BAGIAN PATOLOGI KLINIK REFERAT
FAKULTAS KEDOKTERAN JULI 2019
UNIVERSITAS HASANUDDIN
REFERAT : ASPEK LABORATORIUM DASAR
ANEMIA DEFISIENSI BESI
DISUSUN OLEH:
Ummu Aiman C0141812022
Siti Nurchodijah C014182137
Intan Ayu Sawitri C11115510
RESIDEN PEMBIMBING
dr. A. Handayani
SUPERVISOR PEMBIMBING:
Dr. Darwati Muhadi, Sp.PK (K)
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU PATOLOGI KLINIK
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
BAB I
PENDAHULUAN
Anemia merupakan masalah kesehatan utama di masyarakat yang sering
dijumpai di seluruh dunia, terutama di negara berkembang seperti Indonesia.
Kelainan tersebut merupakan penyebab disabilitas kronik yang berdampak besar
terhadap kondisi kesehatan, ekonomi, dan kesejahteraan sosial. Penduduk dunia
yang mengalami anemia berjumlah sekitar 30% atau 2,20 miliar orang dengan
sebagian besar diantaranya tinggal di daerah tropis. Prevalensi anemia secara global
sekitar 51%. 1
Anemia bukan suatu keadaan spesifik, melainkan dapat disebabkan oleh
bermacam-macam reaksi patologis dan fisiologis. Anemia secara umum
didefinisikan sebagai berkurangnya konsentrasi hemoglobin dalam tubuh.
Hemoglobin adalah suatu metaloprotein yaitu protein yang mengandung zat besi di
dalam sel darah merah yang berfungsi sebagai pengangkut oksigen dari paru-paru
ke seluruh tubuh. Anemia ringan hingga sedang mungkin tidak menimbulkan gejala
objektif, namun dapat berlanjut ke keadaan anemia berat dengan gejala- gejala
keletihan, takipnea, napas pendek saat beraktivias, takikardia, dilatasi, dan gagal
jantung. Gejala dari anemia secara umum adalah lemah, tanda keadaan
hiperdinamik (denyut nadi kuat dan cepat, jantung berdebar). Banyak faktor yang
dapat menyebabkan terjadinya anemia defisiensi besi yaitu kebutuhan yang
meningkat, asupan zat besi yang kurang, infeksi, dan perdarahan saluran cerna dan
juga terdapat faktor-faktor lainnya.2,3
Anemia defisiensi besi (ADB) adalah anemia yang timbul akibat
berkurangnya penyediaan besi untuk eritropoesis, karena cadangan besi kodsong
(depleated iron store) yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan
hemoglobin berkurang. Anemia defisiensi besi ditandai dengan anemia mikrositik
hipokrom dan hasil laboratorium yang menunjukkan cadangan besi kosong.
Berbeda dengan anemia defisiensi besi, anemia akibat penyakit kronik penyediaan
besi untuk eritropoesis berkurang karena pelepasan besi dari system
retikuloendotelial berkurang, sedangkan cadangan besi masih normal. Pada anemia
1
sideroblastic penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang karena gangguan
mitokondria yang menyebabkan inkorporasi besi ke dalam heme terganggu. Oleh
karena itu, ketiga jenis anemia ini digolongkan sebagai anemia dengan gangguan
metabolism besi.4
Anemia defisiensi besi merupakan anemia paling sering dijumpai, terutama
negara-negara tropis atau negara dunia ketiga karena sangat berkaitan erat dengan
taraf sosial ekonomi. Anemia ini mengenai lebih dari sepertiga penduduk dunia
yang sangat merugikan serta dampak sosial yang cukup serius.4
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Anemia didefinisikan sebagai penurunan kadar hemoglobin atau jumlah sel
darah merah dalam darah di mana menurunnya kadar hemoglobin ini biasanya
disertai dengan penurunan jumlah eritrosit dan hematokrit. Anemia defisiensi besi
terjadi ketika asupan zat besi, cadangan zat besi, dan hilangnya zat besi dalam tubuh
tidak cukup seimbang untuk mendukung produksi eritrosit.5,6
2.2 Etiologi
Anemia defisiensi besi dapat disebabkan oleh karena rendahnya masukan
besi, gangguan penyerapan, serta kehilangan besi akibat perdarahan menahun:
Kehilangan besi sebagai akibat perdarahan menahun dapat berasal dari:
1. Saluran cerna: akibat dari tukak peptic, pemakaian salisiliat atau
OAINS, kanker lambung, kanker kolon, diverticulosis, hemoroid
dan infeksi cacing tambang
2. Saluran genitalia perempuan: menorrhagia atau metrorrhagia
3. Saluran kemih: hematuria
4. Saluran napas: hemoptoe
Factor nutrisi: akibat kurangnya jumlah besi total dalam makanan, atau
kualitas besi (bioavailabilitas) besi yang tidak baik (makanan banyak serat,
rendah vitamin c, dan rendah daging).
