0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
87 tayangan21 halaman

Latihan Pernapasan untuk Asma

Analisis jurnal ini membahas efektivitas latihan napas perut atau diaphragmatic breathing exercise terhadap fungsi pernapasan pada pasien asma bronkial. Latihan napas perut dilakukan dengan cara memaksimalkan kerja paru-paru bagian bawah dan membesarkan perut saat menghembuskan napas untuk meningkatkan kapasitas paru-paru dan mengatur pernapasan. Tujuan analisis ini adalah mendeskripsikan pengaruh latihan tersebut terhadap
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Kami menangani hak cipta konten dengan serius. Jika Anda merasa konten ini milik Anda, ajukan klaim di sini.
Format Tersedia
Unduh sebagai DOCX, PDF, TXT atau baca online di Scribd
0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
87 tayangan21 halaman

Latihan Pernapasan untuk Asma

Analisis jurnal ini membahas efektivitas latihan napas perut atau diaphragmatic breathing exercise terhadap fungsi pernapasan pada pasien asma bronkial. Latihan napas perut dilakukan dengan cara memaksimalkan kerja paru-paru bagian bawah dan membesarkan perut saat menghembuskan napas untuk meningkatkan kapasitas paru-paru dan mengatur pernapasan. Tujuan analisis ini adalah mendeskripsikan pengaruh latihan tersebut terhadap
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Kami menangani hak cipta konten dengan serius. Jika Anda merasa konten ini milik Anda, ajukan klaim di sini.
Format Tersedia
Unduh sebagai DOCX, PDF, TXT atau baca online di Scribd
Anda di halaman 1/ 21

ANALISIS JURNAL

Efektivitas Diaphragmatic Breathing Exercise terhadap Fungsi


Pernapasan pada Pasien Asma Bronkial

OLEH

NAMA : MAGFIRA HAPSARI SULEMAN


NIM : 841718030

PROGRAM PROFESI NERS


FAKULTAS OLAHRAGA DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
2018
ANALISIS JURNAL
“Efektivitas Diaphragmatic Breathing Exercise terhadap Fungsi Pernapasan pada
Pasien Asma Bronkial”

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Angka kejadian masalah kesehatan akhir-akhir ini meningkat sejalan
dengan perubahan pola hidup masyarakat modern, yang terkadang disebabkan
oleh alergi baik dari polusi lingkungan, maupun zat-zat yang ada didalam
makanan. Salah satu penyakit alergi yang banyak terjadi di masyarakat adalah
asma. Asma merupakan penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan
mayarakat dihampir semua negara di dunia. Asma diderita oleh anak-anak
sampai dewasa dengan derajat penyakit yang ringan sampai berat, bahkan dapat
mematikan (Sundaru dan Sukamto, 2007).
Berdasarkan laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013
prevalensi asma di Indonesia pada semua umur adalah 4,5%. Faktor risiko yang
dapat mengakibatkan asma dan memicu untuk terjadinya serangan asma
diantaranya adalah riwayat keluarga. Berdasarkan sebuah studi kohort, apabila
seorang anak memiliki satu orang tua yang memiliki alergi, maka anak tersebut
memiliki kemungkinan untuk menderita alergi sebesar 33 %.
Permasalahan yang muncul pada asma yang di keluhkan yaitu sesak nafas.
Sesak nafas ini terjadi disebabkan oleh adanya penyempitan saluran nafas.
Penyempitan saluran nafas ini terjadi karena adanya hiperreaktivitas dari saluran
nafas terhadap berbagai macam rangsang, sehingga menyebabkan spasme
otototot polos bronkus yang dikenal dengan bronkospasme, oedema membrana
mukosa dan hipersekresi mukus, sehingga didalam saluran nafas tersebut akan
menyebabkan sulitnya udara yang melewatinya, maka penderita asma akan
cenderung melakukan pernapasan pada volume paru yang tinggi, yang mana
akan membutuhkan kerja keras dari otot-otot pernapasan, sehingga pasien akan
mengalami kesulitan bernapas, ekspirasinya akan lebih panjang sehingga otot-
otot ekspirasi akan turut bekerja, yang mana akan menambah energi untuk
pernapasan maka berakibat terjadinya hambatan waktu untuk mengeluarkan
udara ekspirasi adalah adanya udara yang masih tertinggal di dalam paru-paru
semakin meningkat. Bila hal tersebut terjadi maka akan menyebabkan obstruksi
saluran nafas. Obstruksi saluran nafas terjadi saat ekspirasi karena secara
fisiologis saluran nafas menyempit, sehingga mengakibatkan udara terjebak dan
tidak bisa di ekspirasikan. Gangguan yang berupa obstruksi saluran nafas dapat
di nilai secara objektif dengan VEP 1 (Volume Ekspirasi Paksa Detik Pertama)
atau APE (Arus Puncak Ekspirasi) (Sundaru, 2006).
Penyakit asma merupakan penyakit yang berlanjut secara perlahan serta
dalam perjalanannya terdapat fase-fase eksaserbasi akut. Setiap terjadi
eksaserbasi akut maka akan terjadi perburukan atau pengurangan nilai faal paru
salah satunya mengalami penurunan arus puncak ekspirasi (APE), dan nilai ini
tidak akan kembali setelah fase eksaserbasi akut ini menyembuh (Yunus, 2005).
Pada penderita asma terapi pernapasan utama adalah latihan napas perut
atau diaphragmatic breathing exercise. Diaphragmatic breathing exercise
dilakukan dengan cara memaksimalkan fungsi paru-paru sampai ke paru-paru
bagian bawah sehingga dapat meningkatkan kapasitas paru-paru dalam bernapas
atau dengan cara membesarkan perut ke depan dan dilakukan secara perlahan
ketika menghembuskannya. Latihan ini selain untuk mengatur pernapasan jika
terasa akan datang serangan, ataupun sewaktu serangan asma juga untuk
mengatasi masalah penurunan volume paru pada arus puncak ekspirasi (APE)
(Panutan, 2013).
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk melakukan
analisis jurnal tentang “Efektivitas Diaphragmatic Breathing Exercise terhadap
Fungsi Pernapasan pada Pasien Asma Bronkial”.
1.2 Tujuan
Mendeskripsikan efektivitas diaphragmatic breathing exercise terhadap
fungsi pernapasan pada pasien asma bronkial.
1.3 Manfaat
1.3.1 Manfaat Teoritis
Bagi Program Studi Profesi Ners, diharapkan analisis jurnal ini dapat
dijadikan sebagai perkembangan teori yang dapat diterapkan dalam teori
tambahan dan aplikasi dalam asuhan keperawatan medikal bedah.
1.3.2 Manfaat Praktis
a. Bagi Program Studi Profesi Ners
Diharapkan analisis jurnal ini dapat dijadikan tambahan teori dan bahan
bacaan tentang keperawatan medikal bedah.
b. Bagi Perawat
Diharapkan analisis jurnal ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan
bagi perawat dalam asuhan keperawatan medikal bedah.
c. Bagi Rumah Sakit
Diharapkan analisis jurnal ini dapat menjadi masukan bagi Rumah Sakit
dalam melaksanakan penatalaksanaan asuhan keperawatan medikal
bedah khususnya di ruang Tropik/Infeksi.

