LP Nstemi

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN MEDIKAL

BEDAH PADA PASIEN DENGAN NON ST ELEVATION INFARK


MIOCARD (NSTEMI) RSUD Dr. SAIFUL ANWAR DI RUANG
IPJT KEPERAWATAN DEPARTEMEN

Nama : Dwi Aldilah Chasanah

NIM : 201810461011031

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2018
LEMBAR PENGESAHAN

Asuhan Keperawatan Pada Tn. S dengan NON ST ELEVATION INFARK MIOCARD


(NSTEMI) di Ruang IPJT RSUD Dr. Saiful Anwar Malang

Oleh:
DWI ALDILAH CHASANAH
201810461011031

Telah diperiksa dan disahkan pada:


Hari :
Tanggal :

Pembimbing Akademik, Pembimbing Klinik,


LAPORAN PENDAHULUAN
NON ST ELEVATION INFARK MIOCARD
(NSTEMI)

A. Pengertian NSTEMI
SKA merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan salah satu dari
tiga manifestasi klinis dari penyakit arteri coroner (Jones & Fix, 2009) :
 Angina tak stabil
 IM tanpa elevasi ST
 IM dengan elevasi ST
Angina tak stabil dan NSTEMI mempunyai patogenesis dan presentasi klinik
yang sama, hanya berbeda dalam derajatnya. Bila ditemui penanda biokimia nekrosis
miokard (peningkatan troponin I, troponin T, atau CK-MB) maka diagnosis adalah
NSTEMI; sedangkan bila penanda biokimia ini tidak meninggi, maka diagnosis
adalah APTS (Idrus Alwi, 2006).

NSTEMI adalah IMA yang disebabkan penurunan suplai oksigen atau


peningkatan kebutuhan oksigen jantung yang diperberat oleh obstruksi koroner.
NSTEMI terjadi karena trombosis akut atau proses vasokonstriksi koroner.
Trombosisi ini diawali dengan adanya ruptur plak yang tidak stabil dan biasanya plak
tersebut mempunyai inti lipid yang besar, densitas otot polos yang rendah, fibrosus
cap yang tipis, dan konsentrasi jaringan yang tinggi. (Corwin, 2001).
NSTEMI adalah adanya ketidakseimbangan antara pemintaan dan suplai
oksigen ke miokardium terutama akibat penyempitan arteri koroner akan
menyebabkan iskemia miokardium local. Iskemia yang bersifat sementara akan
menyebabkan perubahan reversible pada tingkat sel dan jaringan. Pada NStemi
gambaran EKG tidak ditemukn adanya elevasi pada segmen ST (Sylvia,2006).

Infark miokard adalah kematian jaringan miokard yang diakibatkan oleh


kerusakan aliran darah koroner miokard (Carpenito, 2001). Infark miocard akut
(IMA) merupakan gangguan aliran darah ke jantung yang menyebabkan sel otot
jantung mati. Aliran darah di pembuluh darah terhenti setelah terjadi sumbatan
koroner akut, kecuali sejumlah kecil aliran kolateral dari pembuluh darah di
sekitarnya. Daerah otot di sekitarnya yang sama sekali tidak mendapat aliran darah
atau alirannya sangat sedikit sehingga tidak dapat mempertahankan fungsi otot
jantung, dikatakan mengalami infark (Guyton & Hall, 2007).
IMA diklasifikasikan berdasarkan EKG 12 lead dalam dua kategori, yaitu ST-
elevation infark miocard (STEMI) dan non ST-elevation infark miocard (NSTEMI).
STEMI merupakan oklusi total dari arteri koroner yang menyebabkan area infark
yang lebih luas meliputi seluruh ketebalan miokardium, yang ditandai dengan adanya
elevasi segmen ST pada EKG. Sedangkan NSTEMI merupakan oklusi sebagian dari
arteri koroner tanpa melibatkan seluruh ketebalan miokardium, sehingga tidak ada
elevasi segmen ST pada EKG.
 Berdasarkan lapisan otot yang terkena :
- Transmural yaitu mengenai seluruh bagian ketebalan dinding ventrikel
bersangkutan
- Subendokardial yaitu mengenai sebagian dalam miokardium
 Berdasarkan tempat oklusinya :
- Anterior mengenai desendens anterior kiri
- Posterior mengenai sirkumfleksa kiri
- Inferior mengenai koronaria kanan

B. Etiologi dan Faktor Resiko


NSTEMI disebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan peningkatan
kebutuhan oksigen miokard yang diperberat oleh obstruksi koroner. NSTEMI terjadi
karena thrombosis akut atau proses vasokonstriksi koroner, sehingga terjadi iskemia
miokard dan dapat menyebabkan nekrosis jaringan miokard dengan derajat lebih
kecil, biasanya terbatas pada subendokardium. Keadaan ini tidak dapat menyebabkan
elevasi segmen ST, namun menyebabkan pelepasan penanda nekrosis (Idrus Alwi,
2006).
Penyebab paling umum adalah penurunan perfusi miokard yang dihasilkan
dari penyempitan arteri koroner disebabkan oleh thrombus non occlusive yang telah
dikembangkan pada plak aterosklerotik terganggu. Penyempitan abnormal dari arteri
koroner mungkin juga bertanggung jawab.

