Eliminasi Fekal

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Eliminasi fekal adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh berapa


feses. Eliminasi produk sisa pencernaan yang teratur merupakan aspek yang penting
untuk fungsi normal tubuh. Perubahan eliminasi dapat menyebabkan masalah pada
sistem gastrointestinal dan sistem tubuh lainnya. Karena fungsi usus bergantung
pada keseimbangan beberapa faktor, pola dan kebiasaan eliminasi bervariasi di
antara individu. Namun, telah terbukti bahwa pengeluaran feses yang sering, dalam
jumlah yang besar, dan karakteristiknya normal biasanya berbanding lurus dengan
rendahnya insiden kanker kolorektal.
Lingkungan rumah bisa menghadirkan hambatan untuk klien dengan
perubahan mobilitas, perubahan kebutuhan kamar mandi. Untuk menangani masalah
eliminasi klien, perawat harus mengerti proses eliminasi yang normal dan faktor-
faktor yang mempengaruhi eliminasi. Eliminasi produk sisa pencernaan yang teratur
merupakan aspek penting untuk fungsi normal tubuh. Perubahan eliminasi dapat
menyebabkan masalah pada sistem gastroinsentinal dan sistem tubuh lainnya.

1.2. RUMUSAN MASALAH


1. Apa definisi dari eliminasi fekal?
2. Apa saja faktor yang memengaruhi eliminasi?
3. Organ apa saja yang terdapat pada eliminasi fekal?
4. Apa saja tindakan penanganan eliminasi?
5. Apa saja masalah-masalah umum dari eliminasi fekal?

1.3. TUJUAN

1. Mengetahui pencernaan normal dan eliminasi fekal.


2. Mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi eliminasi fekal.
3. Mengetahui organ-organ yang terdapat pada eliminasi fekal fekal.
4. Mengetahui tindakan penanganan eliminasi fekal.
5. Mengetahui masalah-masalah umum tentang eliminasi fekal.

1
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI ELIMINASI FEKAL

Eliminasi fekal adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh


yang berasal dari saluran pencernaan melalui anus atau bisa disebut juga
proses pengosongan usus (buang air besar).

2.2. FAKTOR YANG MEMENGARUHI ELIMINASI FEKAL

2.2.1. Perkembangan

a. Bayi yang baru lahir

Mekonium adalah materi feses pertama yang dikeluarkan oleh bayi


baru lahir, normalnya terjadi dalam 24 jam pertama setelah lahir. Karena
usus belum matur, air tidak diserap dengan baik dan feses menjadi lunak,
cair, dan sering dikeluarkan. Apabila usus telah matur, flora bakteri
meningkat. Setelah makanan padat diperkenalkan, feses menjadi lebih keras
dan frekuensi defekasi berkurang.

b. Batita

Sedikit kontrol defekasi telah mulai dimiliki pada usia 1- 3 tahun. Pada
usia itu anak-anak telah belajar berjalan dan sistem saraf dan sistem otot
terlah terbentuk dengan baik untuk memungkinkan kontrol defekasi.

c. Anak usia sekolah dan remaja

Anak usia sekolah dan remaja memiliki kebiasaan defekasi yang sama
dengan kebiasaan mereka saat dewasa. Beberapa anak usia sekolah dapat
menunda defekasi karena aktivitas.

d. Lansia

Konstipasi atau sembelit adalah masalah umum pada populasi lansia.


Konstipasi itu sendiri merupakan frekuensi buang air besar yang lebih

2
sedikit dari biasanya. Sebagian akibat pengurangan tingkat aktivitas,
ketidakcukupan jumlah asupan cairan dan serat, serta kelemahan otot.
Mereka yang tidak memenuhi kriteria sering kali ini mencari obat yang di
jual bebas untuk meredakan kondisi yang mereka yakini sebagai konstipasi.
Upaya pencegahan yang essensial terhadap konstipasi adalah
mencukupi serat dalam diet, mencukupi latihan, dan asupan cairan 6 sampai
8 gelas. Berespon terhadap refleks gastrokolik (peningkatan peristalsis
kolon setelah makan memasuki lambung) juga merupakan pertimbangan
yang sangat penting. Pada lansia juga harus diperingatkan bahwa
penggunaan laksatif secara konsisten akan menghambat refleks defekasi dan
menyebabkan konstipasi.

