Latihan Pernapasan untuk Asma
Latihan Pernapasan untuk Asma
OLEH
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Angka kejadian masalah kesehatan akhir-akhir ini meningkat sejalan
dengan perubahan pola hidup masyarakat modern, yang terkadang disebabkan
oleh alergi baik dari polusi lingkungan, maupun zat-zat yang ada didalam
makanan. Salah satu penyakit alergi yang banyak terjadi di masyarakat adalah
asma. Asma merupakan penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan
mayarakat dihampir semua negara di dunia. Asma diderita oleh anak-anak
sampai dewasa dengan derajat penyakit yang ringan sampai berat, bahkan dapat
mematikan (Sundaru dan Sukamto, 2007).
Berdasarkan laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013
prevalensi asma di Indonesia pada semua umur adalah 4,5%. Faktor risiko yang
dapat mengakibatkan asma dan memicu untuk terjadinya serangan asma
diantaranya adalah riwayat keluarga. Berdasarkan sebuah studi kohort, apabila
seorang anak memiliki satu orang tua yang memiliki alergi, maka anak tersebut
memiliki kemungkinan untuk menderita alergi sebesar 33 %.
Permasalahan yang muncul pada asma yang di keluhkan yaitu sesak nafas.
Sesak nafas ini terjadi disebabkan oleh adanya penyempitan saluran nafas.
Penyempitan saluran nafas ini terjadi karena adanya hiperreaktivitas dari saluran
nafas terhadap berbagai macam rangsang, sehingga menyebabkan spasme
otototot polos bronkus yang dikenal dengan bronkospasme, oedema membrana
mukosa dan hipersekresi mukus, sehingga didalam saluran nafas tersebut akan
menyebabkan sulitnya udara yang melewatinya, maka penderita asma akan
cenderung melakukan pernapasan pada volume paru yang tinggi, yang mana
akan membutuhkan kerja keras dari otot-otot pernapasan, sehingga pasien akan
mengalami kesulitan bernapas, ekspirasinya akan lebih panjang sehingga otot-
otot ekspirasi akan turut bekerja, yang mana akan menambah energi untuk
pernapasan maka berakibat terjadinya hambatan waktu untuk mengeluarkan
udara ekspirasi adalah adanya udara yang masih tertinggal di dalam paru-paru
semakin meningkat. Bila hal tersebut terjadi maka akan menyebabkan obstruksi
saluran nafas. Obstruksi saluran nafas terjadi saat ekspirasi karena secara
fisiologis saluran nafas menyempit, sehingga mengakibatkan udara terjebak dan
tidak bisa di ekspirasikan. Gangguan yang berupa obstruksi saluran nafas dapat
di nilai secara objektif dengan VEP 1 (Volume Ekspirasi Paksa Detik Pertama)
atau APE (Arus Puncak Ekspirasi) (Sundaru, 2006).
Penyakit asma merupakan penyakit yang berlanjut secara perlahan serta
dalam perjalanannya terdapat fase-fase eksaserbasi akut. Setiap terjadi
eksaserbasi akut maka akan terjadi perburukan atau pengurangan nilai faal paru
salah satunya mengalami penurunan arus puncak ekspirasi (APE), dan nilai ini
tidak akan kembali setelah fase eksaserbasi akut ini menyembuh (Yunus, 2005).
Pada penderita asma terapi pernapasan utama adalah latihan napas perut
atau diaphragmatic breathing exercise. Diaphragmatic breathing exercise
dilakukan dengan cara memaksimalkan fungsi paru-paru sampai ke paru-paru
bagian bawah sehingga dapat meningkatkan kapasitas paru-paru dalam bernapas
atau dengan cara membesarkan perut ke depan dan dilakukan secara perlahan
ketika menghembuskannya. Latihan ini selain untuk mengatur pernapasan jika
terasa akan datang serangan, ataupun sewaktu serangan asma juga untuk
mengatasi masalah penurunan volume paru pada arus puncak ekspirasi (APE)
(Panutan, 2013).
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk melakukan
analisis jurnal tentang “Efektivitas Diaphragmatic Breathing Exercise terhadap
Fungsi Pernapasan pada Pasien Asma Bronkial”.
