Bahasa Dan Kekuasaan

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bahasa merupakan praktik kekuasaan. Wacana dapat digunakan untuk memperbesar
pengaruh kekuasaan. Wacana dapat menjadi sarana untuk memarjinalkan dan merendahkan
kelompok yang tidak dominan dalam wacana. Melalui bahasa seseorang dapat ditampilkan
secara baik ataupun buruk kepada khalayak. Bahasa tidak dimaknai sebagai sesuatu yang netral
yang dapat mentransmisikan dan menghadirkan realitas seperti keadaan aslinya, melainkan ia
sudah bermuatan kekuasaan.
Kesenjangan yang besar antara teks yang sangat mikro dan sempit dengan masyarakat
yang luas dan besar. Di antara keduanya terdapat jarak atau celah untuk menghadirkan kekuatan-
kekuatan dalam teks. Bahasa dijadikan alat untuk mendeteksi ideologi dalam teks.
Bagi kebanyakan orang, bahasa dan kekuasaan adalah dua bidang yang tidak
berhubungan. Pengamatan ini hampir benar manakala bahasa hanya direduksi sebagai
tatabahasa dan kekuasaan hanya direduksi sebagai teori politik belaka. Dalam praktik sosial,
semua itu akan kelihatan transparan.
Kekuasaan (power) itu pada intinya adalah pengaruh. Yakni proses mempengaruhi pihak
lain agar sesuai dengan tujuan dari si pelaku (actor). Bila perlu upaya mempengaruhi itu dilakukan
dengan paksaan, selain dengan usaha-usaha persuasive. Semakin kuat posisi seseorang dalam
struktur kekuasaan, lebih-lebih kekuasaan formal dalam strkutur kenegaraan,maka kian kuatlah
pengaruh itu untuk dimainkan sehingga setiap pihak akan berada dalam dominasi kekuasaannya.
Dalam kehidupan poltik kenegaraan, kekuasaan seseorang atau mereka yang berkuasa,
menyebar bukan sekadar melalui alat-alat politik termasuk di dalamnya birokrasi. Lebih jauh lagi
kekuasaan itu menyebar dan diaktualisasikan melalui bahasa. Bahasa yang dipakai seringkali
mencerminkan bangunan dan proses kekuasaan yang dominant. Sepert kata Habermas-tokoh
teori kritik dan postmodernisme- bahwa bahasa adalah kepentingan. Kepentingan dari siapa yang
memakainya. Dan mereka yang memiliki kekuasaan juga menguasai bahasa, yakni bahasa yang
membawa kepentingan kekuasaannya.
Anda dapat mengatakan mundur dari kekuasaan politik dan kemudian meralatnya secara
halus ataupun terang-terangan tanpa merasa perlu menggugat soal kejujuran, hanya karena
memiliki kekuasaan. Anda juga dapat mengatakan pernyataan-pernyataan politik yang penuh
parody atau pertentangan isi, hanya karena memiliki kekuasaan. Anda dapat mempermainkan
seribu satu kosakata politik karena demikian kuat kekuasaan yang dimiliki. Bahasa dapat menjadi
permainan kekuasaan yang efektif.
Melalui bahasa, kekuasaan dapat semakin akumulasi atau semakin berpengaruh segala
arah. Anda dapat mengatakan kata-kata mundur untuk sebuah tujuan yang sesungguhnya maju
terus, atau sebaliknya. Anda dapat mengatakan X untuk maksud yang sesungguhnya Z. Pelaku
dapat diubah menjadi objek dan objek diubah menjadi subjek. Sesuatu yang secara subtansi
inkonstitusional dapat berubah menjadi konstitusional dan begitu pula sebaliknya. Semua itu
dapat terjadi karena kekuasaan, kekuasaan yang menemukan saluran melalui bahasa.
Kekuasaan dan politik juga seringkali bermain dengan dalam tataran klaim atau
pengakuan. Atas nama pembangunan, atas nama umat Islam, atas nama konstitusi, atas nama
bangsa, atas nama Negara, dan sebangsanya. Klaim-klaim atas nama muncul hanya melalui
bahasa, yakni bahasa yang membawa muatan kepentingan kekuasaan. Melalui bahasa suatu
kekuasaan dapat menciptakan citra pihak-pihak lain sebagai subversi, inkonstitusional dan
sebagainya, yang menggambarkan perlawanan terhadap bangsa dan Negara. Pada saat yang
sama, bahasa juga dapat memeberikan citra serba mulia dan positif bagi yang memegang
kekuasaan.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
a. Bahasa adalah kemampuan yang dimiliki manusia untuk berkomunikasi dengan
manusia lainnya menggunakan tanda, misalnya kata dan gerakan. Kajian
ilmiah bahasa disebut ilmu linguistik. Perkiraan jumlah bahasa di dunia beragam
antara 6.000–7.000bahasa.
b. Kekuasaan adalah kewenangan yang didapatkan oleh seseorang atau kelompok guna
menjalankan kewenangan tersebut sesuai dengan kewenangan yang diberikan,
kewenangan tidak boleh dijalankan melebihi kewenangan yang diperoleh[1] [2] atau
kemampuan seseorang atau kelompok untuk memengaruhi tingkah laku orang
atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku (Miriam Budiardjo,2002) atau
Kekuasaan merupakan kemampuan memengaruhi pihak lain untuk berpikir dan
berperilaku sesuai dengan kehendak yang memengaruhi (Ramlan Surbakti,1992).

B. Sentralitas Konsep Kekuasaan


Satu konsep penting yang selalu dikedepankan dalam setiap kajian fenomena-fenomena
sosial adalah konsep tentang kekuasaan. Kekuasaan adalah konsep abstrak, tetapi sangat
berpengaruh terhadap kehidupan kita. Pengaruh kekuasaan itu tampak mulai dari hubungan
pribadi dua orang sampai hubungan yang luas dalam sistem kenegaraan dan organisasi dunia.
