Makalah Tarikh Tasyri 1

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH TARIKH TASYRI PADA MASA KHULAFAUR-

ROSYIDIN
BAB I

PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pada masa dimana wafatnya rasul suatu kereta
pemerintahan mulai di kendalikan oleh sahabat-sahabatnya.
Memang diakui atau tidak fakta sejarah mengatakan bahwa rasul
tidak pernah menunjuk seorangpun sebagai pengganti beliau
dalam roda kepemimpinan pemerintahan Islam. Akan tetapi,
sumbang kepedulian sahabat pada tatanan Islam yang memang
sudah dibentuk sedemikian rupa oleh rasululloh, mereka mulai
berfikir bagaimana supaya agar tatanan Islam yang memang
sudah dibentuk tidak pudar dan tetap langgeng. Dari situ,
sahabat mulai memilih salah satu sahabat dan Abu Bakarlah
yang pertama terpilih sebagai khalifah pertama disusul kemudian
oleh Umar Bin Khathab, Utsman Bin Affan, dan yang terakhir
adalah Ali Bin Abi Tholib.
Sahabat adalah sebagai generasi Islam pertama, yang
meneruskan ajaran dan misi kerasulan, dimana ia dalam
menentukan hokum Islam selalu berpegang pada fatwa rasul
yang telah ada. Akan tetapi dari satu sisi itu pula sahabat
menemukan yang memang dalam fatwa rasul tidak ada, mereka
berupaya untuk berijtihad tetapi masih dalam takaran syariat
keislaman yang di sandarkan pada Al-Quran dan Al-Hadits.
Tasyri pada masa sahabat sudah dimulai oleh nuansa
politik, dimana suatu penetapan hokum juga sudah berbau
politik. Dimana dulu ketika rasul masih hidup semua
permasalahan langsung di pertanyakan pada Rasul. Dan
mungkin pula ada banyak perbedaan penentuan hokum melihat
pada tatanan social politik kala itu. Mereka sudah mulai
berinterpretasi tentang Al-Quran dan al-Hadits demi maslahatul
umat yang di lihat pada tatanan sosialnya.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana kondisi tasyri pada masa khulafaurrasyidin, dan
faktor-faktor penyebab perkembangannya?
2. Apa saja yang menjadi sumber tasyri pada masa
khulafaurrasyidin?
3. Bagaimana karakteristik tasyri pada masa khulafaurrasyidin?
4. Apakah sebab-sebab timbulnya perbedaan pendapat di
kalangan sahabat?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Kondisi Tasyri Pada Masa Khulafaurrasyidin dan


