Mini Refarat HIV

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 32

PMTCT HIV

(PREVENTION MOTHER TO CHILD TRANSMISSION)

OLEH:

DISUSUN OLEH:

Ummu Aiman C014182022


Dewi Rifkah C014182131
Susan Melinda Gosal C014182090
Vira Indira C014182082
Rita Ariani C014182165

Supervisor Pembimbing
Dr. dr. Risna Halim Mubin, Sp.PD-KPTI

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM SUBDIVISI INFEKSI TROPIS
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii


BAB I PENDAHULUAN ...................................... Error! Bookmark not defined.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................ Error! Bookmark not defined.
2.1 Definisi .................................................... Error! Bookmark not defined.
2.2 Etiologi .................................................... Error! Bookmark not defined.
2.3 Patomekanisme ........................................ Error! Bookmark not defined.
2.4 Diagnosis ................................................. Error! Bookmark not defined.
2.5 Penatalaksanaan ....................................... Error! Bookmark not defined.
2.6 Pencegahan dan Edukasi ......................... Error! Bookmark not defined.
BAB III PENUTUP ............................................... Error! Bookmark not defined.
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 299

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

Human Immunodeficiency Virus (HIV) dapat ditularkan melalui berbagai


cara. Di Indonesia, penularan HIV terutama terjadi melalui hubungan seks tidak
aman dan melalui Napza suntik. HIV juga dapat ditularkan dari ibu HIV positif
kepada bayinya atau yang populer dalam istilah bahasa Inggris “Mother to Child
HIV Transmission (MTCT)”.

Saat ini, di Indonesia telah terjadi peningkatan jumlah ibu dengan risiko
rendah yang terinfeksi HIV dari pasangan seksualnya, demikian pula telah lahir
bayi-bayi HIV positif. Hal ini sesuai dengan laporan dari beberapa rumah sakit dan
Lembaga Swadaya Masyarakat yang menunjukkan bahwa kasus penularan HIV
dari ibu ke bayi jumlahnya semakin memprihatinkan. Hampir seluruh bayi HIV
positif di Indonesia tertular dari ibunya. Dengan penemuan kasus HIV pada ibu
hamil sedini mungkin, maka kita dapat melakukan pencegahan penularan infeksi
HIV dari ibu ke bayi dengan hasil optimal.

Penularan HIV dari ibu ke bayi merupakan akhir dari rantai penularan yang
umumnya didapat dari seorang laki-laki HIV positif. HIV dapat ditularkan dari
wanita yang HIV-positif ke anaknya selama kehamilan, persalinan dan menyusui.
Penularan dari ibu ke anak (MTCT), yang juga dikenal sebagai 'penularan vertikal',
menyumbang sebagian besar infeksi pada anak-anak (0-14 tahun). Tanpa
pengobatan, jika seorang wanita hamil hidup dengan HIV, kemungkinan virus
menular dari ibu ke anak adalah 15% hingga 45%. Namun, pengobatan
antiretroviral (ART) dan intervensi lain dapat mengurangi risiko ini hingga di
bawah 5% .

Program-program PMTCT menyediakan berbagai layanan bagi perempuan


dan bayi. Ini termasuk mencegah infeksi HIV di antara wanita usia reproduksi (15-
49 tahun), mencegah kehamilan yang tidak diinginkan di antara wanita yang hidup
dengan HIV, dan memberi wanita yang hidup dengan HIV dengan ART seumur
hidup untuk menjaga kesehatan mereka dan mencegah penularan selama

1
kehamilan, persalinan dan menyusui. Program PMTCT juga mendukung praktik
persalinan yang aman dan pemberian makan bayi yang tepat, serta memberi bayi
yang terpajan HIV dengan tes virologi setelah lahir dan selama masa menyusui,
ART untuk pencegahan dan pengobatan yang efektif.

2
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Human Immunodeficiency Virus adalah virus yang menyerang system
kekebalan tubuh manusia dan kemudian menimbulkan Acquired Immunodeficiency
Syndrome yang disingkatkan menjadi AIDS. Virus ini menyerang organ-organ vital
sistem kekebalan tubuh manusia, seperti sel T4 CD4+ makrofag, dan sel dendritik.
Human Immunodeficiency Virus merusak sel T4 CD4+ secara langsung dan tidak
langsung, di mana sel T4 CD4+ dibutuhkan agar sistem kekebalan tubuh dapat
berfungsi baik.1

Sejak dilaporkan adanya kasus AIDS yang pertama oleh Gottlieb dkk. di
Los Angeles pada tangal 5 Juni 1981, pada bulan Januari 1983 Luc Montagnier dkk.
menemukan virus penyebab penyakit AIDS ini dan disebut dengan LAV
(Lymphadenopathy Virus). Hasil penelitian Gallo, Maret 1984 di Amerika
menyatakan penyebab penyakit ini adalah Human T Lymphotropic Virus Type III,
disingkat dengan HTLV III dan tahun 1984 berdasarkan hasil penemuannya, J.Levy
menamakan AIDS Related Virus (ARV) sebagai penyebab penyakit ini. Pada bulan
Mei 1986 Komisi Taksonomi Internasional menetapkan nama virus penyebab
AIDS adalah Human Immunodeficiency Virus, disingkat dengan HIV.

Human Immunodeficiency Virus adalah virus RNA yang termasuk dalam


famili Retroviridae subfamili Lentivirinae. Retrovirus mempunyai kemampuan
menggunakan RNA-nya dan DNA pejamu untuk membentuk virus DNA dan
dikenali selama periode inkubasi yang panjang. Satu kali terinfeksi oleh retrovirus,
maka infeksi ini akan bersifat permanen, seumur hidup.6

Human Immunodeficiency Virus merupakan retrovirus yang terdiri dari


sampul dan inti. Virus HIV terdiri dari 2 sub-tipe, yaitu HIV-1 dan HIV-2. HIV-1
bermutasi lebih cepat karena replikasi nya lebih cepat. Secara struktural
morfologinya, bentuk HIV terdiri atas sebuah silinder yang dikelilingi pembungkus
lemak yang melingkar. Pada pusat lingkaran terdapat untaian RNA. HIV

3
mempunyai 3 gen yang merupakan komponen fungsional dan struktural yaitu gag
(group antigen), pol (polymerase), dan env (envelope).