1. Faktor resiko yang tidak dapat dirubah:


a. Usia
Angka morbiditas dan mortalitas penyakit SKAmeningkat seiring pertambahan
usia. Sekitar 55% korban serangan jantung berusia 65 tahun atau lebih dan
yang meninggal empat dari lima orang berusia di atas 65 tahun. Mayoritas
berada dalam resiko pada masa kini merupakan refleksi dari pemeliharaan
kesehatan yang buruk di masa lalu.
b. Jenis kelamin
Pria memiliki resiko yang lebih untuk terserang SKA, sedangkan pada wanita
resiko lebih besar setelah masa menopause. Peningkatan pada wanita setelah
menopause terjadi akibat penurunan kadar estrogen dan peningkatan lipid
dalam darah.
c. Riwayat keluarga
Tingkat faktor genetika dan lingkungan membantu terbentuknya
atherosklerosis belum diketahui secara pasti. Tendensi atherosklerosis pada
orang tua atau anak dibawah usia 50 tahun ada hubungan terjadinya sama
dengan anggota keluarga lain.
d. Suku bangsa
Orang Amerika kulit hitam memiliki resiko lebih tinggi dibandinkan dengan
kulit putih, hal ini dikaitkan dengan penemuan bahwa 33% orang Amerika
kulit hitam menderita hipertensi dibandingkan dengan kulit putih.
2. Faktor resiko yang dapat dirubah:
a. Merokok
Perokok memiliki resiko 2 sampai 3 kali untuk meninggal karena SKA
daripada yang bukan perokok. Resiko juga bergantung dari berapa banyak
rokok per hari, lebih banyak rokok lebih tinggi pula resikonya. Hal ini
dikaitkan dengan pengaruh nikotin dan kandungan tinggi dari monoksida
karbon yang terkandung dalam rokok. Nikotin meningkatkan beban kerja
miokardium dan dampak peningkatan kebutuhan oksigen. Karbon monoksida
menganggu pengangkutan oksigen karena hemoglobin mudah berikatan
dengan karbon monoksida daripada oksigen.
b. Hiperlipidemia
Kadar kolesterol dan trigliserida dalam darah terlibat dalam transportasi,
digesti, dan absorbs lemak. Seseorang yang memiliki kadar kolesterol
melebihi 300 ml/dl memiliki resiko 4 kali lipat untuk terkena SKA
dibandingkan yang memiliki kadar 200 mg/dl. Diet yang mengandung lemak
jenuh merupakan faktor utama yang menimbulkan hiperlipidemia.
c. Diabetes mellitus
Aterosklerosis diketahui berisiko 2 sampai 3 kali lipat pada diabetes tanpa
memandang kadar lipid dalam darah. Predisposisi degenerasi vaskuler terjadi
pada diabetes dan metabolisme lipid yang tidak normal memegang peranan
dalam pertumbuhan atheroma.
d. Hipertensi
Peningkatan resisten vaskuler perifer meningkatkan afterload dan kebutuhan
ventrikel, hal ini mengakibatkan kebutuhan oksigen untuk miokard untuk
menghadapi suplai yang berkurang.
e. Obesitas
Berat badan yang berlebihan berhubungan dengan beban kerja yang
meningkat dan juga kebutuhan oksigen untuk jantung. Obesitas berhubungan
dengan peningkatan intake kalori dan kadar low density lipoprotein.
f. Inaktifitas fisik
Kegiatan gerak dapat memperbaiki efisiensi jantung dengan cara menurunkan
kadar kecepatan jantung dan tekanan darah. Dampak terhadap fisiologis dari
kegiatan mampu menurunkan kadar kepekatan rendah dari lipid protein,
menurunkan kadar glukosa darah, dan memperbaiki cardiac output.
g. Stres psikologis berlebihan
Stres merangsang sistem kardiovaskuler melepaskan katekolamin yang
meningkatkan kecepatan jantung dan menimbulkan vasokontriksi
Gambar Perjalanan Proses Aterosklerosis (Initiation, Progression dan
Complication) Pada Plak Aterosklerosis.

C. Patofisiologi
Non ST elevation myocardial Infarction (NSTEMI) dapat disebabkan oleh
penurunan suplai oksigen dan atau peningkatan kebutuhan oksigen miokard yang
diperberat oleh obstruksi koroner. NSTEMI terjadi karena trombosis akut atau proses
vasokonstriksi koroner. Trombosis akut pada arteri koroner diawali dengan adanya
ruptur plak yang tidak stabil (Corwin, Elizabeth 2009).
Plak yang tidak stabil ini biasanya mempunyai inti lipid yang besar, densitas
otot polos yang rendah, fibrous cap yang tipis dan konsentrasi faktor jaringan yang
tinggi. Inti lemak yang cenderung ruptur mempunyai konsentrasi ester kolesterol
dengan proporsi asam lemak tak jenuh yang tinggi. Pada lokasi ruptur plak dapat
dijumpai sel makrofag dan limfosit T yang menunjukkan adanya proses inflamasi.
Sel-sel ini akan mengeluarkan sitokin proinflamasi seperti TNF α , dan IL-6.
Selanjutnya IL-6 merangsang pengeluaran hsCRP di hati.

D. Manifestasi Klinis NSTEMI


a. Nyeri Dada
Nyeri yang lama yaitu minimal 30 menit, sedangkan pada angina kurang dari itu.
Disamping itu pada angina biasanya nyeri akan hilang dengan istirahat akan tetapi
pada infark tidak. Nyeri dan rasa tertekan pada dada itu bisa disertai dengan
keluarnya keringat dingin atau perasaan takut. Biasanya nyeri dada menjalar ke
lengan kiri, bahu, leher sampai ke epigastrium, akan tetapi pada orang tertentu
nyeri yang terasa hanya sedikit. Hal tersebut biasanya terjadi pada manula, atau
penderita DM berkaitan dengan neuropathy.
b. Sesak Nafas
Sesak nafas bisa disebabkan oleh peningkatan mendadak tekanan akhir diastolik
ventrikel kiri, disamping itu perasaan cemas bisa menimbulkan hiperventilasi.
Pada infark yang tanpa gejala nyeri, sesak nafas merupakan tanda adanya
disfungsi ventrikel kiri yang bermakna.
c. Gejala Gastrointestinal
Peningkatan aktivitas vagal menyebabkan mual dan muntah, dan biasanya lebih
sering pada infark inferior, dan stimulasi diafragma pada infak inferior juga bisa
menyebabkan cegukan.
d. Gejala Lain
Termasuk palpitasi, rasa pusing atau sinkop dari aritmia ventrikel dan gelisah.

