk ralat dari massa jenis (Δρ) jika m dan V diukur sebanyak 3 kali.
d. Tuliskan bentuk ralat dari massa jenis (Δρ) jika m diukur satu kali dan V diukur
sebanyak 3 kali.
7. a. Tulis persamaan kecepatan benda = v, bila jarak yang ditempuh = s dan waktu
yang dibutuhkan = t.
b. Tuliskan bentuk ralat dari kecepatan benda (Δv) jika s dan t diukur hanya satu
kali saja.
c. Tuliskan bentuk ralat dari kecepatan benda (Δv) jika s dan t diukur sebanyak 3
kali.
d. Tuliskan bentuk ralat dari kecepatan benda (Δv) jika s dilakukan 1 kali dan t
diukur sebanyak 3 kali.
e. Bagaimana mencari kecepatan benda v dengan cara grafik ?

1.6 Tugas Laporan Resmi


1. Berapakah nilai skala terkecil dan kesalahan titik nol dari jangka sorong,
mikrometer, Ampermeter, Voltmeter, Stopwacth, mistar/penggaris panjang,
neraca pegas dan timbangan (triple balance), termometer.
2. Hitunglah ralat nst yang diperoleh dari perhitungan langsung (pada poin.b nomor
1-6) Hitunglah pula ralat relatifnya dan keseksamaanya serta cantumkan juga
banyaknya Angka Penting (AP) yang diijinkan.
3. Hitunglah ralat standart deviasi yang diperoleh dari perhitungan langsung (pada
poin.c nomer 1-6). Hitung pula ralat relatif dan keseksamaannya serta cantumkan
juga banyaknya Angka Penting (AP) yang diijinkan.
4. Bandingkan jawaban pada no.2 dan no.3.
5. Hitunglah massa jenis () balok dan kecepatan gerak anda dengan menggunakan
ralat nst yang diperoleh dari perhitungan tak langsung (pada point d). Hitung pula
ralat relatif dan keseksamaannya serta cantumkan juga banyaknya angka penting
(AP) yang diijinkan.
5. Hitunglah massa jenis () balok dan kecepatan gerak anda dengan menggunakan
ralat standart deviasi yang diperoleh dari perhitungan tak langsung (pada point
e). Hitung pula ralat relatif dan keseksamaannya serta cantumkan juga banyaknya
angka penting (AP) yang diijinkan.
6. Hitung massa jenis () balok pada kecepatan gerak anda dengan menggunakan
ralat gabungan seperti pada point f no. 1 – 2. Hitung pula ralat relatif dan
keseksamannya serta cantumkan juga banyaknya angka penting (AP) yang
diijinkan.
7. Dapatkan kecepatan anda bergerak tadi dengan cara grafik.
8. Bandingkan jawaban pada no. 4, 5, 6 dan 7 (khusus no. 7 hanya untuk
kecepataanya saja).
28

Modul 2 Hukum Ohm &


Rangkaian Seri-Paralel
Hubungan antara tegangan dan kuat arus listrik ditunjukkan secara matematis melalui
Hukum Ohm. Dengan menggunakan hukum ini, besarnya kuat arus listrik dapat ditentukan,
baik itu berbentuk rangkaian dengan kombinasi resistor yang dirangkai seri maupun
dirangkai paralel. Kebalikannya, jika besarnya tegangan dan kuat arus listrik dalam sebuah
rangkaian dapat diukur, maka resistansi dari sebuah hambatan dapat ditentukan. Pengukuran
terhadap variabel tegangan dan kuat arus listrik, masing-masing dilakukan dengan
menggunakan voltmeter dan kuat arus listrik. Teknik pengukuran keduanya memiliki
perbedaan. Di dalam modul ini, Anda akan diperkenalkan bagaimana melakukan
pengukuran terhadap kedua parameter tersebut, pada berbagai variasi hubungan resistor.
Dengan demikian, dapat diketahui karakteristik kuat arus listrik dan tegangan listrik antara
rangkaian bercabang dan tak bercabang.
29

2.1 Tujuan Percobaan


1. Mempelajari karakteristik Hukum Ohm
2. Menyelidiki karakteristik kuat arus dan tegangan listrik dari rangkaian bercabang
dan tak bercabang

2.2 Alat Dan Bahan :


1. Catu Daya 1 buah
2. Kabel penghubung merah 2 buah
3. Kabel penghubung hitam 2 buah
4. Papan Rangkaian 1 buah
5. Saklar 1 kutub 1 buah
6. Jembatan penghubung 3 buah
7. Meter dasar 90 1 set
8. Multimeter 1 buah
9. Resistor 47 Ω 1 buah
10. Resistor 4,7 Ω 1 buah
11. Resistor 100 Ω 1 buah

2.3 Dasar Teori


Hukum Ohm
Bila suatu penghantar diberikan potensial yang berbeda di antara kedua ujungnya,
maka dalam penghantar itu akan timbul arus listrik. Besarnya kuat arus yang melewati
penghantar ini tergantung pada besar kuat medan listriknya (E). Sedangkan sifat hantaran
bahan dinyatakan dengan hambatan jenis ().
E
 (2.1)
J

Gambar 2.1

Perhatikan gambar 2.1. Jika panjang penghantar L dengan beda potensial diantara
kedua ujungnya adalah Vab, dan besar kuat medannya E maka:

𝑉𝑎 − 𝑉𝑏 𝑉𝑎𝑏
𝐸= = (2.2)
𝐿 𝐿

Karena 𝐽 = 𝐼/𝐴 maka


𝑉𝑎𝑏
𝐸 ( 𝐿 )
𝜌= =
𝐽 𝐿
(𝐴 )
sehingga
30

𝑉𝑎𝑏
𝐼=
𝜌𝐿
(𝐴)

𝜌𝐿
Selanjutnya ( 𝐴 ) inilah yang disebut sebagai hambatan/resistansi (R) dari suatu penghantar,
dan persamaan tersebut dapat ditulis sebagai:

𝑉𝑎𝑏
𝐼= (2.3)
𝑅

Persamaan (2.3) disebut sebagai persamaan hukum ohm dan biasa dipakai untuk
menentukan besar hambatan, yaitu dengan menggunakan voltmeter dan amperemeter.
Ketika sebuah beda potensial diaplikasikan pada sebuah divais atau komponen
elektronika yang terbuat dari material berbeda, maka arus yang dihasilkan akan berbeda.
Sifat mikroskpik dari material yang bertanggungjawab atas fenomena ini adalah resistivitas.
Parameter fisik dalam skala makroskopik dari material yang dapat diukur langsung secara
eksperimen dalam hal ini adalah resistansi. Besarnya resistansi sebuah divais diformulasikan
oleh
𝑉
𝑅≡ , (2.4)
𝐼

dimana V adalah beda potensial (V) dan I adalah arus yang melewati dua titik. Berdasarkan
persamaan (4), resistansi secara umum merupakan fungsi dari tegangan yang diaplikasikan.
Namun demikian, pada kebanyakan divais, nilai resistansi merupakan sebuah konstanta,
yang menghubungkan variabel beda potensial dan arus listrik. Divais yang demikian
dikatakan bersifat Ohmik dan memenuhi Hukum Ohm.

Rangkaian Seri dan Paralel


1. Rangkaian Seri
Ketika dua atau lebih resistor
dihubungkan seperti pada Gambar 2,
maka rangkaian semacam ini disebut
rangkaian seri. Besarnya arus yang
mengalir pada resistor R1 akan sama
jumlahnya dengan yang melewati resistor
R2, yakni sebesar I, dengan arah seperti
yang ditunjukkan pada Gambar.

Gambar 2.2

Besarnya beda potensial yang diaplikasikan pada ujung-ujung ac akan


didistribusikan pada tiap-tiap resistor sebanding dengan besarnya hambatan listrik
yang dimiliki masing-masing resistor. Hubungan ini selanjutnya dapat digunakan
untuk menghitung besarnya hambatan pengganti Rs pada kedua ujung ac sebesar
𝑅𝑠 = 𝑅1 + 𝑅2 (2.5)
31

2. Rangkaian Paralel
Dua buah resistor yang dihubungkan secara paralel ditunjukkan pada Gambar
3. Ketika arus I berada pada titik percabangan a, nilainya terbagi menjadi dua yakni
sebesar I1 yang akan mengalir pada R1 dan sebesar I2 yang melewati R2. Ketiga kuat
arus memenuhi Hukum Kirchoff I,

𝐼 = 𝐼1 + 𝐼2 (2.6)

Gambar 2.3

Oleh karena beda potensial antara kedua kutub dari setiap resistor sama besar, maka
berdasarkan persamaan (6), hambatan pengganti untuk rangkaian paralel dari dua
buah resistor dirumuskan sebagai berikut,

1 1 1
= + (2.7)
Rp R1 R2

2.4. Tugas Pendahuluan


1. Bagaimana cara melakukan pengukuran terhadap besarnya arus listrik dan
tegangan dari sebuah beban yang diaaliri arus listrik ?
2. Bagaimana Hukum Ohm menjelaskan hubungan antara beda potensial (V) dan
kuat arus listrik (I) yang mengalir dalam sebuah rangkaian.
3. Sebutkan perbedaan umum yang dimiliki antara rangkaian seri dan paralel dari
susunan resistor/hambatan.
4. Jelaskan bunyi dari Hukum Khirchoff I.
5. Tentukan hambatan pengganti dari susunan resistor berikut.
a.
32

b.

c.

