0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
135 tayangan79 halaman

Firly

Tesis ini membahas batas maksimum kepemilikan tanah hak milik non pertanian menurut UUPA. Analisis menunjukkan belum ada payung hukum yang mengatur batas maksimum ini secara jelas meskipun diamanatkan dalam UUPA, sehingga BPN belum melakukan pengawasan. Tesis ini menganalisis ketentuan terkait dan sanksi pelanggarannya.

Diunggah oleh

Agatha Astrisele
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Kami menangani hak cipta konten dengan serius. Jika Anda merasa konten ini milik Anda, ajukan klaim di sini.
Format Tersedia
Unduh sebagai PDF, TXT atau baca online di Scribd
0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
135 tayangan79 halaman

Firly

Tesis ini membahas batas maksimum kepemilikan tanah hak milik non pertanian menurut UUPA. Analisis menunjukkan belum ada payung hukum yang mengatur batas maksimum ini secara jelas meskipun diamanatkan dalam UUPA, sehingga BPN belum melakukan pengawasan. Tesis ini menganalisis ketentuan terkait dan sanksi pelanggarannya.

Diunggah oleh

Agatha Astrisele
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Kami menangani hak cipta konten dengan serius. Jika Anda merasa konten ini milik Anda, ajukan klaim di sini.
Format Tersedia
Unduh sebagai PDF, TXT atau baca online di Scribd
Anda di halaman 1/ 79

ANALISIS YURIDIS TERHADAP BATAS MAKSIMUM

KEPEMILIKAN TANAH HAK MILIK NON PERTANIAN


MENURUT HUKUM PERTANAHAN NASIONAL

TESIS

NAMA : FIRLY IRHAMDANI


NPM : 0906652715

UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN
DEPOK
JANUARI 2012

Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012


ANALISIS YURIDIS TERHADAP BATAS MAKSIMUM
KEPEMILIKAN TANAH HAK MILIK NON PERTANIAN
MENURUT HUKUM PERTANAHAN NASIONAL

TESIS
Diajukansebagaisalahsatusyaratuntukmemperolehgelar Magister
Kenotariatan

NAMA : FIRLY IRHAMDANI


NPM : 0906652715

UNIVERSITAS INDONESIA
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN
DEPOK
JANUARI 2012

Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012


HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya saya sendiri, dan


semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Firly Irhamdani

NPM : 0906652715

Tanda Tangan :

Tanggal : 19 Januari 2012

ii
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
HALAMAN PENGESAHAN

Tesis ini diajukan oleh :


Nama : Firly Irhamdani
NPM : 0906652715
Program Studi : Magister Kenotariatan
Judul Tesis : Analisis Yuridis Terhadap Batas Maksimum
Kepemilikan Tanah Hak Milik Non Pertanian Menurut
Hukum Pertanahan Nasional
Telah berhasil dipertahankan dihadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai
bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister
Kenotariatan pada Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas
Indonesia.
DEWAN PENGUJI

Pembimbing : Dr. Arsin Lukman, S.H. ( )

Penguji : Dr. Drs. Widodo Suryandono, S.H., M.H. ( )

Penguji : Hendriani Parwitasari S.H., M.kn. ( )

Ditetapkan di : Depok
Tanggal : 19 Januari 2012

iii
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
KATA PENGANTAR

Dengan mengucap puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
segala berkat dan rahmat-Nya dan dengan diiringi usaha dan bantuan dari semua
pihak, sehingga penulis berhasil menyelesaikan tesis ini.
Penulisan tesis ini ditujukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat
untuk mencapai gelar Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas
Indonesia. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai
pihak dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan, sulit bagi penulis untuk
menyelesaikan tesis ini.
Sehubungan dengan penulisan ini, penulis menghaturkan banyak terima
kasih kepada :
1. Bapak Dr. Drs. Widodo Suryandono, S.H., M.H., selaku Ketua Program
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia;
2. Bapak Dr. Arsin Lukman, S.H., selaku dosen pembimbing yang telah banyak
meluangkan waktu dan memberikan bantuan pemikiran, arahan serta
bimbingan dalam penyusunan tesis ini;
3. Para Dosen penguji;
4. Para dosen dan staf pengajar di Program Magister Kenotariatan Fakultas
Hukum Universitas Indonesia selama penulis menimba ilmu;
5. Mama, kakak-kakak dan adik penulis yang telah memberikan motivasi dan
dukungan moril;
6. Pemi Hermilani atas doa, perhatian dan kasih sayangnya;

7. Rekan-rekan Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas


Indonesia angkatan 2009 kelas Salemba yang telah banyak membantu
kelancaran dan keberhasilan penulis selama perkuliahan dan penyelesaian tesis
ini.
8. Serta kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam penyusunan
tesis ini, yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

iv
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
Akhir kata, kiranya Tuhan Yang Maha Esa memberkati dan berkenan
membalas segala kebaikan semua pihak yang tidak dapat penulis sebut satu per
satu yang telah membantu. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi pihak lain
terutama bagi pengembangan ilmu.

Depok, Januari 2012


Penulis

v
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademika Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di


bawah ini :

Nama : Firly Irhamdani


NPM : 0906652715
Program Studi : Magister Kenotariatan
Fakultas : Hukum
Jenis Karya : Tesis
demi pengembangan ilmu pengetahuaan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Nonekslusif (Non-exclusive Royalty
Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :
Analisis Yuridis Terhadap Batas Maksimum Kepemilikan Tanah Hak Milik Non
Pertanian Menurut Hukum Pertanahan Nasional
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti
Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihmedia/
formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan
memublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta ijin dari saya selama tetap
mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak
Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Depok
Pada tanggal : Januari 2012
Yang Menyatakan,

( Firly Irhamdani )

vi
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
ABSTRAK

Nama : Firly Irhamdani


Program Studi : Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas
Indonesia
Judul : Analisis Yuridis Terhadap Batas Maksimum Kepemilikan
Tanah Hak Milik Non Pertanian Menurut Hukum
Pertanahan Nasional

Tanah hak milik non pertanian merupakan salah satu sumber utama yang
diperlukan yang diperuntukkan untuk perumahan,. Pembatasan kepemilikan tanah
hak milik non pertanian khususnya yang ditentukan dalam dalam pasal 7 dan
pasal 17 UUPAyang mempunyai tujuan agar tanah tidak tidak tertumpuk pada
satu golongan atau pihak-pihak tertentu saja, tetapi sampai saat ini belum terdapat
batas maksimum kepemilikan terhadap tanah non pertanian sebagaimana yang
telah diamanatkan dalam pasal 17 UUPA dimana agar segera mengatur mengenai
pembatasan khususnya pembatasan mengenai hak milik non pertanian. Tetapi
disatu sisi BPN menyatakan bahwa pembatasan hak milik non pertanian telah di
atur dalam Keputusan KBPN No. 6 Tahun 1998. Tetapi dengan alasan belum
adanya payung hukum maka BPN tidak melakukan pengawasan terhadap batas
maksimum kepemilikan tanah hak milik non pertanian. Mengenai sanksi terhadap
dilanggarnya batas maksimum kepemilikan tanah hak milik non pertanian
Keputusan KBPN No. Tahun 1998 tidak mengatur, sanksi mengenai batas
maksimum tanah hak milik non pertanian pertanian terdapat pada pasal 11
Undang Undang No. 56 Prp. Tahun 1960 dimana peraturannya sampai saat ini
belum ada atau belum diatur.

Kata kunci:
Batas maksimum, hak milik non pertanian, sanksi

vii
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
ABSTRACT

Name : Firly Irhamdani

Major : Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Title : Legal Analysis Against Ownership Limit for Non-Agricultural


Land Ownership According to the National Land Law

Non-agricultural land property rights is one of the major sources are required to
cater for housing. Restrictions on land ownership, especially non-agricultural
property specified in article 7 and article 17 UUPA have goals that are not stacked
on the ground no one group or certain parties only, but as yet there is a maximum
limit of ownership of non-agricultural land as a has been mandated in Article 17
UUPA in which to immediately set about restrictions, especially restrictions on
non-agricultural property. But one side BPN stated that the restrictions of non-
agricultural property has been set in Decree No. KBPN. 6 of 1998. But by
reason of the absence of legal protection is not to supervise the BPN maximum
limit of land ownership rights of non-agricultural property. Regarding sanctions
against the violation of the maximum limit of land ownership rights of non-
agricultural property Decision No. KBPN. Year 1998 is not set, the maximum
penalty on non-agricultural land agricultural property rights contained in article 11
of Law No.. 56 Prp. Where the rules of 1960 until now there is no or not yet
regulated.

Key Word:
The maximum limit, non-agricultural property, sanctions

viii
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................i


HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS .....................................................ii
LEMBAR PENGESAHAN .....................................................................................iii
KATA PENGANTAR..............................................................................................iv
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ...............................vi
ABSTRAK ..............................................................................................................vii
ABSTRACT.....vi
DAFTAR ISI ............................................................................................................ix
1. PENDAHULUAN ..............................................................................................1
1.1 Latar Belakang ...............................................................................................1
1.2 Permasalahan ...............................................................................................9
1.3 Metode Penelitian .........................................................................................9
1.4 Sistematika Penulisan ..................................................................................10

2. URAIAN UMUM TENTANG HAK-HAK PENGUASAAN


ATAS TANAH.........................................................................................12
2.1. Pengertian Tanah & Hak-Hak Penguasaan Atas Tanah...........................12
2.1.1 Penguasaan Atas Tanah..........................................................................15
2.1.2 Jenis-jenis Hak Atas Tanah Menurut UUPA..........................................18
2.1.3 Tata Cara Memperoleh Tanah ................................................................21
2.1.4 Pendaftaran Tanah .................................................................................23
2.2 Tinjauan Umum Tentang Hak Milik Atas Tanah..........................................32
2.2.1 Pengertian Hak Milik..............................................................................32
2.2.2 Ciri-Ciri Hak Milik Atas Tanah..............................................................33
2.2.3Subyek Hak Milik....................................................................................34
2.2.4 Terjadinya Hak Milik Atas Tanah .....................35
2.2.5 Hapusnya Hak Milik Atas Tanah...............37
2.3 Hirarki Perundang Undangan.........................................................................38
2.4 Batas Kepemilikan Tanah Hak Milik Non Pertanian Yang
Diperbolehkan Menurut Ketentuan Hukum Pertanahan Nasional.....50
2.5 Upaya Pengawasan Yang Dilakukan Oleh BPN Dan Sanksi Apa
Yang Diberikan Kepada Seseorang Yang Kepemilikan Tanah Hak
Milik Non PertanianNya Melampaui Batas Maksi .....................................61

3. PENUTUP .........................................................................................................64
3.1 Kesimpulan ...................................................................................................64
3.2 Saran ..........................................................................................................65
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................

ix
Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Tanah memiliki arti yang sangat penting bagi individu dalam


masyarakat, karena selain mempunyai hubungan yang erat dengan keberadaan
individu manusia dalam lingkungannya dan kelangsungan hidupnya, juga
mempunyai nilai ekonomis yang dapat dicadangkan sebagai sumber
pendukung kehidupan manusia di masa mendatang. Arti penting tanah bagi
kelangsungan hidup manusia, karena disanalah manusia hidup, tumbuh, dan
berkembang, bahkan secara sekaligus merupakan tempat dikebumikan pada
saat meninggal dunia1.
Oleh karena itu tanah merupakan kebutuhan dasar bagi setiap manusia.
Dengan semakin pesatnya pertumbuhan penduduk dapat menyebabkan tanah
bersifat langka dan terbatas. Disamping itu tanah juga merupakan hal yang
sangat rawan dan potensi pemicu krisis sosial2. Hal ini menyebabkan
pentingnya peranan Negara untuk mengatur tanah-tanah yang berada dalam
wilayah kekuasaannya agar mempunyai tujuan yang hendak dicapai.
Falsafah Indonesia dalam konsep hubungan antara manusia dengan
tanah menempatkan individu dan masyarakat sebagai kesatuan yang tak
terpisahkan (kedwitunggalan) bahwa pemenuhan kebutuhan seseorang

1
Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: Gunung Agung,
1982),hal.197.
2
Djuhaendah Hasan, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda Lain
Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas Pemisahan Horisontal,
(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 1.

Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
2

terhadap tanah diletakan dalam kerangka kebutuhan seluruh masyarakat


sehingga hubungannya
tidak bersifat individualistis semata, tetapi lebih bersifat kolektif dengan
tetap memberikan tempat dan penghormatan terhadap hak perseorangan.3
Sesuai ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar 1945
menyatakan, bahwa : Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya, dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi
kemakmuran rakyat4. Pasal tersebut di atas mengandung maksud bahwa
bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, adalah pokok-
pokok kemakmuran rakyat. Oleh karena itu dalam pengaturan dan
pemanfaatannya harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-
besarnya bagi kemakmuran rakyat.

Pada tanggal 24 september 1960 disahkan Undang-Undang nomor 5


tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Undang Undang
ini lebih dikenal dengan sebutan Undang-Undang Pokok Agraria. Tujuan
diundangkan Undang-Undang Pokok Agraria sebagaimana yang dimuat dalam
penjelasan umum, yaitu;

1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan Hukum Agraria Nasional, yang


merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan
keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka
masyarakat adil dan makmur;
2. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan
hukum pertanahan;
3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai
hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.5

3
Maria S.W. Sumardjono. Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi.
(Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001). Hal. 158.
4
Indonesia, Undang Undang Dasar 1945, Ps 33 ayat (3).
5
Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, ( Jakarta: Kencana, 2001 ), hal.
1-2

Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
3

Kaitan dengan hal tersebut di atas dalam Undang Undang Nomor 5


tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (Untuk selanjutnya disebut
UUPA), adalah berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UUPA menyatakan, bahwa :

Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang Undang Dasar dan
hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air, dan ruang
angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada
tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan
seluruh rakyat6.

Selanjutnya dalam Pasal 1 ayat (3) UUPA menyatakan, bahwa :


Hubungan antar bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa
termaksud dalam ayat (2) Pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi.
Hubungan yang abadi ini menunjukkan bahwa, selama rakyat Indonesia yang
bersatu sebagai bangsa Indonesia masih ada dan selama bumi, air serta ruang
angkasa Indonesia itu masih ada pula, maka hubungan ini tidak dapat
diputuskan meskipun dalam keadaan bagaimanapun juga7.

Pasal 2 ayat (2) UUPA menentukan, bahwa hak menguasai dari Negara
termaksud dalam Pasal 1 ayat (1) adalah Negara diberikan wewenang untuk:

1. Mengatur dan menyelenggarakan, peruntukan, penggunaan, persediaan,


dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;

6
Indonesia, Undang Undang tentang Peraturan Dasar Pokok Pokok agraria, UU No. 5, LN
No. 104 Tahun 1960, TLN No. 2043, Ps 2 ayat (1).
7
Sudargo Gautama dan Ellyda T. Soetijarto, Tafsiran UUPA (1960) dan Peraturan-Peraturan
Pelaksanaannya, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996), hal. 51.

Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
4

3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-


orang dan perbuatan-perbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang
angkasa8.

Tanah merupakan salah satu sumber utama bagi kelangsungan hidup dan
penghidupan bangsa dalam mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
yang terbagi secara adil dan merata, maka tanah adalah untuk diusahakan
ataudigunakan bagi pemenuhan kebutuhan yang nyata. Sehubungan dengan
itu, penyediaan, peruntukan, penguasaan, penggunaan dan pemeliharaannya
perlu diatur agar terjamin kepastian hukum dalam penguasaan dan
pemanfaatannyaserta sekaligus terselenggara perlindungan hukum bagi rakyat
banyak, terutama golongan petani, dengan tetap mempertahankan kelestarian
kemampuannya dalam mendukung kegiatan pembangunan yang
berkelanjutan.

