0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
69 tayangan59 halaman

Chapter II

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1/ 59

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.0 Pengantar
Para ahli bahasa yang berbicara tentang deiksis (seperti Levinson (1983,
2006a-b), Fasold (2006), Mey (2001), Bohnemeyer (2006), Yule (1996), Huang
(2007)) tidak menjadikan deiksis sebagai bahan pembicaraan tanpa menyertakan
pragmatik lebih dahulu di dalamnya. Hal demikian beralasan mengingat bahwa salah
satu aspek mendasar dalam kajian deiksis, yakni, inferensi makna, dilakukan dengan
memperhitungkan konteks. Perubahan konteks penggunaan tuturan, termasuk yang
dinyatakan sebagai ekspresi deiksis, akan berimplikasi pada perubahan makna ekspresi
tersebut. Peranan konteks yang menentukan, seperti itu, menyebabkan kajian deiksis
digolongkan sebagai sub-bidang kajian pragmatik.
Analogi untuk pemahaman lebih lanjut tentang kajian deiksis sebagai subbidang pragmatik, contohnya, adalah antara afiksasi dengan morfologi bahasa.
Perubahan bentuk morfem, termasuk disebabkan proses afiksasi, adalah kajian
morfologi. Oleh karenanya, afiksasi adalah sub-bidang kajian morfologi. Lalu, sebagai
apa pragmatik itu?

2.1 Pengertian Pragmatik


Pemahaman konseptual arti suatu istilah tidak selalu diperoleh dari satu
definisi. Malah satu definisi, ada kalanya, terasa tidak memadai untuk memberi
gambaran utuh tentang yang didefinisikan. Untuk memahami arti pragmatik, pada

Universitas Sumatera Utara

kesempatan ini, penulis tampilkan empat buah definisi yang merupakan esensi
deskripsi singkat tentang pragmatik, yang dibuat oleh Yule. Dalam deskripsinya, Yule
(1996:3) mengemukakan hal sebagai berikut.
1. Pragmatik berfokus pada pengkajian makna yang disampaikan oleh penutur
dan ditafsirkan sesudahnya oleh mitra tutur. Pengkajian makna, di sini, lebih
memperhatikan apa sesungguhnya yang penutur maksudkan dengan
tuturannya daripada sekedar makna yang terdapat pada tuturan itu. Dari
deskripsi singkat (1) diperoleh pengertian bahwa pragmatik adalah
pengkajian makna yang dimaksudkan oleh penutur (Pragmatics is the study
of speaker meaning).
2. Pengkajian makna menurut penutur (seperti tersebut pada poin (1))
merupakan upaya penafsiran atas apa yang penutur maksudkan dalam
konteks tertentu, serta bagaimana konteks berpengaruh terhadap tuturan
yang dihasilkan. Cara kerja pengkajian ini memperhatikan bagaimana
penutur menyesuaikan apa yang hendak dituturkan dengan konteks yang
melatarbelakanginya, seperti, siapa orang yang menjadi mitra tutur, di mana,
kapan, dan dalam keadaan bagaimana tuturan dihasilkan. Dari deskripsi
singkat (2) diperoleh pengertian bahwa pragmatik adalah pengkajian makna
karena pengaruh konteks (Pragmatics is the study of contextual meaning).

Universitas Sumatera Utara

3. Melalui ancangan pragmatik menjadi pengamatan bagaimana mitra tutur


menginferensi tuturan yang didengarnya, sehingga hasil tafsirannya terhadap
tuturan itu sama dengan yang dimaksudkan oleh penutur. Pada pengkajian
makna seperti ini, diperhatikan juga berbagai hal yang terkait dengan tuturan
tetapi tidak terungkap dalam tuturan yang dihasilkan oleh penutur. Dengan
cara pengkajian, seperti yang disebutkan, membuat kita mengenal adanya
upaya pemahaman makna lain yang tidak terungkap dalam tuturan (invisible
meaning). Dari deskripsi singkat (3) diperoleh pengertian bahwa pragmatik
adalah pengkajian yang berupaya memperoleh informasi yang lebih banyak
daripada sekedar yang diperoleh dari yang dituturkan ( Pragmatics is the
study of how more gets communicated than is said).
4. Perspektif yang menyebut adanya informasi lain, di luar dari yang
dituturkan, seperti yang disebut pada poin (3), ternyata memicu munculnya
pertanyaan, apa sesungguhnya yang berperan dalam membuat adanya
informasi lain di samping informasi yang diperoleh dari tuturan itu.
Jawabannya, menurut Yule, menyangkut soal jarak (distance). Faktor
kedekatan atau kejauhan secara fisik, sosial, ataupun konseptual, adalah
bagian dari pengalaman manusia. Dengan memperhatikan kedekatan atau
kejauhannya dengan mitra tutur, penutur dapat menentukan batasan terhadap
apa yang perlu dituturkannya. Dari deskripsi singkat (4) diperoleh
pengertian bahwa pragmatik adalah pengkajian terhadap ekspresi-ekspresi

Universitas Sumatera Utara

yang menyatakan jarak relatif (Pragmatics is the study of the expression of


relative distance).
Deskripsi singkat yang dituangkan melalui keempat definisi di atas memberi
pengertian serta gambaran tentang ranah kajian bidang pragmatik.

2.2 Historiografi Singkat Pragmatik


Hingga kini (2009) tercatat bahwa pragmatik, sebagai salah satu sub-bidang
linguistik, usianya sudah mencapai empat dasawarsa. Kepesatan perkembangan serta
minat ahli bahasa untuk mengakrapinya, terutama dalam dua dekade terakhir ini
(Huang, 2007:3), adalah sesuatu yang mungkin luput dari perkiraan pada waktu
sebelumnya. Salah satu indikasi peningkatan minat banyak ahli terhadap pragmatik,
dari penjelasan Mey (2001:3-4), dapat dilihat pada semakin pesatnya penerbitan jurnal
ataupun buku teks bertaraf internasional tentang pragmatik, seperti Journal of
Pragmatics, Pragmatics, Concise Encyclopedia of Pragmatics, yang masing-masing
diterbitkan sejak tahun 1977, 1991, 1998, dan masih berlangsung hingga kini (lihat
juga Rahardi, 2006:45-51).
Jawaban antisipatif terhadap sebab kepesatan perkembangan kajian pragmatik
seperti itu, sebelumnya, telah diberikan oleh Leech (1983:1) yang menyatakan bahwa
orang tidak akan mengerti bahasa secara benar apabila orang yang bersangkutan tidak
mengerti pragmatik, yaitu, bidang linguistik yang mengkaji bagaimana bahasa
digunakan dalam komunikasi. Dengan mengikuti penjelasan Huang (2007:2-5), aspek
kesejarahan pragmatik, secara singkat, diketahui sebagai berikut.

Universitas Sumatera Utara

Pragmatik sebagai sub-bidang linguistik modern berawal dari adanya kajiankajian filosofis bahasa pada periode tahun 1930-an yang dilakukan oleh Charles
Morris, Rudolf Carnap, dan Charles Pierce. Mendapat masukan dan atas pengaruh dari
Pierce, Morris membuat adanya pembagian bidang semiotik (ilmu tentang tanda pada
umumnya) atas tiga bagian, yaitu, sintaksis, semantik, dan pragmatik. Menurut tipologi
ini, sintaksis Morris maksudkan sebagai pengkajian terhadap hubungan formal antara
sesama tanda. Artinya, bagaimana menyusun tautkan sesama bentuk-bentuk bahasa
dan bentuk hasil susun taut mana yang berterima. Pengkajian semacam ini umumnya
dilakukan tanpa memperhitungkan objek ril yang diacu atau orang yang
menggunakannya. Semantik melakukan pengkajian terhadap hubungan tanda dengan
acuannya, atau dapat juga dikatakan pengkajian hubungan antara bentuk-bentuk
bahasa dengan maujud duniawinya. Pragmatik adalah pengkajian terhadap hubungan
tanda dengan penutur atau penggunanya. Di antara ketiga bidang dalam trikotomi di
atas, hanya pragmatik yang melibatkan manusia turut menjadi objek dalam kajiannya
(lihat juga Yule, 1996:5). Terhadap trikotomi tersebut, Carnap, kemudian, membuat
pengurutan atas dasar tingkat keabstrakan masing-masing. Sintaksis dan pragmatik
masing-masing menempati posisi paling dan kurang abstrak, sedangkan semantik pada
posisi antara keduanya. Hubungan hierarkis tersebut dimaknainya, bahwa sintaksis
memberi masukan kepada semantik, yang selanjutnya, memberi masukan pula kepada
pragmatik.
Lalu, bagaimana respons ahli bahasa pada periode tahun 1930-an dan
sesudahnya atas kehadiran trikotomi dari Charles Morris? Ternyata, dari penjelasan

Universitas Sumatera Utara

Leech, kehadiran pragmatik tahun 1930-an tidak serta merta menjadi topik yang
menarik untuk dibicarakan. Bagi mereka, seangkatan Bloomfield, misalnya, liputan
ilmu bahasa itu hanya di seputar fonetik, fonemik, dan morfofonemik (morfologi);
sementara sintaksis masih dianggap bidang yang terlalu abstrak untuk dipahami dan
dipelajari.
Perubahan sikap dalam merespons kehadiran trikotomi semiotik di atas baru
terlihat pada akhir tahun 1950-an, seiring dengan berkembangnya teori linguistik
Chomsky, yang memposisikan sintaksis sebagai prioritas dalam pengkajian bahasa.
Namun, karena pengaruh latar belakang struktural mentalis yang kuat pada Chomsky,
membuatnya berpandangan bahwa kajian makna masih merupakan hal yang belum
perlu ditekuni.
Pada perkembangan linguistik yang semakin pesat antara 1960 dan 1970-an,
sikap Chomsky dalam pengkajian makna mendapat tantangan dari mahasiswanya
sendiri. Mereka (seperti Katz, Fodor, Ross, Lakoff, Postal) menunjukkan rasa
ketidakpuasan dan ketidaksetiaan mereka kepada Chomsky yang mengkaji bahasa dari
aspek mental yang abstrak itu, dan mulai meninggalkan tradisi mentalis dalam
mengkaji penggunaan bahasa. Ketika itu, mereka telah menemukan cara bagimana
mengintegrasikan kajian makna ke dalam teori linguistik. Lakoff (1971) bersama rekan
lainnya, yang merasa tertarik dengan kajian-kajian filosofis bahasa Austin dan kawankawan (yang menjadikan bahasa alami (ordinary language) sebagai objek kajiannya),
telah siap dengan argumentasi bahwa sintaksis tidak dapat dipisahkan dari kajian
penggunaan bahasa. Peristiwa itu tercatat sebagai mula terintegrasikannya pragmatik

Universitas Sumatera Utara

ke dalam peta kajian linguistik. Terintegrasikannya pragmatik ke dalam kajian


linguistik memberi arti bahwa lingkup bidang linguistik tidak hanya sebatas aspek fisik
bahasa, melainkan meluas dengan liputan bentuk, makna, dan konteks di dalamnya.
Penyebutan nama banyak ahli dari Amerika pada uraian historis singkat di atas
mungkin

dapat

memberi

kesan

bahwa

Amerika

merupakan

pionir

dalam

pemberhasilan pengintegrasian pragmatik ke dalam kerangka kajian bidang linguistik.


Kesan semacam itu seyogianya tidak demikian apabila perkembangan linguistik dilihat
dari wawasan kesejarahan yang lebih luas. Sepintas memang ada benarnya bahwa di
antara banyak bidang kajian, linguistik banyak diwarnai oleh Amerika. Namun, perlu
diingat pula bahwa tidak sedikit ahli bereputasi besar dari luar (aliran) Amerika yang
relatif jauh sebelum tahun 1970-an telah menekankan perlunya kajian makna
situasional dalam kajian linguistik. J.R. Firth, misalnya, adalah nama linguis kawakan
dari Inggris yang memiliki pandangan seperti itu. Firth (1935) dengan jelas
menyatakan bahwa semua ilmu bahasa adalah kajian tentang makna, dan semua makna
merupakan fungsi dalam konteks (Halliday & Hasan, 1992:10). Demikian juga dengan
Halliday (1969), secara komprihensif telah memaparkan teori sosialnya mengenai
bahasa. Pelibatan teori sosial ke dalam pengkajian bahasa, seperti yang dikembangkan
oleh Halliday, memberi kejelasan bahwa kajian makna bahasa tidak lepas dari
dengan memperhitungkan manusia dengan berbagai hal yang melatarbelakanginya.
Nama-nama lain dari luar Amerika yang sudah cukup lama akrab dengan
kajian pragmatik adalah, seperti: Austin, Searle, dan Grice. Malah, melalui perkenalan

Universitas Sumatera Utara

dengan teori kebahasaan merekalah terinspirasinya linguis Amerika, seperti Lakoff,


Ross, untuk memasuki ranah kajian pragmatik sebelum tahun 1970-an.
Ketertarikan minat orang untuk mengetahui lebih jauh ihwal pragmatik disertai
pula dengan upaya-upaya pengkajian intens dalam bidang yang sama, seperti yang
dilakukan oleh Horn, Fillmore, dan Gazdar pada tahun 1970-an. Tampil dan terbitnya
buku teks Levinson (1983) yang berjudul Pragmatics, tercatat sebagai proklamasi
sekaligus, yang menandai the coming of age of pragmatics discipline in its own right.
Semenjak itulah, penelitian di bidang pragmatik berkembang pesat dan terus berlanjut
(Huang, 2007:3). Dengan demikan, jangkauan linguistik yang semakin luas akibat
bertambahnya bidang pragmatik di dalamnya, sekaligus membuat berubahnya pula
persepsi orang akan hakikat maupun batasan bahasa. Hingga kini, bidang liputan
linguistik, berdasarkan urutan kronologis kehadirannya dalam sejarah linguistik,
adalah sebagai berikut,
1. fonetik/fonologi;
2. morfologi;
3. sintaksis;
4. semantik;
5. pragmatik.