2.2 Etiologi HIV

Etiologi penyakit HIV disebabkan oleh human immunodeficiency


virus dengan host mayoritas pada manusia. HIV adalah retrovirus. Saat ini
diyakini bahwa HIV-1 dan HIV-2 berasal dari primata dan berpindah spesies
kemanusia di Afrika Tengah dan Afika Barat. Terdapat 4 grup dari HIV-1 yaitu M
(major), N, O, P. Grup M adalah penyebab utama pandemi HIV global dan terdiri
dari sembilan subtipe virus: A-D, F-H, J, dan K. Subtipe B adalah subtipe dominan
yang ditemukan di Amerika, Eropa Barat, dan Australia. Sedangkan subtipe C
adalah jenis utama yang ditemukan di Afrika dan India. HIV-2 menyebabkan
penyakit yang serupa dengan HIV-1, tetapi defisiensi imun berkembang lebih
lambat, dan cenderung dikaitkan dengan viral load yang lebih rendah pada sebagian
1
besar individu.

Infeksi dengan HIV-2 sebagian besar terbatas ke Afrika Barat dan di negara-
negara dengan ikatan social ekonomi yang kuat dengan Afrika Barat seperti
Perancis, Spanyol, Portugal, dan bekas koloni Portugis di Brazil, Angola,
Mozambik, dan beberapa bagian di India. HIV termasuk virus Ribonucleic Acid
(RNA). Strukturnya terdiri dari lapisan luar atau envelop yang terdiri atas
glikoprotein gp120 yang melekat pada glikoprotein gp4. Dibagian dalamnya
terdapat lapisan kedua yang terdiridari protein p17. Setelah itu terdapat inti HIV
yang dibentuk oleh protein p24. Didalam inti terdapat komponen penting berupa
dua buah rantai RNA dan enzim reverse transcriptase. Bagian envelope yang
terdiriatas glikoprotein, ternyata mempunyai peran yang penting pada terjadinya
infeksi oleh karena mempunyai afinitas yang tinggi terhadap reseptor spesifik CD4
dari sel Host. Molekul RNA dikelilingi oleh kapsid berlapis dua dan suatu
membrane selubung yang mengandung protein.2

2.3 Faktor Risiko Penularan HIV dari Ibu ke Bayi

4
Ada tiga faktor utama untuk menjelaskan faktor risiko penularan HIV dari ibu
ke bayi

 Faktor Ibu


 Faktor Bayi


 Faktor Tindakan Obstetrik

1. Faktor Ibu

Faktor yang paling utama mempengaruhi risiko penularan HIV dari ibu
ke bayi adalah kadar HIV (viral load) di darah ibu pada saat menjelang ataupun
saat persalinan dan kadar HIV di air susu ibu ketika ibu menyusui bayinya.
Umumnya, satu atau dua minggu setelah seseorang terinfeksi HIV, kadar HIV
akan cepat sekali bertambah di tubuh seseorang (Gambar 1). Pada umumnya
kadar HIV tertinggi sebesar 10 juta kopi/ml darah terjadi 3–6 minggu setelah
terinfeksi atau kita sebut sebagai infeksi primer. Setelah beberapa minggu,
biasanya kadar HIV mulai berkurang dan relatif terus rendah selama beberapa
tahun pada periode tanpa gejala, periode ini kita sebut sebagai fase
asimptomatik. Ketika memasuki masa stadium AIDS, dimana tanda-tanda
gejala AIDS mulai muncul, kadar HIV kembali meningkat.

Cukup banyak Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) yang kadar HIV-nya


sangat rendah sehingga menjadi sulit untuk dideteksi di dalam darah (kurang
dari 50 kopi RNA/ml). Umumnya, kondisi ini terjadi pada ODHA yang telah
minum obat antiretroviral secara teratur dengan benar. Risiko penularan HIV
sangat kecil jika kadar HIV rendah (kurang dari 1.000 kopi RNA/ml),
sementara jika kadar HIV di atas 100.000 kopi RNA/ml, risiko penularan HIV
dari ibu ke bayi menjadi tinggi.

Risiko penularan akan lebih besar jika ibu memiliki kadar HIV (viral
load) yang tinggi pada menjelang ataupun saat persalinan (risiko penularan
sebesar 10-20%). Sedangkan risiko penularan HIV pada saat masa menyusui
sebesar 10-15%. Dengan demikian, berbagai upaya harus dilakukan untuk
mencegah terjadinya penularan HIV pada ibu yang sedang hamil dan

5
menyusui, serta menjaga kondisi kesehatan dan nutrisinya selama masa
menyusui.

Ibu dengan sel CD4 yang rendah mempunyai risiko penularan yang
lebih besar, terlebih jika jumlah sel CD4 kurang dari 350. Semakin rendah
jumlah sel CD4, pada umumnya risiko penularan HIV akan semakin besar.
Sebuah studi menunjukkan bahwa ibu dengan CD4 kurang dari 350 memiliki
risiko untuk menularkan HIV ke bayinya jauh lebih besar dibandingkan ibu
dengan CD4 di atas 500.

Jika ibu memiliki berat badan yang rendah selama kehamilan serta
kekurangan vitamin dan mineral, maka risiko terkena berbagai penyakit infeksi
juga meningkat. Biasanya, jika ibu menderita Infeksi Menular Seksual (IMS)
atau infeksi reproduksi lainnya maka kadar HIV akan meningkat, sehingga
meningkatkan pula risiko penularan HIV ke bayi. Malaria juga bisa
meningkatkan risiko penularan karena parasit malaria merusak plasenta
sehingga memudahkan HIV menembus plasenta untuk menginfeksi bayi.
Selain itu, Malaria juga meningkatkan risiko bayi lahir prematur yang dapat
memperbesar risiko penularan HIV dari ibu ke bayi. Sifilis ditularkan dari ibu
bayi yang dikandungnya, dan dengan adanya sifilis akan meningkatkan risiko
penularan HIV.

