Makalah Hak Cipta PDF

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 41

UNIVERSITAS INDONESIA

SENGKETA PEMEGANG HAK CIPTA SUATU


CIPTAAN (Studi Kasus Wen Ken Drug Co. Melawan
PT.SBS, Muchtar Pakpahan Melawan Rekson Silaban
dan PT. Holcim Indonesia Melawan PM. Banjarnahor).

(Sebagai salah satu komponen penilaian Mata Kuliah Hak Kekayaan Intelektual)

Di susun Oleh :

Budi Wibowo Halim (1306495164)


Irena Fatma Pratiwi (1306495605)
Rizka Tri Yunita (1306496002)

MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM
SALEMBA
2014
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………………… 3


1.1 Latar Belakang ……………………….……………………………………….. 3
1.2 Rumusan Masalah ……………………....……………………………….…… 7

BAB II TINJAUAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL ………………..………... 8


2.1 Hak Cipta sebagai bagian dari Hak Kekayaan Intelektual……………..… 8
2.2 Definisi Hak Cipta…………...…………………………………………….….. 9
2.3 Prinsip- prinsip Hak Cipta ………………………………...……..…………. 10
2.4 Ruang Lingkup dan Pembatasan Hak Cipta ……………..…..………..…. 11
2.5 Fungsi dan Sifat Hak Cipta ……………..………………………………….. 12
2.6 Jangka Waktu Hak Cipta……………………………………….…….…...… 14
2.7 Pendaftaran Hak Cipta …………………………...……………………….… 14

BAB III PEMBAHASAN………………………………………………...…………… 17


3.1 Kasus Wen Ken Drug. Co VS PT. SBS ………………………………………17
3.1.1 Kasus Posisi ……………………………………………………………..17
3.1.2 Analisa …………………………………………………………………...20
3.2 Kasus Muchtar Pakpahan VS Rekson Silaban ……………………………. 23
3.2.1 Kasus Posisi …………………………………………………………….. 23
3.2.2 Analisa ………………………………………………………………….. 26
3.3 Kasus PT Holcim Indonesia VS PM. Banjarnahor ………………………... 28
3.3.1 Kasus Posisi …………………………………………………………….. 28
3.3.2 Analisa ………………………………………………………………….. 36

BAB IV KESIMPULAN ……………………………………………………………… 37

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………. 38


LAMPIRAN

  2
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Hak kekayaan intelektual (HaKI) dikategorikan sebagai hak atas kekayaan


mengingat Haki pada akhirnya menghasilkan karya – karya intelektual berupa
pengetahuan, seni, sastra, teknologi, dimana dalam mewujudkannnya
membutuhkan pengorbanan tenaga, waktu, biaya, dan pikiran. Adanya
pengorbanan tersebut menjadikannya memiliki nilai ekonomis. Nilai ekonomi
yang melekat menumbuhkan konsepsi kekayaan (property) terhadap karya –
karya intelektual tadi. Perjanjian internasional TRIPs agreement menetapkan hak
cipta sebagai bagian dari Hak kekayaan intelektual. Hak cipta adalah suatu
rezim hukum yang dimaksudkan untuk melindungi para pecipta agar mereka
dapat memperoleh manfaat ekonomi atas hasil karya ciptanya. 1
Hak Cipta diatur dalam UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
(UUHC).
Pasal 1 angka 1 UUHC, menyebutkan bahwa: 2
hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin
untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dengan demikian pemegang hak cipta memiliki hak eksklusif untuk


mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, baik secara sendiri maupun
bersama dengan pihak lain. Selain itu, ia juga berhak memberikan izin kepada
pihak lain untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya.
Sengketa mengenai Hak kekayaan intelektual khususnya bidang Hak
Cipta tak terhindarkan. Biasanya se 3 ngketa tersebut berkisar pada masalah yang
bersinggungan dengan pendaftaran hak cipta, yang biasanya berkaitan dengan

                                                            
1
Agus Sardjono, Membumikan HKI di Indonesia, (Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2009),
hal. 137.
2
Indonesia, Undang-Undang Tentang Hak Cipta, UU No. 19 Tahun 2002, LN No. 85,
TLN 4229, ps. 1 angka 1.
 

  3
siapa pencipta atau pemegang hak cipta dari ciptaan tersebut. Pencipta adalah
pemegang hak cipta atas ciptaannya sementara pemegang hak cipta adalah
pencipta itu sendiri sebagai pemilik Hak Cipta atau orang yang menerima hak
tersebut dari Pencipta, atau orang lain yang menerima lebih lanjut hak dari orang
tersebut. 4 Penentuan siapa pencipta atau pemegang hak cipta dari suatu ciptaan
tentunya menimbulkan hak bagi pihak yang ditetapkan sebagai pencipta atau
pemegang hak cipta, yaitu hak moral dan hak ekonomi. Selain hak moral sebagai
bentuk pengakuan, hak ekonomi juga merupakan suatu tujuan karena dengan
hak tersebut satu pihak bisa mendapatkan keuntungan daripada ciptaannya.
Salah satu cara untuk mendapatkan keuntungan tersebut bisa dengan cara
perjanjian lisensi.
Perjanjian lisensi (licensing agreement) merupakan perjanjian antara
pemberi lisensi (licensor) dengan penerima lisensi (licensee). Licensor memberikan
izin kepada licensee untuk menggunakan HKI miliknya untuk memproduksi,
mendistribusikan, dan memasarkan produk-produk milik licensor, dan sebagai
imbalannya licensor mendapatkan royalti dari licensee. HKI yang diberikan
lisensinya dapat berupa hak cipta, merek, paten, rahasia dagang, dan lain-lain.
Perjanjian lisensi dapat berskala nasional maupun internasional. Dalam skala
internasional, pemberian lisensi HKI pada perusahaan di luar negeri merupakan
salah satu bentuk perdagangan internasional yang bertujuan untuk memperluas
pasar di luar negeri. Bentuk perdagangan semacam ini banyak dijumpai di
Indonesia, di mana perusahaan asing memberikan lisensi HKI kepada
perusahaan nasional untuk memproduksi, mendistribusikan, dan memasarkan
produk-produknya di Indonesia.
Dalam perjanjian lisensi, perjanjian di antara kedua belah pihak dapat
saja disalahgunakan oleh pihak lain, seperti dalam Kasus sengketa hak cipta atas
lukisan Badak pada kemasan larutan penyegar cap kaki tiga antara Wen Ken
Drug Co. melawan PT. SBS. Wen Ken Drug Co. yang berkedudukan di
Singapura adalah perusahaan farmasi yang memproduksi obat-obat luar seperti
salep dan juga minuman larutan penyegar yang berguna bagi kesehatan dengan
merek dagang “Cap Kaki Tiga”. Hubungan bisnis antara Wen Ken Drug Co.
                                                            
4
 Tim Lindsey, Eddy Damian, Simon Butt, Tomi Suryo Utomo, Hak Kekayaan Intelektual
: Suatu Pengantar (Bandung : PT. Alumn, 2006), hal 110  

  4
dengan PT.Sinde Budi Sentosa (PT. SBS) diawali pada Tahun 1970 ketika pihak
Wen Ken Drug melalui Direktur dan Managing Director yaitu Fu Weng Leng dan
Fu Yu Ming memberikan kuasa kepada Fu Song Lim (yang merupakan ayah
mertua dari Tjioe Budi Yuwono selaku pendiri, pemegang saham, dan Direktur
PT. SBS). Sehubungan dengan pendaftaran logo Cap Kaki Tiga oleh PT. SBS dan
Tjioe Budi Yuwono, diawali pada Tahun 1980, ketika Wen Ken Drug ingin
melakukan ekspansi usaha ke Indonesia, mereka mengadakan kerjasama untuk
memproduksi, menjual, memasarkan, dan mendistribusikan produk minuman
larutan penyegar dengan merek dan logo Cap Kaki Tiga. Namun, di kemudian
hari diketahui bahwa Budi Yuwono dengan itikad tidak baik yaitu tanpa izin,
persetujuan, maupun sepengetahuan pihak Wen Ken Drug sebagai pemilik
merek, mendaftarkan logo Cap Kaki Tiga kepada Kantor Hak Cipta sebagai milik
bersama Wen Ken Drug, PT. SBS, dan Budi Yuwono sendiri.
Sama halnya dengan sengketa lukisan badan pada larutan cap kaki tiga,
sengketa mengenai siapa pencipta dari suatu ciptaan juga terjadi dalam kasus
sengketa logo organisasi Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI)
antara Muchtar Pakpahan melawan Rekson Silaban. Dr. Muchtar Pakpahan, S.H,
M.A adalah Pendiri, deklarator dan mantan Ketua Umum SBSI (Serikat Buruh
Sejahtera Indonesia) yang kini menjadi Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera
Indonesia (KSBI). Pada tahun 1992, pertemuan Buruh Nasional pertama kalinya
dilaksanakan di Wisma Cipayung, Cipayung, Bogor, Jawa Barat. Sebelum
dilaksanakannya pertemuan tersebut, Muchtar Pakpahan sudah menyiapkan
seni gambar logo untuk diajukan dalam pertemuan Buruh Nasional tersebut
untuk dijadikan sebagai lambang Organisasi SBSI hingga kemudian gambar logo
itu diterima dan ditetapkan menjadi lambang resmi SBSI. Pada awal Januari
2013, Muchtar Pakpahan baru mengetahui bahwa Rekson Silaban telah
mengajukan permohonan pendaftaran hak cipta atas gambar logo SBSI Kantor
HaKi pada tanggal 14 Mei 2004 dengan judul "Konfederasi Serikat Buruh
Sejahtera Indonesia". Pendaftaran hak cipta atas gambar logo SBSI ini dilakukan
pada saat Rekson Silaban menjabat sebagai Ketua Umum SBSI tanpa
sepengetahuan Muchtar Pakpahan yang pada saat itu menjabat sebagai Ketua
Majelis Pertimbangan Organisasi SBSI. Oleh karena itu, Muchtar Pakpahan yang
mengetahui ciptaannya telah didaftarkan oleh orang lain melakukan gugatan di