2.5. Prosedur Kerja


Percobaan 1 Pengukuran Tegangan dan Kuat Arus Listrik
1. Susunlah rangkaian listrik seperti yang ditunjukan pada Gambar 4.

Gambar 2.4
Keterangan : 1 = Catu daya DC
2 = Saklar 1 kutub
3 = Jembatan penghubung
4 = Bola lampu 6,2 V, 0,48 A
5 = Voltmeter (Pilih meter dasar menjadi voltmeter)

2. Hubungkan catu daya ke sumber tegangan (alat masih dalam keadaan off). Pilih
tegangan pada skala 3 V.
3. Pilih voltmeter pada skala 10 VDC.
4. Tutuplah/hidupkan saklar. Amati besar tegangan pada voltmeter kemudian catat pada
Tabel.
5. Bukalah/matikan saklar. Ubahlah tegangan pada catu daya menjadi 6 VDC. Lakukan
kembali langkah 4.
6. Ubah rangkaian pada Gambar 1 menjadi seperti Gambar 5.
33

Gambar 2.5

Keterangan : 1 = Catu daya DC


2 = Saklar 1 kutub
3 = Jembatan penghubung
4 = Bola lampu 6,2 V, 0,48 A
5 = Amperemeter (Pilih meter dasar menjadi amperemeter)
7. Hubungkan catu daya ke sumber tegangan (alat masih dalam keadaan off). Pilih
tegangan pada skala 3 V.
8. Pilih amperemeter pada skala 5 ADC.
9. Tutuplah/hidupkan saklar. Amati besar kuat arus pada amperemeter kemudian catat
pada Tabel.
10. Bukalah/matikan saklar. Ubahlah tegangan pada catu daya menjadi 6 VDC. Lakukan
kembali langkah 9.

Percobaan 2 Menyelidiki karakteristik hukum Ohm


1. Susunlah rangkaian seperti yang ditunjukkan pada Gambar 6a. Gunakan R1=100Ω.

(a) (b)
Gambar 2.6

2. Dalam keadaan off (saklar terbuka), hubungkan rangkaian dengan catu daya. Pilih
pada skala 3 VDC.
3. Hidupkan saklar dan amati pembacaan skala pada Amperemeter dan Voltmeter. Cata
pada Tabel Pengamatan.
4. Matikan saklar, naikkan catu daya pada skala 6 VDC. Ulangi langkah 3.
5. Ganti resistor dengan pertama dengan R2=47Ω (Gambar 6b). Ulangi langkah 2 s/d 4.

Percobaan 3 Menyelidiki karakteristik kuat arus dan tegangan listrik dari rangkaian
bercabang dan tak bercabang
34

Rangkaian Seri
1. Susunlah rangkaian seperti pada Gambar 7a. Gunakan resistor 4,7 Ω dan 47 Ω.
Pastikan saklar dalam keadaan terbuka.
2. Hubungkan rangkaian dengan Amperemeter dengan batas ukur 1A pada posisi a.
3. Hubungkan pula rangkaian dengan catudaya pada skala 9 VDC.

(a) (b)
Gambar 2.7
2. Tutup saklar. Bacalah nilai kuat arus listrik (Ia) yang ditunjukkan pada amperemeter.
Catat hasilnya.
3. Buka saklar, pindahkan amperemeter pada posisi b, tutup saklar dan baca nilai kuat
arus listrik (Ib) pada amperemeter.Catat pada tabel pengamatan.
4. Buka saklar, pindahkan amperemeter pada posisi c, baca nilai kuat arus listrik yang
terukur pada amperemeter dan catat hasilnya.
5. Buka saklar. Ubah rangkaian menjadi seperti pada Gambar 4b.
6. Ubah meter dasar menjadi voltmeter dengan batas ukur 10 VDC.
7. Pasang voltmeter pada posisi a sesuai yang ditunjukkan Gambar 4b.
8. Tutup saklar, baca nilai tegangan Va dan catat pada tabel pengamatan.
9. Buka saklar, ulangi kembali langkah 7 dan 8 untuk posisi voltmeter di b dan c. Catat
hasilnya.
10. Jika masih ada waktu, lakukan langkah-langkah di atas untuk kombinasi seri dari
resistor 47 Ω, 56 Ω dan 100 Ω.

Rangkaian Paralel
1. Susunlah rangkaian seperti pada Gambar 8a. Gunakan resistor R1=4,7 Ω dan R2=47
Ω. Pastikan saklar dalam keadaan terbuka.
2. Hubungkan rangkaian dengan amperemeter dengan batas ukur 100mA pada posisi a.

(a) (b)
Gambar 2.8
35

3. Hubungkan pula rangkaian dengan catudaya pada skala 3 VDC.


2. Tutup saklar. Bacalah nilai kuat arus listrik (I) yang ditunjukkan pada amperemeter.
Catat hasilnya.
3. Buka saklar, pindahkan amperemeter pada posisi a, tutup saklar dan baca nilai kuat
arus listrik (Ia) pada amperemeter.Catat pada tabel pengamatan.
4. Buka saklar, pindahkan amperemeter pada posisi b, baca nilai kuat arus listrik yang
terukur pada amperemeter dan catat hasilnya.
5. Buka saklar. Ubah rangkaian menjadi seperti pada Gambar 8b.
6. Ubah meter dasar menjadi voltmeter dengan batas ukur 10 VDC.
7. Pasang voltmeter pada posisi V sesuai yang ditunjukkan Gambar 8b.
8. Tutup saklar, baca nilai tegangan V dan catat pada tabel pengamatan.
9. Buka saklar, ulangi kembali langkah 7 dan 8 untuk posisi voltmeter di a dan b. Catat
hasilnya.
10. Jika masih ada waktu, lakukan langkah-langkah di atas untuk kombinasi paralel dari
resistor 47 Ω, 56 Ω dan 100 Ω.

2.6 Tugas Analisis Data


Percobaan ke 1
1) Jelaskan, bagaimanakah cara menggunakan voltmeter untuk mengukur tegangan
dari sebuah beban (bola lampu) ?
2) Jelaskan, bagaimanakah cara menggunakan amperemeter untuk mengukur kuat arus
listrik yang mengalir dalam sebuah beban (bola lampu) ?

Percobaan ke 2
1) Berdasarkan hasil pengukuran pada Gambar 3, bagaimanakah hasil perbandingan
antara tegangan dan kuat arus ? Penjelasan disertai dengan data.
2) Untuk nilai tegangan yang tetap, bagaimana pengaruh hambatan terhadap kuat arus
listrik yang dihasikan ? Penjelasan disertai dengan data.
3) Untuk nilai resistansi yang tetap, bagaimana pengaruh tegangan terhadap kuat arus
listrik yang dihasilkan ? Penjelasan disertai dengan data.
4) Formulasikan Hukum Ohm berdasarkan penjelasan anda untuk pertanyaan 1 s/d 3.

Percobaan ke 3
Rangkaian Seri
1) Bandingkan hasil pengukuran Ia, Ib dan Ic. Apakah hubungan yang dapat diambil
antara Ia, Ib dan Ic? Penjelasan disertai dengan data.
2) Bandingkan hasil pengukuran Va, Vb dan Vc. Apakah hubungan yang dapat diambil
antara Va, Vb dan Vc? Penjelasan disertai dengan data.
3) Hitunglah Ra, Rb dan Rc dengan persamaan berikut,
Ra=Va/Ia
Rb=Vb/Ib
Rc=Vc/Ic
4) Bandingkan nilai Ra dengan R1 + R2 , Rb dengan R1 dan Rc dengan R2.
5) Nyatakan kesimpulan akhir yang dapat ditarik dari percobaan ini, mengenai
karakteristik kuat arus listrik, tegangan dan hambatan total dalam sebuah rangkaian
tertutup tidak bercabang.
36

Paralel
1) Bandingkan hasil pengukuran I, Ia dan Ib. Apakah hubungan yang dapat diambil
antara I, Ia dan Ib ? Penjelasan disertai dengan data.
2) Bandingkan hasil pengukuran V, Va dan Vb. Apakah hubungan yang dapat diambil
antara V, Va dan Vb? Penjelasan disertai dengan data.
3) Hitunglah Ra, Rb dan Rc dengan persamaan berikut,
R=V/I
Ra=Va/Ia
Rb=Vb/Ib
4) Hitung nilai 1/R, 1/Ra, 1/Rb, 1/R1, 1/R2, dan 1/Ra + 1/Rb.
5) Bandingkan nilai 1/R dengan 1/Ra + 1/Rb, 1/Ra dan 1/R1 dan 1/Rb dengan 1/R2.
5) Nyatakan kesimpulan akhir yang dapat ditarik dari percobaan ini, mengenai
karakteristik kuat arus listrik, tegangan dan hambatan total dalam sebuah rangkaian
tertutup bercabang.
37