2.2.2. Diet

Bagian massa (selulosa,serat) yang besar di dalam diet dibutuhkan


untuk memberikan volume fekal. Diet lunak dan diet rendah serat
berkurang memiliki massa dan oleh karena itu kurang menghasilkan sisa
dalam produk pembuangan untuk menstimulasi refleks defekasi.

2.2.3. Asupan Cairan

Asupan cairan yang tidak adekuat atau gangguan yang menyebabkan


kehilangan cairan (seperti muntah) memengaruhi karakter feses. Cairan
mengencerkan isi usus, memudahkan bergerak melalui kolon. Asupan
cairan yang menurun memperlambat pergerakan makanan yang melalui
usus. Orang dewasa harus minum 6 sampai 8 gelas (1400 sampai 2000 ml)
cairan setiap hari. Minuman ringan yang hangat dan jus buah dapat
memperlunak feses dan meningkatkan peristaltik. Konsumsi susu dalam
jumlah besar dapat memperlambat peristaltik pada beberapa individu dan
menyebabkan konstipasi (sembelit).

2.2.4. Aktivitas fisik

Aktivitas fisik meningkatkan peristaltik, sementara imobilisasi


menekan motilitas kolon. Ambulasi dini setelah pasien menderita suatu
penyakit dianjurkan untuk meningkatkan dipertahankannya eliminasi

3
normal. Upaya mempertahankan tonus otot rangka yang digunakan selama
proses defekasi merupakan hal yang paling penting. Melemahnya otot-otot
dasar panggul dan abdomen merusak kemampuan individu untuk
meningkatkan tekanan intraabdomen dan untuk mengontrol sfingter
eksterna. Tonus otot dapat melemah atau hilang akibat penyakit yang
dalam jangka waktu lama atau penyakit neurologis yang merusak transmisi
saraf.

2.2.5. Faktor psikologis

Beberapa orang yang merasa cemas atau marah mengalami


peningkatan aktivitas peristaltik, mual dan diare. Sebaliknya, beberapa
orang yang mengalami depresi dapat mengalami perlambatan motilitas
usus yang menyebabkan konstipasi.

2.2.6. Kebiasaan Defeksi

Pelatihan defekasi sejak dini dapat membentuk kebiasaan defekasi


pada waktu yang teratur. Banyak orang yang melakukan defekasi setelah
sarapan, saat refleks gastrokolik menyebabkan gelombang peristaltik
massa di usus besar.

2.2.7. Obat-obatan

Beberapa orang memiliki efek samping yang dapat mengganggu


eliminasi normal. Beberapa obat menyebabkan diare, obat lain seperti
penenang tertentu dalam dosis besar dan pemberian morfin dan kodein
secara berulang dapat menyebabkan konstipasi karena obat tersebut
menurunkan aktivitas gastrointestinal melalui kerjanya pada sistem saraf
pusat.

2.2.8. Proses diagnostik

Sebelum prosedur diagnostik tertentu seperti visualisasi kolon, pasien


dilarang mengonsumsi makanan atau minuman. Bilas enema dapat
dilakukan pada pasien sebelum pemeriksaan. Dalam kondisi ini, defeksi

4
normal biasanya tidak akan terjadi sampai pasien mengonsumsi makanan
kembali.

2.2.9. Anastesia dan pembedahan

Anastesi umum menyebabkan pergerakan kolon normal berhenti atau


memperlambat dengan menghambat stimulasi saraf saraf parasimpatis ke
otot kolon. Pasien yang mendapatkan anastesia regional atau spinal
kemungkinan lebih jarang mengalami masalah ini. Pembedahan yang
melibatkn penanganan usus secara langsung dapat menyebabkan
penghentian pergerakan usus secara sementara, kondisi ini di sebut ileus.

2.2.10. Kondisi patologis

Cedera medula spinalis dan cedera kepala dapat menurunkan stimulasi


sensorik untuk defekasi. Hambatan mobilitas dapat membatasi
kemampuan pasien untuk merespons terhadap desakan defekasi dan
pasien dapat mengalami konstipasi atau seorang pasien dapat mengalami
inkontinensia fekal karena buruknya fungsi sfingter anal.

2.2.11. Nyeri

Pasien yang mengalami ketidaknyamanan saat defekasi sering


menekan keinginannya akibat defekasinya untuk menghindari nyeri.
Akibatnya, pasien mengalami konstipasi. Pasien yang meminum analgesic
narkotik untuk mengatasi nyeri dapat juga mengalami konstipasi sebagai
efek samping dari obat tersebut.