  5
Pengadilan Niaga.
Seseorang dapat dikatakan sebagai pencipta atau pemegang hak
cipta suatu ciptaan apabila seseorang adalah memang adalah penciptanya, atau
apabila seseorang mendapatkan pengalihan hak cipta dengan cara lisensi atau
penyerahan hak cipta. Dengan adanya pengalihan hak cipta tersebut maka pihak
yang mendapatkan pengalihan hak cipta tersebut bisa mengeksploitasi hak- hak
ekonomi dari suatu ciptaan yang dialihkan. Namun berbeda dengan seseorang
yang menciptakan sesuatu dalam hubungan kerja dengan perusahaan atau
dengan kata lain, orang tersebut adalah karyawan suatu perusahaan.
Berdasarkan Pasal 8 ayat 3 Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak
Cipta, pencipta yang merupakan pihak yang membuat ciptaan itu dianggap
sebagai pencipta dan pemegang hak cipta, kecuali diperjanjikan lain antara
kedua belah pihak. Hal ini masih dapat menyebabkan sengketa, seperti halnya
dalam kasus antara PM. Banjarnahor melawan PT. Holcim Indonesia. P.M
Banjarnahor adalah karyawan dari PT Holcim Indonesia yang kemudian
menuntut pembayaran royalti atas ciptaan yang didaftarkan PT. Holcim
Indonesia dengan judul “Database Formulasi PMB’s Penghitungan Kompensasi
Pemanfaatan Lahan Industri Golongan C” sebagai salah satu ciptaannya dalam
melaksanakan tugas sebagai salah satu wakil/anggota tim dari Penggugat dalam
proses pembahasan formula penghitungan ganti rugi penambangan batu kapur
di Nusa Kambangan. PT. Holcim Indonesia sangat terkejut atas klaim Tergugat
yang mendasarkan pembayaran royalti untuk suatu hal yang disebut sebagai
“hak cipta” atas cara dan metode pembayaran atau formulasi kompensasi,
sedangkan cara dan metode yang disebutkan haruslah didasarkan pada
peraturan perundangan yang berlaku dan merupakan jiplakan belaka dari cara
atau metode ataupun rumusan yang dicantumkan dalam Perjanjian yang
merupakan hasil rumusan tim penilai.
Berdasarkan kasus- kasus sengketa hak cipta di atas, maka penulis akan
membahas dan menganalisa lebih lanjut dalam makalah yang berjudul “
SENGKETA PEMEGANG HAK CIPTA SUATU CIPTAAN (Studi Kasus Wen
Ken Drug Co. Melawan PT.SBS, Muchtar Pakpahan Melawan Rekson Silaban
dan PT. Holcim Indonesia Melawan PM. Banjarnahor).

  6
1.2 Rumusan Masalah
Dalam pembahasan permasalahan tersebut, maka dapat dirumuskan
mengenai:
1. Apakah pemberian hak cipta pada penerima lisensi dan tidak diakuinya
pemberi lisensi sebagai satu-satunya pemegang hak cipta atas ciptaan yang
menjadi objek perjanjian lisensi sebagaimana dimaksud dalam Putusan MA
No. 104 PK/PDT.SUS/2011 tersebut sudah tepat?
2. Apakah penerima lisensi berhak mendapatkan hak cipta atas ciptaan yang
menjadi objek perjanjian lisensi?
3. Bagaimana Status hak cipta logo Partai SBSI?
4. Bagaimanakah status penciptaan dari Database Formulasi PMB’s
Penghitungan Kompensasi Pemanfaatan Lahan Industri Tambang
Golongan C ?

  7
BAB 2

TINJUAN HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL

2.1 Hak Cipta sebagai bagian dari Hak Kekayaan Intelektual

Istilah Hak Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan terjemahan dari


Intellectual Property Right (selanjutnya disebut IPR) yang dideskripsikan sebagai
hak atas kekayaan yang timbul karena kemampuan intelektual manusia. Pada
prinsipnya, IPR sendiri merupakan perlindungan hukum atas HKI yang
kemudian dikembangkan menjadi suatu lembaga hukum yang disebut
Intellectual Property Right. 5 Sedangkan menurut Abdul Kadir Muhammad,
pada dasarnya HKI merupakan hak yang berasal dari hasil kegiatan kreatif suatu
kemampuan daya pikir manusia yang diekspresikan kepada khalayak umum
dalam berbagai bentuknya yang yang memiliki manfaat serta berguna dalam
menunjang kehidupan manusia dan memiliki manfaat ekonomi yang berbentuk
nyata biasanya di bidang teknologi, ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. 6
Pengertian HKI juga dapat dideskripsikan sebagai hak atas kekayaan yang
timbul atau lahir karena kemampuan intelektual manusia. 7

                                                            
5
 Andriana Krisnawati, Hak pemulia (Breeder’s Right) sebagai Alternatif Perlindungan
Hukum Atas Varietas Baru Tanaman Dalam pembangunan Hukum Nasional Indonesia, Tesis pada
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 2002, 24.  
6
 Abdulkadir Muhammad, Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2001), 15-16.  
7
 Bambang Kesowo, ”Pengantar Umum Mengenai Hak Atas Kekayaan Intelektual
(HAKI) di Indonesia”, Makalah pada Pelatihan Teknis Yustisial Peningkatan Pengetahuan Hukum
bagi Hakim Tinggi se-Indonesia yang diselenggarakan Mahkamah Agung RI, Semarang, 20-24
Juni 1995, 206.

  8
Pada dasarnya HKI dapat digolongkan ke dalam dua bagian, yaitu: 8

1. Hak Cipta (copyrights) yang terdiri dari hak cipta dan hak-hak yang berkaitan
dengan hak cipta (neighbouring right).
2. Hak Kekayaan Perindustrian yang terdiri dari:

a. Paten (patent)
b. Merek Dagang (trade mark)
c. Desain Industri (industrial design)
Bidang-bidang HKI yang telah diatur dalam hukum Indonesia meliputi: Hak
Cipta (Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002), Paten (Undang-undang Nomor
14 Tahun 2001), Merek (Undang-undang Nomor 15 tahun 2001), Rahasia Dagang
(Undang-undang Nomor 30 Tahun 2000), Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu
(Undang-undang Nomor 32 Tahun 2000), Desain Industri (Undang- undang
Nomor 31 Tahun 2000).

2.2 Definisi Hak Cipta

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2002 tentang


Hak Cipta yang dimaksud dengan hak cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta
atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau
memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Patricia
Loughlan, hak cipta merupakan bentuk kepemilikan yang memberikan
pemegangnya hak eksklusif untuk mengawasi penggunaan dan memanfaatkan
suatu kreasi intelektual, sebagaimana kreasi yang ditetapkan dalam kategori hak
cipta, yaitu kesusasteraan, drama, musik dan pekerjaan seni serta rekaman suara,
film, radio dan siaran televisi, serta karya tulis yang diperbanyak melalui
perbanyakan (penerbitan). 9

Jill McKeough & Andrew Stewart menjelaskan bahwa perlindungan hak


cipta merupakan suatu konsep di mana pencipta (artis, musisi, pembuat film)

                                                            
8
  
9
 Patricial Loughlan, Intelectual Property: Creative and Marketing Rights,
(Australia : LBC Information Services, Australia, 1998), 3.
 
 

  9
yang memiliki hak untuk memanfaatkan hasil karyanya tanpa memperbolehkan
pihak lain untuk meniru hasil karyanya tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa


hak cipta adalah bagian dari hak kekayaan intelektual, dimana pemiliknya
mempunyai hak eksklusif untuk memanfaatkan hasil ciptaannya dengan cara
mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu
adalah ditujukan sebagai penghargaan atas kreativitas pencipta itu sendiri. Hal
ini bertujuan agar semangat untuk mencipta semakin berkembang di kalangan
masyarakat.

Pengertian Hak Cipta sendiri adalah suatu pengertian yang luas yang
dapat diklarifikasikan ke dalam beberapa bentuk hak yang berbeda yaitu hak
ekonomi (economy rights) dan hak moral (moral rights). Hak ekonomi adalah hak
yang berkaitan dengan pemanfaatan secara komersial suatu ciptaan. 10 Suatu
ciptaan merupakan hasil karya yang dilihat dari aspek ekonomi pengorbanan
merupakan suatu investasi yang perlu dikelola secara komersial untuk
mendapatkan pengembalian modal memperoleh keuntungan. Semakin bermutu
suatu ciptaan semakin tinggi pula potensi nilai komersialnya. Di samping hak
ekonomi seperti yang diuraikan diatas, dikenal pula hak moral (moral rights).
Hak moral ini merupakan manifestasi dari adanya pengakuan manusia terhadap
hasil karya orang lain yang sifatnya non ekonomi. Dengan kata lain hak moral
merupakan penghargaan moral yang diberikan masyarakat kepada seseorang
karena orang tersebut tela menghasilkan suatu ciptaan atau karya tertentu
kepadanya untuk melakukan sesuatu apabila ada orang yang melanggarnya.

Pengaturan Hak Cipta yang dimiliki oleh Indonesia saat ini memiliki
sejarah yang panjang. Lebih dari 70 Tahun lamanya perlindungan Hak Cipta
berada dibawah naungan Undang – undang ciptaan Belanda, baru kemudian
pada Tahun 1982 kita baru memiliki Undang – undang sendiri yaitu Undang –
undang No. 6 Tahun 1982. Namun seiring dengan waktu sejak Undang – undang
tersebut diberlakukan ternyata hasilnya tidak seperti yang diharapakan sesuai
                                                            
10
 Sanusi Bintang, Hukum Hak Cipta Dilengkapi Dengan Susunan dalam Satu Naskah UUHC
(1982, 1987 dan 1997) (Jakarta : Penerbit Utan Kayu, 2002), hal. 4  
 

  10
dengan maksud awal penciptaanya. Sebagai pembaruan atas Undang – undang
No. 6 Tahun 1982, lahirlah Undang No. 7 tahun 1987, namun persoalan hak cipta
masih belum juga dianggap tuntas, sehingga lahirlah Undang – undang No. 12
tahun 1997. Seiring dengan waktu, kebutuhan kepastian hukum pun bertambah
dengan kemajuan jaman makan pada akhirnya dikeluarkanlah Undang- undang
No. 19 Tahun 2002.