Modul 3 Pengamatan Terhadap


Spektrum Gelombang
Elektromagnetik
Hubungan antara tegangan dan kuat arus listrik ditunjukkan secara matematis melalui
Hukum Ohm. Dengan menggunakan hukum ini, besarnya kuat arus listrik dapat ditentukan,
baik itu berbentuk rangkaian dengan kombinasi resistor yang dirangkai seri maupun
dirangkai paralel. Kebalikannya, jika besarnya tegangan dan kuat arus listrik dalam sebuah
rangkaian dapat diukur, maka resistansi dari sebuah hambatan dapat ditentukan. Pengukuran
terhadap variabel tegangan dan kuat arus listrik, masing-masing dilakukan dengan
menggunakan voltmeter dan kuat arus listrik. Teknik pengukuran keduanya memiliki
perbedaan. Di dalam modul ini, Anda akan diperkenalkan bagaimana melakukan
pengukuran terhadap kedua parameter tersebut, pada berbagai variasi hubungan resistor.
Dengan demikian, dapat diketahui karakteristik kuat arus listrik dan tegangan listrik antara
rangkaian bercabang dan tak bercabang.
38

3.1 Tujuan Percobaan


1. Mengetahui proses peruraian cahaya polikromatik menjadi monokromatik
2. Menentukan panjang gelombang dari sebuah spektrum cahaya dengan
memanfaatkan fenomena difraksi cahaya pada kisi

3.2 Alat Dan Bahan :


1. Mistar biasa (30 cm) 1 buah
2. Meteran (3 meter) 2 buah
3. Lampu LED sebagai sumber cahaya 2 buah
polikromatik
4. Kisi dengan tetapan kisi yang diketahui 1 buah
5. Layar 1 buah
6. Statif 3 buah

3.3 Dasar Teori


Cahaya merupakan salah satu jenis dari gelombang elektromagnetik. Pada umumnya cahaya
berada pada spektrum sinar tampak (panjang gelombang 400 – 700 nm). Cahaya juga
menjadi syarat bagi terbentuknya bayangan pada mata, sehingga setiap benda yang dikenai
oleh cahaya pasti akan dapat dilihat oleh mata. Oleh karena cahaya berada pada spektrum
dengan interval panjang gelombang yang cukup luas, maka pemanfaatan cahaya menjadi
beragam. Dalam bidang medis, berdasarkan panjang gelombang yang dimiliki, cahaya
dimanfaatkan sebagai transilluminasi, endoscopy, sterilisasi alat kedokteran, sumber energi
dalam proses diatermi, phototerapy, salah satu bahan/tools dalam surgery devices, bahkan
telah banyak digunakan sebagai noninvasive diagnostic tools.
Untuk mendapatkan sumber cahaya dengan panjang gelombang tertentu, proses dasar
yang dilakukan adalah dengan memisahkan cahaya polikromatik menjadi monokromatik.
Cahaya polikromatik berasal dari berbagai sumber yang dapat mengemisikan cahaya putih,
seperti cahaya matahari, cahaya fluoresense dari sumber merkuri, neon, krypton dan bahkan
cahaya fluoresense putih dari sebuah LED.
Cahaya matahari menghasilkan
sinar yang dibedakan warnanya dalam
spektrum cahaya tampak (merah jingga
kuning hijau biru ungu), dan sinar tidak
tampak (di antaranya adalah infra merah
dan ultraviolet). Susunan spektrum
warna dari sebuah cahaya dapat diamati
dengan melewatkan seberkas cahaya
putih pada prisma, seperti yang Gambar 3.1 Spektrum warna dari
ditunjukkan secara skematik pada cahaya putih (polikromatik)
Gambar 3.1.

Percobaan Fresnell-Young
Untuk menentukan panjang gelombang sebuah cahaya monokromatik, dapat diaplikasikan
percobaan Fresnel-Young yang memanfaatkan prinsip difraksi cahaya melewati celah
sempit, yang memiliki lebar celah mendekati panjang gelombang cahaya yang melewatinya.
Setting percobaan yang dilakukan ditunjukkan pada Gambar 3.2.
39

L2 +S 2
S
θ O
LED
L
kisi layar

`Gambar 3.2

Pola difraksi yang terjadi jika cahaya melewati kisi, akan menghasilkan titik-titik intensitas
maksima yang memenuhi persamaan:

d sin   n untuk n = 1, 2,3 dst. (3.1)

dengan d adalah jarak antar celah sempit (d=1/N, dengan N adalah konstanta kisi),  adalah
sudut simpangan dari titik tengah antara dua celah sempit dengan garis-garis terang, n adalah
garis terang orde ke n dan  adalah panjang gelombang garis-garis spektrum cahaya.

3.4. Tugas Pendahuluan


1. Apa yang anda ketahui tentang gelombang elektromagnetik ?
2. Jelaskan perbedaan antara cahaya polikromatik dan monokromatik ?
3. Jelaskan bagaimana metode untuk mengubah cahaya polikromatik menjadi
monokromatik ?
4. Jelaskan fenomena fisika yang terjadi pada percobaan Fresnell-Young.

3.5. Prosedur Kerja


1. Settinglah percobaan Fresnell-Young seperti pada Gambar 3.2.
2. Catat konstanta kisi yang tertera pada kisi. Disini anda akan mendapatkan N yang
merupakan banyaknya garis dalam 1 mm. Oleh karena itu anda harus menghitung tetapan
kisinya terlebih dahulu, dengan menggunakan persamaan
1
d (mm)=
N
Perhatikan bahwa satuan d adalah mm. Gantilah menjadi satuan cm.
3. Tetapkanlah jarak antara kisi dengan layar penerima spektrum cahaya L=50cm.
4. Pilihlah spektrum/satu warna orde 1 yang posisinya berada di sebelah kiri dan kanan titik
pusat O. Tandai warna yang sama untuk kedua sisi.
5. Ukurlah jarak antar kedua sisi dari warna tersebut P, dan hitung S yang menandakan
posisi cahaya yang dipilih pada orde kesatu (n=1) dengan cara
P
S (cm)=
2
6. Lakukan untuk spektrum yang lain (ambil 2 data spektrum).
7. Ulangilah percobaan ini untuk jarak L yang berbeda-beda.
40

3.6 Tugas Analisis Data


1. Dengan menggunakan data S dan L, hitunglah besarnya sin θ, dengan menggunakan
persamaan berikut
S
sin θ=
√S 2 +L2
2. Dengan menggunakan data sin θ dan tetapan kisi d, hitunglah panjang gelombang dari
warna merah untuk ketiga variasi L.
3. Lakukan tugas 1 dan 2 untuk warna yang lain.
4. Buatlah grafik hubungan antara panjang gelombang dan spektrum warna untuk
seluruh variasi L, sehingga total anda dapatkan 3 grafik. Jelaskan profil grafik yang
dihasilkan.
5. Bagaimana pengaruh variasi jarak layar ke kisi (L) terhadap hasil pengukuran panjang
gelombang dari sebuah spektrum warna?
41

Modul 4 Penentuan Fokus Lensa


Salah satu sifat cahaya yang banyak dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari adalah
bahwa cahaya mengalami pemantulan dan pembiasan saat melewati medium yang berbeda.
Dengan adanya pemantulan cahaya oleh benda, kita dapat melihat dan mengamati adanya
benda-benda tersebut. Dengan demikian, cahaya memegang peranan penting di dalam
memberikan gambaran visual (penampakan fisik) dari berbagai benda di sekitar kita. Di sisi
lain, beberapa instrument optik juga banyak bekerja berdasarkan sifat pembiasan cahaya.
Pembentukan image dari sebuah benda merupakan salah satu contoh sederhana dari aplikasi
sifat pembiasan cahaya. Dengan menggunakan tiga sinar-sinar istimewa, berkas cahaya
tampak akan memvisualisasikan obyek yang dilaluinya untuk kemudian dibuat bayangannya
dengan bantuan lensa transparan tipis. Di dalam modul ini, anda akan dilatih untuk
melakukan percobaan dalam rangka menentukan fokus dari sebuah lensa, yang digunakan
untuk membentuk berbagai bayangan nyata.
42

4.1 Tujuan Percobaan


1. Menentukan jarak fokus lensa cembung (bikonvek) dengan metode pergeseran
obyek/benda sedangkan lensa lensa cembung tetap
2. Menentukan jarak fokus lensa cembung (bikonvek) dengan metode pergeseran lensa
cembung sedangkan obyek/benda tetap