2.3 ORGAN-ORGAN YANG TERDAPAT PADA ELIMINASI FEKAL

Saluran gastrointestiral (GI) merupakan serangkaian organ muscular


berongga yang dilapisi oleh membrane mukosa (selaput lendir). Tujuan kerja
organ ini ialah mengabsorpsi cairan dan nutrisi, menyiapkan makanan untuk
diabsorpsi dan digunakan oleh sel – sel tubuh, serta menyediakan tempat
penyimpanan fese sementara. Fungsi utama system GI adalah membuat
keseimbangan cairan. GI juga menerima banyak sekresi dari organ – organ,

5
seperti kandung empedu dan pancreas. Setiap kondisi yang secara serius
mengganggu absorpsi atau sekresi normal cairan GI, dapat menyebabkan
ketidakseimbangan cairan. Organ – organ saluran gastrointestinal :

2.3.1. Mulut

Saluran GI secara mekanis dan kimiawi memecah nutrisi ke ukuran dan


bentuk yang sesuai. Semua organ pencernaan bekerja sama untuk
memastikan bahwa masa atau bolus makanan mencapai daerah absorpsi
nutrisi dengan aman dan efektif. Gigi mengunyah makanan, memecahkan
menjadi berukuran yang dapat di telan. Sekresi saliva mengandung enzim,
seperti ptyalin, yang mengawali pencernaan unsure – unsure makanan
tertentu. Saliva mencairkan dan melunakkan bolus makanan di dalam mulut
sehingga lebih mudah ditelan.

2.3.2. Esophagus

Begitu makanan memasuki bagian atas esophagus, makanan berjalan


melalui otot sirkular, yang mencegah udara memasuki esophagus dan
makanan mengalami refluks ( bergerak ke belakang ) kembali ke
tenggorokan. Bolus makanan menelusuri esophagus yang panjangnya kira –
kira 25 cm. makanan didorong oleh gerakan peristaltic lambat yang
dihasilkan oleh kontraksi involunter dan relaksasi otot halus secara
bergantian. Pada saat bagian esophagus berkontraksi di atas bolus makanan,
otot sirkular di bawah ( atau di depan ) bolus berelaksasi. Kontraksi –
kontraksi otot halus yang saling bergantian ini mendorong makanan menuju
gelombang berikutnya.
Dalam 15 detik, bolus makanan bergerak menuruni esophagus dan
mencapai sfingter esophagus bagian bawah. Sfingter esophagus bagian
bawah terletak di antara esophagus dan lambung. Factor – factor yang
mempengaruhi tekanan sfingter esophagus bagian bawah meliputi antacid,
yang meminimalkan refluks, dan nikotin serta makanan berlemak, yang
meningkatkan refluks.

6
2.3.3. Lambung

Di dalam lambung, makanan disimpan untuk sementara dan secara


mekanis dan kimiawi dipecahkan untuk dicerna dan diabsorpsi. Lambung
menyekresi asam hidroklorida ( HCL ), lendir, enzim pepsin, dan factor
intrinsic. Konsentrasi HCL mempengaruhi keasaman lambung dan
keseimbangan asam – basa tubuh. HCL membantu mencampur dan
memecahkan makanan di lambung. Lendir melindungi mukosa lambung
dari keasaman dan aktivitasenzim. Pepsin mencerna protein, walaupun tidak
banyak pencernaan yang berlangsung di lambung. Factor intrinsik adalah
komponen penting yang dibutuhkan untuk absopsi viatamin B12 di dalam
usus dan selanjutnya untuk pembentukan sel darah merah normal.
Kekurangan factor intrinsic ini mengakibatkan anemia dan pernisiosa.
Sebelum makan meninggalkan lambung, makanan diubah menjadi
materi semicair yang disebut kimus. Kimus lebih mudah dicerna dan
diabsorpsi daripada makanan padat. Klien yang sebagian lambungnya
diangkat atau yang memiliki pengosongan lambung yang cepat ( seperti
pada gastritis ) dapat mengalami masalah pencernaan yang serius karena
makanan tidak dipecah menjadi kimus.