2.3 Prinsip- Prinsip Hak Cipta

Berdasarkan Undang- Undang No. 19 Tahun 2002, Prinsip-prinsip dasar


yang terdapat pada hak cipta, yaitu:

1. Yang dilindungi hak cipta adalah ide yang telah berwujud dan asli. Dari
prinsip ini diturunkan beberapa prinsip yaitu :
a. Suatu ciptaan harus mempunyai keaslian (orisinilitas) untuk dapat
menikmati hak-hak yang diberikan undang-undang.
b. Suatu ciptaan mempunyai hak cipta jika ciptaan yang bersangkutan
diwujudkan dalam bentuk tulisan atau bentuk materil lain.
c. Karena hak cipta adalah hak khusus, tidak ada orang lain yang boleh
melakukan hak itu kecuali dengan izin pencipta. 11
2. Hak cipta timbul dengan sendirinya (otomatis). 12
3. Suatu ciptaan tidak selalu perlu diumumkan untuk memperoleh hak
cipta. 13

4. Hak cipta suatu ciptaan merupakan suatu hak yang diakui oleh hukum
(legal right) yang harus dipisahkan dan dibedakan dari penguasaan fisik

suatu ciptaan.

5. Hak cipta bukan hak mutlak (absolut).

2.4 Ruang Lingkup dan Pembatasan Hak Cipta

                                                            
11
 Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.  
12
 Penjelasan Pasal 35 ayat (4) UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.  
13
 Ibid. 

  11
Dalam Pasal 12 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta
bidang-bidang yang dilindungi hak cipta adalah:

”Ciptaan dalam ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang terdiri dari:

1. Buku, Program Komputer, pamflet, perwajahan (lay out) karya tulis yang
diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;
2. Ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan lain yang sejenis dengan itu;
3. Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu
pengetahuan;
4. Lagu atau musik dengan atau tanpa teks;
5. Drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;
6. Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni
kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;
7. Arsitektur;
8. Peta;
9. Seni Batik;
10. Fotografi;
11. Sinematografi;
12. Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari
hasil pengalihwujudan.”

2.5 Fungsi dan Sifat Hak Cipta

Didalam pasal 2 Undang – undang Hak Cipta 1982 yang diperbaharui


dengan Undang – undang Hak Cipta No. 7 Tahun 1987 yang diperbaharui oleh
Undang – undang No. 12 Tahun 1997 dan kemudian diperbaharui lagi oleh
Undang – undang No.19 Tahun 2002, secara tegas menyatakan dalam
mengumumkan atau memperbanyak ciptaan serta memberi izin untuk itu harus
memperlihatkan pembatasan– pembatasan menurut peraturan perundangan
yang berlaku. Hal ini dimaksudkan agar setiap penggunaan dan memfungsikan
Hak Cipta harus sesuai dengan tujuannya. Yang tujuan utama pembatasan
terhadap Hak Cipta ini agar setiap orang dan badan hukum tidak menggunakan
haknya secara sewenang – wenang, hak cipta mempunyai fungsi sosial, hal ini

  12
dapat kita lihat dengan jelas dari Undang – undang Hak Cipta No. 19 Tahun
2002.

Didalam penggunaanya harus diperhatikan apakah hal itu tidak


bertentangan atau merugikan kepentingan umum. Didalam Undang –undang
No. 19 Tahun 2002 menyatakan bahwa Hak Cipta itu merupakan hak khusus,
yang berarti tidak ada yang berhak atas hak tersebut kecuali pencipta itu sendiri
ataupun orang lain dengan izin dari penciptanya. Artinya, meskipun hak
individu itu dihormati namun pada penggunaanya tetap harus memperhatikan
kepentingan umum. Kepentingan – kepentingan tersebut antara lain : 14

1. Pengumuman dan/atau perbanyakan lambang Negara dan lagu


kebangsaan menurut sifatnya yang asli;
2. Pengumuman dan/atau perbanyakan segala sesuatu yang diumumkan
dan/atau diperbanyak oleh atau atas nama pemerintah, kecuali bila Hak
Cipta itu dinyatakan dilindungi, baik dengan peraturan perundang-
undangan maupun dengan pernyataan pada ciptaan itu sendiri atau
ketika ciptaan itu diumumkan dan/atau diperbanyak ;
3. Pengambilan berita aktual baik seluruhnya maupun sebagian dari kantor
berita, lembaga penyiaran, dan surat kabar, atau sumber sejenis lain
dengan ketentuan sumbernya harus disebutkan secara lengkap;
4. Penggunaan ciptaan pihak lain untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik
atau tinjauan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang
wajar dari Pencipta;
5. Pengambilan ciptaan pihak lain, baik seluruhnya maupun sebagian, guna
keperluan pembelaan di dalam atau di luar pengadilan;
6. Pengambilan ciptaan pihak lain, baik seluruhnya atau sebagian, guna
keperluan ceramah yang semata-mata untuk tujuan pendidikan dan ilmu
pengetahuan serta pertunjukan atau pementasan yang tidak dipungut
bayaran dengan ketentuan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari
Pencipta;

                                                            
14
 Republik Indonesia, Ibid 

  13
7. Perbanyakan suatu ciptaan di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra
dalam huruf braile guna keperluan para tunanetra, kecuali jika
perbanyakan itu bersifat komersial;
8. Perbanyakan hasil ciptaan selain program komputer, secara terbatas
dengan cara atau alat apapun atau proses yang serupa oleh perpustakaan
umum, lembaga ilmu pengetahuan dan pendidikan, dan pusat
dokumentasi, yang non-komersial semata-mata untuk keperluan
aktivitasnya;
9. Perubahan yang dilakukan berdasarkan pertimbangan pelaksanaan
teknis atas karya arsitektur, seperti ciptaan bangunan;
10. Pembuatan salinan cadangan suatu program komputer oleh pemilik
program komputer yang dilakukan semata-mata untuk keperluan
sendiri.

2.6 Jangka Waktu Hak Cipta

UU No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta membedakan jangka waktu


perlindungan bagi ciptaan-ciptaan yang dilindungi oleh hak cipta. Bagi hak cipta
atas ciptaan: buku, pamflet, dan semua hasil karya tulis lain; drama atau drama
musikal, tari koreografi; segala bentuk seni rupa, seperti seni lukis, seni pahat,
dan seni patung; seni batik, lagu atau musik dengan atau tanpa teks, arsitektur,
ceramah, kuliah, pidato dan ciptaan sejenis lain, alat peraga, peta terjemahan,
tafsir, saduran dan bunga rampai diberikan jangka waktu perlindungan selama
hidup pencipta dan terus berlangsung hingga 50 (lima puluh) tahun setelah
pencipta meninggal dunia. 15 Sementara, untuk ciptaan yang telah disebutkan di
atas yang diiliki oleh 2 (dua) orang atau lebih diberikan perlindungan hak cipta
selama hidup pencipta yang meninggal dunia paling akhir dan berlangsung
hingga 50 (lima puluh) tahun sesudahnya. 16

Selanjutnya hak cipta atas ciptaan program komputer, sinematografi,


fotografi, database, data karya hasil pengalihan-wujudan diberikan perlindungan

                                                            
15
Pasal 29 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta.
16
Pasal 29 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta.

  14
selama 50 (lima puluh) tahun sejak pertama kali diumumkan. 17 Hak cipta atas
perwajahan karya tulis yang diterbitkan diberikan perlindungan selama 50 (lima
puluh) tahun sejak pertama kali diumumkan. 18

2.7 Pendaftaran Hak Cipta

Hak cipta berbeda dengan paten dan merek, dimana paten dan merek
mempunyai kewajiban untuk didaftarkan. Sementara hak cipta tidak demikian,
hak cipta boleh didaftarkan bleh tidak, karena bila tidak didaftarkan pun hak
cipta pun mendapat perlindungan hukum. Seperti yang ditegaskan dalam pasal
5 Undang-Undang Hak Cipta yaitu :

1. Kecuali terbukti sebaliknya, yang dianggap sebagai pencipta adalah :

a. Orang yang namanya terdaftar dalam daftar umum ciptaan


dan pengumuman resmi tentang pendaftaran pada
Departemen Kehakiman sperti yang dimaksudkan dalam
pasal 29
b. Orang yang namanya disebut dalam ciptaan atau diumukan
sebagai pencipta pada suatu ciptaan.
2. Kecuali terbukti sebaliknya, pada ceramah tidak tertulis dan tidak tertulis
dan
tidak ada pemberitahuan siapa penciptanya, maka orang yang berceramah
dianggap sebagai penciptanya. Maka dapat disimpulkan dari keterangan diatas,
bahwa untuk mnjadi pemegang hak cipta tidak harus mendaftarkannya. Hak itu
telah ada sejak pencipta menciptakan ciptanya.

Namun bila didaftarkan akan lebih menguntungkan dari sisi pencipta, karena
nama orang yang tercantum didalam daftar yang ada di kantor hak cipta
dinggap sebagai pencipta, yang bila ada pihak lain yang menuntut maka orang
yang terdaftar itu dianggap sebagai satu-satunya pemegang hak cipta.
Pendaftaran ciptaan bukan hal mutlak untuk memperoleh hak cipta, hanya saja
lebih memudahkan pembuktian bila timbul perselisihan.
                                                            
17
Pasal 30 ayat (1) UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta.
18
Pasal 30 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta.
 

  15
Satu hal penting dalam Undang-undang Hak Cipta tentang pendaftaran
hak cipta terdapat dalam pasal 30 bahwa pendaftaran hak cipta tidak berarti
pengesahan isi, arti, atau bentuk dari ciptaan yang didaftarkan. Dengan kata lain
penerima pendaftaran (pemerintah) tidak bertanggung jawab atas isi dan juga
tidak mengesahkan isi dari yang didaftarkan itu. Pendaftaran dimaksud
diselenggarakan oleh Departemen Kehakiman dan dicantumkan dalam daftar
umum ciptaan yang dapat dilihat oleh setiap orang. Permohonan pendaftaran
ciptaan diajukan kepada Menteri Kehakiman Republik Indonesia melalui
Direktorat Paten dan Hak Cipta dengan surat permohonan rangkap dua yang
disertai :

1. Biaya pendaftaran yang ditetapkan oleh Menteri Kehakiman

2. Contoh ciptaan atau penggantinya

Surat permohonan pendaftaran ciptaan hanya dapat diajukan untuk satu


ciptaan. Apabila permohonan pendaftaran ciptaan diajukan atas nama beberapa
orang maka harus ditulis semua dan memuat satu alamat pemohon. Dan bila
pemohon merupakan badan hukum maka permohonan harus disertai dengan
akta pendirian badan hukum tersebut. Terhadap permohonan pendaftaran yang
memenuhi syarat akan dilakukan pemeriksaan, sedangkan yang tidak
memenuhi syarat akan dikembalikan kepada pemohn untuk dilengkapi.