Dalam dialog antarpribadi, misalnya, mengapa seseorang sedikit melakukan pengambilan giliran
(turn-taking), salah satu penyebabnya adalah persoalan kekuasaan. Dalam relasi antarnegara,
mengapa Amerika Serikat memperoleh hak-hak istimewa dalam pelbagai pengambilan
keputusan, faktor penyebab yang paling signifikan adalah persoalan kekuasaan.
Dua pertanyaan dari Fuocault terkait dengan kekuasaan perlu kita renungkan. Pertanyaan
pertama, “apakah kekuasaan itu dan dari manakah asal kekuasaan.” Berbeda dengan Marx yang
memandang kekuasaan itu miliki kelas penguasa atau borjuis, Foucault memandang kekuasaan
bukan milik kelas penguasa. Kekuasaan adalah sebuah wilayah strategis, tempat terjadinya
hubungan yang tidak setara antara si kuat dan si lemah: “di mana ada kekuasaan di situ ada
perlawanan.” Ada hubungan yang asimetris antara penghasil teks dan konsumen teks. Rumusan
lain menyebutkan bahwa kekuasaan adalah kekuatan dalam masyarakat yang membuat tindakan
terjadi sehingga dengan menelitinya kita dapat mengenali siapa yang mengendalikan apa dan
demi kepentingan siapa.
Perlu ditekankan bahwa dalam pandangan Foucault kekuasaan tidak melulu atau tidak boleh
selalu dianggap sebagai sarana negatif, sesuatu yang menolak, sesuatu yang menekan, sesuatu
yang menegasikan, sebaliknya kekuasaan adalah sesuatu yang produktif. Foucault
memaparkannya sebagai berikut.
Kita harus menghentikan penggambaran kekuasaan dan pengaruhnya sebagai sesuatu yang
negatif, membuang, menekan, memberangus, menyensor, abstrak, menutupi, dan
menyembunyikan. Kita harus mulai menggambarkan bahwa kekuasaan itu produktif, produktif
dalam pengertian menciptakan, menghasilkan, dan melahirkan realitas, wilayah objek, dan ritual
kebenaran.
Pertanyaan kedua, “bagaimana kekuasaan itu dijalankan dan bagaimana pengaruhnya”. Jika
pertanyaan ini dikaitkan dengan wacana politik, misalnya, pertanyaan yang dapat dimunculkan
adalah bagaimana pemerintah atau rezim yang berkuasa atau partai politik menjalankan
kekuasaannya dan bagaimana pengaruhnya kepada masyarakat atau konstituennya. Dalam
negara demokrasi, kita sebagai warga negara memberikan hak kepada para elite politik untuk
membuat hukum atas nama kita dan jika kita melanggar hukum itu, kita akan dihukumnya.
“Kekuasaan politik” mengendalikan banyak aspek dalam kehidupan kita, seperti besarnya pajak
yang kita bayar, besarnya kita harus membayar pendidikan, dan sebagainya.
Jika pertanyaan ini dikaitkan dengan wacana jurnalistik, pertanyaan yang dapat dimunculkan
adalah bagaimana redaktur surat kabar sebagai kepanjangan pemilik modal menjalankan
kekuasaannya dalam relasinya dengan pembaca dan bagaimana pengaruh cara pandang
redaktur terhadap pembacanya. Jika pertanyaan ini dikaitkan dengan wacana jender, pertanyaan
yang dapat dimunculkan adalah bagaimana superordinat relasi jender yang pada umumnya laki-
laki menjalankan kekuasaannya dan bagaimana pengaruh superordinat laki-laki terhadap
perempuan.
Max Weber (1922) menganggap kekuasaan sebagai konsep fundamental dalam hubungan
ketidaksamaan. Dalam pengertian umum, kekuasaan menunjukkan kemampuan seseorang atau
sekelompok orang menyediakan kehendak mereka kapan pun saja untuk berlawanan dengan
orang lain.
Kekuasaan sangat terkait erat dengan akses terhadap sumber-sumber seperti sumber-
sumber ekonomi, yang ini tidak kalah pentingnya dengan kekuatan fisik seperti dalam dunia
militer. Aspek-aspek kekuasaan seperti ini juga akan tampak dalam kajian kebahasaan pada
berbagai tingkatan.
Kekuasaan adalah sebuah konsep abstrak, tapi sangat berpengaruh terhadap kehidupan kita.
Kekuasaan merupakan kekuatan dalam masyarakat yang membuat tindakan terjadi sehingga
dengan menelitinya kita bisa mengenalinya siapa yang mengendalikan apa dan demi kepentingan
siapa.
Kekuasaan sendiri adalah kemampuan seseorang untuk mengontrol sikap orang lain. Ini
terjadi sekurang-kurangnya bila terdapat dua orang. Istilah ‘superior’ dan ‘inferior’ mengacu
pada dasar-dasar kekuasaan yang ada di masyarakat (negara, gereja, pesantren, tentara,
kekayaan, keluarga), juga mengacu pada faktor lain seperti umur, jenis kelamin, dan kekuatan
fisik. Pada beberapa bahasa, kekuasaan itu ditunjukkan dengan pembedaan penggunaan kata
untuk mengacu pada sesuatu yang sama. Mayoritas bahasa Eropa modern mempergunakan
pembeda T/V untuk menunjukkan kekuasaan yang mengacu pada kata ganti orang kedua. T
dipergunakan dalam komunikasi timbal balik antar kawan, sementara V dipergunakan dalam
komunikasi timbal balik bukan antar kawan.