2.3.4. Usus Halus

Selama proses pencernaan normal. Kimus meninggalkan lambung dan


memasuki usus. Usus halus merupakan sebuah saluran dengan diameter
sekitar 2.5 cm dan panjang 6 m. Usus halus dibagi mkenjadi 3 bagian :
duodenum, jejunum, dan ileum. Kimus bercampur dengan enzim – enzim
pencernaan (missal : empedu dan amylase) saat berjalan memalui usus halus.
Segmentasi (kontrasi dan relaksasi otot halus secara bergantian) mengaduk
kimus, memecahkan makanan lebih lanjut untuk dicerna. Pada saat kimus
bercampur, gerakan peristaltic berikutnya sementara berhenti sehingga
memungkinkan absorpsi. Kimus berjalan perlahan melalui usus halus untuk
memungkinkan absorpsi.
Kebanyakan nutrisi dan elektrolit diabsorbsi di dalam usus halus.
Enzim dari pankreas ( misal : amIlase ) dan empedu dari kandungan empedu

7
dilepaskan ke dalam duodenum. Enzim di dalam usus halus memecahkan
lemak, protein, dan karbohidrat menjadi unsure – unsur dasar. Nutrisi hampir
seluruhnya diabsorbsioleh duodenum dan jejunum. Ileum mengabsorpsi
vitamin – vitamin tertentu, zat besi, dan garam empedu. Apabila fungsi ileum
terganggu, proses pencernaan akan mengalami perubahan besar. Inflamasi,
reseksi bedah, atau obstruksi dapat mengganggu peristaltic, mengurangi area
absorpsi, atau menghambat aliran kimus.

2.3.5. Usus Besar

Saluran GL bagian bawah disebut usus besar ( kolon ) karena ukuran


diameternya lebih besar daripada usus halus. Namun, panjangnya, yakni 1,5
sampai 1,8 m jauh lebih pendek. Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon,
dan rectum. Usus besar merupakan utama dalam eliminasi fekal. Bagian yang
terdapat dalam usus besar:

a. Sekum

Kimus yang tidak diabsorpsi memasuki sekum melalui katup


ileosekal. Katup ini merupakan lapisan otot sirkulat yang mencegah
regurgitasi dan kembalinya isi kolon ke usus halus.

b. Kolon

Walaupun kimus yang berair memasuki kolon, volume air menurum


saat kimus bergerak di sepanjang kolon. Kolon dibagi menjadi kolon
asendens, kolon transversal, kolon desenden, kolon sigmoid. Kolon
dibangun oleh jaringan otot, yang memungkinkannya menampung dan
mengeliminasi produk buangan dalam jumlah besar. Kolon memiliki
empat fungsi yang saling berkaitan yaitu absorpsi, proteksi, sekresi, dan
eliminasi.

c. Rektum

Produk buangan yang mencapai bagian kolon sigmoid, disebut feses.


Sigmoid menyimpan feses sampai beberapa saat sebelum defekasi.
Rektum merupakan bagian akhir pada saluran GL. Panjang rektum

8
bervariasi menurut usia yaitu bayi 2,5 - 3,8 cm, balita 5 cm, prasekolah 7,5
cm, anak usia sekolah 10 cm, dan dewasa 15 sampai 20 cm.
Dalam kondisi normal, rectum tidak berisi feses sampai defekasi.
Rektum dibangun oleh lipatan – lipatan jaringan vertikal dan transversal.
Setiap lipatan vertikal berisi sebuah arteri dan lebih dari satu vena. Apabila
vena menjadi distensi akibat tekanan selama mengedan, maka terbentuk
hemoroid. Hemoroid dapat membuat proses defekasi terasa nyeri. Apabila
masa feses atau gas bergerak kedalam rectum untuk membuat dindingnya
berdisensi, maka proses defekasi dimulai. Proses ini melibatkan control
voluntary dan control involunter. Sfingter interna adalah sebuah otot polos
yang di persarafi oleh system saraf otonom.
Saat sfingter interna relaksasi sfingter eksterna juga relaksasi. Orang
dewasa dan anak – anak yang sudah menjalani toilet training ( latihan
defekasi ) dapat mengontrol sfingter eksterna secara volunteer ( sadar ).
Tekanan untuk mengeluarkan feses dapat dilakukan dengan meningkatkan
tekanan intraabdomen atau melakukan valsava maneuver. Maneuver
valsava ialah kontraksi volunter otot – otot abdomen saat indivudu
mengeluarkan nafas secara paksa,sementara glottis menutup (menahan
napas saat mengedan).