Selanjutnya, Direktorat Paten dan Hak Cipta kemudian akan memeriksa


apakah pemohon benar-benar pencipta atau pemegang hak tas ciptaan yang
dimohonkan. Apabila permohonan diterima, Direktorat Paten dan Hak cipta
akan mendaftarkannya dalam Daftar Umum ciptaan, selanjutnya dalam daftar
umum ciptaan sebagaimana Pasal 33 dimuat antara ain tanggal penerimaan,
surat permohonan, tanggal lengkap persyaratan (surat permohonan) dan nomor
pendaftaran ciptaan. Sebaliknya bila ditolak, pemohon dapat mengajukan
permohonan kembali dalam jangka waktu 3 bulan setelah diterimanya
penolakan pendaftaran tersebut oleh pemohon.

  16
BAB 3

ANALISA KASUS

Dalam makalah ini kami akan membahas 3 buah kasus, yaitu Kasus
sengketa hak cipta atas lukisan Badak pada kemasan larutan penyegar cap
kaki tiga antara Wen Ken Drug Co. melawan PT. SBS, kemudian sengketa
hak cipta logo organisasi Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia
anata Muchtar Pakpahan melawan Rekson Silaban, serta Kasus sengketa hak
cipta antara PM Banjarnahor melawan PT. Holcim Indonesia.

3.1 Kasus Wen Ken Drug Co VS PT.SBS

3.1.1 Kasus Posisi

Perusahaan Singapura Wen Ken Drug Co. Pte Ltd (Wen Ken) adalah
pemberi lisensi hak cipta dan merek minuman penyegar Cap Kaki Tiga kepada
perusahaan nasional PT. Sinde Budi Sentosa (PT. SBS). Wen Ken yang
berkedudukan di Singapura adalah perusahaan farmasi yang memproduksi
obat-obat luar seperti salep dan juga minuman larutan penyegar yang berguna
bagi kesehatan dengan merek dagang “Cap Kaki Tiga”. Salah satu produk Wen
Ken adalah Larutan Penyegar Cap Kaki Tiga dengan gambar seekor badak pada
labelnya. Untuk memasuki pasar Indonesia, pada tahun 1978 Wen Ken

  17
melakukan kerja sama dengan PT. SBS dengan memberikan lisensi merek “Cap
Kaki Tiga” kepada PT. SBS di wilayah Indonesia.
Dalam perjanjian lisensi yang ditandatangani kedua belah pihak pada
tanggal 8 Februari 1978 tersebut dinyatakan bahwa Wen Ken memberikan lisensi
kepada PT. SBS untuk:
1. memproduksi dan memasarkan produk dengan merek dagang “Cap
Kaki Tiga”;
2. mengatur pengurusan pendaftaran Merek dan Hak Cipta “Cap Kaki
Tiga” di Indonesia;
3. melakukan pendaftaran produk-produk dengan merek “Cap Kaki
Tiga” di Departemen Kesehatan RI.

Berdasarkan perjanjian lisensi tersebut, PT. SBS sejak tahun 1980


memproduksi, mendistribusikan, dan memasarkan minuman Larutan Penyegar
Cap Kaki Tiga di wilayah Indonesia. Perjanjian lisensi tersebut kemudian
didaftarkan PT. SBS di Direktorat Merek, Ditjen HKI, Departemen Hukum dan
HAM tanggal 7 Juli 2008.
Setelah 30 tahun kerja sama antara Wen Ken dengan PT. SBS berjalan
dengan baik, Wen Ken dengan surat tertanggal 4 Februari 2008 memutus
perjanjian lisensi secara sepihak. Alas an Wen Ken melakukan hal tersebut
adalah karena PT. SBS tidak membayar royalti dan tidak menyampaikan laporan
produksi dan penjualan produk secara periodic, serta menghilangkan Logo Kaki
Tiga dari kemasan produk. Wen Ken meminta PT. SBS untuk tidak lagi
memproduksi minuman penyegar merek Cap Kaki Tiga mulai tanggal 7 Februari
2008 dan mengajukan beberapa gugatan pada Pengadilan Niaga di Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat mengenai pembatalan merek dan hak cipta yang berkaitan
dengan produk minuman penyegar Cap Kaki Tiga yang telah didaftarkan oleh
PT. SBS dan Komisaris Utamanya, Budi Yuwono. Salah satu gugatan tersebut
adalah gugatan pembatalan Sertifikat Pendaftaran Hak Cipta No. 015649 tentang
Logo Cap Kaki Tiga dengan Lukisan Badan yang terdaftar atas nama Wen Ken,
PT. SBS, dan Budi Yuwono (BY).
Dalam gugatannya, Wen Ken (Penggugat) memohon kepada Pengadilan
Niaga untuk menetapkan bahwa dialah satu-satunya pencipta dan atau

  18
pemegang hak cipta atas Lukisan Badak pada kemasan minuman larutan
penyegar Cap Kaki Tiga dan membatalkan pendaftaran atas nama PT. SBS
(Tergugat I) dan BY (Tergugat II) serta mencoret kedua nama tersebut dari
Sertifikat Pendaftaran Hak Cipta No. 015649 pada Daftar Umum Ciptaan.
Dalil-dalil yang diajukan Penggugat dalam gugatannya, antara lain,
adalah bahwa ia telah memproduksi minuman penyegar Cap Kaki Tiga dengan
Lukisan Badak sejak tahun 1937. Ia jugalah yang pertama kali mengumumkan (to
make public) Lukisan Badak yang melekat pada merek Cap Kaki Tiga. Wen Ken
menuduh para tergugat memiliki itikad tidak baik dalam mendaftarkan hak
cipta atas Logo Cap Kaki Tiga dengan Lukisan Badak, karena tanpa seizing,
persetujuan, dan sepengetahuannya, BY mendaftarkan hak cipta atas Logo Cap
Kaki Tiga dengan Lukisan Badak sebagai milik bersama antara Wen Ken, PT.
SBS, dan BY.
Pengadilan Niaga dengan Putusan No. 31/Hak
Cipta/2010/PN.Niaga.Jkt.Pst tanggal 21 Juli 2010 mengabulkan gugatan
Penggugat seluruhnya. Pengadilan Niaga menetapkan Wen Ken sebagai satu-
satunya pencipta dan pemegang hak cipta atas Logo Cap Kaki Tiga, serta
membatalkan pendaftaran atas nama PT. SBS dan BY dalam Daftar Hak Cipta
dengan nomor pendaftaran 015649.
Merasa tidak puas dengan putusan Pengadilan Niaga tersebut, PT. SBS
dan BY kemudian mengajukan kasasi ke MA, PT. SBS dan BY selaku Pemohon
Kasasi dalam permohonan kasasinya menilai, Pengadilan Niaga telah salah
dalam menerapkan hukum. Hal ini karena Wen Ken (Termohon Kasasi) tidak
memiliki bukti yang akurat mengenai Lukisan Badak dan Cap Kaki Tiga yang
diklaim telah lama digunakannya. Di sisi lain, yang didaftarkan Pemohon Kasasi
bukanlah semata-mata Logo Cap Kaki Tiga, melainkan Seni Lukis Etiket Larutan
Penyegar Cap Kaki Tiga yang merupakan hasil ciptaan Pemohon Kasasi yang
orisinil (asli) dan Pemohon Kasasi dapat membuktikan bahwa ciptaannya benar-
benar orisinil pada saat pendaftaran hak cipta.
Dalam putusannya MA berpendapat bahwa Pengadilan Niaga telah salah
dalam menerapkan hukum pembuktian. Yang menjadi pertimbangan MA adalah
Termohon Kasasi tidak memiliki bukti sebagai pemegang hak cipta atas Logo
Cap Kaki Tiga dari Negara Singapura atau negara lainnya. Termohon Kasasi juga

  19
tidak dapat membuktikan bahwa dialah pencipta Logo Cap Kaki Tiga.
Lebih lanjut MA menolak tuduhan Termohon Kasasi bahwa pendaftaran
hak cipta yang dilakukan oleh Pemohon Kasasi dilakukan dengan itikad tidak
baik, karena pendaftaran tersebut merupakan tindak lanjut dari kesepakatan
tanggal 8 Februari 1978 antara Termohon Kasasi dan Pemohon Kasasi, di mana
Pemohon Kasasi harus mengatur daftar merek dagang dan hak ciptanya.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, MA denagn Putusan
No. 768 K/Pdt.Sus/2010 tanggal 30 November 2010 mengabulkan permohonan
kasasi dari PT. SBS dan BY. Dengan demikian, hak cipta dengan nomor
pendaftaran 015649 tidak dibatalkan.
Dalam putusan kasasi ini terdapat dissenting opinion dari Hakim Agung
Prof. MK. Ia berpendapat, termohon kasasi dapat membuktikan bahwa dialah
pemilik hak cipta atas karya lukis Logo Cap Kaki Tiga karena dia yang pertama
kali mengumumkan karya cipta tersebut. Apakah hak cipta tersebut harus
berdasarkan hukum di Singapura. Prof. MK menilai sangat berlebihan untuk
meyakini bahwa asal produk dan hak cipta maupu etiket adalah murni milik
Pemohon Kasasi. Lebih lanjut ia berpendapat, bahwa perjanjian lisensi bukanlah
perjanjian jual beli, ia hanya izin untuk memproduksi dan memasarkan. Oleh
karena itu, Pengadilan Niaga tidak salah menerapkan hukum sehingga
permohonan kasasi harus ditolak.
Kalah di tingkat kasasi, Wen Ken kemudian mengajukan peninjauan
kembali (PK). Dalam permohonan PK, Wen Ken (Pemohon PK) mengemukakan
alasan-alasan diajukannya PK, antara lain karna MA dalam putusannya telah
salah dan keliru menerapkan ketentuan pendaftaran hak cipta sebagai
kepemilikan menurut UUHC. Pemohon PK berargumen, hak cipta diperoleh dan
dimiliki bukan berdasarkan pendaftaran, namun berdasarkan pengumuman ke
publik yang pertama kali. Pemohon PK berpendapat bahwa sistem pendaftaran
hak cipta di Indonesia adalah sistem deklaratif. Artinya, pendaftaran tidaklah
menerbitkan hak, tetapi hanya memberikan dugaan atau sangkaan bahwa si
pendaftar adalah pencipta.
Terhadap permohonan PK tersebut, MA berpendapat bahwa alasan-
alasan permohonan PK yang diajukan Pemohon PK tidak dapat diterima. MA
menilai, tidak ada kekhilafan/kekeliruan nyata dalam putusan kasasi karena