BAB II METODE DAN TINJAUAN TEORITIS


2.1 Metode Pencarian
Analissi jurnal ini menggunakan 1 (satu) media atau metode pencarian
jurnal, yaitu menggunakan database dari Google scholar sebagai berikut :
Kata Kunci Hasil Pencarian
Diaphragmatic Breathing Exercises 31.700
S1 AND bronchial asthma 18.800
S2 AND respiratory function 18.100
S3 AND Patient 18.100
S4 AND systematic review 16.000
S4 (membatasi tahun publikasi 2013 - 5.110
2018)
S5 AND Randomised Controlled Trial 2.970
Jurnal yang dipilih : The Effect of Diaphragmatic Breathing on Dyspnea and
Exercise Tolerance During Exercise in COPD Patients
2.2 Konsep Tentang Tinjauan Teoritis
2.2.1 Asma Bronkial
Asma adalah penyakit jalan napas obstruktif, intermitten, reversible
dimana trachea dan bronchi berespon secara hiperaktif terhadap stimulasi
tertentu (Musliha, 2010). Secara klinis asma adalah suatu serangan dengan sesak
yang disertai dengan suara napas “mengi” (wheezing/wheeze), yang dapat
timbul sewaktu-waktu dan dapat hilang kembali (sempurna ataupun hanya
sebagian), baik secara spontan maupun hanya dengan obat-obatan tertentu/sifat
reversibilitas (Danusantoso, 2011).
Asma disebabkan oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik, secara intrinsik asma
bisa disebabkan oleh infeksi (virus influensa, pneumoni mycoplasmal), fisik
(cuaca dingin, perubahan temperatur), iritan seperti zat kimia, polusi udara (CO,
asap rokok, parfum), faktor emosional (takut, cemas dan tegang) juga aktivitas
yang berlebihan. Secara ekstrinsik/imunologik asma bisa disebabkan oleh reaksi
antigen-antibodi dan inhalasi alergen (debu, serbuk, bulu binatang)
(Danusantoso, 2011).
Stadium dini gejala yang muncul pada asma antara lain: batuk berdahak
dengan pilek maupun tidak, ronchi hilang timbul, belum ada wheezing, belum
ada kelainan bentuk thorak, ada peningkatan eosinofil darah dan IgE, sesak
napas, penurunan tekanan parsial O2. Pada stadium lanjut, tanda dan gejala
yang muncul pada asma adalah: batuk, ronchi, napas berat, dan dada seakan
tertekan, dahak lengket, suara napas melemah dan bahkan tak terdengar (silent
chest), bentuk thorak barel chest, terdapat tarikan otot sternokleidmastoideus,
sianosis, BGA Pa O2 kurang dari 80%, rontgent paru terdapat peningkatan
gambaran bronchovaskuler kanan dan kiri, hipokapnea, alkalosis bahkan
asidosis respiratorik (Danusantoso, 2011).
Secara garis besar penatalaksanaan asma bronkiale dibedakan menjadi 2
yaitu farmakologis dan non farmakologis. Secara farmakologis pengobatan
asma menggunakan reliever yaitu obat yang berfungsi untuk menghilangkan
obstruksi dan controller sebagai anti inflamasi. Termasuk golongan reliever
adalah agonis beta-2 (seperti salbutamol, terbutalin, fenoterol, prokaterol,
isoprenalin), anti kolinergik sebagai broncodilator misalnya: ipratropium
bromide dalam bentuk inhalasi, teofilin dan kortikosteroid sistemik. Obat yang
termasuk dalam golongan controller antara lain: kortikosteroid, natrium
kromoglikat, natrium nedokromil, dan antihistamin anti lambat (Musliha, 2010).
Secara non farmakologis penatalaksanaan pada pasien asma pada dasarnya
dapat dibedakan secara fisik maupun psikologis, secara fisik pada saat serangan
dapat diberikan tindakan fisioterapi yang salah satu unsur di dalamnya terdapat
massage pada area punggung, adanya kesadaran penderita asma akan arti
penting exercise (karena dengan olah raga seperti senam asma, renang dan
jogging dan peningkatan aktivitas secara bertahap dapat mengurangi gejala
asma), latihan pernapasan dengan cara menghembuskan napas secara tepat (hal
ini akan mengurangi CO2 di paru-paru dan membuat rileks saluran pernapasan),
mengetahui adanya faktor pencetus. Penanganan secara psikologis antara lain:
pentingnya edukasi pada penderita asma tentang penyakitnya dan bagaimana
menyikapinya, mengenali faktor alergi (tungau, debu rumah, alergen dari
hewan, jamur, zat dari tepung sari, polusi udara), pemberian support untuk
mengontrol emosi saat serangan sehingga pernapasan berangsur teratur dan
sesak napas berkurang (Musliha, 2010).
2.2.2 Diaphragmatic Breathing Exercises