2.3 Antara Semantik dan Pragmatik


Hal yang perlu mendapat pembicaraan pada 2.3 ini adalah pembedaan antara
semantik dan pragmatik. Keduanya merupakan sub-bidang linguistik yang memiliki

Universitas Sumatera Utara

keterkaitan bidang kajian yang bersifat komplementer. Masing-masing berurusan


dengan pengungkapan makna, yang disampaikan melalui wahana bahasa.
Untuk kejelasan perbedaan antara keduanya, dapat dilakukan, misalnya,
dengan memperhatikan penggunaan pronomina persona dia dalam tuturan Sudah
bangun dia? Setidaknya perlu dua hal terdapat pada mitra tutur (pendengar) agar dia
disebut paham akan makna dia pada tuturan di atas. Pertama, mitra tutur mengetahui
bahwa dia dalam tuturan bahasa Indonesia tersebut memiliki makna sebagai orang
ketiga tunggal yang diacu, bukan penutur ataupun mitra tutur. Kedua, mitra tutur
mengetahui siapa orang yang dimaksud dia oleh penutur pada tuturan tersebut. Dari
kedua hal yang disebutkan, yang pertama adalah bagian dari pengetahuan semantik,
dan yang kedua sebagai kompetensi pragmatik. Pada hal yang pertama, untuk sampai
kepada mengetahui makna unsur bahasa (seperti dia saja), mitra tutur cukup dengan
berbekal pengetahuan tentang aspek internal bahasa saja (dalam hubungan ini,
semantik); sedangkan pada yang kedua, untuk sampai pada mengetahui yang
dimaksudkan oleh penutur dalam menggunakan unsur bahasa (seperti untuk acuan dia
yang tepat dalam tuturan tersebut), mitra tutur tidak cukup hanya dengan bermodalkan
pengetahuan tentang aspek internal bahasa saja, melainkan juga dengan pengetahuan
umum (encyclopaedic knowledge) dari luar bahasa. Pengetahuan umum itu, seperti,
informasi yang diperoleh tentang yang dituturkan sebelum saat tuturannya (Saeed,
2000:17-19).
Uraian dengan contoh penggunaan unsur bahasa (dia) di atas memberi
pengertian bahwa mengkaji makna satuan lingual secara internal merupakan tugas

Universitas Sumatera Utara

bidang semantik, sedangkan pengkajian makna satuan lingual secara eksternal menjadi
tugas bidang pragmatik. Pemberian makna dalam kajian semantik dapat dilakukan
tanpa pelibatan memperhatikan konteks atau pengetahuan lain di luar pengetahuan
tentang bahasa, sedangkan dalam kajian pragmatik, makna dapat ditentukan melalui
pelibatan memperhatikan konteks atau pengetahuan lain di luar pengetahuan bahasa.
Pengertian lain yang dapat diperoleh dari uraian di atas adalah bahwa
pengkajian unsur bahasa dalam semantik ditujukan untuk mengetahui makna semata
dari satuan lingual itu, sedangkan pengkajian unsur bahasa dalam pragmatik tujuannya
untuk mengetahui maksud penutur dengan menggunakan unsur bahasa yang
dituturkannya.
Pembedaan antara semantik dan pragmatik di atas sejalan dengan pembedaan
yang dibuat oleh Leech (1993:8-9). Menurutnya, perbedaan bidang semantik dengan
prangmatik terletak pada perbedaan penggunaan verba to mean. Apabila to mean itu
berasal dari unsur bahasa, berarti terdapat hubungan diadik (dyadic) antara unsur
bahasa dengan maknanya, dan apabila to mean berasal dari penutur dalam
menggunakan unsur bahasa, berarti terdapat hubungan triadik (triadic), yaitu, antara
penutur, unsur bahasa, dan maknanya. Makna dalam hubungan diadik adalah makna
unsur bahasa yang digunakan, lepas dari penafsiran kontekstual dari penuturnya.
Apabila unsur bahasa yang digunakan diganti dengan X, misalnya, rumusan
pertanyaan untuk memperoleh makna diadik, menurut Leech, adalah What does X
mean? (Apakah makna X itu?).

Universitas Sumatera Utara

Makna dalam hubungan triadik adalah makna unsur bahasa yang diberi melalui
pertimbangan kontekstual dari penuturnya. Rumusan pertanyaan untuk memperoleh
makna triadik, dengan demikian, adalah What did you mean by X? (Apakah yang Anda
maksudkan dengan X itu?). Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa ranah kajian
semantik berada dalam lingkupan hubungan diadik, sedangkan kajian pragmatik
berada dalam lingkupan hubungan triadik. Pengulangan kedua rumusan pertanyaan di
atas, jika dikaitkan dengan pembedaan antara semantik dengan pragmatik, dapat
diskemakan sebagai berikut.

(1)

What does X mean ?

semantik

pragmatik

(Apakah makna X itu?)


(2)

What did you mean by X ?


(Apakah yang Anda maksudkan dengan X itu?)
(Bandingkan dengan Leech (1983))

Dengan demikian, rumusan terhadap masing-masing istilah, antara semantik


dan pragmatik, dapat diturunkan dari pemahaman uraian di atas sebagai berikut.
Semantik adalah sub-bidang linguistik yang mengkaji tentang makna unsur bahasa
lepas dari pemaknaan kontekstual penggunanya, sedangkan pragmatik adalah subbidang linguistik yang mengkaji tentang makna dalam hubungannya dengan konteks
tuturan.

Universitas Sumatera Utara

2.4 Konteks Tutur


Penyebutan konteks tutur pemunculannya sering ditemukan dalam kajian
bahasa (linguistik), terutama dalam kajian pragmatik. Membuat rumusan konteks tutur
yang tepat untuk penggunaan yang luas tentu tidak mudah karena apa saja yang
menjadi komponen konteks tutur itu dapat berbeda di antara para ahli. Namun, sebuah
rumusan konteks tutur, yang penulis anggap bercorak relatif moderat, dimuat di sini.
Secara umum dapat dikatakan bahwa konteks tutur adalah faktor lingkungan
dinamis sekitar yang relevan terhadap pemilihan bentuk dan penafsiran satuan lingual
yang digunakan. Bandingkan dengan Huang (2007:13) yang merumuskan konteks
tutur sebagai any relevant features of the dynamic setting or environment in which a
linguistic unit is systematically used.
Tentang konteks tutur terdapat juga pembagiannya, seperti yang dikemukakan
oleh Ariel (Huang, 2007:13-14). Melihat sumbernya, dia membagi konteks tutur atas
tiga jenis. Yang pertama hingga yang ketiga, masing-masing adalah: (1) konteks fisik
(physical context), (2) konteks lingual (linguistic context), dan (3) konteks
pengetahuan umum (general knowledge context) seseorang. Konteks (1) adalah
lingkungan dinamis yang melatari tuturan, seperi partisipan (penutur dan mitra tutur),
lokasi, dan waktu tuturan (Gasser, 2003). Mitra tutur sebagai konteks fisik, yang
berperan (relevan) dalam pemilihan bentuk dan penafsiran maknanya, dapat dilihat,
misalnya, pada penggunaan pronomina persona orang kedua tunggal kau pada Jangan
kau datang lagi! Terpilihnya bentuk kau (bukan Anda, Tuan, Ayah, dsb.) pada tuturan
terakhir, di atas, telah melalui pertimbangan sebelumnya dari penutur, siapa orang

Universitas Sumatera Utara

yang menjadi mitra tuturnya. Penutur tidak akan menggunakan kau sebagai pilihan
apabila orang yang menjadi mitra tutur, misalnya, ayahnya. Jadi, dalam hubungan ini,
mitra tutur adalah konteks fisik di sekitar tuturan, yang melatari dan berpengaruh
terhadap dipilihnya penggunaan kau oleh penutur untuk menyapa mitra tuturnya.
Dari aspek pemaknaan, kau tidak dapat diberi atau ditentukan maknanya
sebelum mengetahui siapa yang menjadi mitra tutur bagi penutur pada saat tuturan
tersebut berlangsung (atau, siapa yang dimaksud oleh penutur dengan menggunakan
kau dalam tuturannya). Dengan mengetahui siapa orang yang menjadi mitra tutur,
misalnya Budi (konteks fisik), barulah dapat ditentukan makna bentuk unsur lingual
kau.
Konteks jenis (2) adalah unsur-unsur lain dari bahasa itu sendiri yang melatari
bentuk lingual yang digunakan. Apa yang disebut sebelum saat tuturan, misalnya,
berpengaruh dalam pemilihan dan penentuan makna unsur bahasa yang digunakan.
Unsur bahasa dia pada tuturan tanya dari Budi kepada Ali berikut ini, misalnya,
pilihan penggunaannya, oleh Budi (sebagai mitra tutur), didasarkan pada konteks
lingual yang dihasilkan oleh Ali (sebagai penutur) sebelum saat tuturan dia oleh Budi.
Pilihan Budi menggunakan dia (bukan engkau, saya, dsb.) dipengaruhi oleh
pertimbangan bahwa bentuk lingual yang sesuai untuk mengacu orang ketiga tunggal
(Mira) yang dituturkan oleh Ali adalah dia.
Dalam penentuan makna terhadap dia, konteks lingual yang sama, yang
dituturkan oleh Ali sebelumnya, juga memiliki pengaruh. Terhadap dia, yang
dituturkan Budi (sebagai penutur) dapat ditentukan maknanya oleh Ali (sebagai mitra

Universitas Sumatera Utara

tutur) setelah mengetahui bahwa yang Budi maksudkan dengan dia adalah Mira, yang
terdapat pada tuturan (konteks lingual) sebelumnya.
Ali : Mira sudah datang.
Budi : Mana dia ?
Konteks jenis (3) merupakan latar belakang pengetahuan yang dimiliki
bersama oleh penutur dan mitra tutur sebagai anggota dari masyarakat yang sama.
Dengan kesamaan latar belakang pengetahuan itu penutur mengasumsikan bahwa
mitra tutur akan dengan persepsi yang sama dengan penutur terhadap yang hendak
dituturkan. Atau, dengan kata lain, apa yang hendak dituturkan oleh penutur diyakini
akan dapat dimaknai mitra tutur sesuai dengan yang dimaksudkan oleh penutur.
Terhadap uraian yang baru disebutkan, Gibbs (Saeed, 2000:185) membuat
bentuk sebuah rumusan. Apabila S = Penutur (Speaker), P = Proposisi (proposition),
dan A = Mitra Tutur (Addressee), rumusannya adalah sebagai berikut.
S and A mutually know a proposition P, if and only if :
S knows that P
A knows that P
S knows that A knows that P
A knows that S knows that A knows that P,
....... and so on.

Universitas Sumatera Utara

Sebagai bukti bahwa antara penutur dan mitra tutur memiliki latar belakang
pengetahuan yang sama terhadap sebuah proposisi, dapat dilihat pada komunikasi
antara A dengan B, yang Saeed contohkan sebagai berikut.
A :

Shall we go and get some ice cream?

B :

Im on a diet.

A :

Oh, okay.