Kebutuhan besi meningkat: seperti pada prematuritas, anak dalam masa
pertumbuhan dan kehamilan.
Gangguan absorpsi besi: gastrektomi, tropical sprue atau colitis kronik.
Pada orang dewasa, anemia defisiensi yang dijumpai di klinik hamper identic
dengan perdarahan menahun. Factor nutrisi atau peningkatan kebutuhan besi jarang
sebagai penyebab utama. Penyebab perdarahan paling sering pada laki-laki ialah
3
perdarahan gastrointestinal, di negara tropis paling sering karena infeksi cacing
tambang. Sedangkan perempuan dalam masa reproduksi, paling sering karena
meno-metrorhagia.4
2.3 Patogenesis
Perdarahan menahun menyebabkan kehilangan besi sehingga cadangan besi
makin menurun. Jika cadangan besi menurun, keadaan ini disebut iron depleted
state atau negative iron balance. Keadaan ini ditandai oleh penurunan kadar ferritin
serum, peningkatan absorpsi besi di dalam usus, serta pengecatan besi dalam
sumsum tulang negative. Apabila kekurangan besi berlanjut terus, maka cadangan
besi menjadi kosong sama sekali, penyediaan besi untuk eritropoesis berkurang
sehingga menimbulkan gangguan pada bentuk eritrosit tetapi anemia secara klinis
belum terjadi, keadaan ini disebut iron deficient erythropoiesis. Pada fase ini
kelainan pertama yang dijumpai ialah peningkatan kadar free protophorphyrin atau
zinc protophorphyrin dalam eritrosit. Saturasi transferrin menurun dan total iron
binding capacity (TIBC) meningkat. Akhir-akhir ini, parameter yang sangat
spesifik ialah peningkatan reseptor transferrin dalam serum. Apabila jumlah besi
menurun terus menerus maka eritropoesis semakin terganggu sehingga kadar
hemoglobin mulai menurun, akibatnya timbul anemia mikrositik hipokrom, disebut
sebagai iron deficiency anemia. Pada saat ini juga terjadi kekurangan besi pada
epitel serta pada beberapa enzim yang dapat menimbulkan gejala pada kuku, epitel
mulut dan faring serta berbagai gejala lainnya.4
2.4 Manifestasi Klinis
Berdasarkan gejala anemia defisiensi besi dapat dibagi menjadi tiga golongan,
yaitu: gejala umum anemia, gejala khas akibat anemia defisiensi besi dan gejala
penyakit yang mendasari anemia defisiensi besi. Gejala umum anemia yang
dijumpai pada anemia defisiensi besi bila kadar hemoglobin turun di bawah 7-8
g/dl, berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunang-kunang, serta telinga
berdenging. 5,11
4
Defisiensi besi mempunyai gejala khas yang terjadi berupa chlorosis
(kekurangan zat besi yang mempengaruhi wanita pada masa pubertas dan
menyebabkan kulit berubah menjadi kehijau-hijauan), glossitis (peradangan pada
lidah di mana lidah terlihat merah dan halus), stomatitis angularis /cheilosis (adanya
peradangan pada sudut mulut sehingga tampak sebagai bercak berwarna pucat
keputihan). Gejala khas lainnya berupa disfagia (nyeri menelan karena kerusakan
epitel hipofaring), atrofi mukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia,
koilonychia / kuku sendok, pica (keinginan makan yang tidak biasa, seperti makan
tanah (geophagia) dan es (pagophagia), dan sklera mata berwarna biru. Gejala yang
timbul akibat penyakit yang mendasari anemia defisiensi besi, sebagai contoh pada
