Pola Kontak Dan Dukungan Antargenerasi

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 4

Pola kontak dan dukungan antargenerasi

Penelitian telah membuktikan bahwa orangtua lanjut usia (lansia) dan anak mereka yang telah
dewasa merestruktur hubungan mereka agar bisamemuaskan dua pihak. Sebaga contoh, studi
menunjukkan bahwa orangtua lansia dan anak-anak mereka menjaga kontak reguler satu dengan
yang lain ketika jarak geografis cukup besar. Lebih lanjut, penelitian menunjukkan bahwa anak yang
telah dewasa menyediakan berbagai macam dukungan instrumental (seperti bantuan terkait rumah
tangga, belanja, dan transportasi) dan emosional untuk orangtua lansia mereka (Silverstein,
Giarrusso, & Bengston, 2005).

Penting untuk menunjukkan vagwa pola dukungan dan perawatan antargenerasi di tahap ini
didominasi oleh tema resiprokal. Orangtua lansia tetap memberikan dukungan dalam berbagai
bentuk kepada anak dewasa mereka dan bukan hanya menjadi pihak penerima bantuan (Silverstein,
et. al, 2005). Sehingga, penelitian mengenai hubungan antargenerasi menghasilkan kesimpulan
bahwa orangtua lansia tidaklah ditinggalkan atau dijauhi oleh anak mereka. Sebaliknya, orangtua
dan anak terlibat dalam pola pertukaran suportif.

Dengan bertambahnya usia orangtua, sangat jelas bahwa mereka membutuhkan bantuan untuk
melakukan pekerjaan sehari-hari. Tanggung jawab untuk menyediakan perawatan bagi orangtua
yang semakin lemah akan mengakibatkan perubahan hubungan orangtua-anak ketika anak dewasa
terpanggil untuk menjadi pihak yang memberi bantuan. Hal ini menunjukkan bahwa ketika pasangan
tidak ada untuk melakukan tugas caregiving, peran caregiving berubah kepada anak dewasa,
terutama anak perempuan. Keterlibatan anak laki-laki dalam caregiving biasanya hanya terbatas
pada “tugas-tugas instrumental” (menyediakan bantuan finansial, menangani dokumen, dan
membayar tagihan). Akibatnya, anak perempuan biasanya menyediakan berbagai pelayanan
langsung seperti pekerjaan rumah tangga, makanan, dan bantuan dalam perawatan personal, serta
menghabiskan lebih banyak waktu dalam aktivitas caregiving dibandingkan anak laki-laki.

Menjadi caregiver tidaklah mudah karena (1) tidak ada pelatihan untuk peran ini; (2) peran caregiver
sendiri terkadang tidak jelas; (3) peran ini sangatlah idiosyncratic. Sebagai tambahan, asumsi bahwa
peran caregiver bagi anak perempuan itu rumit karena mereka tidak hanya harus memenuhi
kebutuhan orangtua lansia mereka, tetapi juga harus tetap memberikan perawatan kepada
pasangan, anak, bahkan cucu mereka. Terjebak di tengah-tengah, hal ini seringkali mengakibatkan
anak perempuan mengalami ketegangan peran, konflik, dan kelelahan yang luar biasa.

Tampaknya, banyak anak-anak dewasa yang lebih suka mendefinisikan peran caregiver sebagai
coordinator pelayanan-pelayanan dibanding menjadi penyedia pelayanan langsung. Status
sosioekonomi menjadi faktor primer dalam menentukan apakah anak menjadi penyedia atau
manajer perawatan.

Menerima peran caregiver tampaknya datang dengan konsekuensi personal. Permintaan


instrumental dan emosional dari caregiving dapat membebani bahkan pada hubungan orangtua-
anak yang erat sekalipun. Banyak faktor yang mempengaruhi jenis dan tingkat beban yang dirasakan
caregiver. Rolland (1994) menyarankan ada 4 faktor yang mempengaruhi beban terkait aktivitas
caregiving: onset, disease course, outcome, dan incapacitation.