1.2 Tujuan
Mendeskripsikan efektivitas diaphragmatic breathing exercise terhadap
fungsi pernapasan pada pasien asma bronkial.
1.3 Manfaat
1.3.1 Manfaat Teoritis
Bagi Program Studi Profesi Ners, diharapkan analisis jurnal ini dapat
dijadikan sebagai perkembangan teori yang dapat diterapkan dalam teori
tambahan dan aplikasi dalam asuhan keperawatan medikal bedah.
1.3.2 Manfaat Praktis
a. Bagi Program Studi Profesi Ners
Diharapkan analisis jurnal ini dapat dijadikan tambahan teori dan bahan
bacaan tentang keperawatan medikal bedah.
b. Bagi Perawat
Diharapkan analisis jurnal ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan
bagi perawat dalam asuhan keperawatan medikal bedah.
c. Bagi Rumah Sakit
Diharapkan analisis jurnal ini dapat menjadi masukan bagi Rumah Sakit
dalam melaksanakan penatalaksanaan asuhan keperawatan medikal
bedah khususnya di ruang Tropik/Infeksi.
3.2 Pembahasan
3.2.1 The Effect of Diaphragmatic Breathing on Dyspnea and Exercise
Tolerance During Exercise in COPD Patients
Sampel yang digunakan sebanyak 14 pasien. Setiap sesi latihan
berlangsung 6 menit. Selama sesi latihan pertama, pasien yang dibimbing napas
perlahan-lahan dan sangat (pernapasan diafragma), Sementara selama sesi
kedua mereka diperintahkan untuk napas dengan pola pernapasan mereka
sendiri. Dyspnea dan kelelahan kaki tercatat setiap 2 menit (Skala BORG).
Skala BORG adalah suatu skala ordinal dengan nilai-nilai dari 0 sampai
dengan 10. Skala BORG digunakan untuk mengukur sesak napas selama
melaksanakan kegiatan/pekerjaan. Nilai 0 merupakan nilai terendah yang dapat
diberikan, nilai ini memiliki arti tidak dirasakan sakit sama sekali. Nilai ini
menunjukkan bahwa otot responden tidak merasakan sakit sama sekali.
Biasanya nilai ini merupakan nilai awal sebelum melakukan pekerjaan ataupun
baru melakukan pekerjaan. Nilai 1 memiliki arti rasa sakit yang sangat lemah
sekali. Nilai ini diperuntungkan bagi responden yang baru melakukan kerja
dalam beberapa menit. Nilai 3 memiliki arti sakit yang dirasakan adalah sedang.
Dalam hal ini responden menilai bahwa rasa sakit pada ototnya kadang terasa
kadang tidak. Biasanya perasaan ini timbul pada waktu 5-7 menit setelah
memulai pekerjaan. Nilai 4, responden sudah merasakan rasa sakit pada ototnya.
Hal ini dapat terjadi apabila responden sudah melakukan pekerjaan yang cukup
lama. Nilai 7 merupakan nilai kritis, karena rasa sakit yang dirasakan sudah
mulai mengganggu kinerja otot pada khususnya dan mengganggu pekerjaan
pada umumnya. Pekerjaan dapat diteruskan apabila responden terus
bersemangat dalam bekerja.
Hasil analisis mengungkapkan bahwa pola pernapasan diafragma (lambat
dan pernapasan) selama latihan yang menyebabkan penurunan yang signifikan
dalam sensasi dyspnea (p = 0,04) dan kelelahan kaki (p < 0.001), dibandingkan
dengan pola pernapasan pribadi. Perbedaan ini ini dikaitkan dengan
pengurangan laju pernafasan (p = 0,03), dan peningkatan waktu expiratory (p =
0,02), menit ventilasi (p = 0.048), pasang surut volume (p = 0,047) dan saturasi
oksigen (p = 0,03).