anemia karena pendarahan kronik akibat kanker kolon ditemukan gejala seperti
gangguan kebiasaan buang air besar atau gejala lain sesuai dengan lokasi dari
kanker. 5, 11
2.5 Diagnosis
Anamnesis
1). Riwayat faktor predisposisi dan etiologi :
a. Kebutuhan meningkat secara fisiologis terutama pada masa pertumbuhan
yang cepat, menstruasi, dan infeksi kronis
b. Kurangnya besi yang diserap karena asupan besi dari makanan tidak
adekuat malabsorpsi besi
c. Perdarahan terutama perdarahan saluran cerna (tukak lambung, penyakit
Crohn, colitis ulserativa)
2). Pucat, lemah, lesu, gejala pika.12
Pemeriksaan fisis
a. Anemis, tidak disertai ikterus, organomegali dan limphadenopati
b. Stomatitis angularis, atrofi papil lidah, dan koilonikia (kuku sendok)
c. Ditemukan takikardi ,murmur sistolik dengan atau tanpa pembesaran jantung.12
5
Pemeriksaan Penunjang
Dalam menegakkan diagnosis anemia defisiensi besi, harus dilakukan
anamnesis dan pemeriksaan fisis yang teliti disertai pemeriksaan laboratorium yang
tepat. Terdapat tiga tahap diagnosis anemia defisiensi besi. Tahap pertama
menentukan ada tidaknya anemia dengan mengukur kadar hemoglobin atau
hematokrit. Tahap kedua memastikan ada tidaknya defisiensi besi. Tahap tiga
menentukan penyebab terjadinya defisiensi besi. Pada tahap pertama dan kedua,
anemia defisiensi besi dapat ditegakkan diagnosisnya dengan menggunakan kriteria
di bawah ini:
Anemia hipokromik mikrositik pada hapusan darah tepi, atau MCV < 80 fl dan
MCHC 31% disertai satu atau beberapa tanda sebagai berikut:
a. Dua dari tiga parameter: besi serum < 50 mg/dl; TIBC > 350 mg/dl; dan saturasi
transferin < 15%, atau
b. Feritin serum < 20 mg/l, atau
c. Pengecatan sumsum tulang dengan biru prusia (Perl’s stain) menunjukkan
cadangan besi (butir butir hemosiderin) negatif, atau
d. Dengan pemberian sulfat ferosus 3 x 200 mg/hari (atau preparat besi lain yang
setara) selama 4 minggu disertai kenaikan kadar hemoglobin lebih dari 2 g/dl.
Tahap ketiga ditentukan penyebab dasar defisiensi besi. Tahap ini adalah tahap
yang paling rumit tapi sangat penting. Pada pasien dewasa difokuskan mencari
sumber pendarahan dengan dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
teliti.5
6
2.6 Diagnosis Banding
Tabel 1. Perbedaan Anemia Defisiensi Besi dan Diagnosis Bandingnya.
2.7 Prognosis
Anemia defisiensi besi dikatakan Prognosis baik bila penyebab anemianya
hanya karena kekurangan besi saja dan diketahui penyebab serta kemudian
dilakukan penanganan yang adekuat. Gejala anemia dan manifestasi klinis lainnya
akan membaik dengan pemberian preparat besi. Jika terjadi kegagalan dalam
pengobatan, perlu dipertimbangkan beberapa kemungkinan sebagai berikut:
a. Diagnosis salah.
b. Dosis obat tidak adekuat.
c. Preparat Fe yang tidak tepat dan kadaluarsa.
d. Perdarahan yang tidak teratasi atau perdarahan yang tidak tampak berlansgung
menetap.
7
e. Disertai penyakit yang mempengaruhi absorpsi dan pemakaian besi (seperti :
infeksi, keganasan, penyakit hati, penyakit ginjal, penyakit tiroid, penyakit
karena defisiensi vitamin B12,asam folat).