Walaupun demikian, caregiving juga memiliki efek positif untuk caregiver (Beach et al., 2000). Anak
dewasa yang melakukan praktik caregiving melaporkan bahwa aktivitas caregiving memuaskan dan
memberi kebahagiaan karena mereka bisa membayar perawatan yang mereka dapatkan ketika
masih kecil. Selain itu, mereka juga melaporkan bahwa menjadi caregiver membantu mereka
memperoleh inner strength, belajar keterampilan baru, membatu personal growth, dan
meningkatkan pemahaman mereka terhadap permasalahan keluarga.

DINAMIKA SISTEM KELUARGA DAN HUBUNGAN CAREGIVING/CARE-RECEIVENG

Hubungan orangtua-anak dipengaruhi oleh warisan antargenerasi yang ditemukan dalam sistem
keluarga yang lebih luas. Sehingga, masuk akal bila kemampuan anak dewasa dan orangtua lansia
untuk mengubah hubungan mereka dalam rangka mengakomodasi tuntutan proses penuaan terikat
pada warisan antargenerasi keluarga. Aktivitas caregiving berlangsung dalam konteks sejarah. Baik
caregiver maupun care-receiver memasuki hubungan dengan membawa sejarah interaksi yang bisa
memfasilitasi atau menghalangi hubungan caregiving. Dengan kata lain, kehidupan keluarga
dicirikan dengan adanya perubahan dan kontinuitas hubungan yang dapat membantu atau
menghabat penyesuaian terhadap perubahan.

Cara perawatan terhadap orangtua distruktur dan cara anak dewasa merasakan peran caregiving
tergantung pada derajat bagaimana hubungan wewenang personal diperbaharui. Secara umum,
masuk akal jika aktivitas caregivingakan sangat berbeda antara anak yang memiliki hubungan peer-
like dengan orangtua dibandingkan anak yang hubungannya hierarkis. Terdapat tiga jenis hubungan
orangtua-anak dalam proses caregiving.

Tipe 1: Hubungan Mutual

Toleransi untuk individualitas dan keintiman yang mencirikan sistem keluarga akan turut
mempengaruhi bagaimana hubungan antara orangtua dan anak dewasa ditransformasikan. Dalam
sistem keluarga yang well-differentiated dan individuation-enhancing, hubungan antargenerasi
didominasi dengan rasa hormat, empati, dan sensivitas pada kebutuhan sesamanya. Orangtua dan
anak mampu memperbaharui hubungan otoritas personal.

Dalam sistem ini, caregiver mengakui harkat dan martabat orangtua mereka dengan melayani
kebutuhan mereka tanpa overfunctioning (Carter & McGoldrick, 2005b). Dalam hubungan seperti ini,
integritas dan individualitas orangtua tetap terjaga dan keintiman antargenerasi meningkat. Setiap
pihak mampu dekat secara emosional dengan tetap menjaga otomomi. Konflik bukanlah sesuatu
yang dihindari, tetapi harus dihadapi dengan terbuka dan positif. Baik orantua lansia maupun anak
yang sudah dewasa mampu mentolerir kecemasan, melihat sudut pandang pihak lain, dan
menyelesailan permasalahan secara produktif. Anak tidak lagi takut dengan ketidaksetujuan
orangtua mereka dan mampu melihat diri mereka sebagai individu terpisah yang memiliki pendapat
sendiri. Orantua tidak lagi berusaha untuk memiliki parental power terhadap anak mereka,
melainkan memperlakukan mereka setara.

Dalam hubungan mutual, konteks penerimaan, rasa hormat satu sama lain, dan kekhawatiran yang
tulus untuk satu sama lain menjadi pusat. Untuk anak yang mampu menjaga otoritas personal agar
tetap tinggi, caregiving lebih mudah dikelola dalam arti bahwa peran ini tidak menciptakan
bendungan emosi dari perasaan seperti “anak-anak” yang berhubungan dengan orangtua. Mereka
bukannya sedang membantu orangtua yang berkuasa, tetapi merawat orang yang semakin menua
dan membutuhkan bantuan.