Di samping itu tanah merupakan sumber daya yang penting bagi


masyarakat, baik sebagai media tumbuh tanaman, maupun sebagai ruang atau
wadah tempat melakukan berbagai kegiatan. Tanah juga merupakan salah satu
faktor produksi yang sangat vital bagi kehidupan manusia dan pembangunan
suatu bangsa. Tanah dalam masa pembangunan bertambah penting artinya,
karena adanya peningkatan volume pembangunan dalam bidang-bidang
pertanian, industri modern, perumahan, kelestarian lingkungan hidup,
pengamanan sumber kekayaan alam, kesejahteraan sosial dan lain-lain. Hal ini
semakin komplek bila dikaitkan dengan pertambahan penduduk yang
memerlukan areal yang luas, otomatis mengakibatkan mengecilnya atau
berkurangnya persediaan tanah.

Hal tersebut diatas telah di prediksi sebelumnya oleh pembentuk


Undang-Undang dimana kita ketahui bahwa didalam UUPA terdapat pasal-
pasal yang mengatur mengenai pembatasan tentang kepemilikan tanah dalam
8
Winahyu Erwiningsih, Hak Menguasai Negara Atas Tanah, (Yogyakarta: Total Media,
2009), hal. 115.

Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
5

hal ini diatur dalam pasal 7 UUPA. Pasal 7 UUPA mengenai pembatasan
kepemilikan tanah ini berkaitan erat dengan pasal 16 UUPA dan pasal 17
UUPA.

Tanah merupakan bagian permukaan bumi yang merupakan satuan


bidang yang memiliki batas tertentu. Di atas bidang tanah tersebut terdapat
hak atas tanah baik yang dimiliki secara perorangan maupun badan hukum9.
Pasal 16 ayat (1) UUPA telah mengatur tentang hak atas tanah yang dapat
dibedakan sebagai berikut:

1. Hak Milik.
2. Hak Guna Usaha.
3. Hak Guna Bangunan.
4. Hak Pakai.
5. Hak Sewa.
6. Hak Membuka Tanah.
7. Hak Memungut Hasil Hutan.
8. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hal-hal tersebut di atas yang
akan ditetapkan.

Dimana dalam pasal 16 ayat 1 mengatur mengenai hak-hak atas tanah


antara lain hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, dan hak
lainnya yang disebut dalam pasal tersebut. Sedangkan pada pasal 17 UUPA
menjelaskan mengenai pembatasan maksimum kepemilikan tanah dengan
sesuatu hak yang terdapat pada pasal 16 UUPA akan ditentukan dengan
peraturan perundangan, jika melampaui kepemilikan tanah melampaui batas
maksimum maka akan diambil oleh pemerintah dengan ganti kerugian.

9
Florianus SP Sangsun, Tata Cara Mengurus Sertifikat Tanah, (Jakarta: Visi Media, 2007),
hal. 5.

Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
6

Penerapan pasal 7 UUPA dan pasal 17 tentang batas maksimum


pemilikan tanah, dalam kenyataannya juga sering dilanggar. Berbagai
kekisruhan yang terjadi selama ini mengindikasikan terjadinya penumpukan
pemilikan tanah di satu pihak, sedangkan di pihak lain, banyak yang tidak
mempunyai tanah. Ketidakseimbangan dalam distribusi pemilikan tanah inilah
baik untuk tanah pertanian maupun bukan pertanian yang menimbulkan
ketimpangan baik secara ekonomi, politis maupun sosiologis. Pada akhirnya,
rakyat lapisan bawah yang memikul beban terberat akibat ketidakseimbangan
distribusi ini.

Sebagai pelaksanaan Pasal 7 dan Pasal 17 UUPA telah diundangkan UU


No. 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Untuk
melaksanakan redistribusi tanah sebagaimana diamanatkan Pasal 17 (3)
UUPA jo UU No 56 Prp Tahun 1960 tersebut, telah ditetapkan Peraturan
Pemerintah No 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan
Pemberian Ganti Kerugian. PP ini kemudian telah diubah dan ditambah
dengan PP No. 41 Tahun 1964 tentang Perubahan dan Tambahan Peraturan
Pemerintah No. 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan
Pemberian Ganti Kerugian.

Dalam UU No.56 Prp Tahun 1960 memuat mengenai batas yang


diperbolehkan untuk di kuasai dalam suatu keluarga bati hal ini diatur dalam
Pasal 1. Pada Pasal 2 UU No.56 Prp Tahun 1960 mengatur mengenai luas
tanah pertanian yang dapat di kuasai, Dengan kualifikasi daerah tidak padat
dan padat (kurang padat,cukup padat, sangat padat) dan mempunyai dua
kategori jenis tanah yaitu tanah sawah dan tanah kering, yang masing-masing
luas yang dapat dikuasi ditentukan oleh daerah dan jenis tanahnya. Selain hal
diatas UU No.56 Prp Tahun 1960 juga mengatur sanksi apabila seseorang
memiliki tanah pertanian yang melampaui batas maksimal hal ini diatur dalam
Pasal 10 dan Pasal 11 UU No.56 Prp Tahun 1960.

Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
7

Mengenai ketentuan batas maksimum kepemilikan tanah tanah hak milik


untuk non pertanian, penulis berpendapat belum ada aturan yang secara
spesifik mengatur. Sejauh ini mengenai aturan batas maksimum kepemilikan
tanah hak milik untuk perumahan adalah Keputusan Menteri Agraria/ Kepala
Kantor Pertanahan No. 6 Tahun 1998 Tentang Pemberian Hak Milik Atas
Tanah Untuk Rumah Tinggal dalam pasal 4 bahwa seseorang yang
mengajukan permohonan harus memberikan pernyataan yaitu bahwa dengan
perolehan tanah yang dimohon ituyang bersangkutan akan mempunyai hak
milik atas tanah untuk rumah tinggal tidak lebih dari 5 (lima) bidang yang
seluruhnya meliputi luas tidak lebih dari 5000 (lima ribu) m2.

Apakah dengan ketentuan Keputusan Menteri Agraria/ Kepala Kantor


Pertanahan No. 6 Tahun 1998 ini dapat di jadikan sebagai acuan batas
maksimum kepemilikan tanah hak milik untuk tanah non pertanian.

Dalam hal diatas penulis tertarik untuk mengangkat masalah tersebut


diatas ke dalam tulisan ilmiah dengan judul Analisis Yuridis Terhadap
Batas Maksimum Kepemilikan Tanah Hak Milik Non Pertanian Menurut
Hukum Pertanahan Nasional

1.2 Pokok Permasalahan

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas maka sebagai upaya


pembahasan dan pembatasan masalah yang akan dibahas dalam penulisan ini
adalah :

1. Berapakah batas maksimum kepemilikan tanah hak milik non pertanian


yang diperbolehkan menurut hukum pertanahan nasional?
2. Bagaimanakah upaya pengawasan yang dilakukan oleh BPN dan sanksi
apa yang diberikan kepada seseorang yang kepemilikan tanah hak milik
non pertanian nya melampaui batas maksimum?

Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
8

1.3 Metode Penelitian


Penelitian merupakan usaha untuk memperoleh fakta atau prinsip,
dengan cara mengumpulkan dan menganalisis data yang dilakukan dengan
teliti, jelas, sistematik dan dapat dipertanggungjawabkan.10

Adapun metode penelitian yang dipergunakan dalam penulisan ini yaitu


dengan cara :

1. Tipe Penelitian
Penelitian ini adalah yuridis normatif melalui pengkajian peraturan
perundang-undangan, buku-buku, dokumen-dokumen serta wawancara
langsung dengan pihak-pihak yang berhubungan dengan penelitian ini.

2. Penelitian yang dilakukan oleh peneliti bersifat deskriptif analitis yaitu


penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti
mungkin tentang manusia, yang menggambarkan keadaan dan gejala-
gejala yang timbul dalam masyarakat dan diberikan solusi. Maksud dan
tujuan adalah untuk mempertegas hipotesis-hipotesis, agar dapat
membantu memperkuat teori-teori lama.11 Dalam penelitian hukum
normatif, pengolahan data berarti kegiatan untuk mengadakan
sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistematisasi, berarti
membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut, untuk
memudahkan pekerjaan analisa dan konstruksi.12 Penelitian normatif ini
merupakan penelitian terhadap sistematika hukum, yaitu penelitian yang
tujuan pokoknya adalah untuk mengadakan identifikasi terhadap
pengertian-pengertian pokok atau dasar dalam hukum.13

10
Hermawan Wasito, Pengantar Metodologi Penelitian, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1997), hal. 6
11
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 10.
12
Ibid., hal. 251
13
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2005), hal.93.

Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
9

3. Jenis Penelitian
a. Penelitian Kepustakaan
Merupakan suatu pengumpulan data yang dilakukan melaui studi
dokumen atau bahan pustaka dan data diperoleh dinamakan data
sekunder. Data sekunder ini dapat diperoleh melalui penelusuran dari
bahan hukum primer, sekunder, tertier.

b. Penelitian Lapangan
Berdasarkan kedua tahapan penelitian diatas, maka teknik pengumpulan
data yang dilakukan penulis adalah :

Wawancara langsung dengan pihak-pihak yang terkait dengan


penelitian ini misalnya Kantor Badan Pertanahan Republik Indonesia
dan pihak-pihak lain yang berhubungan dengan penelitian ini.

4. Analisa Data
Analisa data merupakan proses pencarian dan perencanaan secara
sistematis semua data dan bahan lainnya yang telah terkumpul. Kemudian
atas data dan bahan tersebut penulis dapat menyajikan kepada pihak lain
secara jelas.

Untuk menguraikan atau memecahkan masalah yang diteliti berdasarkan


data yang diperoleh, diperlukan adanya teknik analisa data. Dengan
adanya teknik analisis ini akan diketahui hubungan secara menyeluruh
dalam penelitian. Teknik analisis data yang digunakan dalam penulisan ini
adalah dengan menggunakan cara mengumpulkan semua data yang
diperlukan kemudian menghubungkan dengan permasalahan yang ada dan
dianalisis dengan didasarkan pada teori ilmu hukum yang berhubungan
dengan masalah yang akan diteliti. Langkah selanjutnya mencari jalan
pemecahan dengan menganalisis dan akhirnya menarik suatu kesimpulan
untuk menentukan hasilnya.

Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
10

1.4 Sistematika Penulisan


Sistematika penulisan maksudnya adalah suatu penulisan yang saling
berhubungan dengan yang lainnya. Dalam penulisan ini penulis membaginya
dalam tiga bab dan beberapa sub bab, yaitu sebagai berikut :

Bab I yang merupakan pendahuluan, berisikan latar belakang, pokok


permasalahan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II berjudul uraian umum tentang hak-hak penguasaan atas tanah,


menguraikan landasan teori tentang pengertian tanah & hak-hak penguasaan
atas tanah, penguasaan atas tanah, jenis-jenis hak atas tanah menurut uupa,
tata cara memperoleh tanah, pendaftaran tanah, tinjauan umum tentang hak
milik atas tanah, hirarki perundang undangan. Kemudian diuraikan analisis
mengenai batas kepemilikan tanah hak milik non pertanian yang
diperbolehkan menurut ketentuan hukum pertanahan nasional dan upaya
pengawasan yang dilakukan oleh bpn dan sanksi apa yang diberikan kepada
seseorang yang kepemilikan tanah hak milik non pertanian nya melampaui
batas maksimum.

Bab III merupakan bab penutup berisi kesimpulan dan saran.

Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
11

BAB II

URAIAN UMUM TENTANG HAK-HAK PENGUASAAN ATAS TANAH

2.1 Pengertian Tanah & Hak-Hak Penguasaan Atas Tanah

Sebutan Tanah dalam bahasa Indonesia dapat dipakai dalam beberapa


arti, maka dalam penggunaannya perlu diberi batasan, agar diketahui dalam
arti apa istilah tersebut digunakan. Menurut kamus besar bahasa Indonesia
(1994) Tanah adalah:14

a. permukaan bumi atau lapisan bumi yang diatas sekali;

b. keadaan bumi di suatu tempat;

c. permukaan bumi yang diberi batas;

d. bahan-bahan dari bumi, bumi sebagian bahan sesuatu (pasir, cadas,


napal dan sebagainya).

Pengertian tanah itu sendiri dimana dalam hukum tanah kata sebutan
tanah dipakai dalam arti yuridis, sebagai suatu pengertian yang telah diberi
batasan resmi oleh UUPA.

Dalam pasal 4 UUPA dinyatakan bahwa:

Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam
pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi,
yang disebut tanah. Yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh
orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta
badan-badan hukum.

14
Irene Eka Sihombing, Segi-segi Hukum Tanah Dalam Pengadaan Tanah Untuk
Pembangunan. (Jakarta: Universitas Trisakti, 2005), Hal. 5.

Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
12

Dengan demikian tanah menurut pengertian yuridis adalah permukaan


bumi, dan hak atas tanah adalah hak atas permukaan bumi, yaitu bagian
tertentu dari permukaan bumi yang menurut satuan-satuan terbatas dan
berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar tertentu.

Tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia,
merupakan salah satu sumber utama bagi kelangsungan hidup dan
penghidupan bangsa sepanjang masa dalam mencapai sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat yang terbagi secara adil dan merata, sehingga tanah
adalah untuk diusahakan atau digunakan bagi pemenuhan kebutuhan yang
nyata. Sehubungan dengan itu penyediaan, peruntukan, penguasaan,
penggunaan dan pemeliharaannya perlu diatur, agar terjamin kepastian hukum
dalam penguasaan dan pemanfaatannya serta sekaligus terselenggara
perlindungan hukum bagi rakyat banyak terutama golongan petani, dengan
tetap mempertahankan kelestarian kemampuannya dalam mendukung kegiatan
pembangunan yang berkelanjutan.15

Hak-hak penguasaan atas tanah berisikan serangkaian wewenang,


kewajiban dan/atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu
dengan tanah yang dihaki. Sesuatu yang boleh, wajib dan / atau dilarang untuk
diperbuat itulah yang merupakan tolak pembeda antara berbagai hak
penguasaan atas tanah yang diatur dalam hukum tanah yang bersangkutan.
Kewenangannya dimana setian pemegang hak atas tanah mempunyai
kewenangan untuk menggunakan sendiri tanah haknya, misalnya saja tanah
Hak Milik dapat digunakan untuk memenuhi keperluan pribadinya; untuk
membangun rumah tinggal. Kewajibannya adalah menggunakan tanah sesuai
peruntukan dan penggunaannya. Tentunya juga dengan tetap memperhatikan
fungsi sosial, yang dinyatakan dalam Pasal 6 UUPA, semua hak atas tanah
mempunyai fungsi sosial. Apabila terdapat tanah yang tidak dipergunakan
atau diterlantarkan oleh pemegang haknya maka hak atas tanahnya akan hapus
15
Boedi Harsono, Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional, (Jakarta: Badan Penerbit
Universitas Trisakti, 2002), h,. 4.

Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
13

dan tanahnya akan menjadi milik negara. Larangan bagi pemegang hak atas
tanah berhubungan dengan pengambilan kekayaan alam yang terkandung di
dalam bumi, air dan ruang angkasa, karena menurut ketentuan dalam Pasal 4
ayat (2) UUPA hak-hak atas tanah itu hanya memberi hak atas permukaan
bumi saja.