3.2.2 The Effect of Positioning and Diaphragmatic Breathing Exercises on
Respiratory Muscle Activity in People with Chronic Obstructive
Pulmonary Disease
Sampel yang digunakan sebanyak 18 responden. sEMG elektroda
ditempatkan dalam standar pengaturan thorax untuk mengukur aktivitas otot
otot-otot diafragma dan intercostal. Pengukuran sEMG yang kemudian direkam
untuk dua menit di posisi para responden pilih (pengukuran 1, dasar). Postur
peserta kemudian dikoreksi dan posisi berubah menjadi tegak, didukung posisi
duduk, dengan lengan beristirahat nyaman maju atau di sisi (tapi tidak beban
seperti dalam posisi tripod). Jika peserta tidak mampu untuk duduk tegak, untuk
alasan apapun, mereka ditempatkan di posisi semi fowler dengan kepala tempat
tidur mengangkat antara 30 dan 45 derajat. Rekaman lebih lanjut dua menit
sEMG diambil dalam posisi ini (pengukuran 2) setelah memungkinkan peserta
untuk pulih dari setiap tenaga selama posisi perubahan. Peserta kemudian
diajarkan pernapasan diafragma, sEMG bacaan tercatat selama dua menit
sementara melakukan pernapasan diafragma (pengukuran 3). Peserta kemudian
dibiarkan untuk beristirahat selama 5 menit lagi dalam pilihan mereka posisi
kenyamanan dilakukan pengukuran Borg skala dan sEMG lagi tercatat (ukuran
4, akhir).
Peserta dengan normal BMI menunjukkan peningkatan diafragma kegiatan
antara awal (pengukuran 1) dan pengukuran 2 (p = 0,04) dan antara pengukuran
1 dan 3 (p = 0,03), dengan penurunan berikutnya diafragma kegiatan antara
pengukuran 3 dan 4 (p = 0,0007). Peserta yang diklasifikasikan sebagai
kelebihan berat badan oleh BMI memiliki peningkatan diafragma kegiatan
antara pengukuran 2 dan 3 (p = 0.03), dengan tidak ada perubahan signifikan
lain. Sehingga pernapasan diafragma tidak secara signifikan dipengaruhi oleh
perubahan posisi (duduk, berbaring telentang dan posisi tripod) pada orang
dengan PPOK.
3.2.3 Pengaruh Diaphragmatic Breathing Exercise terhadap Kapasitas Vital
Paru pada Pasien Asma di Wilayah Kerja Puskesmas III Denpasar Utara
Jumlah sampel penelitian sebanyak 30 orang, sehingga masing-masing
kelompok berjumlah 15 orang perkelompok (kelompok perlakuan dan
kelompok kontrol). Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah
spirometer Auto Spiro AS500 yang sudah dikalibrasi untuk mengukur kapasitas
vital paru. Pada kelompok perlakuan diberikan Diaphragmatic Breathing
Exercise dua kali sehari pada pagi hari dan sebelum makan malam selama dua
minggu. Setelah dua minggu akan dilakukan pengukuran kapasitas vital paru
pada kedua kelompok.
Setelah dilakukan pengukuran kapasitas vital paru pretest dari 15
responden kelompok perlakuan menunjukkan hasil KVP rata-rata didapat
sebesar 2,90 L, dengan standar deviasi sebesar 0,27, sedangkan pada kelompok
kontrol KVP rata-rata didapat sebesar 2,86 L, dengan standar deviasi sebesar
0,20. Hal tersebut menunjukkan bahwa kapasitas vital paru pretest pada
kelompok perlakuan maupun kelompok kontrol lebih rendah dari nilai normal.
Nilai normal kapasitas vital paru adalah 4600 mL (4,6 L).
Penurunan kapasitas vital paru pada pasien asma terjadi karena adanya
hiperinflasi pulmoner, keadaan ini mengakibatkan peningkatan diameter
anteropoterior dada yang dapat menurunkan compliance dinding dada, sehingga
mengakibatkan pernafasan menjadi kurang efektif. Adanya obstruksi pada klien
asma dapat berupa sumbatan yang menyeluruh dan penyempitan jalan nafas
berat. Kondisi ini menyebabkan ketidaksesuaian rasio perfusi dan ventilasi.