Faktor-faktor Penyebab Perkembangannya
Apabila tahap pertumbuhan dan perkembangan
hokum Islam diamati sesudah periode Nabi Muhammad saw
dalam literatur hukum Islam, maka ditemukan beberapa
pendapat berdasarkan sudut pandang, di antaranya ada
pendapat yang mengungkapkan 4 tahapan, yaitu:
a. Masa Khulafaurrasyidin (632-662 M)
b. Masa Pembinaan, pengembangan dan pembukuan (abad ke
7-10 M)
c. Masa kelesuan pemikiran (abad ke 10-19M)
d. Masa kebangkitan kembali ( abad ke 19 M sampai saat ini).
Masa Khulafaurrasyidin (632 M-662 M) ditandai
dengan wafatnya Nabi Muhammad saw, yaitu berhenti wahyu
turun. Wahyu diturunkan oleh Alloh SWT kepada Nabi
Muhammad saw melalui Malaikat Jibril selama 22 tahun 2
bulan 22 hari, baik wahyu yang turun di Mekah maupun di
Madinah. Demikian juga hadis dan/atau sunnah berakhir pula
dengan meninggalnya Nabi Muhammad saw. Oleh karena itu,
kedudukan Nabi Muhammad saw sebagai Nabi dan Rasul
Alloh tidak dapat digantikan oleh manusia lainnya termasuk
sahabatnya. Namun, tugas beliau sebagai pemimpin
masyarakat Islam sekaligus sebagai kepala negara harus di
lanjutkan oleh orang lain. Pengganti Nabi Muhammad saw
sebagai pemimpin masyarakat dan kepala negara disebut
khalifah. Pejabat kekhalifahan yang disebut Khulafaurrasyidin
ini silih berganti selama empat periode, yaitu Abu Bakar Ash-
Shiddieq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi
Thalib.
Periode kekuasaan pemerintahan Nabi Muhammad
saw hanya meliputi semenanjung Arabia, tetapi periode
Khulafaurrasyidin meliputi wilayah arab dan non-Arab,
sehingga masalah yang muncul semakin kompleks sementara
ketetapan hokum yang rinci di dalam Al-Quran dan al-Hadits
terbatas jumlahnya. Oleh karena itu, Khulafaurrasyidin
menghadapi banyak masalah yang tadinya tidak terdapat di
masyarakat Arab. Misalnya masalah pengairan, keuangan,
kemiliteran, pajak, cara penetapan hokum di pengadilan, dan
lain-lain budayahukum di Damaskus, Mesir, Irak, Iran, Maroko,
Samarkan, Andalusia dan lain-lain. Pada masa inilah mulai
muncul interpretasi terhadap nash-nash Al-Quran yang
diterima oleh Rosululloh saw, dan terbukalah pintu istinbat
terhadap masalah-masalah yang tidak ada didalam nash
secara jelas. Dalam masa ini pula Islam mulai
berkembang pesat meluas sampai ke-Timur dan ke-Barat,
sahabat-sahabat besar dalam masa ini mencoba untuk
menginterpretasikan nash-nash hokum baik dalam Al-Quran
maupun Al-hadits, yang kemudian menjadi pegangan untuk
mentawil nash-nash yang belum jelas itu. Selain dari pada itu
para sahabat besar memberikan fatwa-fatwa dalam berbagai
masalah dalam kejadian-kejadian sosial maupun politik yang
tidak ada kejelasan dalam nash mengenai hal itu, yang
kemudian itu menjadi dasar sebagai bahan untuk berijtihad.
Para sahabat juga dapat dikatakan sebagai musyari yaitu
menerangkan hal dan tidak ketinggalan memberikan fatwa
dalam urusan-urusan yang tercantum secara tersurat dalam
nash. Jika ini semua di hadapkan pada kita, maka tidak
sepatutnya kita merasakan keheranan, sebab mereka dalam
kesehariannya selalu bergaul dengan Nabi, sehingga mereka
menyaksikan dan mengetahui asbabun-nuzul serta asbabul-
wurud suatu hadits melebihi pengetahuan ulama-ulama
sesudahnya. Bahkan Khulafaurrasyidin bergabung dalam
kelompok yang biasa diajak bermusyawarah oleh Rosululloh
saw. Karena itulah maka munculah kepercayaan umat yang
perlu di simak, pada periode ini fatwa-fatwa dan masail
fiqhiyah masih dicampur dengan dalil-dalil dan kaidah-kaidah
istidlal. Memang hal seperti ini perlu di acungi jempol, tetapi
bukan berarti Khulafaurrasyidin memiliki wewenang mutlak
untuk mengganti syariat yang telah di ajarkan oleh Nabi.
Penetapan-penetapan pada waktu itu sebagian besar hanya
bersifat melanjutkan apa yang pernah diperbuat oleh Nabi,
kecuali mengenai beberapa peristiwa yang pada zaman Nabi
belum ada.
Sebelum mengetahui pengaruh fatwa terhadap
perkembangan hokum, terlebih dahulu kita perlu mengetahui
persoalan-persoalan penting yang dihadapi oleh sahabat.
Berikut di antara persoalan penting yang di hadapi oleh
sahabat:
a. Sahabat khawatir akan kehilangan Al-Quran karena
banyaknya sahabat yang hafal Al-Quran meninggal dunia
dalam perang melawan orang-orang murtad.
b. Sahabat mengkhawatirkan terjadinya ikhtilaf sahabat
terhadap Al-Quran akan seperti ikhtilaf Yahudi dan Nasrani
yang terjadi sebelumnya.
c. Sahabat takut akan terjadi pembohongan terhadap Sunnah
Rosululloh Saw.
d. Sahabat khawatir umat Islam akan menyimpang dari
hukum Islam.
e. Sahabat menghadapi perkembangan kehidupan yang
memerlukan ketentuan syariat, karena Islam adalah petunjuk
bagi mereka tetapi belum ditetapkan ketentuannya dalam Al-
Quran dan Sunnah.
Pada masa ini perkembangan Islam semakin luas ke
segala arah, sehingga banyak ditemukan kasus-kasus baru
yang memerlukan pemecahan atau penyelesaian. Pada
kesempatan inilah para sahabat utama tampil sebagai mufti
( konsultan ) dalam masalah hukum dengan memberikan
fatwa-fatwa kepada masyarakat, karena merekalah yang
banyak berinteraksi dengan Rosululloh Saw. Merekalah yang
paling sering mengikuti kegiatan Rasul serta paling sering
menyaksikan sebab-sebab turunnya suatu ayat ( asbabun-
nuzul ) dan keluarnya hadits. Diantara mereka ada yang
menjadi peserta sidang dalam mesyawarah-musyawarah
yang di selenggarakan Rosululloh Saw. Diantara para sahabat
yang bertindak sebagai mufti antara lain :
1. Di Madinah : Zaid bin Tsabit, Ubai bin Kaab, Abdulloh bin
Umar dan Siti Aisyah.
2. Di Makkah : Abdulloh bin Abbas.
3. Di Kuffah : Ali bin Abi Thalib dan Abdulloh bin Masud.
4. Di Syam : Muadz bin Jabbal dan Ubadan bin Shamir.
5. Di mesir : Abdulloh bin Ammar.