4.2 Alat Dan Bahan :


1. Sumber cahaya dan perlengkapannya 1 1 buah
set
2. Lensa cembung 50 mm, 100 mm dan 200 1 buah
mm
3. Layar 1 buah
4. Mistar. 1 buah

4.3 Dasar Teori


Lensa adalah benda bening yang tembus cahaya dengan bentuk permukaannya
merupakan garis sferis. Lensa dibedakan menjadi 2 macam, lensa tebal dan lensa tipis.
Dalam percobaan ini hanya lensa tipis yang dipakai (artinya ketebalan lensa t ≈ 0).
Perhatikan Gambar 4.1 di bawah ini (lensa cembung):

R2 R1
Q
F F’ P’
P Q’

x t=0 x’

s s’

Gambar 4.1 Pembentukan Bayangan Lensa Cembung

Keterangan:
PQ = benda/obyek
P’Q’ = bayangan
F = fokus pertama
F’ = fokus kedua
x = jarak benda ke F (x berharga (+) bila bayangan berada sebelah kiri F dan
berharga (-) bila bayangan disebelah kanan F)
x’ = jarak benda ke F’ (x’ berharga (+) bila bayangan berada sebelah kanan F’ dan
berharga (-) bila bayangan disebelah kiri F)
s = jarak benda diukur dari lensa
s’ = jarak bayangan diukur dari lensa
R1 = jari-jari kelengkungan (+) pada permukaan 1
R2 = jari-jari kelengkungan (-) pada permukaan 2
43

Gambar 4.1 merupakan sketsa/set up alat yang digunakan untuk mengamati pembentukan
bayangan oleh lensa cembung (+). Variasi data s diperlukan untuk menentukan besarnya
titik fokus dari lensa cembung. Dengan memvariasi s, maka akan diperoleh juga variasi nilai
s’, sehingga diperoleh nilai dari fokus lensa dengan menggunakan persamaan (4.1).

1 1 1
  (4.1)
s s' f

Persamaan (4.1) sama seperti persamaan pada cermin lengkung/sferis.


Pada umumnya, ada dua metode yang dapat digunakan untuk menentukan fokus dari
lensa cembung. Berikut ini akan disampaikan kedua metode tersebut.
a. Pergeseran obyek/benda sedangkan lensa cembung tetap.
Posisi obyek akan menentukan nilai dari s, yakni jarak antara obyek dan lensa. Dengan
menempatkan lensa di sebuah titik/posisi yang tetap, kita dapat memvariasi besarnya s
untuk mendapatkan sebuah nilai fokus dari lensa. Jarak fokus lensa cembung (fp)
selanjutnya dicari dengan menggunakan persamaan (4.1). Gambar 4.2 menunjukkan
sketsa pengambilan data dari nilai s dan s’.

digeser layar
(+)

sumber cahaya
obyek panah

s s’

Gambar 4.2 Rangkaian percobaan

b. Pergeseran lensa cembung sedangkan obyek/benda tetap


Dengan membuat benda/obyek berada pada posisi yang tetap, perubahan letak lensa
positif dapat digunakan untuk memperoleh jarak fokus dari lensa tersebut. Perhatikan
Gambar 4.3.

digeser

A B D

PQ

Gambar 4.3 Rangkaian Percobaan


44

Keterangan :
PQ = sumber cahaya dan benda
D = layar
H = jarak antara kedudukan
L = jarak antara benda dan layar

Diantara benda dan layar (jarak keduanya dibuat tetap) ditempatkan sebuah lensa
cembung. Bila benda tersebut digeser-geserkan sepanjang garis pisah benda dengan
layar, maka akan terdapat dua kedudukan lensa yang memberikan bayangan yang jelas
pada layar. Bayangan yang satu diperbesar (lensa di A), sedangkan yang lain diperkecil
(lensa di B). Besarnya jarak fokus positif (fp) selanjutnya dihitung dengan persamaan
(4.2).

L2 - H 2
fp  (4.2)
4L

4.4. Tugas Pendahuluan


1. Gambarkan sinar-sinar istimewa pada lensa cembung.
2. Gambarkan pembentukan bayangan pada lensa cembung.
3. Bagaimana memperoleh fp dari persamaan (4.2) dengan cara grafik. Mana sumbu
koordinatnya dan mana sumbu absisnya?

4.5. Prosedur Kerja


a. Menentukan Jarak Fokus Lensa Cembung (bikonvek) dengan metode pergeseran
obyek/benda sedangkan lensa cembung tetap.
Buatlah set up alat seperti pada Gambar 4.2.
1. Tentukanlah terlebih dahulu letak fokus pertama (F) atau fokus kedua (F’).
Tanyakan pada asisten.
2. Letakkan benda pada jarak antara F dengan lensa, catat jaraknya.
3. Dapatkan pula bentuk bayangan yang terjadi pada point 2 dan catat jaraknya diukur
dari lensa.
4. Ulangi point 2 dan 3 sebanyak lima kali.
5. Letakkan benda antara F dan 2 kali F dan catat jaraknya dari lensa.
6. Dapatkan bentuk bayangan yang terjadi pada point 5 dan catat jaraknya dari lensa.
7. Ulangi point 5 dan 6 sebanyak lima kali
8. Letakkan benda pada jarak yang lebih jauh dari 2 kali F dan catat jaraknya dari
lensa.
9. Dapatkan bentuk bayangan yang terjadi pada point 8 dan catat jaraknya diukur dari
lensa.
10. Ulangi point 8 dan 9 sebanyak lima kali.
11. Letakkan benda tepat pada jarak 2F dan catat jaraknya dari lensa.
12. Dapatkan bentuk bayangan yang terjadi pada point 11 dan catat jaraknya dari lensa.
13. Ulangi langkah 1-12 untuk lensa cembung yang lain.
45

b. Menentukan Jarak Fokus Lensa Cembung (bikonvek) dengan metode pergeseran


lensa sedangkan obyek/benda tetap. Perhatikan gambar 4.3.
1. Gunakan fokus F=100 mm
2. Susunlah peralatan di landasan optis yang telah disediakan. Tanyakan pada asisten
tentang kedudukan benda dan layar. Kemudian catatlah kedudukan benda dan
layar (L).
3. Geser benda sepanjang landasan optis (posisi di A), sehingga diperoleh bayangan
yang jelas (nyata, terbalik dan diperbesar) di layar. Catat posisi pertama tersebut
(H1), ulangi 3 kali pengukuran.
4. Geser kembali lensa (posisi di B), hingga diperoleh bayangan yang jelas (nyata,
terbalik dan diperkecil, catat posisi kedua (H2), ulangi 3 kali pengukuran.
5. Dapatkan nilai H yaitu: H = H1 – H2.
6. Ulangi langkah 2 – 5 untuk lensa cembung yang lain (F=200 mm)

3.6 Tugas Analisis Data


Catatan : untuk setiap analisa data, harus diikuti dengan ralatnya!.
1. Hitunglah jarak fokus lensa cembung (fp) dgn menggunakan persamaan (4.1).
2. Hitunglah jarak fokus lensa cembung (fp) dgn menggunakan persamaan (4.2).
3. Hitunglah jarak fokus lensa cembung (fp) dari persamaan (4.2) dengan cara
grafik. Bandingkan hasilnya dengan point 2.
4. Buatlah kesimpulan dari praktikum ini !
46

Modul 5 Kalorimeter
Prinsip pertukaran energi kalor antara dua buah sistem atau lebih banyak mendasari
berbagai fenomena di dalam kehidupan sehari-hari. Proses memasak bahan makanan,
menghaluskan pakaian dengan setrika listrik, menyambung berbagai komponen
elektronik pada papan circuit sampai dengan terapi sinar laser pada penyakit
periodontitis, semuanya memanfaatkan prinsip pertukaran kalor. Di dalam modul ini,
anda akan menyelidiki bagaimana pertukaran kalor ini dapat dimanfaatkan untuk
mengetahui kalor jenis dan kalor lebur sebuah bahan. Oleh karena cukup rentan terjadi
kehilangan panas, maka pengukuran beberapa variabel eksperimen hendaknya dilakukan
dengan hati-hati dan dalam waktu yang relatif singkat.
47

5.1 Tujuan Praktikum


1. Menentukan kalor jenis bahan
2. Menentukan kalor lebur es

5.2 Peralatan dan Bahan Praktikum


1. Kalorimeter dan pengaduknya 1 buah
2. Termometer 1000 C 1 buah
3. Pemanas listrik 1 buah
4. Kubus logam 1 buah
5. Neraca 1 buah
6. Es 1 buah
7. Air 1 buah

5.3 Dasar Teori


Kalorimeter adalah alat untuk menentukan kalor jenis suatu zat. Bagan sebuah
kalorimeter ditunjukkan oleh Gambar 5.1 berikut :