Tabel 1. Karakteristik ACS (Acute Coronary Syndrome)


Jenis Nyeri Dada EKG Enzim Jantung
Angina pada waktu Depresi segmen ST Tidak meningkat
Angina
istirahat/ aktivitas ringan Inversi gelombang T
Pectoris
(ICS III-IV). Hilang dengan Tidak ada gelombang
Stabil
nitrat Q
Lebih berat dan lama (> 20 Depresi segmen ST Meningkat minimal
NSTEMI menit). Tidak hilang dengan Inversi Gelombang T 2 kali nilai batas
nitrat, perlu opium dalam atas normal
Lebih berat dan lama (> 20 Elevasi segmen ST Meningkat minimal
STEMI menit). Tidak hilang dengan inversi gelombang T 2 kali nilai batas
nitrat, perlu opium atas normal

Klasifikasi KILLIP
Terdapat beberapa sistem dalam menentukan prognosis pasca IMA. Prognosis IMA
dengan melihat derajat disfungsi ventrikel kiri secara klinis dinilai menggunakan
klasifikasi Killip:
Tabel 2. Klasifikasi Killip Pada IMA
Kelas Definisi Proporsi pasien Mortalitas(%)
I Tidak ada tanda gagal jantung kongestif 40-50% 6
Heart falure. Kriteria diagnosis disertai adanya
II S3 gallop dan/atau ronki basah (rales) di basal 30-40% 17
paru dan hipertensi pulmonal
IIIa Severe Heart Failure. Edema paru akut (ALO) 10-15% 30-40
IV Syok kardiogenik 5-10% 60-80

E. Pemeriksaan Penunjang
1. Biomarker Jantung:
 Troponin T dan Troponin I
Petanda biokimia troponin T dan troponin I mempunyai peranan yang sangat
penting pada diagnostik, stratifikasi dan pengobatan penderita Sindroma Koroner
Akut (SKA). Troponin T mempunyai sensitifitas 97% dan spesitifitas 99% dalam
mendeteksi kerusakan sel miokard bahkan yang minimal sekalipun (mikro
infark). Sedangkan troponin I memiliki nilai normal 0,1. Perbedaan troponin T
dengan troponin I:
a. Troponin T (TnT) dengan berat molekul 24.000 dalton, suatu komponen
inhibitorik yang berfungsi mengikat aktin.
b. Troponin I (TnI) dengan berat molekul 37.000 dalton yang berfungsi
mengikat tropomiosin.
2. EKG (T Inverted dan ST Depresi)
EKG perlu dilakukan pada waktu serangan angina, bila EKG istirahat normal, stress
test harus dilakukan dengan treadmill ataupun sepeda ergometer. Tujuan dari stress
test adalah:
a. menilai nyeri dada apakah berasal dari jantung atau tidak
b. menilai beratnya penyakit seperti bila kelainan terjadi pada pembuluh darah
utama akan memberi hasil positif kuat
Pada pemeriksaan EKG dijumpai adanya gambaran T Inverted dan ST depresi
yang menunjukkan adanya iskemia pada arteri koroner. Jika terjadi iskemia,
gelombang T menjadi terbalik (inversi), simetris, dan biasanya bersifat sementara
(saat pasien simptomatik). Bila pada kasus ini tidak didapatkan kerusakan
miokardium, sesuai dengan pemeriksaan CK-MB (creatine kinase-myoglobin)
maupun troponin yang tetap normal, diagnosisnya adalah angina tidak stabil. Namun,
jika inversi gelombang T menetap, biasanya didapatkan kenaikan kadar troponin, dan
diagnosisnya menjadi NSTEMI. Angina tidak stabil dan NSTEMI disebabkan oleh
thrombus non-oklusif, oklusi ringan (dapat mengalami reperfusi spontan), atau oklusi
yang dapat dikompensasi oleh sirkulasi kolateral yang baik.

Perekaman EKG harus dilakukan dalam 10 menit sejak kontak medis pertama.
Bila bisa didapatkan, perbandingan dengan hasil EKG sebelumnya dapat sangat
membantu diagnosis. Setelah perekaman EKG awal dan penatalaksanaan, perlu
dilakukan perekaman EKG serial atau pemantauan terus-menerus. EKG yang
mungkin dijumpai pada pasien NSTEMI dan UAP antara lain:
 Depresi segmen ST dan/atau inversi gelombang T; dapat disertai dengan
elevasi segmen ST yang tidak persisten (<20 menit)
 Gelombang Q yang menetap
 Nondiagnostik
 Normal
Hasil EKG 12 sadapan yang normal tidak menyingkirkan kemungkinan
diagnosis SKA tanpa elevasi segmen ST, misalnya akibat iskemia tersembunyi di
daerah sirkumfleks atau keterlibatan ventrikel kanan, oleh karena itu pada hasil EKG
normal perlu dipertimbangkan pemasangan sadapan tambahan. Depresi segmen ST
≥0,5 mm di dua atau lebih sadapan berdekatan sugestif untuk diagnosis UAP atau
NSTEMI, tetapi mengingat kesulitan mengukur depresi segmen ST yang kecil,
diagnosis lebih relevan dihubungkan dengan depresi segmen ST ≥1 mm. Depresi
segmen ST ≥1 mm dan/atau inversi gelombang T≥2 mm di beberapa sadapan
prekordial sangat sugestif untuk mendiagnosis UAP atau NSTEMI (tingkat peluang
tinggi). Gelombang Q ≥0,04 detik tanpa disertai depresi segmen ST dan/atau inversi
gelombang T menunjukkan tingkat persangkaan terhadap SKA tidak tinggi sehingga
diagnosis yang seharusnya dibuat adalah Kemungkinan SKA atau Definitif SKA. Jika
pemeriksaan EKG awal menunjukkan kelainan nondiagnostik, sementara angina
masih berlangsung, pemeriksaan diulang 10 – 20 menit kemudian (rekam juga V7-
V9). Pada keadaan di mana EKG ulang tetap menunjukkan kelainan yang
nondiagnostik dan marka jantung negatif sementara keluhan angina sangat sugestif
SKA, maka pasien dipantau selama 12-24 jam untuk dilakukan EKG ulang tiap 6 jam
dan setiap terjadi angina berulang.
Bila dalam masa pemantauan terjadi perubahan EKG, misalnya depresi
segmen ST dan/atau inversi gelombang T yang signifikan, maka diagnosis UAP atau
NSTEMI dapat dipastikan. Walaupun demikian, depresi segmen ST yang kecil (0,5
mm) yang terdeteksi saat nyeri dada dan mengalami normalisasi saat nyeri dada
hilang sangat sugestif diagnosis UAP atau NSTEMI. Stress test dapat dilakukan untuk
provokasi iskemia jika dalam masa pemantauan nyeri dada tidak berulang, EKG tetap
nondiagnostik, marka jantung negatif, dan tidak terdapat tanda gagal jantung. Hasil
stress test yang positif meyakinkan diagnosis atau menunjukkan persangkaan tinggi
UAP atau NSTEMI. Hasil stress test negatif menunjukkan diagnosis SKA diragukan
dan dilanjutkan dengan rawat jalan (PERKI, 2015)
3. Echo Cardiografi pada Pasien Non Stemi
 Area Gangguan