Pada mulanya para mufti berdomisili di Madinah, dengan


berkembangnya syiar Islam, maka mereka berpencar ke daerah-
daerah maupun ke kota-kota. Para sahabat, khususnya periode
ini, memainkan peranan yang sangat penting dalam membela
dan mempertahankan agama. Mereka tidak sekedar
melestarikan tradisi hidup Nabi, tetapi juga melebarkan sayap
dakwah Islam hingga ke negeri Persia, Irak, Syam dan Mesir. Ini
untuk pertama kalinya fiqih di hadapkan dengan persoalan baru,
penyelesaian atas masalah moral, etika, kultural dan
kemanusiaan dalam suatu masyarakat yang pluralistik.
Agaknya inilah faktor yang terpenting yang mempengaruhi
perkembangan fiqih pada periode ini. Daerah-daerah yang di
buka dan diislamkan saat itu memiliki perbedaan masalah
kultural, tradisi, situasi dan kondisi yang menghadang para
Fuqaha, sahabat untuk memberikan hukum pada persoalan-
persoalan baru yang muncul belakangan.
Para Khulafaurrasyidin dengan tingkat pemahaman yang
tinggi terhadap Al-Quran dan Sunnah, menyikapi persoalan-
persoalan yang dating dengan langsung merujuk kepada Al-
Quran dan As-Sunnah. Adakalanya mereka menemukan nash
dalam Al-Quran dan Hadits secara tersurat, tetapi juga tidak
jarang mereka menemukan dalam dua sumber syariat Islam
tersebut. Kondisi yang demikian ini yang mendorong mereka
secara paksa untuk berjuang menggali kaidah-kaidah dasar dan
tujuan moral dari berbagai tema-tema dalam Al-Quran dan
Hadits untuk di aplikasikan terhadap persoalan-persoalan baru.
Konsekuensi lain dari perluasan wilayah Islam adalah
bercampurnya orang-orang Arab dengan yang lainnya. Sebagian
dari mereka banyak yang memeluk Islam, tetapi sebagian tetap
pada agama dan kepercayaan masing-masing. Dari sinimuncul
suatu tuntutan untuk menetapkan hukum baru yang mengatur
hubungan orang-orang Islam dengan orang-orang non-muslim.
Para Fuqaha untuk kesekian kalinya berusaha merumuskan
bagaimana Islam mengatur pluralitas hidup seperti ini, termasuk
disini adalah persoalan baru yang belum pernah terjadi pada era
kenabian disamping belum ada sumber hukum yang secara jelas-
jelas merinci hukum masalah ini.
B. Sumber-sumber Tasyri Pada Masa Khulafaurrasyidin
Sumber atau dalil hukum Islam yang digunakan pada
zaman sahabat adalah: (a) Al-Quran; (b) Sunnah, dan (c) Ijtihad
(rayu). Ijtihad yang dilakukan ketika itu berbentuk kolektif,
disamping individual. Dalam melakukan ijtihad kolektif, para
sahabat berkumpul dan memusyawarahkan hukum suatu kasus.
Hasil musyawarah sahabat disebut Ijmak. Al-Quran pada masa ini
sudah dibukukan, yaitu pada masa Utsman bin Affan setelah
dipertimbangkan akan kemaslahatannya yang lebih besar.
Adapun smber hukum Islam yang kedua adalah Hadits, yang
ketika itu belum dibukukan, sebab dikhawatirkan akan
bercampur dengan Al-Quran. Meski demikian upaya untuk
pemeliharaan tetap dilakukan, sehingga kenbenaran riwayatnya
dijamin. Abu Bakar misalnya, beliau tidak mau menerima hadits
dari seseorang kecuali mendapat pengakuan dan pengetahuan
dari orang lain yang terpercaya. Umar bin Khattab menuntut
