Chapter II
Chapter II
Chapter II
KAJIAN PUSTAKA
2.0 Pengantar
Para ahli bahasa yang berbicara tentang deiksis (seperti Levinson (1983,
2006a-b), Fasold (2006), Mey (2001), Bohnemeyer (2006), Yule (1996), Huang
(2007)) tidak menjadikan deiksis sebagai bahan pembicaraan tanpa menyertakan
pragmatik lebih dahulu di dalamnya. Hal demikian beralasan mengingat bahwa salah
satu aspek mendasar dalam kajian deiksis, yakni, inferensi makna, dilakukan dengan
memperhitungkan konteks. Perubahan konteks penggunaan tuturan, termasuk yang
dinyatakan sebagai ekspresi deiksis, akan berimplikasi pada perubahan makna ekspresi
tersebut. Peranan konteks yang menentukan, seperti itu, menyebabkan kajian deiksis
digolongkan sebagai sub-bidang kajian pragmatik.
Analogi untuk pemahaman lebih lanjut tentang kajian deiksis sebagai subbidang pragmatik, contohnya, adalah antara afiksasi dengan morfologi bahasa.
Perubahan bentuk morfem, termasuk disebabkan proses afiksasi, adalah kajian
morfologi. Oleh karenanya, afiksasi adalah sub-bidang kajian morfologi. Lalu, sebagai
apa pragmatik itu?
kesempatan ini, penulis tampilkan empat buah definisi yang merupakan esensi
deskripsi singkat tentang pragmatik, yang dibuat oleh Yule. Dalam deskripsinya, Yule
(1996:3) mengemukakan hal sebagai berikut.
1. Pragmatik berfokus pada pengkajian makna yang disampaikan oleh penutur
dan ditafsirkan sesudahnya oleh mitra tutur. Pengkajian makna, di sini, lebih
memperhatikan apa sesungguhnya yang penutur maksudkan dengan
tuturannya daripada sekedar makna yang terdapat pada tuturan itu. Dari
deskripsi singkat (1) diperoleh pengertian bahwa pragmatik adalah
pengkajian makna yang dimaksudkan oleh penutur (Pragmatics is the study
of speaker meaning).
2. Pengkajian makna menurut penutur (seperti tersebut pada poin (1))
merupakan upaya penafsiran atas apa yang penutur maksudkan dalam
konteks tertentu, serta bagaimana konteks berpengaruh terhadap tuturan
yang dihasilkan. Cara kerja pengkajian ini memperhatikan bagaimana
penutur menyesuaikan apa yang hendak dituturkan dengan konteks yang
melatarbelakanginya, seperti, siapa orang yang menjadi mitra tutur, di mana,
kapan, dan dalam keadaan bagaimana tuturan dihasilkan. Dari deskripsi
singkat (2) diperoleh pengertian bahwa pragmatik adalah pengkajian makna
karena pengaruh konteks (Pragmatics is the study of contextual meaning).
Pragmatik sebagai sub-bidang linguistik modern berawal dari adanya kajiankajian filosofis bahasa pada periode tahun 1930-an yang dilakukan oleh Charles
Morris, Rudolf Carnap, dan Charles Pierce. Mendapat masukan dan atas pengaruh dari
Pierce, Morris membuat adanya pembagian bidang semiotik (ilmu tentang tanda pada
umumnya) atas tiga bagian, yaitu, sintaksis, semantik, dan pragmatik. Menurut tipologi
ini, sintaksis Morris maksudkan sebagai pengkajian terhadap hubungan formal antara
sesama tanda. Artinya, bagaimana menyusun tautkan sesama bentuk-bentuk bahasa
dan bentuk hasil susun taut mana yang berterima. Pengkajian semacam ini umumnya
dilakukan tanpa memperhitungkan objek ril yang diacu atau orang yang
menggunakannya. Semantik melakukan pengkajian terhadap hubungan tanda dengan
acuannya, atau dapat juga dikatakan pengkajian hubungan antara bentuk-bentuk
bahasa dengan maujud duniawinya. Pragmatik adalah pengkajian terhadap hubungan
tanda dengan penutur atau penggunanya. Di antara ketiga bidang dalam trikotomi di
atas, hanya pragmatik yang melibatkan manusia turut menjadi objek dalam kajiannya
(lihat juga Yule, 1996:5). Terhadap trikotomi tersebut, Carnap, kemudian, membuat
pengurutan atas dasar tingkat keabstrakan masing-masing. Sintaksis dan pragmatik
masing-masing menempati posisi paling dan kurang abstrak, sedangkan semantik pada
posisi antara keduanya. Hubungan hierarkis tersebut dimaknainya, bahwa sintaksis
memberi masukan kepada semantik, yang selanjutnya, memberi masukan pula kepada
pragmatik.