 Fraksi Ejeksi
Fraksi ejeksi adalah daya sembur jantung dari ventrikel ke aorta. Freksi pada
prinsipnya adalah presentase dari selisih volume akhir diastolik dengan volume
akhir sistolik dibagi dengan volume akhir diastolik. Nilai normal > 50%. Dan
apabila < dari 50% fraksi ejeksi tidak normal.
 Angiografi koroner (Coronari angiografi)
Untuk menentukan derajat stenosis pada arteri koroner. Apabila pasien mengalami
derajat stenosis 50% pada pasien dapat diberikan obat-obatan. Dan apabila pasien
mengalami stenosis lebih dari 60% maka pada pasien harus di intervensi dengan
pemasangan stent.
Jika dinilai secara angiografi, aliran di dalam arteri koroner yang terlibat (culprit)
digambarkan dengan skala kualitatif sederhana disebut thrombolysis in
myocardial infarction (TIMI) grading system:
1. Grade 0 menunjukkan oklusi total (complete occlusion) pada arteri yang
terkena infark.
2. Grade 1 menunjukkan penetrasi sebagian materi kontras melewati titik
obstruksi tetapi tanpa perfusi vascular distal.
3. Grade 2 menunjukkan perfusi pembuluh yang mengalami infark ke bagian
distal tetapi dengan aliran yang melambat dibandingkan arteri normal.
4. Grade 3 menunjukkan perfusi penuh pembuluh yang mengalami infark
dengan aliran normal.
4. Pemeriksaan Noninvasif
Pemeriksaan ekokardiografi transtorakal saat istirahat dapat memberikan
gambaran fungsi ventrikel kiri secara umum dan berguna untuk menentukan diagnosis
banding. Hipokinesia atau akinesia segmental dari dinding ventrikel kiri dapat terlihat
saat iskemia dan menjadi normal saat iskemia menghilang. Selain itu, diagnosis
banding seperti stenosis aorta, kardiomiopati hipertrofik, atau diseksi aorta dapat
dideteksi melalui pemeriksaan ekokardiografi. Jika memungkinkan, pemeriksaan
ekokardiografi trantorakal saat istirahat harus tersedia di ruang gawat darurat dan
dilakukan secara rutin dan sesegera mungkin bagi pasien tersangka SKA. Stress test
seperti exercise EKG yang telah dibahas sebelumnya dapat membantu menyingkirkan
diagnosis banding PJK obstruktif pada pasien-pasien tanpa rasa nyeri, EKG istirahat
normal dan marka jantung yang negatif. Multislice Cardiac CT (MSCT) dapat
digunakan untuk menyingkirkan PJK sebagai penyebab nyeri pada pasien dengan
kemungkinan PJK rendah hingga menengah dan jika pemeriksaan troponin dan EKG
tidak meyakinkan (PERKI, 2015).
5. Pemeriksaan Invasif (Angiografi Koroner)
Angiografi koroner memberikan informasi mengenai keberadaan dan tingkat
keparahan PJK, sehingga dianjurkan segera dilakukan untuk tujuan diagnostik pada
pasien dengan risiko tinggi dan diagnosis banding yang tidak jelas. Penemuan oklusi
trombotik akut, misalnya pada arteri sirkumfleksa, sangat penting pada pasien yang
sedang mengalami gejala atau peningkatan troponin namun tidak ditemukan
perubahan EKG diagnostik. Pada pasien dengan penyakit pembuluh multipel dan
mereka dengan stenosis arteri utama kiri yang memiliki risiko tinggi untuk kejadian
kardiovaskular yang serius, angiografi koroner disertai perekaman EKG dan
abnormalitas gerakan dinding regional seringkali memungkinkan identifikasi lesi
yang menjadi penyebab. Penemuan angiografi yang khas antara lain eksentrisitas,
batas yang ireguler, ulserasi, penampakkan yang kabur, dan filling defect yang
mengesankan adanya trombus intrakoroner.