Termometer

Pengaduk
Kalorimeter

Penutup
luar
Gambar 1 pelindung

Gambar 5.1

Bila suatu benda menerima kalor maka kemungkinan benda tersebut mengalami
kenaikan suhu atau perubahan wujud (melebur, menguap atau menyublim). Kalor yang
diterima oleh suatu benda yang mengalami kenaikan suhu sebanding dengan perubahan
suhu, dan massanya dan bergantung dari jenis bendanya. Secara matematis dituliskan
Q = m . c . T (5.1)
48

dengan Q = banyaknya kalor (kalori)


m = massa zat (gr)
c = kalor Jenis (kal/gr 0C)
T = perubahan suhu (T)
Dari pernyataan di atas maka kalor jenis bahan didefinisikan sebagai banyaknya kalor
yang dibutuhkan oleh satu satuan massa zat untuk menaikkan suhunya sebesar satu
satuan suhu.
Pada saat benda mulai melebur (berubah fase dari padat ke cair) kalor yang
diterimanya tidak digunakan untuk menikkan suhu melainkan untuk merubah wujudnya.
Jadi peristiwa melebur terjadi pada suhu yang tetap. Kalor yang dibutuhkan sebanding
dengan massa zat dan tergantung dari jenisnya. Pernyataan ini dirumuskan :

Q = m.L (5.2)
dengan
Q = kalor yang dibutuhkan selama zat melebur (kal)
m = massa (gr)
L = kalor lebur (kal/gr)
Dengan demikian kalor lebur menyatakan banyaknya kalor yang dibutuhkan oleh satu
satuan massa zat padat untuk merubah seluruh wujudnya menjadi cair.
Dalam suatu sistem yang tertutup, energi dari sistem tetap. Berdasarkan hal ini maka
pada sistem yang terjadi dari benda-benda yang memiliki suhu berbeda akan terjadi
pertukaran kalor sesuai dengan hubungan :
Q1 = Q2 (5.3)
dengan
Q1 = Kalor yang diterima oleh benda yang bersuhu lebih rendah
Q2 = Kalor yang dilepas oleh benda yang bersuhu lebih tinggi
Apabila persamaan (5.3) diterapkan pada kalorimeter yang diisi air untuk menentukan
kalor jenis suatu benda maka berlaku hubungan :
m k C k m a C a Tc - Ta 
Cb  (5.4)
m b Tb - Tc 

Sedangkan untuk menentukan kalor lebur es digunakan persamaan

m k C k  m a C a Tc - Ta  - m c C a Tc
L es  (5.5)
m es
dengan :
Cb = kalor jenis bahan yang akan dicari (kal/gr0C)
49

Ck = kalor jenis kalorimeter dan pengaduknya


Ca = kalor jenis air
ma = massa air (gr)
mk = massa kalorimeter (gr)
mb = massa bahan (gr)
mc = massa campuran (gr)
mes = massa es (gr)
Les = kalor lebur es (kal/gr)
Ta = suhu air mula-mula (oC)
Tb = suhu awal bahan (oC)
Tc = suhu campuran setimbang (oC)

5.4. Prosedur Percobaan


a. Menentukan Kalor Jenis Bahan
1. Timbang kalorimeter dan pengaduk secara bersama-sama, catat sebagai mk.
2. Isilah kalorimeter dengan air, kemudian timbang dan catat sebagai m ak maka ma=
mak-mk.
3. Masukkan kalorimeter ke dalam bejana pelindung, kemudian tutuplah. Pasang
termometer dan bacalah suhu awal air sebagai Ta.
4. Timbanglah bahan (balok tembaga) yang akan ditentukan kalor jenisnya sebagai
mb.
5. Panaskan bahan tersebut di dalam pemanas hingga mencapai suhu tertentu
(minimal 750C).
6. Catat suhu benda sebagai Tb, kemudian dengan cepat masukkan ke dalam
kalorimeter dan ditutup rapat-rapat.
7. Melalui pengaduk yang telah diberi isolasi, aduklah perlahan-lahan. Suhu air
perlahan-lahan akan naik kemudian turun lagi. Catat suhu tertinggi yang
diperoleh (Tc)
8. Ulangi percobaan di atas (langkah 1 – 7) sebanyak 3 kali.
9. Ulangi langkah 1 – 8 untuk jenis bahan yang berbeda (balok kuningan).

b. Menentukan Kalor Lebur Es


1. Timbang kalorimeter dan pengaduk secara bersama-sama, catat sebagai mk.
2. Isilah kalorimeter dengan sejumlah air (± 2/3 volume kalorimeter), kemudian
timbang dan catat sebagai mak, maka ma = mak - mk.
50

3. Panaskan air bersama kalorimeter tsb. Hingga suhunya sekitar 70 oC. Catat
sebagai Ta.
4. Angkat kalorimeter dengan cepat dan masukkan ke dalam bejana pelindung
5. Masukkan sepotong es yang telah disiapkan ke dalam kalorimeter, tutup rapat-
rapat dan aduk pelan-pelan.
6. Catat suhu seimbang yang diperoleh sebagai Tc.
7. Timbang massa air, kalorimeter dan es tersebut (m c) sehingga diperoleh massa es
mes= mc – mak.
8. Ulangi langkah di atas untuk mendapatkan 3 kali pengulangan.

5.5 Tugas Pendahuluan


1. Sebut dan jelaskan peristiwa yang mungkin terjadi bila benda melepas kalor.
2. Apa yang dimaksud dengan :
a. Kalor jenis e. Titik lebur normal
b. Kapasitas kalor f. Kalor uap
c. Kalor lebur g. Kalor embun
d. Kalor beku h. Titik didih normal
3. Jelaskan bagaimana anda memahami azas Black disertai dengan contoh
penerapan dalam kehidupan sehari-hari.
4. Turunkan persamaan yang anda gunakan dalam percobaan ini (persamaan (5.4)
dan persamaan (5.5)).

5.6 Tugas Laporan Resmi


1. Hitung kalor jenis bahan yang telah dilakukan dalam percobaan beserta ralatnya.
2. Hitunglah pula kalor lebur untuk es beserta ralatnya.
3. Bandingkan semua hasil yang diperoleh dengan tabel literatur.
4. Analisa faktor-faktor yang menyebabkan penyimpangan hasil.
5. Apa kesimpulan anda ?
51

Modul 6 Massa Jenis dan Specific


Gravity Zat
Sebuah benda padat yang dimasukkan ke dalam zat cair, akan mendapatkan gaya tekan
ke atas sebesar jumlah zat cair yang dipindahkan akibat benda tersebut. Demikianlah
kurang lebihnya fenomena fisika yang dikenal sebagai Hukum Archimedes. Kapal laut
dapat mengapung dan bergerak di daerah batas permukaan laut dapat dijelaskan melalui
Hukum Archimedes. Aplikasi lain dari hukum ini adalah kita dapat menentukan massa
jenis dan nilai specific gravity sebuah zat, baik zat cair maupun zat padat tanpa
menggunakan alat ukur spesifik. Di dalam modul ini, akan diperkenalkan bagaimana
melakukan pengukuran di atas, sehingga dapat memanfaatkannya untuk berbagai
keperluan pengukuran massa jenis dan nilai specific gravity sebuah zat.
52

6.1 Tujuan Praktikum


1. Menentukan massa jenis zat cair (zc) dengan menggunakan hukum Archimedes
2. Menentukan specific gravity (SG) zat padat dengan menggunakan hukum
Archimedes

6.2 Peralatan dan Bahan Praktikum


1. Timbangan/Triple Balance 1 buah
2. Zat padat 1 buah
3. Zat cair (aquadest, minyak goreng, gliserin) 1 buah
4. Tabung gelas ukur 1 buah
5. Jangka sorong 1 buah

6.3 Dasar Teori


A. Menentukan massa jenis zat cair (zc) dengan menggunakan hukum Archimedes
Perhatikan gambar 6.1 di bawah ini :

Gambar 6.1 Pengukuran massa benda M di udara, di dalam aquades dan


di dalam zat cair

Benda M mula–mula ditimbang di udara (gambar 6.1a), kemudian ditimbang di dalam


air (aquadest) (gambar 6.1b) dan terakhir ditimbang ke dalam zat cair lainnya (gambar
6.1c). Massa jenis zat cair (zc) dapat dihitung dengan persamaan :
w w
 zc  u zc (6.1)
Vg

dengan : wu = berat benda di udara


wzc = berat benda di dalam zat cair
V = volume benda, diperoleh dari :
53

wu  wair
V= (6.2)
 air g
wair = berat benda di dalam air
g = percepatan gravitasi bumi = 9,8 m/s2

B. Menentukan specific gravity (SG) of solid dengan menggunakan hukum


Archimedes
Specific gravity didefinisikan sebagai perbandingan massa jenis sebuah fluida
terhadap sebuah fluida standar. Definisi ini selanjutnya dikembangkan penggunaannya
untuk bahan padat (solid). Berdasarkan pengertian di atas, nilai specific gravity sebuah
zat padat ditentukan dengan membandingkan beratnya saat ditimbang di udara dengan
berat zat cair (aquades) yang dipindahkan saat zat pada tersebut dibenamkan ke
dalamnya. Aquades dalam hal ini berfungsi sebagai fluida standar yang telah diketahui
nilai massa jenisnya. Oleh karena zat padat pada umumnya dikelompokkan menjadi dua
macam, yakni zat padat yang tenggelam dan yang mengapung di dalam air, maka berikut
ini akan disampaikan kedua pengukuran SG untuk masing-masing zat padat.
B.1 Specific gravity of solid (SGzp) more dense than water
Hukum Archimedes menyatakan bahwa benda padat yang dibenamkan seluruhnya di
dalam suatu zat cair akan mengalami gaya ke atas atau gaya apung sebesar berat zat cair
yang dipindahkan akibat terbenamnya benda padat tersebut. Dinyatakan dengan
persamaan :
𝑊
𝑆𝐺𝑧𝑝 = (6.3)
𝑊 − 𝑊𝑠
dimana : W = berat zat padat di udara
WS = berat zat padat di dalam air.