Status dan kekuasaan relatif juga tetap ditandai dengan fenomena bahasa yang terkait,
seperti beberapa istilah panggilan dalam bahasa Inggris Britania (madam, sir, your ladyship). Hal
ini terkait erat dengan masalah kesantunan dalam berinteraksi. Menurut Brown dan Levinson,
tingkatan kesantunan dalam interaksi antar peserta komunikasi didasarkan pada tiga faktor
berikut:
Jarak sosial antara pembicara (speaker) dengan orang yang diajak bicara (addressee);
Kekuasaan relatif satu orang menguasai atas yang lain;
Tingkatan pembebanan yang dihubungkan dengan interaksi.
Mengenai penggunaan kata ganti, nama diri, gelar, dan panggilan terdapat dua pandangan:
Menekankan unsur kesamaan peserta dalam komunikasi (equal encounters)
Menekankan unsur ketidaksamaan peserta dalam komunikasi (unequal encounters).
Satu pihak menganggap semua itu (kata ganti dan seterusnya) merupakan bagian dari
subsistem bahasa yang menjelaskan asimetri dari kekuasaan dan solidaritas (perkawanan) antara
individu-individu dan institusi yang mereka representasikan. Di pihak lainnya menyatakan bahwa
semua itu merupakan kekhasan cara bahasa yang secara umum dikaitkan dengan institusi sosial
dan ketidaksamaan sosial.
Teori sosial pada akhir abad 20 tidak hanya bertumpu pada teori sosiologi saja melainkan
memerlukan pula jasa linguistik. Sebagai sebuah hubungan timbal balik yang dibangun tidak
hanya karena bahasa merupakan sarana penting dalam kontrol sosial dan kontrol kekuasaan, tapi
bahasa juga telah tumbuh secara dramatis dalam istilah-istilah yang berbeda fungsi namun
diterima oleh masyarakat modern. Bahasa juga memiliki peran yang penting dalam politik, berita
televisi-radio, iklan, ideologi, dan sebagainya.
Proses-proses ideologis (yang tentu saja memerlukan bahasa sebagai media), misalnya,
menempati posisi di dalam berbagai organisasi dan institusi, seperti gereja, sistem legal,
keluarga, dan sistem pendidikan. Nicos Poulantzas (1973) bahkan membedakan sistem negara ke
dalam dua kelompok:
Aparat represif (seperti tentara, polisi, pengadilan, pemerintah, dan petugas administrasi)
Aparat ideologis (seperti gereja, partai politik, serikat pekerja, akademisi, media massa, dan
keluarga).
Tanda bahasa sendiri terbuka untuk orientasi dan evaluasi yang berbeda dalam dunia
sosial. Tanda bahasa juga telah menjadi semacam arena dari kelas perjuangan (Voloshinov, 1973:
23). Formulasi ini dapat diperluas untuk perjuangan di dalam dan di luar bahasa, seperti
perjuangan gender dan perjuangan hak-hak minoritas. Inilah yang disebut oleh Bakhtin (1981)
disebut sebagai heteroglosia, yaitu keberdampingan dan saling mempengaruhi antara berbagai
suara atau linguistik dan orientasi sosial pada kalimat ujaran.
Fairclough membawa dimensi linguistik ke dalam studi wacana. Menurutnya, ada tiga dimensi
yang secara simultan mempresentasikan wacana:
Bahasa teks (yang diucapkan, dituliskan, atau ditandai)
Praktik wacana (meliputi produksi teks dan produksi tafsiran)
Praktik sosiokultural (meliputi hubungan sosial dan politik yang lebih luas)
Fairclough juga memperkenalkan konsep yang disebutnya sebagai ‘aturan wacana’ (order
of discourse) yang berhubungan dengan praktik-praktik wacana yang telah diistilahkan sebagai
‘aturan sosial’ (the social order). Tidak semua tipe wacana sama-sama disahkan dalam lingkungan
sosial dan institusi yang berbeda. Dalam hal ini, seringkali terdapat tingkatan keberterimaan.
Ambil sebagai contoh pembicaraan antar pengacara yang terjadi di persidangan dengan yang di
luar persidangan.
Kembali terhadap masalah ideologi, Fairclough memandang bahwa ideologi disebarkan
tidak hanya melalui ISAs (ideological state apparatuses, aparat ideologi negara) tapi juga melalui
bahasanya sendiri yang tersebar di tiga ruang: media, iklan, dan propaganda. Oleh karena itulah,
analisis kritik wacana seringkali memfokuskan teks yang tergambar dalam media: telivisi dan
laporan koran, iklan, dan yang lainnya. Fairclough (1989: 179) menyarankan agar wacana media
bisa menempati posisi sebagai subjek ideal; dan pembaca, pendengar atau pemerhati yang
sebenarnya dapat menegosiasikan suatu hubungan dengan subjek yang diidealkan itu. Studi yang
dilakukan Fairclough terhadap cara media diterima oleh pembacanya menunjukkan bahwa
pembaca terkadang dapat saja menjadi kebal dari pengaruh ideologi-ideologi yang diduga benar
dalam teks.
Bahasa yang sangat kuat tidak dapat diterima secara keseluruhan oleh orang yang tidak
mempunyai kekuatan. Di mana ada kekuasaan, di situ pasti ada perlawanan. Sebuah studi
tentang antagonisme dan interaksi antara petani dan tuan tanah di Sedarka, sebuah nama
samaran untuk sebuah desa di Malaysia, ditemukan perbedaan sikap antara pada saat si petani
berhubungan dengan elit tuan tanah lokal dan pada saat dia berinteraksi sesama petani. Secara
linguistik, ini ditunjukkan dalam fitur aksen (pelafalan), grammar, praktik penamaan, dan
peribahasa. Di sisi lain, pemilik tanah mendeskripsikan sikap mereka sebagai bantuan, kebaikan,
dan simpati. Orang kaya di Sedarka memerikan diri mereka sebagai orang yang hampir tidak
mempunyai waktu, sementara orang miskin menyebut mereka sebagai orang kaya. Si miskin
memang tidak menggunakan ini pada saat berada di hadapan (onstage) si kaya, namun pada saat
tidak berada di hadapan si kaya (offstage) ia tidak mempunyai pilihan lain. Perubahan praktik
linguistik seperti ini merupakan bagian dari kemerosotan hubungan sosial.