Risiko penularan HIV melalui pemberian ASI akan bertambah jika


terdapat adanya masalah pada payudara ibu, seperti mastitis, abses dan luka di
puting payudara. Sebagian besar masalah payudara dapat dicegah dengan
teknik menyusui yang baik. Konseling kepada ibu tentang cara menyusui yang
baik sangat dibutuhkan dengan demikian dapat mengurangi risiko masalah –
masalah payudara dan risiko penularan HIV.

2. Faktor Bayi

Bayi yang lahir prematur dan memiliki berat badan lahir rendah diduga
lebih rentan untuk tertular HIV dikarenakan sistem organ tubuh bayi tersebut
belum berkembang baik, seperti sistem kulit dan mukosa. Sebuah studi di

6
Tanzania menunjukkan bahwa bayi yang dilahirkan sebelum 34 minggu
memiliki risiko tertular HIV yang lebih tinggi pada saat persalinan dan masa-
masa awal kelahiran. Seorang bayi dari ibu HIV positif bisa jadi tetap HIV
negatif selama masa kehamilan dan proses persalinan, tetapi mungkin akan
terinfeksi HIV melalui pemberian ASI.

Bayi yang diberikan ASI eksklusif kemungkinan memiliki risiko


terinfeksi HIV lebih rendah dibandingkan bayi yang mengkonsumsi makanan
campuran (mixed feeding), yaitu tak hanya ASI tetapi juga susu formula dan
makanan padat lainnya. Penelitian di Afrika Selatan menunjukkan bahwa bayi
dari ibu HIV positif yang diberi ASI eksklusif selama tiga bulan memiliki
risiko tertular HIV lebih rendah (14,6%) dibandingkan bayi yang mendapatkan
makanan campuran, yaitu susu formula dan ASI (24,1%). Hal ini diperkirakan
karena air dan makanan yang kurang bersih (terkontaminasi) akan merusak
usus bayi yang mendapatkan makanan campuran, sehingga HIV dari ASI bisa
masuk ke tubuh bayi.

HIV terdapat di dalam ASI, meskipun konsentrasinya jauh lebih kecil


dibandingkan dengan HIV di dalam darah. Antara 10%–15% bayi yang
dilahirkan oleh ibu HIV positif akan terinfeksi HIV melalui pemberian ASI.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa faktor yang
mempengaruhi tingkat risiko penularan HIV melalui pemberian ASI,

yaitu:
 Umur Bayi

Risiko penularan melalui ASI akan lebih besar pada bayi yang baru
lahir. Antara 50–70% dari semua penularan HIV melalui ASI terjadi pada usia
enam bulan pertama bayi. Setelah tahun kedua umur bayi, risiko penularan
menjadi lebih rendah.

Semakin lama pemberian ASI, akan semakin besar kumulatif risiko


penularan HIV dari ibu ke bayi. Pada usia 5 bulan pertama pemberian ASI
diperkirakan risiko penularan sebesar 0,7% per bulan. Antara 6–12 bulan,
risiko sebesar 0,5% per bulan dan antara 13–24 bulan, risiko bertambah lagi

7
sebesar 0,3% per bulan. Dengan demikian, memperpendek masa pemberian
ASI dapat mengurangi risiko bayi terinfeksi HIV.

Tabel 1. Resiko Penularan Melalui Pemberian ASI

Lama Pemberian Total Resiko


Resiko Penularan
ASI Penularan

1 – 6 bulan 4% 4%

7 – 12 bulan 5% 9%

13 – 24 bulan 7% 16%

Luka di Mulut Bayi
 Bayi yang memiliki luka di mulutnya memiliki risiko

untuk tertular HIV lebih besar ketika diberikan ASI.

3. Faktor Tindakan Obstetrik

Sebagian besar penularan HIV dari ibu ke bayi terjadi pada saat
persalinan, karena saat persalinan tekanan pada plasenta meningkat yang bisa
menyebabkan terjadinya koneksi antara darah ibu dan darah bayi. Hal ini lebih
sering terjadi jika plasenta meradang atau terinfeksi. Selain itu, saat persalinan
bayi terpapar darah dan lendir ibu di jalan lahir. Kulit dari bayi yang baru lahir
masih sangat lemah dan lebih mudah terinfeksi jika kontak dengan HIV. Bayi
mungkin juga terinfeksi karena menelan darah ataupun lendir ibu. Faktor –
faktor yang dapat meningkatkan risiko penularan HIV dari ibu ke bayi selama
persalinan adalah sebagai berikut :

 Jenis persalinan (per vaginam atau per abdominal/SC). 


8
 Semakin lama proses persalinan berlangsung, risiko penularan HIV dari
ibu ke bayi jugasemakin meningkat karena akan semakin lama terjadinya
kontak antara bayi dengan darah dan lendir ibu. Ketuban pecah lebih dari
empat jam sebelum persalinan akan meningkatkan risiko penularan hingga

dua kali lipat dibandingkan jika ketuban 
 pecah kurang dari empat jam

sebelum persalinan.
 Faktor lain yang kemungkinan meningkatkan risiko penularan selama
proses persalinan adalah penggunaan elektrode pada kepala janin,
penggunaan vakum atau forseps dan tindakan episiotomi.
2.4 Patogenesis
HIV menyerang sel-sel dengan reseptor CD4+, utamanya limfosit T dan
monosit/makrofag, namun juga menginfeksi sel lainnya, seperti megakariosit,
epidermal Langerhans. dendit perifer, dendrit folikuler, mukosa rektal, mukosa
saluran cerna, sel serviks, mikroglia, astrosit, sel trofoblas, limfosit CD8+, sel
retina dan epitel ginjal.
HIV memiliki struktur gp120 yang akan berikatan dengan reseptor CD4.
Ikatan tersebut diperkuat oleh ikatan dengan koreseptor sel inang, yaitu reseptor
kemokin CCR5 dan reseptor CXCR4. Ikatan dengan koreseptor dibutuhkan
untuk penggabungan virus dengan membran sel agar virus dapat masuk dalam
sel inang. Setelah berikatan dengan kuat, terjadilah fusi membran virus dan
seluruh komponen HIV akan masuk ke dalam sitoplasma sel inang, kecuali

9
selubungnya.