Hak-hak penguasaan atas tanah ini dapat diartikan sebagai lembaga


hukum, jika belum dihubungkan dengan tanah dan subjek tertentu. Hak-hak
penguasaan atas tanah juga merupakan hubungan hukum konkret, jika sudah
dihubungkan dengan tanah tertentu dan subjek tertentu sebagai pemegang
haknya. Berdasarkan adanya perngertian hak penguasaan atas tanah sebagai
lembaga hukum dan sebagai hubungan hukum konkret itulah serta penalaran
mengenai isinya masing-masing, pembahasan hukum yang mengatur hak-hak
penguasaan atas tanah dapat dilakukan dengan menggunakan suatu
sistematika yang khas. Adapun sistematika yang dimaksud adalah:16

1. Ketentuan-ketentuan hukum tanah yang mengatur hak-hak penguasaan


hak atas tanah sebagai lembaga hukum meliputi :
Memberi nama pada hak penguasaan yang bersangkutan;

a. Menetapkan isinya yaitu mengatur apa saja yang boleh, wajib dan
dilarang untuk diperbuat oleh pemegang haknya serta jangka waktu
penguasaannya;
b. Mengatur hak-hak mengenai subjeknya, siapa yang boleh menjadi
pemegang haknya dan syarat-syarat bagi penguasaannya.
c. Mengatur hak-hak mengenai tanahnya.
2. Ketentuan-ketentuan mengenai hukum tanah yang mengatur hak-hak
penguasaan atas tanah sebagai hubungan hukum kongkrit :
a. Mengatur hal-hal mengenai penciptaannya menjadi suatu hubungan
hukum yang kongkrit.

16
Irene Eka Sihombing, Segi-segi Hukum Tanah Dalam Pengadaan Tanah Untuk
Pembangunan. (Jakarta: Universitas Trisakti, 2005), Hal. 5.. 12-13.

Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
14

b. Mengatur hal-hal mengenai pembebannya dengan hak-hak lain.


c. Mengatur hal-hal mengenai pemindahnnya kepada pihak lain.
d. Mengatur hal-hal mengenai hapusnya.
e. Mengatur hal-hal mengenai pembuktiannya

2.1.1 Penguasaan Atas Tanah

Dalam UUPA diatur hierarki hak-hak penguasaan atas tanah menurut


hukum tanah nasional yaitu :17

1. Hak Bangsa Indonesia.


2. Hak Menguasai Negara.
3. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
4. Hak-hak Perorangan atas Tanah, yang terdiri dari:
a. Hak-hak atas Tanah.
b. Hak Jaminan atas Tanah.
c. Tanah Wakaf.

Penjabaran mengenai hal-hal penguasaan atas tanah dapat dilihat dalam


uraian dibawah ini :

1. Hak Bangsa Indonesia (Pasal 1 UUPA)


Hak Bangsa Indonesia adalah hubungan hukum antara bangsa Indonesia
dengan bumi, air, dan ruang angkasa Indonesia termasuk kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya. Hak Bangsa Indonesia merupakan
hubungan hukum yang bersifat abadi antara bangsa Indonesia dengan
bumi, air serta ruang angkasa Indonesia. Hak Bangsa Indonesia adalah hak
penguasaan atas tanah tertinggi dalam hukum tanah nasional. Hak-hak
penguasaan atas tanah yang lain secara langsung bersumber pada Hak
Bangsa Indonesia.

17
Ibid., hal. 13

Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
15

2. Hak Menguasai Negara (Pasal 2 UUPA)


Dalam Hak Bangsa Indonesia ada dua unsur yaitu kepunyaan dan unsur
tugas kewenangan. Unsur tugas kewenangan, yang menurut sifatnya
termasuk bidang hukum publik penyelenggaraannya oleh Bangsa
Indonesia sebagai pemegang hak dan pemegang amanat tersebut pada
tingkatan yang tertinggi dikuasai oleh negara Republik Indonesia sebagai
organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Dengan demikian Hak Menguasai
Negara adalah hubungan hukum yang konkret antara negara dengan tanah
diseluruh wilayah Indonesia yang meliputi baik tanah-tanah yang tidak
atau belum maupun yang dudah dihaki dengan hak-hak perorangan.
Tanah-tanah yang belum dihaki dengan hak perorangan oleh UUPA
disebut tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh negara.

Dalam Pasal 2 ayat (2) Hak Menguasai Negara memberi wewenang untuk:

a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan,


persediaan, dan pemeliharaan bumi, air dan rung angkasa tersebut;
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, dan
ruang angkasa.
3. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat (Pasal 3 UUPA)
Hak Ulayat adalah serangkaian wewenang dan kewajiban suatu
masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan tanhah yang terletak
dalam lingkungan wilayahnya.

Dari Pasal 3 UUPA dapat dilihat bahwa Hak Ulayat keberadaannya


diakui sepanjang menurut kenyataannya hak tersebut masih ada.

4. Hak-hak Perorangan atas Tanah, yang terdiri dari:

Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
16

Hak perorangan atas tanah adalah hubungan hukum dengan sebidang


tanah yang subjeknya orang atau badan hukum. Adapun hak-hak
perorangan atas tanah terdiri dari:

a. Hak-hak atas Tanah


Hak-hak atas tanah merupakan hubungan hukum dengan sebidang
tanah yang memberi wewenang untuk menggunakan tanah. Pada
hakikatnya pemakaian tanah itu hanya terbatas untuk dua tujuan :
yaitu untuk diusahakan ( pertanian, perkebunan, perikanan atau
perternakan) dan dipakai untuk tempat membangun sesuatu
(membangun gedung, bangunan air, jalan, perumahan dll). Hak-hak
atas tanah yang dimaksud, dapat dikelompokan dalam hak atas tanah
yang primer yaitu hak atas tanah yang bersumber secara langsung
kepada Hak Bangsa Indonesia, dan hak atas tanah yang sekunder
yaitu hak atas tanah yang bersumber secara tidak langsung kepada
Hak Bangsa Indonesia. Jenis-jenis hak atas tanah yang primer adalah
Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai.
Sedangkan jenis hak atas tanah yang sekunder adalah Hak Guna
Bagunan, Hak Pakai, Hak Gadai, Hak Sewa, Hak Menumpang, dan
Hak Usaha Bagi Hasil.

b. Hak Jaminan atas Tanah


Merupakan hubungan hukum antara kreditur dengan sebidang tanah
kepunyaan pihak lain (debitur) yang ditunjuk sebagai jaminan kredit
yang memberi wewenang kepada kreditur untuk melelang
(mengeksekusi) tanah hak tersebut manakala debitur tidak mampu
memenuhi kewajibannya. Lembaga Hak Jaminan atas Tanah ini
dalam UUPA disebut Hak Tanggungan. Pada tanggal 9 April 1996,
telah diterbitkan Undang-undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan atas tanah dan benda-benda lainnya yang berkaitan
dengan tanah.

Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
17

c. Tanah Wakaf
Pasal 49 ayat (1) UUPA menyatakan Hak Milik tanah badan-badan
keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam
bidang keagamaan dan sosial diakui dan dilindungi. Perwakafan
tanah Hak Milik diakui dan dilindungi dalam Undang-undang
Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf.

Disamping jenis-jenis hak perorangan diatas adanya Hak Milik atas


Satuan Rumah Susun, hak ini bukan Hak Penguasaan atas Tanah melainkan
Hak atas Satuan Rumah Susun tertentu.

2.1.2 Jenis-jenis Hak Atas Tanah Menurut UUPA

UUPA menyediakan berbagai macam hak atas tanah sebagai landasan


hukum untuk penguasaan dan penggunaan tanah yang diperlukan. Hak-hak
tersebut meliputi:18

Hak atas tanah merupakan kewenangan tertentu yang diberikan kepada

seseorang untuk berbuat sesuatu akan tanahnya. Di dalam Pasal 16 ayat (1)

UUPA ditentukan beberapa macam hak atas tanah antara lain :

a. Hak Milik

b. Hak Guna Usaha

c. Hak Guna Bangunan

d. Hak Pakai

e. Hak Sewa

f. Hak Membuka Tanah

18
Ibid., h. 23.

Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
18

g. Hak Memungut Hasil Hutan

h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut yang akan
ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara
sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53.

Dalam Pasal 53 UUPA menyebutkan hak-hak yang bersifat sementara, yaitu :

Ayat (1) Hak-hak yang sifatnya sementara sebagai dimaksud dalam Pasal 16
ayat (1) huruf h, ialah hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak
menumpang dan hak sewa tanah pertanian. Diatur untuk
membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan undang-undang
ini dan hak-hak tersebut diusahakan hapusnya di dalam waktu yang
singkat.

Ayat(2) Ketentuan dalam Pasal 52 ayat (2) dan (3) berlaku terhadap
peraturanperaturan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini

1. Hak Milik (diatur dalam Pasal 20 27 UUPA)


Hak milik adalah hak untuk memakai tanah yang sifatnya sangat khusus,
yang bukan sekedar berisikan kewenangan untuk memakai suatu bidang
tanah tertentu, yang dihaki, tetapi juga mengandung hubungan psikologis-
emosional antara pemegang hak dengan tanah yang bersangkutan.

2. Hak Guna Usaha (diatur dalam Pasal 28 34 UUPA)


HGU adalah hak untuk mengusahakan tanah yang langsung dikuasai oleh
negara dalam jangka waktu tertentu guna perusahaan pertanian,
perternakan, atau perikanan (pertanian dalam arti luas). HGU diberikan
dengan keputusan pemberian hak oleh pejabat yang ditunjuk.

Menurut Pasal 34 UUPA Hak Guna Usaha dapat hapus apabila:

a. jangka waktunya berakhir


b. dihentikan sebelum jangka waktu berakhirnya karena sesuatu syarat
tidak dipenuhi

Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
19

c. dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya


berakhir
d. dicabut untuk kepentingan umum
e. ditelantarkan
f. tanahnya musnah
g. ketentuan dalam Pasal 30 ayat 2
3. Hak Guna Bangunan (diatur dalam Pasal 35 40 UUPA)
HGB adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan
atas tanah yang bukan miliknya sendiri. Dari definisi di atas, diketahui
bahwa tanah yang dapat diberikan dengan HGB adalah Tanah Negara,
Tanah Hak Pengelolaan, dan Tanah Hak Milik.

Menurut Pasal 40 UUPA Hak Guna Bangunan dapat hapus apabila:

a. jangka waktunya berakhir


b. dihentikan sebelum jangka waktu berakhirnya karena sesuatu syarat
tidak dipenuhi
c. dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya
berakhir
d. dicabut untuk kepentingan umum
e. ditelantarkan
f. tanahnya musnah
g. ketentuan dalam Pasal 36 ayat 2.
4. Hak Pakai (diatur dalam Pasal 41 43 UUPA).
Hak Pakai ialah hak yang memberikan wewenang untuk menggunakan
tanah kepunyaan pihak lain. Menurut Pasal 39 Peraturan Pemerintahan
Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan
dan Hak Pakai Atas Tanah, yang dapat mempunyai Hak Pakai adalah
warga negara Indonesia, orang asing yang berkedudukan di Indonesia dan
berkedudukan di dirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia.

Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
20

2.1.3 Tata Cara Memperoleh Tanah

Dalam rangka mengunakan tata cara yang disediakan dalam Hukum


Tanah Nasional, sehubungan dengan sistem perolehan tanah, perlu
diperhatikan dahulu 3 (tiga) hal yaitu:19

1. Proyeknya, yaitu apa yang dikembangkan/ dibangun di atas tanah yang


diperoleh. Tanah yang tersedia itu akan digunakan untuk keperluan
pribadi, usaha, atau keperluan khusus lainnya.
2. Lokasinya, yaitu letak proyeknya yang bersangkutan. Untuk itu perlu
diketahui terlebih dahulu Rencana Tata Ruang Wilayah (di DKI: Rencana
Bagian Wilayah Kota). Apabila untuk keperluan bisnis/proyek
tertentuperlu dimohon Ijin Prinsip dan Ijin Lokasi (Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala BPN No. 2/1999 Tentang Ijin Lokasi).
3. Tanah yang tersedia, yaitu segi fisik dan segi yuridisnya.

Untuk menguasai bidang-bidang tanah tertentu perlu diperhatikan tata


cara perolehan tanahnya. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam perolehan
tanah adalah sebagai berikut:20

1. Status tanah yang diperlukan


Tanah yang tersedia dapat berstatus:

a. Tanah negara yaitu tanah yang masih langsung dikuasai oleh negara
b. Tanah ulayat masyarakat hukum adat
c. Tanah hak yaitu tanah yang sudah dihaki dengan salah satu hak
yaitu hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai atau
hak pengelolaan.

19
Ibid., hal. 49.
20
Arie Sukanti Hutagalung, Condominium dan Permasalahannya.(Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Hukum UI, 2007). Hal. 24.

Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
21

2. Status hukum dari pihak yang memerlukan tanah akan menentukan cara
yang akan digunakan, oleh karena terkait dengan ketentuan dan syarat-
syarat sebagai subjek hak atas tanah.
a. Bagi Instansi Pemerintah yang oleh UUPA hanya dimungkinkan
mempunyai tanah dengan Hak Pakai atau Hak Pengelolaan,
perolehan tanahnya dilakukan dengan pelepasan hak.
b. Bagi perusahaan, baik Badan Hukum Milik Swasta dapat
mempunyai tanah dengan Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atau
dalam hal tanah digunakan untuk usaha perkebunan dan sejenisnya
dapat dipunyai dengan Hak Guna Bangunan.
3. Apabila tanah yang bersangkutan berstatus tanah hak, maka cara yang
digunakan tergantung pada ada atau tidak adanya kesedian yang empunya
tanah untuk menyerahkan kepada yang memerlukan, dengan
kemungkinan:
a. Apabila ada kesediaan untuk menyerahkan dengan sukarela, maka
ditempuh melalui:
1) Acara pemindahan hak, misalnya jual beli, tukar menukar, atau
hibah, yaitu jika yang memerlukan tanah memenuhi syarat
sebagai subjek hak tanah yang dipindahkan itu.
2) Acara pembebasan tanah, diikuti dengan permohonan hak baru
yang sesuai, yaitu jika pihak yang memerlukan tanah tidak
memenuhi syarat sebagai subjek hak atas tanah yang
bersangkutan.
b. Jika tidak ada kesediaan untuk menyerahkannya dengan sukarela,
apabila syarat-syaratnya dipenuhi, maka dapat ditempuh melalui
acara pencabutan hak untuk kepentingan umum sebagai cara
pengambilan tanah secara paksa.

Untuk menguasai dan memperoleh tanah, ada beberapa cara yang dapat
ditempuh oleh calon pemegang hak, antara lain:

Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
22

1. Permohonan Hak Atas Tanah21


Tata cara permohonan hak, dapat digunakan apabila tanah yang tersedia
berstatus tanah negara, yaitu tanah yang langsung dikuasai oleh negara.
Dalam pengertian ini termasuk tanah negara yang berasal dari pembebasan
hak atau pelepasan hak untuk kepentingan pihak lain.

2. Pembebasan Hak22

Acara Pembebasan hak digunakan jika pihak yang memerlukan tanah


tidak memenuhi syarat sebagai subjek hak atas tanah yang tersedia.
Misalnya tanah yang tersedia Hak Milik (bekas) Hak Milik Adat yang
belum bersertipikat, sedang yang memerlukan tanah berstatus badan
hukum Indonesia (Perseroan Terbatas). Dalam hal demikian diketahui
bahwa tidak dapat dilakukan pemindahan hak (jual beli).

3. Pemindahan Hak23

Perbuatan hukum pemindahan hak bertujuan memindahkan hak atas tanah


kepada pihak lain untuk selama-lamanya (dalam hal ini subjek hukumnya
memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah). Adapun perbuatan
hukum yang dimaksud tersebut, jual beli, tukar menukar, hibah atau hibah
wasiat, pemasukan ke dalam harta perusahaan/penyertaan modal
(inbreng).

4. Pencabutan Hak24
Tata cara pencabutan hak ini adalah upaya terakhir untuk memperoleh
tanah yang tersedia. Dalam keadaan yang memaksa yaitu jika tanah
diperlukan untuk menyelenggarakan kepentingan umum dan tidak
mungkin digunakan tanah lain, sedang musyawarah yang diadakan tidak

21
Irene Eka Sihombing, , Segi-segi Hukum Tanah Dalam Pengadaan Tanah Untuk
Pembangunan. (Jakarta: Universitas Trisakti, 2005). Hal. 50.
22
Ibid., h. 61.
23
Ibid., h. 56.
24
Ibid., h. 63.

Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
23

berhasil memperoleh kesepakatan, dapat dilakukan pengambilan secara


paksa, dalam arti tidak memerlukan persetujuan pemegang hak yang
bersangkutan.

2.1.4 Pendaftaran Tanah

Pengertian dari pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang

dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan

teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta

pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar,

mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk

pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada

haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang

membebaninya.25

Berdasarkan pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1997, bahwa


pelaksanaan pendaftaran tanah mempunyai tujuan sebagai berikut :
1. Untuk memberikan kepastian hukm dan perlindungan hukum kepada
pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak
lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai
pemegang hak yang bersangkutan.Tujuan memberikan jaminan kepastian
hukum merupakan tujuan utama dalam pendaftaran tanah sebagaimana
yang ditetapkan oleh Pasal 19 UUPA.Maka memperoleh sertipikat, bukan
sekadar fasilitas, melainkan merupakan hak pemegang hak atas tanah yang
dijamin oleh Undang-Undang.26

25
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Pasal 1 butir 1
26
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Cet. 9, (Jakarta: Djambatan, 2003),hal. 475.

Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
24

2. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan


termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang
diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang
tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar.
Dengan adanya pendaftaran tanah maka terbentuk suatu pusat informasi
mengenai bidang-bidang tanah sehingga pihak yang berkepentingan
termasuk Pemerintah dengan mudah dapat memperoleh data yang
diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang
tanah yang sudah didaftar.
Untuk melakasanakan fungsi informasi, data fisik dan data yuridis dari
bidang tanah dan satuan rumah susun yang sudah terdaftar terbuka untuk
umum.
Dengan pendaftaran tanah, Pemerintah maupun masyarakat dapat dengan
mudah memperoleh informasi tentang data fisik dan data yuridis di Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota apabila mau mengadakan suatu perbuatan
hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun yang sudah
terdaftar, misalnya pengadaan tanah untuk kepentingan Pemerintah atau
perusahaan swasta, jual beli, lelang, pembebanan Hak Tanggungan.
3. Untuk terselenggarakannya tertib administrasi pertanahan.
Terselenggarakannya pendaftaran tanah secara baik merupakan dasar dan
perwujudan tertib administrasi dibidang pertanahan.
Adapun jaminan kepastian hukum sebagai tujuan pendaftaran tanah
meliputi:27
1. Kepastian status hak yang didaftar.
Artinya dengan pendaftaran tanah akan dapat diketahui dengan pasti status
hak yang didaftar, misalnya Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, Hak Pakai, Hak Pengelolaan, Hak Tanggungan, Hak Milik
Atas Satuan Rumah Susun atau Tanah Wakaf.
2. Kepastian subjek hak.
27
Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, ( Jakarta: Kencana, 2010 ),, hal
19-20.

Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
25

Artinya dengan pendaftaran tanah akan dapat diketahui dengan pasti


pemegang haknya, apakah perserorangan (warga negara Indonesia atau
orang asing yang berkedudukan di Indonesia), sekelompok orang secara
bersama-sama, atau badan hukum (badan hukum privat atau badan hukum
publik).
3. Kepastian objek hak.
Artinya dengan pendaftaran tanah akan dapat diketahui dengan pasti letak
tanah, batas-batas tanah dan ukuran (luas) tanah. Letak tanah berada di
jalan, kelurahan/desa, kecamatan, kabupaten/kota dan provinsi mana.
Batas-batas tanah meliputi sebelah utara, selatan, timur dan barat
berbatasan dengan tanah siapa atau tanah apa. Ukuran (luas) tanah dalam
bentuk meter persegi.

Tujuan dari pendaftaran tanah ini adalah sesuai dengan tugas pokok
lembaga pendaftaran tanah yaitu :28
1. Melaksanakan inventarisasi pertanahan lengkap di seluruh wilayah
Republik Indonesia dengan melaksanakan pengukuran dan pemetaan tanah
desa demi desa.
2. Menyelenggarakan pemberian tanda bukti hak sebagai jaminan kepastian
hukum atas tanah dengan melaksanakan pendaftaran tanah/ pendaftaran
hak atas tanah yang meliputi setiap peralihannya, penghapusannya dan
pembebanannya jika ada dengan memberikan tanda bukti berupa sertipikat
tanah.
3. Pemasukan, penghasilan keuangan negara dengan memungut biaya
pendaftaran hak atas tanah.
Manfaat Pendaftaran Tanah
Pihak-pihak yang memperoleh manfaat dengan diselenggarakan
pendaftaran tanah, adalah :29

28
Bachtiar Effendie, Pendaftaran Tanah di Indonesia Dan Peraturan Pelaksanaannya,
(Bandung : Alumni, 1983), hal. 20-21.

Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
26

1. Manfaat bagi pemegang hak.


a. Memberikan rasa aman
b. Dapat mengetahui dengan jelas data fisik dan data yuridisnya
c. Memudahkan dalam pelaksanaan peralihan hak
d. Harga tanah menjadi lebih tinggi
e. Dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan
f. Penetapan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tidak mudah keliru
2. Manfaat bagi Pemerintah
a. Akan terwujud tertib administrasi pertanahan sebagai salah satu program
Catur Tertib Pertanahan. Catur tertib pertanahan merupakan landasan
pokok kebijaksanaan pertanahan untuk menyusun program-program
penataan kembali penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah dengan
maksud untuk menciptakan suasana yang menjamin terlaksananya
pembangunan yang baik, yang ditangani oleh pemerintah maupun pihak
swasta, dengan meningkatkan jaminan kepastian hukum atas tanah,
kelancaran pelayanan di bidang agraria yang cepat, murah dan tepat agar
terjangkau oleh segenap lapisan masyarakat. Peningkatan daya guna
tanah agar dapat lebih banyak memberi manfaat dan kegunaan bagi
kehidupan bangsa serta peningkatan kualitas lingkungan hidup yang
dibarengi dengan usaha-usaha pengawetan sumber daya alam,
pencegahan pemborosan serta peningkatan kesadaran, tanggung jawab
dan cinta pada lingkungan hidup.30
b. Dapat memperlancar kegiatan Pemerintahan yang berkaitan dengan
tanah dalam pembangunan
c. Dapat mengurangi sengketa di bidang pertanahan, misalnya sengketa
batas-batas tanah, pendudukan tanah secara liar

29
Urip Santoso Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, ( Jakarta: Kencana, 2010 ), hal.
21.
30
R. Soeprapto, Undang-Undang Pokok Agraria Dalam Praktek, (Jakarta: Mitra Sari, 1986),
hal. 69.

Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
27

3. Manfaat bagi calon pembeli atau kreditor


Bagi calon pembeli atau calon kreditur dapat dengan mudah memperoleh
keterangan yang jelas mengenai data fisik dan data yuridis tanah yang akan
menjadi objek perbuatan hukum mengenai tanah.

Pendaftaran tanah diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional

(BPN) sedang pelaksanaan pendaftaran tanah dilakukan oleh Kepala Kantor

Pertanahan yang daerah kerjanya di Kabupaten dan Kota. Pelaksanaan

Pendaftaran Tanah meliputi:31

1. Pendaftaran pertama kali

Pendafataran tanah untuk pertama kali adalah kegiatan pendaftaran tanah

yang dilakukan terhadap objek pendaftaran tanah yang belum didaftar

berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang

Pendaftaran Tanah atau Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.

Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali meliputi meliputi:

a. Pengumpulan dan pengolahan data fisik

b. Pembuktian hak dan pembukuannya

c. Penerbitan sertifikat

d. Penyajian data fisik dan data yuridis

e. Penyimpanan daftar umum dan dokumen

2. Pemeliharaan data pendaftaran tanah.

Pemeliharaan data pendaftaran tanah adalah kegiatan pendaftaran tanah

untuk menyesuaikan data fisik dan data yuridis dalam peta pendaftaran,
31
Diktat Hukum Agraria, Garis Besar Hukum Tanah Indonesia Landasan Hukum
Penguasaan Dan Penggunaan Tanah, (Diktat), hal. 30

Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
28

daftar tanah, daftar nama, surat ukur, buku tanah, dan sertifikat dengan

perubahan-perubahan yang terjadi kemudian. Kegiatan pemeliharaan data

pendaftaran tanah meliputi:

a. Pendaftaran peralihan dan pembebanan hak.

b. Pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah lainnya.Pendaftaran

tanah untuk pertama kali dilaksanakan melalui pendaftaran tanah

secara sistematik dan sporadik. Adapun uraiannya adalah sebagai

berikut:

1) Pendaftaran tanah secara sistematik32

Pendaftaran tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran

tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang

meliputi semua objek pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam

wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan.

2) Pendaftaran tanah secara sporadik33

Pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran

tanah untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa objek

pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatau

desa/kelurahan secara individual atau massal. Dalam hal suatu

desa/kelurahan belum ditetapkan sebagai wilayah pendaftaran

secara sistematik, pendaftarannya dilaksanakan melalui

pendaftaran tanah secara sporadik. Pendaftaran tanah secara

sporadik dilaksanakan atas permintaan pihak yang berkepentingan.


32
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 , Pasal 1 butir 10
33
Ibid, Pasal 1 butir 11

Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
29

Adapun Objek dari Pendaftaran Tanah meliputi:34

1. Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha,

hak guna bangunan dan hak pakai.

2. Tanah hak pengelolaan.

3. Tanah wakaf

4. Hak milik atas satuan rumah susun.

5. Hak tanggungan.

6. Tanah Negara.

Sebagai tanda bukti bahwa bidang-bidang tanah tertentu yang telah

didaftarkan adalah dengan diterbitkannya sertifikat hak atas tanah. Sertifikat

adalah suatu tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2)

huruf c UUPA untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik

atas satuan rumah susun dan hak hak tanggungan yang masing-masing sudah

dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan. Dimana dalam sertifikat

terdapat. Data fisik adalah keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang

tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, termasuk keterangan mengenai

adanya bangunan atau bagian bangunan diatasnya. Yang dibuktikan dengan

Surat Ukur sedangkan data yuridis adalah keterangan mengenai status hukum

bidang tanah dan satuan rumah susun yang didaftar, pemegang haknya dan

hak pihak lain serta beban-beban lain yang membebaninya. dibuktikan dengan

buku tanah.

34
Ibid, Pasal 9

Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
30

Untuk memperoleh data fisik maupun data yuridis tersebut, maka perlu

kegiatan sebagai berikut:35

a. Kegiatan di bidang fisik mengenai tanahnya adalah untuk memperoleh

data mengenai letaknya, batas-batasnya dan luasnya, serta bangunan-

bangunan dan tanaman-tanaman penting di atasnya (data fisik).

Pengumpulan data fisik dimulai dengan penetapan letaknya, batas-

batasnya dengan disertai pemberian tanda batas disetiap sudutnya.

Kemudian diukur, dibuatkan petanya dan Surat Ukur sebagai alat bukti

letaknya, batas-batasnya dan luasnya. Setiap Surat Ukur diberi nomor urut

tahunan dan tahun penerbitannya.

b. Kegiatan di bidang yuridis dengan mengumpulkan data mengenai haknya,

pemegang hak dan ada atau tidaknya hak pihak lain yang membebannya

(data yuridis) Pengumpulan datanya menggunakan alat pembuktian berupa

dokumen/ surat-surat bukti tertulis. Data yuridis mengenai jenis hak dan

siapa pemegang haknya dicatat dalam buku tanah, yaitu daftar isian yang

mencatat data yuridis dan data fisik bidang tanah hak.

c. Selanjutnya diterbitkan sertifikat sabagai tanda bukti hak yang terdiri dari

salinan buku tanah dan surat ukur. Dincantumkan tanggal penerbitan

sertifikatnya.

Setiap kepemilikan suatu kebendaan harus disertai dengan alat bukti

yang konkrit, dan alat bukti yang lazim berlaku adalah bukti administratif,

bukti phisik, dan bukti yuridis, termasuk dalam kepemilikan tanah tanpa
35
Diktat Hukum Agraria, Diktat Hukum Agraria, Garis Besar Hukum Tanah Indonesia
Landasan Hukum Penguasaan Dan Penggunaan Tanah, (Diktat), hal. 31.

Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
31

adanya alat bukti yang syah, artinya bukti secara administratif dan yuridis,

maka seseorang yang memiliki tanah atau kebendaannya dianggap tidak

pernah ada. Kedudukan alat bukti terhadap tanah adalah:36

1. Sertifikat, merupakan alat bukti yang paling kuat tetapi tidak mutlak

terhadap kepemilikan suatu tanah dan surat yang disebut sertifikat ini

disebut alat bukti yang paling terkuat tetapi tidak mutlak artinya alat bukti

terkuat di antara alat bukti yang lainnya, dikatakan tidak mutlak karena

alat bukti sertifikat ini masih bisa dianggap tidak syah, apabila ada pihak

lain yang bisa membuktikan kebalikannya. Setelah diadu kekuatan dalam

pembuktiannya, maka bagi pemegang alat bukti yang paling lengkap serta

cara peralihan hak dan pembuatan alat buktinya melalui prosedur yang

semestinya, yang akan menang dalam kepemilikan, dan sebaliknya bagi

alat bukti atau sertifikat yang pembutannya tidak prosedural yang

dianggap kalah dalam pembuktian.

2. Akta merupakan alat bukti kepemilikan suatu benda. Untuk tanah akta ini

berupa akta peralihan hak termasuk akta jual beli, waris, hibah dan lain

sebagainy. Akta merupakan alat yang melalui proses Notaris/Pejabat

Pembuat Akta Tanah atau pejabat lain yang mempunyai wewenang

(dahulu Camat bisa bertindak sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah). Alat

bukti ini merupakan bukti terhadap kepemilikan tanah dan menjelaskan

sejarah peralihan hak atas tanah termasuk akta jual beli, akta waris, akta

36
Mudakir Iskandar Syah, Dasar-Dasar Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Umum.
(Jakarta: Jala Permata, 2007). Hal. 44.
.

Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
32

hibah dan sebagainya. Secara yuridis alat bukti ini juga sudah mempunyai

kekuatan hukum, akan tetapi tidak sekuat alat bukti yang dinamakan

sertifikat.

3. Alat bukti yang lain, seperti Girik, Petok dan sejenisnya, alat bukti

semacam ini termasuk alat bukti yang lemah, namun di Indonesia terutama

di daerah-daerah alat bukti semacam ini masih banyak diketemukan dan

dimiliki para pemilik tanah. Sedangkan surat PBB (Pajak Bumi dan

Bangunan), Ipeda (Iuran Pembangunan Daerah), Ireda (Iuran rehabilitasi

daerah) dan sejenisnya bukan merupakan alat bukti kepemilikan tanah

akan tetapi sebagai bukti pemilik benda dalam kaitan berkewajiban

membayar pajak.

Kaitannya antara alat bukti tanah dengan pembebasan tanah sangat erat

sekali, bahkan secara yuridis kepemilikan suatu benda tanpa disertai alat bukti

administratif dan yuridis maka kepemilikan terhadap suatu benda dianggap

tidak pernah ada.

2.2 TINJAUAN UMUM TENTANG HAK MILIK ATAS TANAH

2.2.1 Pengertian Hak Milik

Hak Milik menurut Undang-undang No. 5 Tahun 1960 Pasal 20 ayat (1)
adalah : hak turun temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang
atas tanah dengan mengingat ketentuan Pasal 6 UUPA yaitu mengenai fungsi
sosial hak atas tanah.

Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
33

Kata-kata terkuat dan terpenuh itu tidak berarti hak milik merupakan hak
yang mutlak dan tidak dapat diganggu gugat akan tetapi harus diingat bahwa
semua hak atas tanah termasuk hak milik mempunyai fungsi sosial
sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UUPA37.

Sifat terkuat dan terpenuh berarti yang paling kuat dan paling penuh,
berarti pula bahwa pemegang hak milik atau pemilik tanah itu mempunyai hak
untuk berbuat bebas, artinya boleh mengasingkan tanah miliknya kepada
pihak lain dengan jalan menjualnya, menghibahkan, menukarkan, dan
mewariskannya.

Semua hak atas tanah termasuk hak milik mempunyai fungsi sosial, ini
berarti bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang tidak
dibenarkan bahwa tanahnya itu akan dipergunakan semata-mata untuk
kepentingannya sendiri. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaan
dan sifat haknya, sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan dan kebahagiaan
yang punya maupun bermanfaat bagi masyarakat dan Negara. Tetapi dalam
pada itu ketentuan tersebut tidak berarti, bahwa kepentingan perseorangan
akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat) melainkan
antara keduanya harus seimbang, sehingga pada akhirnya akan tercapai tujuan
pokok kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya.
Berhubung dengan fungsi sosialnya, maka adalah suatu hal yang sewajarnya,
bahwa tanah itu harus dipelihara baik-baik, agar bertambah kesuburannya
serta dicegah kerusakannya.

2.2.2 Ciri-Ciri Hak Milik Atas Tanah

Hak milik memiliki ciri-ciri tertentu, yaitu sebagai berikut38 :

37
K. Wantjik Saleh, Hak Anda Atas Tanah, (Bandung : Ghalia Indonesia, 1985), hal : 23
38
Eddy Ruchiyat, Politik Pertanahan Nasional sampai Orde Reformasi,( Bandung : Alumni,
1999), hal. 52

Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
34

a. Merupakan hak atas tanah yang kuat, bahkan menurut Pasal 20 UUPA
adalah yang terkuat, artinya tidak mudah hapus dan mudah dipertahankan
terhadap gangguan pihak lain ;

b. Merupakan hak turun temurun dan dapat beralih, artinya dapat dialihkan
pada ahli waris yang berhak ;

c. Dapat menjadi hak induk, tetapi tidak dapat berinduk pada hak-hak atas
tanah lainnya. Berarti dapat dibebani dengan hak-hak atas tanah lainnya,
seperti Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Gadai, Hak Usaha
Bagi Hasil dan Hak Menumpang ;

d. Dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan;

e. Dapat dialihkan dengan cara ditukar, dijual, dihibahkan atau melalui


pewarisan ;

f. Dapat dilepaskan oleh yang punya sehingga tanahnya menjadi milik Negara;

g. Dapat diwakafkan ;

h. Si pemilik mempunyai hak untuk menuntut kembali di tangan siapapun


benda itu berada ;

2.2.3 Subyek Hak Milik

Ketentuan tentang siapa saja yang dapat mempunyai hak milik diatur
dalam Pasal 21 UUPA yaitu :

1. Hanya warga Negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik

2. Badan-badan hukum yang telah ditetapkan oleh Pemerintah.

3. Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh


hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena
perkawinan, demikian juga warga Negara Indonesia yang mempunyai hak
milik dan setelah berlakunya Undang-undang ini kehilangan

Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
35

kewarganegaraannya wajib melepaskan haknya itu dalam jangka waktu


satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya
kewarganegaraannya itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak
miliknya tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan
tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak
lain yang membebaninya tetap berlangsung.

4. Selama seseorang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai


kewarganegaraan asing maka ia tidak dapat mempunyai hak milik dan
baginya berlaku ketentuan dalam ayat (3) pasal ini.

Bahwa menurut ketentuan Pasal 21 UUPA tersebut, yang dapat memiliki


tanah dengan hak milik adalah WNI tunggal dan Badan-badan hukum yang
ditunjuk oleh Pemerintah seperti yang disebutkan dalam Peraturan
Pemerintah No. 38 Tahun 1963 tentang Penunjukan Badan-badan Hukum
yang dapat Mempunyai Hak Milik atas Tanah, yaitu39 :

a. Bank-bank yang didirikan oleh Negara (selanjutnya disebut Bank Negara)

b. Perkumpulan-perkumpulan Koperasi Pertanian yang didirikan berdasar


atas Undang-undang No. 79 Tahun 1958 (Lembaran Negara Tahun 1958
No. 139)

c. Badan-badan keagamaan, yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian/Agraria,


setelah mendengar Menteri Agama

2.2.4 Terjadinya Hak Milik Atas Tanah

Hak Milik dapat terjadi karena :

1. Ketentuan Hukum Adat tanah ditepi sungai pinggir laut. Pertumbuhan


ini menciptakan tanah baru Menurut hukum adat, hak milik dapat
terjadi karena proses pertumbuhan yang disebut lidah tanah. Lidah
39
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah,
(Jakarta :Djambatan, 2006), hal. 13

Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
36

tanah ini biasanya menjadi milik yang mempunyai tanah yang


berbatasan. Selain itu dapat terjadi karena pembukaan tanah, misalnya
yang semula hutan, dibuka atau dikerjakan oleh seseorang kemudian
tercipta hak pakai. Sehingga hak pakai ini lama kelamaan bisa tumbuh
menjadi hak milik.

2. Ketentuan Undang-undang

Menurut ketentuan konversi menurut UUPA, sejak tanggal 24


September1960, semua hak-hak atas tanah yang ada, diubah jadi salah
satu hak baru. Perubahan ini disebut Konversi.

Hak-hak atas tanah yang dikonversi menjadi hak milik adalah yang
berasal40 :

a. Hak eigendom kepunyaan badan-badan hukum yang memenuhi


syarat yaitu badan hukum yang ditunjuk oleh Pemerintah seperti
yang diatur dalam PP No 38 Tahun 1963

b. Hak eigendom yang pada tanggal 24 September 1960, dipunyai oleh


WNI tunggal dan dalam waktu 6 bulan datang membuktikan
kewarganegaraannya

c. Hak milik Indonesia dan hak-hak semacam itu, yang pada tanggal
24 September 1960, dipunyai WNI atau badan hukum yang
mempunyai syarat sebagai subyek hak milik

d. Hak Golongan yang bersifat tetap

3. Penetapan Pemerintah

40
Effendi Perangin, Hukum Agraria di Indonesia, Suatu Telaah dari Sudut Pandang Praktisi
Hukum,(Jakarta : CV. Rajawali, 1986), hal. 243

Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
37

Pemerintah memberikan hak milik atas tanah secara langsung dari


tanah yang dikuasai oleh Negara, berdasarkan suatu permohonan.
Selain memberikan hak milik yang baru sama sekali, juga dapat
memberikan hak milik berdasarkan perubahan suatu hak yang sudah
ada, umpamanya Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak
Pakai.41 Pemberian Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai
yang berasal dari tanah yang langsung dikuasai oleh Negara (tanah
Negara) dilakukan dengan Penetapan Pemerintah dengan
mengeluarkan Surat Keputusan Pemberian Hak Atas Tanah (SKPH).

2.2.5 Hapusnya Hak Milik Atas Tanah

Suatu hak milik dapat hapus, artinya dapat hilang atau terlepas dari yang
berhak atasnya, seperti yang ditentukan dalam Pasal 27 UUPA, karena

a. Tanahnya jatuh pada Negara, karena :

1) Pencabutan hak

2) Penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya

3) Ditelantarkan

4) Ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (2) yaitu jatuh kepada

orang asing, berkewarganegaraan rangkap atau badan hukum.

b. Tanahnya musnah

2.3 HIRARKI PERUNDANG UNDANGAN

Hans Kelsen (1881-1973), pemuka kaum positivism berpendirian bahwa


hukum itu adalah peraturan perundang-undangan yang tertulis. Dalam
kaitannya dengan hierarki norma hukum, Hans Kelsen mengemukakan

41
Djoko Prakoso dan Budiman Adi Purwanto, Eksistensi Prona sebagai Pelaksanaan
Mekanisme Fungsi Agraria, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1985), hal. 11

Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
38

Stufentheorie mengenai jenjang norma hukum, dimana ia berpendapat bahwa


norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu
hierarki tata susunan. Suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan
berdasar pada norma yang lebih tinggi; norma yang lebih tinggi berlaku,
bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi. Demikian
seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut
dan bersifat hipotetis dan fiktif, yaitu Norma Dasar (Grundnorm). 42

Demi kepastian hukum, suatu undang-undang tidak boleh bertentangan


denganundang-undang lainnya dan suatu peraturan tidak boleh bertentangan
dengan peraturan baik yang diatas, maupun dengan peraturan yang
disampingnya. Indonesia sebagai negara Civil Law menekankan hukum itu
pada peraturan perundang-undangan, bukan pada keputusan hakim seperti
negara-negara Common Law (Inggris dan Amerika Serikat).43

Selanjutnya Nawiasky sebagai murid Hans Kelsen mengembangkan


teori berjenjang dengan menyebut Theorie stufenaufbau de rechtsordnung

dengan mengelompokkan 4norma hukum diantaranya44 :

1. Staatsfundamental norm diartikan pokok kaidah Negara fundamental.

2. Staatsgrundgesetze, yaitu aturan aturan dasar Negara atau aturan-aturan


Negara yang masih bersifat pokok.

42
Erman Rajagukguk Judicial Review Peraturan Menteri: PenerapanStufentheorie
http://ermanhukum.com/Makalah%20ER%20pdf/JUDICIAL%20REVIEW%20PERATURAN%2
0MENTERI.pdf diunduh 3 Januari 2012.
43
Ibid.
44
Mustafa Modul 9 Konsep Dasar Politik Dan Pemerintahan
mustofacayo.files.wordpress.com/2011/06/kelompok-5.pdf diundauh 5 januari20112

Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
39

3. Formelle gesetze, yaitu merupakan undang-undang dalam arti formal


yang sudah ada sanksi dan pemaksaan.

4. Verordnungen & autonome satzungen yaitu peraturan pelaksanaan dan


peraturan-peraturan otonom yang sifatnya delegasian.

Teori-teori hierarki diatas tersebut di implementasikan dalam TAP


MPRS No.XX/MPRS/1966 jo TAP MPR No. V/MPR/1973. Adapun jenis dan
hirarki dimaksud sebagai berikut :

1. UUD 1945

2. TAP MPR

3. UU/PERPU

4. Peraturan Pemerintah

5. Keputusan Presiden

6. Peraturan pelaksana lainnya yang meliputi Peraturan menteri, instruksi


menteri dan lain-lain.

Selanjutnya setelah reformasi berdasarkan TAP MPR Nomor


III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-

Undangan jenis peraturan perundang-undangan adalah:

1. Undang-Undang Dasar 1945;

2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia;

3. Undang-undang;

4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu);

5. Peraturan Pemerintah;

6. Keputusan Presiden;

Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
40

7. Peraturan Daerah.

TAP MPR Nomor III/MPR/2000 diatas melalui Undang-Undang Nomor


10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan
mengalami perubahan lagi. Menurut Pasal 7 UU No. 10 tahun 2004 jenis
dan hirarki peraturan perundnag-undangan sebagai berikut:

1. Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai


berikut:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;

c. Peraturan Pemerintah;

d. Peraturan Presiden;

e. Peraturan Daerah.

(2) Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e meliputi:

a. Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat


daerah provinsi bersama dengan gubernur;

b. Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan


rakyat daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota;

c. Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan


perwakilan desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa
atau nama lainnya.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan Peraturan


Desa/peraturan yang setingkat diatur dengan Perataran Daerah
kabupaten/kota yang bersangkutan.

(4) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada


ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum

Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
41

mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan


yang lebih tinggi.

(5) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan


hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Dalam hal ini yang dimaksud sebagai Staatsfundamental norm dalam


tata urutan (hierarki) peratuan di Indonesia yakni Pancasila dan pembukaan
Undang Undang Dasar 1945 hal ini selaras dengan ketentua dari Pasal 2 UU
No. 10 tahun 2004 bahwa: Pancasila merupakan sumber dari segala sumber
hukum negara. Sedangkan yang dimaksud sebagai Staatsgrundgesetze adalah
batang tubuh (pasal-pasal) dalam Undang Undang Dasar 1945, dapat dilihat
dalam Pasal 3 ayat 1 UU No. 10 tahun 2004, bahwa: Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan hukum dasar dalam
Peraturan Perundang-undangan.45

Kaitannya dengan Staatsfundamental norm terhadap UUPA, adalah


UUPA menjadikan Pancasila sebagai landasan filosofisnya dapat dilihat dalam
pembukan Undang Undang 1945 merupakan sumber dari motivasi dan
aspirasi perjuangan dan tekad bangsa Indonesia, yang merupakan sumber dari
cita hukum dan cita moral yang ingin ditegakkan baik dalam lingkungan
nasional, Maupin dalam hubungan pergaulan bangsa-bangsa di dunia.
Pembukaan yang telah dirumuskan secara padat dan khidmat dalamempat
alineaitu, setiap alenia dan kata-katanya mengandung arti dan makna yang
sangat dalam, mempunyai nilai-nilai yang universal dan lestari. Universal,
karena mengandung nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh bangsa-bangsa
beradab diseluruh muka bumi; lestari, karena mampu menamoung dinamika
masyarakat, dan akan tetap menjadi landasan perjuangan bangsa dan Negara

45
R. Herlambang Perdana Wiratraman HierarkiPeraturan
www.scribd.com/doc/49448334/herlambang-hirarki-peraturan diunduh 5 Januari 2012

Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
42

selama bangsa Indonesia tetap setia kepada Negara proklamasi 17 Agustus


194546.

Adapun penjabaran Sila-sila Pancasila dalam UUPA sebagai berikut47 :

1. Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa

Dasar Ketuhanan Yang Maha Esa jelas dirumuskan dalam pasal 1 ayat 2,
yang bunyinya sebagai berikut :

Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang
terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai
karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air, dan ruang angkasa
bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.

Pernyataan tersebut, yang sering kali kurang diperhatikan oleh umum yang
membaca UUPA, sesungguhnya, bersama-sama denganapa yang
tercantumdalam ayat 1 dan 3, mengandung makna yang sangat mendalam.
Ia serta mengantarkan kita kedalam suasana keagamaan hukum tanah
nasional kita, yang juga merupakan kekhasan hukum adat. Konsepsi
komunalistik-religius, kebangsaan, wawasan nusantara, semangat
persatuan dankesatuan tampak jelas tampak jelas tersurat dan tersirat di
dalamnya,yang semuanya mempengaruhi serta terwujud dalam isi
rumusan pasal-pasal UUPA selanjutnya.

Suasana keagamaan ini terwaujud penjelmaannya dalam pasal 14 dan 49.


Pasal 14 ayat 1 menugaskan pemerintah untuk membuat rencana umum
mengenai persediaan,peruntukan, dan penggunaan tanah, yang antara lain
meliputi juga tanah; untuk keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan
suci lainnya, sesuai dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa.

46
Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum (Jakarta: Lembaga
Pemberdayaan Hukum Indaonesia, 2005), hal. 2.
47
Ibid. hal. 3.

Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
43

Sedangkan dalam pasal 49, yang terdapat tentang hak-hak atas tanah untuk
keperluan suci dan sosial, diakui dan dilindungihak milik tanah badan-
badan keagamaan. Badan-badan keagamaan dijaminpula akan perolehan
tanah yang cukup untuk membangun dan usahanya dalam bidang
keagamaan. Dalam ayat 2 nya Untuk keperluan peribadatan dan keperluan
suci lainnya akan diberikan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara
dengan hak pakai.