Kekuasaan juga tidak dapat dengan mudah ditumbangkan. Ada beberapa kasus yang
memposisikan perubahan semantik, yang jauh dari pikiran-pikiran sederhana dalam sebuah
perubahan sosial, boleh jadi sesungguhnya menyembunyikan ketiadaan perubahan makna. Ini
seperti yang terjadi pada kasta paraiyan, kasta terendah dalam sistem masyarakat Tamil Nadu.
Contoh kasus penolakan kekuatan bahasa juga dikemukakan oleh Halliday yang
melakukan studi terhadap sekelompok orang yang menyatakan perlawanan status mereka pada
masyarakat yang dominan dalam segala aspeknya, termasuk di dalamnya penggunaan bahasa
mereka. Mereka menggunakan bahasa untuk kalangan mereka sendiri yang mereka sebut
sebagai sikap anti-bahasa. Ini terjadi di banyak negara yang diorganisir secara rapi seperti
layaknya sebuah masyarakat.
Selain masalah komunitas anti-bahasa, perlawanan yang terbilang sukses terhadap
kekuasaan yang dominan atau bentuk bahasa standar juga dapat ditemui pada penelitian bahasa
dan jender. Para peneliti feminis telah berhasil mengidentifikasi beberapa area struktur bahasa
dan penggunaannya yang berpihak pada perspektif laki-laki dan menafikan perempuan. Ini
banyak terjadi hampir di semua bahasa. Contoh paling sederhana adalah kata yang berkonotasi
laki-laki lebih sering dipergunakan untuk mengacu pada sesuatu yang generik untuk semua orang
(tanpa pembedaan jenis kelamin).
Bagi Bourdieu, setiap interaksi linguistik melahirkan simpul-simpul struktur sosial yang
ekspresi dan sumbangannya berguna untuk reproduksi. Ada dua aspek kunci dalam pemikiran
Bourdieu yaitu: ekonomi komunikasi dan simbol kekuasaan. Menurutnya, model komunikasi
manusia adalah sistem analogi dari disiplin ilmu ekonomi, yang hal ini menunjukkan bahwa
komunikasi adalah bagian dari ilmu ekonomi dalam kehidupan sehari-hari. Mengenai
penggunaan bahasa ini, Bourdieu menyoroti ilmu ekonomi bursa linguistik, sebagai berikut:
unsur-unsur apa saja yang diperdagangkan, pada pasar apa unsur-unsur itu diperdagangkan,
berapa nilainya, investasi linguistik apa yang sudah dibuat, berapa keuntungan yang bisa didapat,
dan berapa akumulasi modalnya.
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini menyebabkan saling mempengaruhi antara sejarah
global dan sejarah lokal pada kebiasaan linguistik dalam komunitas ujaran individu. Bourdieu
memberikan empat tipe sumber atau modal yang dimiliki oleh makhluk hidup:
Modal ekonomi;
Modal budaya;
Modal sosial;
Modal simbolis.
Masing-masing individu didistribusikan ke dalam ruang sosial sesuai dengan:
Jumlah total modal yang dimiliki;
Komposisi modal mereka;
Lintasan mereka dalam ruang sosial.
Menurut Bordieu, interaksi linguistik antar peserta komunikasi (dalam isi dan gayanya)
sangat besar tergantung pada hubungan sosial antar peserta komunikasi. Interaksi menempati
tempat di dalam pasar linguistik. Pasar ini memasukkan sistem pendidikan, bursa tenaga kerja,
masyarakat tingkat tinggi, pemerintah, dan interaksi harian antar manusia. Beragam pola bahasa
(gaya, wacana, pelafalan) disusun sebagai simbol aset yang dapat menerima perbedaan nilai yang
tergantung pada pasar yang mereka tawarkan. Dalam hal ini, kekuasaan sangat penting dalam
memobilisasi otoritas yang diakumulasikan ke dalam pasar.

C. Bahasa Sebagai Legitimasi Kekuasaan pada Masa Orde Baru


Feodalisme membentuk relasi atas-bawah yang dibangun dengan loyalitas. Feodalisme Jawa
yang memiliki nilai kebudayaan yang direproduksi dan diwariskan secara turun temurun.
Feodalisme Jawa dibangun atas kekuasaan penguasa didasarkan atas jumlah pengikut dan diikat
oleh konsep bersatunya kawula dan gusti, atau bawahan dan atasan.
Legitimasi dengan bahasa terlihat jelas pada masa Orde Baru berkuasa. Orde Baru yang
berkuasa tidak dapat dipisahkan dengan kepemimpinan Soeharto. Soeharto yang berasal dari
keluarga Jawa tahu betul membangun sebuah legitimasi kekuasaan dengan bahasa dan pola-pola
feodalisme Jawa.
Salah satu bentuk legitimasi kekuasaan pada masda Orde baru adalah legitimasi mengenai
bahasa. Bahasa merupakan alat komunikasi untuk menyampaikan informasi kepada orang lain.
Bahasa memiliki peranan penting dalam kehidupan sosial sehari-hari. Bahasa juga sebagai
sebuah doktrin atau dogma kekuasaan. Legitimasi kekuasaan juga dapat dilihat dari bahasa yang
digunakan pada masyarakat.