Di dalam sel inang ssRNA virus akan mengalami proses transkripsi


dengan perantara enzim reverse transcriptase hingga terbentuk seuntal cDNA.
Setelah itu DNA yang terbentuk akan pindah dari sitoplasma ke dalam ini sel
inang dan menyisip ke dalam DNA sel inang dengan bantuan enzim integrase
yang disebut juga sebagai provirus. Provirus tinggal ddalam keadaan laten atau
replikasi yang sangat lambat, tergantung aktifitas dan diferensiasi sel inang
yang terinfeksi.
Provirus yang terintegrasi dalam DNA sel target akan ikut proses
transkripsi sel inang. Hasil transkripsi memiliki dua peran, yaitu sebagai RNA
genom dan protein-protein virus tersbut akan menjadi virus HIV yang baru.

Infeksi HIV dapat terjadi secara vertikal yakni dari ibu ke janinnya.
Transmisinya bisa melalui transplasenta, antepartum, maupun postpartum.
Mekanisme transmisi intra uterin diperkirakan melalui plasenta. Hal ini
dimungkinkan karena adanya limfosit yang terinfeksi dan masuk ke dalam
plasenta. Sel limfosit atau monosit ibu yang terinfeksi HIV atau virus HIV itu
sendiri dapat mencapai janin secara langsung melalui lapisan sinsitiotrofoblas,
atau secara tidak langsung melalui trofoblas dan menginfeksi sel makrofag

10
plasenta (sel Houfbauer) yang mempunyai reseptor CD4. Plasenta diduga juga
mempunyai efek anti HIV-1 dengan mekanisme yang masih belum diketahui.
Salah satu hormon plasenta yaitu human chorionic gonadotropin (hCG) diduga
melindungi janin dari HIV-1 melalui beberapa cara, seperti menghambat
penetrasi virus ke jaringan plasenta, mengkontrol replikasi virus di dalam sel
plasenta, dan menginduksi apoptosis sel-sel yang terinfeksi HIV-1. Transmisi
intrapartum bisa terjadi akibat adanya lesi pada kulit atau mukosa bayi atau
tertelannya darah ibu selama proses kelahiran. Beberapa faktor risiko infeksi
antepartum adalah ketuban pecah dini, lahir per vaginam. Transmisi
postpartum bisa terjadi melalui ASI yakni pada usia bayi menyusui, pola
pemberian ASI, kesehatan payudara ibu, dan adanya lesi pada mulut bayi atau
putting susu ibu. Seorang bayi yang baru lahir akan membawa antibody ibunya,
begitupun kemungkinan positif dan negatifnya bayi tertular HIV adalah
tergantung dari seberapa parah tahapan perkembangan AIDS pada diri sang
ibu.

11
2.5 Diagnosis HIV Pada Ibu Hamil Dan Bayi

Anamnesis

Dengan menggali faktor resiko sebagai berikut :

 Penjajal seks laki-laki atau perempuan


 Pengguna napza suntik
 Laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama laki-laki (LSL) dan
transgender
 Pernah berhubungan seks tanpa pelindung dengan penjaja seks
komersial
 Pernah atau sedang mengidap penyakit infeksi menular seksual (IMS)
 Pernah mendapatkan transfusi darah atau resipient produk darah
 Suntikan, tato, tindik, dengan menggunakan alat non steril

Diagnosis infeksi HIV dapat dikonfirmasi melalui kultur virus langsung


dari limfosit dan monosit darah tepi. Diagnosis juga dapat ditentukan oleh
deteksi antigen virus dengan polymerase chain reaction (PCR). Terlihat
penurunan jumlah CD4, rasio CD4 dan CD8 terbalik dan level serum
imunoglobulin meningkat pada HIV positif. Enzyme-linked immunosorbent
assay merupakan tes skrining HIV yang paling sering digunakan unruk
mengidentifikasi antibodi spesifik virus, baik HIV tipe 1 maupun HIV tipe 2.

Tes ini harus dikonfirmasi dengan Western blot assay atau


immunoflourescent antibody assay (IFA), untuk mendeteksi antigen spesifik
virus yaitu p24, gp120/160 dan gp41.[21] American Congress of Obstetrics and
Gynecology (ACOG) merekomendasikan wanita berumur 19-64 tahun untuk
melakukan skrining HIV secara rutin, khususnya wanita yang beresiko tinggi
diluar umur tersebut.[20]

Pada kunjungan prenatal pertama, ibu hamil harus melakukan skrining


untuk infeksi HIV. Apabila ibu menolak untuk melakukan tes, hal tersebut
harus dicantumkan ke dalam rekam medisnya dan skrining bisa dilakukan lagi
sebelum umur kehamilan 28 minggu. Apabila hasil tes negatif tetapi dokter

12
memutuskan bahwa ibu adalah resiko tinggi terinfeksi HIV, tes bisa diulang
kembali pada trimester ketiga.[20] Skrining untuk penyakit seksual lainnya,
seperti herpes dan sifilis, juga dianjurkan pada kehamilan.

Selama kehamilan, status viral load (HIV RNA-PCR) harus diperiksa


setiap bulan sampai virus tidak terdeteksi, dan dilanjutkan 3 bulan sekali
setelahnya. Pengobatan yang tepat dapat menurunkan viral load sebanyak 1
sampai 2 log dalam bulan pertama dan menghilang setelah 6 bulan pengobatan.
Evaluasi jumlah CD4 juga sangat diperlukan untuk mengetahui derajat
imunodefisiensi, perencanaan terapi ARV, terapi antibiotik profilaksis dan
metode persalinan yang akan dilakukan.[26] Ibu dengan HIV positif
mengalami penurunan kesuburan. Penelitian di Uganda dan beberapa negara
maju menunjukkan bahwa infeksi HIV pada perempuan menurunkan
fertilitas.[20] Namun karena kelompok umur yang terinfeksi HIV sebagian
besar adalah usia subur maka kehamilan pada wanita HIV positif merupakan
masalah nyata.