2.4 TINDAKAN PENANGANAN ELIMINASI FEKAL

Perawat dapat melakukan penanganan:


a. Memposisikan klien duduk saat melakukan BAB di tempat tidur untuk
mengurangi ketegangan pada punggung bagian belakang.
b. Memberikan obat katartik dan laksatif sesuai prosedur dan bila klien tidak
mampu defekasi dengan normal karena rasa nyeri, konstipasi atau Impaksi
c. Agens anti diare seperti opiate, kodein fosfat, opium tintur, dan
difenoksilat untuk klien yang menderita diare, seringnya pengeluaran feses
yang encer.
d. Enema adalah memasukan suatu larutan kedalam rectum dan kolon
sigmoid untuk meningkatkan defekasi dengan menstimulasi peristaltik.

9
e. Pengeluaran feses secara manual dimana perawat membantu klien yang
mengalami impaksi, massa feses yang terlalu besar mengeluarkannya
secara volunteer yaitu memecah feses dengan jari tangan dan
mengeluarkan bagian demi bagian.
f. Bowel training (pelatihan defekasi) klien yang mengalami inkontinensia
usus tidak mamou mempertahankan kotrol defekasi. Program bowel
training dapat membantu beberapa klien mendapatkan defekasi yang
normal, terutama klien yang masih memiliki kontrol neuromuscular
(Doughty,1992).

2.5 MASALAH UMUM PADA ELIMINASI FEKAL

2.5.1 Konstipasi

Konstipasi merupakan gejala, bukan penyakit. Konstipasi adalah


penurunan frekuensi defekasi, yang diikuti oleh pengeluaran feses
yang lama atau keras dan kering. Adanya upaya mengedan saat defekasi
adalah suatu tanda yang terkait dengan konstipasi. Apabila motilitas
usus halus melambat, massa feses lebih lama terpapar pada dinding usus
dan sebagian besar kandungan air dalam feses diabsorpsi. Sejumlah
kecil air ditinggalkan untuk melunakkan dan melumasi feses.
Pengeluaran feses yang kering dan keras dapat menimbulkan nyeri
pada rektum ( Potter & Perry, 2005). Konstipasi merupakan keadaan
individu yang mengalami atau beresiko tinggi mengalami stasis
usus besar sehingga menimbulkan eliminasi yang jarang atau keras,
atau keluarnya tinja terlalu kering dan keras (Hidayat, 2006). Tanda
Klinis :

a. Adanya feses yang keras


b. Defekasi kurang dari 3 kali seminggu.
c. Menurunnya bising usus.
d. Adanya keluhan pada rektum.
e. Nyeri saat mengejan dan defekasi.
f. Adanya perasaan masih ada sisa feses.

10
Kemungkinan Penyebab :
a. Defekasi persarafan, kelemahan pelvis, imobilitas karena cedera
serebrospinalis, CVA, dan lain-lain.
b. Pola defekasi yang tidak teratur.
c. Nyeri saat defekasi karena hemoroid.
d. Menurunnya peristaltik karena stress psikologis.
e. Penggunaan obat, seperti penggunaan antasida, laksantif, atau anaestesi.
f. Proses penuaan (usia lanjut).

2.5.2. Impaksi fekal (Fekal Impation)

Impaksi Fekal (Fekal Impaction) merupakan masa feses yang keras di


lipatan rektum yang diakibatkan oleh retensi dan akumulasi material
feses yang berkepanjangan. Biasanya disebabkan oleh konstipasi,
intake cairan yang kurang, kurang aktivitas, diet rendah serat, dan
kelemahan tonus otot (Hidayat, 2006). Tanda impaksi yang jelas
ialah ketidakmampuan untuk mengeluarkan feses selama beberapa
hari, walaupun terdapat keinginan berulang untuk melakukan defekasi.
Apabila feses diare keluar secara mendadak dan kontinu, impaksi
harus dicurigai. Porsi cairan di dalam feses yang terdapat lebih
banyak di kolon meresap ke sekitar massa yang mengalami impaksi.
Kehilangan nafsu makan (anoreksia), distensi dank ram abdomen,
serta nyeri di rektum dapat menyertai kondisi impaksi. Perawat, yang
mencurigai adanya suatu impaksi, dapat dengan mantap melakukan
pemeriksaan secara manual yang dimasukkan ke dalam rektum dan
mempalpasi masa yang terinfeksi ( Potter & Perry, 2005).

