Masjid Sulthoni Wotgaleh terletak di dekat Bandara Adisucipto, Yogyakarta. Masjid ini dibangun pada abad ke-17 dan bersejarah sebagai tempat perlawanan rakyat. Di belakang masjid ini terdapat makam Hastono Wotgaleh, tempat pemakaman Panembahan Purubaya I dan kerabatnya.
0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
267 tayangan6 halaman
Masjid Sulthoni Wotgaleh terletak di dekat Bandara Adisucipto, Yogyakarta. Masjid ini dibangun pada abad ke-17 dan bersejarah sebagai tempat perlawanan rakyat. Di belakang masjid ini terdapat makam Hastono Wotgaleh, tempat pemakaman Panembahan Purubaya I dan kerabatnya.
Masjid Sulthoni Wotgaleh terletak di dekat Bandara Adisucipto, Yogyakarta. Masjid ini dibangun pada abad ke-17 dan bersejarah sebagai tempat perlawanan rakyat. Di belakang masjid ini terdapat makam Hastono Wotgaleh, tempat pemakaman Panembahan Purubaya I dan kerabatnya.
Masjid Sulthoni Wotgaleh terletak di dekat Bandara Adisucipto, Yogyakarta. Masjid ini dibangun pada abad ke-17 dan bersejarah sebagai tempat perlawanan rakyat. Di belakang masjid ini terdapat makam Hastono Wotgaleh, tempat pemakaman Panembahan Purubaya I dan kerabatnya.
Unduh sebagai DOCX, PDF, TXT atau baca online dari Scribd
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 6
Anggota kelompok :
Divani Indira Savitri (X MIPA 3/06)
Hanna Fadhila (X MIPA 3/15) Irsyad Khoiri Hadi Saputro (X MIPA 3/16) Safira Nur Azizah (X MIPA 3/23) MASJID WOTGALEH
Masjid Sulthoni Wotgaleh terletak di dusun Noyokerten, Sendangtirto, Berbah,
Sleman, tepatnya di sebelah selatan Bandara Adisucipto Yogyakarta. Masjid ini didirikan pada masa Mataram Islam, tahun 1600 M dan dikenal sebagai salah satu Masjid Pathok Negoro. Selain berfungsi religius, juga sebagai tempat pertahanan rakyat. Di belakang masjid ini terdapat makam Hastono Wotgaleh, tempat Panembahan Purubaya I (putera Panembahan Senopati Mataram) dan kerabatnya dimakamkan. Sejarah berdirinya Kerajaan Mataram diawali oleh tiga tokoh yang bernama Ki Ageng Pemanahan, Ki Juru Martani, dan Ki Penjawi. Saat itu Adipati Hadiwijoyo pemimpin Kadipaten Pajang mengadakan sayembara yang mengumumkan bahwa jika ada yang berhasil menumpas Aryo Penangsang Adipati Jipang, maka akan diberikan hadiah berupa wilayah Mataram dan Pati. Ketiga tokoh tersebut yaitu Ki Ageng Pemanahan, Ki Juru Martani, dan Ki Penjawi bersedia mengikuti sayembara tersebut, dan berangkatlah ketiga tokoh tersebut bersama Danang Sutowijoyo (putra Ki Ageng Pemanahan) ke Kadipaten Jipang untuk menumpas Aryo Penangsang. Singkat cerita Danang Sutowijoyo maju berperang menumpas Aryo Penangsang, dengan tombak pusaka bernama Kyai Plered dia berhasil menusuk perut Aryo Penangsang hingga ususnya terburai keluar, tetapi Aryo Penangsang adalah seorang yang memiliki kesaktian tinggi, walaupun ususnya terburai keluar dari perutnya tapi masih bisa bertahan hidup. Pada suatu kesempatan Aryo Penangsang berhasil membuat Danang Sutowijoyo terdesak kewalahan dan Aryo Penangsang pun mencekik Danang Sutowijoyo sampai hampir tewas, tapi dari kejauhan Ki Juru Martani berteriak agar Aryo Penangsang jika ingin membunuh Danang Sutowijoyo harus menggunakan senjata agar adil