2. Dasar Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradap

Pasal-pasal UUPA yang merupakan perwujudan dari dasar kemanusiaan


yang adil dan beradap adalah anatara lain pasal 10 yang menyatakan,
bahwa kewajiban untuk mengerjakan atau mengusahakan sendiri sendir
secara aktif tanah pertanian yang dipunyai seseorng atau badan hukum
harus dilakukan dengan mencegah cara-cara pemerasan.

Dalam hubungan ini Penjelasan Umum II angka 7 menyatakan bahwa:


mengingat akan susunan masyarakat pertanian kita sebagai sekarang ini,
kiranya untuk sementara waktu yang akan dating, masih perlu dibuka
kemungkinan adanyaq penggunaan tanah pertanian oleh orang-orang yang
bukan pemiliknya, misalnya secara sewa, bagi hasil, gadai, dan
sebagainya. Tetapi segala sesuatu harus diselenggarakan menurut
ketentuaan-ketentuan undang-undang dan peraturan-peraturan lainnya,
yaitu untukmencegah hubungan-hubungan, hukum yang bersifat
penindasan silemah oleh si kuat (pasal 24, 41, 53). Begitulah misalnya
pemakaian atas dasar sewa, perjanjian bagi hasil, gadai dan sebagainya
tidak boleh diserahkan pada persesetujuan pihak-pihak yang
berkepentingan sendiri atas dasar freefight, akan tetapi penguasa akan
memberikan ketentuan-ketentuan tentang cara dan syarat-syaratnya, agar
dapat memenuhi pertimbangan keadilan dan dicegah cara-cara pemerasan.

Demikian juga pasal 11 ayat 1 merupakan perwujudan dari dasar


perikemanusiaan. Pasal ini mewajibkan penguasa untuk mengatur

Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
44

hubungan hukum dengan tanah, agar dapat dicapai tujuan yang disebut
dalam pasal 1 ayat 2 dan dicegah penguasaan atas kehidupan dan
pekerjaan orang lain yang melampaui batas.

3. Dasar Persatuan Indonesia

Dasar Persatuan Indonesia atau wawasan kebangsaan, yang dalam


Penjelasan Umum disebut dasar kenasionalan, tampak selain dari
ketentuan ayat 2, terutama dari apa yang dinyattakan dala ayat 1, yaitu
bahwa: Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah-air dari seluruh
rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.

Sesuai dengan dasar kebangsaan tersebut pada pasal 1 maka dalam pasal 9
ayat 1 dinyatakan, bahwa: hanya warganegara Indonesia dapat mempunyai
hubungan yang sepenuhnyadengan bumi, air dan ruang angkasa, dalam
batas-batas ketenytuan pasal 1dan 2. Pernyataan dasar tersebut mendapat
penerapan dalam pasal-pasal yang mengatur hak milik atas tanah, sebagai
hak yang memberikan hubungan yang terpenuh dengan tanah. Menurut
pasal 21 ayat 1 hanya warganegara Indonesia dapat mempunyai hak milik.

Orang asing dan badan-badan hukum pada dasarnya tidak dapat


menguasai tanah menguasai tanah dengan hak milik dalam hal-hal tertentu
orang asing dimungkinkan memperoleh tanah hak milik dan itu pun
dibatasi hanya selama 1 tahun ( pasal 21 ayat 3). Juga hanya sebagai
perkecualian suatu badan hum tertentu diperbolehkan mempunyai tanah
dengan hak milik (pasal 21 ayat 2).

ketentuan mengadakan perbedaan antara warganegara Indonesia dengan


orang asing dalam pemilikan tanah adalah sesuai dengan apa yang kita
ketahui dari hukum adat. Dari segi hukum pedata internasional,
pembatasan hak-hak oeng asing atas tanah dapat dipertanggung jawabkan.
Tampaknya ada kesepakatan universal, bahwa suatu Negara diperbolehkan
tidak mengizinkan orang-orang lain selain warganegaranya sendiri untuk
memperoleh benda-benda tetap di wilayah kekuasaannya. Keistimewaan

Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
45

yang diberikan kepada orang asing untuk berparti sipasi dalam kehidupan
ekonomi Negara dimana ia bertempat tinggal, tidak sampai meliputi
pemilikan semua benda-benda tertentu, baik benda-benda bergerak
maupun benda-benda tetap.

Bukan hanya hak milik yang tidak dapat dipunyai oleh orang-orang asing,
lelainkan juga hak guna usaha dan hak guna bangunan (pasal 30 dan 36).
Sesuai dengan ketentuan hukum adat, orang asing hanya dapat menguasai
tanah dengan hak pakai, jika ia benar-benar berkedudukan di(dalam arti
menjadi penduduk) Indonesia (pasal42), atas dasar pertimbangan bahwa
ini hanya member wewenang yang terbatas(penjelasan pasal 42).

4. Dasar Demokrasi atau Kerakyatan

Dasar demokrasi atau kerakyatan ditunjukan oleh pernyataan dalam pasal


9 ayat 2, bahwa: tiap-tiap warganegara, baik laki-laki maupun wanita
mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas
tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri
maupun keluarganya.

Penjelasan pasal 9 ayat 2 menghubungkan pernyattan tersebut dengan


ketentuan dalam pasal 1 ayat 1 dan 2, yang mendasari konsepsi
komunalistik hukum pertanahan nasional. Dasar de,okrasi hukum tanah
nasional tampak jugadari ketentuan, bahwa dalam penguasaan tanah tidak
diadakan perbedaan lagi antara warganegara pribumi dan non-pribumi dan
antara warganegara laki-laki dan perempuan.

Ditiadakannya perbedaan lagi antara warganegara pribumi dan non-


pribumiadalah sesuai dengan saran panitia-panitia agrarian, sejak panitia
agrarian jakartadulu. Selanjutnya perbedaan diadakan antara warganegara
Indonesia dan orang asing. Diantar warganegara dibedakan antara
golongan yang ekonomi lemah dan ekonomi kuat (pasal 11, 15 dan 26 ayat
1).

Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
46

5. Dasar Keadilan Sosial

a. Perlindungan Bagi Golongan Ekonomi Lemah

Perwujudan dasar keadilan sosial dapat kita temukan dalam pasal 11


ayat 2, 13, 15 dan pasal-pasal yang mengatur landreform, yaitu pasal
7, 10, 17 dan 53.

Dalam ketentuan pasal 11 ayat 2 dinyatakan, bahwa dalam


mengadakan kesatuan dan peraturan di bidang hukum yang mengatur
pertanahan, dimana perlu dan tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional, harus diperhatikan perbedaankeadaan masyarakat dan
keperluan golongan rakyat, tetapi dengan menjamin perlindungan
terhadap kepentingan golongan ekonomi lemah. Golongan ekonomi
lemah tersebut, bias warganegara asli maupun keturunan asing.
Demikian pula sebaliknya. Demikian penjelasan pasal 11 tersebut

Ketentuan pala 13 ayat 4 oleh penjelasannya disebut sebagai


pelaksanaan daripada asas keadilan sosial yang berprikemanusiaan
dalam bisang agrarian. Dinyatakan dalam pasal tersebut, bahwa:
pemerintah berusaha untuk memajukan kepastian dan jaminan sosial,
termasuk bidang perburuhan, dalam usaha-usaha di lapangan agrarian.

Dalam pasal 15juga terdapat penerapandari asa tersebut. Dalam


melaksanakan keawjiban memelihara tanah, akan akan diperhatikan
kepentingan pihak ekonomi lemah, demikian penjelasan umum angka
II 4.

b. Pasal-Pasal Landreform

Landreform bertujuanuntuk meningkatkan dan meratakan


kemakmuran. Khususnya di kalangan petani, dengan meratakan
pemilikan dan penguasaan tanah serta dengan memperbaiki
persyaratan-persyaratan dalam pengusahaan tanah oleh para penggarap
tanag kepunyaan pihak lain. Pasal 10, 7, 17 dan 53 merupakan

Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
47

ketentuan-ketentuan dasar melaksanakan landreform di Indonesia.


Semuanya dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.

Dinyatakan dalam Penjelasan Umum II/7, bhwa: dalam pasal 10 ayat 1


dan 2 dirumuskan suatu asa pada dewasa ini (tahun 1960), sedang
menjadi dasar daripada perubahan-perubahan dalam struktur
pertanahan hamper diseluruh dunia, yaitu Negara-negara yang
telah/sedang menyelengarakan apa yang disebut landrefrom

Atau agraria reform, yaitu bahwa Tanah pertanian harus dikerjakan


atau diusahakan secara aktif oleh pemiliknya sendiri. Agar supaya
semboyan ini dapat diwujudkan perlu diadakan ketentuan-ketentuan
lainnya. Misalnya perlu ada ketentuan tentang batas minimum luas
tanah yng harus dimiliki oleh tani, supaya mendapat penghasilan yang
cukup untuk hidup layak bagi diri diri sendiridan keluarganya ( pasal
13 jo pasal 17). Perlu pula ketentuan mengenai batas maksimum luas
tanah yang boleh dipunyai dengan hak milik pasal 17, agar dicegah
tertumpuknya tanah ditangan golongan-golongan yang tertentu saja.
Dalam hubungan ini pasal 7 memuat suatu asa yang penting, yaitu
bahwa pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak
diperkenankan, karena hal yang demikian itu adalah merugikan
kepentingan umum.

Undang Undang Dasar 1945 merupakan landasan hukum pertanahan,


adapun UUPA sebagai pelaksanaan dari Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945
adalah salah satu hal yang sudah semestinya, karena pasal 33 ini terutama ayat
3 nya merupakan dasar hukum yang utama dari hukum tanah (Hukum
Agraria). Ketentuan yang sama juga termuat dalam pasal 38 Undang Undang
Dasar 1950 yang berbunyi48 :

48
Ibid. hal. 11.

Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
48

Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat

Penjelasan pasal 33 Undang Undang Dasar tersebut menyebutkan


sebagai berikut :

Dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan


oleh semua, untuk semua dibawah pimpinan atau penilikan angota-anggota
masyarakat, kemakmuran masyarakat yang diutamakan, bukan kemakmuran
orang seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu
ialah koperasi. Perekonomian bedasar atas demokrasi, kemakmuran bagi
segala orang. Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan
yang menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh Negara. Kalau tidak,
tampuk produksi jatuh ketangan orang orang seorang yang berkuasa dan
rakyat yang banyak ditindasnya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai
hajat hidup orang banyak boleh ditangan orang seorang.

Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-
pokok kemakmuran rakyat.sebab itu harus dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (LN 1959-75)

Penfsiran Hukum
Menurut teori penafsiran hukum ada beberapa macam penafsiran, antar
49
lain

1. Penafsiran tata bahasa

49
C.S.T.Kansil,Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia (Jakarta, Balai Pustaka,
1989), hal. 66

Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
49

Yaitu penafsiran berdasarkan pada bunyi ketentuan undang-undang,


dengan berpedoman pada arti perkataan-perkataan dalam hubungan nya
satu sama lain dalam kalimat-kalimat yang dipakai oleh undang-undang.
Artinya yang dianut semata-mata arti perkataan menurut tata bahasa atau
kebiasaan, yakni arti dalam pemakaian sehari-hari.

2. Penafsiran sahih ( autentik atau resmi)

Ialah penafsiran yang pasti terhadap arti kata-kata itu sebagaimana yang
diberikan oleh pembentuk undang-undang.

3. Penafsiran historis, yaitu :

a. Sejarah hukumnya, yang diselidiki maksudnya berdasarkan sejarah


terjadinya hukum tersebut. Sejarah terjadinya hukum dapat
diselidiki dari memori penjelasan, laporan-laporan perdebatan
dalam DPR dan surat menyurat antara menteri dengan komisi DPR
bersangkutan.

b. Sejarah undang-undangnya, yang diselidiki adalah maksud dari


pembentuk undang-undang pada waktu membuat undang-undang
tersebut.

4. Penafsiran sistematis (dogmatis)

Penafsiran memiliki susunan yang berhubungan dengan pasal-pasal


lainnya dalam undang-undang itu maupun dengan undang-undang yang
lain.

5. Penafsiran nasional

Ialah penafsiran menilik sesuai tidaknya dengan sistim hukum yang


berlaku.

6. Penafsiran teleologis (sosiologis)

Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
50

Penafsiran dengan mengingat maksud dan tujuan undang-undang itu, hal


ini penting disebabkan kebutuhan-kebutuhan yang berubah menurut masa
sedangkan bunyi undang-undang tetap sama saja.

7. Penafsiran ekstensif

Memberikan tafsiran dengan memperluas arti kata-kata dalam peraturan


itu sehinngga sesuatu peristiwa dapat dimasukkan seperti listrik termasuk
juga benda.

8. Penafsiran restriktif

Ialah penafsiran dengan membatasi (mempersempit) arti kata-kata dalam


peraturan itu.

9. Penafsiran analogis

Ialah member tafsiran pada suatu peraturan hukum dengan member ibarat
(kiyas) pada kata-kata tersebut sesuai dengan asa hukumnya sehingga
suatu peristiwa sebenarnya tidak dapat dimasukkan lalu dianggap sesuai
dengan bunyi peraturan tersebut, misalnya menyambung aliran listrik
dianggap sama dengan mengambil aliran listrik

10. Penafsiran a contrario (menurut pengingkaran)

Ialah suatu cara menafsirkan undang-undang yang didasarkan pada


perlawanan pengertian antara soal yang dihadapi dengan soal yang diatur
Dalam suatu pasal undang-undang. Dengan berdasarkan perlawanan
pengertian itu ditarik kesimpulan bahwa soal yang dihadapi itu tidak
meliputi pasal yang termasuk atau dengan kata lain berbeda diluar pasal
tersebut.

2.4 BATAS KEPEMILIKAN TANAH HAK MILIK NON PERTANIAN


YANG DIPERBOLEHKAN MENURUT KETENTUAN HUKUM
PERTANAHAN NASIONAL

Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
51

Tanah sebagai suatu sumber yang sangat amat vital bagi manusia, bagi
kelangsungan hidup dan penghidupan bangsa dalam mencapai sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat yang terbagi secara adil dan merata, maka tanah
adalah untuk diusahakan atau digunakan bagi pemenuhan kebutuhan yang
nyata.

Bangsa Indonesia sebagai suatu Negara yang memiliki wilayah yang


sangat luas. Yaitu luas keluruhanya mencapai kurang lebih 7.947.113 km2
yang terdiri dari 1.826.440 km2 daratan atau jika dipersentasekan adalah
22.98% dan 6.120.673 km2 lautan atau jika dipersentasekan adalah 77.02%,
dimana data tersebut bersumber dari UNEP (United Nations Environment
Program) tahun 2003.50 Dengan wilayah yang luas tersebut dapat kita banyang
betapa kayanya negeri kita, hal tersebut pula yang mendorong para bangsa
kolonial menjajah kita.

Hal tersebut tersebut diatas disadari oleh para pendiri bangsa kita
sehinga mengenai hal kekayaan alam bangsa kita tak luput dari perhatiannya,
hal ini dapat kita liat pada isi konstitusi kita yaitu pada batang tubuh Undang
Undang Dasar 1945 yakni pada pasal 33 ayat 3 yang berbunyi sebagai
berikut:

Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat51.

Sebagai hukum dasar, maka Undang Undang dasar 1945 merupakan


sumber hukum. Setiap peroduk hukum seperti UUPA dan peraturan
pemerintah dan ketentuan lain yang berada di bawahnya yang melaksanakanya

50
KADIN BatamEkonomi Lintas Batas www.kadinbatam.or.id/imu/elb.pdf diunduh 30
Desember 2011.
51
Indonesia, Undang Undang Dasar 1945, Ps 33 ayat (3).

Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
52

harus baerdasarkankepada aturan yang lebih tinggi yang pada akhirnya dapat
dipertanggung jawabkan pada ketentuan Undang Undang 1945.52

Dalam kedudukan Undang Undang dasar 1945 sebagai norma hukum


menempati kedudukan tertinggi, ia juga mempunyai fungsi kontrol, apakah
setiap undang-undang termasuk UUPA dan peraturan tunanya sebagai produk
hukum yan lebih rendahsesuai atau tidak dengan ketentuan Undang Undang
Dasar 1945. Jika ditinjau dari prespektif Hukum Tata Negara, baik dari sudut
tata cara pembentukannya, maupun dari sudut materi yang di aturnya yang
melaksanakan lebih lanjut ketentuan yang lebih tinggi, maka tidak ada alasan
untuk meragukan keabsahannya sebagai undang-undang organik.53

Hubungan Undang Undang dasar 1945 pasal 33 ayat 3 terhadap


pembatasan maksimum kepemilikan tanah, dalam hal ini tanah hak milik non
pertanian dalam UUPA dapat dilihat pada pasal Pasal 2 ayat 3 UUPA yang
menjelaskan mengenai wewenang yang bersumber pada hak menguasai
Negara yaitu :

1. Mengatur dan menyelenggarakan, peruntukan, penggunaan, persediaan,


dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dan perbuatan-perbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang
angkasa54

Berdasarka hak menguasai Negara diatas maka hal tersebut digunakan


untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan,
52
Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum (Jakarta: Lembaga
Pemberdayaan Hukum Indaonesia, 2005), hal. 10.
53
Ibid.
54
Indonesia, Undang Undang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, No. 5 tahun 1960, Ps.2.
54
Ibid.

Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
53

kesejahteraan dan kemerdekaaan dalam masyarakat dan Negara hukum


Indonesia yang merdeka,berdaulat adil dan makmur.55

Sehingga agar dapat menciptakan Negara hukum Indonesia yang


merdeka,berdaulat adil dan makmur maka perlu diadakan pembatasan
terhadap kepemilikan tanah, agar tanah tidak tertumpuk di sautu pihak atau
golongan sehinggga dapat mengakibat kan monopoli dalam bidang
pertanahan. Monopoli di bidang pertanahan inilah yang dapat menimbulkan
kesenjangan terhadap suatu golongan dengan golongan lain atau si ekonomi
lemah dengan ekonomi kuat.

Pembatasan kepemilikan tanah khususnya tanah non pertanian ini sudah


disadari betul oleh para pembentuk UUPA, selain sebagaimana yang telah
diamatkan dalam Pancasila terutama pada sila kelima mengenai dasar keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan juga dalam Pasal 33 Ayat 3 Undang
Undang Dasar 1945.

Rumusan mengenai hal pembatasan tanah dalam UUPA dapat di lihat


pada pasal 7 menyatakan agar tidak merugikan kepentingan umum sehingga
pemilikan penguasaan tanah tidak boleh melampaui batas yang di
perkenankan. Dalam penjelasannya menyebutkan bahwa pasal 7 ini
menegasakan bahwa adanya larangan groot-grondbezit dan ketentuan atau
asas ini tidak memiliki pengecualian.

Mengengenai pembatasan yang diatur dalam pasal 7 tersebut lebih lanjut


diatur dalam pasal 17 UUPA, yang menyatakan bahwa pasal 17 ini merupakan
pelaksanaan dari ketentuan asas dalam pasal 7. Dalam pasal 17 ayat 1
berbunyi bahwa untuk mewujudkan ketentuan pasal 7 untuk mengatur luas
maksimum tanah yang boleh dimiliki oleh dengan sesuatu hak yang diatur
dalam pasal 16 UUPA oleh satu keluarga atau badan hukum. Dalam ayat 2
nya berbunyi penetapan batas maksimum yang dimaksud dalam ayat 1
dilakukukan denganperaturan perundangan di dalam waktu yang singkat.

Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
54

Implementsasi dari gagasab pasal 7 dan pasal 17 UUPA ini adalah


Undang Undang No. 56 Prp Tahun 1960 yang merupakan hasil musyawarah
cabinet kerja pada tanggal 28 Desember 1960 yang kemudian disahkan pada
tanggal 29 Desember 1960 dan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1961.

Undang Undang No. 56 Prp Tahun 1960 mengatur mengenai penetapan


luas tanah pertanian, dalam peraturan ini ditetap kan batas maksimal mengenai
tanah pertanian yang dapat dimiliki oleh suatu keluarga bati, luas tanah yang
dapat dikuasai atau dimiliki besarnya tergantung kategori yang di tentukan
oleh Undang Undang No. 56 Prp Tahun 1960, artinya tergantung keriteria
tanannya sawah atau tanah kering. Jumlah penguasaaan menurut Undang
Undang No. 56 Prp Tahun 1960 selain berdasarkan kereteria tanah juga diatur
berdasarkan katergori daerah atau wilayahnya, dalam arti daereah tersebut
padat atau tidak padat.

Dalam pasal 12 Undang Undang No. 56 Prp Tahun 1960 menyetbutkan


bahwa pembatasan dan jumlah tanah untuk perumahan dan pembangunan
lainya akan diatur pelaksanaannya dalam peraturan pemerintah. Dalam
penjelasan pasal 12 Undang Undang No. 56 Prp Tahun 1960 ini dapat
diketahui mengapa tanah pertanian yang diatur terlebih dahulu di bandingkan
dengan tanah-tanah lainnya, yakni karena dianggap pengaturan terhadap
pembatasan tanag pertanian lebih penting dibandingkan tanah perumahan dan
lainnya, sebab tanah pertanian menyangkut banyak orang sehingga hal
tersebut tidak bertentangan dengan pasal 17 UUPA.

Mengenai peraturan pembatasan tanah hak milik non pertanian pada


awalnya di atur dalam Surat Keputusan No. 59/DDA/1970 mengenai
penyederhanaan peraturan perizinan pemindahan hak atas tanah, yang
merupakan perubahabahan dari ketentuan Peraturan Menteri Agraria
No.14/1961. Walaupun aturan ini tidak dapat dikatanya sebagai pengaturan
pembatasan tanah hak milik non pertanian secara komperhensif dan utuh.
Artinya dalam Surat Keputusan No. 59/DDA/1970 tidak hanya mengatur

Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
55

mengenai tanah hak milik non pertanian saja,tetapi juga pengatur tanah
dengan hak lainnya juga.

Dikatakan bersifat membatasi dikarenakan dalam pasal 2 ayat 2 Surat


Keputusan No. 59/DDA/1970 menerangkan bahwa seseorang (keluarga bati)
hanya dapat memiliki 5 bidang tanah dan jika ingin memiliki bidang keemam
dan seterusnya maka harus meminta izin kepada kantor pertanahan. Terhadap
ketentuan 5 bidang yang diatur dalam Surat Keputusan No. 59/DDA/1970
penguasannya berupa macam-macam hak, tidak hanya tanah hak milik saja
melainkan seluruh hak tanah yang dimiliki. Sebenarnya ide dari Surat
Keputusan No. 59/DDA/1970 sudah dapat dikatakan baik tetapi ada celah
yang menlunturkan esensi mengenai pembatasan tanah tersebut, yaitu
mengenai izin yang harus dimintakan apabila seseorang (keluarga bati)ingin
memiliki bidang tanah keeman dan seterusnya.

Dengan kata lain bahwa Surat Keputusan No. 59/DDA/1970 disatu sisi
ingin membatasi tetapi disisi yang lain memberikan kesempatan untuk
seseorang (keluarga bati) memiliki tanah sebanyak-banyaknya, selama izin
yang dimintakan selalu disetujui oleh kantor pertanahan, Jika dikaitkan
dengan pasal 7 UUPA maka apa yang di atur dalam Surat Keputusan No.
59/DDA/1970 adalah bertentangan, karena dampak dari pemberian atau
kesempatan/peluang yang di berikan oleh pemberian izin tersebut.

Seiring berjalannya waktu Surat Keputusan No. 59/DDA/1970 dicabut


atau tidak berlaku lagi berdasarkan pasal 196 PMNA/KBPN No.3 Tahun
1997 Tentang Ketentuan Pelaksana Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah. Setelah dicabutnya Surat Keputusan No.
59/DDA/1970 maka saatini yang dapat dikategorikan sebagai peraturan
mengenai pembatasan tanah hak milik non pertanian adalah Keputusan KBPN
No. 6 Tahun 1998 tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah
tinggal.

Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
56

Keputusan KBPN No. 6 Tahun 1998 tentang Pemberian Hak Milik Atas
Tanah Untuk Rumah tinggal, yang mulai berlaku pada tanggal 26 juni 1998,
yang terdiri dari 4 pasal pada pokoknya mengaur mengenai peningkatan hak.
Yaitu mengatur mengenai hak guna bangunan atau hak pakai atas tanah untuk
rumah tinggal kepunyaan perseorangan warganegara Indonesia yang luasnya
600 m2 atau kurang, atas permohonan yang bersangkutan dihapus dan
diberikan kembali bekas pemegang haknya dengan hak milik.56

Tanah hak guna bangunan atau hak pakai atas untuk rumah tinggal
kepunyaan perseorangan warganegara Indonesia yang luasnya 600 m2 atau
kurang yang sudah habis jangka waktunya dan masih dipunyai oleh bekas
pemegang hak tersebut, atas permohonan yang bersangkutan diberikan hak
milik kepada bekas pemegang haknya.57

Pada pasal 1 ayat 2 nya diatur bahwa penerima hak harus membayar
uang pemasukan kepada Negara sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Sselanjutnya dalam pasal 2 dan 3 diatur mengenai tata cara pengajuan
permohonan peningkatan hak dan juga jangka waktu pengajuan permohonan
peningkatan hak tersebut, Sedangkan pada pasal 4 Keputusan KBPN No. 6
Tahun 1998 tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah tinggal
diatur mengenai ketentuan diproses atau tidaknya permohonan peningkatan
hak tersebut, yang didasari Keputusan Menteri Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional No. 9 Tahun 1997 jo. No. 15 Tahun 1997 dan No. 1
Tahun 1998 tentang Pemberian Pemberian Hah Milik Atas Tanah untuk
rumah Sangat Sederhana (RSS) dan Rumah Sederhana (RS), Keputusan
Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 2 Tahun 1998
tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah untuk Rumah tinggal Yang Dibeli
Oleh Pegawai negeri dari Pemerintah dan Keputusan ini, diproses dengan
ketentuan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1972 jo. No. 5 Tahun

56
Indonesia, Keputusan kepala Badan Pertanahan, No. 6 tahun 1998, Ps.1, ayat 1.
56
Ibid.

Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
57

197358, yang mana Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 6 Tahun 1972 jo. No.
5 Tahun 1973 telah dicabut dan diganti dengan PMNA/KBPN No. 3Tahun
1997.

Pada pasal 4 ini pula terdapat ketentuan mengenai pembatasan tanah


disebutkan bahwa permohonan hak milik sebagaimana dimaksud dalam pasal
4 ayat 1 dibatsi untuk tanah seluas maksimum 2000 m2.59 Sedang kan pada
pasal 4 ayat 3 nya memuat mengenaipengurusan permohona hak milik harus
dilampirkan penyataan dari pemohon hak bahwa dengan perolehan hak milik
yang dimohon itu yang bersangkutan akan mempunyai hak milik atas tanah
untuk rumah tinggal tidak melebihi 5 (lima) bidang yang seluruhnya meliputi
luas tidak lebih dari 5000 m2.60

Dikatankan dalam wawancara penulis dengan bapak Reiner Manurung


SH. sebagai sumber, bahwa dalam Keputusan KBPN No. 6 Tahun 1998
tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah tinggal mengatur
mengenai dua hal yaitu :61

1. Bahwa Keputusan KBPN No. 6 Tahun 1998 tentang Pemberian Hak


Milik Atas Tanah Untuk Rumah tinggal mengatur mengenai
peningkatan hak, yakni dari hak guna bangunan atau hak pakai
menjadi hak milik.

2. Bahwa Keputusan KBPN No. 6 Tahun 1998 tentang Pemberian Hak


Milik Atas Tanah Untuk Rumah tinggal mengatur mengenai
pembatasan tanah hak milik non pertanian yang boleh dimiliki oleh
seseorang (keluarga bati). Arti pembatasan yang di maksud oleh
Reiner Manurung SH. adalah pembatasan secara utuh tidak hanya

58
Ibid. Ps.4, ayat 1.
59
Ibid. Ps.4, ayat 2.
60
Ibid. Ps.4, ayat 3.
61
Wawancara dengan bapak Reiner Manurung SH. selaku Kasi Bidang Perundang-undangan
BPN, dijakrta ,tgl. 29 Desember 2011, pukul 13.00 WIB.

Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
58

pembatasan terhadap peningkatan hak saja dan/atau apa yang


dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 dari Keputusan KBPN No. 6 Tahun
1998.

penulis berpendapat lain mengenai apa yang disampaikan oleh bapak


Reiner Manurung SH., penulis berpendapat bahwa Keputusan KBPN No. 6
Tahun 1998 sifat nya bukan mengaturan mengenai pembatasan secara utuh,
melainkan hanya mengatur mengenai pembatasan peningkatan hak untuk
rumah tinggal dari hak guna bangunan atau hak pakai menjadi hak milik, yang
mana baik hak guna bangunan atupun hak pakai dalam melakukan
permohonan peningkatanya hanya dibatasi seluas 600 m2 atau kurang.
Selanjutnya dalam pasal 4 ayat 2 yang dibatasi 2000 m2 adalah apabila tanah
yang dimaksud adalah apa yang ditentukan oleh pasal 4 ayat 1.

Sehingga penulis berkeyakinan bahwa Keputusan KBPN No. 6 Tahun


1998 hanya mengaturan mengenai pembatasan tanah hak milik non pertanian
yang diperoleh melalui permohonan hak, Sebagaimana kita ketahui bahwa ada
beberapa tata cara memperoleh atas tanah yaitu62 :

a. Permohonan Hak dan pemberian hak atas tanah jika tanah yang
diperlukan berstatus tanah Negara

b. Pemindahan Hak :

1) Tanah yang diperlukan berstatus tanah hak

2) Pihak yang memerlukan tanah memiliki hak yang sudah ada

3) Pemilik bersedia menyerahkan tanah

c. Pelepasan Hak yang dilanjutkan dengan permohonan dan pemberian


hak atas tanah :

62
Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum (Jakarta: Lembaga
Pemberdayaan Hukum Indaonesia, 2005), hal. 174.

Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
59

1) Tanah yang diperlukan berstatus tanah hak atau tanah hak ulayat
suatu masyarakat hukum adat

2) Pihak yang memerlukan tanah tidak boleh memiliki hak yang


sudah ada

3) Pemilik bersedia menyerahkan tanah

d. Pencabutan hak yang dilanjutkan dengan permohonan dan pemberian


hak atas tanah :

1) Tanah yang diperlukan berstatus tanah hak

2) Pemilik tanah tidak bersedia melepaskan haknya

3) Tanah tersebut diperuntukkan bagi pelaksanaan pembangunan


untuk kepentingan umum

Pada petutunjuk mengenai pelaksanaan pemberian hak milik atas tanah


untuk rumah tinggal yang dikeluarkan oleh Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan pertanahan nasional No. 500-3460 tertanggal 18 Februari 1999 pada
angka 6 di jelaskan bahwa pemberian hak milik atas tanah rumah tinggal yang
juga meliputi tanah pekarangan/ kebun. Dalam pasal 4 ayat 2 Keputusan
KBPN No. 6 Tahun 1998 ditetapkan pembatasan permohonan hak milik atas
tanah Negara, sehingga dapat artikan bahwa apa yang diatur dalam ketentuan-
ketentuan Keputusan KBPN No. 6 Tahun 1998 adalah mengenai perolehan
tanah yang diperoleh melalui permohonan hak pada tanah Negara dan juga
permohonan terhadap peningkatan hak dari hak guna banguna atau hak pakai
menjadi hak milik.

Bila membandingkan antara ketentuan yang diatur dalam Keputusan


KBPN No. 6 Tahun 1998 dengan Surat Keputusan No. 59/DDA/1970, maka
Keputusan KBPN No. 6 Tahun 1998 tidak lebih baik dibandingkan dengan
Surat Keputusan No. 59/DDA/1970 keduanya memiliki peluang-peluang

Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
60

terjadinya monopoli terhadap tanah hak milik non pertanian, tetapi penulis
mengagnggap Keputusan KBPN No. 6 Tahun 1998 adalah kemunduran.

Pada aspek pembatasan permohonan hak peningkatan hak banguna atau


hak pakai dan permohonan hak milik non pertanian atas tanah Negara
Keputusan KBPN No. 6 Tahun 1998 sudah mengimplementasikan mengenai
pembatasan terhadap tanah yang ingin di mohonkan. Maka penulis
berpendapat bahwa terdapat 2 celah dalam Keputusan KBPN No. 6 Tahun
1998 :

1) Pemberian terhadap yang dimohonkan baik mengenai peningkatan hak


guna baungan atau hak pakai menjadi hak milik dan permohonan tanah
hak milik atas tanah Negara hanya didasari oleh suarat pernyataan
yang telah ditentukan oleh Keputusan KBPN No. 6 Tahun 1998 yakni
pernyataan bahwa pemohon dengan perolehan hak milik yang
dimohon itu yang bersangkutan akan mempunyai hak milik atas tanah
untuk rumah tinggal tidak melebihi 5 (lima) bidang yang seluruhnya
meliputi luas tidak lebih dari 5000 m2 , dimana kantor pertanahan tidak
lagi menulusuri (mempercayai) kebenaran dari pernyataan yang
diajuakan oleh pemohon dikarenakan sistem administrasi pada kantor
pertanahan tidak terintegrasi (belum on-line) sehinga apa bila
seseorang yang pernah mengajukan permohonan pada propinsi lain
kemudian melakukan pengajuan permohonan lagi pada propinsi lain
tidak dapat terdeteksi.63

2) Keputusan KBPN No. 6 Tahun 1998 hanya membatasi peningkatan


hak guna baungan atau hak pakai menjadi hak milik dan permohonan
tanah hak milik atas tanah Negara. Artinya apabila seseorang
memperolehnya melalui pemindahan hak maka ketentuan pembatasan

63
Wawancara dengan bapak Reiner Manurung SH. selaku Kasi Bidang Perundang-undangan
BPN, dijakrta ,tgl. 29 Desember 2011, pukul 13.00 WIB.

Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
61

ini tidak dapat diterapkan. Sehingga apabila seseorang ingin memper


oleh tanah melalui pemindahan tidak ada yang membatasi sekalipun
dalam satu kabupaten atau propinsi sedangkan jika mengacu pada
Surat Keputusan No. 59/DDA/1970 maka hal tersebut sedikit
mengalami kendala yaitu harus mendapat izin dari kantor pertanahan
jika ingin memiliki bidang keenam dan seterusnya. Disinilah letak
kemunduran dari ketentuan Keputusan KBPN No. 6 Tahun 1998

Keputusan KBPN No. 6 Tahun 1998 belum mengakomodir apa yang


dimanatkan oleh pasal 7 dan 17 UUPA mengenai pembatasan tanah dalam hal
ini pembatasan terhadap tanah non pertanian. Sehingga sesuai dengan
penyampaian keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional No. 6 Tahun 1998 tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah Untuk
Rumah tinggal tertanggal 30 Juni 1998 dalam angka 4 huruf b di jelaskan
bahwa pembatasan mengenai hak milik sampai saat ini belum ada peraturan
pemerintahnya yang membatasi penguasaan tanah untuk perumahan
sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang No. 56 Prp. Tahun 1960.
Sebagai langkah pembatasan itu pemberian hak milik atas tanah untuk rumah
tinggal yang berasal dari tanah Negara dibatasi sebagai yang dimaksud dalam
pasal 4 Keputusan KBPN No. 6 Tahun 1998.

2.5 UPAYA PENGAWASAN YANG DILAKUKAN OLEH BPN DAN


SANKSI APA YANG DIBERIKAN KEPADA SESEORANG YANG
KEPEMILIKAN TANAH HAK MILIK NON PERTANIAN NYA
MELAMPAUI BATAS MAKSIMUM

Tidak ada Pengawasan terhadap kepemilikan tanah non pertanian yang


melampaui batas maksimum oleh BPN dikarenakan tidak adanya payung
hukum atau peraturan yang mengaturnya dan terhambat dengan kendala

Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
62

belum terintegrasinya sistem data yang ada pada BPN.64 Seharusnya jika
Keputusan KBPN No. 6 Tahun 1998 dianggap atau telah menjadi aturan yang
membatasi kepemilikan tanah hak milik non pertanian, maka seharusanya
Keputusan KBPN No. 6 Tahun 1998 adalah payung hukum terhadap proses
pengawasan yang dilakukan BPN.

Dengan kata lain bahwa tidak adanya upaya pengawassan yang


dilakukan oleh BPN semakin memperkuat pendapat penulis bahwa belum
adanya pembatasan kepemilikan tanah hak non pertanian dalam hukum
pertanahan nasional,

Baik dalam Keputusan KBPN No. 6 Tahun 1998 dan Surat Keputusan
No. 59/DDA/1970 tidak ada ketentuan yang mengatur mengenai sanksi
apabiala seseorang memiliki tanah hak milik non pertanian yang melampaui
batas maksimum. Idealnya apabiala peraturan tersebut mengatur mengenai
pembatasan maka semestinya juga memuat mengenai ketentuan sanksi.
Mengherankan jika menemukan suatu sanksi tetapi peraturannya tidak ada.
Tetapi hal ini terjadi di Negara kita dimana sanksinya telah tersesia tetapi
peraturan yang memuat sanksi tersebut belum ada atau belum diatur.

Pada pasal 11 Undang Undang No. 56 Prp. Tahun 1960 memuat sansksi
yang diperuntukkan bagi pelaku pelanggaran terhadap pasal 5 dan pasal 12
yang mana sanksinya adalah ancaman pidana atas pelanggaran peraturannya
dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan/atau denda sebanyak-
banyaknya Rp. 10000.65 Adapaun tindak pidana yang dimaksud pada pasal
11 ayat 1 tersebut merupakan pelanggaran.66

64
Ibid.
65
Indonesia, Undang Undang Penetapan Luas Tanah Pertanian, No. 56 Prp. tahun 1960,
Ps.11, ayat 1.

66
Ibid. Ps.11, ayat 2.

Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
63

Pasal 11 Undang Undang No. 56 Prp. Tahun 1960 merupakan sanksi


yang diperuntukkan bagi seseorang yang melanggar atau melampau batas
kepemilikan maksimum tanah hak milik non pertanian dimana dalam pasal 12
di sebutkan bahwa maksimum luas dan jumlahtanah untuk perumahan dan
pembangunan lainnya, serta pelaksanaan selanjutnya diatur dalam peraturan
pemerintah.

Dari kententuan 12 Undang Undang No. 56 Prp. Tahun 1960 sampai saat
ini belum dilaksanakan secara utuh, baru berupa langkah menuju pembatasan
terhadap tanah non pertanian yang mana diatur dalam Keputusan KBPN No.
6 Tahun 1998.

Universitas Indonesia
Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan dalam bab-bab sebelumnya,


maka penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Bahwa pemabatasan kepemilikan tanah sebagai mana yang diamanatkan


oleh pasal 7 dan pasal 17 UUPA dalam hal ini mengennai tanah hak milik
non pertanian sampai saat ini belum ada pembatasannya atau belum ada
peraturan yang mengatur mengenai batas maksimum tanah hak milik non
pertanian, dalam arti belum dilaksanakanya ketentuan pasal 7 dan 17
bahwa pembatasan harus segera dilakukan dalam bentuk perturan
perundang undangan dalam waktu yang singkat. Hal tersebut sangat
mempertihatinkan dikarenakan dengan telah berlakunya UUPA selama 51
tahun seharusnya sudah tidak ada lagi alasan tidak diaturnya atau belum
pembatasan tanah hak milik non pertanian, karena seperti diketahui bahwa
perumahan adalah kebutuhan dasar manusia, dimana dengan peningkatan
penduduk yang sangat pesat dan jumlah tanah yang tidak bertambah,
dikuti semakin maraknya orang atau pihak-pihak yang melakukan kegiatan
investasi dalam bentuk tanah, maka pembatasan tersebut harus segera
dilaksanakan agar tidak menimbulkan penumpukan tanah pada satu
golongan atau orang tertentu yang dapat mengakibat kan monopololi
dibidang pertanahan dan pembatasan kepemilikan tanah adalah salah satu
solusinya. Keputusan KBPN No. 6 Tahun 1998 dalam hal ini bukan
merupakan pembatasan yang secarah utuh tetapi melain kan hanya
pembatasan terhadap permohonan peningkatan hak dari hak guna
bangunan atau hak pakai menjadi hak milik dan pembatsan terhadap

Universitas Indonesia

Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012


65

permohonan hak atas tanah Negara yang diperuntukkan sebagai rumah


tinggal.

2. Bahwa upaya pengawasan BPN terhadap pembatsan tanah hak milik non
pertania sampai saat ini tidak dilakukan dengan dalih tidak adanya payung
hukum yang mengatur hal tersebut, dan juga terkendala dengan sistem
administrsi dalam BPN yang belum terintegrasi. Mengenai sanksi terhadap
kepemilikan yang melampaui batas sebenarnya telah ada, sebagaimana
yang detalah diatur dalam pasal 11 Undang Undang No. 56 Prp. Tahun
1960 yaitu sanksi bagi seseorang yang melanggar atau melampau batas
kepemilikan maksimum tanah hak milik non pertanian dimana dalam pasal
12 di sebutkan bahwa maksimum luas dan jumlah tanah untuk perumahan
dan pembangunan lainnya, yang mana sanksinya adalah ancaman pidana
atas pelanggaran peraturannya dengan hukuman kurungan selama-lamanya
3 bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 10000. Tetapi yang
mengherankan adalah dimana sanksi telah ada namun peraturan yang
dapat mengakibatkan dikenakan sanksi tersebut sampai saat ini belum ada
atau belum diatur.

3.2 Saran

1. Agar tercapainya apa yang termaktub dalam pasal 33 ayat 3 Undang


undang dasar 1945 maka BPN dalam hal ini haus segera mengeluarkan
peraturan mengenai pembatasan tanah hak milik non pertanian yang lebih
komperhensif dan utuh agar dapat mencegah dan menindak apabiala ada
golongan atau pihak-pihak yang menumpuk tanah-tanah hak milik non
pertanian, setidaknya bentuk peraturan yang mengatur pembatasan tanah
hak milik non pertanian memiliki rumusan-rumusan yang sama dengan
ketetuan pembatasan mengenai tanah pertanian. Misalnya membagi
kategori tanah hak milik non petanian berdasarka wilayahnya sertrategis
atau tidak setrategis.

Universitas Indonesia

Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012


66

2. BPN harus segera membuat suatu data base untuk sistem administrasinya,
karena dengan terintegrasinya sistem administrasi maka akan
mempermudah BPN dalam melakukan pengawasan dan juga menerapakan
pembatasan terhadap tanah khususnya pembatasan tanah hak milik non
pertanian

Universitas Indonesia

Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012


71

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU
Effendi, Bachtiar. Pendaftaran Tanah di Indonesia. Bandung : Alumni, 1993.
Erwiningsih, Winahyu, Hak Menguasai Negara Atas Tanah, (Yogyakarta:
Total Media, 2009
Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia : Sejarah Pembentukan Undang-
Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta :
Djambatan, 2003.
_____________ Hukum Agraria Indonesia, Himpunan Peraturan-Peraturan
Hukum Tanah, Jakarta :Djambatan, 2006
_____________ Menuju Penyempurnaan Hukum Tanah Nasional. Jakarta :
Universitas Trisakti Press, 2007.
Hasan, Djuhaendah, Lembaga Jaminan Kebendaan Bagi Tanah dan Benda
Lain Yang Melekat Pada Tanah Dalam Konsepsi Penerapan Asas
Pemisahan Horisontal, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996.
Hutagalung, Arie S. Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah.
Jakarta : Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, 2005.
__________________Condominium dan Permasalahannya. Jakarta : Badan
Penerbit Fakultas Hukum UI, 2007
.Kansil, C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia Jakarta, :
Balai Pustaka, 1989
Perangin, Effendi, Hukum Agraria di Indonesia, Suatu Telaah dari Sudut
Pandang Praktisi Hukum Jakarta : CV. Rajawali, 1986
Prakoso, Djoko dan Budiman Adi Purwanto, Eksistensi Prona sebagai
Pelaksanaan Mekanisme Fungsi Agraria, Jakarta : Ghalia
Indonesia, 1985

R. Soeprapto. Undang-Undang Pokok Agraria dalam Praktek. Jakarta : CV


Mitra Sari, 1986.

Universitas Indonesia

Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012


72

Ruchiyat, Eddy, Politik Pertanahan Nasional sampai Orde Reformasi,(


Bandung : Alumni, 1999

Saleh, K. Wantjik, Hak Anda Atas Tanah, (Bandung : Ghalia Indonesia, 1985

Sangsun, Florianus SP, Tata Cara Mengurus Sertifikat Tanah, Jakarta: Visi
Media, 2007

Santoso, Urip. Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah. Jakarta :


Kencana, 2010.

Sihombing, Irene Eka, Segi-segi Hukum Tanah Dalam Pengadaan Tanah


Untuk Pembangunan. Jakarta: Universitas Trisakti, 2005

Sudargo Gautama dan Ellyda T. Soetijarto, Tafsiran UUPA (1960) dan


Peraturan-Peraturan Pelaksanaannya, Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 1996.

Sumardjono, Maria S.W. Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan


Implementasi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : Badan Penerbit
Universitas Indonesia, 2005.
Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada, 2005.
Syah, Mudakir Iskandar, Dasar-Dasar Pembebasan Tanah Untuk
Kepentingan Umum. Jakarta: Jala Permata, 2007
Wasito, Hermawan. Pengantar Metodologi Penelitian. Jakarta : Gramedia
Pustaka Utama, 1997.

Wignjodipuro, Surojo, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta:


Gunung Agung, 1982

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Indonesia. Undang-Undang Peraturan Pokok-Pokok Agraria. UU No.5 Tahun
1960.

Universitas Indonesia

Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012


73

Indonesia, Undang Undang Penetapan Luas Tanah.UU No. 56 Prp. tahun


1960
Indonesia. Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
UU No. 10 Tahun 2004
Pemerintah. Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran Tanah. PP No. 24
Tahun 1997.

Pemerintah. Peraturan DepartemenDalam Negeri No. 59/DDA/1970


Pemerintah .KeputusanKepala Badan Pertanahan, No. 6 tahun 1998

C. INTERNET

KADIN BatamEkonomi Lintas Batas www.kadinbatam.or.id/imu/elb.pdf


diunduh 30 Desember 2011.
R. Herlambang Perdana Wiratraman HierarkiPeraturan
www.scribd.com/doc/49448334/herlambang-hirarki-peraturan
diunduh 5 Januari 2012
Erman Rajagukguk Judicial Review Peraturan Menteri:
PenerapanStufentheorie
http://ermanhukum.com/Makalah%20ER%20pdf/JUDICIAL%20
REVIEW%20PERATURAN%20MENTERI.pdf diunduh 3
Januari 2012.

Mustafa Modul 9 Konsep Dasar Politik Dan Pemerintahan


mustofacayo.files.wordpress.com/2011/06/kelompok-5.pdf
diundauh 5 januari20112

Universitas Indonesia

Analisis yuridis..., Firly Irhamdani, FHUI, 2012

Anda mungkin juga menyukai