Dapat dikatakan bahwa proposisi (P) yang diketahui secara bersama oleh
penutur dan mitra tutur itu adalah, Diet itu berpantang es krim (karena sarat lemak).
Keberlangsungan komunikasi terakhir, di atas, menandakan bahwa B tahu akan
proposisi itu, dan yakin bahwa A juga mengetahuinya. Oleh karena A dapat
memaklumi alasan (penolakan) B, berarti A juga mengetahui proposisi itu. Lebih jauh
adalah, A juga mengetahui bahwa B tahu bahwa A mengetahui P itu.
Kesamaan latar belakang pengetahuan umum pada penutur dan mitra tutur,
seperti yang disebutkan, berpengaruh terhadap keberlangsungan komunikasi antara
partisipan tutur. Soal ada-tidaknya keberlangsungan komunikasi antara partisipan
tutur, dalam bahasa populernya, masing-masing disebut dengan istilah nyambung
dan tidak nyambung.
Pada perkembangan selanjutnya, pengertian konteks tutur berupa latar
belakang pengetahuan umum dibedakan oleh Clark (Huang, 2007:14) dengan
membaginya kepada dua jenis pengetahuan, masing-masing, pengetahuan umum
masyarakat (communal common ground) dan pengetahuan umum perorangan

Universitas Sumatera Utara

(personal common ground). Pengetahuan jenis pertama merupakan pengetahuan yang


sama yang melatarbelakangi setiap anggota suatu masyarakat, sedangkan pengetahuan
jenis kedua berupa pengetahuan yang melatarbelakangi anggota-angota tertentu dari
suatu masyarakat, yang mereka peroleh dari pengalaman masa lalu mereka.

2.5 Urgensi Deiksis


Pada mulanya istilah deiksis (deixis), dari bahasa Yunani Kuno deiknymi
(Saeed, 2000:173), dipersepsi sebagai pengacuan dengan isyarat.

Bagian dan

gerakan tertentu dari anggota tubuh penutur digunakan untuk mengacu sesuatu yang
dimaksudkannya. Pengarahan (jari) tangan kepada sesuatu yang dimaksudkan adalah
salah satu contoh cara pengacuan dengan menggunakan isyarat bagian tubuh.
Pengacuan seperti itu, menurut Lyons (1995:303-304), boleh jadi merupakan cara
alami manusia sejak dini (proto-form of reference (Bohnemeyer, 2006)) dalam
mengidentifikasi apa yang dimaksudkannya. Ditambahkan bahwa cara pengacuan
seperti itu dapat ditemukan dalam berbagai budaya dunia.
Dengan mengambil analogi dari kenyataan di atas, Lyons sampai kepada satu
kesimpulan bahwa setiap ekspresi lingual yang memiliki fungsi yang sama dengan
fungsi mengacu yang terdapat pada isyarat anggota tubuh, seperti disebutkan di atas,
sifatnya deiktis.

Bentuk-bentuk pronomina persona dan demonstrativa adalah

termasuk ke dalam jenis ekspresi lingual yang jelas memiliki kesamaan fungsi dengan
penggunaan bagian tubuh, seperti (jari) tangan, untuk mengacu kepada sesuatu. Hal itu
dapat dibuktikan, misalnya, dengan mengacukan tangan kita kepada diri sendiri sambil

Universitas Sumatera Utara

menyebut merasa puas, tanpa menyebutnya secara lengkap, yakni dengan Saya
merasa puas. Untuk tidak menyebut Gambar itu kabur secara lengkap, kita dapat
menyampaikan maksud yang sama dengannya, hanya dengan menyebut Gambar
kabur, seraya mengacu dengan menggunakan jari telunjuk, misalnya, ke arah gambar
tertentu yang tergantung di dinding.
Dari Yule (1996:9) diperoleh juga penjelasan terkait dengan fungsi deiksis.
Menurutnya, salah satu hal yang amat penting sehubungan dengan penggunaan bahasa
adalah deiksis. Istilah deiksis, secara bersahaja, dia maknai sebagai upaya pengacuan
melalui penggunaan bahasa (pointing via language). Dengan demikian, dapat
dikatakan

bahwa

setiap

bentuk

lingual

yang

memiliki

fungsi

demikian

(mengacu/menunjuk) disebut ekspresi deiksis. Kata itu dalam bentuk tuturan tanya
Apa itu?, misalnya, adalah ekspresi deiksis, yang digunakan untuk mengacu kepada
sesuatu yang relatif jauh dari penuturnya.
Deiksis termasuk salah satu fenomena bahasa yang universal karena ekspresiekspresi deiksis dapat ditemukan pada semua bahasa manusia. Tentang mengapa
demikian halnya dapat diperoleh jawabannya, misalnya dari Huang (2007:132), yang
memberi penjelasan bahwa melakukan komunikasi melalui wahana bahasa di antara
sesama penggunanya tidak dapat berjalan secara efektif dan efisien tanpa kehadiran
deiksis di dalamnya.
Pendapat senada dengan Huang tentang urgensi deiksis dalam penggunaan
bahasa terdapat juga dalam Bohnemeyer (2006). Guna menguat yakinkan orang akan
urgensi tersebut, dia mengajak agar kita menentukan satu objek apa saja di sekitar kita,

Universitas Sumatera Utara

kemudian mencoba menjelaskannya kepada mitra tutur tanpa melibatkan penggunaan


deiksis. Apabila dalam upaya menjelaskan tersebut ternyata mengalami kendala, hal
itu memberi bukti bahwa pendapat di atas benar. Artinya, penggunaan bahasa untuk
menjelaskan sesuatu (dunia) dapat terkendala, contoh pada 1.4, apabila tidak disertai
pelibatan penggunaan deiksis di dalamnya.
Urgensi pelibatan penggunaan deiksis demikian dalam komunikasi lingual
terkait dengan fungsi deiksis itu sendiri. Setidaknya, menurut Bohnemeyer, deiksis
memiliki tiga fungsi dalam penggunaan bahasa. Ketiganya adalah, (1) menghadirkan
acuan yang dimaksud (dengan versi yang berbeda) ke dalam tuturan, (2) membuat
spesifikasi di antara sejumlah kemungkinan acuan dalam konteks tutur, dan (3)
menggiring perhatian mitra tutur kepada acuan yang dimaksudkan oleh penutur.
Fungsi (1) adalah fungsi yang juga dapat ditemukan pada unsur lingual pada umumnya
(termasuk yang non-deiktis). Namun, dua fungsi yang terakhir ((2), (3)) hanya terdapat
pada unsur lingual yang bersifat deiktis saja.

2.6 Deiksis Dari Sejumlah Ahli


Pengertian deiksis telah banyak diberikan oleh para ahli bahasa yang akrab
dengan kajian pragmatik. Untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang apa yang
dimaksud dengan deiksis itu, sejumlah pengertian yang relevan dimuat pada bagian
berikut ini.
Dari penjelasan Levinson (1983:54) diperoleh pengertian bahwa sejatinya
deiksis memperhatikan cara bahasa mengkodekan esensi konteks dan peristiwa tutur

Universitas Sumatera Utara

ke dalam gramatika. Selain itu, deiksis juga memperhatikan bagaimana memaknai


tuturan melalui pengkajian konteks tuturan tersebut. Selengkapnya, penjelasan
Levinson itu dikutip sebagai berikut.
Essentially deixis concerns the ways in which languages encode or grammaticalize features of the context of utterance or speech event, and thus
also concerns ways in which the interpretation of utterances depends on
the analysis of that context of utterance (Levinson, 1983:54).
Penjelasan Levinson di atas menunjukkan terdapatnya tiga tahapan proses
dalam deiksis. Prosesnya, pada tahapan pertama, adalah mengkodekan lebih dahulu
esensi konteks ataupun peristiwa tutur ke dalam bentuk gramatika. Esensi konteks itu
adalah makna atau apa yang dipersepsi oleh penutur dari konteks. Pada tahapan kedua,
bentuk gramatikal dengan muatan makna direalisasikan dalam wujud ekspresi lingual,
yang selanjutnya, sebagai tahapan ketiga, dimaknai oleh mitra tutur menurut
pemahamannya terhadap konteks yang melatari dihasilkannya ekspresi lingual
tersebut.
Pemaknaan berdasarkan pemahaman konteks tutur tidak berlangsung acak,
melainkan dengan keharusan melakukannya secara bersistem (systematically).
Penegasan akan hal itu dikemukakan kemudian oleh Levinson dalam definisi
deiksisnya, yang di dalamnya ditegaskan sekaligus bahwa deiksis adalah fenomena
lingual, whereby some linguistic expressions are systematically dependent on the
context for their interpretation (Levinson, 2006a:2). Ketergantungan pemahaman
konteks tutur secara sistematis untuk memaknai ekspresi lingual dicontohkannya

Universitas Sumatera Utara

dengan mengemukakan bentuk tuturan tulis Meet me here a week from now with a
stick about this big.
Dengan menemukan dan membaca tuturan tertulis itu saja, tanpa memahami
konteks relevan dihasilkannya tuturan tersebut, kita tidak mengetahui siapa yang harus
ditemui, di mana, kapan, serta sebesar apa tongkat yang harus dibawakan menurut
orang yang menghasilkan tuturan itu. Demikian juga halnya dengan I ll be back in an
hour. Tanpa mengetahui kapan tuturan tulis itu dihasilkan (dituliskan), kita tidak dapat
mengetahui kapan akan kembalinya orang yang membuat tuturan tulis tersebut.
Saeed, yang juga melihat peranan urgensif dari pemahaman konteks tutur
dalam memaknai ekspresi lingual, menjelaskan adanya keterikatan ekspresi dengan
konteks. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa unsur lingual yang terikat konteks
seperti itu sifatnya deiktis. Elements of language that are so contextually bound are
called deictic (Saeed, 2000:173).
Dari pejelasan Saeed di atas dapat dikatakan bahwa unsur lingual, seperti me/I,
here, now, this, in an hour, pada dua contoh tuturan tulis terakhir adalah ekspresi
deiksis karena untuk memaknai unsur-unsur lingual tersebut diperlukan bantuan
informasi kontekstual (seperti, siapa yang menghasilkan tuturan, di mana dan kapan
unsur-unsur lingual tersebut dihasilkan).
Berkenaan dengan konteks tutur, faktor terkait dan menentukan di dalamnya,
menurut Gasser (2003), pada pokoknya adalah penutur, pendengar, tempat, dan waktu.
Untuk mengilustrasikan maksud konteks tuturan, Gasser mengambil kalimat bahasa
Inggris I like it sebagai contoh, yang dalam hubungan ini, dia sebut sebagai tuturan

Universitas Sumatera Utara

yang berlainan apabila disampaikan pada saat yang berbeda. Hal ini memberi
pengertian bahwa setiap penuturan memiliki konteks sendiri, dan pada setiap konteks
yang berbeda unsur lingual yang sama hadir dengan makna yang berbeda pula.
Singkatnya, makna akan selalu berubah dari konteks tuturan yang satu ke konteks
tuturan yang lain. Pemahaman konteks tuturan, Gasser permudah dengan
membagankan faktor-faktor yang berperan dalam terbentuknya konteks tutur, sebagai
berikut.
Bagan 01: Konteks tutur
Utterance

Form

Speaker

Hearer

Location

Time

Sumber: Gasser (2003)

Setiap bagian pada bagan 01, berupa kotak, pada bagan di atas adalah gatra
peran (role) dalam konteks (lihat juga Jaszczolt, 2006) yang dapat ditempati oleh siapa
atau apa saja dalam situasi yang berbeda-beda. Misalnya, gatra penutur ditempati oleh
orang tertentu, dan gatra tempat oleh tempat tertentu.

Universitas Sumatera Utara

Terkait dengan ihwal deiksis pada kalimat di atas ( I like it ), unsur I acuannya
dapat ditentukan dari konteks tuturan, yang dalam hubungan ini, siapa yang mengisi
kotak gatra peran penutur (speaker). Jika yang mengisi gatra tersebut, misalnya, Mara
(pria), maka dapat ditentukan bahwa acuan unsur I adalah Mara. Acuan unsur I
selanjutnya dapat juga berpindah, misalnya, pada Mawa (wanita), apabila yang
mengisi kotak gatra peran pada bagian di atas adalah wanita dengan nama tersebut.
Bergantinya acuan ekspresi lingual yang sama disebabkan perubahan konteks
terdapat juga pada it. Acuan it dapat berupa benda atau hal yang tidak sama apabila
pengisi gatra peran tempat (location) terdiri dari tempat yang berbeda secara
bergantian. Dukungan peranan konteks dalam penentuan makna ekspresi lingual tidak
terbatas hanya dari satu faktor konteks tuturan tertentu saja, melainkan dapat juga dari
kombinasi dua faktor atau lebih. Untuk penentuan acuan ekspresi lingual it di atas,
misalnya, dapat dilakukan dengan mengetahui faktor konteks berupa penutur dan
tempat sekaligus, yang dalam hubungan ini, siapa yang menjadi penutur serta di mana
penutur mengekspresikan it tersebut.
Dari contoh pemaknaan I dan it, dalam kaitannya dengan konteks tutur, Gasser
memadai penjelasannya dengan memberi pengertian tentang (ekspresi) deiksis.
Ekspresi deiksis, menurutnya, adalah ekspresi yang maknanya diperoleh langsung dari
konteks tuturan. Artinya, makna ekspresi dapat ditentukan setelah mengetahui faktor
relevan yang diacu dalam konteks tutur, yang terdiri dari: penutur, mitra tutur, lokasi,
dan waktu. Adapun istilah deiksis, adalah merupakan bentuk nomina dari deiktis.