  20
pertimbangannya telah tepat dan benar. MA menegaskan bahwa Pemohon PK
tidak dapat membuktikan originality Logo Cap Kaki Tiga yang telah terdaftar di
Singapura atau negara lainnya. Menurut MA, dalam Perjanjian Lisensi tanggal 8
Februari 1978 Pemohon PK hanya sebagai pemilik Merek Cap Kaki Tiga dan
tanpa “Lukisan Badak” dan kata “Larutan Penyegar”. Lebih lanjut MA
berpendapat bahwa Sertifikat Pendaftaran Hak Cipta No. 015649 dengan judul
Seni Lukis Etiket Larutan Penyegar Cap Kaki Tiga adalah ciptaan bersama antara
Wen Ken dan PT. SBS serta BY. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
tersebut, MA dalam Putusan No. 104 PK/PDT.SUS/2011 menolak permohonan
PK dari Wen Ken. Dengan demikian, Sertifikat Pendaftaran Hak Cipta No.
015649 tidak dibatalkan.

3.1.2 Analisa

Berdasarkan kasus di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwa, pada awalnya,
Diantara PT Wen Ken Drug Co. dan PT.SBS terdapat perjanjian lisensi terhadap
merek dan hak cipta atas logo Badak pada kemasan minuman penyegar Cap
Kaki Tiga dan produk minuman penyegar Cap Kaki Tiga itu sendiri. Kemudian,
pihak PT. SBS diketahui bahwa di kemudian hari telah mendaftarkan merek dan
logo Cap Kaki Tiga tanpa izin, persetujuan, maupun sepengetahuan pihak Wen
Ken Drug di Kantor Hak Cipta, sebagai milik bersama.

 Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 Undang- Undang No.19 Tahun 2002, Hak


Cipta adalah hak eksklusif bagi Pencipta atau penerima hak untuk
mengumumkan dan memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin
untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan- pembatasan menurut
peraturan perundang- undangan yang berlaku. Dalam Undang- Undang
ini, dinyatakan pula bahwa Hak Cipta berlaku secara otomatis setelah
suatu ciptaan dilahirkan. Berdasarkan pasal 5 UU No.19 Tahun 2002,
yang dianggap sebagai pencipta adalah :

- Orang yang namanya terdaftar dalam Daftar Umum Ciptaan pada


Direktorat Jenderal, atau

  21
- Orang yang namanya disebut dalam Ciptaan atau diumumkan
sebagai pencipta pada suatu Ciptaan.

Sedangkan, berdasarkan Intellectual & Property Rights Singapore, yang


mengatur mengenai Hak Kekayaan Intelektual di Singapura, tempat dimana
Wen Ken Drug Co. berada, menyatakan bahwa :

Unlike registered designs, patents and trade marks, there are no formalities required for
copyright to subsist and no system of registration of rights. In general, copyright subsists
in a work or subject-matter in Singapore if (1) the work or subject-matter was first
published or made in Singapore or in a member country of the Berne Convention or the
WTO; or (2) the author of the work or the maker of the subject was a citizen or resident of
Singapore or of a member country of the Berne Convention or the WTO at the time when
the work was first published or made

Yang menyatakan bahwa : Tidak ada formalitas yang mengatur mengenai


pendaftaran Hak Cipta, asalkan objek Hak Cipta tersebut pertama diumumkan
di Singapura atau dibuat di Singapura, dan penciptanya merupakan
warganegara Singapura atau warganegara dari Negara yang mengikuti Berne
Convention atau WTO pada saat Ciptaan tersebut dilahirkan.

Selain itu Intellectual & Property Rights Singapore juga mengatur bahwa :

The general rule is that the person who created a work is the owner of the copyright in the
work. However, another person is the owner if :

 the copyright was assigned to that person; or


 the work was created by the creator in the course of his employment by that
person.

Dapat kita lihat bahwa berdasarkan klausa di atas, bahwa Pencipta adalah orang
yang membuat suatu ciptaan yang merupakan pemegang hak cipta dari ciptaan
tersebut, namun orang lain juga bisa menjadi pemegang hak cipta apabila hak
cipta atas ciptaan tersebut dialihkan kepada orang lain, atau apabila ciptaan
tersebut tercipta oleh seseorang dikarenakan pekerjaan, atau dapat disimpulkan,
membuat ciptaan tersebut atas suruhan orang lain. Sebagai tambahan,
disebutkan pula bahwa :

Additionally, if the person who created the work was doing so in the course of
his employment as a journalist or a writer for a newspaper, magazine or

  22
periodical or under a contract of service or apprenticeship, the proprietor of the
newspaper, magazine or periodical would be the owner of the copyright, but
only for the purpose of publishing or reproducing the work in the newspaper,
magazine or periodical;

Seseorang yang bukan pencipta dapat memegang hak cipta atas suatu ciptaan
akibat pekerjaan hanya sementara, yaitu dapat menggunakan ha katas
ciptaannya dalam tujuan tertentu saja, misalnya seorang fotografer yang
menggunakan hak atas foto yang ia buat hanya untuk kepentingan publikasi di
majalah / Koran.

Berdasarkan fakta- fakta tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa Wen


Ken Drug Co. sebagai perusahaan yang berbasis di Singapura, adalah Pencipta
dan Pemegang Cipta yang sah dari produk minuman penyegar Cap Kaki Tiga,
yang sudah menjadi satu kesatuan dengan Logo Cap Kaki Tiga dan Lukisan
Badak yang berada di kemasan minuman penyegar Cap Kaki Tiga. Oleh karena
adanya perjanjian lisensi antara Wen Ken Drug Co. dengan PT. SBS, maka PT.
SBS dapat dikatakan adalah pemegang lisensi dari produk minuman larutan Cap
Kaki Tiga dan pemegang hak cipta dari logo dan format keseluruhan
kemasannya.

Dirumuskan oleh Pasal 1 angka 14 UU No. 19 Tahun 2002, Lisensi adalah


izin yang diberikan Pemegang Hak Cipta atau Pemegang Hak Terkait kepada
pihak lain untuk mengumumkan dan/ atau memperbanyak ciptaannya atau
produk Hak terkaitnya dengan persyaratan tertentu. Dalam pasal ini dapat kita
lihat bahwa lisensi adalah suatu bentuk pemberian izin dari pemegang Hak
Cipta atau pemegang Lisensi, dimana penerima Lisensi dapat memanfaatkan
dan menggunakan hak tersebut, dan bukan mengalihkan hak tersebut,
berdasarkan syarat- syarat tertentu dan dalam jangka waktu tertentu yang
umumnya disertai dengan imbalan berupa royalti.

Akibat dari Lisensi adalah :

1. Pemilik HaKi dapat memakai hak tersebut untuk menciptakan suatu


bentuk tambahan penghasilan. Berarti HaKi menjadi asset yang lebih

  23
berharga karena menghasilkan pendapatan dalam bentuk royalty yang
diterima dari pengguna HaKi.
2. Pengguna Haki selain pemilik HaKi dapat melisensikan hak atas produk-
produk dan proses- proses mereka, karena ini seringkali lebih efisien
daripada penggunaan sendiri oleh pemilik HaKi. 19

Berdasarkan teori di atas, dapat disimpulkan bahwa pendaftaran merek dan Hak
Cipta minuman penyegar Cap Kaki Tiga oleh PT. SBS ke Kantor HaKi yang
mengatasnamakan Wen Ken Drug Co., PT. SBS dan Budi Yuwono adalah tidak
dibenarkan. Karena, status PT. SBS hanyalah sebagai pemegang lisensi dari Wen
Ken Drug Co. yang merupakan pemegang Hak Cipta asli dari keseluruhan
minuman Cap Kaki Tiga. Sebagai pemegang lisensi, PT. SBS hanya berhak
mendapatkan hak ekonomis yaitu untuk memproduksi, menjual, memasarkan,
dan mendistribusikan produk tersebut di wilayah Republik Indonesia, sehingga
pendaftaran hak cipta dan merek oleh PT. SBS tidak sesuai dengan ketentuan
hukum yang berlaku dan sudah sewajarnya dinyatakan batal.