Diaphragmatic breathing exercise dilakukan dengan cara memaksimalkan
fungsi paru-paru sampai ke paru-paru bagian bawah sehingga dapat
meningkatkan kapasitas paru-paru dalam bernapas atau dengan cara
membesarkan perut ke depan dan dilakukan secara perlahan ketika
menghembuskannya. Paru-paru dapat terisi penuh tanpa terjepit, karena ruangan
diperluas dengan meregangnya sekat rongga badan atau diafragma yang
bergerak kebawah. Paru-paru sedikit mengembang, aktivitas pendukung dari
aktivitas diafragma dalam teknik pernafasan diafragma, antara lain yaitu
aktivitas paruparu, otot-otot perut, rongga badan dan lain-lain sebagainya.
Pernafasan diafragma dapat dilatih dengan cara : (Setiawan, 2015)
a. Raba tulang rusuk bagian bawah
b. Letakkan dan sedikit ditekan telapak tangan di sisi kiri dan kanan, diantara
tulang rusuk paling bawah, dan perut bagian atas
c. Inhalasi melalui hidung dengan perlahan dan lembut. Letakkan tangan kita
pada pinggang bagian atas. Konsentrasi pada gerakan tulang rusuk dan
sekitar perut bagian atas mengembang ke arah luar.
d. Dengan gerakan seperti diatas, kita akan merasakan telapak tangan
terdorong keluar.
e. Ketika ekshalasi telapak tangan tergerak ke dalam, rusuk mengempis dan
perut atas kembali pada posisi awal.
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil
Author Judul Metode Hasil Source
Afrodite The Effect of Quasi Pola pernapasan Google
Evangelodimou, Diaphragmatic Experimental diafragma scholar
MS; Eirini Breathing on Design With (lambat
Grammatopoulou, Dyspnea and Two Groups dan pernapasan)
PhD; Emmanouil Exercise dengan selama latihan
Skordilis; Tolerance Pretest- yang
Aikaterini During Exercise Posttest. menyebabkan
Haniotou, MD in COPD penurunan yang
Technological Patients signifikan dalam
Educational sensasi dyspnea
Institution of (p = 0,04) dan
Athens, Athens, kelelahan kaki (p
Greece < 0.001),
dibandingkan
dengan pola
pernapasan
pribadi.
Brenda Morrow, The Effect of Deskriptif Pernapasan Google
Jarred Brink, Positioning and diafragma tidak scholar
Samantha Grace, Diaphragmatic secara signifikan
Lisa Pritchard, Breathing dipengaruhi oleh
Alison Lupton- Exercises on perubahan posisi
Smith Respiratory (duduk,
Muscle Activity berbaring
in People with telentang dan
Chronic posisi tripod)
Obstructive pada orang
Pulmonary dengan PPOK
Disease
Anak Agung Istri Pengaruh Quasi Berdasarkan uji Google
Dwi Mayuni, Diaphragmatic eksperiment statistik scholar
Made Oka Ari Breathing dengan Independent
Kamayani, Luh Exercise Nonequivalent Sampel T-Test
Mira Puspita terhadap Control diperoleh hasil
Kapasitas Vital Group p= 0,000< 0,05
Paru pada Design yang berarti ada
Pasien Asma di perbedaan yang
Wilayah Kerja signifikan
Puskesmas III terhadap
Denpasar Utara kapasitas vital
paru antara
kelompok
perlakuan dan
kelompok
kontrol yang
berarti ada
pengaruh
Diaphragmatic
Breathing
Exercise
terhadap
kapasitas vital
paru
Sitti Nurun Efektivitas Quasi Uji Shapiro Google
Nikmah, Latihan Experimental Wilks (p>0,05) scholar
Ambrosius Purba, Incentive Design With memperlihatkan
Irma Ruslina Defi Spirometry Two Groups bahwa sebagian
dengan Latihan dengan besar data FEV1,
Pernapasan Pretest- jarak tempuh uji
Diafragma Posttest. jalan 6 menit,
terhadap Fungsi dan SGRQ
Paru, Kapasitas penderita asma
Fungsional, dan bronkial alergi
Kualitas yang diberi
Hidup Penderita latihan incentive
Asma Bronkial spirometry dan
Alergi pernapasan
diafragma
berdistribusi
normal.
Tri Cahyo Peningkatan Pra- Hasil analisis Google
Sepdianto, Maria Forced Experimental menunjukkan scholar
Diah Ciptaning Expiratory dengan breathing
Tyas, Sunarti Volume melalui Pretest- retraining efektif
Latihan Posttest dalam
Breathing meningkatkan
Retraining pada Forced
Pasien PPOK Expiratory
Volume
(<0,05).
Santi Dwi Pengaruh Pra- Diaphragmatic Google
Pangestuti, Diaphragmatic Experimental breathing scholar
Murtaqib, Nur Breathing dengan exercise
Widayati Exercise Pretest- memiliki
terhadap Fungsi Posttest pengaruh yang
Pernapasan (RR signifikan
dan APE) pada terhadap fungsi
Lansia di UPT pernapasan (RR
PSLU dan APE) pada
Kabupaten lansia.
Jember