Universitas Sumatera Utara

Tentang ekspresi deiksis dan istilah deiksis tersebut, Gasser menjelaskan sebagai
berikut.

[ ....... ]

deictic expression, an expression that gets its meaning directly

from the utterance context, that make reference to one or more of the
roles in the utterance context: the speaker, the hearer, the location, or
the time. The noun form of the word is deixis (Gasser, 2003).

Ahli lain yang memberi pengertian tentang deiksis adalah Huang (2007:132).
Dalam

bukunya

Pragmatics,

dinyatakan

bahwa

deiksis,

secara

langsung,

memperhatikan hubungan antara struktur bahasa dengan konteks penggunaannya. Dari


pernyataan singkatnya Huang selanjutnya merumuskan deiksis sebagai fenomena yang
menunjukkan bahwa esensi konteks atau peristiwa tutur dikodekan melalui bentuk
leksikal ataupun satuan gramatikal lain dari suatu bahasa. Penjelasan singkat dan
rumusan Huang itu selengkapnya dikutip sebagai berikut.

Deixis is directly concerned with the relationship between the structure


of language and the context in which the language is used. It can be defined as the phenomenon whereby features of context of utterance or
speech event are encoded by lexical and/or grammatical means in a language (Huang, 2007:132).

Universitas Sumatera Utara

Terdapat hal implisit dan eksplisit dalam penjelasan dan rumusan deiksis
Huang di atas. Dari keimplisitannya, tidak terlihat adanya tahapan proses deiksis
setelah pengkodean makna ke dalam bentuk gramatika. Setelah penggramatikalan
makna, seyogianya terdapat proses perealisasian bentuk-bentuk gramatikal ke dalam
wujud ekspresi lingual, yang selanjutnya diikuti oleh upaya pemaknaan berdasarkan
pemahaman

konteks

tuturan

(bandingkan

dengan

Levinson,

1983:54).

Keeksplisitannya terdapat pada pembedaan kemungkinan pengkodean makna ke dalam


bentuk leksikal di samping bentuk-bentuk gramatikal lain dari satuan bahasa. Hal
terakhir memberi pengertian bahwa kedeiktisan ekspresi lingual dapat terjadi pada
tataran kata atau frasa (Kridalaksana, 1982:98), dan mungkin juga pada tataran satuan
lingual lainnya yang lebih tinggi, seperti kalimat.
Pengertian mendasar yang dapat diambil dari penjelasan dan rumusan keempat
ahli di atas, antara lain, adalah: (1) deiksis merupakan fenomena lingual, (2) dalam
deiksis terdapat pelibatan konteks dalam pemilihan bentuk ekspresi lingual yang akan
dituturkan, (3) dalam deiksis terdapat pelibatan pemahaman konteks dalam penentuan
makna bentuk ekspresi lingual yang telah dituturkan, (4) pemilihan bentuk ekspresi
lingual dan pemaknaannya berlangsung secara sistematis, (5) pemahaman konteks
adalah dalam arti luas untuk menentukan makna ekspresi lingual yang dituturkan.
Dari kelima pengertian yang menjadi ciri deiksis di atas masih terlihat belum
adanya pembedaan yang jelas antara deiksis dengan referensi (reference) sebab kelima

Universitas Sumatera Utara

ciri yang terdapat dalam deiksis para ahli tersebut juga merupakan ciri yang dimiliki
referensi. Oleh karena itu, untuk memperoleh rumusan deiksis atau ciri lain yang dapat
dioperasikan sebagai penjaring ekspresi deiksis dari tuturan, perlu pembedaan lebih
dahulu antara referensi dan deiksis.

2.7 Antara Referensi dan Deiksis


Dalam kajian pragmatik, referensi dan deiksis dipandang sebagai fenomena
pengacuan secara lingual terhadap sesuatu agar mitra tutur atau pembaca dapat
mengidentifikasinya. Sebatas itu, antara referensi dengan deiksis, belum terlihat
perbedaan. Letak perbedaan keduanya justru terdapat pada keluasan ranah pengacuan
masing-masing. Referensi memiliki ranah pengacuan yang lebih luas, yang meliputi
sesuatu yang tentu (definite referent), yang tidak tentu (indefinite referent), dan yang
umum (generic referent); sedangkan deiksis pengacuannya terbatas hanya terhadap
yang tertentu saja (Kreidler, 1998:130-144; Cruse, 2004:317-328).
Dari penjelasan di atas terlihat bahwa deiksis adalah bagian dari pengacuan
(reference). Benar demikian halnya, tetapi pengacuan dalam deiksis adalah pengacuan
yang terikat kepada konteks penutur. Untuk memaknai atau mengetahui acuan ekspresi
deiksis (deictic expression) yang digunakan sebagai pengacu sesuatu yang tertentu itu,
perlu pemahaman konteks yang lebih luas, yakni konteks socio-personal maupun
spatio-temporal-lingual penutur yang senantiasa dapat berubah (lihat juga Levinson,
1983:65). Dalam hubungan ini, dapat dimengerti jika terdapat sebutan bahwa makna

Universitas Sumatera Utara

ekspresi deiksis adalah makna menurut perspektif penutur yang dapat berubah-ubah
menurut keberadaan penutur dalam konteks yang baru disebutkan.
Untuk mengetahui makna atau acuan kata sapaan paman, misalnya, kita harus
memperhatikan terlebih dahulu terhadap siapa penutur mengacukan kata sapaan
tersebut pada saat dituturkan dalam konteks sosial penutur berada. Jika penutur
mengacukan kata sapaan tersebut terhadap C pada saat tuturan, maka makna atau
acuan kata sapaan paman

adalah C, dan jika penutur, pada kesempatan lain,

menggunakannya terhadap X, maka acuannya adalah X. Kata engkau juga demikian,


acuannya dapat berubah-ubah sesuai maksud penutur menggunakannya dalam konteks
antar-personalnya yang berbeda. Jika

mitra tutur atau orang kedua tunggal yang

diacunya dengan engkau adalah A, maka pada saat tuturan tersebut, acuannya adalah
A, dan apabila pada kesempatan lain penutur menggunakannya terhadap Y, maka pada
saat tuturan tersebut acuannya adalah Y.
Adverbia sekarang, juga dapat berubah-ubah acuannya sesuai maksud penutur
dalam konteks temporalnya. Apabila penutur, misalnya, menuturkan adverbia tersebut
pada tanggal 14 Mei 2010, acuannya pada saat tuturan adalah hari yang sama atau
waktu tertentu pada hari yang sama, dan jika penutur menggunakannya pada dua hari
sesudahnya, acuannya adalah hari yang berbeda, yakni hari Ahad, tanggal 16 Mei
2010. Demikian seterusnya terhadap pemaknaan ekspresi deiksis dari jenis lain.
Pemaknaannya tetap dengan memperhatikan maksud penutur pada saat menuturkan
ekspresi deiksis tersebut dalam konteks penggunaan masing-masing.

Universitas Sumatera Utara

Adanya keharusan pemahaman konteks tutur untuk dapat ditetapkannya acuan


suatu ekspresi memberi pengertian pula bahwa setiap ekspresi lingual yang acuannya
dapat diketahui tanpa keharusan pemahaman konteks tutur sifatnya tidak deiktis,
walaupun ekspresi pengacu yang digunakan tersebut termasuk ke dalam kategori
ekspresi deiksis. Hal demikian yang terdapat, misalnya, pada demonstrativa ini pada
tuturan Ini boleh Anda ambil. Unsur ini pada tuturan tersebut adalah ekspresi lingual
yang bersifat deiktis karena untuk mengetahui acuannya perlu pemahaman konteks
tuturnya. Dalam hubungan ini, perlu diketahui siapa penutur serta apa yang
dimaksudkannya dengan ini pada saat menuturkan tuturan tersebut. Ekspresi yang
sama dapat juga tidak deiktis. Hal demikian terjadi apabila, seperti yang disebutkan di
atas, acuannya dapat diketahui tanpa pelibatan pemahaman konteks tuturnya, seperti
terdapat pada Anak berparut di kening ini saya temukan di simpang jalan tadi. Tanpa
pelibatan pemahaman konteks tuturnya dapat ditetapkan bahwa acuan ekspresi lingual
ini pada tuturan terakhir tidak lain adalah anak berparut di kening.
Dari pemahaman penggunaan ekspresi lingual ini pada dua tuturan di atas
diperoleh informasi bahwa kedeiktisan suatu ekspresi tidak dapat ditetapkan hanya dari
kategori atau kepotensialannya sebagai ekspresi deiksis saja. Ekspresi lingual yang
dikategorikan sebagai ekspresi deiksis pun sifatnya dapat berubah menjadi non-deiktis
karena acuannya dapat diketahui tanpa ketergantungan kepada pelibatan pemahaman
konteks tutur, seperti yang terjadi pada ini dalam tuturan terakhir di atas.

Universitas Sumatera Utara

Hal lain yang membuat ekspresi deiksis dapat berubah sifat menjadi non-deitis,
dengan mengikut penjelasan Levinson (1983:65-67), adalah, apabila ekspresi tersebut
(1) tidak mengacu secara khusus kepada acuan tertentu, (2) tidak digunakan sebagai
pengacu sesuatu. Atas dasar itu kedua ekspresi yang dikategorikan sebagai ekspresi
deiksis dalam bahasa Inggris, you dan that, misalnya, masing-masing sifatnya nondeiktis, menurut Levinson, pada tuturan You can never tell what sex they are nowadays
dan Oh, I did this and that. Pada tuturan pertama, unsur you tidak mengacu secara
khusus kepada acuan tertentu, berupa mitra tutur tunggal, melainkan kepada semua
orang. Oleh karenanya, you pada tuturan pertama tersebut bersifat non-deiktis. Pada
tuturan kedua, unsur that tidak digunakan sebagai pengacu sesuatu yang berjarak
relatif jauh kepada penutur, melainkan sebagai bagian dari rangkaian idiom this and
that, yang menyatakan volume kerja atau tugas yang telah dilakukan oleh penuturnya.
Oleh karenanya, that pada tuturan kedua, juga, non-deiktis sifatnya.
Berbeda halnya dengan ekspresi you dan that pada kedua tuturan di atas, pada
kedua tuturan What did you say ? dan Thats a beautiful view, masing-masing dari
kedua unsur tersebut bersifat deiktis karena digunakan untuk mengacu secara khusus
kepada sesuatu yang tertentu. You pada tuturan tanya di atas, oleh penuturnya,
diacukan kepada orang kedua tunggal, yang menjadi mitra tutur baginya; sedangkan
that pada tuturan terakhir penuturnya gunakan untuk mengacu yang tentu, yakni,
pemandangan yang lokasinya relatif jauh dari penuturnya berada pada saat tuturan.
Sejauh ini, tentang siapa orang kedua tunggal tertentu yang menjadi acuan you dan

Universitas Sumatera Utara

pemandangan tertentu mana yang diacu dengan that belum diketahui secara jelas. Hal
itu disebabkan oleh berbagai kemungkinan acuan berupa orang dan pemandangan yang
dapat diacu dengan masing-masing ekspresi tersebut. You dan that, dalam hubungan
ini, adalah ekspresi yang acuannya dapat berpindah-pindah. Untuk mengetahui dan
dapat menetapkan acuannya diperlukan pemahaman konteks lagi, yakni terhadap
konteks tutur masing-masing. Untuk you termasuklah, di antaranya, siapa orang kedua
tunggal yang dimaksudkan oleh penutur pada saat menuturkan ekspresi pengacu
tersebut; sedangkan untuk that, pemandangan mana yang dimaksudkan oleh penutur
pada saat menuturkannya. Ketergantungan kepada pemahaman konteks tutur untuk
dapat menetapkan acuan yang jelas kedua ekspresi you dan that menguatkan alasan
untuk mengatakan bahwa keduanya adalah ekspresi lingual yang bersifat deiktis pada
masing-masing tuturan terakhir di atas.
Jika dielaborasi, hal yang menjadi ciri deiksis dari penjelasan di atas adalah: (1)
deiksis adalah fenomena pengacuan bersifat lingual, (2) dalam deiksis terdapat
ekspresi pengacu (referring expression) terhadap acuan yang dimaksud, yang disebut
ekspresi deiksis, (3) acuan ekspresi deiksis dapat berpindah-pindah, (4) perpindahan
acuan ekspresi deiksis disebabkan oleh perubahan konteks sosio-personal maupun
spasio-temporal, dan lingual penuturnya.
Dari keempat ciri deiksis di atas penulis dapat mengambil satu kesimpulan
berupa rumusan deiksis yang dapat dijadikan sebagai kriteria dasar dalam melihat
deiktis-tidaknya ekspresi lingual. Rumusannya, deiksis adalah fenomena pengacuan

Universitas Sumatera Utara

secara lingual yang acuan ekspresi pengacunya dapat berpindah-pindah sesuai


konteks sosio-personal maupun spasio-temporal-lingual penutur atau penulisnya.
Berkenaan dengan keperluan akan kriteria penentuan deiktis-tidaknya ekspresi
lingual, ciri lain deiksis yang dinilai relevan dan bermanfaat dalam penelitian ini, turut
dimuat pada bagian berikut ini.