f. Gangguan absorpsi saluran cerna (seperti pemberian antasid yang berlebihan
pada ulkus peptikum dapat menyebabkan pengikatan terhadap besi).3
2.8 Tatalaksana
a. Suplementasi tablet Fe
Pemberian preparat besi untuk mengganti kekurangan besi dalam tubuh
dilakukan dengan pemberian terapi besi oral dimana terapi besi oral merupakan
pilihan pertama yang efektif, murah, dan aman. Preparat besi yang tersedia
adalah ferrous sulphat (3x200 mg selama 3-6 bulan), ferrous gluconate,
ferrous fumarat, ferrous lactate, dan furrous succinate. Pemberian terapi oral
seharusnya dilakukan pada saat lambung kosong, tetapi lebih serimg
memberikan efek samping daripada diberikan setelah makan. Efek samping
yang utama adalah gangguan gastrointestinal seperti mual, muntah, dan
konstipasi yang biasanya mengganggu kepatuhan pasien dalam menjalani
terapi. Selain terapi besi oral, terapi besi parenteral merupakan terapi yang
sangat efektif namun lebih beresiko dan lebih mahal.
Indikasi pemberian terapi besi parenteral:
1. Intoleransi terhadap pemberian besi oral.
2. Kepatuhan terhadap terapi sangat rendah.
3. Gangguan pencernaan yang dapat kambuh jika diberikan besi,
4. Penyerapan besi terganggu.
5. Kehilangan darah sangat banyak sehingga tidak cukup diberikan besi
secara oral.
6. Kebutuhan besi dalam jumlah besar dalam waktu pendek seperti
kehamilan pada trimester tiga.
7. Defisiensi besi fungsional relatif akibat pemberian eritroprotein pada
anemia akibat penyakit kronik.
8
Terapi besi parenteral bertujuan untuk mengembalikan kadar hemoglobin.5, 12
b. Fortifikasi makanan dengan besi
Fortifikasi adalah penambahan suatu jenis zat gizi ke dalam bahan pangan
untuk meningkatkan kualitas pangan. Kesulitan untuk fortifikasi zat besi
adalah sifat zat besi yang reaktif dan cenderung mengubah penampilanm bahan
yang di fortifikasi. Sebaliknya fortifikasi zat besi tidak mengubah rasa, warna,
penampakan dan daya simpan bahan pangan. Selain itu pangan yang
difortifikasi adalah yang banyak dikonsumsi masyarakat seperti tepung
gandum untuk pembuatan roti.12
c. Mengubah kebiasaan pola makanan dengan menambahkan konsumsi pangan
yang memudahkan absorbsi besi seperti menambahkan vitamin C.
Untuk mengurangi efek samping dapat diberikan preparat besi setelah
makan atau dosis pemberian preparat dikurangi. Untuk meningkatkan
penyerapan besi dapat diberikan preparat vitamin C tetapi efek samping
meningkat. Vitamin C diberikan 3 x 100 mg per hari untuk meningkatkan
absorpsi besi. Cara lain dengan pemberian diet yang banyak mengandung hati
dan daging yang banyak mengandung besi.5,12
d. Penurunan kehilangan besi dengan pemberantasan cacing.
Setelah diagnosis ditegakkan, maka dapat dilakukan pemberian terapi,
yaitu pemberian terapi kausal dengan memberikan terapi terhadap penyebab
pendarahan. Misalnya pengobatan cacing tambang. Terapi ini ditujukan untuk
mencegah anemia kambuh kembali. Dengan menanggulangi penyakit infeksi
dan memberantas parasit diharapkan bisa meningkatkan status besi tubuh.5,12
e. Transfusi Darah
Transfusi darah dengan jenis darah PRC (Packed Red Cell) dan dengan
indikasi :
1. Adanya penyakit jantung anemia dengan ancaman payah jantung.
2. Anemia yang sangat simtomatik dengan gejala yang mencolok.
3. Pasien membutuhkan peningkatan kadar hemoglobin dengan cepat.5
9
2.9 Aspek Laboratorium
Pada defisiensi besi yang progresif akan terjadi perubahan pada nilai
hematologi dan biokimia. Pada pemeriksaan laboratorium, akan ditemukan :
1. Kadar hemoglobin dan indeks eritrosit
Hemoglobin (Hb) adalah metalprotein pengangkut oksigen yang mengandung
besi dalam sel merah dalam darah mamalia. Molekul Hb terdiri dari globin,
apoprotein dan empat gugus heme, suatu molekul organik dengan satu atom besi.