Legitimasi kekuasaan dengan bahasa terlihat jelas pada masyarakat Jawa. Dalam bahas Jawa
terdapat klarifikasi bahasa yang ditinjau dari kriteria tingkatannya yaitu bahasa
Jawa Ngoko dan Krama. Bahasa Jawa Ngoko itu dipakai untuk orang yang sudah dikenal akrab,
dan terhadap orang yang lebih muda usianya serta lebih rendah derajat atau status sosialnya
Sebaliknya, bahasa Jawa Krama, dipergunakan untuk bicara dengan yang belum kenal akrab,
tetapi yang sebaya dalam umur maupun status, dan juga terhadap orang yang lebih tinggi umur
serta statu sosialnya.
Adanya klarifikasi bahasa itu akan menimbulkan sebuah sebuah strata sosial kebangsawanan
dan kedudukan sebagai priyayi. Maka bahasa yang digunakan antara pangeran bila ia berbicara
dengan orang biasa berbeda dengan orang biasa berbicara dengan pangeran. Pada masa Orde
Baru etika memanggil Soeharto, orang awam banyak yang menyebut “Pak Harto”. Pemakaian
kata “Pak Harto” mempunyai makna ganda. Pertama, menghapus ingatan kolektif masyarakat
terhadap penggunaan kata “Bung” yang dipakai oleh Soekarno dan angkatannya. Kedua
bertujuan menghilangkan konsep kesetaraan. Kata “Pak” adalah sapaan merendahkan diri di
hadapan sang “Pak”. Itu berarti, ada jarak yang harus ditanggung saat berbicara dengan sang
“Pak”.
Dalam lingkungan kerja orang Jawa tidak mengenal bantahan dan, hanya persetujuan. Ketika
dalam pengambilan keputusan bisa dilihat bahwa kata ”ya” bisa berarti tidak dan “tidak” bisa
berarti ragu-ragu atau berarti “ya”. Tak ada kepastian, memang dalam pengambilan keputusan
dalam masyarakat Jawa. Kepastian ini baru bisa didapatkan bila setelah pengambilan keputusan
berlangsung beberapa waktu lamanya. Dilaksanakannya perintah berarti bahwa jawaban yang
diberikan ialah “ya”, dan tak dilaksanakannya perintah itu sendiri berarti bahwa jawabannya yang
diberikan ialah “tidak”. Jadi seorang bawahan akan selalu membuat atasannya selalu senang.
Dalam birokrasi pemerintahan Orde Baru tetap menggunakan konsep ”desa Jawa”. Soeharto
juga mulai memakai istilah desa dalam menyeragamkan terhadapkeberbedaan yang ada. Desa-
lah yang kemudian yang mematikan istilah nagari dan banjar. Dilihat secara administratif, suatu
desa di Jawa biasanya disebut kelurahan dan dikepalai oleh seorang lurah. Lurah dibantu
oleh carik, jagabaya, jagatirto, bayan,dan modin. Kemudian, desa itu masih dibagi atas dusun-
dusun yang dikepalai oleh kepala dusun. Tidak cukup sampai disini, setelah dusun dibagi lagi atas
Rukun warga. Dan Rukun Warga ini terdiri atas Rukun Tetangga.
Struktur masyarakat desa di Jawa yang asli, telah dirusak oleh struktur administrasif yang
ditumpangkankan oleh pemerintah kolonial sejak lama. Akibat dari itu masyarakat desa di Jawa
tidak memiliki kesatuan-kesatuan sosial dan organisasi yang mantap, yang dapat berbuat kreatif
sendiri. Organisasi yang ditumpangi oleh sistem administrasi kepegawaiaan dan dipimpin oleh
seorang pegawai, yang sering tak suka memikul tanggung jawab sendiri, dan hanya bisa
menunggu perintah dari atas.
Kekuasaan didominasi oleh pusat, apapun kebijakan ekonominya, rasa kejawanlah yang
menjadi pegangan desa-desa di Jawa. Inikah yang dimanfaatkan oleh Orde baru, termasuk dalam
melanggengkan konsep politiknya.
Aspek yang menyebabkan bertahannya kebudayaan Jawa adalah feodalisme yang
terinstitusional dari generasi ke generasi. Bagi orang desa, feodalisme bukanlah sesuatu yang
harus dilihat dengan kacamata benar dan salah, melainkan sesuatu yang telah ajeg, harus
dilaksanakan, dikerjakan tanpa presentasi. Hidup tinggal menerima, semua sudah ada yang
mengatur. Dengan sistem birokrasi yang dibangun dari bawah sampai atas yang begitu ruwet,
menyebabkan kontrol kekuasaan akan mudah. Dengan sistem itu identitas budaya lokal semakin
terkikis dan mengakibatkan lahirnya generasi local yang memiliki rasa rendah diri dengan
identitas kultural lokalnya.
Dalam pengunaan bahasa pada masa Orde Baru pasti kenal dengan istilah “pembangunan”,
“selaras, serasi, seimbang”, bahkan “semangkin”, “daripada”, dan “ken”. Pemakaian yang
dilakukan terus menerus akan meninggalkan maknanya, dan, tentu saja, mendekatkan dengan
penutur pertamanya.
Dengan kata-kata itu diharapkan Soeharto dapat dekat dengan rakyatnya. Soeharto mampu
menyatu dalam kalbu setiap warganya.Soeharto terinspirasi oleh konsep pewayangan . Ia
mengidentifikasikan dirinya sebagi seorang tokoh semar. Dalam dunia pewayangan Semar
merupakan lambang rakyat. Pengunaan kata-kata itu juga tak lepas dari unggah-ungguh. Hal ini
perlukan agar masyarakat tidak sampai menggerutu Menggerutu inilah yang sering dilakukan
oleh orang Jawa, mereka sering melakukannya karena tidak punya keberanian untuk
berpendapat.