B.2 Specific gravity of solid (SGzp) less dense than water


Untuk menentukan SG zat padat yang mengapung di air, juga dapat ditentukan dengan
menggunakan prinsip Hukum Archimedes. Agar zat padat terbenam seluruhnya di dalam
zat cair, maka diperlukan ‘pembenam’. Untuk lebih jelasnya, kita perhatikan Gambar
6.2.
54

Gambar 6.2 Pengukuran massa benda di udara, massa pembenam di


aquades dan massa pembenam+benda di dalam aquades

Mula-mula zat padat ditimbang di udara (W) (Gambar 6.2a), kemudian pembenam
ditimbang di dalam aquades (Wp) (Gambar 6.2b). Selanjutnya menimbang pembenam
dan zat padat yang sudah dikaitkan pada pembenam di dalam aquades W2 (Gambar 2c).
Besarnya SG zat padat ditentukan dengan menggunakan persamaan :

𝑊
𝑆𝐺𝑧𝑝 = (6.4)
𝑊1 − 𝑊2
dengan :
W1 = W + Wp (6.5a)
W2 = Wzp + Wp (6.5b)
keterngan :

W = berat zat padat di udara,


Wzp = berat zat padat di dalam aquades,
Wp = berat pembenam di dalam aquades.

6.4. Prosedur Percobaan


A. Menentukan Massa Jenis Zat Cair (zc)
1. Perhatikan Gambar 6.1.
2. Timbang benda M di udara (Gambar 6.1a)
3. Timbang benda M di dalam air (aquadest) (Gambar 6.1b).
4. Timbang benda M di dalam minyak goreng. (Gambar 6.1c)
5. Ulangi langkah 2 – 4 selama 3 kali.
6. Ulangi langkah 2 – 5 untuk gliserin.
55

B. Menentukan SG Zat Padat/Benda yang tenggelam dalam air


1. Perhatikan Gambar 6.1
2. Timbang zat padat di udara (w) (Gbr.1a).
3. Timbang zat padat di dalam air (wzp) (Gbr.1b).
4. Ulangi langkah 2 – 3 selama 3 kali.
5. Ulangi langkah 2 – 4 untuk zat padat yang berbeda.

D. Menentukan SG Zat Padat/Benda yang terapung dalam air


1. Perhatikan Gambar 6.2
2. Timbang zat padat di udara (W) (Gambar 2a).
3. Timbang ‘pembenam’ di dalam air (Wp) (Gambar 2b).
4. Timbang zat padat dan ‘pembenam’ di dalam air (W2) (Gambar 2c).
5. Lakukan langkah 2 – 5 selama 3 kali.

6.5 Tugas Pendahuluan


1. Jelaskan bagaimana prinsip kerja dari Hukum Archimedes.
2. Jelaskan prinsip kerja balon udara dan kapal laut berdasarkan Hukum Arcimedes.
3. Apa perbedaan massa benda dan massa jenis benda ?
4. Bagaimana cara mencari massa jenis zat cair dengan menggunakan hukum
Archimedes?
5. Apa yang kamu ketahui tentang specific gravity ? Apa perbedaannya dengan
specific weight ?

6.6 Tugas Laporan Resmi


Catatan : untuk setiap analisa data harus disertai dengan ralatnya
1. Hitung massa jenis zat cair dengan menggunakan Hukum Archimedes.
2. Bandingkan massa jenis zat cair yang diperoleh dengan literatur di buku.
3. Hitung SG zat padat dengan menggunakan Hukum Archimedes untuk benda yang
tenggelam dan terapung. Bandingkan hasilnya keduanya dan jelaskan
karakteristik benda tenggelam dan terapung berdasarkan nilai specific gravity
nya.
4. Buat kesimpulan dalam percobaan ini.
56

Modul 7 Pemuaian Panjang


Modul ini berisi materi dasar fisika yang membahas tentang sifat pemuaian bahan akibat
adanya transfer energi panas dari lingkungan ke dalam sistem. Beberapa variabel
pengukuran diambil dalam rangka untuk mengetahui kebergantungan keadaan fisik
bahan terhadap temperatur lingkungan. Pada akhirnya, mahasiswa dapat mengetahi
bagaimana memanfaatkan sifat ekspansi termal dalam bahan untuk diaplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari.
57

7.1 Tujuan Praktikum


1. Menjelaskan pengaruh perubahan temperatur terhadap bahan terutama pada
logam
2. Mengukur besarnya koefisien pemuaian panjang bahan

7.2 Peralatan dan Bahan Praktikum


1. Dasar statif 1 buah
2. Batang statif panjang 1 buah
3. Batang statif pendek 1 buah
4. Penggaris logam 1 buah
5. Penunjuk khusus 1 buah
6. Pipa baja 1 buah
7. Pipa tembaga 1 buah
8. Pipa aluminium 1 buah
9. Penghubung selang 1 buah
10. Selang silikon 1 buah
11. Boss head 2 buah
12. Pembakar spiritus 1 buah
13. Klem universal 1 buah
14. Sumbat karet besar 1 lubang 1 buah
15. Labu Erlenmeyer 100 ml 1 buah
16. Termometer alcohol 1 buah

7.3 Dasar Teori


Ketika Concorde terbang lebih cepat dari
kecepatan suara, ekspansi termal yang
dikarenakan gesekan udara yang lewat
menyebabkan terjadinya peningkatan
panjang pesawat sampai sekitar 12,5 cm.
Dalam hal ini, terjadi peningkatan suhu
hingga mencapai 128oC pada hidung pesawat
dan sekitar 90oC pada bagian ekor. Jendela Gambar 7.1 Concorde bergerak dengan
kabin juga akan terasa hangat saat disentuh. kecepatan melebihi kecepatan suara

Sifat ekspansi termal dari beberapa bahan bayak diaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari. Antisipasi dari fenomena yang dapat terjadi akibat adanya peningkatan suhu
menyebabkan konstruksi di dalam pembuatan jembatan dilakukan dengan memberikan
slot ekspansi sebagai tempat untuk memuai. Di bidang medis, material yang digunakan
sebagai bahan penambal gigi berlubang harus memiliki sifat ekspansi termal yang sama
dengan bahan gigi, untuk mencegah rasa sakit yang ditimbulkan akibat perubahan
58

temperatur. Beberapa alat ukur temperatur (temperatur) dan pengatur panas (termostat)
juga dibuat berdasarkan sifat pemuaian dari bahan.
Sebuah batang logam dengan panjang L dikenai panas dari luar sehingga terjadi
perubahan temperatur di dalam bahan sebesar ∆T. Akibat pemberian energi panas
tersebut, batang akan mengalami pertambahan panjang sebesar

Δ𝐿 = 𝐿𝛼Δ𝑇 (7.1)

dengan Δ𝐿 : pertambahan panjang


L : panjang awal
𝛼 : koefisien muai panjang (linear expansion)
Δ𝑇 : pertambahan panjang
Oleh karena setiap bahan (benda padat) memiliki sifat ekspansi yang berbeda-beda, maka
besarnya koefisien muai panjang bahan yang dimiliki juga berbeda-beda. tabel 1
menunjukkan beberapa koefisien muai panjang bahan.

Tabel 1 Koefisien muai panjang beberapa bahan


Zat α (10-6/oC) Zat α (10-6/oC)
o
Es (pada 0 C) 51 Beton 12
Timah 29 Baja 11
Aluminium 23 Gelas (biasa) 9
Kuningan 19 Gelas (Pyrex) 3,2
Tembaga 17 Intan 1,2

Koefisien muai panjang bahan mencerminkan kemampuan bahan di dalam


merespon pertambahan energi panas yang diberikan, dalam bentuk pemuaian bahan.
Semakin tinggi koefisien muai panjang sebuah bahan, menunjukkan semakin mudah
bahan mengalami pertambahan panjang akibat pemuaian di dalam bahan. Adanya
perubahan temperatur dalam bahan disebabkan oleh karena perubahan energi panas dari
sistem karena adanya transfer energi antara sistem dan linkungan. Oleh karena itulah,
pertambahan panjang pada bahan akan diamati pada setiap perubahan temperatur bahan.