F. Penatalaksanaan Medis
a. Tindakan Umum
Pasien perlu perawatan di rumah sakit,sebaiknya di unit intensif koroner, pasien perlu
diistirahatkan (bed rest), diberi penenang dan oksigen. Pemberian morfin atau petidin
perlu pada pasien yang masih merasakan sakit dada walaupun sudah mendapat
nitrogliserin.
b. Terapi Medika Mentosa
1) Obat anti-iskemia
a) Nitrat : dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh vena dan arteriol perifer,
dengan efek mengurangi preload dan afterload sehingga dapat mengurangi
wall stress dan kebutuhan oksigen (Oxygen demand). Nitrat juga menambah
oksigen suplay dengan vasodilatsai pembuluh koroner dan memperbaiki aliran
darah kolateral. Dalam keadaan akut nitrogliserin atau isosorbid dinitrat
diberikan secara sublingual atau infus intravena. Dosis pemberian intravena :
1-4 mg/jam. Bila keluhan sudah terkendali maka dapat diganti dengan per
oral.
Preparat :
 Nitrogliserin : Nitromock 2,5 - 5 mg tablet sublingual
 Nitrodisc 5- 10 mg tempelkan di kulit
 Nitroderm 5-10 mg tempelkan di kulit
 Isosorbid dinitrat :Isobit 5-10 mg tablet sublingual
 Isodil 5-10 mg tablet sublingual
 Cedocard 5-10 mg tablet sublingual
b) β-blocker : dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokardium melalui efek
penurunan denyut jantung dan daya kontraksi miokardium. Berbagai macam
beta-blocker seperti propanolol, metoprolol, dan atenolol. Kontra indikasi
pemberian penyekat beta antra lain dengan asma bronkial, bradiaritmia.
c) Antagonis kalsium : dapat menyebabkan vasodilatasi koroner dan menurunkan
tekanan darah. Ada 2 golongan besar pada antagonis kalsium :
- golongan dihidropiridin : efeknya sebagai vasodilatasi lebih kuat dan
penghambatan nodus sinus maupun nodus AV lebih sedikit dan efek
inotropik negatif juga kecil (Contoh: nifedipin)
- golongan nondihidropiridin : golongan ini dapat memperbaiki survival dan
mengurangi infark pada pasien dengan sindrom koroner akut dan fraksi
ejeksi normal. Denyut jantung yang berkurang, pengurangan afterload
memberikan keutungan pada golongan nondihidropiridin pada sindrom
koroner akut dengan faal jantung normal (Contoh : verapamil dan
diltiazem).
2) Obat anti-agregasi trombosit
Obat antiplatelet merupakan salah satu dasar dalam pengobatan angina
tidak stabil maupun infark tanpa elevasi ST segmen. Tiga gologan obat anti
platelet yang terbukti bermanfaat seperti aspirin, tienopiridin dan inhibitor GP
Iib/IIIa.
a) Aspirin : banyak studi telah membuktikan bahwa aspirin dapat mengurangi
kematian jantung dan mengurangi infark fatal maupun non fatal dari 51%
sampai 72% pada pasien dengan angina tidak stabil. Oleh karena itu aspirin
dianjurkan untuk diberikan seumur hidup dengan dosis awal 160mg/ hari dan
dosis selanjutnya 80 sampai 325 mg/hari.
b) Tiklopidin : obat ini merupakan suatu derivat tienopiridin yang merupakan
obat kedua dalam pengobatan angina tidak stabil bila pasien tidak tahan
aspirin. Dalam pemberian tiklopidin harus diperhatikan efek samping
granulositopenia.
c) Klopidogrel : obat ini juga merupakan derivat tienopiridin yang dapat
menghambat agregasi platelet. Efek samping lebih kecil dari tiklopidin .
Klopidogrel terbukti juga dapat mengurangi strok, infark dan kematian
kardiovaskular. Dosis klopidogrel dimulai 300 mg/hari dan selanjutnya75
mg/hari.
d) Inhibitor glikoprotein IIb/IIIa
Ikatan fibrinogen dengan reseptor GP IIb/IIIa pada platelet ialah ikatan
terakhir pada proses agregasi platelet. Karena inhibitor GP IIb/IIIa menduduki
reseptor tadi maka ikatan platelet dengan fibrinogen dapat dihalangi dan
agregasi platelet tidak terjadi. Pada saat ini ada 3 macam obat golongan ini
yang telah disetujui :
- absiksimab suatu antibodi mooklonal
- eptifibatid suatu siklik heptapeptid
- tirofiban suatu nonpeptid mimetik
Obat-obat ini telah dipakai untuk pengobatan angina tak stabil maupun untuk
obata tambahan dalam tindakan PCI terutama pada kasus-kasus angina tak
stabil.
3) Obat anti-trombin
a) Unfractionated Heparin
Heparin ialah suatu glikosaminoglikan yang terdiri dari pelbagi rantai
polisakarida yang berbeda panjangnya dengan aktivitas antikoagulan yang
berbeda-beda. Antitrombin III, bila terikat dengan heparin akan bekerja
menghambat trombin dan dan faktor Xa. Heparin juga mengikat protein
plasma, sel darah, sel endotel yang mempengaruhi bioavaibilitas. Pada
penggunaan obat ini juga diperlukan pemeriksaan trombosit untuk
mendeteksi adanya kemungkinan heparin induced thrombocytopenia (HIT).
b) Low Molecular Weight Heparin (LMWH)
LMWH dibuat dengan melakukan depolimerisasi rantai plisakarida heparin.
Dibandingkan dengan unfractionated heparin, LMWH mempuyai ikatan
terhadap protein plasma kurang, bioavaibilitas lebih besar. LMWH yang ada
di Indonesia ialah dalteparin, nadroparin, enoksaparin dan fondaparinux.
Keuntungan pemberian LMWH karena cara pemberian mudah yaitu dapat
disuntikkan secara subkutan dan tidak membutuhkan pemeriksaan
laboratorium.
c) Direct Thrombin Inhibitors
Direct Thrombin Inhibitors secara teoritis mempunyai kelebihan karena
bekerja langsung mencegah pembentukan bekuan darah, tanpa dihambat oleh
plasma protein maupun platelet factor 4. Hirudin dapat menurunkan angka
kematian dan infark miokard, tetapi komplikasi perdarahan bertambah.
Bivalirudin telah disetujui untuk menggantikan heparin pada pasien angina
tak stabil yang menjalani PCI. Hirudin maupun bivalirudin dapat
menggantikan heparin bila ada efek samping trombositopenia akibat heparin
(HIT). 21
4) Tindakan revaskularisasi pembuluh koroner
Tindakan revaskularisasi perlu dipertimbangkan pada pasien dengan
iskemi berat dan refakter dengan terapi medikamentosa. Pada pasien dengan
penyempitan di left main atau penyempitan pada 3 pembuluh darah, bila disertai
faal ventrikel kiri yang kurang tindakan operasi bypass (CABG) mengurangi
masuknya kembali ke rumah sakit. Pada pasien dengan faal jantung yang masih
baik dengan penyempitan pada satu pembuluh darah atau dua pembuluh darah
atau bila ada kontraindikasi tindakan pembedahan PCI merupakan pilihan utama.
Teknik-teknik invasif misalnya percutaneous transluminal coronary
angioplasty (PTCA) dan bedah pintas arteri koroner dapat menurunkan serangan
angina klasik. Dengan PTCA,lesi aterosklerotik didilatasi oleh sebuah kateter
yang dimasukkan melalui kulit ke dalam arteri femoralis atau brakialis dan di
dorong ke jantung. Setelah berada di pembuluh yag sakit, balon yang ada di
kateter digembungkan. Hal ini akan memecahkan plak dan meregangkan arteri.
Dengan bedah pintas, potongan arteri koroner yang sakit diikat, dan diambil arteri
atau vena dari tempat lain untuk dihubungkan ke bagian yang tidak sakit. Aliran
darah dipulihkan melalui pembuluh baru ini. Pembuluh yang paling sering
ditransplantasikan adalah vena safena atau arteri mamaria interna. Pemasangan
selang artificial atau stent ke dalam arteri agar tatap terbuka kadang-kadang
dilakukan dengan keberhasilan yang bervariasi. Bedah pintas koroner
menghilangkan nyeri angina tetapi tampaknya tidak mempengaruhi mortalitas
jangka-panjang.
c. Terapi Non Medika Mentosa
1) Istirahat memungkinkan jantung memompa lebih sedikit darah (penurunan
volume sekuncup) dengan kecepatan yang lambat (penurunan kecepatan denyut
jantung). Hal ini menurukan kerja jantung sehingga kebutuhan oksigen juga
berkurang. Posisi duduk adalah postur yang dianjurkan sewaktu beristirahat.
Sebaliknya berbaring, meningkatkan aliran balik darah ke jantung sehingga terjadi
peningkatan volume diastolik akhir, volume sekuncup dan curah jantung.
2) Terapi oksigen untuk mengurangi kebutuhan oksigen jantung.
PATHWAY (Arie Baldwell, 2011)