Kata-kata yang selalu diulang-ulang itu mengingatkan pada ajaran Jawa yang berbunyi: yen
mlaku ojo sok ndangak mundhak kesandhung; mulo luwih becik tumungkulo!. Artinya: bila jalan
jangan suka melihat ke atas oleh karena bisa kesandung; maka itu lebih baik melihatlah ke bawah.
Maksudnya supaya di dalam kehidupan orang jangan suka melihat ke atas, ke arah mereka yang
kaya dan berharta. Lebih baik memandang ke bawah, ke arah mereka yang kurang berada,
daripada kita. Dalam kenyataannya lebih baik memandangi orang yang bernasib kurang baik
untuk bisa membuat diri sendiri merasa beruntung daripada merasa, mengirikan mereka yang
bernasib lebih baik oleh karena, sikap ini bisa perasaan malang pada diri sendiri.
Sifat chauvinisme Jawa dalam pemerintahan terlihat nyata dan terbuka. Ironi ini jelas sekali
dalam peta politik Indonesia pada masa Orde Baru. Menteri, pimpinan instansi, kepala angkatan,
kebanyakan bersal dari orang Jawa, yang namanya dengan jelas berakhiran “o”. Tentu, ini bukan
semata karena etnis Jawa adalah kelompok masyarakat terbesar di Indonesia, melainkan lebih
kepada kepercayaan kolusif yang dimiliki Soeharto kepada orang-orang yang dianggap memiliki
kedekatan emosional dengannya.
Negara dan birokrasi adalah lembaga yang sama sekali rasional. Tapi, Orde Baru menunjukkan
sebaliknya. Sistem Orde Baru adalah hasil sinkretis antara cara berpikir ilmiah dengan cara
berpikir mistis. Mentaliet yang terlalu nerima dan bersikap pasif dalam hidup, menjadikan
penguasa lebih berkuasa. Tipikal Jawa yang tampaknya hingga saat ini belum hilang daya
tariknya, sekalipun orang berusaha untuk berpikir logis di dalam kehidupan tradisional yang
sedang mengarah untuk menjadi modern. Sehingga pada masa kekuasaan Orde Baru pola yang
dipakai adalah pola berpikir ”Jawa” dapat diartikan sebagai pola berpikir Indonesia dalam
karakteristik manusia Indonesia.

D. Hubungan Bahasa dan Kekuasaan


Sekilas tidak ada hubungan sama sekali antara bahasa dan kekuasaan. Keduanya merupakan
dua hal terpisah. Ini tentu tidak salah jika bahasa dimaknai secara konvensional, yakni sebagai
sistem lambang yang terurai mulai dari unit yang paling kecil, yakni bunyi (phones), yang dikaji
oleh phonology, morfem (morphemes) dan kata (words) yang dikaji oleh morphology, yang
kodifikasinya dikembangkan lebih lanjut melalui leksikologi dan leksikografi, frase (phrases),
klausa (clauses) dan kalimat (sentences), yang dikaji oleh syntax, makna (meanings) yang dikaji
oleh semantics, tanda (signs) yang dikaji oleh semiotics, hingga teks (texts) yang dikaji lewat
analisis teks (reading analysis), sedangkan kekuasaan dimaknai sebagai praktik politik oleh para
politisi.
Oleh para ahli, pemilahan demikian melahirkan apa yang kemudian disebut dengan linguistik
deskriptif (descriptive linguistics) yang pusat kajiannya adalah behaviour, contents dan elements
bahasa yang kemudian dikenal sebagai “pure linguistics (micro linguistics)”. Selain makna bahasa
terasa sempit, pemilahan tersebut melahirkan formalisme dalam linguistik, sehingga linguistik
seolah hanya berjalan di atas satu rel saja. Sayangnya, formalisme begitu mendominasi para
linguis di Indonesia dalam waktu yang cukup lama hingga awal 1960’an.
Jika bahasa dimaknai seperti itu, maka tidak mungkin antara bahasa dan kekuasaan dapat
bertemu, karena dari sudut pandang disiplin ilmiah bahasa adalah wilayah kajian linguistik,
sedangkan kekuasaan adalah wilayah kajian ilmu politik. Namun, perjumpaan antara bahasa dan
kekuasaan dimulai setelah para kaum post-strukturalisme seperti Jurgen Habermas, Jean
Baudrillard, Antonio Gramsci, Michel Foucault dan lain-lain menegaskan betapa pentingnya relasi
antara bahasa dan kekuasaan. Bahkan Jean Baudrillard (dalam Latif dan Ibrahim, 1996)
menegaskan bahwa “The real monopoly is never that of technical means, but that of speech”.
Sejak saat itu, diskusi tentang relasi antara bahasa dan kekuasaan sangat semarak. Sebelumnya
kehadiran karya Fairclough (1989) “Language and Power”, Benedict Anderson (1990) “Language
and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia”, Pierre Bourdieu (1984) “Language and
Symbolic Power” juga telah membuka ruang diskusi ilmiah tentang relasi bahasa dan kekuasaan.
Dampaknya, penelitian tentang relasi bahasa dan kekuasaan berkembang sehingga melahirkan
karya-karya akademik yang cukup banyak berupa makalah, buku-buku ilmiah, tesis, dan bahkan
disertasi.