Lalu, bagaimana respons ahli bahasa pada periode tahun 1930-an dan
sesudahnya atas kehadiran trikotomi dari Charles Morris? Ternyata, dari penjelasan
Leech, kehadiran pragmatik tahun 1930-an tidak serta merta menjadi topik yang
menarik untuk dibicarakan. Bagi mereka, seangkatan Bloomfield, misalnya, liputan
ilmu bahasa itu hanya di seputar fonetik, fonemik, dan morfofonemik (morfologi);
sementara sintaksis masih dianggap bidang yang terlalu abstrak untuk dipahami dan
dipelajari.
Perubahan sikap dalam merespons kehadiran trikotomi semiotik di atas baru
terlihat pada akhir tahun 1950-an, seiring dengan berkembangnya teori linguistik
Chomsky, yang memposisikan sintaksis sebagai prioritas dalam pengkajian bahasa.
Namun, karena pengaruh latar belakang struktural mentalis yang kuat pada Chomsky,
membuatnya berpandangan bahwa kajian makna masih merupakan hal yang belum
perlu ditekuni.
Pada perkembangan linguistik yang semakin pesat antara 1960 dan 1970-an,
sikap Chomsky dalam pengkajian makna mendapat tantangan dari mahasiswanya
sendiri. Mereka (seperti Katz, Fodor, Ross, Lakoff, Postal) menunjukkan rasa
ketidakpuasan dan ketidaksetiaan mereka kepada Chomsky yang mengkaji bahasa dari
aspek mental yang abstrak itu, dan mulai meninggalkan tradisi mentalis dalam
mengkaji penggunaan bahasa. Ketika itu, mereka telah menemukan cara bagimana
mengintegrasikan kajian makna ke dalam teori linguistik. Lakoff (1971) bersama rekan
lainnya, yang merasa tertarik dengan kajian-kajian filosofis bahasa Austin dan kawankawan (yang menjadikan bahasa alami (ordinary language) sebagai objek kajiannya),
telah siap dengan argumentasi bahwa sintaksis tidak dapat dipisahkan dari kajian
penggunaan bahasa. Peristiwa itu tercatat sebagai mula terintegrasikannya pragmatik
dapat
memberi
kesan
bahwa
Amerika
merupakan
pionir
dalam
bidang semantik, sedangkan pengkajian makna satuan lingual secara eksternal menjadi
tugas bidang pragmatik. Pemberian makna dalam kajian semantik dapat dilakukan
tanpa pelibatan memperhatikan konteks atau pengetahuan lain di luar pengetahuan
tentang bahasa, sedangkan dalam kajian pragmatik, makna dapat ditentukan melalui
pelibatan memperhatikan konteks atau pengetahuan lain di luar pengetahuan bahasa.
Pengertian lain yang dapat diperoleh dari uraian di atas adalah bahwa
pengkajian unsur bahasa dalam semantik ditujukan untuk mengetahui makna semata
dari satuan lingual itu, sedangkan pengkajian unsur bahasa dalam pragmatik tujuannya
untuk mengetahui maksud penutur dengan menggunakan unsur bahasa yang
dituturkannya.
Pembedaan antara semantik dan pragmatik di atas sejalan dengan pembedaan
yang dibuat oleh Leech (1993:8-9). Menurutnya, perbedaan bidang semantik dengan
prangmatik terletak pada perbedaan penggunaan verba to mean. Apabila to mean itu
berasal dari unsur bahasa, berarti terdapat hubungan diadik (dyadic) antara unsur
bahasa dengan maknanya, dan apabila to mean berasal dari penutur dalam
menggunakan unsur bahasa, berarti terdapat hubungan triadik (triadic), yaitu, antara
penutur, unsur bahasa, dan maknanya. Makna dalam hubungan diadik adalah makna
unsur bahasa yang digunakan, lepas dari penafsiran kontekstual dari penuturnya.
Apabila unsur bahasa yang digunakan diganti dengan X, misalnya, rumusan
pertanyaan untuk memperoleh makna diadik, menurut Leech, adalah What does X
mean? (Apakah makna X itu?).
Makna dalam hubungan triadik adalah makna unsur bahasa yang diberi melalui
pertimbangan kontekstual dari penuturnya. Rumusan pertanyaan untuk memperoleh
makna triadik, dengan demikian, adalah What did you mean by X? (Apakah yang Anda
maksudkan dengan X itu?). Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa ranah kajian
semantik berada dalam lingkupan hubungan diadik, sedangkan kajian pragmatik
berada dalam lingkupan hubungan triadik. Pengulangan kedua rumusan pertanyaan di
atas, jika dikaitkan dengan pembedaan antara semantik dengan pragmatik, dapat
diskemakan sebagai berikut.
(1)
semantik
pragmatik
yang menjadi mitra tuturnya. Penutur tidak akan menggunakan kau sebagai pilihan
apabila orang yang menjadi mitra tutur, misalnya, ayahnya. Jadi, dalam hubungan ini,
mitra tutur adalah konteks fisik di sekitar tuturan, yang melatari dan berpengaruh
terhadap dipilihnya penggunaan kau oleh penutur untuk menyapa mitra tuturnya.
Dari aspek pemaknaan, kau tidak dapat diberi atau ditentukan maknanya
sebelum mengetahui siapa yang menjadi mitra tutur bagi penutur pada saat tuturan
tersebut berlangsung (atau, siapa yang dimaksud oleh penutur dengan menggunakan
kau dalam tuturannya). Dengan mengetahui siapa orang yang menjadi mitra tutur,
misalnya Budi (konteks fisik), barulah dapat ditentukan makna bentuk unsur lingual
kau.
Konteks jenis (2) adalah unsur-unsur lain dari bahasa itu sendiri yang melatari
bentuk lingual yang digunakan. Apa yang disebut sebelum saat tuturan, misalnya,
berpengaruh dalam pemilihan dan penentuan makna unsur bahasa yang digunakan.
Unsur bahasa dia pada tuturan tanya dari Budi kepada Ali berikut ini, misalnya,
pilihan penggunaannya, oleh Budi (sebagai mitra tutur), didasarkan pada konteks
lingual yang dihasilkan oleh Ali (sebagai penutur) sebelum saat tuturan dia oleh Budi.
Pilihan Budi menggunakan dia (bukan engkau, saya, dsb.) dipengaruhi oleh
pertimbangan bahwa bentuk lingual yang sesuai untuk mengacu orang ketiga tunggal
(Mira) yang dituturkan oleh Ali adalah dia.
Dalam penentuan makna terhadap dia, konteks lingual yang sama, yang
dituturkan oleh Ali sebelumnya, juga memiliki pengaruh. Terhadap dia, yang
dituturkan Budi (sebagai penutur) dapat ditentukan maknanya oleh Ali (sebagai mitra
tutur) setelah mengetahui bahwa yang Budi maksudkan dengan dia adalah Mira, yang
terdapat pada tuturan (konteks lingual) sebelumnya.
Ali : Mira sudah datang.
Budi : Mana dia ?
Konteks jenis (3) merupakan latar belakang pengetahuan yang dimiliki
bersama oleh penutur dan mitra tutur sebagai anggota dari masyarakat yang sama.
Dengan kesamaan latar belakang pengetahuan itu penutur mengasumsikan bahwa
mitra tutur akan dengan persepsi yang sama dengan penutur terhadap yang hendak
dituturkan. Atau, dengan kata lain, apa yang hendak dituturkan oleh penutur diyakini
akan dapat dimaknai mitra tutur sesuai dengan yang dimaksudkan oleh penutur.
Terhadap uraian yang baru disebutkan, Gibbs (Saeed, 2000:185) membuat
bentuk sebuah rumusan. Apabila S = Penutur (Speaker), P = Proposisi (proposition),
dan A = Mitra Tutur (Addressee), rumusannya adalah sebagai berikut.
S and A mutually know a proposition P, if and only if :
S knows that P
A knows that P
S knows that A knows that P
A knows that S knows that A knows that P,
....... and so on.