Terdiagnosis NSTEMI

ASA atau Clopidogrel (Kelas I, LOE A) jika ASA tidak toleran

Pilih manajemen strategi

Strategi Konservatif

1. Inisiasi terapi antikoagulan : Enoxaparin/UHF (Kelas I, LOE A)


2. Bivalirudin atau Fondaparinux (Kelas I, LOE A)
3. Enoxaparin dan Fondaparinux lebih baik (Kelas II a LOE B)

1. Inisiasi terapi Clopidogrel


2. Pertimbangan penambahan IV Eptifibtide atau Tirofiban (Kelas IIb, LOE B)

Beberapa gejala beruang seperti : iskemia, gagal jantung atau aritmia serius

Diagnosa Angiografy Evaluasi LVEF (Class I, LOE B) Stress test ( Kelas I, LOE B)

EF 0,40 atau kurang EF lebih besar dari 0,4 Not Low Risk Low Risk

1. Lanjutkan ASA 75-162 mg (Kelas I, LOE A)


2. Lanjutkan Clopidogrel 75 mg untuk kurang lebih satu bulan
( Kelas I, LOE A) dan lebih idealnya 1 tahun (Kelas I, LOE
B)
3. Jangan lanjutkan IV GP II/IIIa jika memulai sebelumnya
(Kelas I, LOE A)
4. Jangan lanjutkan terapi antikoagulan (Kelas I, LOE A)
G. Pencegahan
a. Perubahan life style (termasuk berhenti merokok dan lain-lain), penurunan BB,
penyesuaian diet, olahraga teratur dan lain-lain.
b. Mengobati faktor predisposisi dan faktor pencetus : stress, emosi, hipertensi,
penyakit DM, hiperlipidemia, obesitas, anemia.
c. Menghindari bekerja pada keadaan dingin atau stres lain yang diketahui
mencetuskan serangan angina klasik pada seseorang.
d. Memberikan penjelasan perlunya melatih aktivitas sehari-hari sehingga untuk
meningkatkan kemampuan jantung agar dapat mengurangi serangan jantung.

H. Komplikasi
a. Infark miokardium (IM) adalah kematian sel-sel miokardium yang terjadi akibat
kekurangan oksigen yang berkepanjanga. Hal ini adalah respon letal terakhir
terhadap iskemia miokardium yang tidak teratasi. Sel-sel miokardium mulai mati
setelah sekitar 20 menit mengalami kekurangan oksigen. Setelah periode ini,
kemampuan sel untuk menghasilkan ATP secara aerobs lenyap dan sel tidak
memenuhi kebutuhan energinya.
b. Aritmia : Karena insidens PJK dan hipertensi tinggi, aritmia lebih sering didapat
dan dapat berpengaruh terhadap hemodinamik. Bila curah jantung dan tekanan
darah turun banyak, berpengaruh terhadap aliran darah ke otak, dapat juga
menyebabkan angina, gagal jantung.
c. Gagal Jantung : Gagal jantung terjadi sewaktu jantung tidak mampu memompa
darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan nutrien tubuh. Gagal
jantung disebabkan disfungsi diastolik atau sistolik. Gagal jantung diastolik dapat
terjadi dengan atau tanpa gagal jantung sistolik. Gagal jantung dapat terjadi akibat
hipertensi yang lama (kronis). Disfungsi sistolik sebagai penyebab gagal jantung
akibat cedera pada ventrikel, biasanya berasal dari infark miokard.
2.3. KONSEP DASAR PENGKAJIAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian.
1. Kualitas Nyeri dada : seperti terbakar, tercekik, rasa menyesakkan nafas atau
seperti tertindih barang berat.
2. Lokasi dan radiasi : retrosternal dan prekordial kiri, radiasi menurun ke lengan kiri
bawah dan pipi, dagu, gigi, daerah epigastrik dan punggung.
3. Faktor pencetus : mungkin terjadi saat istirahat atau selama kegiatan.
4. Lamanya dan faktor-faktor yang meringankan : berlangsung lama, berakhir lebih
dari 20 menit, tidak menurun dengan istirahat, perubahan posisi ataupun minum
Nitrogliserin.
5. Tanda dan gejala : Cemas, gelisah, lemah sehubungan dengan keringatan, dispnea,
pening, tanda-tanda respon vasomotor meliputi : mual, muntah, pingsan, kulit
dinghin dan lembab, cekukan dan stress gastrointestinal, suhu menurun.
6. Pemeriksaan fisik : mungkin tidak ada tanda kecuali dalam tanda-tanda gagalnya
ventrikel atau kardiogenik shok terjadi. BP normal, meningkat atau menuirun,
takipnea, mula-mula pain reda kemudian kembali normal, suara jantung S 3, S4
Galop menunjukan disfungsi ventrikel, sistolik mur-mur, M. Papillari disfungsi,
LV disfungsi terhadap suara jantung menurun dan perikordial friksin rub,
pulmonary crackles, urin output menurun, Vena jugular amplitudonya meningkat (
LV disfungsi ), RV disfungsi, ampiltudo vena jugular menurun, edema periver,
hati lembek.
7. Parameter Hemodinamik : penurunan PAP, PCWP, SVR, CO/CI.