adanya bukti-bukti bahwa hadits tersebut datang dari Rasululloh,
demikian juga Ali bin Abi Thalib, beliau senantiasa menyumpah
perawinya. Kemudian sumber hukum yang ketiga adalah ijtihad.
Para sahabat dalam berpendapat tidak selalu sama, artinya
pendapat mereka kadang-kadang berbeda. Misalnya, Ali dan Ibnu
Abbas berbeda pendapat dengan Umar bin Khattab dalam
masalah iddah. Dalam surat Al-Baqarah ayat 234 disebutkan
bahwa wanita yang ditinggal mati oleh suaminya iddahnya 4
bulan 10 hari, kemudian dalam surat At-Thalaq ayat 4 dijelaskan
bahwa wanita yang hamil iddahnya sampai dia melahirkan. Lalu
persoalannya, bagaimana kalau ada wanita hamil dan ditinggal
mati oleh suaminya. Menurut Ali dan Ibnu Abbas iddahnya
diambil yang lebih panjang diantara dua masalah tersebut ( 4
bulan 10 hari dan sampai melahirkan), sementara menurut
Umar, iddahnya sampai melahirkan.
Kita ketahui secara pasti bahwa kasus-kasus yang telah
ditetapkan hukumnya oleh para sahabat sangat banyak
jumlahnya. Kasus-kasus bermunculan, pembahasan terus
dilakukan, namun tidak satu masalahpun yang tertinggal tanpa
diberikan ketetapan hukumnya. Untuk menyelesaikan persoalan-
persoalan baru, para sahabat kembali kepada Al-Quran dan
Sunnah Nabi. Para sahabat banyak yang hafal Al-Quran, kendati
pernah timbul keresahan ketika banyak yang gugur menghadapi
peperangan, karenanya kembali kepada Al-Quran itu
mudah.Hadits memang diriwayatkan dan dihafalkan, tetapi nasib
hadits tidak sebagus Al-Quran karena perhatian mereka lebih
terpusat pada Al-Quran, disamping dihafal Al-Quran juga ditulis
sebagai antisipasi hilangnya Al-Quran karena banyaknya orang-
orang Islam yang hafal Al-Quran gugur dalam pertempuran. Dan
dengan tujuan penulisan ini pula ditemukannya keseragaman Al-
Quran dalam bacaan dan penulisan. Mushaf yang diusahakan
oleh Khalifah Utsman ( 624-630 M ) itu disebut Mushaf Utsmani.
Sedangkan penulis hadits secara tertib berjarak lebih dari satu
abad dari penulisan Al-Quran. Namun demikian sumber hhukum
Islam di masa ini adalah Al-Quran dan Al-Sunnah. Berdasarkan
kedua sumber itulah para Sahabat dan Khalifah berijtihad
dengan menggunakan akal pikiran.
Alasan para sahabat kembali kepada Al-Quran dan Al-
Sunnah ialah karena banyaknya ayat-ayat Al-Quran yang
memeritahkan taat kepada Alloh dan Rasul, mengembalikan
sesuatu yang dipertentangkan kepada Alloh dan Rasul, serta
berserah kepada apa yang telah ditetapkan oleh Alloh dan Rasul.
Alasan para sahabat melakukan ijtihad, ialah karena
mereka melihat Rasululloh melakukan ijtihad bila wahyu Ilahi
tidak turun. Suatu ketika Rasul mengutus Muadz ibn Jabal ke
Yaman. Rasul bertanya kepada Muadz, Dengan apa Engkau
menghukumi sesuatu? Jawab Muadz, Saya menghukumi
dengan Kitab Alloh. Rasul bertanya, Jika tidak kamu jumpai
(dalam Kitab Alloh)? Jawab Muadz, Saya menghukumi dengan
Sunnah Rasululloh. Rasul bertanya, Jika tidak kamu
jumpai(dalam Sunnah Rasululloh)? Jawab Muadz, Saya
berijtihad dengan pendapatku. Kemudian Rasul
membenarkannya seraya memuji Alloh atas limpahan Taufik-
Nya.