Strategi caregiving yang dikembangkan oleh anak dalam hubungan ini cenderung positif dan
produktif, menyeimbangkan kebutuhan anak maupun orangtua dengan cara yang sehat. Anak
ammpu memberi perawatan dengan hormat, meningkatkan kemandirian orangtua sebanyak
mungkin tanpa mengasumsikan tanggung jawab emosional untuk kesejahteraan dan kebahagiaan.
Anak juga mampu menetapkan batasan sehat mengenai apa yang mampu mereka lakukan sebagai
caregiver tanpa merasa kewalahan dengan perasaan bersalah, kecemasan, maupun kebencian.

Tipe II: Hubungan Hierarkis-Pasif

Beberapa orangtua dan anak gagal untuk memperbarui hubungan otoritas personal mereka.
Ketidakmampuan ini bisa mengakibatkan orangtua tetap mempertahankan (atau setidaknya
berusaha mempertahankan) posisi otoritas parental dalam sistem keluarga. Ditambah, anak
kemudian malah tunduk dan menerima posisi sebagai “anak” (Holmes & Sabatelli, 1997).

Dalam jenis hubungan ini, anak yang sudah dewasa terus memainkan peran sebagai anak baik,
sementara orangtua tetap mempertahankan perannya sebagai pihak yang berkuasa. Orangtua
menikmati otoritas mereka dan secara aktif menyabotase usaha anak mereka untuk memperbarui
hubungan orangtua-anak. Upaya apapun yang dilakukan oleh anak dewasa untuk mengubah peran
mereka langsung digagalkan melalui ketidaksetujuan dan intimidasi. Orangtua juga kemungkinan
sengaja membuat anak mereka merasa bersalah anak tetap menurut. Orangtua takut jika mereka
menyerahkan kewenangan ke anak, anak malah memilih mengabaikan mereka.

Anak dalam hubungan ini biasanya merespons pertidaksetujuan orangtua dengan rasa bersalah yang
besar, dan menganggap bahwa mereka telah mengecewakan orangtua. Alih-alih mengelola perasaan
bersalah dan kecemasan, anak dewasa malah percaya bahwa satu-satunya pilihan mereka adalah
menyerah dan mengikuiti semua keinginan orangtua, bahkan jika berarti mengorbankan kebutuhan
pribadi dan keluarga. Pengorbanan ini dilakukan sebagai cara untuk mengurangi kecemasan dan
tingkat konflik.

Caregiving dalam hubungan ini didominasi oleh keterpaksaan anak untuk merawat orangtua
(caregiving bukanlah pilihan melainkan kewajiban). Aktivitas caregiving cenderung berfokus untuk
memenuhi ekspektasi orangtua, tidak peduli apa yang sebenarnya anak atau orangtua inginkan.
Anak seringkali gagal untuk memisahkan kebutuhan dan perasaan mereka sendiri dari kebutuhan
orangtua lansia. Ironisnya, ketika hal ini terjadi, kemampuan caregiver untuk mengelola tugas
caregiving menjadi terhambat. Anak menjadi terpaku pada penyesalan dan kecemasan. Kemampuan
anak untuk membuat keputusan rasional dan penilian dewasa juga terhalangi. Anak tidak mampu
menentukan batasan sehat mengenai apa yang bisa dan tidak bisa mereka lakukan untuk orantua,
sehingga kemungkinan mengorbankan kebutuhan pribadi, pasangan, dan anak mereka dalam rangka
memebuhi ekspektasi orangtua dan mengurangi konflik.

Dalam situasi lain, muncul pula pola disfungsi overfunctioning dan underfunctioning. Oleh karena
adanya kebutuhan untuk menyenangkan orangtua dan perasaan bersalah yang luar biasa dan
kewajiban, anak dalam hubungan ini malah overfunctioning dan melucuti semua kemandirian
orangtua untuk merawat diri sendiri. Sehingga, anak dewasa berakhir memperlakukan orangtua
mereka seperti anak dan menyuburkan ketergantungan yang lebih dulu ada pada orangtua.