1. Ekspresi deiksis pemaknaannya bergantung konteks (Levinson, 1983:66).


2. Ekspresi deiksis bersifat speaker-oriented. Makna atau acuannya adalah
yang dimaksudkan oleh penutur (Huang, 2007:11).
3. Ekspresi deiksis tidak dapat diparafrasekan (Levinson, 2006b:14)
4. Ekspresi deiksis dapat digunakan untuk mengacu dengan zero complement (Cruse, 2004:338).

2.8 Kajian Sebelumnya


Pengkajian deiksis telah tergolong lama. Tercatat bahwa sejak periode Yunani
deiksis sudah menjadi objek kajian, utamanya oleh bidang filsafat. Namun, sebagai
objek kajian ilmiah dari perspektif linguistik, deiksis baru beroleh tempat pada periode
Buhler (1930). Mulanya, terdapat tiga jenis deiksis

liputan yang oleh Buhler

(Calcagno, 2003) dipandang sebagai jenis deiksis utama (main kinds of deixis). Ketiga

Universitas Sumatera Utara

jenis deiksis itu, masing-masing, adalah deiksis tempat (spacial deixis), deiksis waktu
(temporal deixis), dan deiksis persona (personal deixis). Dalam perkembangan
selanjutnya, Levinson (1983:85-94) memperkenalkan dua lagi jenis deiksis, yang
masing-masing berupa deiksis sosial (social deixis) dan deiksis wacana (teks)
(discourse (text) deixis) (Imai, 2003:6).
Di Indonesia, sejauh pengamatan penulis, hingga periode tahun sembilan
puluhan, liputan kajian deiksis masih berada pada seputar tiga jenis deiksis, berupa
deiksis orang (personal deixis), deiksis tempat (spatial deixis), dan deiksis waktu
(temporal deixis). Kenyataan itu terindikasi pada dua hasil penelitian tentang deiksis
yang masing-masing dilakukan oleh Purwo (1984) dan Rahyono (1992). Pada hasil
penelitian Purwo, yang termuat dalam disertasinya Deiksis Dalam Bahasa Indonesia,
dan Rahyono dalam tesisnya Makna Invarian Ekspresi Deiktis Dalam Bahasa Jawa,
bahasan yang dilakukan pada pokoknya masih berada pada seputar tiga jenis deiksis
pertama yang tersebut di atas.
Antara Purwo dengan Levinson, yang menunjukkan bahwa yang pertama
tampil kurang lebih setahun kemudian setelah yang kedua, dapat memberi tafsiran,
seyogianya dalam disertasi Purwo tersebut terliput juga hasil kajian tentang dua jenis
deiksis terakhir (deiksis sosial dan deiksis wacana) yang termuat dalam Levinson
(1983). Namun, tidak terdapatnya Levinson (1983) dalam rujukan pustaka Purwo
(1984) menguatkan alasan untuk mengatakan bahwa dua jenis deiksis terakhir belum

Universitas Sumatera Utara

dikenal, atau informasinya tidak selengkap untuk tiga jenis deiksis pertama di masa
Purwo (1984).
Adapun yang menyusul kemudian, Rahyono (1992) dalam penelitian tesisya,
tampak belum seutuhnya menambahkan kedua jenis deiksis terakhir yang disebutkan
ke dalam liputan kajiannya, sekalipun dalam daftar kepustakaan tesisya tersebut
tercantum Levinson (1983). Dalam hubungan ini, menurut hemat penulis, tidak
terintegrasikannya kedua jenis deiksis terakhir sebagai liputan pengkajian dalam
Rahyono (1992) tidak lagi disebabkan oleh tidak ada atau minimnya informasi tentang
keduanya, tetapi oleh pengambilan sikap yang termotivasi oleh disertasi Purwo (1984)
-- untuk menerapkannya dalam penulisan semantik bahasa Jawa (Rahyono, 1992:2).
Dua jenis deiksis tambahan Levinson yang disebutkan dapat dikatakan
penerapannya tergolong relatif masih baru dalam literatur kajian linguistik Indonesia.
Hal itu dapat dilihat setelah tahun dua ribuan, seperti pada yang dilakukan oleh
Harahap dalam penelitian tesisnya yang berjudul Analisis Deiksis dalam Bahasa
Jerman, di bawah bimbingan Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D. dan Prof. Dr. Robert
Sibarani, M.S.. Pada tesisnya tersebut, Harahap telah memasukkan deiksis sosial dan
deiksis wacana sebagai bagian integral dari liputan penelitiannya.
Hingga sekarang ini pengintegrasian kedua jenis deiksis tersebut ke dalam
kajian deiksis secara menyeluruh bersama ketiga jenis deiksis yang disebut
sebelumnya, atau dengan menetapkan salah satu di antaranya sebagai objek kajian
belum pernah dilakukan dalam wujud penelitian disertasi. Dalam penelitian ini penulis
menyertakan semua dari kelima jenis deiksis yang disebutkan di atas sebagai objek

Universitas Sumatera Utara

penelitian dalam bahasa Mandailing. Penulis tidak membatasinya hanya pada tiga jenis
deiksis liputan, yang oleh Buhler dipandang sebagai main kinds of deictics atau
sebagai basic categories of deixis (Huang, 2007:136), yakni deiksis persona, deiksis
tempat, dan deiksis waktu, tetapi terliput juga di dalamnya deiksis sosial dan deiksis
wacana.
Dari kedua jenis deiksis

yang tergolong masih baru tersebut, di samping

deiksis wacana, pengintegrasian deiksis sosial dalam kerangka penelitian ini sifatnya
tampak amat relevan. Aspek sosial bahasa Mandailing dengan keunikannya, terutama
yang menyangkut sistem sapaan,

adalah ranah yang cukup menarik untuk dikaji

melalui deiksis tersebut. Di samping penggunaan kata ganti persona sebagai kata
sapaan pada umumnya, dalam bahasa Mandailing, ditemukan juga jenis kata sapaan
lain yang dapat menunjukkan sekaligus relasi sosial atau pertalian kekerabatan yang
terdapat antara penutur dengan sesama orang yang disapa. Penggunaan kata sapaan
demikian dapat terlaksana sedemikian rupa, sehingga peserta yang terlibat dalam
komunikasi pertuturan mengetahui posisi masing-masing dalam konstalasi sistem
sosial yang berlaku.
Selain itu, dengan memahami penggunaan kata sapaan tertentu, masing-masing
peserta yang terlibat dalam pertuturan akan dapat menjadikannya sebagai dasar untuk
bersikap tertentu pula terhadap sesama peserta tutur yang lain. Implikasi penggunaan
kata sapaan semacam itu pada kenyataannya tidak terhenti dan terbatas hanya pada
saat komunikasi percakapan, melainkan berlanjut sampai kepada kegiatan atau upacara

Universitas Sumatera Utara

lain yang bernuansa sosial. Bagi masyarakat penutur bahasa Mandailing unsur bahasa
yang demikian adalah termasuk sesuatu yang syarat ideologi, karena kata sapaan
mengandung nilai atau pengetahuan tertentu yang dapat dipedomani dalam kehidupan
sosial, baik di luar maupun dalam lingkup keluarga (lihat juga Poynton, 1985:17;
Kress, 1985:82-84). Dengan demikian, jenis deiksis liputan serta urutannya dalam
penelitian ini dapat diperjelas melalui bagan 02. Penelitian ini berada pada tataran kata
atau frasa dengan fokus perhatian, bagaimana masing-masing digunakan.

Bagan 02: Jenis deiksis liputan


penelitian

DEIKSIS

DEIKSIS
PERSONA

DEIKSIS
TEMPAT

DEIKSIS
WAKTU

DEIKSIS
SOSIAL

DEIKSIS
WACANA

2.9 Kerangka Teori


Kerangka teori yang digunakan untuk masing-masing jenis deiksis pada subbagian (2.9.1 s/d 2.9.5) dimaksudkan sebagai perangkat bantu dalam memandu penulis
dalam proses mewujudkan hasil penelitian ini. Kerangka teorinya berciri eklektif, tidak

Universitas Sumatera Utara

berasal dari satu sumber yang sama. Hal demikian penulis lakukan mengingat bahwa
kumulasi ilmu atau teori tentang deiksis, yang dapat diperoleh, bukan merupakan
sumbangan kiprah ilmiah seorang ahli atau peneliti. Kerangka teori dari masingmasing jenis deiksis pada sub-bagian 2.9 dan definisi deiksis pada 2.7 beserta ciri-ciri
deiksis dari para ahli yang dimuat di bawahnya saling terkait dan berinteraksi dalam
penelitian ini. Tentang ekspresi lingual mana yang dapat digolongkan ke dalam
kategori masing-masing jenis deiksis penentuannya dapat juga dilakukan, antara lain,
melalui pemahaman penjelasan ahli relevan untuk itu.
Sebelum sampai ke bagian teori masing-masing jenis deiksis ada baiknya
penulis kemukakan lebih dahulu pendapat Kearns (2000:272-273) yang menyebutkan
bahwa ekspresi deiksis adalah ekspresi-ekspresi yang penentuan acuannya dilakukan
melalui pemahaman konteks tuturnya secara sistematis.

Indexical expressions, also called deictic expressions are expessions


which depend on the context of utterance in some systematic way for
their inerpretation (Kearns, 2000:272).

Ihwal terkait menurutnya yang perlu diperhatikan dalam pemahaman konteks


tutur adalah informasi tentang penutur, mitra tutur, waktu dan tempat penuturan, serta
posisi sang penutur; karena masing-masing bagian konteks tutur tersebut merupakan
titik taut terhadap acuan yang dimaksud dalam tuturan. Artinya, untuk mengetahui
acuan ekspresi lingual dilakukan dengan cara menautkannya dengan titik taut tersebut.

Universitas Sumatera Utara

Demikianlah yang terjadi dalam penentuan acuan terhadap ekspresi lingual, seperti: I,
here, this, yesterday. Untuk menentukan dengan tepat acuan masing-masing dari
keempat ekspresi tersebut diperlukan penautan terhadap titik taut yang relevan.
Ekspresi I, misalnya, titik tautnya adalah penutur. Dengan demikian, acuan I adalah
siapa orang yang menuturkannya pada saat tuturan. Dengan here dan this, titik taut
keduanya adalah tempat penutur berada pada saat tuturan; karena itu, acuan kedua
ekspresi lingual tersebut masing-masing adalah tempat dan objek yang dekat kepada
penutur pada saat menuturkannya. Yesterday, bertitik taut kepada hari penutur
menuturkan ekspresi tersebut. Oleh karena itu, acuannya adalah hari terdekat sebelum
hari terdapatnya saat tuturan.
Terdapatnya kesesuaian antara maksud rumusan Kearns dengan cara yang
ditempuh dalam menetapkan acuan masing-masing contoh ekspresi lingual di atas
dapat menjadi dasar untuk mengatakan bahwa I, here, this, dan yesterday adalah
ekspresi deiksis. Dalam hubungan ini, untuk memaknai atau menetapkan acuan
keempat ekspresi lingual tersebut dengan benar terdapat ketergantungan terhadap
pemahaman konteks tuturnya secara sistematis (dengan berupaya mengetahui siapa
penutur, tempat dan waktu ekspresi lingual relevan dituturkan).
Ketergantungan pemahaman konteks tutur dalam memaknai unsur lingual,
seperti yang dilakukan terhadap keempat contoh ekspresi lingual di atas, berlaku juga
terhadap ekspresi lain yang tergolong ke dalam kelas masing-masing dari keempat
ekspresi lingual tersebut, yang terdiri dari pronomina persona, adverbia tempat,

Universitas Sumatera Utara

demonstrativa, dan adverbia waktu. Oleh karena itu, ekspresi-ekspresi lingual yang
tergolong ke dalam masing-masing kelas tersebut, menurut Kearns, potensial sebagai
ekspresi deiksis. Selain itu, menurut Huang (2007:169), yang juga potensial sebagai
ekspresi deiksis adalah bentuk sapaan berupa istilah kekerabatan, nama jabatan dan
kepangkatan.
Informasi dari Kearns dan Huang, pada 2.9, tentang unsur lingual yang
potensial sebagai ekspresi deiksis memberi kejelasan kepada penulis dalam
menetapkan unsur lingual mana sajakah yang menjadi objek pemerian pada setiap
jenis deiksis dalam laporan penelitian ini. Objek pemerian pada deiksis persona adalah
ekspresi lingual yang tergolong ke dalam pronomina persona, seperti: I, you, we,
he/she dengan bentuk perubahannya dalam bahasa Inggris. Pada deiksis tempat, yang
menjadi objek pemerian adalah adverbia tempat dan demonstrativa. Dalam
demonstrativanya, baik yang bersifat pronominal, adjektival, dan yang adverbial. Pada
deiksis waktu, objek yang diperikan adalah adverbia waktu. Pada deiksis sosial, objek
pemeriannya berada pada seputar bentuk-bentuk sapaan; sedangkan pada deiksis
wacana diperikan tentang adverbia tempat dan waktu, serta demonstrativa.