3.2 Pembahasan
3.2.1 The Effect of Diaphragmatic Breathing on Dyspnea and Exercise
Tolerance During Exercise in COPD Patients
Sampel yang digunakan sebanyak 14 pasien. Setiap sesi latihan
berlangsung 6 menit. Selama sesi latihan pertama, pasien yang dibimbing napas
perlahan-lahan dan sangat (pernapasan diafragma), Sementara selama sesi
kedua mereka diperintahkan untuk napas dengan pola pernapasan mereka
sendiri. Dyspnea dan kelelahan kaki tercatat setiap 2 menit (Skala BORG).
Skala BORG adalah suatu skala ordinal dengan nilai-nilai dari 0 sampai
dengan 10. Skala BORG digunakan untuk mengukur sesak napas selama
melaksanakan kegiatan/pekerjaan. Nilai 0 merupakan nilai terendah yang dapat
diberikan, nilai ini memiliki arti tidak dirasakan sakit sama sekali. Nilai ini
menunjukkan bahwa otot responden tidak merasakan sakit sama sekali.
Biasanya nilai ini merupakan nilai awal sebelum melakukan pekerjaan ataupun
baru melakukan pekerjaan. Nilai 1 memiliki arti rasa sakit yang sangat lemah
sekali. Nilai ini diperuntungkan bagi responden yang baru melakukan kerja
dalam beberapa menit. Nilai 3 memiliki arti sakit yang dirasakan adalah sedang.
Dalam hal ini responden menilai bahwa rasa sakit pada ototnya kadang terasa
kadang tidak. Biasanya perasaan ini timbul pada waktu 5-7 menit setelah
memulai pekerjaan. Nilai 4, responden sudah merasakan rasa sakit pada ototnya.
Hal ini dapat terjadi apabila responden sudah melakukan pekerjaan yang cukup
lama. Nilai 7 merupakan nilai kritis, karena rasa sakit yang dirasakan sudah
mulai mengganggu kinerja otot pada khususnya dan mengganggu pekerjaan
pada umumnya. Pekerjaan dapat diteruskan apabila responden terus
bersemangat dalam bekerja.
Hasil analisis mengungkapkan bahwa pola pernapasan diafragma (lambat
dan pernapasan) selama latihan yang menyebabkan penurunan yang signifikan
dalam sensasi dyspnea (p = 0,04) dan kelelahan kaki (p < 0.001), dibandingkan
dengan pola pernapasan pribadi. Perbedaan ini ini dikaitkan dengan
pengurangan laju pernafasan (p = 0,03), dan peningkatan waktu expiratory (p =
0,02), menit ventilasi (p = 0.048), pasang surut volume (p = 0,047) dan saturasi
oksigen (p = 0,03).
3.2.2 The Effect of Positioning and Diaphragmatic Breathing Exercises on
Respiratory Muscle Activity in People with Chronic Obstructive
Pulmonary Disease
Sampel yang digunakan sebanyak 18 responden. sEMG elektroda
ditempatkan dalam standar pengaturan thorax untuk mengukur aktivitas otot
otot-otot diafragma dan intercostal. Pengukuran sEMG yang kemudian direkam
untuk dua menit di posisi para responden pilih (pengukuran 1, dasar). Postur
peserta kemudian dikoreksi dan posisi berubah menjadi tegak, didukung posisi
duduk, dengan lengan beristirahat nyaman maju atau di sisi (tapi tidak beban
seperti dalam posisi tripod). Jika peserta tidak mampu untuk duduk tegak, untuk
alasan apapun, mereka ditempatkan di posisi semi fowler dengan kepala tempat
tidur mengangkat antara 30 dan 45 derajat. Rekaman lebih lanjut dua menit
sEMG diambil dalam posisi ini (pengukuran 2) setelah memungkinkan peserta
untuk pulih dari setiap tenaga selama posisi perubahan. Peserta kemudian
diajarkan pernapasan diafragma, sEMG bacaan tercatat selama dua menit
sementara melakukan pernapasan diafragma (pengukuran 3). Peserta kemudian
dibiarkan untuk beristirahat selama 5 menit lagi dalam pilihan mereka posisi
kenyamanan dilakukan pengukuran Borg skala dan sEMG lagi tercatat (ukuran
4, akhir).
Peserta dengan normal BMI menunjukkan peningkatan diafragma kegiatan
antara awal (pengukuran 1) dan pengukuran 2 (p = 0,04) dan antara pengukuran
1 dan 3 (p = 0,03), dengan penurunan berikutnya diafragma kegiatan antara
pengukuran 3 dan 4 (p = 0,0007). Peserta yang diklasifikasikan sebagai
kelebihan berat badan oleh BMI memiliki peningkatan diafragma kegiatan
antara pengukuran 2 dan 3 (p = 0.03), dengan tidak ada perubahan signifikan
lain. Sehingga pernapasan diafragma tidak secara signifikan dipengaruhi oleh
perubahan posisi (duduk, berbaring telentang dan posisi tripod) pada orang
dengan PPOK.
3.2.3 Pengaruh Diaphragmatic Breathing Exercise terhadap Kapasitas Vital
Paru pada Pasien Asma di Wilayah Kerja Puskesmas III Denpasar Utara
Jumlah sampel penelitian sebanyak 30 orang, sehingga masing-masing
kelompok berjumlah 15 orang perkelompok (kelompok perlakuan dan
kelompok kontrol). Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah
spirometer Auto Spiro AS500 yang sudah dikalibrasi untuk mengukur kapasitas
vital paru. Pada kelompok perlakuan diberikan Diaphragmatic Breathing
Exercise dua kali sehari pada pagi hari dan sebelum makan malam selama dua
minggu. Setelah dua minggu akan dilakukan pengukuran kapasitas vital paru
pada kedua kelompok.
Setelah dilakukan pengukuran kapasitas vital paru pretest dari 15
responden kelompok perlakuan menunjukkan hasil KVP rata-rata didapat
sebesar 2,90 L, dengan standar deviasi sebesar 0,27, sedangkan pada kelompok
kontrol KVP rata-rata didapat sebesar 2,86 L, dengan standar deviasi sebesar
0,20. Hal tersebut menunjukkan bahwa kapasitas vital paru pretest pada
kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol lebih rendah dari nilai normal.
Nilai normal kapasitas vital paru adalah 4600 mL (4,6 L).