7.4. Prosedur Percobaan


1. Susunlah alat praktikum seperti yang ditunjukkan pada Gambar 7.1.
59

Gambar 7.1 Set up alat percobaan

2. Ambillah labu erlenmeyer kemudian isi dengan air 10 ml dan pasang pada statif
dengan menggunakan klem universal (lihat Gambar 7.1).
3. Pasang penunjuk khusus pada dasar statif sebelah kanan, sedemikian hingga
penunjuk bisa bergerak bebas (jangan terlalu erat memasang penguncinya).
4. Jepitlah salah satu ujung batang/pipa aluminium pada penjepit penunjuk khusus,
sementara ujung lainnya pada boss head.
5. Tancapkan ujung dari penghubung selang pada sumbat karet, kemudian pasang
selang silikon pada ujung penghubung lainnya. Tutuplah labu erlenmeyer yang
sudah terisi air dengan sumbat karet tersebut.
6. Hubungkan selang silikon dengan pipa aluminium.
7. Atur ketinggian labu erlenmeyer ±3 cm dari sumbu pembakar spirtus
8. Letakkan penggaris logam di atas meja dan atur agar jarum penunjuk khusus
menunjuk pada nilai tertentu (misalkan pada posisi 20 cm). Catat nilai ini sebagai
posisi awal. Catat pula suhu batang yang terbaca pada termometer sebelum
dipanaskan.
9. Nyalakan pembakar spirtus, kemudian letakkan di bawah labu erlenmeyer.
10. Amati pergerakan jarum penunjuk khusus selama pemanasan, sampai air di dalam
labu erlenmeyer mendidih. (Hati-hati, perhatikan jumlah air di dalam labu, jangan
sampai habis).
11. Saat jarum menunjukkan pada angka 25 cm, catat suhu yang terbaca pada
termometer. Matikan api pada pembakar spirtus.
12. Ulangi langkah no 2-11 untuk pipa tembaga dan pipa besi.
60

7.5 Tugas Pendahuluan


1. Apa yang anda ketahui tentang koefisien muai panjang zat padat?
2. Bagaimana pengaruh energi panas, yang dindikasikan dari adanya perubahan
temperatur, terhadap pertambahan panjang dari bahan logam?
3. Jelaskan 5 macam fenomena fisika yang menggambarkan sifat ekspansi termal
bahan.
4. Bahan dengan sifat pemuaian yang bagaimana yang dapat diaplikasikan sebagai
bahan dasar untuk konstruksi jembatan? Jelaskan.

7.6 Tugas Laporan Resmi


Jawablah pertanyaan berikut ini
1. Untuk setiap bahan, hitung besarnya pertambahan panjang yang dihasilkan.
Pertambahan panjang yang diperoleh dalam percobaan ini bukanlah pertambahan
panjang sebenarnya, melainkan hasil perbesaran dari nilai sesungguhnya. Untuk
mengetahui pertambahan panjang sebenarnya, gunakan persamaan berikut :

1
pertambahan panjang = × pertambahan yang diperoleh
50

2. Hitung besarnya koefisien muai panjang dengan menggunakan persamaan berikut :


3.
Δ𝐿
𝛼=
Δ𝑇 𝐿0

dimana 𝛼 : koefisien muai panjang (/oC)


∆L : pertambahan panjang (cm)
∆T : perubahan temperatur (oC)
L0 : panjang awal logam (cm)
5. Bandingkan pertambahan panjang yang terjadi pada ketiga bahan tersebut.
Bagaimanakah karakteristik pemuaian panjang dari ketiga bahan tersebut ?
6. Bandingkan nilai koefisien muai panjang dari ketiga bahan tersebut. Bagaimanakah
karakteristik koefisien muai panjang dari ketiga bahan tersebut ?
7. Apa kaitan antara besar pertambahan panjang dengan koefisien muai panjang dari
benda padat.
61

Modul 8 Koefisien Gesek Bahan


Kecepatan pergerakan sebuah benda sangat dipengaruhi oleh karakteristik permukaan
dari landasan. Salah stu karakteristik yang menjadi faktor penentu gerak benda adalah
tingkat kehalusan/kekasaran permuakaan landasan. Parameter yang digunakan untuk
menganalisis pengaruh faktor tersebut adalah nilai koefisien gesek dari permukaan.
Sebuah ban mobil ataupun ban sepeda motor dibuat sedemikian hingga selalu terjadi
gesekan antara ban dengan permukaan landasan. Di dalam modul ini, Anda akan
melakukan serangkaian percobaan untuk menghitung besarnya koefisien gesekan dari
berbagai permukaan. Koefisien gesekan yang ditentukan meliputi koefisien gesekan saat
benda dalam keadaan diam dan saat benda dalam keadaan bergerak.
62

8.1 Tujuan Praktikum


Menentukan koefisien gesek statis (s) dan koefisien kinetis (k) benda.

8.2 Peralatan dan Bahan Praktikum


1. Benda dan bahan yang akan ditentukan koefisien 1 buah
geseknya
2. Set alat bidang miring 1 set
3. Neraca 1 buah
4. Stopwacth 1 buah
5. Mistar 1 buah
6. Busur derajat 1 buah
7. Benang bol 1 buah

8.3 Dasar Teori


Bila permukaan sebuah benda meluncur di atas permukaan lain, masing-masing
benda akan saling melakukan gaya gesekan, sejajar dengan permukaan itu. Gaya gesekan
pada tiap benda berlawanan arah dengan arah geraknya. Secara empiris diperoleh bahwa
gaya gesek bahan di atas sebuah permukaan sebanding dengan gaya normalnya dan
dengan konstanta perbandingan yang disebut koefisien gesek. Bila sebuah benda yang
berada di atas suatu permukaan dalam keadaan diam atau tepat akan bergerak ketika
dikenakan gaya luar sejajar permukaannya, maka pada benda tersebut bekerja gaya gesek
statis ( fs ), dan koefisien geseknya disebut koefisien gesek statis (s)
fs ≤  s N (8.1)
Jadi gaya gesek statis dapat memiliki semua harga antara nol (bila tidak ada gaya sejajar
bidang permukaan) dan harga maksimum s N (pada saat benda tepat akan mulai
bergerak).
Begitu benda mulai meluncur diatas permukaan, ternyata gaya gesek ini berkurang.
Gaya gesek pada saat benda bergerak disebut gaya gesek kinetik (f k), dan sekali
sebanding dengan gaya normalnya. Konstanta perbandingannya disebut koefisien gesek
kinetik (k ).
fk =  k (8.2)
Perhatikan gambar berikut :
63

Gambar 8.1 Sebuah balok meluncur di atas permukaan kasar akan


merasakan gaya gesekan

Keterangan :
N = gaya normal permukaan terhadap benda
W = gaya berat benda
fs = gaya gesek statis
 = sudut bidang permukaan terhadap bidang datar.

Benda bermassa m berada di atas permukaan yang membentuk sudut  terhadap bidang
horisontal dan tepat akan bergerak (Gambar 8.1). Dengan hukum I Newton dapat
ditunjukkan bahwa saat benda tepat akan bergerak maka berlaku :

s = tan  (8.3)

Jadi koefisien gesek statis benda di atas permukaan tidak tergantung sama sekali terhadap
massa benda tersebut. Gambar di atas dapat pula dimodifikasi menjadi seperti Gambar
8.2 berikut :

Gambar 8.2 Dua buah benda dihubungkan satu sama lain dengan
menggunakan sebuah tali yang dilalukan pada katrol tak
bermassa

Jika benda mengalami percepatan seperti pada gambar dan gaya gesekan pada katrol
diabaikan, dengan Hukum II Newton diperoleh hubungan

 1  m2    
μk     1 1 - a  - 1  - tan θ (8.4)
 cos θ 
 m  g   
  1  
64

bila sudut  = 00 maka persamaan diatas tereduksi menjadi

m  a
μ k   2  1  1 -  - 1 (8.5)
 m1  g

Keterangan :
k = koefisien gesek kinetik
a = percepatan system (m/s2)
g = percepatan gravitasi bumi = 9,81 (m/s2)
m1 = massa bahan (kg)
m2 = massa beban (kg)

8.4. Prosedur Percobaan


a. Menentukan Koefisien Gesek Statis (s)
1. Timbanglah bahan yang akan ditentukan koefisien geseknya. Catatlah massanya.
2. Letakkan bahan di atas bidang miring berlandasan kayu dengan kemiringan awal
00.
3. Secara perlahan-lahan perbesarlah sudut kemiringan bidang miring hingga bahan
tepat mulai meluncur turun.
4. Hitunglah sudut yang dibentuk bidang miring dengan horizontal (tanyakan
asisten).
5. Lakukan langkah 2 dan 4 hingga mendapatkan 5 data pengamatan untuk massa
pertama.
6. Di atas bahan, tambahkan beban yang telah diketahui massanya, kemudian ulangi
langkah 2 sampai dengan 5 untuk 3 kali penambahan beban.
7. Ulangi langkah 1 sampai dengan 6 untuk bahan landasan yang berbeda.

b. Menentukan Koefisien Gesek Kinetik.