B. Diagnosa Keperawatan dan Interensi


1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan gangguan irama jantung, stroke
volume, pre load dan afterload, kontraktilitas jantung.
2. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri (biologi, kimia, fisik, psikologis),
kerusakan jaringan miokard
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan perfusi
ventilasi, perubahan membran kapiler-alveolar
4. Ketidakefektifan perfusi jaringan kardiopulmonal berhubungan dengan gangguan
afinitas Hb oksigen, penurunan konsentrasi Hb, Hipervolemia, Hipoventilasi,
gangguan transport O2, gangguan aliran arteri dan vena
5. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan mekanisme pengaturan melemah,
asupan cairan berlebihan.
6. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan tirah baring atau imobilisasi, kelemahan
menyeluruh, ketidakseimbangan antara suplei dan kebutuhan oksigen, gaya hidup
yang monoton.
7. Ansietas berhubungan dengan faktor keturunan, Krisis situasional, Stress,
perubahan status kesehatan, ancaman kematian, perubahan konsep diri, kurang
pengetahuan dan hospitalisasi.
8. Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan kognitif, interpretasi
terhadap informasi yang salah, kurangnya keinginan untuk mencari informasi,
tidak mengetahui sumber-sumber informasi.

C. Diagnosa Keperawatan, NOC, dan NIC


Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan
Masalah Kolaborasi Tujuan dan Kriteria Intervensi
Hasil
Nyeri akutbd agens  Pain Level, 1. Lakukan pengkajian nyeri secara
cerdera biologis  pain control, komprehensif termasuk lokasi,

 comfort level karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas


dan faktor presipitasi
2. Observasi reaksi nonverbal dari
ketidaknyamanan
3. Bantu pasien dan keluarga untuk
mencari dan menemukan dukungan
4. Kontrol lingkungan yang dapat
mempengaruhi nyeri seperti suhu
ruangan, pencahayaan dan kebisingan
5. Kurangi faktor presipitasi nyeri
6. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
menentukan intervensi
7. Ajarkan tentang teknik non
farmakologi: napas dala, relaksasi,
distraksi, kompres hangat/ dingin
8. Berikan analgetik untuk mengurangi
nyeri: ……...
9. Tingkatkan istirahat
10. Berikan informasi tentang nyeri seperti
penyebab nyeri, berapa lama nyeri
akan berkurang dan antisipasi
ketidaknyamanan dari prosedur
11. Monitor vital sign sebelum dan
sesudah pemberian analgesik pertama
kali
Risiko penurunan  Cardiac pump 1. Monitor nyeri dada (durasi,
perfusi jaringan Effectiveness intensitas dan faktor-faktor presipitasi)
kardiopulmonal  Circulation status 2. Observasi perubahan ECG
 Tissue Prefusion : 3. Auskultasi suara jantung dan paru
cardiac, periferal 4. Monitor irama dan jumlah denyut

 Vital Sign Statusl jantung


5. Monitor angka PT, PTT dan AT
6. Monitor elektrolit (potassium dan
magnesium)
7. Monitor status cairan
8. Evaluasi oedem perifer dan denyut
nadi
9. Monitor peningkatan kelelahan dan
kecemasan
10. Instruksikan pada pasien untuk tidak
mengejan selama BAB
11. Jelaskan pembatasan intake kafein,
sodium, kolesterol dan lemak
12. Kelola pemberian obat-obat:
analgesik, anti koagulan, nitrogliserin,
vasodilator dan diuretik.
13. Tingkatkan istirahat (batasi
pengunjung, kontrol stimulasi
lingkungan)
Risiko penurunan  Cardiac 1. Evaluasi adanya nyeri dada
curah jantung Pump effectiveness 2. Catat adanya disritmia jantung
 Circulati 3. Catat adanya tanda dan gejala
on Status penurunan cardiac putput
 Vital 4. Monitor status pernafasan yang
Sign Status menandakan gagal jantung

 Tissue 5. Monitor balance cairan

perfusion: perifer 6. Monitor respon pasien terhadap efek


pengobatan antiaritmia
7. Atur periode latihan dan istirahat untuk
menghindari kelelahan
8. Monitor toleransi aktivitas pasien
9. Monitor adanya dyspneu, fatigue,
tekipneu dan ortopneu
10. Anjurkan untuk menurunkan stress
11. Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
12. Monitor VS saat pasien berbaring,
duduk, atau berdiri
13. Auskultasi TD pada kedua lengan dan
bandingkan
14. Monitor TD, nadi, RR, sebelum,
selama, dan setelah aktivitas
15. Monitor jumlah, bunyi dan irama
jantung
16. Monitor frekuensi dan irama
pernapasan
17. Monitor pola pernapasan abnormal
18. Monitor suhu, warna, dan kelembaban
kulit
19. Monitor sianosis perifer
20. Monitor adanya cushing triad (tekanan
nadi yang melebar, bradikardi,
peningkatan sistolik)
21. Identifikasi penyebab dari perubahan
vital sign
22. Jelaskan pada pasien tujuan dari
pemberian oksigen
23. Sediakan informasi untuk mengurangi
stress
24. Kelola pemberian obat anti aritmia,
inotropik, nitrogliserin dan vasodilator
untuk mempertahankan kontraktilitas
jantung
25. Kelola pemberian antikoagulan untuk
mencegah trombus perifer
26. Minimalkan stress lingkungan

Gangguan Pertukaran  Respirat 1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan


gasbd ketidakseimbang ory Status : Gas ventilasi
ventilasi-perfusi exchange 2. Pasang mayo bila perlu
 Keseimb 3. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
angan asam Basa, 4. Keluarkan sekret dengan batuk atau
Elektrolit suction
 Respirat 5. Auskultasi suara nafas, catat adanya
ory Status : suara tambahan
ventilation 6. Berikan bronkodilator ;

 Vital 7. -………………….

Sign Status 8. -………………….