Setelah dilakukan pengukuran kapasitas vital paru posttest dari 15
responden kelompok perlakuan diperoleh hasil KVP rata-rata didapat sebesar
3,13 L, dengan standar deviasi sebesar 0,28. Hasil tersebut menunjukan bahwa
kapasitas vital paru pada kelompok perlakuan lebih rendah dari nilai normal
yaitu 4600 ml (4,6 L), namun terdapat peningkatan rata-rata pada kapasitas vital
paru. Secara teori, melalui latihan pernafasan akan membawa meningkatkan
peredaran darah ke otot-otot pernafasan. Aliran darah yang lancar akan
membawa nutrisi (termasuk kalsium dan kalium) dan oksigen yang lebih banyak
ke otototot pernafasan. Ion kalsium yang ada di dalam otot berfungsi untuk
melakukan potensial aksi otot sehingga massa otot dapat dipertahankan dan
kerja otot dapat meningkat. Latihan pernafasan terbukti dapat meningkatkan
kemampuan otot-otot pernafasan. Kekuatan otot pernafasan yang terlatih akan
meningkatkan compliance paru dan mencegah alveoli kolaps (ateletaksis).
Setelah dilakukan pengukuran KVP posttest dari 15 responden kelompok
kontrol diperoleh hasil KVP rata-rata didapat sebesar 2,88 L, dengan standar
deviasi sebesar 0,24. Hal tersebut menunjukkan bahwa kapasitas vital pada
kelompok kontrol lebih rendah dari nilai normal, namun terjadi sedikit
peningkatan KVP rata-rata. Pasien asma menunjukkan gejala dyspnea dan
sensasi dada sesak yang akan mengakibatkan peningkatan kerja otototot
pernafasan sebagai bentuk mekanisme tubuh untuk tetap mempertahankan
ventilasi paru, akan tetapi lama-kelamaan hal tersebut mengakibatkan
kelemahan pada otot pernafasan, sehingga kekuatan otot pernafasan pasien asma
yang tidak melakukan latihan pernafasan cenderung tidak meningkat bahkan
menurun.
Berdasarkan uji statistik menggunakan Paired T-test pada kelompok
perlakuan diperoleh nilai p sebesar 0,000 yang memiliki nilai lebih kecil dari α
penelitian (0,05), yang menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan antara
kapasitas vital paru pretest dan posttest pada kelompok perlakuan. Pernafasan
diafragma merupakan pernafasan yang dilakukan dengan inspirasi maksimal
melalui hidung, mengutamakan gerakan abdomen, membatasi gerakan dada dan
melakukan ekspirasi melalui mulut, dimana hal tersebut dapat meningkatkan
kerja otot-otot abdomen yang berperan pada proses ekspirasi. Secara teori,
pernafasan diafragma yang dilakukan berulang kali dengan rutin dapat
membantu seseorang menggunakan diafragmanya dengan benar ketika dia
bernafas. Teknik ini berguna untuk menguatkan diafragma, menurunkan kerja
pernafasan, menggunakan sedikit usaha dan energi untuk bernafas, dengan
pernafasan diafragma akan terjadi peningkatan volume tidal, penurunan
kapasitas residu fungsional dan peningkatan pengambil oksigen yang optimal.
Berdasarkan uji statistik menggunakan Paired T-test pada kelompok
kontrol diperoleh nilai p sebesar 0,288 yang memiliki nilai lebih besar dari α
penelitian (0,05), yang menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan, maka
dapat diartikan bahwa terdapat perbedaan yang tidak signifikan antara kapasitas
vital paru pretest dan posttest pada kelompok kontrol. Pasien asma akan
mengalami bronkospasme dan bronkokontriksi yang mengakibatkan obstruksi,
hiperinflasi pulmoner dan peningkatan resistensi aliran udara yang
mengakibatkan udara terjebak dalam rongga paru yang akan menurunkan
kapasitas vital paru.
3.2.4 Efektivitas Latihan Incentive Spirometry dengan Latihan Pernapasan
Diafragma terhadap Fungsi Paru, Kapasitas Fungsional, dan Kualitas
Hidup Penderita Asma Bronkial Alergi
Pada penelitian ini terdapat dua kelompok perlakuan yaitu kelompok I
adalah kelompok subjek penelitian yang diberi latihan incentive spirometry dan
kelompok II adalah kelompok subjek penelitian yang diberi latihan pernapasan
diafragma. Subjek penelitian dibagi 2 kelompok yaitu kelompok yang diberikan
perlakuan latihan dengan alat volumetric incentive spirometry dan latihan
pernapasan diafragma, pelaksanaannya dilakukan di rumah subjek penelitian
selama 8 minggu, sebanyak 5 kali setiap hari, setiap latihan dilakukan 10 set dan
diantara set istirahat 15 detik. Alat volumetric incentive spirometry ini tidak
perlu ditera karena alat ini merupakan alat untuk latihan otot pernapasan bukan
merupakan alat pemeriksaan.