1. Timbanglah beban 1.
2. Susunlah peralatan seperti Gambar 8.2, dengan kemiringan sudut tertentu
(tanyakan pada asissten)
3. Letakkan benda 1 pada posisi tertentu (sesuai petunjuk asisten), catat 2 buah titik
acuan pada landasan, titik awal benda 1 dan titik lain pada jarak tertentu.
4. Berilah beban benda 2 (Gambar 8.2) sedemikian rupa sehingga sistem bergerak
dipercepat.
5. Catat waktu yang perlukan benda 1 untuk bergerak dari titik awal ke titik acuan
yang telah ditentukan (langkah 3)
6. Timbanglah beban benda 2, catat massanya.
7. Ulangi langkah 1 s/d 6 untuk beban yang berbeda.
8. Ulangi langkah 1 s/d 7 untuk sudut kemiringan yang berbeda.
65

9. Ulangi 1 s/d 8 untuk beban landasan yang berbeda.

8.5 Tugas Pendahuluan


1. Turunkan persamaan 3 dan 4.
2. Jika waktu yang dibutuhkan benda M yang mula-mula diam dari A ke C adalah
5 detik berapa percepatannya ?

A M
3m
B 4 cm C

3. Gambar 8.2 dapat juga digunakan untuk mencari koefisien gesek statis bahan.
Bagaimanakah bentuk persamaan yang digunakan ?
4. Berikanlah masing-masing 3 contoh gaya penerapan gesekan yang
menguntungkan dan yang merugikan dalam kehidupan sehari-hari.

8.6 Tugas Laporan Resmi


Catatan : untuk setiap analisa data harus disertai dengan ralatnya
1. Hitung koefisien gesek statik bahan (s) berdasarkan persamaan (8.3) untuk
setiap massa beban yang berbeda. Berikan ralatnya.
2. Hitung pula koefisien gesek statis bahan untuk landasan yang berbeda berikut
ralatnya.
3. Bandingkan dan berikan interpretasi anda tentang hasil pada point (1) di atas.
4. Hitunglah koefisien gesek kinetik bahan (k) berdasarkan persamaan (8.4)
untuk semua perlakuan.
Standart Operating Procedure
PRAKTIKUM FISIKA DASAR
2019/2020

Pelaksanaan pre test


1. Pre test dilaksanakan di Lab Fisika Dasar sesuai dengan topik di
Modul
2. Materi pre tes berupa Tugas Pendahuluan, Tujuan, Teori Dasar dan
Metode Praktikum
Pretes wajib lulus dengan nilai minimal 60 dan maksimal 90.
3. Saat pre test, praktikan diwajibkan membawa :
a. Modul Praktikum (di print)
b. Tugas Pendahuluan untuk modul yang sesuai dalam format tulis
tangan/ketik komputer dalam kertas folio bergaris/A4/F4
c. Buku Tulis untuk pre tes (disampul warna)
Jurusan Fisika : warna biru
Jurusan Matematika : warna merah
Jurusan Kimia : warna kuning
Jurusan Biologi : warna hijau
d. Kertas HVS ukuran A4 untuk lembar data pengamatan (min. 5
lembar)
4. Pre-test dapat dilaksanakan dalam bentuk tanya jawab langsung oleh
asisten/dosen.
5. Rangkaian kegiatan pretest merupakan pra syarat untuk mengikuti
praktikum di laboratorium

Pelaksanaan Praktikum
1. Praktikum dilaksanakan sesuai jadwal di Lab Fisika Dasar dan
dimulai minggu ke 1 Bulan Oktober 2019.
2. Sebelum praktikum berlangsung, praktikan wajib mengumpulkan
laporan mingguan untuk modul sebelumnya dalam bentuk hard
copy dijilid sederhana dan rapi.
3. Laporan dikumpulkan pada KOORDINATOR ASISTEN.
4. Praktikan wajib menggunakan baju atas putih bawah hitam/gelap.
sebagai identitas praktikan dan sepatu.
5. Selesai praktikum, setiap praktikan harus mempunyai lembar data
pengamatan dan ditandatangi oleh Asisten. Lembar data
pengamatan ini wajib dilampirkan dalam laporan mingguan
(lampiran 2).
6. Selama praktikum, praktikan tidak diijinkan menggunakan alat
ukur dan bahan praktikum tanpa ijin aisten. Kerusakan alat akibat
kelalaian praktikan menjadi tanggung jawab praktikan.
7. Ijin tidak mengikuti praktikum hanya diperbolehkan dengan alasan
sakit dan kepentingan akademik.
8. Inhaln boleh dilaksanakan maksimal 3 praktikum.
9. Kegiatan praktikum harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dan
hati-hati.
10. Penilaian aktivitas praktikum akan diberikan terhadap praktikan,
minimal 60 dan maksimal 90.
11. Keterlambatan untuk masuk kegiatan praktikum hanya ditolerir
selama 15 menit.
12. Dilarang makan dan minum di meja praktikum

Pembuatan Laporan Mingguan


1. Setiap praktikan wajib membuat laporan mingguan dengan format
penulisan sesuai dengan yang telah ditentukan saat Asistensi
Praktikum.
2. Laporan praktikum dibuat sebaik mungkin, tanpa ada unsur Plagiasi.
Nilai yang diberikan adalah minimal 50 dan maksimal 90. Jika
ditemukan adanya plagiasi akan diberikan nilai pinalty 50.
3. Hal-hal yang belum jelas dan belum diatur dapat ditanyakan ke Kalab
Fisika Dasar (Endhah Purwandari, S.Si., M.Si)
FORMAT PENULISAN LAPORAN
PRAKTIKUM FISIKA DASAR

JUDUL PEMUAIAN PANJANG (contoh


format ada di lampiran 1)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang


1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
1.4 Manfaat

BAB 2 TINJAUAN Seluruh dasar teori yang digunakan


PUSTAKA untuk mendukung praktikum

BAB 3 METODE 3.1 Desain Eksperimen


EKSPERIMEN 3.2 Variabel Eksperimen
3.3 Prosedur Eksperimen
3.4 Metode Analisis Data
(contoh)
3.4.1 Perhitungan koefisien
muai panjang
3.4.2 Analisis pengaruh jenis
bahan terhadap
koefisien muai panjang

BAB 4 HASIL DAN 4.1 Hasil


PEMBAHASAN 4.2 Pembahasan

BAB 5 PENUTUP 5.1 Kesimpulan


5.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA (Lihat PPKI UNEJ 2017)


LAMPIRAN 1. Daftar lampiran yang ditanda
tangani Asisten
2. Lampiran perhitungan (boleh
excel, boleh perhitungan manual)
3. Cara menurunkan rumus
(optional)
Laporan ditulis pada :
1. Kertas HVS A4
2. Ditulis Tangan
3. Margin kiri=4, atas=4, kanan=3 dan bawah=3
4. Dijilid Lakban dengan sampul mika berwarna dan bagian belakang
diberi bufalo berwarna.
Jurusan Fisika : warna biru
Jurusan Matematika : warna merah
Jurusan Kimia : warna kuning
Jurusan Biologi : warna hijau
5. Cover diketik kecuali identitas praktikan (lampiran 1)
Lampiran 1 Format Cover Laporan Praktikum

PEMUAIAN PANJANG

LAPORAN PRAKTIKUM
FISIKA DASAR

Oleh
Nama / NIM
Jurusan
Kelompok
Hari/Shift
Asisten

LABORATORIUM FISIKA DASAR


JURUSAN FISIKA/KIMIA/BIOLOGI/MATEMATIKA*
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS JEMBER
2019

*) Tulis sesuai dengan jurusan masing-masing


Lampiran 2 Format Lembar Pengamatan

LEMBAR PENGAMATAN

Nama / NIM Dwi Indah P./131810201042


Jurusan Fisika
Kelompok 1
Hari/Shift Senin/1
Asisten Dwi Ulul Azmi

Data Pengamatan

TTD Asisten :

(_____________________________)
Lampiran 3 Distribusi Penilaian Kegiatan Praktikum

Seluruh aktivitas dalam kegiatan praktikum pada mata kuliah Fisika Dasar
diberikan penilaian. Daftar kegiatan yang dinilai beserta prosentasi penilaian
kegiatan diberikan pada tabel berikut ini.

NO Uraian Kegiatan Prosentase Nilai


1 Pre Tes 30%
2 Aktivitas 30%
3 Laporan Mingguan 40%
Total 100%

Anda mungkin juga menyukai