Penurunan kapasitas vital paru pada pasien asma terjadi karena adanya
hiperinflasi pulmoner, keadaan ini mengakibatkan peningkatan diameter
anteropoterior dada yang dapat menurunkan compliance dinding dada, sehingga
mengakibatkan pernafasan menjadi kurang efektif. Adanya obstruksi pada klien
asma dapat berupa sumbatan yang menyeluruh dan penyempitan jalan nafas
berat. Kondisi ini menyebabkan ketidaksesuaian rasio perfusi dan ventilasi.
Setelah dilakukan pengukuran kapasitas vital paru posttest dari 15
responden kelompok perlakuan diperoleh hasil KVP rata-rata didapat sebesar
3,13 L, dengan standar deviasi sebesar 0,28. Hasil tersebut menunjukan bahwa
kapasitas vital paru pada kelompok perlakuan lebih rendah dari nilai normal
yaitu 4600 ml (4,6 L), namun terdapat peningkatan rata-rata pada kapasitas vital
paru. Secara teori, melalui latihan pernafasan akan membawa meningkatkan
peredaran darah ke otot-otot pernafasan. Aliran darah yang lancar akan
membawa nutrisi (termasuk kalsium dan kalium) dan oksigen yang lebih banyak
ke otototot pernafasan. Ion kalsium yang ada di dalam otot berfungsi untuk
melakukan potensial aksi otot sehingga massa otot dapat dipertahankan dan
kerja otot dapat meningkat. Latihan pernafasan terbukti dapat meningkatkan
kemampuan otot-otot pernafasan. Kekuatan otot pernafasan yang terlatih akan
meningkatkan compliance paru dan mencegah alveoli kolaps (ateletaksis).
Setelah dilakukan pengukuran KVP posttest dari 15 responden kelompok
kontrol diperoleh hasil KVP rata-rata didapat sebesar 2,88 L, dengan standar
deviasi sebesar 0,24. Hal tersebut menunjukkan bahwa kapasitas vital pada
kelompok kontrol lebih rendah dari nilai normal, namun terjadi sedikit
peningkatan KVP rata-rata. Pasien asma menunjukkan gejala dyspnea dan
sensasi dada sesak yang akan mengakibatkan peningkatan kerja otototot
pernafasan sebagai bentuk mekanisme tubuh untuk tetap mempertahankan
ventilasi paru, akan tetapi lama-kelamaan hal tersebut mengakibatkan
kelemahan pada otot pernafasan, sehingga kekuatan otot pernafasan pasien asma
yang tidak melakukan latihan pernafasan cenderung tidak meningkat bahkan
menurun.
Berdasarkan uji statistik menggunakan Paired T-test pada kelompok
perlakuan diperoleh nilai p sebesar 0,000 yang memiliki nilai lebih kecil dari α
penelitian (0,05), yang menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan antara
kapasitas vital paru pretest dan posttest pada kelompok perlakuan. Pernafasan
diafragma merupakan pernafasan yang dilakukan dengan inspirasi maksimal
melalui hidung, mengutamakan gerakan abdomen, membatasi gerakan dada dan
melakukan ekspirasi melalui mulut, dimana hal tersebut dapat meningkatkan
kerja otot-otot abdomen yang berperan pada proses ekspirasi. Secara teori,
pernafasan diafragma yang dilakukan berulang kali dengan rutin dapat
membantu seseorang menggunakan diafragmanya dengan benar ketika dia
bernafas. Teknik ini berguna untuk menguatkan diafragma, menurunkan kerja
pernafasan, menggunakan sedikit usaha dan energi untuk bernafas, dengan
pernafasan diafragma akan terjadi peningkatan volume tidal, penurunan
kapasitas residu fungsional dan peningkatan pengambil oksigen yang optimal.
Berdasarkan uji statistik menggunakan Paired T-test pada kelompok
kontrol diperoleh nilai p sebesar 0,288 yang memiliki nilai lebih besar dari α
penelitian (0,05), yang menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan, maka
dapat diartikan bahwa terdapat perbedaan yang tidak signifikan antara kapasitas
vital paru pretest dan posttest pada kelompok kontrol. Pasien asma akan
mengalami bronkospasme dan bronkokontriksi yang mengakibatkan obstruksi,
hiperinflasi pulmoner dan peningkatan resistensi aliran udara yang
mengakibatkan udara terjebak dalam rongga paru yang akan menurunkan
kapasitas vital paru.
3.2.4 Efektivitas Latihan Incentive Spirometry dengan Latihan Pernapasan
Diafragma terhadap Fungsi Paru, Kapasitas Fungsional, dan Kualitas
Hidup Penderita Asma Bronkial Alergi
Pada penelitian ini terdapat dua kelompok perlakuan yaitu kelompok I
adalah kelompok subjek penelitian yang diberi latihan incentive spirometry dan
kelompok II adalah kelompok subjek penelitian yang diberi latihan pernapasan
diafragma. Subjek penelitian dibagi 2 kelompok yaitu kelompok yang diberikan
perlakuan latihan dengan alat volumetric incentive spirometry dan latihan
pernapasan diafragma, pelaksanaannya dilakukan di rumah subjek penelitian
selama 8 minggu, sebanyak 5 kali setiap hari, setiap latihan dilakukan 10 set dan
diantara set istirahat 15 detik. Alat volumetric incentive spirometry ini tidak
perlu ditera karena alat ini merupakan alat untuk latihan otot pernapasan bukan
merupakan alat pemeriksaan.
Cara latihan dengan alat volumetric incentive spirometry yaitu subjek
penelitian agar duduk dalam posisi tegak, alat volumetric incentive spirometry
dipegang dengan salah satu tangan pada posisi berdiri tegak, letakkan
mouthpiece ke dalam mulut di antara gigi dengan bibir terkatup rapat-rapat
mengelilingi mouthpiece, lakukan napas biasa 3 kali, tarik napas sekuatnya
dengan bibir terkatup rapat-rapat mengelilingi mouthpiece dan ditahan selama
3–5 detik, sesuai toleransi penderita. Usahakan indikator piston bergerak