Cara latihan dengan alat volumetric incentive spirometry yaitu subjek
penelitian agar duduk dalam posisi tegak, alat volumetric incentive spirometry
dipegang dengan salah satu tangan pada posisi berdiri tegak, letakkan
mouthpiece ke dalam mulut di antara gigi dengan bibir terkatup rapat-rapat
mengelilingi mouthpiece, lakukan napas biasa 3 kali, tarik napas sekuatnya
dengan bibir terkatup rapat-rapat mengelilingi mouthpiece dan ditahan selama
3–5 detik, sesuai toleransi penderita. Usahakan indikator piston bergerak
setinggi-tingginya semampu penderita (menunjukkan jumlah volume inspirasi
yang dapat dicapai), bagian atas dari indikator kuning (bola kuning) harus
berada pada posisi kotak tersenyum, setelah itu lakukan buang napas (ekspirasi)
perlahan-lahan, lepaskan mouthpiece dari mulut dan dianjurkan untuk batuk
setelah menyelesaikan latihan. Latihan dapat dihentikan jika terasa pusing dan
sesak. Latihan dilakukan setiap hari di rumah 5x/hari, dengan 10 set, di
antaranya istirahat selama 15 detik.
Cara melakukan latihan pernapasan diafragma yaitu subjek penelitian
duduk dalam posisi tegak, posisi kepala agak menunduk, letakkan tangan kanan
pada perut di atas perut (abdomen)/pusat (umbilikus) dan tangan kiri pada dada
(toraks) untuk panduan mengenali gerakan pada iga yang membatasi pernapasan
diafragma, tarik napas sekuat-kuatnya melalui hidung, lalu tahan selama 3–5
detik, sesuai toleransi penderita, selanjutnya keluarkan napas perlahan dengan
menghembus melalui mulut yang akan mendorong perut ke dalam dan ke atas,
gerakan tangan menunjukkan penderita telah melakukan latihan dengan benar
atau tidak yaitu apabila tangan di atas perut (abdomen) bergerak selama
inspirasi, penderita sudah bekerja dengan benar, dan apabila tangan pada dada
(toraks) bergerak, berarti penderita menggunakan otot-otot dada (toraks),
selanjutnya dilatih untuk melakukan ekspirasi panjang tanpa kehilangan kontrol
agar inspirasi yang berikutnya tanpa terengah-engah (gasping)/gerakan dada
atas. Latihan dapat dihentikan jika terasa pusing dan sesak. Latihan dilakukan
setiap hari di rumah 5x/hari, sebanyak 10 set, di antaranya istirahat 15 detik.
Uji Shapiro Wilks (p>0,05) memperlihatkan bahwa sebagian besar data
FEV1, jarak tempuh uji jalan 6 menit, dan SGRQ penderita asma bronkial alergi
yang diberi latihan incentive spirometry dan pernapasan diafragma berdistribusi
normal. Uji homogenitas dengan Levene’s test for equality of varians (p>0,05),
hasilnya menunjukkan bahwa data FEV 1, jarak tempuh uji jalan 6 menit, dan
SGRQ penderita asma bronkial yang diberikan latihan incentive spirometry dan
pernapasan diafragma adalah homogen.
3.2.5 Peningkatan Forced Expiratory Volume melalui Latihan Breathing
Retraining pada Pasien PPOK
Sampel penelitian terdiri dari 35 responden. Intervensi dalam bentuk
latihan breathing retraining dilakukan selama 15 menit 3 kali sehari dalam
waktu 2 minggu (14 hari). Forced expiratory volume diukur sebelum dan
setelah. Pengukuran dilakukan secara serial sebanyak 3 kali, pada hari ke-1, ke7
dan ke-14.