Hb adalah protein yang kaya akan zat besi. Pada anemia defisiensi besi, didapatkan
penurunan kadar hemoglobin mulai dari ringan sampai berat.5. Indeks eritrosit yang
meliputi MCV (Mean Corpuscular Volume), MCH (Mean Corpuscular
Hemoglobin) dan MCHC (Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration) adalah
suatu nilai rata-rata yang dapat memberi keterangan mengenai rata-rata eritrosit dan
banyaknya hemoglobin per-eritrosit. Pada anemia defisiensi besi, MCV dan MCH
menurun. MCV <70 fl hanya didapatkan pada anemia defisiensi besi dan
thalassemia major. MCHC menurun pada defisiensi yang lebih berat dan
berlangsung lama. Anisitosis merupakan tanda awal defisiensi besi.15
10
2. Retikulosit
Retikulosit adalah sel darah merah yang masih muda yang tidak berinti dan
berasal dari proses pematangan normoblas di sumsum tulang. Pemeriksaan hitung
jumlah retikulosit ini penting karena dapat digunakan sebagai indikator
produktivitas dan aktivitas eritropoesis di sumsum tulang. Pada anemia defisiensi
besi, jumlah persentase retikulosit akan meningkat sedikit atau dapat normal.3
3. Apusan Darah Tepi dan Darah Rutin
Apusan darah tepi menunjukkan anemia hipokrom mikrositik, anisitosis, dan
poikliositosis. Makin berat derajat anemia, makin berat pula derajat hipokromia.
Jika terjadi hipokromia dan mikrositosis ekstrim, maka sel tampak sebagai sebuah
cincin, sehingga disebut sel cincin (ring cell) atau memanjang seperti elips, disebut
sebagai sel pensil (pencil cell atau cigar cell). Kadang-kadang dijumpai sel target.
Leukosit dan trombosit pada umumnya normal, tetapi granulositopenia dapat
ditemukan pada anemia defisiensi besi yang berlangsung lama. Pada anemia
defisiensi besi yang disebabkan oleh infeksi cacing tambang, dijumpai eosinofilia.
Trombositosis dapat dijumpai pada anemia defisiensi besi dengan episode
perdarahan akut.4
Gambar 1. Sel target Gambar 2. Sel pensil
11
4. Serum Fe
Serum besi adalah besi yang terikat pada transferrin. Serum besi dipengaruhi
variasi diurnal, pengobatan yang mengandung besi, hemolysis, dan sebagainya.
Nilai rujukan untuk orang dewasa dari serum besi adalah 50–160 µg/dL (9–29
µmol/L) dimana nilai kurang dari nilai rujukan menunjukkan adanya defisiensi
besi, infeksi, dan anemia akibat penyakit kronik.1,13
5. TIBC
Total Iron Binding Capacity (TIBC) adalah kemampuan darah untuk mengikat
besi menggunakan transferrin. Nilai rujukan untuk orang dewasa adalah 250–400
µg/dL (45–72 µmol/L). Pada anemia defisiensi besi tahap 2, TIBC akan mulai
meningkat.1,14
6. Transferrin
Transferrin adalah glikoprotein pada plasma darah yang mengikat besi. Saturasi
Transferrin adalah ratio dari serum besi terhadap transferrin. Pada anemia defisiensi
besi, saturasi transferrin <10%. Soluble Transferrin Receptors (sTfR) adalah
bentuk soluble dari reseptor transferrin yang berasal dari proteolysis sel membran
12
ketika maturasi eritrosit. Konsentrasi dari sTfR berkorelasi dengan jumlah reseptor
yang ada pada sel membran. Nilai rujukan sTfR adalah 4–9 μg/L dan akan
meningkat pada anemia defisiensi besi.1,3,14
7. Free Erithorcyte Protoporphyrin (FEP)
Pada sinstesis heme, ferrocholatase akan memasukkan besi ke portoporphyrin
untuk membentuk heme. Suplai besi yang tidak adekuat akan menganggu proses
ini dan menyebabkan akumulasi pada sel. Nilai rujukan dari FEP adalah 4–9 μg/L.