9. Barikan pelembab udara
10. Atur intake untuk cairan
mengoptimalkan keseimbangan.
11. Monitor respirasi dan status O2
12. Catat pergerakan dada,amati
kesimetrisan, penggunaan otot
tambahan, retraksi otot supraclavicular
dan intercostal
13. Monitor suara nafas, seperti dengkur
14. Monitor pola nafas : bradipena,
takipenia, kussmaul, hiperventilasi,
cheyne stokes, biot
15. Auskultasi suara nafas, catat area
penurunan / tidak adanya ventilasi dan
suara tambahan
16. Monitor TTV, AGD, elektrolit dan ststus
mental
17. Observasi sianosis khususnya membran
mukosa
18. Jelaskan pada pasien dan keluarga
tentang persiapan tindakan dan tujuan
penggunaan alat tambahan (O2, Suction,
Inhalasi)
19. Auskultasi bunyi jantung, jumlah, irama
dan denyut jantung
Kelebihan Volume  Electrolit 1. Pertahankan catatan intake dan output
Cairanbd gangguan and acid base balance yang akurat
mekanisme reagulasi  Fluid 2. Pasang urin kateter jika diperlukan
balance 3. Monitor hasil lab yang sesuai dengan
 Hydratio retensi cairan (BUN , Hmt , osmolalitas
n urin )
4. Monitor vital sign
5. Monitor indikasi retensi / kelebihan
cairan (cracles, CVP , edema, distensi
vena leher, asites)
6. Kaji lokasi dan luas edema
7. Monitor masukan makanan / cairan
8. Monitor status nutrisi
9. Berikan diuretik sesuai interuksi
10. Kolaborasi pemberian obat:
11. ....................................
12. Monitor berat badan
13. Monitor elektrolit
14. Monitor tanda dan gejala dari odema

Intoleransi aktivitas bd  Self Care : ADLs 1. Observasi adanya pembatasan klien


immobilisasi  Toleransi aktivitas dalam melakukan aktivitas

 Konservasi eneergi 2. Kaji adanya faktor yang


menyebabkan kelelahan
3. Monitor nutrisi dan sumber energi
yang adekuat
4. Monitor pasien akan adanya
kelelahan fisik dan emosi secara
berlebihan
5. Monitor respon kardivaskuler
terhadap aktivitas (takikardi,
disritmia, sesak nafas, diaporesis,
pucat, perubahan hemodinamik)
6. Monitor pola tidur dan lamanya
tidur/istirahat pasien
7. Kolaborasikan dengan Tenaga
Rehabilitasi Medik dalam
merencanakan progran terapi yang
tepat.
8. Bantu klien untuk mengidentifikasi
aktivitas yang mampu dilakukan
9. Bantu untuk memilih aktivitas
konsisten yang sesuai dengan
kemampuan fisik, psikologi dan
sosial
10. Bantu untuk mengidentifikasi dan
mendapatkan sumber yang
diperlukan untuk aktivitas yang
diinginkan
11. Bantu untuk mendpatkan alat
bantuan aktivitas seperti kursi roda,
krek
12. Bantu untuk mengidentifikasi
aktivitas yang disukai
13. Bantu klien untuk membuat jadwal
latihan diwaktu luang
14. Bantu pasien/keluarga untuk
mengidentifikasi kekurangan dalam
beraktivitas
15. Sediakan penguatan positif bagi
yang aktif beraktivitas
16. Bantu pasien untuk mengembangkan
motivasi diri dan penguatan
17. Monitor respon fisik, emosi, sosial
dan spiritual

Kecemasanbd stressor  Kontrol kecemasan Anxiety Reduction (penurunan


 Koping kecemasan)
1. Gunakan pendekatan yang
menenangkan
2. Nyatakan dengan jelas harapan
terhadap pelaku pasien
3. Jelaskan semua prosedur dan apa
yang dirasakan selama prosedur
4. Temani pasien untuk memberikan
keamanan dan mengurangi takut
5. Berikan informasi faktual
mengenai diagnosis, tindakan
prognosis
6. Libatkan keluarga untuk
mendampingi klien
7. Instruksikan pada pasien untuk
menggunakan tehnik relaksasi
8. Dengarkan dengan penuh
perhatian
9. Identifikasi tingkat kecemasan
10. Bantu pasien mengenal situasi
yang menimbulkan kecemasan
11. Dorong pasien untuk
mengungkapkan perasaan, ketakutan,
persepsi
12. Kelola pemberian obat anti
cemas:........
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Idrus. 2006. Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid III. Jakarta: FKUI.
American Heart Association. 2006. Heart and Stroke Facts: 2005 Statistical Supplement.
Dallas: American Heart Association.
American Heart Association. 2007. Management of Patients with Unstable Angina/Non-ST-
Elevation Myocardial Infrction. Dallas: American Heart Association.
Antman EM, Hand M, Armstrong PW, Bates ER, Green LA, Hochman JS, et al. 2008.
Focused update of the ACC/AHA 2004 guidelines for the management of patients with
ST-elevation myocardial infarction: a report of the American College of
Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines (51: 210–
247). J Am Coll Cardiol.
Corwin, E.J. 2001. Handbook of pathophysiology. Alih bahasa : Pendit, B.U. Jakarta: EGC;
Corwin, Elizabeth J. (2009). Buku saku patofisiologi. Edisi 3. EGC. Jakarta
Faqih, R.,. (2006). Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan Sistem
Kardiovaskuler. Malang: UMM Press
Fauci, Braunwald, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, Loscalzo. 2010. 17th Edition Harrison’s
Principles of Internal Medicine. New South Wales: McGraw Hill.
Guyton AC, Hall JE. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
Levefer, J.,. (1997). Buku Saku Pemeriksaan Laboratorium dan Diagnostik dengan Implikasi
Keperawatan. Jakarta: EGC
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2015. Pedoman Tatalaksana
Sindrom Koroner Akut. Edisi Ketiga. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia.
Prasetyo, J., B.,. (2003). Ilmu Penyakit Jantung. Surabaya: Airlangga University.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
edisi V. dalam Farissa, Inne Pratiwi. 2012. Komplikasi Pada Pasien Infark Miokard
Akut St-Elevasi (STEMI) yang Mendapat Maupun tidak Mendapat Terapi
Reperfusi (Studi DiRSUP Dr.Kariadi Semarang). Program Pendidikan Sarjana
Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro 2012. Jakarta: Interna
Publishing

Anda mungkin juga menyukai