2.9.1 Deiksis Persona


Kehadiran kategori gramatikal berwujud deiksis persona menggambarkan
sekaligus peran serta (participant role) yang berbeda-beda dari setiap orang yang
terlibat dalam peristiwa tuturan, atau sebagai apa orang yang terlibat (participant)

Universitas Sumatera Utara

dalam peristiwa tuturan. Konsep pemikiran ini memberikan pengertian bahwa orang
digramatikalkan secara berbeda menurut peranan yang dimilikinya pada saat bertutur.
Boleh jadi yang satu terhadap yang lainnya berperan sebagai penutur (speaker), mitra
tutur (addressee), atau sebagai yang lain (other). Peranan setiap orang yang terlibat
dalam pertuturan dapat berganti. Menurut Levinson (1983:68, 2000b), hal itu
disebabkan oleh adanya pergantian giliran berbicara bagi yang lain. Pergantian
semacam itu akan dengan sendirinya menjadi sebab terhadap berpindahnya origo
ground zero (istilah Buhler (1934) dalam Levinson, 2006b) untuk pusat konteks
pengacuan berupa

penutur pada tempat dan waktu bertutur, yang dalam

menginterpretasi maksud tuturan selalu didasarkan pada apa yang dimaksudkannya).


Dengan demikian memungkinkan bahwa saya si A adalah engkau atau kamu bagi si B,
atau sini si A adalah situ si B, dan seterusnya.
Pengkategorian gramatikal lazimnya membedakan deiksis persona atas persona
pertama, kedua, dan persona ketiga. Persona pertama (first person) merupakan
penggramatikalan pengacuan yang dilakukan oleh penutur terhadap dirinya, persona
kedua (second person) sebagai penggramatikalan pengacuan yang dilakukan oleh
penutur terhadap satu atau dua orang mitra tutur; sedangkan persona ketiga
dimaksudkan sebagai penggramatikalan pengacuan penutur terhadap orang atau
maujud lain selain penutur dan mitra tutur pada saat berlangsungnya tuturan. Dapat
juga ditambahkan, menurut Levinson (1983:69), bahwa persona ketiga tidak dapat
disamakan dengan persona pertama dan kedua dalam pertuturan. Persona pertama dan

Universitas Sumatera Utara

kedua adalah orang yang terlibat dalam peristiwa tutur (masing-masing sebagai
penutur dan mitra tutur), sedangkan persona ketiga tidak terlibat di dalamnya (lihat
juga Yule, 1996:10; LaPolla, 2006).

Tentang dasar apa yang digunakan dalam

pembedaan persona atas tiga dalam sistem pronomina persona seperti yang sudah
terpola di atas terlihat tidak menjadi bagian dalam pembicaraan Levinson. Namun,
dinyatakannya bahwa sistem pembagian pronomina persona dalam setiap bahasa tidak
tertutup kemungkinan pengembangannya atas dasar dimensi tertentu, berupa jumlah,
jender, dan sebagainya.
Terkait masih dengan ihwal pronomina persona, Levinson menambahkan
bahwa dalam sejumlah bahasa terdapat kemungkinan adanya dua jenis pronomina
persona pertama jamak. Yang pertama bersifat inklusif, dan yang kedua eksklusif.
Keinklusifan (we-inclusive-of-addressee) terjadi apabila penutur menyertakan orang
kedua (mitra tutur) terliput dalam pronomina persona pertama jamak yang
dituturkannya, sedangkan keeksklusifan (we-exclusive-of-addressee) terjadi apabila
penutur tidak mengikut sertakan orang kedua dalam liputan pronomina persona
pertama jamak yang dituturkannya.
Yang lain dan tidak kurang pentingnya dalam pengkajian pronomina persona
adalah kemungkinan terdapatnya perubahan bentuk dalam hal di luar hubungan peran
peserta (participant role), seperti untuk kasus akusatif, posesif, maupun klitisasi.
Levinson (1983), sejahuh ini, terlihat tidak membicarakannya, tetapi untuk yang

Universitas Sumatera Utara

disebutkan terakhir (klitisasi) kita diingatkan akan kemungkinan itu dalam LaPolla
(2006).
Pengetahuan sebatas dapat mengidentifikasi bentuk-bentuk lingual yang dapat
diklasifikasikan ke dalam kelas pronomina persona (personal pronouns) dapat
dikatakan belum memadai. Lazimnya setiap bahasa memiliki pronomina persona
dalam jumlah tertentu, dan jumlah tersebut tidak tunggal sebab belum ada bahasa
ditemukan dengan kepemilikan pronomina persona dengan jumlah hanya satu saja. Hal
lanjut yang penting diketahui dari sejumlah pronomina persona dalam setiap bahasa
adalah, bagaimana masing-masing pronomina persona dalam bahasa yang sama dapat
berbeda atau dibedakan dari yang lainnya. Setidaknya, pertanyaan ini menyiratkan
akan pentingnya kriteria tertentu yang dapat dijadikan dasar dalam membedakan setiap
pronomina persona yang terdapat dalam bahasa yang sama.
Alternatif yang dikemukakan oleh Gasser (2003) terkait dengan keharusan
adanya kriteria dasar dalam membedakan masing-masing pronomina persona, walau
tidak sepenuhnya, dapat dijadikan sebagai bagian dari kerangka teoretis dalam
pengkajian terhadap pronomina persona bahasa Mandailing yang penulis lakukan.
Dalam penerapan alternatif yang dikemukakannya ke dalam bahasa Inggris, Gasser
bertolak dengan berpedoman kepada lima dimensi yang diperlukan dalam
membedakan pronomina persona, yaitu: dimensi (1) persona (person), (2) semantik
(semantics), (3) jumlah (number), (4) formalitas (formality) dan (5) jender (gender).
Yang dimaksud dimensi di sini oleh Gaser adalah a kind of scale along which concepts

Universitas Sumatera Utara

can vary. Kelanjutan jabarannya, setiap konsep yang berbeda pada dimensi tertentu
memiliki satu nilai (value) terhadap dimensi itu. Dari dimensi persona bahasa Inggris,
misalnya, terdapat konsep yang berbeda antara yang disebut sebagai orang pertama,
orang kedua, dan orang ketiga. Dengan perbedaan konsep itu diperoleh dasar dalam
membedakan antara I dan we sebagai pronomina persona orang pertama (first person),
you dan you guys sebagai pronomina persona orang kedua (second person), dan she,
he, it, serta they sebagai pronomina persona orang ketiga (third person). Dalam bahasa
Inggris, menurut Gasser, hanya ketiga nilai itu saja yang diperlukan sebagai dasar
untuk membedakan setiap anggota kelas pronomina dari dimensi personanya.
Selanjutnya dinyatakan bahwa persona bukan satu-satunya dimensi konseptual
dalam mempersepsi perbedaan yang terdapat dalam pronomina persona karena
dimensi semantik (semantic dimension) terdapat juga di dalamnya. Alasannya, karena
unsur lingual dengan konsep yang berbeda pada dimensi persona diwujudkan dalam
bentuk lingual yang berbeda pula. Sama halnya dengan kata, dari dimensi
semantiknya, dia memiliki bentuk dan makna, atau dapat juga disebut sebagai
perwujudan bentuk dan makna. Dari bentuk, misalnya, terdapat dan dapat dibedakan
antara I dan you, sedangkan dari segi maknanya masing-masing sebagai penutur dan
mitra tutur. Dari dimensi semantik jugalah diperoleh jumlah (number) dalam
membedakan I dan we, masing-masing sebagai pronomina persona tunggal (singular)
yang mengacu kepada satu orang dan pronomina persona jamak (plural) yang
acuannya terhadap lebih dari satu orang.

Universitas Sumatera Utara

Tentang jumlah dalam pronomina persona pada setiap bahasa, termasuk bahasa
Inggris, Gasser selanjutnya menjelaskan bahwa ditemukan hanya ada empat
kemungkinan, yaitu: tunggal (singular), dua (dual), tiga (trial), dan kegandaan yang
belum tentu jumlahnya (plural). Dengan menjadikan persona dan jumlah sebagai dasar
pembeda pronomina persona bahasa Inggris baru dapat hasil pengklasifikasian seperti
terlihat pada bagan 03 berikut.

Bagan 03: Gambaran Sementara Pronomina Persona

1 st Person
2 nd Person
3 rd Person

Singular

Plural

I
you
she, he, it

we
you, you guys
they

Pronomina persona orang ketiga tunggal she, he, dan it masih terdapat dalam
kelompok yang sama yang justru masih memerlukan pembedaan lanjut; sedangkan
untuk pronomina persona orang ketiga jamak tidak lagi diperlukan pembedaan karena
pronomina personanya dalam kelompok itu hanya satu, yaitu they.
Yang rada kompleks dari gambaran yang terlihat dari gambaran sementara
pronomina persona pada bagan 03 adalah perihal pronomina persona orang keduanya.
Dalam situasi berbicara dan menulis yang relatif formal yang digunakan adalah you,
baik untuk yang jumlah orangnya tunggal maupun dalam jumlah jamak. Namun, pada
dialek tertentu bahasa Inggris dapat juga ditemukan you guys sebagai pronomina

Universitas Sumatera Utara

persona orang kedua jamak. Itu sebabnya Gasser menempatkan you dan you guys
dalam satu kelompok yang sama.
Apa yang masih dapat dibaca dari bagan 03 di atas adalah bahwa masih
diperlukan dimensi lain selain persona dan jumlah sebagai dasar untuk membedakan
sesama anggota kelas pronomina persona pada dua kelompok, yaitu, yang terdapat
pada kelompok pronomina persona orang kedua jamak dan pada kelompok pronomina
persona orang ketiga tunggal. Pada kelompok pronomina persona orang kedua jamak
masih terdapat dua pronomina persona yang harus dibedakan, dan ditambah tiga lagi
pada kelompok pronomina persona orang ketiga tunggal.
Menyangkut ihwal pembedaan pronomina persona jamak you dan you guys
terlihat bahwa formalitas, yang juga sebagai sub-dimensi semantik, dapat berperan
sebagai dasar dalam membedakan kedua pronomina persona tersebut. Dalam
hubungan ini formalitas sebagai dimensi hanya memiliki dua nilai. Yang pertama
formal, dan yang kedua adalah informal. Pada situasi yang relatif formal, seperti
berbicara di arena khalayak publik atau berbicara kepada atasan, yang muncul dalam
penggunaan adalah you, sedangkan you guys pada situasi yang informal.
Keperluan akan dimensi lain masih dirasa perlu dalam menyelesaikan ihwal
pembedaan kelompok pronomina persona orang ketiga tunggal pada bagan 03.
Pemilihan dimensi jender sebagai dasar pembeda sesama anggota kelas pronomina
persona orang ketiga pada bagan 03 di atas, menurut Gasser, adalah tepat karena
dimensi jender dengan muatan konsep wanita (feminine), pria (masculine), dan netral
(neuter) telah memadai dalam membedakan ketiga pronomina persona tersebut.

Universitas Sumatera Utara

Dengan demikian, diperoleh sebuah perangkat konseptual yang dapat dijadikan


sebagai dasar dalam membedakan di antara sesama anggota kelas pronomina persona
bahasa Inggris. Wujud gambaran pembedaan itu, jika dibagankan, akan terlihat seperti
yang terdapat pada bagan 04 berikut ini.

Bagan 04: Pronomina persona

Singular

Plural

we

1 st Person

2 nd Person

you

Fem.

Masc.