dan ksatria karena Danang Sutowijoyo melukai Aryo Penangsang juga dengan senjata (tombak Kyai Plered), Aryo Penangsang pun mengabulkan permintaan Ki Juru Martani, tapi kecelakaan yang sangat fatal terjadi, Aryo Penangsang mencabut kerisnya sendiri sehingga mengenai dan memutus ususnya yang terburai yang disampirkan ke sarung kerisnya. Aryo penangsang pun menemui ajalnya dan pihak Pajang mendapatkan kemenangannya. Akhirnya Kadipaten Pajang berhasil menguasai Kadipaten Jipang dan wilayah Kadipaten lain di di Jawa Tengah serta sebagian beberapa Kadipaten wilayah Jawa Timur menyatakan diri tunduk untuk bergabung menjadi bawahan Pajang, dan Pajang pun berubah menjadi kerajaan Islam atau Kesultanan dengan dipimpin oleh Sultan Hadiwijoyo sebagai Rajanya. Sultan Hadiwijoyo tidak lupa berterima kasih kepada ketiga sahabatnya (Ki Ageng Pemanahan, Ki Juru Martani, dan Ki Penjawi), akhirnya diberikanlah wilayah Mataram di sebelah selatan Kerajaan Pajang kepada Ki Ageng Pemanahan serta wilayah Pati di sebelah utara Pajang kepada Ki Penjawi. Mataram pun semakin lama semakin berkembang, setelah Ki Ageng Pemanahan wafat dan menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada Danang Sutowijoyo, Danang Sutowijoyo pun berniat ingin memerdekakan diri dari Pajang dan bermaksud ingin membuat Mataram menjadi sebuah Kerajaan mandiri tanpa menjadi bawahan Kerajaan manapun. Pemberontakan Mataram terjadi, Kerajaan Pajang menyerang Mataram, walaupun jumlah pasukan Pajang jauh lebih besar daripada pasukan Mataram tapi Pasukan Pajang dapat dikalahkan dan mundur kembali ke wilayahnya. Mataram merdeka dan menjadi sebuah wilayah mandiri serta berubah menjadi Kerajaan dengan Raja pertamanya yaitu Danang Sutowijoyo bergelar Kanjeng Panembahan Senopati. Panembahan Senopati memiliki beberapa istri, istrinya ada yang tinggal di dalam Istana Mataram ataupun berada di luar lingkungan Istana, tentunya sang Panembahan juga memiliki putera-puteri dari istri-istrinya tersebut. Sebuah cagar budaya berbentuk sebuah Masjid dan Makam peninggalan dari putra Panembahan Senopati yang berasal dari istri yang berada diluar lingkungan Kerajaan Mataram, Masjid ini bernama Masjid Sulthoni Wotgaleh satu komplek dengan makam putra Panembahan Senopati tersebut. Putra Panembahan Senopati ini bernama Pangeran Purboyo sering disebut juga Panembahan Purboyo, nama kecilnya bernama Joko Umbaran. Pangeran Purboyo diberi tempat tinggal di wilayah Wotgaleh yang kelak didirikannya Masjid bernama Masjid Sulthoni dan komplek Makam untuk keturunannya. Pangeran Purboyo lahir dari seorang ibu yang bernama Roro Rembayung, putri dari Ki Ageng Giring penguasa Gunung Kidul / Wonosari. Dahulu kala pada waktu Mataram masih berupa desa atau pedukuhan dan masih menjadi wilayah bawahan Kesultanan Pajang, Ki Ageng Pemanahan bermaksud ingin mencari wahyu keprabonatau wahyu kedhaton yang konon bisa membuat seseorang atau keturunannya menjadi Raja, maka Ki Ageng Pemanahan memutuskan untuk mencari wahyu keprabon tersebut dengan bertapa di wilayah Gunung Kidul. Alkisah pada saat itu Ki Ageng Giring yang juga kakak seperguruan Ki Ageng Pemanahan yang tinggal di Gunung Kidul juga bermaksud mencari wangsit untuk menjadikan wilayah Gunung Kidul menjadi Kerajaan agar lebih maju dan bisa lebih mulia. Singkat cerita Ki Ageng Giring pun bertapa di sebuah tempat bernama hutan Kembang Lampir di sebelah timur wilayah Gunung Kidul. setelah beberapa lama bertapa, Ki Ageng Giring mendapat wangsitatau bisikan gaib bahwa di sebuah pohon kelapa yang berada di sekitar tempat Ki Ageng Giring bertapa buah kelapanya jika airnya diminum sampai habis kelak keturunannya pasti menjadi Raja dan menguasai tanah Jawa. Sontak Ki Ageng Giring terbangun dari bertapanya, lalu dicarilah pohon kelapa tersebut, dengan mata batinnya dilihatnya sebuah pohon kelapa, dia menengok ke atas ada sebutir buahnya memancarkan sinar keemasan, dia yakin bahwa buah kelapa itu pasti yang menyimpan wahyu keprabon, akhirnya dipetiklah buah kelapa tersebut dan buah kelapa tersebut dibawa pulang kembali kerumahnya. Ki Ageng Pemanahan pada perjalanannya menuju Gunung Kidul untuk bertapa mencari wahyu keprabon teringat bahwa dia memiliki kakak seperguruan yang bertempat tinggal disana, Ki Ageng Pemanahan pun memutuskan untuk mampir bersilaturahmi ke rumah kakak seperguruannya tersebut karena sudah lama tidak bertemu dan tentunya merasa kangen. Setelah berjalan menempuh jarak yang sangat jauh akhirnya Ki Ageng Pemanahan sampai di rumah Ki Ageng Giring, tapi tak seorangpun berada di rumah itu, Ki Ageng Pemanahan berpikir barangkali kakak seperguruannya tersebut sedang ke ladang atau bertani, maka diputuskannya untuk menunggu di rumah Ki Ageng Giring tersebut sambil beristirahat. Saat itu Ki Ageng Pemanahan sangat kehausan karena menempuh perjalanan yang sangat jauh, dilihatnya ada sebutir buah kelapa di bawah tempat duduk dirumah itu, tanpa pikir panjang Ki Ageng Pemanahan langsung mengambil dan mengupasnya untuk diminum airnya karena sudah sangat kehausan, dan Ki Ageng Pemanahan pun meminum air dari buah kelapa tersebut sampai habis tak tersisa. Tak lama kemudian Ki Ageng Giring Pulang kerumah, dan bertemulah dengan Ki Ageng Pemanahan lalu keduanya saling berpelukan melepas rindu. Tapi setelah itu alangkah terperanjatnya Ki Ageng Giring melihat buah kelapanya yang dia letakkan di bawah tempat duduk rumahnya sudah dalam keadaan terbuka dan habis airnya, Ki Ageng Giring sangat kecewa dan sedih tiada terkira. Ki Ageng Pemanahan heran sekaligus kaget mengapa hanya karena sebutir buah kelapa kakak seperguruannya tersebut sampai begitu sedihnya. Akhirnya diceritakanlah bahwa buah kelapa tadi adalah bukan sebutir buah kelapa sembarangan, buah itu adalah wahyu keprabon yang apabila diminum airnya sampai habis maka seluruh keturunannya akan menjadi Raja atau penguasa tanah Jawa. Setelah mendapat penjelasan dari Ki Ageng Giring, maka Ki Ageng Pemanahan pun menyesal luar biasa dan bersimpuh meminta maaf kepada kakak seperguruannya tersebut. Dengan hati yang masih diselimuti rasa kecewa dan kesedihan yang teramat dalam, Ki Ageng Giring pun bersedia memaafkan adik seperguruannya tersebut. Sebagai penebus rasa bersalahnya, maka Ki Ageng Pemanahan berniat untuk menjodohkan anaknya (Danang Sutowijoyo / Panembahan Senopati) dengan putri Ki Ageng Giring yang bernama Roro Rembayung dengan harapan keturunan Giring akan bisa mendampingi keturunan Ki Ageng Pemanahan dalam Pemerintahan di Mataram. Danang Sutowijoyo dengan terpaksa akhirnya mau untuk menerima perjodohan ini dan menikah dengan Roro Rembayung walaupun dengan hati terpaksa, konon Sutowijoyo tidak mencintai istri perjodohannya ini karena berwajah kurang cantik. Dari pernikahan Danang Sutowijoyo dan Roro Rembayung akhirnya lahirlah seorang anak laki-laki, tetapi saat Roro Rembayung dalam keadaan mengandung dalam usia kandungan sekitar 7 bulan Danang Sutowijoyo pulang ke Mataram. Danang Sutowijoyopun berpesan kepada Roro Rembayung agar tidak mengatakan siapa ayah kandungnya (yaitu Sutowijoyo sendiri), istrinya pun berjanji bahwa dia tidak akan mengatakan kepada sang anak kelak siapa bapaknya saat dia lahir, jika sampai melanggar janjinya Roro rembayung akan bunuh diri. Anak laki-laki hasil pernikahan Danang Sutowijoyo dan Roro Rembayung ini kemudian diberi nama Joko Umbaran. Hari berganti hari dan waktupun terus berlalu, Joko Umbaran semakin bertambah dewasa, pada saat usia 17 tahun dia penasaran tentang siapa sebenarnya ayahnya, rasa penasarannya semakin menguat dan memaksanya untuk bertanya kepada ibunya tentang siapa ayahnya. Setelah didesak oleh Joko Umbaran dengan mengancam ibunya akan pergi sendiri mencari ayahnya sampai ketemu walau kemanapun juga, akhirnya Roro Rembayung mengatakan bahwa sesungguhnya ayah Joko Umbaran adalah Danang Sutowijoyo yang saat itu sudah menjadi Raja di Kerajaan Mataram dengan gelar Panembahan Senopati. Joko Umbaran terkejut bahwa ternyata ayahnya adalah seorang Raja besar dan berkuasa saat itu. Tapi dia bertekad kuat untuk pergi ke Mataram menemui ayahnya, karena dia ingin mendapatkan pengakuan. Joko Umbaran pun pergi ke Mataram untuk menemui dan meminta pengakuan dari ayahnya yaitu Panembahan Senopati, setelah melakukan perjalanan yang cukup jauh sampailah dia di gerbang Keraton Mataram, dengan bersikap sopan dia meminta Izin kepada prajurit penjaga gerbang untuk bertemu Panembahan Senopati. Prajurit penjaga gerbang heran dengan anak muda ini, lalu bertanya mengapa ingin bertemu sang Raja, Joko Umbaran pun menjawab bahwa dia dari Giring putra Roro Rembayung yang ingin menghadap karena sesuatu hal yang sangat penting. Akhirnya karena kasihan melihat Joko Umbaran yang sudah datang jauh-jauh dari Giring, prajurit penjaga gerbang pun pergi untuk menghadap Panembahan Senopati sekaligus memohonkan izin untuk Joko Umbaran bertemu. Panembahan Senopati mengizinkan Joko Umbaran untuk masuk menemuinya, dengan hati gembira Joko Umbaran menghadap menemui ayahnya tersebut, dengan sikap sembah hormat dia memberikan penghormatan kepada Panembahan Senopati. Panembahan Senopati sudah tahu maksud kedatangan Joko Umbaran bahwa pasti ingin meminta pengakuan darinya. Akhirnya Panembahan Senopati bersedia mengakui Joko Umbaran sebagai putranya dengan syarat mau mencari sarung keris bernama kayu Purwosari yang berada di daerah Giring. Dengan memberikan sebilah keris untuk disarungkan ke Sarungnya yang bernama kayu Purwosari, Panembahan Senopati memberikan doa dan restu kepada Joko Umbaran semoga berhasil dalam tugasnya. Joko