3.2 Kasus Muchtar Pakpahan VS Rekson Silaban

3.2.1 Kasus Posisi

Dr. Muchtar Pakpahan, S.H, M.A adalah Pendiri, deklarator dan mantan Ketua
Umum SBSI (Serikat Buruh Sejahtera Indonesia) yang kini menjadi Konfederasi
Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBI). Pada tahun 1992, pertemuan Buruh
Nasional pertama kalinya dilaksanakan di Wisma Cipayung, Cipayung, Bogor,
Jawa Barat. Pertemuan Buruh Nasional tersebut diprakarsai oleh Penggugat,
Almarhum KH.Abdurahman Wahid, Almarhum Suko Waluyo dan Sabam Sirait
dan dihadiri oleh 107 (seratus tujuh) orang termasuk Penggugat yang menjadi
deklarator berdirinya SBSI pada tanggal 25 April 1992. Sebelum dilaksanakannya
pertemuan tersebut, Muchtar Pakpahan sudah menyiapkan seni gambar logo
untuk diajukan dalam pertemuan Buruh Nasional tersebut untuk dijadikan
sebagai lambang Organisasi SBSI hingga kemudian gambar logo itu diterima dan
ditetapkan menjadi lambang resmi SBSI.
                                                            
19
 Pengantar HaKi 

  24
Gambar logo yang menjadi lambang organisasi SBSI yang terdiri dari:

1. Warna dasar lambang yaitu putih, yang mencerminkan kesucian


2. Lambang warna hitam atas warna dasar terdiri dari:

a. Rantai, terdiri dari 27 lingkaran atau mata rantai yang mencerminkan


persatuan di 27 propinsi;
b. Roda mesin, terdiri dari lima gigi roda mesin, yang mencerminkan
kekuatan buruh yang berazaskan Pancasila;
c. Padi dan kapas, yang mencerminkan kemakmuran dan kesejahteraan;
d. Timbangan/ dacing, yang berwarna biru yang mencerminkan
keadilan;
e. Pita berwarna merah di bawah lambang organisasi dengan tulisan
Serikat Buruh Sejahtera Indonesia, mencerminkan keberanian untuk
memperjuangkan tujuan organisasi;

Kemudian, pada tanggal 25 April 1992 Penggugat diangkat secara aklamasi oleh
peserta pertemuan Buruh Nasional menjadi Ketua Umum Pertama SBSI dan
sejak saat itu gambar logo tersebut digunakan oleh SBSI sebagai lambang resmi
dalam setiap aktivitas organisasi. Pada bulan April 2003, Rekson Silaban menjadi
Ketua Umum SBSI untuk menggantikan Muchtar Pakpahan dengan masa
jabatan dari April 2003 sampai dengan April 2007 dan Rekson Silaban kemudian
terpilih menjadi Presiden Konfederasi SBSI untuk periode April 2007 sampai
dengan April 2011.

Pada awal Januari 2013, Muchtar Pakpahan baru mengetahui bahwa Rekson
Silaban telah mengajukan permohonan pendaftaran hak cipta atas gambar logo
SBSI Kantor HaKi pada tanggal 14 Mei 2004 dengan judul "Konfederasi Serikat
Buruh Sejahtera Indonesia". Pendaftaran hak cipta atas gambar logo SBSI ini
dilakukan pada saat Rekson Silaban menjabat sebagai Ketua Umum SBSI tanpa
sepengetahuan Muchtar Pakpahan yang pada saat itu menjabat sebagai Ketua
Majelis Pertimbangan Organisasi SBSI. Oleh karena itu, Muchtar Pakpahan yang
mengetahui ciptaannya telah didaftarkan oleh orang lain melakukan gugatan di
Pengadilan Niaga.

  25
Berdasarkan dalil- dalil Penggugat dan eksepsi dari Tergugat, maka Majelis
Hakim berpendapat bahwa :

1. Bahwa dari dalil jawaban Tergugat dan keterangan saksi Siti Musdalifah
dan saksi Sunarti sebagaimana di atas, adalah fakta bahwa gambar logo
tersebut merupakan konsep dan usul dari Penggugat yang ditawarkan
pada peserta pertemuan buruh pada tahun 1992, kemudian ditanggapi
oleh para peserta dan disempurnakan dan akhirnya disepakati menjadi
logo Organisasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia.
2. Bahwa dengan demikian maka perbuatan Tergugat yang mendaftarkan
gambar logo Serikat Buruh Sejahtera Indonesia ciptaan Penggugat
tersebut menjadi logo "Konfederasi Serikat Buruh Sejahterah Indonesia"
dalam Daftar Umum Ciptaan dengan Nomor Daftar 028742 sebagai karya
ciptaan Tergugat adalah tidak sesuai dengan pengertian Pasal 1 ayat (2)
jo. Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Rl No.19 Tahun 2002 tentang Hak
Cipta, yaitu: "Ciptaan adalah hasil setiap karya Pencipta yang
menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni atau
sastra".

Oleh karena itu Majelis Hakim sampai pada putusannya untuk :

1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebahagian;


2. Menyatakan Penggugat sebagai pencipta gambar seni logo Serikat Buruh
Sejahtera Indonesia;
3. Menyatakan Pendaftaran Hak Cipta dengan judul KONFEDERASI
SERIKATBURUH SEJAHTERA INDONESIA Nomor 028742 yang
didaftarkan Tergugatdalam Daftar Umum Ciptaan tidak menunjukkan
keasliannya;
4. Membatalkan Pendaftaran Hak Cipta dengan judul KONFEDERASI
SERIKAT BURUH SEJAHTERA INDONESIA Nomor 028742 yang
didaftarkan Tergugat dalam Daftar Umum Ciptaan tersebut;
5. Memerintahkan Pemerintah Republik Indonesia c.q. Menteri Hukum Dan
HakAsasi Manusia Republik Indonesia, c.q. Direktur Hak Cipta, Desain
Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dan Rahasia Dagang,

  26
beralamat di Jalan Daan Mogot, Km.24, Tangerang untuk mencoret
Pendaftaran Hak Cipta atas nama Tergugat dari Daftar Umum Ciptaan
Nomor 028742 tersebut;
6. Memerintahkan Turut Tergugat untuk menerima pendaftaran gambar
seni logo Serikat Buruh Sejahtera Indonesia karya ciptaan Penggugat
tersebut dan mencatatnya dalam Daftar Umum Ciptaan;
7. Menolak gugatan Penggugat yang lain dan selebihnya;
8. Menghukum Tergugat dan Turut Tergugat untuk membayar biaya
perkara.

3.2.2 Analisa

Berdasarkan kasus di atas dapat disimpulkan bahwa Muchtar Pakpahan,


adalah pencipta dan pemegang hak cipta dari suatu ciptaan yang berupa karya
seni yang dijadikan logo dari suatu organisasi yaitu Konfederasi Serikat Buruh
Sejahtera Indonesia (KSBI). Sementara itu, tanpa sepengetahuan Muchtar
Pakpahan, Rekson Silaban sebagai Ketua Umum KSBI telah mendaftarkan logo
KSBI tersebut kepada Dirjen HaKi sebagai pencipta dan pemegang hak cipta dari
logo tersebut, sehingga ia telah mendapatkan sejumlah keuntungan dari
penggunaan logo tersebut, dan kemudian melarang Muchtar Pakpahan, yang
masih menjadi Dewan Penasihat KSBI, untuk menggunakan logo tersebut.

Berdasarkan pasal 1 angka 2 UU No.19 Tahun 2002, Pencipta adalah


seseorang atau beberapa orang secara bersama- sama yang atas inspirasinya
melahirkan suatu Ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi,
kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang dituangkan ke dalam bentuk yang
khas dan bersifat pribadi. Dalam hal ini, Muchtar Pakpahan adalah pencipta dari
logo KSBI, yang berupa suatu lambang dengan atribut- atribut antara lain Rantai,
terdiri dari 27 lingkaran atau mata rantai yang mencerminkan persatuan di 27
propinsi, Roda mesin, terdiri dari lima gigi roda mesin, yang mencerminkan
kekuatan buruh yang berazaskan Pancasila, Padi dan kapas, yang mencerminkan
kemakmuran dan kesejahteraan, Timbangan/ dacing, yang berwarna biru yang
mencerminkan keadilan, dan Pita berwarna merah di bawah lambang organisasi

  27
dengan tulisan Serikat Buruh Sejahtera Indonesia, mencerminkan keberanian
untuk memperjuangkan tujuan organisasi.

Logo ini adalah bentuk pemikiran pribadi Muchtar Pakpahan dan para
pendiri organisasi SBSI yang sebagian besar merupakan prakarsa Muchtar
Pakpahan sendiri yang pada saat itu merasakan pentingnya keberadaan suatu
logo dari organisasi yang hendak dibuatnya (pada saat itu bernama Serikat
Buruh Sejahtera Indonesia / SBSI). Hak atas ciptaan tersebut kemudian tidak
didaftarkan, karena di Indonesia, tidak ada ketentuan yang mewajibkan
pendaftaran Ciptaan untuk mendapatkan Hak Cipta, namun Hak Cipta akan
dilindungi secara otomatis.

Pada dasarnya penulis sudah setuju dengan pertimbangan Majelis Hakim


mengenai kasus di atas, dimana Majelis Hakim akhirnya mengabulkan gugatan
dari Muchtar Pakpahan. Namun, mempertimbangkan pembelaan dari Tergugat,
yaitu Rekson Silaban yang menyatakan bahwa logo tersebut adalah milik
bersama, milik organisasi sehingga tidak dapat dimiliki oleh satu orang, patut
diperhatikan. Tergugat juga menyatakan bahwa pendaftaran logo tersebut
merupakan perintah organisasi untuk mencegah penggunaan logo yang sama
oleh pecahan organisasi SBSI, yaitu SBSI 1992. Berdasarkan UU Hak Cipta, dalam
suatu ciptaan terdapat 2 jenis hak, yaitu hak ekonomi dan hak moral. Hak
ekonomi adalah hak yang dimiliki seorang pencipta untuk memanfaatkan
ciptaannya dalam tujuan komersial yang mendatangkan keuntungan, selain itu
hak moral adalah hak seorang pencipta untuk dicantumkan namanya dalam
ciptaannya. Hak ekonomi dapat beralih, sementara hak moral melekat seumur
hidup dengan penciptanya.

Muchtar Pakpahan membuat logo SBSI berdasarkan pemikirannya, yang


diinspirasikan oleh perjuangan kaum buruh pada saat itu. Tujuan Muchtar
Pakpahan pada saat itu tidak bersifat komersial, namun berkaitan dengan
perlunya adanya logo yang dapat dijadikan lambang dari suatu organisasi yaitu
SBSI atau Serikat Buruh Sejahtera Indonesia. Oleh karena itu sudah sewajarnya
apabila logo tersebut dapat dikatakan adalah “milik organisasi” dan bukan milik
pribadi Muchtar Pakpahan semata. Oleh karena awal mula pembuatan logo ini

  28
adalah atas dasar dan diperuntukkan oleh kepentingan orang banyak. Namun,
tindakan Rekson Silaban yang mendaftarkan logo dengan atas nama dirinya
sendiri adalah tindakan yang melanggar hukum, karena sebagai pencipta,
Muchtar Pakpahan memiliki Hak Moral atas ciptaannya, yaitu logo SBSI
tersebut, yang mengharuskan adanya nama Muchtar Pakpahan yang
dicantumkan dalam ciptaannya. Hak moral ini juga memberikan hak lebih lanjut
kepada penciptanya dimana meskipun ciptaan tersebut telah diserahkan, namun
ciptaan tersebut tidak boleh dirubah tanpa persetujuan pencipta terlebih dahulu.
Meskipun Rekson Silaban adalah Ketua Umum Konfederasi Serikat Buruh
Sejahtera Indonesia, namun pendaftaran hak cipta atas logo yang diatasnamakan
dirinya sendiri adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan UU Hak Cipta
sehingga adalah sewajarnya dibatalkan oleh Majelis Hakim.