Neut.

she

he

it

Formal

Informal

you

you guys

3 rd Person
they

(Sumber: Gasser (2003))

Universitas Sumatera Utara

2.9.2 Deiksis Tempat


Levinson (1983:62-79, 1992, 2006b) pernah memberi gambaran fungsional
deiksis tempat. Dari gambaran yang dibuatnya diperoleh pengertian bahwa deiksis
tempat berkenaan dengan ihwal penentuan lokasi sesuatu atau objek dalam
hubungannya dengan titik taut (anchorage point) pada saat tuturan. Titik taut itu dapat
berupa objek atau titik pengacuan yang penentuannya dengan skala ukuran yang pasti.
Disebutkan bahwa penentuan objek pada tempat deiktis sifatnya apabila ditautkan
dengan lokasi partisipan berada pada saat tuturan. Partisipan yang dimaksud (dengan
memperhatikan contoh yang diberikannya (Kabul is four hundred miles West of here))
adalah penutur dengan alasan bahwa jarak 400 mil yang dimaksud pada contoh
tersebut merupakan jarak antara, apabila Kabul ditautkan dengan here yang merupakan
lokasi penutur berada pada saat tuturan (lihat juga Huang, 2007:149). Oleh karenanya,
terkait dengan ihwal tempat, yang menjadi pusat adalah lokasi tempat penutur berada
pada saat tuturan. Lokasi penutur merupakan titik tumpuan dalam menginformasikan
lokasi sesuatu atau objek yang dimaksudkan. Penentuan lokasi sesuatu berpedoman
pada cara dengan menautkannya pada lokasi

penutur berada pada saat tuturan.

Namun, menurut Levinson (1983:64), di luar kelaziman itu penitiktautan dapat juga
terjadi kepada partisipan selain penutur.
Dalam kajian deiksis tempat, penutur sendiri adalah pusat deiksis (deictic
centre). Artinya, sesuatu yang menyangkut konsep tempat didasarkan pada perspektif
dengan menjadikan penutur sebagai pusat orientasi (egocentric way (Levinson,

Universitas Sumatera Utara

1983:63), egocentric system (Huang, 2007:149)). Pendasaran perspektif semacam itu,


menurut Levinson (1983:82-4, 2006b), perlu dibedakan dengan perspektif yang
menjadikan objek (seperti televisi, mobil) sebagai pusat orientasi tempat (objectcentred way). Berbeda dengan cara pertama, yang dijadikan sebagai pusat orientasi
pada cara terakhir adalah objek yang memiliki konsep tempat bawaan (intrinsic
features), seperti behind, left sebagaimana halnya terdapat pada penutur.
Kesamaan konsep tempat yang diwujudkan dalam leksem yang sama dari
kedua perspektif tersebut dapat menjadi sumber ketaksaan (ambiguity) dalam
menentukan status kedeiktisannya. Hal semacam itu terlihat, misalnya, dalam
penggunaan ekspresi tempat behind pada tuturan The cat is behind the television.
Terdapat dua kemungkinan penafsiran tentang maksud behind pada tuturan tersebut.
Yang pertama adalah bahwa kucing yang dimaksud berada di belakang televisi pada
posisi yang berlawanan dengan layarnya; dan yang kedua adalah, kucing yang
dimaksud berada di belakang televisi pada posisi yang berlawanan dengan bagian
depan penutur di sebelah manapun penutur berada pada sekeliling televisi. Dari kedua
kemungkinan tafsiran terhadap maksud leksem behind pada tuturan di atas, tafsiran
pertama, menurut Levinson (1983:82-3, 2006b), tidak bersifat deiktis (non-deictic),
sedangkan tafsiran kedua bersifat deiktis (deictic).
Pandangan Levinson serta kemungkinan tafsiran seperti yang telah
dikemukakannya dikuatkan oleh pendapat senada dari Cruse (2004:338-9) yang
menyatakan bahwa ada kalanya certain locative expressions can be used either

Universitas Sumatera Utara

deictically or non-deictically. Leksem tempat yang memiliki kemungkinan mendapat


penafsiran ganda seperti itu, secara garis besarnya, dapat ditemukan dalam Lyons
(1977). Dengan penempatan manusia pada posisi titik nol pada dimensi vertikalhorizontal, Lyons (1977:690-6) membagi tempat atas enam konsep yang berbeda.
Keenam konsep tersebut berupa leksem yang lazim digunakan dalam kehidupan
sehari-hari untuk menunjukkan lokasi atau arah gerakan suatu objek. Dari dimensi
vertikalnya, dengan mengikut dua arah berlawanan, diperoleh dua konsep tempat,
masing-masing adalah konsep atas dan bawah. Dimensi horizontal, yang
dibedakannya atas horizontal asimetris dan horizontal simetris, menghasilkan empat
konsep tempat. Dari yang pertama (horizontal yang asimetris) diperoleh konsep tempat
muka dan belakang; sedangkan dari yang kedua (horizontal yang simetris) diperoleh
kanan dan kiri. Ekspresi tempat seperti yang dihasilkan dari pembagian Lyons pada
dasarnya, oleh Levinson (1983:82), dikategorikan ke dalam ekspresi tempat yang nondeiktis. Ekspresi-ekspresi tempat seperti itu akan bersifat deiktis apabila digunakan
menurut perspektif penutur, atau dengan menjadikan penuturnya sendiri sebagai pusat
deiksis.
Ihwal lanjut yang diperoleh dari pengamatan terhadap penjelasan Levinson
adalah bahwa pengekspresian deiksis tempat terjadi dalam lingkup demonstrativa
(yang terdiri dari demonstrativa pronominal, demonstrativa adjektival, demonstrativa
adverbial) dan verba gerak (motion verbs). Dengan demonstrativa, relevansinya yang
jelas terkait dengan penginformasian jarak jauh-dekatnya sesuatu (proximal-distal

Universitas Sumatera Utara

dimension) kepada partisipan tutur, sedangkan verba gerak bertalian dengan


penginformasian arah gerakan dalam hubungannya dengan partisipan tutur pada saat
tuturan. Namun, tidak semua bahasa memiliki pembagian yang sama dalam sistem
demonstrativanya untuk mengungkapkan perbedaan jarak sesuatu kepada partisipan.
Di antaranya ada yang membaginya, misalnya, atas dua, tiga, sampai kepada empat
perbedaan jarak yang masing-masing dengan istilah yang berbeda. Bahasa yang
membedakannya atas dua kategori, di antaranya, ialah bahasa Inggris, Cina, Prancis.
Pembedaan atas tiga, seperti bahasa Spanyol, Arab Klasik, Inggris Klasik, Soto
Selatan, sedangkan yang sampai kepada empat kategori, seperti bahasa Hausa, Samal,
Wray (Saeed, 2000:174-6; Huang, 2007:152-5). Di samping pembedaan atas dimensi
jarak jauh-dekat, ada juga bahasa yang membedakan demonstrativanya atas sejumlah
kategori berdasarkan dimensi lain, seperti dimensi vertikal atas-bawah (elevation),
kelihatan-takkelihatan (visibility) (Cruse, 2004:332-4; Levinson, 2006b:42-3; Huang,
2007:152-5).
Fenomena lain sehubungan dengan ihwal tempat adalah kemungkinan adanya
penggunaan ekspresi deiksis yang bersifat derivatif (derivative usage). Pada kasus
seperti ini penutur, secara psikologis (psychologically), memposisikan dirinya pada
posisi partisipan lain sehingga titik tumpuan yang menjadi dasar penentuan orientasi
tempat menjadi berpindah (shifted) (lihat juga Lyons, 1977:579; Yule,1996:12-13;
Gasser 2003). Hal demikian, menurut Yule, membuat penutur yang sudah berada jauh,
dalam berkomunikasi, masih menggunakan here dengan maksud lokasi tempat

Universitas Sumatera Utara

tinggalnya, seolah-olah sang penutur masih berada di tempat itu secara fisikis
(physically). Demikian juga halnya penutur dalam menuturkan Ill come later, seolaholah sang penutur telah hadir lebih dahulu di lokasi lain (lokasi mitra tutur) sebelum
dia benar-benar berada di lokasi yang akan dia tuju. Kenyataan seperti terdapat pada
kedua contoh tersebut menguatkan Yule untuk mengingatkan bahwa dalam kajian
tentang deiksis tempat kemungkinan lokasi menurut perspektif penutur dapat juga
terjadi secara psikologis di samping secara fisikis.

2.9.3 Deiksis Waktu


Ketentuan menjadikan penutur sebagai pusat deiksis, sebagaimana yang
berlaku pada dua jenis deiksis sebelumnya (deiksis personal dan deiksis tempat),
berlaku juga pada deiksis waktu. Artinya, terkait dengan ihwal penginformasian lokasi
waktu suatu peristiwa, yang menjadi pusat (central time) adalah lokasi waktu bagi
penutur dalam menghasilkan tuturannya. Lokasi waktu semacam itu lazim juga disebut
saat tuturan. Tentang saat tuturan sebagai pusat orientanasi waktu, pada bagian
penjelasannya, Levinson (1983:63-64) menyebutkan:
[ ..... ] That is, if (for the purposes of semantic or pragmatic
interpretation) we think of deictic expression as anchored to specific
points in the communicative event, then the unmarked anchorage point,
constituiting the deictic centre, are typically assumed to be as follows: (i)
the central person is the speaker, (ii) the central time is the time at which
the speaker produces the utterance, (iii) the central place is the
speakers location at utterance time or CT, ....].

Universitas Sumatera Utara

Dari penjelasan Levinson di atas, menjadikan saat tuturan sebagai pusat deiksis
waktu mengimplikasikan bahwa saat tuturan juga merupakan titik taut dalam
menginformasikan waktu suatu peristiwa atau kejadian. Setiap ekspresi lingual yang
mengungkapkan konsep waktu deiktis sifatnya apabila waktu peristiwa yang diacu
oleh ekspresi tersebut ditautkan dengan lokasi waktu saat dituturkannya ekspresi
tersebut. Ekspresi lingual, seperti: tadi, sekarang, nanti, kemarin, besok, hari ini,
adalah ekspresi waktu yang tidak menginformasikan lokasinya dalam garis waktu
sebelum ditautkan dengan lokasi waktu saat masing-masing ekspresi tersebut
dituturkan. Hal demikian menguatkan pengertian bahwa ekspresi lingual yang
digunakan untuk menyatakan waktu, baru memiliki makna temporal yang jelas apabila
ditautkan kepada satu titik pengacuan. Titik pengacuan yang dimaksud adalah saat
tuturan itu sendiri, yang posisi temporalnya setiap saat dapat berpindah. Apabila saat
tuturan itu berpindah, muatan semantis ekspresi waktu akan ikut berubah. Ekspresi
waktu yang lokasi acuannya dalam garis waktu dapat berubah disebabkan
berpindahnya saat tuturan, oleh Lyons (1977:682-683), disebut ekspresi yang bersifat
deiktis atau dinamis.
Menjadikan saat tuturan sebagai pusat deiksis waktu mengimplikasikan bahwa
lokasi waktu suatu peristiwa berada sesudah, bersamaan, atau sebelum saat tuturan.
Kejelasan di mana lokasi saat tuturan akan memberi kejelasan lokasi waktu setiap
peristiwa dalam garis waktu. Lokasi waktu dengan muatan peristiwa yang terjadi
sesudah, bersamaan, dan yang menyusul setelah saat tuturan membuat kita mengenal
adanya pembagian waktu yang digramatikalkan dalam sistem kala, yang pada

Universitas Sumatera Utara

pokoknya terdiri dari pengacuan waktu lampau (past), waktu kini (present), dan waktu
mendatang (future). Dengan demikian, bentuk-bentuk gramatikal yang mencirikan
pembedaan lokasi waktu acuan dalam sistem kala juga bersifat deiktis (lihat juga
Hoed, 1992:38-39). Kebalikannya, oleh Lyons, disebut bersifat non-deiktis atau statis
apabila saat tuturan tidak berperan dalam menentukan lokasi acuan ekspresi waktu
tersebut dalam garis waktu. Hal seperti itu terjadi apabila pengungkapan waktu
dilakukan berdasarkan penggunaan jam, siklus waktu karena planet bumi yang
berotasi, seperti: pukul sembilan pagi, tahun 2005, 14 Desember 2009, Senin,
November, 17 Ramadan 2009 (cf. Levinson, 1983: 73).
Waktu, sebagaimana Fillmore (Huang, 2007:144) nyatakan, memiliki dimensi
tunggal (one-dimensional) dan bersifat searah (unidirectional). Antara peristiwa
dengan waktu, jika dikaitkan dengan gerak, secara metaforis dapat dijelaskan sebagai
berikut: (i) waktu dipandang sebagai sesuatu yang diam, dan dunia (penutur (Yule,
1996:14)) bergerak melaluinya dari waktu yang lalu ke waktu yang akan datang, (ii)
dunia dipandang sebagai sesuatu yang diam, dan waktu bergerak melalui dunia.
Penggambaran dunia yang bergerak pada (i) menempatkan waktu berada di depan,
sehingga

memungkinkan

terbentuknya

frasa-frasa

adverbia

temporal

yang

menggunakan depan sebagai komponennya, seperti: hari depan, minggu depan,


bulan depan, tahun depan. Penggambaran pada (ii) menempatkan dunia sebagai
yang didatangi oleh waktu yang bergerak ke arahnya. Dari gambaran itu dibentuk
frasa-frasa adverbial yang menggunakan mendatang atau yang akan datang, seperti
tahun mendatang, abad mendatang, periode yang akan datang, masa mendatang.