setinggi-tingginya semampu penderita (menunjukkan jumlah volume inspirasi
yang dapat dicapai), bagian atas dari indikator kuning (bola kuning) harus
berada pada posisi kotak tersenyum, setelah itu lakukan buang napas (ekspirasi)
perlahan-lahan, lepaskan mouthpiece dari mulut dan dianjurkan untuk batuk
setelah menyelesaikan latihan. Latihan dapat dihentikan jika terasa pusing dan
sesak. Latihan dilakukan setiap hari di rumah 5x/hari, dengan 10 set, di
antaranya istirahat selama 15 detik.
Cara melakukan latihan pernapasan diafragma yaitu subjek penelitian
duduk dalam posisi tegak, posisi kepala agak menunduk, letakkan tangan kanan
pada perut di atas perut (abdomen)/pusat (umbilikus) dan tangan kiri pada dada
(toraks) untuk panduan mengenali gerakan pada iga yang membatasi pernapasan
diafragma, tarik napas sekuat-kuatnya melalui hidung, lalu tahan selama 3–5
detik, sesuai toleransi penderita, selanjutnya keluarkan napas perlahan dengan
menghembus melalui mulut yang akan mendorong perut ke dalam dan ke atas,
gerakan tangan menunjukkan penderita telah melakukan latihan dengan benar
atau tidak yaitu apabila tangan di atas perut (abdomen) bergerak selama
inspirasi, penderita sudah bekerja dengan benar, dan apabila tangan pada dada
(toraks) bergerak, berarti penderita menggunakan otot-otot dada (toraks),
selanjutnya dilatih untuk melakukan ekspirasi panjang tanpa kehilangan kontrol
agar inspirasi yang berikutnya tanpa terengah-engah (gasping)/gerakan dada
atas. Latihan dapat dihentikan jika terasa pusing dan sesak. Latihan dilakukan
setiap hari di rumah 5x/hari, sebanyak 10 set, di antaranya istirahat 15 detik.
Uji Shapiro Wilks (p>0,05) memperlihatkan bahwa sebagian besar data
FEV1, jarak tempuh uji jalan 6 menit, dan SGRQ penderita asma bronkial alergi
yang diberi latihan incentive spirometry dan pernapasan diafragma berdistribusi
normal. Uji homogenitas dengan Levene’s test for equality of varians (p>0,05),
hasilnya menunjukkan bahwa data FEV 1, jarak tempuh uji jalan 6 menit, dan
SGRQ penderita asma bronkial yang diberikan latihan incentive spirometry dan
pernapasan diafragma adalah homogen.
3.2.5 Peningkatan Forced Expiratory Volume melalui Latihan Breathing
Retraining pada Pasien PPOK
Sampel penelitian terdiri dari 35 responden. Intervensi dalam bentuk
latihan breathing retraining dilakukan selama 15 menit 3 kali sehari dalam
waktu 2 minggu (14 hari). Forced expiratory volume diukur sebelum dan
setelah. Pengukuran dilakukan secara serial sebanyak 3 kali, pada hari ke-1, ke7
dan ke-14.
Pada kunjungan pertama, rata-rata forced expiratory volume sebelum
latihan 597,14 dengan standar deviasi 650,78 dan setelah latihan 940,0 dengan
standar deviasi 732,02. Ada peningkatan forced expiratory volume 342,86.
Analisis lebih lanjut menunjukkan ada perbedaan signifikan rata-rata forced
expiratory volume sebelum dan sesudah melakukan latihan breathing retraining
(p=0,000, <0,05).
Pada kunjungan kedua, rata-rata forced expiratory volume sebelum
latihan 597,14 dengan standar deviasi 650,78 dan setelah latihan 1657,823
dengan standar deviasi 727,823. Ada peningkatan forced expiratory volume
1060. Analisis lebih lanjut menunjukkan ada perbedaan signifikan rata-rata
forced expiratory volume sebelum dan sesudah melakukan latihan breathing
retraining (p=0,000, <0,05).
Rerata forced expiratory volume sebelum latihan pada kunjungan ketiga
dengan 597,14 standar deviasi 650,78 dan setelah latihan 2442,86 dengan
standar deviasi 562,576. Ada peningkatan forced expiratory volume 1845,72.
Analisis lebih lanjut menunjukkan ada perbedaan signifikan rata-rata forced
expiratory volume sebelum dan sesudah melakukan latihan breathing retraining
(p=0,000, <0,05).
Rerata forced expiratory volume dan saturasi oksigen berbeda secara
signifikan sebelum dan sesudah melakukan latihan breathing retraining. Hasil
penelitian menunjukkan latihan breathing retraining dapat meningkatkan rata-
rata forced expiratory volume 342,86 pada hari ke-1, 1060 pada hari ke-7 dan
1845,72 pada hari ke-14.
Latihan breathing retraining atau pernafasan diafragma meningkatkan
efisiensi ventilasi terhadap oksigen yang ditunjukkan dengan peningkatan
oksigen pada darah. Latihan pernafasan diafragma bertujuan agar klien dengan
masalah ventilasi dapat mencapai ventilasi yang optimal, terkontrol, efisien dan
dapat mengurangi kerja pernafasan. Latihan ini inflasi alveolar, meningkatkan
relaksasi otot, menghilangkan kecemasan, menyingkirkan pola aktifitas otot-
otot pernafasan yang tidak berguna dan tidak terkoordinasi, melambatkan
frekuensi pernafasan dan mengurangi kerja pernafasan. Pernafasan yang lambat,
rileks dan berirama membantu dalam mengontrol kecemasan yang timbul ketika
klien diafragma mengalami sesak nafas. Dengan pelaksanaan latihan pernafasan
diafragma mampu mengoptimalisasi penggunaan otot diafragma dan menguatka
n diafragma selama pernafasan. Pernafasan diafragma dapat menjadi otomatis
dengan latihan dan konsentrasi yang cukup. Dengan pernapasan diafragma
maka akan terjadi peningkatan volume tidal, penununan kapasitas residu
fungsional dan peningkatan ambilan oksigen optimal
3.2.6 Pengaruh Diaphragmatic Breathing Exercise terhadap Fungsi Pernapasan
(RR dan APE) pada Lansia di UPT PSLU Kabupaten Jember