Transmisi HIV dari ibu dengan HIV positif ke bayi disebut transmisi
vertikal dapat terjadi melalui plasenta pada waktu hamil (intrauterin), waktu
bersalin (intrapartum) dan pasca natal melalui air susu ibu (ASI).[27] Tidak
semua ibu pengidap HIV akan menularkannya kepada bayi yang
dikandungnya. Transmisi vertikal terjadi sekitar 15-40%, sebelum penggunaan
obat antiretrovirus. Perbedaan ini terjadi karena perbedaan insidens pemberian
ASI. Apabila ibu terinfeksi pada saat hamil tua atau pada saat menyusui maka
risiko tersebut meningkat sampai 25%.[27] Antibodi IgG terhadap HIV
diturunkan secara pasif kepada hampir semua bayi yang lahir dari ibu dengan
HIV, kecuali pada bayi yang lahir sangat preterm atau lahir dari ibu dengan
hipogammaglobulinemia. Standar pemeriksaan antibodi IgG yang berasal dari
antibodi maternal dapat dideteksi pada bayi hingga usia 18 bulan. Kemudian
menunggu antibodi tersebut menghilang (serokonversi) merupakan salah satu
cara untuk mengetahui status HIV anak, namun cara tersebut tergolong lambat.
Namun dengan menggunakan teknik dalam mendeteksi proviral HIV DNA
dengan polymerase chain reaction (PCR) atau teknik amplifikasi lainnya,

13
sekitar 93% bayi terinfeksi dapat terdiagnosis pada bulan pertama kehidupan,
dan hampir seluruhnya dapat terdeteksi pada 3 bulan pertama kehidupan.
Pemeriksaan DNA kuantitatif kini telah digunakan secara luas, namun belum
memiliki lisensi untuk tujuan diagnosis karena memiliki beberapa kekurangan,
yaitu hasil positif palsu dan variasi dari kemampuan (performance) nonB clade
viral isolates. Tes ini hanya digunakan untuk memastikan dalam mendeteksi
HIV yang diturunkan dari maternal (tabel 2).

Semua anak yang diduga tidak terinfeksi hendaknya tetap dimonitoring


hingga terjadi serokonversi. Follow up jangka panjang ini untuk memastikan
perkembangan anak normal hingga 4-5 tahun dan follow up ini disarankan
untuk anak-anak yang memperoleh ART perinatal. [18] Berikut adalah bagan
mengenai alur diagnosis HIV pada bayi dan anak yang digunakan di Indonesia.

14
Anak <18 bulan dengan uji antibodi HIV positif dan berada dalam kondisi klinis
yang berat dan tes PCR tidak tersedia harus segera mendapat terapi ARV setelah
kondisi klinisnya stabil. Tes antibodi harus diulang pada usia 18 bulan. Anak usia
<18 bulan dengan tes PCR positif dan kondisi klinis yang berat atau tanpa gejala
namun dengan persentase CD4+ <25% harus mendapat ART secepatnya. Tes
antibodi harus dilakukan pada usia 18 bulan. Anak >18 bulan dengan hasil tes

15
antibodi positif dan sedang dalam kondisi klinis yang berat atau CD4 <25%
sebaiknya juga mendapat ART. Untuk menegakkan diagnosis presumtif HIV pada
bayi dan anak <18 bulan dan terdapat tanda/gejala HIV yang berat adalah bila
memenuhi kriteria berikut:

Pemeriksaan virologis, seperti HIV DNA (PCR), saat ini sudah ada di Indonesia
dan dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis HIV pada anak usia di bawah 18
bulan seperti yang ada pada bagan 4 berikut. Pemeriksaan tersebut harus dilakukan
minimal 2 kali dan dapat dimulai ketika bayi berusia 4-6 minggu dan perlu diulang
4 minggu kemudian. Pemeriksaan HIV DNA (PCR) adalah pemeriksaan yang dapat
menemukan virus atau partikel virus dalam tubuh bayi dan saat ini sedang
dikembangkan di Indonesia untuk diagnosis dini HIV pada bayi (early infant
diagnosis, EID

16
17
Stadium I Stadium II Stadium III Stadium IV

 Asimpto • penurunan berat • Penurunan berat • HIV wasting


matis badan < 10% badan > 10% tanpa syndrome
sebab jelas.
 • manifestasi • Pneumonia
Limfade mukokutaneus • Diare akibat
nopati minor: tanpa Pneumocystis
generali dermatitis sebab carinii.
sata seboroik, jelas > 1
prurigo, bulan. • Pneumonia
onikomikosis, bakterial berat
ulkus oral • Demam rekuren.
rekurens, kelitis berkepanjangan
(suhu>36,7˚C • Toksoplasmosis
angularis, erupsi serebral.
papular intermitten/konstan)
pruritik. > 1 bulan. • Kriptosporodio
• kandidiasis oral sis dengan
• infeksi herpes diare > 1
zoster dalam 5 persisten.
bulan.
tahun terakhir. • Oral hairy
leukoplakia. • Sitomegaloviru
• infeksi saluran s
napas atas • tuberkulosis paru. (cytomegaloviru
berulang: s, CMV) pada
sinusitis, • infeksi bakteri berat: organ selain
tonsilitis, pneumonia, hati, limpa,
faringitis, otitis piomiositis, atau kelenjar
media. empiema,infeksi getah bening.
tulang/sendi,
meningitis, • infeksi herpes
bakteremia. simpleks
mukokutan (>
• stomatitis/gingivitis/p 1 bulan) atau
eriodontitis ulseratif viseral.
nekrotik akut.
• Leukoensefalop
• Anemia (Hb < 8 ati multifokal
g/dL) tanpa sebab progresif.
jelas, neutropenia (
<0,5x10 /L) tanpa
sebab jelas, atau
trombositopenia

18
kronis (< 50x10 /L) • Mikosis
tanpa sebab jelas. endemik
diseminata.

• kandidiasis
esofagus,
trakea, atau
bronkus.