2.5.3. Diare

Diare merupakan keadaan individu yang mengalami atau beresiko


sering mengalami pengeluaran feses dalam bentuk cair. Diare sering
disertai dengan kejang usus, mungkin disertai oleh rasa mual dan
muntah (Hidayat, 2006).

11
Tanda Klinis :

a. Adanya pengeluaran feses cair.


b. Frekuensi lebih dari 3 kali sehari.
c. Nyeri/kram abdomen.
d. Bising usus meningkat.
Kemungkinan Penyebab:

a. Malabsorpsi atau inflamasi, proses infeksi.


b. Peningkatan peristaltik karena peningkatan metabolisme.
c. Efek tindakan pembedahan usus.
d. Efek penggunaan obat seperti antasida, laksansia, antibiotik, dan
lain-lain.
e. Stress psikologis.

2.5.5. Inkontinensia Fekal

Inkontinensia fekal adalah ketidakmampuan mengontrol keluarnya


feses dan gas dari anus. Kondisi fisik yang merusakkan fungsi atau kontrol
sfingter anus dapat menyebabkan inkontinensia. Kondisi yang
membuat seringnya defekasi, feses encer, volumenya banyak, dan feses
mengandung air juga mempredisposisi individu untuk mengalami
inkontinensia. Inkontinensia fekal merupakan keadaan individu yang
mengalami perubahan kebiasaan defekasi normal dengan pengeluaran
feses tanpa disadari, atau juga dapat dikenal dengan inkontinensia
fekal yang merupakan hilangnya kemampuan otot untuk mengontrol
pengeluaran feses dan gas melalui sfingter akibat kerusakan sfingter
(Hidayat, 2006).

Tanda Klinis:
a. Pengeluaran feses yang tidak dikehendaki
b. Pengeluaran gas yang tidak terkontrol
Kemungkinan Penyebab:
a. Kurangnya kontrol sfingter akibat cedera medulla spinalis, CVA,
dan lain-lain.

12
b. Gangguan sfingter rektal akibat cedera anus, pembedahan, dan lain-
lain.

2.5.6. Kembung

Kembung merupakan keadaan penuh udara dalam perut karena


pengumpulan gas secara berlebihan dalam lambung atau usus
(Hidayat, 2006). Kembung merupakan flatus yang berlebihan di
daerah intestinal sehingga menyebabkan distensi intestinal, dapat
disebabkan karena konstipasi, penggunaan obat-obatan (barbiturate,
penurunan ansietas, penurunan aktivitas intestinal), mengonsumsi
makanan yang banyak mengandung gas dapat berefek ansietas
(Tarwoto & Wartonah, 2010).

2.5.7. Hemoroid

Hemoroid merupakan keadaan terjadinya pelebaran vena di daerah


anus sebagai akibat peningkatan tekanan di daerah anus yang dapat
disebabkan karena konstipasi, peregangan saat defekasi, dan lain-lain.

13
BAB III

PENUTUP

3.1. KESIMPULAN

Eliminasi adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh baik berupa


urin atau feses. Eliminasi fekal adalah proses pembuangan atau pengeluaran
sisa metabolisme berupa feses yang berasal dari saluran pencernaan melalui
anus. Faktor-faktor yang mempengaruhi eliminasi fekal adalah usia dan
perkembangan yang mempengaruhi karakter feses, diet, aktifitas fisik yang
akan merangsang peristaltik usus, sehingga peristaltik usus meningkat, faktor
psikologik, kebiasaan,posisi, nyeri, kehamilan yang menyebabkan
tertekannya rektum, operasi & anestesi, obat-obatan, tes diagnostik seperti
barium enema yang dapat menyebabkan konstipasi,kondisi patologis, dan
iritan.

3.2. SARAN

Eliminasi fekal dibutuhkan untuk mempertahankan hemeostatis melalui


pembuangan sisa – sisa metabolisme. Untuk itu kita perlu menjaga kebutuhan
eliminasi fekal setiap harinya. Dengan mencukupi asupan cairan tubuh,
memakan makanan yang banyak serat, mengubah kebiasaan yang
memperburuk proses eliminasi, serta tetap beraktivitas agar eliminasi fekal
kita teratur setiap harinya.

14

Anda mungkin juga menyukai