Jumlah sampel 14 lansia yang diberikan intervensi diaphragmatic


breathing exercise sekali dalam sehari selama 14 hari. Pengumpulan data
dilakukan oleh peneliti menggunakan teknik observasi, yakni mengukur nilai
RR dan APE setiap sebelum (pretest) dan sesudah (postest) intervensi, yang
kemudian dicatat dalam lembar observasi.
Fungsi sistem pernapasan adalah untuk mengambil oksigen dari atmosfer
ke dalam selsel tubuh dan untuk mentranspor karbondioksida yang dihasilkan
oleh sel-sel tubuh kembali ke atmosfer. Rata-rata RR lansia sebelum dilakukan
intervensi diaphragmatic breathing exercise adalah 22,71 kali/menit atau 23
kali/menit. Frekuensi napas yang normal pada lansia sehat adalah 12 sampai 18
kali per menit, sedangkan frekuensi napas pada lansia dengan gangguan
kesehatan atau pada lansia yang menjalani perawatan jangka panjang adalah 16
sampai dengan 25 kali permenit. Semua responden memiliki RR yang diatas
rentang normalnya, yakni berkisar antara 21 kali/menit sampai 24 kali/menit.
Kondisi paruparu lansia yang elastisitasnya menurun dapat mempengaruhi
kecepatan pernapasan lansia. Semakin sulit paru-paru untuk mengembang maka
pernapasan akan semakin cepat. Peningkatan RR pada lansia disebabkan karena
adanya peningkatan tahanan jalan napas, sehingga energi yang dibutuhkan
untuk melakukan pernapasan cenderung meningkat, hal ini tampak dengan
adanya penggunaan otot bantu pernapasan dan usaha untuk melakukan
pernapasan pada lansia. Kompensasi yang dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan energi adalah dengan mempercepat pernapasan untuk menghasilkan
pemenuhan oksigenasi yang adekuat, sehingga RR akan meningkat.
Rata-rata RR pada lansia sesudah intervensi adalah sebesar 20,71
kali/menit dengan rata-rata penurunan RR adalah sebesar 2. Dalam penelitian
ini telah digunakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk memperbaiki
dan mempertahankan fungsi pernapasan, yakni dengan melakukan latihan
pernapasan diaphragmatic breathing exercise. Kompliansi paru yang meningkat
saat melakukan latihan pernapasan dapat menyebabkan jumlah udara yang dapat
masuk kedalam paru juga meningkat, sehingga frekuensi pernapasan pada lansia
menurun. Dengan terpenuhinya kebutuhan oksigenasi pada lansia secara
adekuat, maka toleransi terhadap aktivitas lansia akan meningkat. Penurunan
RR setelah dilakukannya senam pernapasan membuktikan bahwa adanya
perbaikan pada fungsi pernapasan. Latihan pernapasan dapat mengoptimalkan
pengembangan paru dan meminimalkan penggunaan otot bantu pernapasan.
Dengan melakukan latihan pernapasan secara teratur, maka lansia dapat
memperbaiki fungsi pernapasannya dan memperlambat proses penurunan fungsi
pernapasan pada lansia.
Kecepatan APE merupakan titik aliran tertinggi yang dapat dicapai selama
ekspirasi maksimal dan merupakan gambaran adanya perubahan ukuran jalan
napas. Rata-rata APE lansia sebelum dilakukan diaphragmatic breathing
exercise adalah 78,99%, dan berada pada zona kuning. Zona kuning merupakan
nilai APE yang berada dalam rentang 50% sampai dengan 80%, sedangkan zona
hijau merupakan nilai APE yang berada dalam rentang 80% sampai dengan
100%. Zona kuning berarti mulai terjadi penyempitan pernapasan pada individu,
sedangkan zona hijau berarti fungsi pernapasan yang masih baik.
Penurunan fungsi pernapasan secara bertahap dimulai sejak masa awal
dewasa pertengahan dan mempengaruhi struktur serta fungsi sistem pernapasan.
Hasil penelitian menunjukan bahwa responden berada pada rentang usia antara
60 tahun sampai dengan 78 tahun. Hal ini bisa mengakibatkan penurunan fisik
yang terjadi kemungkinan masih dalam tahap awal, karena penurunan berbagai
fungsi tubuh akan semakin parah seiring bertambahnya usia. Atrofi dan
kelemahan otot pernapasan dapat mengakibatkan tahanan jalan napas meningkat
sehingga terjadi penurunan aliran ekspirasi maksimal pada lansia.
Hasil penelitian pada menunjukan bahwa rata-rata APE pada lansia setelah
dilakukan intervensi diaphragmatic breathing exercise mengalami peningkatan
menjadi 84,95%. Latihan pernapasan diafragma memiliki tujuan untuk
membantu meningkatkan ventilasi secara optimal dan membuka jalan udara
pada saluran pernapasan. Responden dapat mengembangkan paru-parunya
dengan lebih optimal, kemampuan ventilasi juga meningkat setelah melakukan
latihan diaphragmatic breathing exercise, hal tersebut dapat menyebabkan
peningkatan nilai APE. Nilai APE yang didapatkan responden setelah
melakukan diaphragmatic breathing exercise meliputi 11 nilai APE yang
berada pada zona hijau dan 3 nilai APE yang berada pada zona kuning.
Latihan pernapasan diaphragmatic breathing exercise dapat melatih otot-
otot pernpapasan, yakni otot diafragma. Hal ini ditunjukan oleh meningkatnya
kekuatan ekspirasi responden yang digambarkan dengan peningkatan nilai APE.
Otot pernapasan yang dilatih secara teratur akan menjadi lentur dan memiliki
kekuatan yang lebih besar. Semakin besar nilai APE yang dapat dicapai oleh
responden, maka kemampuan paru untuk mengeluarkan udara saat ekspirasi
juga semakin besar.