Tipe III: Hubungan Hierarkis-Melawan

Dalam beberapa kasus, ketika orangtua dan anak gagal menyelesaikan pergulatan otoritas personal,
adult children malah menjadi marah dan memilih memutus hubungan dengan orangtua. Dalam
hubungan ini, adult children juga terjebak dalam posisi seperti anak dan yakin bahwa orantua tidak
akan pernah bisa menerima bahwa mereka juga orang dewasa. Anak ini dalam hubungan ini malah
memilih pertengkaran untuk memperebutkan kekuasaan (Holmes & Sabatelli, 1997).

Perebutan kekuasan yang mencirikan tipe hubungan ini merupakan representasi dari usaha anak
untuk membuat orangtua mengerti dan memperlakukan mereka selayaknya orang dewasa. Rasa
marah dan kebencian mewarnai interaksi dalam hubungan ini, yang mana baik orangtua maupun
anak merasa diremehkan dan tidak dihormati oleh pihak lain. Dalam hal ini, anak bisa saja memilih
untuk tidak menjadi caregiver dan malah menekan saudara atau anggota keluarga lain untuk
mengambil alih aktivitas caregiving.

Walaupun begitu, ada beberapa adult children yang tetap menjadi caregiver. Ketika hal ini terjadi,
hubungan orangtua-anak didominasi oleh kemarahan dan kebencian. Sebagai contoh, anak
perempuan yang terus menerus berusaha untuk otoritas mereka dalam hubungannya dengan sang
ibu mungkin menemukan bahwa usahanya untuk memberi perawatan dikritik atau ditantang oleh
ibu. Anak tersebut, kemudian, merespons kritik tersebut dengan menjadi defensif dan menyerang
sang ibu. Dalam hubungan caregiving lain, sang ibu malah menolak untuk dirawat oleh anak
perempuannya. Anak perempuan, yang tentu saja merasa marah dan direndahkan, berganti
menyerang sang ibu sebagai cara melindungi kehormatannya. Akibatnya, ibu dan anak terkunci pada
perebutan kekuasaan terus menerus, yang mana tidak ada pihak yang mengakui pihak lain serta
menganggap pihak lain sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap kesulitan yang dialami.

Intinya, stres dan permintaan biasa yang muncul dari aktivitas caregiving menimbulkan pola
interaksi defensive dan penuh konflik. Pola interaksi ini paling baik dipahami sebagai usaha anak
untuk mengklaim apa yang mereka anggap sebagai hak sah untuk memperoleh otoritas personal
dalam hubungan dengan orangtua. Ketidaksetujuan sederhana sekalipun dilihat sebagai penolakan
daripada perbedaan pendapat saja. Konflik dalam hubungan tidak stabil ini dapat dengan mudah
meningkat.

Caregiving kemungkinan menjadi arena untuk perebutan kekuasaan di mana anak mencoba untuk
menuntut kekuasaan mereka sebagai orang dewasa, sementara orangtua berusaha menegaskan
kekuasaan mereka sebagai orangtua. Dalam hubungan ini, bahkan tugas paling sederhana sekalipun
bisa dengan mudah menjadi perebutan kekuasaan.

Lebih lanjut, karena kerentanana dan tingginya tingkat konflik, hubungan ini sangat mungkin
didominasi oleh emotional dan/atau physical abuse dibanding tipe hubungan lain. Adult children
yang terus berusaha untuk otoritasnya dalam sistem keluarga cenderung menyalahkan orangtua
untuk berbagai masalah yang muncul dalam keluarga. Proyeksi mempersalahkan, kebencian yang
terus menerus, dan tegangan antarpihak bisa membuat orangtua lansia dikambinghitamkan, dan
sebagai akibatnya ditelantarkan dan/atau mengalami emotional atau physical abuse.

Anda mungkin juga menyukai