Universitas Sumatera Utara

Pembedaan selanjutnya yang dapat dilakukan terhadap peristiwa dalam waktu,


menurut Fillmore (Huang, 2007:144), adalah antara ekspresi waktu yang mengacu
kepada titik waktu (time points), seperti pukul delapan; dan periode waktu (time
periods), seperti besok sore. Peristiwa dalam periode waktu adalah peristiwa temporal
berdurasi yang memiliki titik awal dan titik akhir waktu. Durasi dalam setiap periode
dapat berbeda, sehingga memungkinkan untuk membandingkan lama suatu periode
dengan periode yang lain. Di antaranya ada yang berdurasi singkat, dan ada pula yang
berdurasi lama. Waktu periodik seperti itu, dalam banyak bahasa, tampil dengan
mendasarkannya pada periode siang dan malam, minggu, bulan, tahun yang
berulang. Ada yang menggunakannya dengan cara berpedoman pada sistem kalenderis
(calendrical), di samping yang non-kalenderis (non-calendrical).
Pada sistem kalenderis, lama periode setiap satuan waktu (seperti Ramadan,
Juli) serta titik tautnya telah ditentukan dan tidak berubah (absolut); sedangkan pada
yang non-kalenderis, lama periode setiap satuan waktu digunakan hanya sebagai
satuan ukuran waktu relatif (seperti nanti malam) terhadap titik taut tertentu yang
setiap saat dapat berpindah.
Dalam hal yang menyangkut adverbia temporal, menurut Levinson (1983:7475), terdapat di antaranya yang murni sebagai ekspresi deiksis waktu, seperti kata
bahasa Inggris now, then, soon, dan recently. Disebut murni karena dalam
penggunaannya tidak terlihat adanya keterkaitan masing-masing dengan komponen
lingual pengungkap waktu yang non-deiktis, seperti Monday, year, afternoon dalam
konstruksi last Monday, next year, this afternoon. Tiga frasa adverbial terakhir,

Universitas Sumatera Utara

menurut Levinson, adalah adverbia temporal kompleks karena masing-masing


merupakan bentuk gabungan yang menunjukkan adanya interaksi (interaction) antara
komponen deiktis (last, next, this) dengan komponen kalenderis yang tidak deiktis
(Monday, year, afternoon).
Menurut Levinson, ada juga adverbia temporal deiktis, seperti today,
tomorrow, yesterday, yang tidak bebas dari pengertian waktu absolut atau yang
kalenderis. Pembuktiannya, bahwa ketiga kata bahasa Inggris tersebut masing-masing
dapat dimaknai sebagai periode 24 jam sejak pukul 12.00 tengah malam yang
meliputi saat tuturan, periode 24 jam setelah hari saat tuturan, dan periode 24 jam
sebelum hari saat tuturan.
Kedeiktisan ketiga adverbia tersebut terlihat pada fungsi penunjukan masingmasing terhadap waktu kini, waktu mendatang, dan waktu lampau; sedangkan
kenondeiktisan atau corak kekalenderisannya terlihat pada periode absolut masingmasing, yang terdiri dari 24 jam sejak pukul 12.00 malam. Adverbia today, tomorrow,
dan yesterday, dinyatakan dalam Levinson (1983:75), Cruse (2004:335), Huang
(2007:146), mendapat prioritas penggunaan (pre-empt) untuk tidak digunakannya
nama-nama hari absolut atau kalenderis terhadap hari acuan yang relevan. Penjelasan
Cruse tentang hal itu, terlihat sebagai berikut.
If the proper name of a period of time is used, additional restrictions come
into play. Take first the names of days. The lexical items today, yesterday,
and tomorrow have priority, so that for instance this Wednesday can not be
uttered on Tuesday, Wednesday, or Thursday. Last Wednesday can not be
uttered on Thursday to refer to previous day, but may be used to refer to the
Wednesday of the preceding week.

Universitas Sumatera Utara

Sebagai contoh dalam bahasa Indonesia, dari penjelasannya, adverbia Rabu ini
(this Wednesday) tidak untuk digunakan pada hari dituturkannya adverbia tersebut
karena hari yang sama masih dapat diacu dengan mendahulukan penggunaan hari ini
(today).

2.9.4 Deiksis Sosial


Deiksisi sosial dapat dipahami sebagai bidang linguistik yang membicarakan
pengkodean perbedaan-perbedaan status sosial relatif di antara partisipan, terutama
yang menyangkut aspek hubungan sosial yang terdapat antara penutur dengan mitra
tutur ataupun antara penutur dengan acuan lainnya (Levinson, 1983:63; Huang,
2007:163). Tentang pengkodean hubungan sosial yang dimaksud, oleh Levinson
(2006b), dijelaskan lagi bahwa hal itu terealisasi dalam wujud ekspresi lingual, yang
diacukan, baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap status sosial atau
peran partisipan pada saat tuturan. Selengkapnya, penjelasan Levinson tersebut dikutip
sebagai berikut.
Social deixis involves the marking of social relationships in linguistic expression, with direct or obligue reference to the social status or role of
participants in the speech event (Levinson, 2006b:119).
Selanjutnya, ekspresi-ekspresi lingual yang merepresentasikan deiksis sosial,
menurut Huang (2007:166) dapat wujud dalam bentuk pronomina persona (personal

Universitas Sumatera Utara

pronouns), bentuk sapaan (forms of address), bentuk terikat (bound forms), dan dalam
bentuk pilihan kata (the choice of vocabulary). Pronomina persona dapat dikategorikan
ke dalam deiksis sosial Huang dasarkan pada kenyataan bahwa pronomina persona
potensial untuk menunjukkan berbagai aspek deiksis sosial, seperti penanda rasa
hormat, atau pun penanda hubungan kekerabatan. Ke dalam bentuk sapaan terliput, di
antaranya, nama akhir seseorang, istilah kekerabatan, nama jabatan, dan kepangkatan.
Bentuk-bentuk terikat yang dimaksudkannya meliputi, berupa afiks, klitika, dan
partikel. Pada pilihan kata, yang dimaksudkannya adalah terdapatnya upaya
penggantian unsur lingual tertentu dengan kata pilihan lain yang menginformasikan
aspek deiksis sosial.
Terkait dengan penanda hormat melalui penggunaan pronomina persona,
Huang mengemukakan tipe pembedaan antara bentuk biasa dan bentuk hormat untuk
persona kedua tunggal (dari Brown & Gilman, 1960). Dalam bahasa-bahasa di Eropah
pembedaan dengan cara tersebut dikenal dengan sebutan tipe pembedaan T/V. Masingmasing huruf merupakan perepresentasian dari pronomina persona bahasa Prancis tu
dan vous. Bentuk tu adalah pronomina persona biasa untuk persona kedua tunggal,
sedangkan vous merupakan pronomina persona tidak biasa yang digunakan untuk
persona kedua tunggal yang dihormati. Pemilihan satu di antara kedua bentuk
pronomina persona tersebut, secara tidak langsung, merupakan penggambaran tentang
pandangan penutur terhadap hubungannya dengan orang yang menjadi mitra tutur.
Dalam tiga bahasa asing lain, misalnya, pembedaan dengan tipe T/V tersebut dapat

Universitas Sumatera Utara

ditemukan sebagaimana terlihat pada bagan 05 (yang dimodifikasi dari Huang,


2007:166) berikut.
T
V
-------------------------------------Jerman
du
Sie
Belanda

je

Spanyol
tu
Usted
-------------------------------------Bagan 05: Tipe pembedaan T/V

Pronomina persona sebagai penanda hubungan kekerabatan dapat ditemukan,


misalnya, dalam penggunaan tiga bentuk pronomina persona yang berbeda dalam
bahasa Parnkalla (Australia) yang masing-masing digunakan untuk mengacu kepada
persona pertama dual yang memiliki perbedaan hubungan sosial kekerabatan. Pada
bahasa tersebut, untuk mengacu persona pertama dual pada umumnya digunakan
pronomina persona nadli, untuk persona pertama dual, yang terdiri dari ibu dan
anaknya atau paman dan kemanakannya digunakan pronomina persona nadlaga; dan
narrine untuk mengacu kepada persona pertama dual yang terdiri dari seorang ayah
bersama satu orang anaknya.

2.9.5 Deiksis Wacana


Dalam wacana, baik lisan maupun bentuk tulisan, dapat ditemukan adanya
saat-saat tertentu bagi penutur atau penulis untuk melakukan pengacuan terhadap

Universitas Sumatera Utara

bagian-bagian wacana yang sama. Bagian yang diacu ada kalanya berada sebelum saat
pengacuan dilakukan, seperti tergambar pada tuturan, (a) sebagaimana disebutkan
sebelumnya, dan boleh jadi bagian yang diacu itu terdapat setelah saat pengacuan,
sebagaimana yang diisyaratkan melalui tuturan (b) pada bab berikut, atau (c) Anda
pasti belum pernah mendengar cerita ini. Penggunaan adverbia sebelumnya pada
tuturan (a) mengisyaratkan adanya bagian wacana yang lebih dahulu dihasilkan
sebelum saat pengacuan, sedangkan adverbia berikut pada (b) dan demonstrativa ini
pada (c) mengisyaratkan adanya bagian wacana yang akan hadir setelah saat
pengacuan (Levinson, dalam Laurence R. Horn & Gregory Ward (ed.), 2006:118).
Levinson selanjutnya menambahkan, oleh karena wacana berada dalam rentang
waktu, istilah-istilah deiksis waktu pun (seperti sebelumnya, berikut) lazim digunakan
untuk menunjukkan hubungan antara bagian wacana yang diacu dengan lokasi
temporal saat tuturan atau bagian kalimat yang lagi dituturkan. Tidak terkecuali
dengan istilah-istilah deiksis tempat, seperti terdapat pada tuturan dalam artikel ini
atau pada dua alinea di bawah, ada kalanya juga digunakan. Dinyatakannya, lebih
lanjut, bahwa hal penting pada pengacuan terhadap bagian-bagian wacana yang
membuatnya berciri deiktis adalah diperlukannya pemahaman konteks untuk
mengetahui acuan (berupa bagian wacana) yang dimaksud. Dalam hubungan ini,
presisi hasil interpretasi pengacuan terhadap bagian-bagian wacana dapat diperoleh
hanya dengan mengetahui lokasi di mana pusat pengacuan berada. Pusat pengacuan itu
lokasinya dinyatakan berada pada bagian yang lagi dituturkan atau dituliskan yang
digunakan untuk mengacu bagian tertentu dari wacana yang sama. Diketahuinya di

Universitas Sumatera Utara

mana pusat pengacuan akan memberi penjelasan posisi bagian-bagian wacana yang
dimaksudkan.
Pemahaman lanjut tentang deiksis wacana diperoleh dari rumusan Huang
(2007:172) yang menyebutkan bahwa pengacuan ada juga kemungkinannya terhadap
bagian wacana yang sedang dituturkan. Dengan informasi tambahan dari Huang
tersebut dikenal adanya tiga bagian wacana dalam kaitannya dengan pusat pengacuan.
Yang pertama dan yang kedua, seperti yang diperoleh dari pendapat Levinson di atas,
adalah adanya bagian wacana sebelum dan sesudah saat pengacuan, sedangkan yang
ketiga adalah bagian wacana yang padanya terdapat saat pengacuan. Kejelasan tentang
adanya ketiga bagian wacana tersebut dapat ditemukan pada rumusan Huang tentang
deiksis wacana, sebagai berikut.
Discourse deixis is concerned with the use of the linguistic expression
within some utterance to point to the current, preceding or following
utterances in the same spoken or written discourse (Huang, 2007:172).
Sehubungan dengan adanya bagian wacana pada posisi sebelum saat
pengacuan, sejumlah ahli, seperti Levinson (1983:87, 2006b), Cruse (2004:337),
Huang (2007:175), menunjukkan bahwa terdapat unsur lingual tertentu yang dapat
menginformasikan adanya bagian wacana tersebut. Unsur lingual tertentu semacam itu
Cruse spesifikasi sebagai adverbia dalam kalimat, sedangkan letaknya, menurut
Huang, berada pada posisi awal suatu tuturan. Di antaranya, dalam bahasa Inggris,
adalah therefore, furthermore, anyway, but. Adverbia pertama (therefore) dan kedua
(furhermore), misalnya, masing-masing dapat dimaknai dengan karena itu dan

Universitas Sumatera Utara

selanjutnya, yang menunjukkan adanya hubungan antara tuturan terdapatnya masingmasing dari kedua adverbia tersebut dengan bagian wacana yang dihasilkan sebelum
saat penuturannya. Tentang status daripada unsur lingual seperti itu tidak satupun di
antara ketiga ahli di atas yang menyebutnya secara tegas sebagai ekspresi deiksis,
melainkan sebagai penanda wacana (Levinson, 2006b), atau unsur deiksis wacana
(Cruse, 2004:337).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai