Mini Refarat HIV
Mini Refarat HIV
Mini Refarat HIV
OLEH:
DISUSUN OLEH:
Supervisor Pembimbing
Dr. dr. Risna Halim Mubin, Sp.PD-KPTI
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
Saat ini, di Indonesia telah terjadi peningkatan jumlah ibu dengan risiko
rendah yang terinfeksi HIV dari pasangan seksualnya, demikian pula telah lahir
bayi-bayi HIV positif. Hal ini sesuai dengan laporan dari beberapa rumah sakit dan
Lembaga Swadaya Masyarakat yang menunjukkan bahwa kasus penularan HIV
dari ibu ke bayi jumlahnya semakin memprihatinkan. Hampir seluruh bayi HIV
positif di Indonesia tertular dari ibunya. Dengan penemuan kasus HIV pada ibu
hamil sedini mungkin, maka kita dapat melakukan pencegahan penularan infeksi
HIV dari ibu ke bayi dengan hasil optimal.
Penularan HIV dari ibu ke bayi merupakan akhir dari rantai penularan yang
umumnya didapat dari seorang laki-laki HIV positif. HIV dapat ditularkan dari
wanita yang HIV-positif ke anaknya selama kehamilan, persalinan dan menyusui.
Penularan dari ibu ke anak (MTCT), yang juga dikenal sebagai 'penularan vertikal',
menyumbang sebagian besar infeksi pada anak-anak (0-14 tahun). Tanpa
pengobatan, jika seorang wanita hamil hidup dengan HIV, kemungkinan virus
menular dari ibu ke anak adalah 15% hingga 45%. Namun, pengobatan
antiretroviral (ART) dan intervensi lain dapat mengurangi risiko ini hingga di
bawah 5% .
1
kehamilan, persalinan dan menyusui. Program PMTCT juga mendukung praktik
persalinan yang aman dan pemberian makan bayi yang tepat, serta memberi bayi
yang terpajan HIV dengan tes virologi setelah lahir dan selama masa menyusui,
ART untuk pencegahan dan pengobatan yang efektif.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Human Immunodeficiency Virus adalah virus yang menyerang system
kekebalan tubuh manusia dan kemudian menimbulkan Acquired Immunodeficiency
Syndrome yang disingkatkan menjadi AIDS. Virus ini menyerang organ-organ vital
sistem kekebalan tubuh manusia, seperti sel T4 CD4+ makrofag, dan sel dendritik.
Human Immunodeficiency Virus merusak sel T4 CD4+ secara langsung dan tidak
langsung, di mana sel T4 CD4+ dibutuhkan agar sistem kekebalan tubuh dapat
berfungsi baik.1
Sejak dilaporkan adanya kasus AIDS yang pertama oleh Gottlieb dkk. di
Los Angeles pada tangal 5 Juni 1981, pada bulan Januari 1983 Luc Montagnier dkk.
menemukan virus penyebab penyakit AIDS ini dan disebut dengan LAV
(Lymphadenopathy Virus). Hasil penelitian Gallo, Maret 1984 di Amerika
menyatakan penyebab penyakit ini adalah Human T Lymphotropic Virus Type III,
disingkat dengan HTLV III dan tahun 1984 berdasarkan hasil penemuannya, J.Levy
menamakan AIDS Related Virus (ARV) sebagai penyebab penyakit ini. Pada bulan
Mei 1986 Komisi Taksonomi Internasional menetapkan nama virus penyebab
AIDS adalah Human Immunodeficiency Virus, disingkat dengan HIV.
3
mempunyai 3 gen yang merupakan komponen fungsional dan struktural yaitu gag
(group antigen), pol (polymerase), dan env (envelope).
Infeksi dengan HIV-2 sebagian besar terbatas ke Afrika Barat dan di negara-
negara dengan ikatan social ekonomi yang kuat dengan Afrika Barat seperti
Perancis, Spanyol, Portugal, dan bekas koloni Portugis di Brazil, Angola,
Mozambik, dan beberapa bagian di India. HIV termasuk virus Ribonucleic Acid
(RNA). Strukturnya terdiri dari lapisan luar atau envelop yang terdiri atas
glikoprotein gp120 yang melekat pada glikoprotein gp4. Dibagian dalamnya
terdapat lapisan kedua yang terdiridari protein p17. Setelah itu terdapat inti HIV
yang dibentuk oleh protein p24. Didalam inti terdapat komponen penting berupa
dua buah rantai RNA dan enzim reverse transcriptase. Bagian envelope yang
terdiriatas glikoprotein, ternyata mempunyai peran yang penting pada terjadinya
infeksi oleh karena mempunyai afinitas yang tinggi terhadap reseptor spesifik CD4
dari sel Host. Molekul RNA dikelilingi oleh kapsid berlapis dua dan suatu
membrane selubung yang mengandung protein.2
4
Ada tiga faktor utama untuk menjelaskan faktor risiko penularan HIV dari ibu
ke bayi
Faktor Ibu
Faktor Bayi
1. Faktor Ibu
Faktor yang paling utama mempengaruhi risiko penularan HIV dari ibu
ke bayi adalah kadar HIV (viral load) di darah ibu pada saat menjelang ataupun
saat persalinan dan kadar HIV di air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya.
Umumnya, satu atau dua minggu setelah seseorang terinfeksi HIV, kadar HIV
akan cepat sekali bertambah di tubuh seseorang (Gambar 1). Pada umumnya
kadar HIV tertinggi sebesar 10 juta kopi/ml darah terjadi 3–6 minggu setelah
terinfeksi atau kita sebut sebagai infeksi primer. Setelah beberapa minggu,
biasanya kadar HIV mulai berkurang dan relatif terus rendah selama beberapa
tahun pada periode tanpa gejala, periode ini kita sebut sebagai fase
asimptomatik. Ketika memasuki masa stadium AIDS, dimana tanda-tanda
gejala AIDS mulai muncul, kadar HIV kembali meningkat.
Risiko penularan akan lebih besar jika ibu memiliki kadar HIV (viral
load) yang tinggi pada menjelang ataupun saat persalinan (risiko penularan
sebesar 10-20%). Sedangkan risiko penularan HIV pada saat masa menyusui
sebesar 10-15%. Dengan demikian, berbagai upaya harus dilakukan untuk
mencegah terjadinya penularan HIV pada ibu yang sedang hamil dan
5
menyusui, serta menjaga kondisi kesehatan dan nutrisinya selama masa
menyusui.
Ibu dengan sel CD4 yang rendah mempunyai risiko penularan yang
lebih besar, terlebih jika jumlah sel CD4 kurang dari 350. Semakin rendah
jumlah sel CD4, pada umumnya risiko penularan HIV akan semakin besar.
Sebuah studi menunjukkan bahwa ibu dengan CD4 kurang dari 350 memiliki
risiko untuk menularkan HIV ke bayinya jauh lebih besar dibandingkan ibu
dengan CD4 di atas 500.
Jika ibu memiliki berat badan yang rendah selama kehamilan serta
kekurangan vitamin dan mineral, maka risiko terkena berbagai penyakit infeksi
juga meningkat. Biasanya, jika ibu menderita Infeksi Menular Seksual (IMS)
atau infeksi reproduksi lainnya maka kadar HIV akan meningkat, sehingga
meningkatkan pula risiko penularan HIV ke bayi. Malaria juga bisa
meningkatkan risiko penularan karena parasit malaria merusak plasenta
sehingga memudahkan HIV menembus plasenta untuk menginfeksi bayi.
Selain itu, Malaria juga meningkatkan risiko bayi lahir prematur yang dapat
memperbesar risiko penularan HIV dari ibu ke bayi. Sifilis ditularkan dari ibu
bayi yang dikandungnya, dan dengan adanya sifilis akan meningkatkan risiko
penularan HIV.
2. Faktor Bayi
Bayi yang lahir prematur dan memiliki berat badan lahir rendah diduga
lebih rentan untuk tertular HIV dikarenakan sistem organ tubuh bayi tersebut
belum berkembang baik, seperti sistem kulit dan mukosa. Sebuah studi di
6
Tanzania menunjukkan bahwa bayi yang dilahirkan sebelum 34 minggu
memiliki risiko tertular HIV yang lebih tinggi pada saat persalinan dan masa-
masa awal kelahiran. Seorang bayi dari ibu HIV positif bisa jadi tetap HIV
negatif selama masa kehamilan dan proses persalinan, tetapi mungkin akan
terinfeksi HIV melalui pemberian ASI.
Risiko penularan melalui ASI akan lebih besar pada bayi yang baru
lahir. Antara 50–70% dari semua penularan HIV melalui ASI terjadi pada usia
enam bulan pertama bayi. Setelah tahun kedua umur bayi, risiko penularan
menjadi lebih rendah.
7
sebesar 0,3% per bulan. Dengan demikian, memperpendek masa pemberian
ASI dapat mengurangi risiko bayi terinfeksi HIV.
1 – 6 bulan 4% 4%
7 – 12 bulan 5% 9%
13 – 24 bulan 7% 16%
Luka di Mulut Bayi Bayi yang memiliki luka di mulutnya memiliki risiko
Sebagian besar penularan HIV dari ibu ke bayi terjadi pada saat
persalinan, karena saat persalinan tekanan pada plasenta meningkat yang bisa
menyebabkan terjadinya koneksi antara darah ibu dan darah bayi. Hal ini lebih
sering terjadi jika plasenta meradang atau terinfeksi. Selain itu, saat persalinan
bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir. Kulit dari bayi yang baru lahir
masih sangat lemah dan lebih mudah terinfeksi jika kontak dengan HIV. Bayi
mungkin juga terinfeksi karena menelan darah ataupun lendir ibu. Faktor –
faktor yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke bayi selama
persalinan adalah sebagai berikut :
8
Semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko penularan HIV dari
ibu ke bayi jugasemakin meningkat karena akan semakin lama terjadinya
kontak antara bayi dengan darah dan lendir ibu. Ketuban pecah lebih dari
empat jam sebelum persalinan akan meningkatkan risiko penularan hingga
dua kali lipat dibandingkan jika ketuban pecah kurang dari empat jam
sebelum persalinan.
Faktor lain yang kemungkinan meningkatkan risiko penularan selama
proses persalinan adalah penggunaan elektrode pada kepala janin,
penggunaan vakum atau forseps dan tindakan episiotomi.
2.4 Patogenesis
HIV menyerang sel-sel dengan reseptor CD4+, utamanya limfosit T dan
monosit/makrofag, namun juga menginfeksi sel lainnya, seperti megakariosit,
epidermal Langerhans. dendit perifer, dendrit folikuler, mukosa rektal, mukosa
saluran cerna, sel serviks, mikroglia, astrosit, sel trofoblas, limfosit CD8+, sel
retina dan epitel ginjal.
HIV memiliki struktur gp120 yang akan berikatan dengan reseptor CD4.
Ikatan tersebut diperkuat oleh ikatan dengan koreseptor sel inang, yaitu reseptor
kemokin CCR5 dan reseptor CXCR4. Ikatan dengan koreseptor dibutuhkan
untuk penggabungan virus dengan membran sel agar virus dapat masuk dalam
sel inang. Setelah berikatan dengan kuat, terjadilah fusi membran virus dan
seluruh komponen HIV akan masuk ke dalam sitoplasma sel inang, kecuali
9
selubungnya.
Infeksi HIV dapat terjadi secara vertikal yakni dari ibu ke janinnya.
Transmisinya bisa melalui transplasenta, antepartum, maupun postpartum.
Mekanisme transmisi intra uterin diperkirakan melalui plasenta. Hal ini
dimungkinkan karena adanya limfosit yang terinfeksi dan masuk ke dalam
plasenta. Sel limfosit atau monosit ibu yang terinfeksi HIV atau virus HIV itu
sendiri dapat mencapai janin secara langsung melalui lapisan sinsitiotrofoblas,
atau secara tidak langsung melalui trofoblas dan menginfeksi sel makrofag
10
plasenta (sel Houfbauer) yang mempunyai reseptor CD4. Plasenta diduga juga
mempunyai efek anti HIV-1 dengan mekanisme yang masih belum diketahui.
Salah satu hormon plasenta yaitu human chorionic gonadotropin (hCG) diduga
melindungi janin dari HIV-1 melalui beberapa cara, seperti menghambat
penetrasi virus ke jaringan plasenta, mengkontrol replikasi virus di dalam sel
plasenta, dan menginduksi apoptosis sel-sel yang terinfeksi HIV-1. Transmisi
intrapartum bisa terjadi akibat adanya lesi pada kulit atau mukosa bayi atau
tertelannya darah ibu selama proses kelahiran. Beberapa faktor risiko infeksi
antepartum adalah ketuban pecah dini, lahir per vaginam. Transmisi
postpartum bisa terjadi melalui ASI yakni pada usia bayi menyusui, pola
pemberian ASI, kesehatan payudara ibu, dan adanya lesi pada mulut bayi atau
putting susu ibu. Seorang bayi yang baru lahir akan membawa antibody ibunya,
begitupun kemungkinan positif dan negatifnya bayi tertular HIV adalah
tergantung dari seberapa parah tahapan perkembangan AIDS pada diri sang
ibu.
11
2.5 Diagnosis HIV Pada Ibu Hamil Dan Bayi
Anamnesis
12
memutuskan bahwa ibu adalah resiko tinggi terinfeksi HIV, tes bisa diulang
kembali pada trimester ketiga.[20] Skrining untuk penyakit seksual lainnya,
seperti herpes dan sifilis, juga dianjurkan pada kehamilan.
Transmisi HIV dari ibu dengan HIV positif ke bayi disebut transmisi
vertikal dapat terjadi melalui plasenta pada waktu hamil (intrauterin), waktu
bersalin (intrapartum) dan pasca natal melalui air susu ibu (ASI).[27] Tidak
semua ibu pengidap HIV akan menularkannya kepada bayi yang
dikandungnya. Transmisi vertikal terjadi sekitar 15-40%, sebelum penggunaan
obat antiretrovirus. Perbedaan ini terjadi karena perbedaan insidens pemberian
ASI. Apabila ibu terinfeksi pada saat hamil tua atau pada saat menyusui maka
risiko tersebut meningkat sampai 25%.[27] Antibodi IgG terhadap HIV
diturunkan secara pasif kepada hampir semua bayi yang lahir dari ibu dengan
HIV, kecuali pada bayi yang lahir sangat preterm atau lahir dari ibu dengan
hipogammaglobulinemia. Standar pemeriksaan antibodi IgG yang berasal dari
antibodi maternal dapat dideteksi pada bayi hingga usia 18 bulan. Kemudian
menunggu antibodi tersebut menghilang (serokonversi) merupakan salah satu
cara untuk mengetahui status HIV anak, namun cara tersebut tergolong lambat.
Namun dengan menggunakan teknik dalam mendeteksi proviral HIV DNA
dengan polymerase chain reaction (PCR) atau teknik amplifikasi lainnya,
13
sekitar 93% bayi terinfeksi dapat terdiagnosis pada bulan pertama kehidupan,
dan hampir seluruhnya dapat terdeteksi pada 3 bulan pertama kehidupan.
Pemeriksaan DNA kuantitatif kini telah digunakan secara luas, namun belum
memiliki lisensi untuk tujuan diagnosis karena memiliki beberapa kekurangan,
yaitu hasil positif palsu dan variasi dari kemampuan (performance) nonB clade
viral isolates. Tes ini hanya digunakan untuk memastikan dalam mendeteksi
HIV yang diturunkan dari maternal (tabel 2).
14
Anak <18 bulan dengan uji antibodi HIV positif dan berada dalam kondisi klinis
yang berat dan tes PCR tidak tersedia harus segera mendapat terapi ARV setelah
kondisi klinisnya stabil. Tes antibodi harus diulang pada usia 18 bulan. Anak usia
<18 bulan dengan tes PCR positif dan kondisi klinis yang berat atau tanpa gejala
namun dengan persentase CD4+ <25% harus mendapat ART secepatnya. Tes
antibodi harus dilakukan pada usia 18 bulan. Anak >18 bulan dengan hasil tes
15
antibodi positif dan sedang dalam kondisi klinis yang berat atau CD4 <25%
sebaiknya juga mendapat ART. Untuk menegakkan diagnosis presumtif HIV pada
bayi dan anak <18 bulan dan terdapat tanda/gejala HIV yang berat adalah bila
memenuhi kriteria berikut:
Pemeriksaan virologis, seperti HIV DNA (PCR), saat ini sudah ada di Indonesia
dan dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis HIV pada anak usia di bawah 18
bulan seperti yang ada pada bagan 4 berikut. Pemeriksaan tersebut harus dilakukan
minimal 2 kali dan dapat dimulai ketika bayi berusia 4-6 minggu dan perlu diulang
4 minggu kemudian. Pemeriksaan HIV DNA (PCR) adalah pemeriksaan yang dapat
menemukan virus atau partikel virus dalam tubuh bayi dan saat ini sedang
dikembangkan di Indonesia untuk diagnosis dini HIV pada bayi (early infant
diagnosis, EID
16
17
Stadium I Stadium II Stadium III Stadium IV
18
kronis (< 50x10 /L) • Mikosis
tanpa sebab jelas. endemik
diseminata.
• kandidiasis
esofagus,
trakea, atau
bronkus.
• Mikobakteriosi
s atipik,
diseminata,
atau paru.
19
2.5 Tatalaksana HIV
2. Semua pasien dengan CD4 < 350 sel/ml, apapun stadium klinisnya
3. Semua pasien dibawah ini apapun stadium klinisnya dan berapapun jumlah CD4
7. ODHA yang memiliki pasangan dengan status HIV negatif (sero discordant)
9. Pasien HIV (+) yang tinggal pada daerah epidemi meluas seperti Papua dan Papua
Barat
Sakit berat atau stadium 4 kecuali kandidiasis esofagus dan ulkus herpes
simpleks
20
Obat ARV lini pertama yang tersedia di Indonesia
TDF+FTC 300mg/200mg
TDF+3TC+EFV 300mg/150mg/600mg
Rejimen yang digunakan di tingkat FKTP adalah rejimen lini pertama dengan
pilihan
Combination (FDC) untuk rejimen TDF + 3TC (atau FTC) + EFV. Sediaan KDT
ini merupakan obat pilihan utama, diberikan sekali sehari sebelum tidur. Obat ARV
harus diminum seumur hidup dengan tingkat kepatuhan yang tinggi (>95%)
21
sehingga petugas kesehatan perlu untuk membantu pasien agar dapat patuh minum
obat, kalau perlu melibatkan keluarga atau pasien lama. Kepatuhan pasien dalam
meminum obat dapat dipengaruhi oleh banyak hal seperti prosedur di layanan,
jarak, keuangan, sikap petugas dan efek samping. Oleh karena itu perlu dicari
seperti konseling dan motivasi terus menerus. Ketidak patuhan kepada obat lain
minum ARV. Cara pemberian terapi ARV (4S - start, substitute, switch dan stop)
ibu hamil HIV harus mendapatkan terapi ARV. Kehamilan dengan HIV merupakan
indikasi pemberian ARV dan diberikan langsung seumur hidup tanpa terputus.
Pemberian ARV pada bumil tidak ada bedanya dengan pasien lainnya. Setiap ibu
Asupan gizi
pertama dengan menyampaikan pilihan yang ada , yaitu ASI eksklusif atau
susu formula eksklusif. Pilihan yang diambil haruslah ASI saja atau susu
22
formula saja (bukan mixed feeding). Tidak dianjurkan untuk mencampur
23
diberikan seumur hidup. Persalinan pada ibu dengan HIV dapat dilakukan
secara pervaginam dan pemberian ASI eksklusif dengan mengikuti syarat-
syarat tertentu. Semua ibu hamil dengan HIV diberi konseling dan pelayanan
KB postpartum. Semua metoda kontrasepsi dapat digunakan oleh perempuan
dengan HIV, kecuali kontrasepsi hormonal tertentu yang mengurangi
efektivitas ARV. Untuk pencegahan penularan infeksi HIV tetap dianjurkan
penggunaan kondom pada setiap hubungan seksual.
A (Abstinence): artinya Absen seks atau tidak melakukan hubungan seks bagi
yang belum menikah.
24
B (Be faithful): artinya Bersikap saling setia kepada satu pasangan seks (tidak
berganti-ganti pasangan).
Kegiatan yang dapat dilakukan untuk pencegahan primer antara lain sebagai
berikut.
1. KIE tentang HIV-AIDS dan kesehatan reproduksi, baik secara individu atau
kelompok dengan sasaran khusus perempuan usia reproduksi dan pasangannya.
25
dan pasangannya perlu memanfaatkan layanan yang menyediakan informasi
dan sarana kontrasepsi guna mencegah kehamilan yang tidak direncanakan.
3. Menyediakan alat dan obat kontrasepsi yang sesuai untuk perempuan dengan
HIV.
Pada ibu hamil dengan HIV yang tidak mendapatkan upaya pencegahan
penularan kepada janin atau bayinya, maka risiko penularan berkisar antara 20-
50%. Bila dilakukan upaya pencegahan, maka risiko penularan dapat
diturunkan menjadi kurang dari 2%. Dengan pengobatan ARV yang teratur dan
perawatan yang baik, ibu hamil dengan HIV dapat melahirkan anak yang
terbebas dari HIV melalui persalinan pervaginam dan menyusui bayinya. Pada
ibu hamil dengan sifilis, pemberian terapi yang adekuat untuk sifilis pada ibu
dapat mencegah terjadinya sifilis kongenital pada bayinya. Pencegahan
penularan HIV pada ibu hamil yang terinfeksi HIV ke janin/bayi yang
dikandungnya mencakup langkah-langkah sebagai berikut.
5. Konseling menyusui dan pemberian makanan bagi bayi dan anak, serta KB.
26
6. Konseling pemberian profilaksis ARV dan kotrimoksazol pada anak.
27
BAB III
PENUTUP
Penularan HIV dari ibu ke bayi merupakan akhir dari rantai penularan yang
umumnya didapat dari seorang laki-laki HIV positif. HIV dapat ditularkan dari
wanita yang HIV-positif ke anaknya selama kehamilan, persalinan dan menyusui.
Penularan dari ibu ke anak (MTCT), yang juga dikenal sebagai 'penularan vertikal',
menyumbang sebagian besar infeksi pada anak-anak (0-14 tahun). Tanpa
pengobatan, jika seorang wanita hamil hidup dengan HIV, kemungkinan virus
menular dari ibu ke anak adalah 15% hingga 45%. Namun, pengobatan
antiretroviral (ART) dan intervensi lain dapat mengurangi risiko ini hingga di
bawah 5% .
28
DAFTAR PUSTAKA
29
13. Departemen Kesehatan RI. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia.
2014.Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan;
14. McFarland, Elizabeth J.. Human Immunodeficiency Virus (HIV) Infection
in: Current Pediatric Diagnosis & Treatment.16th edition. McGraw&Hill
Company. Singapore. 2003
15. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional
Terapi Antiretroviral. “Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang
Dewasa dan Remaja” edisi ke-2. 2007.
30