Nilai ini akan meningkat pada anemia defisiensi besi.1,14
8. Ferritin
Besi disimpan dalam bentuk ferritin dan hemosiderin di dalam tubuh, karena
besi bebas beracun bagi tubuh. Apoferritin mengikat besi ferro dan menyimpannya
di retikulum endoplasma dalam bentuk ferritin. Serum ferritin berhubungan total
penyimpanan besi dalam tubuh. Pada orang dewasa, nilai rujukan adalah 12–300
µg/L, dimana pada laki – laki nilainya lebih tinggi dibanding pada perempuan.2,13
13
BAB III
KESIMPULAN
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan karena kekurangan
besi yang digunakan untuk sintesis hemoglobin (Hb). Gejala pada anemia defisiensi
besi dapat dibagi menjadi tiga golongan, yaitu: gejala umum anemia, gejala khas
akibat anemia defisiensi besi dan gejala penyakit yang mendasari anemia defisiensi
besi. Gejala umum anemia yang dijumpai pada anemia defisiensi besi bila kadar
hemoglobin turun di bawah 7-8 g/dl, berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata
berkunang-kunang, serta telinga berdenging.
Anemia defisiensi besi dapat di diagnosis dengan cara anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang untuk
anemia yang dapat digunakan antara lain dengan pemeriksaan darah rutin seperti
hemoglobin (Hb), hematokrit (HT), leukosit, trombosit, ditambah pemeriksaan
indeks eritrosit, retikulosit, saturasi morfologi darah tepi, dan pemeriksaan status
besi (Fe serum, TIBC, transferrin, FEP, feritin). Pada ADB nilai indeks eritrosit
MCV, MCH akan menurun, MCHC akan menurun pada keadaan berat, dan RDW
akan meningkat. Gambaran morfologi darah tepi ditemukan keadaan hipokrom,
mikrositik, anisositik hipokrom biasanya terjadi pada ADB, infeksi kronis, dan
thalassemia. Penatalaksanaan anemia defisiensi besi dapat dilakukan dengan
pemberian zat besi secara oral, secara intramuskular dan transfusi darah.
14
DAFTAR PUSTAKA
1. Priyanto LD. Hubungan Umur, Tingkat Pendidikan, dan Aktivitas Fisik
Santriwati Husada dengan Anemia. 2018. 6(2): 139-146
2. Amalia A, Tjiptaningrum A. Diagnosis dan Tatalaksana Anemia Defisiensi
Besi. 2016. Majority. 5(5): 166-169
3. Fitriany J, Saputri AI. Anemia Defisiensi Besi. 2018. Jurnal Averrous. 4(2):1-
14
4. Sudoyo AW, Setiyodi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Anemia Defisiensi
Besi. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI, 2007 :634-640.
5. Margina DS, Herawati S, Yasa IS. Diagnosis Laboratorik Anemia Defisiensi
Besi. e-Jurnal Medika Udayana. 2014;3(1):58-69.
6. Miller JL. Iron deficiency anemia: a common and curable disease. Cold Spring
Harb Perspect Med. 2013;3(7)
7. Matthew W. Short, and Jason E. Domagalski. Iron Deficiency Anemia:
Evaluation and Management. Am Fam Physician. 2013;87(2):98-104.
8. Jimenez K, Kulnigg-Dabsch S, Gasche C. Management of Iron Deficiency
Anemia. Gastroenterol Hepatol (N Y). 2015;11(4):241–250.
9. Johnson-Wimbley TD, Graham DY. Diagnosis and management of iron
deficiency anemia in the 21st century. Therap Adv Gastroenterol.
2011;4(3):177–184.
10. Lopez, A., Cacoub, P., Macdougall, I. C., & Peyrin-Biroulet, L. (2016). Iron
deficiency anaemia. The Lancet,387(10021), 907–916.
11. Soemasto AS et al. Kapita Selekta Kedokteran. 2014. Edisi 4. Jakarta: Media
Aesculapius. Jilid 2.
12. Masrizal. Anemia Defisiensi Besi. 2007. Jurnal Kesehatan Masyarakat. 2(1):
141-145
13. McPherson R, Pincus M, Henry J. Henry's clinical diagnosis and management
by laboratory methods. Philadelphia, PA: Saunders Elsevier; 2011.
14. Kasper D, Harrison T. Harrison's Principles of internal medicine. New York:
McGraw-Hill Education; 2015.
15. Wati DW, Febry F, Rahmiwati A. Faktor- Faktor yang Berhubungan dengan
Defisiensi Zat Besi pada Ibu Hamil di Wilayah Kerja Puskemas Gandus
Palembang. 2016. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat.7(1): 42-47.
15