3.3 Kasus PM. Banjarnahor VS PT. Holcim Indonesia

3.3.1 Kasus Posisi

Penggugat, yaitu PT. HOLCIM INDONESIA Tbk (dahulu PT. SEMEN


CIBINONG, Tbk, adalah suatu perusahaan terkemuka di Indonesia yang
terutama bergerak di bidang industri semen, beton, agregat, dan jasa pengolahan
limbah. Untuk memenuhi kebutuhan batu kapur untuk produksi semen
Penggugat, maka Penggugat (ketika itu bernama PT Semen Nusantara) pada
tahun 1976 telah mengadakan kerjasama dengan Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan Departemen Kehakiman Republik Indonesia (“Ditjen
Pemasyarakatan DepKeh RI”), dimana Penggugat diberi ijin menambang batu
kapur di wilayah/lahan Ditjen Pemasyarakatan Depkeh RI di Nusa Kambangan
dengan syarat dan ketentuan diantaranya bahwa Penggugat akan memberi
kompensasi atau ganti rugi atas pemanfaatan lahan industri yang termasuk
Golongan C tersebut. Perjanjian tersebut diperpanjang lagi pada tahun 2001
sebagaimana tercantum dalam Perjanjian antara Penggugat (PT Semen Cibinong)
dengan Ditjen Pemasyarakatan Depkeh RI.

Sehubungan dengan pemanfaatan lahan untuk penambangan batu kapur


yang termasuk dalam industri tambang Golongan C di wilayah Nusakambangan

  29
tersebut di atas, Departemen Kehakiman dan HAM R.I (“Depkeh dan HAM RI”)
telah membentuk suatu tim yang terdiri dari beberapa orang yang mewakili
Penggugat , mewakili Depkeh dan HAM RI dan mewakili Departemen
Keuangan Republik Indonesia yaitu :

1. Drs.Ismail Bermawi, MM., sebagai Ketua (Wakil dari Depkeh dan HAM
RI);

2. Drs.Sutarmanto,MM., sebagai Anggota (Wakil dari Depkeh dan HAM


RI);

3. Mudjiono, SH., sebagai Anggota (Wakil dari Depkeh dan HAM RI);

4. Marsono, BC, IP, SH, MH., sebagai Anggota (Wakil dari Depkeh dan
HAM RI);

5. Terenan Ginting, BC, IP, SH., sebagai Anggota (Wakil dari Depkeh dan
HAM RI);

6. Jannus O. Hutapea sebagai Anggota (Wakil dari PT Holcim Indonesia,


Tbk, d/h PT Semen Cibinong Tbk);

7. P.M Banjarnahor sebagai Anggota (Wakil dari PT Holcim Indonesia, Tbk,


d/h PT Semen Cibinong Tbk);

8. Anangga W.Roosdiono sebagai Anggota (Wakil dari PT Holcim


Indonesia, Tbk, d/h PT Semen Cibinong Tbk);

9. Andi Gunawan, SH., sebagai Anggota (Wakil dari PT Holcim Indonesia,


Tbk, d/h PT Semen Cibinong Tbk);

10. Idris, SH., sebagai Anggota (Wakil dari Departemen Keuangan RI);

11. Mansjur Saaman sebagai Anggota (Wakil dari Departemen Keuangan RI);

12. Besrinawadi, SE., sebagai Anggota (Wakil dari Departemen Keuangan


RI);

  30
13. Achmad Sanusi, SH., sebagai Anggota (Wakil dari Departemen Keuangan
RI);

sebagaimana tercantum dalam Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM R.I No


A.70.PR.09.03 tahun 2001 tanggal 22 November 2001. Salah satu anggota yang
ditunjuk oleh Penggugat sebagai wakil Penggugat dalam tim tersebut adalah
Tergugat yang pada saat masih berstatus sebagai karyawan Penggugat. Tim
tersebut membicarakan dan membuat rumusan atau formula cara dan metode
penghitungan kompensasi atau ganti rugi pemanfaatan lahan Golongan C
tersebut yang hasil rumusan atau formula selanjutnya dituangkan dalam
Perjanjian.

Pada tanggal 27 April 2012 Tergugat yaitu . P.M Banjarnahor sebagai


Anggota (Wakil dari PT Holcim Indonesia, Tbk, d/h PT Semen Cibinong Tbk)
menulis surat kepada Penggugat menuntut pembayaran royalti atas ciptaan
yang didaftarkan Tergugat dengan judul “Database Formulasi PMB’s
Penghitungan Kompensasi Pemanfaatan Lahan Industri Golongan C” dalam
rangka melaksanakan tugasnya sebagai salah satu wakil/anggota tim dari
Penggugat dalam proses pembahasan formula penghitungan ganti rugi
penambangan batu kapur sebagaimana disebut di atas.

Penggugat sangat terkejut atas klaim Tergugat yang mendasarkan


pembayaran royalti untuk suatu hal yang disebut sebagai “hak cipta” atas cara
dan metode pembayaran atau formulasi kompensasi, sedangkan cara dan
metode yang disebutkan haruslah didasarkan pada peraturan perundangan yang
berlaku dan merupakan jiplakan belaka dari cara atau metode ataupun rumusan
yang dicantumkan dalam Perjanjian yang merupakan hasil rumusan tim penilai
sebagaimana diuraikan dalam nomor 3 di atas.

Bahwa ternyata diketahui Penggugat, Tergugat telah mengajukan


permohonan pendaftaran hak cipta atas metode atau cara penghitungan
kompensasi yang dirumuskan dalam Perjanjian kepada Turut Tergugat
(Pemerintah Republik Indonesia cq. Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia RI cq. Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Cq. Direktorat Hak
Cipta, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dan Rahasia Dagang

  31
pada tanggal 20 Januari 2011 dengan judul “Database Formulasi PMB’s
Penghitungan Kompensasi Pemanfaatan Lahan Industri Golongan C” untuk
ciptaan Program Komputer. Permohonan tersebut telah didaftarkan dalam
Daftar Umum Ciptaan Turut Tergugat di bawah Nomor 056228 pada tanggal 6
Februari 2012 dengan menyebutkan diumumkan pertama kali pada tanggal 27
November 2001;

Penggugat dalam Gugatannya mengemukakan posita sebagai berikut :

1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;

2. Menyatakan hak cipta dengan judul “Database Formulasi PMB’s


Penghitungan Kompensasi Pemanfaatan Lahan Industri Golongan
C”Nomor Pendaftaran 056228 yang didaftar oleh Tergugat tidak
menunjukkan keasliannya;

3. Membatalkan pendaftaran Hak Cipta dengan judul “Database Formulasi


PMB’s Penghitungan Kompensasi Pemanfaatan Lahan Industri Golongan
C” Nomor Pendaftaran 056228 yang didaftar oleh Tergugat dalam Daftar
Umum Ciptaan;

4. Memerintahkan Turut Tergugat mencatat pembatalan Hak Cipta


“Database Formulasi PMB’s Penghitungan Kompensasi Pemanfaatan
Lahan Industri Golongan C “ Nomor Pendaftaran 056228 dalam Daftar
Umum Ciptaan;

5. Biaya menurut hukum;

Bahwa, terhadap gugatan tersebut di atas, Tergugat mengajukan eksepsi dan


gugatan rekonpensi yaitu :

1. Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, maka Penggugat


Rekonvensi/Tergugat Konvensi mohon kepada Majelis Hakim yang
Mulia agar berkenan untuk menerima dan mengabulkan tuntutan yang
diajukan oleh Penggugat Rekonvensi/Tergugat Konvensi demi hukum
seluruhnya;

  32
2. Bahwa, berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, Penggugat
Rekonvensi mohon kepada Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat agar memberi putusan sebagai berikut:

Dalam Provisi:

1. Menerima permohonan provisi dari Penggugat Rekonvensi/Tergugat


Konvensi;

2. Menghukum Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi untuk


menghentikan sementara penggunaan Formula PMB’s milik Penggugat
Rekonvensi/Tergugat Konvensi dalam kegiatan penambangan kapur di
Pulau Nusakambangan’

3. Menghukum Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi untuk


membayar denda keterlambatan sebesar Rp10.000.000,- (sepuluh juta
rupiah) setiap hari keterlambatan dalam melaksanakan putusan provisi
ini;

Dalam Pokok Perkara:

1. Menerima dan mengabulkan Gugatan Penggugat Rekonvensi/Tergugat


Konvensi untuk seluruhnya;

2. Menyatakan Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi telah melanggar


Hak Cipta atas Database Formulasi PMB’s Penghitungan Kompensasi
Pemanfaatan Lahan Industri Tambang Golongan C milik Penggugat
Rekonvensi/Tergugat Konvensi;

3. Menghukum Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi untuk


membayar royalti atas penggunaan Database Formulasi PMB’s
Penghitungan Kompensasi Pemanfaatan Lahan Industri Tambang
Golongan C milik Penggugat Rekonvensi/Tergugat Konvensi sebesar
Rp97.500.000.000,- (sembilan puluh tujuh miliar lima ratus juta rupiah)
secara sekaligus dan tunai kepada Penggugat Rekonvensi/Tergugat
Konvensi dengan rincian sebagai berikut:

  33
a. Royalti Penggunaan Formula GRPT untuk 10 (sepuluh) tahun pertama
dengan persentase royalti sebesar 5% (lima persen):

• Produksi material (PM) : 2.000.000 ton pertahun;

• Nilai jual material (NJM) : Rp500.000,- perton;

• Total nilai jual (TNJ) : Rp10.000.000.000.000,-;

• Keuntungan Perseroan (KP) : + 7,5% pertahun;

• Besaran nilai royalti (5% x 7,5% x Rp10.000.000.000.000,-)