• Mikobakteriosi
s atipik,
diseminata,
atau paru.

19
2.5 Tatalaksana HIV

Indikasi untuk memulai terapi ARV

1. Semua pasien dengan stadium 3 dan 4, berapapun jumlah CD4 atau

2. Semua pasien dengan CD4 < 350 sel/ml, apapun stadium klinisnya

3. Semua pasien dibawah ini apapun stadium klinisnya dan berapapun jumlah CD4

4. Semua pasien ko-infeksi TB

5. Semua pasien ko-infeksi HBV

6. Semua ibu hamil

7. ODHA yang memiliki pasangan dengan status HIV negatif (sero discordant)

8. Populasi kunci (penasun, waria, LSL,WPS)

9. Pasien HIV (+) yang tinggal pada daerah epidemi meluas seperti Papua dan Papua

Barat

Faktor yang memerlukan rujukan ke FKRTL/RS

 Sakit berat atau stadium 4 kecuali kandidiasis esofagus dan ulkus herpes

simpleks

 Demam yang tidak diketahui penyebabnya

 Faktor penyulit lainnya seperti sakit ginjal, jantung, DM dll

 Riwayat pernah menggunakan obat ARV dan putus obat berulang

sebelumnya untuk melihat kemungkinan adanya kegagalan atau resistensi

obat lini pertama

20
Obat ARV lini pertama yang tersedia di Indonesia

Tenofovir (TDF) 300 mg

Lamivudine (3TC) 150 mg

Zidovudin (ZDV/AZT) 100 mg

Efavirenz (EFV) 200mg/ 600 mg

Nevirapine (NVP) 200mg

Kombinasi dosis tetap (KDT):

TDF+FTC 300mg/200mg

TDF+3TC+EFV 300mg/150mg/600mg

Rejimen yang digunakan di tingkat FKTP adalah rejimen lini pertama dengan

pilihan

 TDF + 3TC (atau FTC) + EFV

 TDF + 3TC (atau FTC) + NVP

 AZT + 3TC + EFV

 AZT + 3TC + NVP

Pemerintah menyediakan sediaan Kombinasi Dosis Tetap (KDT) / Fixed Dose

Combination (FDC) untuk rejimen TDF + 3TC (atau FTC) + EFV. Sediaan KDT

ini merupakan obat pilihan utama, diberikan sekali sehari sebelum tidur. Obat ARV

harus diminum seumur hidup dengan tingkat kepatuhan yang tinggi (>95%)

21
sehingga petugas kesehatan perlu untuk membantu pasien agar dapat patuh minum

obat, kalau perlu melibatkan keluarga atau pasien lama. Kepatuhan pasien dalam

meminum obat dapat dipengaruhi oleh banyak hal seperti prosedur di layanan,

jarak, keuangan, sikap petugas dan efek samping. Oleh karena itu perlu dicari

penyebab ketidak patuhannya dan dibantu untuk meningkatkan kepatuhannya,

seperti konseling dan motivasi terus menerus. Ketidak patuhan kepada obat lain

seperti kotrimkoksasol tidak selalu menjadi dasar untuk menentukan kepatuhan

minum ARV. Cara pemberian terapi ARV (4S - start, substitute, switch dan stop)

dapat dilihat dalam Pedoman Pengobatan Antiretroviral, Kemenkes 2014. Setiap

ibu hamil HIV harus mendapatkan terapi ARV. Kehamilan dengan HIV merupakan

indikasi pemberian ARV dan diberikan langsung seumur hidup tanpa terputus.

Pemberian ARV pada bumil tidak ada bedanya dengan pasien lainnya. Setiap ibu

hamil HIV harus diberikan konseling mengenai :

Pilihan pemberian makanan bagi bayi

 Persalinan aman serta KB pasca persalinan.

 Pemberian profilaksis ARV dan kotrimoksazol pada anak.

 Asupan gizi

 Hubungan seksual selama kehamilan (termasuk pengunaan kondom secara

teratur dan benar)

 Konseling menyusui diberikan secara khusus sejak perawatan antenatal

pertama dengan menyampaikan pilihan yang ada , yaitu ASI eksklusif atau

susu formula eksklusif. Pilihan yang diambil haruslah ASI saja atau susu

22
formula saja (bukan mixed feeding). Tidak dianjurkan untuk mencampur

ASI dengan susu formula.

2.6 Upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak


Upaya pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak telah dilaksanakan di
Indonesia sejak tahun 2004, khususnya di daerah dengan tingkat epidemi HIV
tinggi. PPIA merupakan bagian dari upaya pengendalian HIV-AIDS dan IMS
lainnya melalui pelayanan KIA. Pada saat itu, upaya yang dilakukan terfokus
pada penyusunan pedoman nasional, penyusunan modul pelatihan, pelatihan
PPIA, pembentukan jejaring pelayanan dan memulai pembenahan sistem
pencatatan dan pelaporan.
Pada waktu itu pemeriksaan HIV pada ibu hamil hanya dilakukan pada ibu
dengan perilaku berisiko. Sebagai akibat dari adanya stigma dan perilaku
diskriminatif di lingkungan kesehatan pada awal upaya PPIA, serta kurangnya
perhatian dan dukungan dari pengelola program, maka pengembangan program
berjalan lambat. Hingga akhir tahun 2011 baru terdapat 94 layanan PPIA
(Kemenkes, 2011), yang baru menjangkau sekitar 7% dari perkiraan jumlah ibu
hamil yang memerlukan layanan PPIA. Untuk perluasan jangkauan dan akses
layanan bagi masyarakat, Program PPIA juga dilaksanakan oleh beberapa
lembaga masyarakat. Peningkatan akses program dan pelayanan PPIA
selanjutnya ditingkatkan untuk mengendalikan penularan HIV dari ibu ke anak,
seiring dengan semakin banyak ditemukan ibu hamil dengan HIV. Dengan
terbitnya surat edaran mengenai PPIA , semua ibu hamil di daerah epidemi
meluas dan terkonsentrasi dalam pelayanan antenatal wajib mendapatkan tes
HIV yang inklusif dalam pemeriksaan laboratorium rutin, bersama tes lainnya,
sejak kunjungan pertama sampai menjelang persalinan