Lebih lanjut, kaum post-strukturalis, juga membuka diri memasuki ranah lain dengan melihat
bahasa dari sisi fungsi (language in use). Di sini bahasa tidak dilihat sebagai objek yang
dideskripsikan semata, melainkan dilihat fungsinya dalam komunikasi, dan dalam kehidupan
sosial serta budaya. Menurut saya, justru para kaum post-strukturalis tersebut mengembalikan
bahasa pada hakikat dan fungsi yang sesungguhnya. Implikasinya, ilmu bahasa (linguistik) dapat
membawa kita ke berbagai ranah kehidupan tempat bahasa digunakan. Misalnya, sebagai teks
bahasa hadir dalam ranah seni, budaya, sastra, politik, psikologi, agama, komunikasi, sejarah,
antropologi, sosiologi, dan sebagainya. Di sini terjadi apa yang disebut sebagai fungsionalisme
dalam linguistik, yang disusul dengan kelahiran disiplin-disiplin baru seperti sosiolinguistik,
antropolinguistik, psikolinguistik, politikolinguistik, sosiopolitikolinguistik, geolinguistik,
neurolinguistik, komunikasi politik dan seterusnya. Disiplin-disiplin tersebut sering disebut inter-
disciplinary linguistics (macro linguistics) .
Perkembangan linguistik fungsional juga menuntut para pengkaji bahasa untuk memahami
disiplin-displin lain seperti sosiologi, bagi pengkaji sosiolinguistik, psikologi bagi pengkaji
psikolinguistik, neurologi bagi pengkaji neurolinguistik, antropologi bagi pengkaji
antropolinguistik, ilmu politik bagi pengkaji politikolinguistik, teori-teori tentang ideologi media
dan teori kritik bagi pengkaji media, semiotika bagi pengkaji komik dan seterusnya. Berikut
disajikan pemetaan wilayah kajian bahasa antara formalisme (yang berisi tentang wujud dan
bentuk bahasa) dan fungsionalisme (yang berisi tujuan dan fungsi bahasa).
Perspektif fungsionalisme mengantar kajian bahasa untuk tidak lagi sekadar mengkaji bahasa,
tetapi juga wacana (discourse), yaitu bahasa dalam konteks yang beraneka ragam untuk
memahami maknanya. Saat ini kita dihadapkan dengan situasi multikulturalisme yang harus kita
pahami secara lebih baik. Jika tidak, akan terjadi kesalahpahaman di antara kita. Sebab, bahasa
yang digunakan manusia makin terserap oleh pergaulan antarbudaya, baik pada tingkat lokal,
nasional, regional, maupun internasional, yang dalam studi budaya (cultural studies) disebut
fenomena diaspora. Akibatnya, bahasa bukan lagi objek tunggal, malainkan sebagai bagian dari
kehidupan manusia.
Sampai saat ini sudah hampir 50 (lima puluh) tahun bahasa telah dikaji melebihi batas-batas
linguistik, yakni wacana dengan memahami makna di balik bahasa. Menurut teori wacana, tidak
ada produk linguistik yang hadir dalam ruang hampa dan tiba-tiba, apalagi tanpa makna. Ia hadir
dengan tujuan tertentu dan bahkan kuasa tertentu pula. Tidak ada kata yang tidak bermakna.
Bahkan, wacana merupakan arena beroperasinya kekuasaan dan relasi kekuasaan. Karena itu
menjadi agak mudah bagi kita untuk memahami dua macam kekuasaan menurut Gramsci, yaitu:
koersi dan hegemoni, atau dua jenis piranti penguasaan menurut Althusser, yaitu: aparat represif
kekuasaan (Repressive state apparatus), dan aparat ideologis kekuasaan (Ideological state
apparatus).
Sebagai kekuasaan hegemonik yang dibangun melalui kerja aparat ideologis, maka
kebanyakan kekuasaan kontemporer beroperasi dalam atau dibangun dan dipelihara melalui
praktik wacana (discursive practice). Untuk memahaminya diperlukan analisis interteks. Lewat
kajian wacana, kita dapat melihat jenis kekuasaan apa yang beroperasi.
Bahasa dan struktur masyarakat tidak dapat terlepas dari hegomoni bahasa. Bahasa yang
sudah terinternalisasi dalam kehidupan seluruh masyarakat dan di sepakati atau paling tidak
memahami semua tentang arti dan maknanya maka di situ akan terbentuk apa yang kita sebut
dengan bahasa. Demikianhalnya dengan kekuasaan dan bahasa orang mampu menguasai orang
lain, dengan bahasa pula orang jadi tidak percaya dengan orang lain. Bahasa adalah cara utama
untuk mengkomonikasikan isi fikiran. Setiap masyarakt manusia memiliki bahasa dan manusia
memiliki kecerdasan aslinya tanpa kesulitan. Terlepas dari itu semua kini bahasa mudah menjadi
sebuah dilematis dan mulai berubah maknanya. Bahasa yang dulunya hanya digunakan sebagi
alat komunikasi kini sudah bergeser kearah politik,budaya,kekuasan dan lainnya. Seiring dengan
perkembangan wacana , bahasa dijadikan sebuah legitimasi tentang bagimana orang mampu
menguasai orang lain dan bagaimana orang bisa memperdaya dan menguasai musuh-musuhnya.
Kekuasaan adalah sebuah konsep abstrak tetapi sangat berpengaruh terhadap kehidupan
kita. Moore dan Hendry mendifinisikannya sebagai : kekuatan dalam masyarakat yang membuat
tindakan terjadi, sehingga dengan menelitinya kita bisa mengenali siapa yang mengendalikan apa
dan demi kepentingan siapa. Menurut Antonio Gramsci, konsep hegomoni terjadi ketika
golongan masyarakat yang tertindas terekspolitasi secara sukarela mengabdi kepada penindas
mereka. Namun dalam konsep sekarang hegemoni yang terjadi bukan lagi berwujud penindasan
secara faktual. Melaikan secara tersamar sehingga kadang-kadang pihak yang tertindas tidak
merasa tertindas atau tidak merasa menjadi korban . hal itu dimungkinkan terjadi karena konsep
hegomoni dan kekuasaan tersebut dioperasionalkan melalui bahasa. Kekuatan bahasa yang di
antaranya mengandung eufimisme memungkinkan segala sesuatu menjadi tampak baik,halus.