:Rp37.500.000.000,-

• Produksi material (PM) : 2.000.000 ton pertahun;

• Nilai jual material (NJM) : Rp800.000,- perton;

• Total nilai jual (TNJ) : Rp32.000.000.000.000,-;

• Keuntungan Perseroan (KP) : + 7,5% pertahun;

• Besaran nilai Royalti (2,5% x 7,5% x Rp32.000.000.000.000,-) :


Rp60.000.000.000,-;

3. Menghukum Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi untuk


membayar denda atas tidak dibayarnya Royalti sejak 27 November 2001
hingga saat ini sebesar 6% pertahun;

4. Menghukum Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi untuk


membayar kerugian immateril sebesar Rp100.000.000.000,- (seratus milyar
rupiah);

5. Menyatakan sah dan berharga sita jaminan yang diletakkan terhadap


harta kekayaan Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi;

6. Menyatakan bahwa putusan ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu,


meskipun ada upaya verzet, kasasi; perlawanan dan/atau peninjauan
kembali (uitvoerbaar bij voorraad);

  34
Terhadap permohonan tersebut Pengadilan Niaga pada Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat telah mengambil putusan, yaitu putusan tanggal 17
Desember 2012 Nomor: 51/Hak Cipta/2012/PN.Niaga/Jkt.Pst. yang amarnya
sebagai berikut:

Dalam Eksepsi:

• Menyatakan eksepsi Tergugat tidak dapat diterima;

Dalam Pokok Perkara:

Dalam Konvensi:

1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;

2. Menyatakan hak cipta dengan judul Database Formulasi PMB’s


Penghitungan Kompensasi Pemanfaatan Lahan Industri Tambang
Golongan C Nomor Pendaftaran 056228 yang didaftar oleh Tergugat
tidak menunjukkan keasliannya;

3. Menyatakan batal demi hukum hak cipta dengan judul Database


Formulasi PMB’s Penghitungan Kompensasi Pemanfaatan Lahan Industri
Tambang Golongan C Nomor Pendaftaran 056228 yang didaftar oleh
Tergugat dalam daftar umum Ciptaan;

4. Memerintahkan Turut Tergugat mencatat pembatalan hak cipta Database


Formulasi PMB’s Penghitungan Kompensasi Pemanfaatan Lahan Industri
Tambang Golongan C Nomor Pendaftaran 056228 yang didaftar oleh
Tergugat dalam daftar umum Ciptaan;

Dalam Rekonvensi :

- Dalam Eksepsi :

Menyatakan eksepsi Tergugat Rekonvensi tidak dapat diterima; -

- Dalam Pokok Perkara :

• Menolak gugatan Penggugat Rekonvensi untuk seluruhnya;

  35
Dalam Konvensi dan Rekonvensi.

• Menghukum Tergugat Konvensi/Penggugat Rekonvensi untuk membayar


ongkos perkara sebesar Rp1.316.000,- (satu juta tiga ratus enam belas ribu
rupiah);

Bahwa sesudah putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri


Jakarta Pusat tersebut diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum
dengan dihadiri oleh Kuasa Pemohon dan Kuasa Termohon pada tanggal 17
Desember2012, kemudian terhadap putusan tersebut Tergugat melalui kuasanya
berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 7 Januari 2013 mengajukan
permohonan kasasi pada tanggal 28 Desember 2012 sebagaimana ternyata dari
akte permohonan kasasi Nomor: 52 K/HaKI/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst jo. Nomor:
51/Hak Cipta/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst. yang dibuat oleh Panitera Pengadilan
Negeri/Niaga Jakarta Pusat, permohonan tersebut diikuti dengan memori kasasi
yang memuat alasan-alasan yang diterima di Kepaniteraan Pengadilan
Negeri/Niaga Jakarta Pusat pada tanggal 11 Januari 2013;

Dalam pertimbangan hukumnya, terhadap keberatan-keberatan dari


Pemohon Kasasi (dahulu Tergugat/Penggugat Rekonpensi) Mahkamah Agung
berpendapat:

-- mengenai keberatan-keberatan kasasi No. 1 s/d No. 12:

Bahwa keberatan-keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah


meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 11 Januari 2013 dan kontra
memori kasasi tanggal 1 Februari 2013 dihubungkan dengan pertimbangan
Judex Facti dalam hal ini Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat, sudah tepat dan tidak salah menerapkan hukum, dengan pertimbangan:

• Bahwa Penggugat telah dapat membuktikan ciptaan yang didaftarkan


oleh Tergugat didasari itikad tidak baik dan bukan asli dari Tergugat,
melainkan dari Pak Idris Anggota Tim dari Dirjen HaKI ketika akan
merumuskan isi perjanjian antara Dirjen Pemasyarakatan dengan pihak
Penggugat;

  36
• Bahwa Database formulasi PMB’s yang diajukan Pemohon Kasasi tidak
menunjukkan keasliannya;

Mahkamah Agung kemudian memutuskan dalam putusannya tanggal 22


Januari 2014 yang amarnya sebagai berikut :

1. Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: PM.


BANJARNAHOR, M.Sc tersebut ;

2. Menghukum Pemohon Kasasi/Tergugat untuk membayar biaya perkara


dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp5.000.000,- (lima juta Rupiah);

3.1.2 Analisa

Hak Cipta atas suatu ciptaan meliputi sistem penghitungan yang dibuat
secara bersama-sama oleh beberapa orang adalah hak dari orang-orang yang
menciptakannya itu. Dalam kasus ini, para pencipta sistem penghitungan yang
menjadi obyek sengketa bukanlah mewakili dirinya secara individu melainkan
merupakan suatu tim yang merupakan representasikan beberapa lembaga
negara dengan perjanjian untuk itu dengan PT. HOLCIM INDONESIA Tbk
(dahulu PT. SEMEN CIBINONG Tbk). Dalam hal ini, PT. HOLCIM INDONESIA
Tbk bertindak sebagai pimpinan dan pengawas kegiatan pengembangan sistem
penghitungan tersebut berdasarkan perjanjian sehingga, PT. HOLCIM
INDONESIA Tbk adalah Pencipta yang memenuhi kriteria yang tersebut dalam
Pasal 7 UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Adapun tindakan tergugat
sebagai salah satu anggota tim kerja yang mendaftarkan ciptaan hasil kerja tim di
bawah pimpinan dan pengawasan PT. HOLCIM INDONESIA Tbk, atas
namanya sendiri pada Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI cq.
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Cq. Direktorat Hak Cipta, Desain
Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dan Rahasia Dagang adalah tidak
dapat dibenarkan.

BAB 4

KESIMPULAN

  37
1. Menilik perjanjian lisensi antara PT. SBS dan Wen Ken hanya disebutkan
bahwa kedudukan Wen Ken adalah sebagai pemegang merk “cap kaki tiga”.
Menurut hukum di Indonesia terdapat pembedaan antara logo merk dengan
hak cipta atas logo, sehingga dengan kepemilikan logo merk “cap kaki tiga”
oleh Wen Ken tidak otomatis menjadi pencipta logo tersebut. Berdasarkan
Surat Pendaftaran Ciptaan No. 015649 tangga 1 1Maret 1996 dengan judu l
seni lukis etiket Larutan Penyegar Cap Kaki Tiga adalah Ciptaan bersama
antara PT. SBS dan Wen Ken maka dalam Surat Pendaftaran Ciptaan a quo
terdaftar sebagai Pencipta dan Pemegang Hak Cipta adalah PT. SBS dan
Wen Ken secara bersama-sama.
2. Penerima lisensi bisa saja mendapatkan hak cipta atas obyek lisensi
berdasarkan perjanjian lisensi yaitu terbatas pada hak ekonomi. Sedangkan
hak moral, adalah tetap milik penciptanya, termasuk apabila penciptanya
juga merupakan penerima lisensi.
3. Status hak cipta logo Partai SBSI dimiliki oleh Muchtar Pakpahan sebagai
pencipta logo tersebut.
4. Hak cipta atas Database Formulasi PMB’s Penghitungan Kompensasi
Pemanfaatan Lahan Industri Tambang Golongan C adalah milik PT.
HOLCIM INDONESIA, Tbk, berdasarkan perjanjian antara PT. HOLCIM
INDONESIA, Tbk dengan tim yang dibentuk, karena tim bekerja di bawah
pimpinan dan pengawasan dari PT. HOLCIM INDONESIA, Tbk.

DAFTAR PUSTAKA

  38
I. Peraturan Perundang- Undangan

______ Undang-Undang Tentang Hak Cipta. Undang- Undang Nomor 19 Tahun


2002, LN No.85 Tahun 2002. TLN No.4220.

II. Buku

Sardjono, Agus. Membumikan HKI di Indonesia, Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2009.

Tim Lindsey, Eddy Damian, Simon Butt, Tomi Suryo Utomo, Hak Kekayaan
Intelektual : Suatu Pengantar, Bandung : PT. Alumni, 2006.

Muhammad, Abdulkadir. Kajian Hukum Ekonomi Hak Kekayaan Intelektual,


Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001.

Loughlan, Patricia. Intelectual Property: Creative and Marketing Rights,Australia :


LBC Information Services, Australia, 1998.

Bintang, Sanusi. Hukum Hak Cipta Dilengkapi Dengan Susunan dalam Satu Naskah
UUHC (1982, 1987 dan 1997), Jakarta : Penerbit Utan Kayu, 2002.

III. Makalah / Tesis

Krisnawati, Andriana. Hak pemulia (Breeder’s Right) sebagai Alternatif Perlindungan


Hukum Atas Varietas Baru Tanaman Dalam pembangunan Hukum Nasional
Indonesia, Tesis pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia,
Jakarta, 2002.

Kesowo, Bambang. Pengantar Umum Mengenai Hak Atas Kekayaan Intelektual


(HAKI) di Indonesia, Makalah pada Pelatihan Teknis Yustisial Peningkatan
Pengetahuan Hukum bagi Hakim Tinggi se-Indonesia yang
diselenggarakan Mahkamah Agung RI, Semarang, 20-24 Juni 1995.

  39
LAMPIRAN

Gambar Lukisan Badak di Larutan Cap Kaki Tiga

Gambar Logo SBSI dan KSBSI

  40
  41

Anda mungkin juga menyukai