Selain perubahan kebijakan tersebut, terdapat juga perubahan di tingkat


global dalam cara pengobatan ARV pada ibu hamil yang menetapkan bahwa
semua ibu hamil dengan HIV diberi pengobatan ARV segera tanpa
memperhitungkan jumlah CD4 dan umur kehamilan, serta pengobatan ARV

23
diberikan seumur hidup. Persalinan pada ibu dengan HIV dapat dilakukan
secara pervaginam dan pemberian ASI eksklusif dengan mengikuti syarat-
syarat tertentu. Semua ibu hamil dengan HIV diberi konseling dan pelayanan
KB postpartum. Semua metoda kontrasepsi dapat digunakan oleh perempuan
dengan HIV, kecuali kontrasepsi hormonal tertentu yang mengurangi
efektivitas ARV. Untuk pencegahan penularan infeksi HIV tetap dianjurkan
penggunaan kondom pada setiap hubungan seksual.

Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak Upaya PPIA dilaksanakan


melalui kegiatan pencegahan dan penanganan HIV secara komprehensif dan
berkesinambungan dalam empat komponen (prong) sebagai berikut.

1. Prong 1: pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduksi.

2. Prong 2: pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada


perempuan dengan HIV.

3. Prong 3: pencegahan penularan HIV dari ibu hamil kepada janin/bayi


yang dikandungnya.

4. Prong 4: dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu dengan


HIV beserta anak dan keluarganya

Langkah dini yang paling efektif untuk mencegah terjadinya penularan


HIV pada bayi adalah dengan mencegah perempuan usia reproduksi tertular
HIV. Komponen ini dapat juga dinamakan pencegahan primer. Pendekatan
pencegahan primer bertujuan untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke bayi
secara dini, bahkan sebelum terjadinya hubungan seksual. Hal ini berarti
mencegah perempuan muda pada usia reproduksi, ibu hamil dan pasangannya
untuk tidak terinfeksi HIV. Dengan demikian, penularan HIV dari ibu ke bayi
dijamin bisa dicegah. Untuk menghindari penularan HIV, dikenal konsep
“ABCDE” sebagai berikut.

A (Abstinence): artinya Absen seks atau tidak melakukan hubungan seks bagi
yang belum menikah.

24
B (Be faithful): artinya Bersikap saling setia kepada satu pasangan seks (tidak
berganti-ganti pasangan).

C (Condom): artinya Cegah penularan HIV melalui hubungan seksual dengan


menggunakan kondom.

D (Drug No): artinya Dilarang menggunakan narkoba.

E (Education): artinya pemberian Edukasi dan informasi yang benar mengenai


HIV, cara penularan, pencegahan dan pengobatannya.

Kegiatan yang dapat dilakukan untuk pencegahan primer antara lain sebagai
berikut.

1. KIE tentang HIV-AIDS dan kesehatan reproduksi, baik secara individu atau
kelompok dengan sasaran khusus perempuan usia reproduksi dan pasangannya.

2. Dukungan psikologis kepada perempuan usia reproduksi yang mempunyai


perilaku atau pekerjaan berisiko dan rentan untuk tertular HIV (misalnya
penerima donor darah, pasangan dengan perilaku/pekerjaan berisiko) agar
bersedia melakukan tes HIV.

3. Dukungan sosial dan perawatan bila hasil tes positif

Prong 2: Mencegah Kehamilan Tidak Direncanakan pada Perempuan


dengan HIV

Perempuan dengan HIV dan pasangannya perlu merencanakan dengan


seksama sebelum memutuskan untuk ingin punya anak. Perempuan dengan
HIV memerlukan kondisi khusus yang aman untuk hamil, bersalin, nifas dan
menyusui, yaitu aman untuk ibu terhadap komplikasi kehamilan akibat
keadaan daya tahan tubuh yang rendah; dan aman untuk bayi terhadap
penularan HIV selama kehamilan, proses persalinan dan masa laktasi.
Perempuan dengan HIV masih dapat melanjutkan kehidupannya, bersosialisasi
dan bekerja seperti biasa bila mendapatkan pengobatan dan perawatan yang
teratur. Mereka juga bisa memiliki anak yang bebas dari HIV bila
kehamilannya direncanakan dengan baik. Untuk itu, perempuan dengan HIV

25
dan pasangannya perlu memanfaatkan layanan yang menyediakan informasi
dan sarana kontrasepsi guna mencegah kehamilan yang tidak direncanakan.

Kegiatan yang dapat dilakukan antara lain sebagai berikut.

1. Meningkatkan akses ODHA ke layanan KB yang menyediakan informasi


dan sarana pelayanan kontrasepsi yang aman dan efektif.

2. Memberikan konseling dan pelayanan KB berkualitas tentang perencanaan


kehamilan dan pemilihan metoda kontrasepsi yang sesuai, kehidupan seksual
yang aman dan penanganan efek samping KB.

3. Menyediakan alat dan obat kontrasepsi yang sesuai untuk perempuan dengan
HIV.

4. Memberikan dukungan psikologis, sosial, medis dan keperawatan.

Prong 3: Mencegah Penularan HIV dari Ibu ke Bayi

Pada ibu hamil dengan HIV yang tidak mendapatkan upaya pencegahan
penularan kepada janin atau bayinya, maka risiko penularan berkisar antara 20-
50%. Bila dilakukan upaya pencegahan, maka risiko penularan dapat
diturunkan menjadi kurang dari 2%. Dengan pengobatan ARV yang teratur dan
perawatan yang baik, ibu hamil dengan HIV dapat melahirkan anak yang
terbebas dari HIV melalui persalinan pervaginam dan menyusui bayinya. Pada
ibu hamil dengan sifilis, pemberian terapi yang adekuat untuk sifilis pada ibu
dapat mencegah terjadinya sifilis kongenital pada bayinya. Pencegahan
penularan HIV pada ibu hamil yang terinfeksi HIV ke janin/bayi yang
dikandungnya mencakup langkah-langkah sebagai berikut.