D. Sebab-sebab Timbulnya Perbedaan Pendapat


dikalangan Sahabat
Setelah Nabi Saw wafat, timbul dua pandangan yang
berbeda tentang otoritas kepemimpinan umat Islam. Hal ini
berhubungan langsung dengan otoritas penetapan hukum ;
Kelompok pertama memandang bahwa otoritas untuk
menetapkan hukum-hukum Tuhan dan menjelaskan makna Al-
Quran setelah Nabi Muhammad wafat dipegang oleh Ahlul Bait.
Hanya mereka menurut nash dari Nabi Muhammad Saw yang
harus dirujuk dalam menyelesaikan masalah-masalah dan
menetapkan hukum-hukum Allah. Kelompok ini kelak dikenal
sebagai kelompok Syiah. Sedangkan menurut kelompok yang
kedua, sebelum meninggal, Nabi Muhammad tidak menentukan
dan tidak menunjuk penggantinya yang dapat menafsirkan dan
menetapkan perintah Allah. Al-Quran dan Al-Sunnah adalah
sumber hukum untuk menarik hukum-hukum berkenaan dengan
masalah-masalah yang timbul. Mereka ini kelak dikenal sebagai
kelompok Ahlu Sunnah atau Sunni.
Selain itu, sebab ikhtilaf pada zaman sahabat dapat
dibedakan menjadi tiga ; yang pertama, perbedaan pendapat
yang disebabkan oleh sifat Al-Quran ; Kedua, perbedaan yang
disebabkan oleh Al-Sunnah. Dan yang ketiga, perbedaan
pendapat dalam menggunakan rayu ( intervensi akal ).
Sebab-sebab perbedaan yang disebabkan oleh sifat-sifat Al-
Quran diantaranya sebagai berikut :
a. Dalam Al-Quran terdapat kata atau lafadz yang bermakna
ganda (isytirak). Umpamanya firman Allah dalam surat Al-
Baqarah [2] ayat 228 : yang di ceraikan oleh suaminya
hendaklah menunggu tiga kali quru. Kata quru mengandung
dua arti ; al-haidl dan al-thuhr.
b. Hukum yang ditentukan Al-Quran masing-masing berdiri
sendiri tanpa mengantisipasi kemungkinan bergabungnya dua
sebab dalam satu kasus. Misalnya, dalam Al-Quran terdapat
ketentuan bahwa waktu tunggu (iddah) bagi wanita yang dicerai
karena suaminya meninggal dunia adalah 4 bulan 10 hari, dan
waktu tunggu bagi wanita yang dicerai dalam keadaan hamil
(iddah hamil) adalah hingga melahirkan. Dua ayat tersebut tidak
mengantisipasi kemungkinan terjadinya seorang wanita yang
hamil ditinggal wafat suaminya. Ali Ibn Abi Thalib dan Ibnu
Abbasy berpendapat bahwa iddah yang berlaku bagi wanita
yang ditinggal wafat oleh suaminya dalam keadaan hamil adalah
iddah yang terpanjang antara dua iddah tersebut. Sedangkan
Abdullah Ibn Masud berpendapat, bahwa yang berlaku adalah
iddah hamil, sebab ayat tentang iddah hamil diturunkan setelah
ayat iddah wafat, yang berlaku konsep Naskh.
Adapun sebab perbedaan pendapat yang berhubungan dengan
Sunnah adalah sebagai berikut :
a. Tidak semua sahabat memiliki penguasaan yang sama
terhadap Sunnah. Di antara mereka ada yang penguasaannya
cukup luas, ada pula yang sedikit. Hal itu terjadi karena
perbedaan mereka dalam menyertai Nabi ada yang intensif ada
yang tidak, ada yang lebih awal masuk Islam ada yang terakhir.
b. Kadang-kadang riwayat sampai kepada seorang sahabat tetapi
belum atau tidak sampai kepada sahabat yang lain, sehingga
diantara mereka ada yang mengamalkan rayu karena
ketidaktahuan mereka terhadap Sunnah. Umpamanya Abu
Hurairah r.a berpendapat bahwa orang yang masih junub pada
waktu subuh, tidak dihitung berpuasa ramadhan, man ashbaha
junuban fala shouma lahu. Kemudian pendapat ini di dengar
oleh Aisyah yang berpendapat sebaliknya, Aisyah menjadikan
peristiwa dengan Nabi Saw sebagai alas an. Maka Abu Hurairah
menarik kembali pendapatnya.
c. Sahabat berbeda pendapat dalam mentawilkan Sunnah.
Umpamanya, Thowaf sebagian besar sahabat berpendapat
bahwa bersegera dalam Thowaf adalah Sunnah, sedangkan Ibnu
Abbas berpendapat bahwa bersegera dalam Thowaf tidak
Sunnah.
Adapun perbedaan pendapat di kalangan sahabat yang
disebabkan oleh penggunaan rayu, diantaranya perbedaan
pendapat antara Umar dan ali tentang perempuan yang menikah
dalam waktu tunggunya. Umar berpendapat, perempuan yang
menikah dalam waktu tunggu, apabila belum dukhul harus
dipisah, ia harus menyelesaikan waktu tunggunya, apabila sudah
dukhul, pasangan itu harus dipisahkan dan menyelesaikan dua
waktu tunggu, waktu tunggu dari suami yang pertama dan waktu
tunggu dari suami berikutnya. Sedangkan menurut Ali
perempuan itu harus diwajibkan menyelesaikan waktu tunggu
yang pertama. Ali berpegang pada keumuman ayat, sedangkan
Umar berpegangan pada tujuan hukum, yakni agar orang tidak
melakukan pelanggaran.
Menurut para ahli, timbulnya perbedaan pendapat dikalangan
sahabat disebabkan adanya beberapa factor, setidaknya kita
perlu mengatakan lima persoalan mendasar yang menyebabkan
beberapa ikhtilaf pada periode ini.
Pertama, perbedaan dalam memahami nash Al-Quran dan
Hadits. Perbedaan seperti ini biasanya disebabkan karena tidak
jelasnya batasan pengertian nash dan perbedaan persepsi di
kalangan sahabat seperti persoalan quru. Adanya ayat-ayat
ahkam yang musytarak, atau belum pasti pengertiannya
(dzanni). Dalam Surat Al-Baqarah : 228 memiliki dua pengertian.
Zaid bin Tsabit, quru berarti suci, sementara Umar bin Khattab
memahaminya sebagai Haidh.
Kedua, munculnya dua persoalan yang merujuk pada dua nash
saling berlawanan kesepakatan akhir dari para sahabat bahwa
masalah seperti ini harus melewati tiga tahapan, caranya
mencari titik temu antara dua nash tersebut, baru kemudian
mencari dalil-dalil yang menguatkan salah satu dari nash ( at-
Tarjih ), dan jika kedua cara tersebut tidak memungkinkan maka
diterapkan teori nash.
Ketiga, sebagian fuqaha dari kalangan sahabat mengatakan
bahwa suatu peristiwa berdasarkan pengetahuan dari Sunnah,
sementara yang lain belum mendapatkannya atau
menganggapnya tidak memenuhi syarat untuk disebut sebagai
Hadits Shahih. Pada masa ini terjadi seleksi yang sangat ketat
terhadap periwayatan Hadits. Beberapa Hadits yang dijadikan
sebagai sumber hukum oleh sebagian Fuqaha ditolak oleh
Fuqaha lain sebab berbagai alas an. Selektifnya penerimaan
periwayatan Hadits ini diatur pihak dan kecenderungan untuk
mengamalkan Hadits di lain pihak, terutama dikalangan Ulama
Madinah.
Keempat, perbedaan kaidah dan metode ijtihad dari para
sahabat. Dari perbedaan penggunaan kaidah dan metode ini
muncul beberapa perbedaan pendapat dalam suatu persoalan
yang sama dan ini sangat memperkaya perbendaharaan Fiqh
Islam.
Kelima, ini mungkin yang terpenting, kebebasan dan
kesungguhan para sahabat periode Khulafaurrasyidin dalam
melakukan ijtihad terhadap berbagai masalah yang mereka
hadapi. Kebebasan dan kesungguhan inilah yang menjadi sumber
konseptualisasi dan redinamisasi syariat periode ini.
Keenam, perbedaan mereka dalam menerima Hadits dari
Rasulullah. Sebagian sahabat ada yang menerima Hadits dengan
jelas dan cukup banyak, sementara yang lain hanya menerima
sebagian saja. Hal ini disebabkan karena kondisi tempat tinggal
mereka . Bagi yang dekat dengan Rasulullah praktis saja mereka
banyak menerima Hadits, demikian sebaliknya.

BAB III
PENUTUP
I. Kesimpulan
Khulafaurrasyidin adalah pewaris kepemimpinan Islam setelah
wafatnya Rasulullah Saw. Setelah Rasul Saw wafat para sahabat
berkedudukan sebagai musyari dalam istinbat suatu hukum
yang tentunya dengan jalan musyawarah seperti yang dilakukan
Rasul dan mereka bertindak sebagai musyawirin Rasul Saw.
Adapun sumber atau dalil hukum Islam yang digunakan pada
zaman sahabat adalah Al-Quran, Sunnah dan Ijtihad ( rayu ).
Ijtihad yang dilakukan ketika itu berbentuk kolektif, para sahabat
berkumpul dan memusyawarahkan hukum suatu kasus, hasil
musyawarah sahabat disebut Ijma. Walaupun para sahabat
melakukan musyawarah tetapi diantara mereka tetap terjadi
khilafiah dalam istinbat hukum. Faktor yang mempengaruhi
adalah sifat Al-Quran, dan Sunnah serta perbedaan rayu.
Disamping sosiokultur yang jelas sangat mempengaruhi.
Perkembangan tasyri pada masa Khulafaurrasyidin sangat hidup
dan semarak. Beberapa ikhtilaf mulai muncul meskipun lebih
kecil disbanding masa-masa berikutnya. Para sahabat
Khulafaurrasyidin tidak menyikapi hukum-hukum Islam secara
ideal yang lepas dari konteks social, tetapi dimensi social itu
telah menyadarkan mereka untuk mencari jawaban-jawaban
yang tepat dan ideal terhadap berbagai problematika yang
bermunculan.

LITERATUR

Zainuddin Ali, Hukum Islam, (Jakarta : Sinar Grafika Ofset, 2006),


68
M. Hasbi Ash Shidiqi, Pengantar Kebudayaan Islam, (Jakarta :
Bulan Bintang, 1967), 56
http://www.scribd.com/doc/24408760/Tasyri-Pada -Masa-
Khulafaurrasyidi1, di akses pada tanggal 25 Desember 09
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam,
(Bandung : Remaja Rosda Karya, 2000), 37
http://www.scribd.com/doc/24408760/Tasyri-Pada -Masa-
Khulafaurrasyidi1, di akses pada tanggal 25 Desember 09
Sirry Munim, Sejarah Fiqih Islam, (Surabaya : Risalah Gusti,
1995), 33
http://www.scribd.com/doc/24408760/Tasyri-Pada -Masa-
Khulafaurrasyidi1, di akses pada tanggal 25 Desember 09
Jaih Mubarok, Sejarah dan perkembangan Hukum Islam, 41
http://www.scribd.com/doc/24408760/Tasyri-Pada -Masa-
Khulafaurrasyidi1, di akses pada tanggal 25 Desember 09
Abuddin Nata, MA, Masail Al-Fiqhiyah, ( Jakarta : Prenada Media
Group, 2003), 65
Nazar Bakry, Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 1996), 23
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Hukum Islam, Sebuah Ikhtisar dan
Dokumentasinya, (Darul-Kutub, Mesir : Marja, 2005), 34
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Hukum Islam, Sebuah Ikhtisar dan
Dokumentasinya, (Darul-Kutub, Mesir : Marja, 2005), 32
Ibid, 33
http://www.scribd.com/doc/15169629/Tarikh-Tasyri-Makalah-Mui,
di akses tanggal 30 Desember 2009
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan
Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo Persada,
1990), 155
Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Hukum Islam, Sebuah Ikhtisar dan
Dokumentasinya, (Darul-Kutub, Mesir : Marja, 2005), 38
Ibid, 39
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, ,
(Bandung : Remaja Rosda Karya, 2000),41
Hasbi Ashidiqi, Pengantar Ilmu Fiqih, (Jakarta : Bulan Bintang,
1993), 33
Jaih Mubarok, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, ,
(Bandung : Remaja Rosda Karya, 2000), 42
http://abdulhobir.blogspot.com/2009/05/tasyri-pada-masa-
khulafaurrasyidin.html, di akses pada tanggal 25 Desember 2009
http://hadirukiyah.blogspot.com/2009/08/pengaruh-pentadwinan
- Sunnah-dalam.html diakses pada tanggal 30 Desember 2009

Anda mungkin juga menyukai