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN


4.1 Kesimpulan
Latihan diaphragmatic breathing exercise dapat mengatur frekuensi dan
pola pernafasan sehingga mengurangi air trapping, memperbaiki fungsi
diafragma, memperbaiki ventilasi alveoli untuk memperbaiki pertukaran gas
tanpa meningkatkan kerja pernafasan, memperbaiki mobilitas sangkar thorax,
mengatur dan mengkoordinasi kecepatan pernafasan sehingga bernafas lebih
efektif dan mengurangi kerja pernafasan sehingga sesak nafas berkurang.
4.2 Saran
4.2.1 Bagi Program Studi Profesi Ners
Diharapkan analisis jurnal ini dapat dijadikan tambahan teori dan bahan
bacaan tentang keperawatan medikal bedah.
4.2.2 Bagi Perawat
Diharapkan analisis jurnal ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi
perawat dalam tindakan mandiri keperawatan yaitu latihan diaphragmatic
breathing exercise dalam meningkatkan fungsi paru.
4.2.3 Bagi Rumah Sakit
Diharapkan analisis jurnal ini dapat menjadi masukan bagi Rumah Sakit
dalam penggunaan terapi komplementer khususnya terapi diaphragmatic
breathing exercise dapat dipertimbangkan untuk menjadi salah satu
tindakan pada pasien yang mengalami infeksi paru dalam upaya
peningkatan pelayanan di Fasilitas Kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA
Danusantoso, Halim. 2011. Buku Saku Ilmu Penyakit Dalam Edisi 2. Jakarta: EGC

Evangelodimou, dkk. 2015. CHEST journal. The Effect of Diaphragmatic Breathing


on Dyspnea and Exercise Tolerance During Exercise in COPD Patients.
148(4):1

Mayuni, A.A.I.D., Kamayani, M.O.A., dan Puspita, L.M. 2015. COPING Ners
Journal. Pengaruh Diaphragmatic Breathing Exercise terhadap Kapasitas
Vital Paru pada Pasien Asma di Wilayah Kerja Puskesmas Iii Denpasar Utara.
3(3):1-6

Morrow, dkk. 2016. South African Journal of Physiotherapy. The Effect of


Positioning and Diaphragmatic Breathing Exercises on Respiratory Muscle
Activity in People with Chronic Obstructive Pulmonary Disease. 72(1):1-6

Musliha. 2010. Keperawatan Gawat Darurat Edisi I. Yogyakarta: Nuha Medika.


Nikmah, S.N., Purba, A., dan Defi, I.R. 2014. MKB. Efektivitas Latihan Incentive
Spirometry dengan Latihan Pernapasan Diafragma terhadap Fungsi Paru,
Kapasitas Fungsional, dan Kualitas Hidup Penderita Asma Bronkial Alergi.
46(1):1-9

Pangestuti, S.D., Murtaqib, dan Widayati, N. 2015. e-Jurnal Pustaka Kesehatan.


Pengaruh Diaphragmatic Breathing Exercise terhadap Fungsi Pernapasan
(RR dan APE) pada Lansia di UPT PSLU Kabupaten Jember. 3(1):1-8

Panutan, A.R. 2013. Pengaruh Pemberian Diaphragmatic Breathing Exercise


terhadap Peningkatan Arus Puncak Ekspirasi pada Kasus Asma di Balai Besar
Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Surakarta.

Riskesdas. 2013. Riset Kesehatan Dasar Riskesdas 2013. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan RI

Sepdianto, T.C., Tyas, M.D.C., dan Sunarti. 2015. Jurnal Keperawatan Terapan.
Peningkatan Forced Expiratory Volumemelalui Latihan Breathing Retraining
pada Pasien PPOK. 1(1):1-5

Setiawan, S.W. 2015. Upaya Peningkatan Teknik Pernafasan Mahasiswa.

Sundaru, Heru. 2006. Asma Bronkial. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI.

Sundaru, H. dan Sukamto. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV Jilid I.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Yunus, Faisal. 2005. Senam Asma Indonesia, Jakarta: Yayasan Asma Indonesia
FKUL.

Anda mungkin juga menyukai