Dan tersamar meskipun sebenarnya (kenyataan) kurang baik. Lihat saja penggunaan kata-kata
yang marak terutama pada zaman orde baru, oleh para birokrat terhadap rakyat miskin. Ketika
itu rakyat miskin atau yang dianggap melawan sering dikategorikan sebagai “tidak beradap”
sehingga harus “didisiplinkan”,”diregulasi”, dan “dibina”. Dengan demikian istilah-istilah yang
sering disuarakan oleh para penguasa pada waktu itu seperti mendisiplinkan, meregulasi, dan
membina sebetulnya mengaburkan makna atau kenyataan atau kenyataan sesungguhnya supaya
program-program yang dilaksanakan terlihat baik dan tidak terkesan menindas. Sampai saat ini
gejala pemakian bahasa seperti itu masih sering terjadi, misalnya kenyataan penggusuran rumah-
rumah atau bangunan yang dianggap liar sebagai penertiban atau relokasi. Oleh karena itu
bahasa sebenarnya bukan hanya sekedar tata bahasa akan tetapi bahasa adalah membawa
muatan kepentingan.
Pada zaman orde baru ketika pemerintah menuduh seseorang sebagai anti
pembangunan,komunikasi,ekstrim kiri,ekstrim kanan dan sebutan-sebutan yang lain yang
sejenisnya, dia pasti akan tersingkir baik secara politik maupun sosial. Ungkapan ungakapan itu
telaha sedemikan ampuh untuk memberanguskan lawan-lawan politik orde baru. Bahasa adalah
ekspresi kekuasaan oleh karena itu bahasa merupakan kancah perhelatan kekuasaan Dalam riil
kehidupan manusia sering mengunakan subuah bahasa dalam membohongi dan menghegamoni
seseorang. Dalam kancah perpolitikan ada sebuah bahasa sehingga menjadi isu yang biasa
membikin konsentrasi para elite bubar. Kisah manusia adalah kisah lika-laku bahasa, dengan
maknanya bahasa mampu mempu mengerakan dunia dengan kekuatan dengan bahasa pula
banyak tercecer air mata bahkan darahpun mengalir tiada henti tak terasa. Pedang dihunus dan
masa dimolisasi karena bahasa. Aneka kehormatan, kebahgian, sakit hati ,kekecewaan ,
semuanya diakhiri dengan kata-kata penguasa merasa menjadi pemilik tunggal bahasa karenanya
masyarakat haruslah tunduk denganya. Bahasa yang sering digunakan oleh pemerintah hanya
berlaku sepihak dan sering kali pemerintah dalam mengimbanginya isunya menjastifikasi kaum-
kaum margina dengan undang-undang sebagai salah satu legitimasi. Hal yang digunakan karena
diven pemerintah dalam mempertahankan keajiban dan kekuasaan dari orang-orang yang di
anggap membahayakan pemerintah.
Fenomena semacam itu akan terus terjadi sepanjang para penguasa dan kaum cerdik pandai
tidak ingin terbuka ditambah faktor bahasa dengan kekuasaan itu bahasa tidak lagi dapat dilihat
sebagai alat kominikasi yang netral dan bebas nilai karena bahasa sudah mengandung unsur
kekuasaan. Dari situ bahasa dapat dipertanyakannya nilai moralitasnya karena di balik bahasa
tersebut makna yang mengindikasikan martabat dan harkat manusia menurun. Hubungan
kekuasan dan bahasa tidak dapat dipisahkan sebab jalannya kekuasan di tunjukan lewat bahasa
kita dapat melihat siapa yang berkuasa dan siapa yang tidak berkuasa dapat dilihat dari
penggunan bahasa misalnya pidato-pidato yang di ucapkan saat rapat politik dan rapat-rapat
lainnya.
Melalui Bahasa, suatu kekuasaan dapat menciptakan citra pihak lain sebagai subversiv,
inkonstitusional, antipembangunan, anti kemapanan dan lain sebagainya yang menggambarkan
perlawanan terhadap negara. Pada saat yang sama bahasa juga dapat memberikan citra serba
positif, baik dan mulia bagi pemegang kekuasaan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembahasan makalah ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Bahasa memiliki peranan penting dalam mencapai kekuasaan
2. Bahasa dapat mempertahankan kekuasaan dan meruntuhkan kekuasaan
3. Bahasa sebagai alat pengendali politik
4. Bahasa sebagai alat pengendali pikiran
5. Bahasa menunjukan ideologi pemakai bahasa
6. Ragam bahasa politik bermunculan seiring pergantian rezim kekuasaan pada suatu
bangsa
7. Dalam penggunaan bahasa untuk kepentingan politik harus mengacu pada kaidah
kebasaan dan yang paling penting adalah tidak menggunakan bahasah sebagai mengekang
dan membohongi.
B. Saran
1. Kajian terhadap bahasa dan politik sangat menarik untuk dilihat dari sudut pandang
sosiolinguistik. Sehingga dapat dijadikan bahan penelitian pada masa mendatang.
2. Kajian terhadap bahasa politik sekaligus memberikan arahan pada pemakai bahasa
dalam dunia politik agar menggunakan bahasa berdasarkan kaidah bahasa dan norma
sosial.
DAFTAR PUSTAKA

https://muhbusro.wordpress.com/2013/01/30/bahasa-dan-kekuasaan/

https://hasrulharahap.wordpress.com/2013/11/14/bahasa-dan-kekuasaan/

https://id.wikipedia.org/wiki/Kekuasaan

https://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa

https://jepridinpascaumblog.wordpress.com/2013/02/13/bahasa-dan-politik/

Anda mungkin juga menyukai