Umbaranpun berangkat dengan penuh semangat. Joko Umbaran pulang ke Giring untuk kembali menemui ibunya Roro Rembayung, sang ibu pun bertanya bagaimana hasilnya setelah bertemu dengan ayah kandungnya yaitu Panembahan Senopati. Joko Umbaran mengatakan bahwa dia akan diakui sebagai anak dengan syarat mau mencari sarung untuk keris yang diberikan Panembahan Senopati yang dibawanya dan menempatkan keris tersebut di sarung keris yang bernama kayu Purwosari. Sang ibu sudah memahami apa arti dan makna dari permintaan Panembahan Senopati tersebut, dalam hati dia merasa bersalah karena telah membocorkan rahasia ayah kandung dari Joko Umbaran, tetapi di sisi lain dia sedih karena Panembahan Senopati begitu tega meminta kematian dari istrinya sendiri. Dulu sebelum Panembahan Senopati pulang ke Mataram meninggalkan Roro Rembayung pernah berpesan bahwa Roro Rembayung tidak akan memberitahukan siapa ayah kandung Joko umbaran, tapi akhirnya Roro Rembayung membocorkan rahasianya dan sebagai konsekuensi dia harus bunuh diri. Roro Rembayung lalu mengajak Joko Umbaran untuk masuk ke dalam kamar, dengan lemah lembut dia meminta keris pemberian Panembahan Senopati tersebut untuk dipegangnya, sekonyong-konyong Roro Rembayung menusukkan keris tersebut tepat ke dada menembus jantungnya sendiri, Joko Umbaranpun histeris menyaksikan peristiwa ini seolah tak percaya dengan apa yang dia lihat. Roro Rembayung terkulai di pelukan Joko Umbaran, sebelum tewas dia berkata dengan lemah bahwa Kayu Purwosari sebenarnya hanya kata kiasan saja, arti dari Purwosari tersebut adalah nama seorang wanita, dan wanita itu adalah Roro Rembayung sendiri yang sebenarnya juga memiliki nama lain yaitu Niken Purwosari, jadi intinya Panembahan Senopati menginginkan kematiannya karena telah ingkar janji. Tak lama kemudian Roro Rembayung ibu Joko Umbaran dan istri Panembahan Senopati serta putri Ki Ageng Giring tersebut wafat di pelukan Joko Umbaran. Setelah menguburkan Jasad ibunya, dengan hati sedih Joko Umbaran pergi ke Mataram kembali untuk menemui Panembahan Senopati sekaligus melaporkan bahwa dia telah berhasil menyelesaikan "tugasnya". Panembahan Senopati akhirnya mengakui bahwa Joko Umbaran adalah anak kandungnya dan Joko Umbaran diberi nama baru oleh ayahnya menjadi Kanjeng Pangeran Purboyo. Pangeran Purboyo setelah mendapatkan pengakuan dari Panembahan Senopati lalu diberi tanah sebagai tempat tinggal di Wilayah Wotgaleh. Pangeran Purboyo pun lalu menempati tanah ini dan membangun Masjid serta makam untuk keturunannya kelak, makam sang ibu di Giring juga dipindah ke tempat ini. Kisah hidup Pangeran Purboyo menurut babad tanah Jawa juga cukup mengagumkan, beliau konon adalah salah satu putra Panembahan Senopati yang paling sakti selain Raden Ronggo (putra Panembahan Senopati dari istri yang bernama Roro Semangkin). Pangeran Purboyo juga sering dipanggil sebagai Panembahan Purboyo, selain sebagai seorang Pangeran beliau juga Panglima Perang Mataram yang tangguh, sering diperintahkan ayahnya untuk memimpin perang menaklukkan wilayah lain untuk dijadikan bawahan Mataram. Konon Panembahan Purboyo memiliki ilmu kebal dan bisa melunakkan besi hanya dengan tangan kosong.