Pada kunjungan pertama, rata-rata forced expiratory volume sebelum
latihan 597,14 dengan standar deviasi 650,78 dan setelah latihan 940,0 dengan
standar deviasi 732,02. Ada peningkatan forced expiratory volume 342,86.
Analisis lebih lanjut menunjukkan ada perbedaan signifikan rata-rata forced
expiratory volume sebelum dan sesudah melakukan latihan breathing retraining
(p=0,000, <0,05).
Pada kunjungan kedua, rata-rata forced expiratory volume sebelum
latihan 597,14 dengan standar deviasi 650,78 dan setelah latihan 1657,823
dengan standar deviasi 727,823. Ada peningkatan forced expiratory volume
1060. Analisis lebih lanjut menunjukkan ada perbedaan signifikan rata-rata
forced expiratory volume sebelum dan sesudah melakukan latihan breathing
retraining (p=0,000, <0,05).
Rerata forced expiratory volume sebelum latihan pada kunjungan ketiga
dengan 597,14 standar deviasi 650,78 dan setelah latihan 2442,86 dengan
standar deviasi 562,576. Ada peningkatan forced expiratory volume 1845,72.
Analisis lebih lanjut menunjukkan ada perbedaan signifikan rata-rata forced
expiratory volume sebelum dan sesudah melakukan latihan breathing retraining
(p=0,000, <0,05).
Rerata forced expiratory volume dan saturasi oksigen berbeda secara
signifikan sebelum dan sesudah melakukan latihan breathing retraining. Hasil
penelitian menunjukkan latihan breathing retraining dapat meningkatkan rata-
rata forced expiratory volume 342,86 pada hari ke-1, 1060 pada hari ke-7 dan
1845,72 pada hari ke-14.
Latihan breathing retraining atau pernafasan diafragma meningkatkan
efisiensi ventilasi terhadap oksigen yang ditunjukkan dengan peningkatan
oksigen pada darah. Latihan pernafasan diafragma bertujuan agar klien dengan
masalah ventilasi dapat mencapai ventilasi yang optimal, terkontrol, efisien dan
dapat mengurangi kerja pernafasan. Latihan ini inflasi alveolar, meningkatkan
relaksasi otot, menghilangkan kecemasan, menyingkirkan pola aktifitas otot-
otot pernafasan yang tidak berguna dan tidak terkoordinasi, melambatkan
frekuensi pernafasan dan mengurangi kerja pernafasan. Pernafasan yang lambat,
rileks dan berirama membantu dalam mengontrol kecemasan yang timbul ketika
klien diafragma mengalami sesak nafas. Dengan pelaksanaan latihan pernafasan
diafragma mampu mengoptimalisasi penggunaan otot diafragma dan menguatka
n diafragma selama pernafasan. Pernafasan diafragma dapat menjadi otomatis
dengan latihan dan konsentrasi yang cukup. Dengan pernapasan diafragma
maka akan terjadi peningkatan volume tidal, penununan kapasitas residu
fungsional dan peningkatan ambilan oksigen optimal
3.2.6 Pengaruh Diaphragmatic Breathing Exercise terhadap Fungsi Pernapasan
(RR dan APE) pada Lansia di UPT PSLU Kabupaten Jember
Mayuni, A.A.I.D., Kamayani, M.O.A., dan Puspita, L.M. 2015. COPING Ners
Journal. Pengaruh Diaphragmatic Breathing Exercise terhadap Kapasitas
Vital Paru pada Pasien Asma di Wilayah Kerja Puskesmas Iii Denpasar Utara.
3(3):1-6
Riskesdas. 2013. Riset Kesehatan Dasar Riskesdas 2013. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan RI
Sepdianto, T.C., Tyas, M.D.C., dan Sunarti. 2015. Jurnal Keperawatan Terapan.
Peningkatan Forced Expiratory Volumemelalui Latihan Breathing Retraining
pada Pasien PPOK. 1(1):1-5
Sundaru, Heru. 2006. Asma Bronkial. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI.
Sundaru, H. dan Sukamto. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV Jilid I.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Yunus, Faisal. 2005. Senam Asma Indonesia, Jakarta: Yayasan Asma Indonesia
FKUL.