1. Layanan antenatal terpadu termasuk tes HIV dan sifilis.

2. Menegakkan diagnosis HIV.

3. Pemberian terapi antiretroviral (untuk HIV) dan Benzatin Penisilin (untuk


sifilis) bagi ibu.

4. Konseling persalianan dan KB pasca persalianan.

5. Konseling menyusui dan pemberian makanan bagi bayi dan anak, serta KB.

26
6. Konseling pemberian profilaksis ARV dan kotrimoksazol pada anak.

7. Persalinan yang aman dan pelayanan KB pasca persalinan.

8. Pemberian profilaksis ARV pada bayi.

9. Memberikan dukungan psikologis, sosial dan keperawatan bagi ibu selama


hamil, bersalin dan bayinya.

Semua kegiatan di atas akan efektif jika dijalankan secara


berkesinambungan. Kombinasi kegiatan tersebut merupakan strategi yang
paling efektif untuk mengidentifikasi perempuan yang terinfeksi HIV dan
sifilis serta mengurangi risiko penularan dari ibu ke anak pada masa kehamilan,
persalinan dan pasca kelahiran.

Prong 4: Dukungan Psikologis, Sosial, Medis dan Perawatan Ibu dengan


HIV

Ibu dengan HIV memerlukan dukungan psikososial agar dapat bergaul


dan bekerja mencari nafkah seperti biasa. Dukungan medis dan perawatan
diperlukan untuk mencegah terjadinya komplikasi akibat penurunan daya tahan
tubuh. Dukungan tersebut juga perlu diberikan kepada anak dan keluarganya.

27
BAB III

PENUTUP

Human Immunodeficiency Virus adalah virus yang menyerang system


kekebalan tubuh manusia dan kemudian menimbulkan Acquired Immunodeficiency
Syndrome yang disingkatkan menjadi AIDS. Virus ini menyerang organ-organ vital
sistem kekebalan tubuh manusia, seperti sel T4 CD4+ makrofag, dan sel dendritik.
Human Immunodeficiency Virus merusak sel T4 CD4+ secara langsung dan tidak
langsung, di mana sel T4 CD4+ dibutuhkan agar sistem kekebalan tubuh dapat
berfungsi baik.

Penularan HIV dari ibu ke bayi merupakan akhir dari rantai penularan yang
umumnya didapat dari seorang laki-laki HIV positif. HIV dapat ditularkan dari
wanita yang HIV-positif ke anaknya selama kehamilan, persalinan dan menyusui.
Penularan dari ibu ke anak (MTCT), yang juga dikenal sebagai 'penularan vertikal',
menyumbang sebagian besar infeksi pada anak-anak (0-14 tahun). Tanpa
pengobatan, jika seorang wanita hamil hidup dengan HIV, kemungkinan virus
menular dari ibu ke anak adalah 15% hingga 45%. Namun, pengobatan
antiretroviral (ART) dan intervensi lain dapat mengurangi risiko ini hingga di
bawah 5% .

Program-program PMTCT menyediakan berbagai layanan bagi perempuan


dan bayi. Ini termasuk mencegah infeksi HIV di antara wanita usia reproduksi (15-
49 tahun), mencegah kehamilan yang tidak diinginkan di antara wanita yang hidup
dengan HIV, dan memberi wanita yang hidup dengan HIV dengan ART seumur
hidup untuk menjaga kesehatan mereka dan mencegah penularan selama
kehamilan, persalinan dan menyusui

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Peraturan Menteri kesehatan Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2014


Tentang Pedoman Kementerian Pegobatan Antiretroviral Kesehatan RI
Tahun 2015 Becken Bradford., et al uman Immunodeficiency Virus:
History, Epidemiology Transmission, And Pathogenesis International
Publishing, 2019. p 418
2. Z. Djoerban, S. Djauri. Infeksi tropikal HIV/AIDS. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. Edisi IV. Jilid III. p 1803-1807
3. Ke RL, Ouslander JG, Abrass IB, Resnick B Essentials of clinical geriatris.
6th ed. New York, NY: McGraw-Hill. 2008
4. Situasi HIV/AIDS di Indonesia. Pusat Data dan Informasi Departemen
Kesehatan RI. Jakarta: Depkes RI, 2006. p 5-6
5. Dewi, SR. Intasari. Peranan Laboratorium Dalam Prevention of Mother to
Child Transmission (PMTCT) HIV. WMJ (Warmadewa Medical Journal),
2017. Vol.2 No.1 Mei 2017, Hal. 33-4
6. Suradi R. Tata laksana Bayi dari Ibu pengidap HIV/AIDS. Sari Pediatri,
2003. Vol. 4, No. 4, Maret 2003
7. Sudoyo AW, Setiohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi 5., Jakarta: Interna., 2009
8. Depnakertrans RI. Pedoman Bersama ILO/WHO tentang Pelayanan
Kesehatan dan HIV/AIDS. 2005. Jakarta : Depnakertrans RI
9. Peraturan Menteri Kesehatan No 21 Tahun 2013 tentang Penanggulangan
HIV dan AIDS
10. Pedoman manajemen program pencegahan penularan HIV dan Sifilis dari
ibu ke anak. Jakarta : Kementerian Kesahatan RI. 2011
11. Maartens G, Celum C, Lewin SR. HIV infection : epidemiology,
pathogenesis, treatment, and prevention. The Lancet. 2014;384:258-271.
12. World Health Organization. Global Epidemic HIV 2017. Department of
HIV/AIDS.http://www.who.int/hiv/data/2016_global_summary_web4.ppt
x?ua=1

29
13. Departemen Kesehatan RI. Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia.
2014.Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan;
14. McFarland, Elizabeth J.. Human Immunodeficiency Virus (HIV) Infection
in: Current Pediatric Diagnosis & Treatment.16th edition. McGraw&Hill
Company. Singapore. 2003
15. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional
Terapi Antiretroviral. “Panduan Tatalaksana Klinis Infeksi HIV pada orang
Dewasa dan Remaja” edisi ke-2. 2007.

30

Anda mungkin juga menyukai