Sebagai bukti bahwa antara penutur dan mitra tutur memiliki latar belakang
pengetahuan yang sama terhadap sebuah proposisi, dapat dilihat pada komunikasi
antara A dengan B, yang Saeed contohkan sebagai berikut.
A :
B :
Im on a diet.
A :
Oh, okay.
Dapat dikatakan bahwa proposisi (P) yang diketahui secara bersama oleh
penutur dan mitra tutur itu adalah, Diet itu berpantang es krim (karena sarat lemak).
Keberlangsungan komunikasi terakhir, di atas, menandakan bahwa B tahu akan
proposisi itu, dan yakin bahwa A juga mengetahuinya. Oleh karena A dapat
memaklumi alasan (penolakan) B, berarti A juga mengetahui proposisi itu. Lebih jauh
adalah, A juga mengetahui bahwa B tahu bahwa A mengetahui P itu.
Kesamaan latar belakang pengetahuan umum pada penutur dan mitra tutur,
seperti yang disebutkan, berpengaruh terhadap keberlangsungan komunikasi antara
partisipan tutur. Soal ada-tidaknya keberlangsungan komunikasi antara partisipan
tutur, dalam bahasa populernya, masing-masing disebut dengan istilah nyambung
dan tidak nyambung.
Pada perkembangan selanjutnya, pengertian konteks tutur berupa latar
belakang pengetahuan umum dibedakan oleh Clark (Huang, 2007:14) dengan
membaginya kepada dua jenis pengetahuan, masing-masing, pengetahuan umum
masyarakat (communal common ground) dan pengetahuan umum perorangan
Bagian dan
gerakan tertentu dari anggota tubuh penutur digunakan untuk mengacu sesuatu yang
dimaksudkannya. Pengarahan (jari) tangan kepada sesuatu yang dimaksudkan adalah
salah satu contoh cara pengacuan dengan menggunakan isyarat bagian tubuh.
Pengacuan seperti itu, menurut Lyons (1995:303-304), boleh jadi merupakan cara
alami manusia sejak dini (proto-form of reference (Bohnemeyer, 2006)) dalam
mengidentifikasi apa yang dimaksudkannya. Ditambahkan bahwa cara pengacuan
seperti itu dapat ditemukan dalam berbagai budaya dunia.
Dengan mengambil analogi dari kenyataan di atas, Lyons sampai kepada satu
kesimpulan bahwa setiap ekspresi lingual yang memiliki fungsi yang sama dengan
fungsi mengacu yang terdapat pada isyarat anggota tubuh, seperti disebutkan di atas,
sifatnya deiktis.
termasuk ke dalam jenis ekspresi lingual yang jelas memiliki kesamaan fungsi dengan
penggunaan bagian tubuh, seperti (jari) tangan, untuk mengacu kepada sesuatu. Hal itu
dapat dibuktikan, misalnya, dengan mengacukan tangan kita kepada diri sendiri sambil
menyebut merasa puas, tanpa menyebutnya secara lengkap, yakni dengan Saya
merasa puas. Untuk tidak menyebut Gambar itu kabur secara lengkap, kita dapat
menyampaikan maksud yang sama dengannya, hanya dengan menyebut Gambar
kabur, seraya mengacu dengan menggunakan jari telunjuk, misalnya, ke arah gambar
tertentu yang tergantung di dinding.
Dari Yule (1996:9) diperoleh juga penjelasan terkait dengan fungsi deiksis.
Menurutnya, salah satu hal yang amat penting sehubungan dengan penggunaan bahasa
adalah deiksis. Istilah deiksis, secara bersahaja, dia maknai sebagai upaya pengacuan
melalui penggunaan bahasa (pointing via language). Dengan demikian, dapat
dikatakan
bahwa
setiap
bentuk
lingual
yang
memiliki
fungsi
demikian
(mengacu/menunjuk) disebut ekspresi deiksis. Kata itu dalam bentuk tuturan tanya
Apa itu?, misalnya, adalah ekspresi deiksis, yang digunakan untuk mengacu kepada
sesuatu yang relatif jauh dari penuturnya.
Deiksis termasuk salah satu fenomena bahasa yang universal karena ekspresiekspresi deiksis dapat ditemukan pada semua bahasa manusia. Tentang mengapa
demikian halnya dapat diperoleh jawabannya, misalnya dari Huang (2007:132), yang
memberi penjelasan bahwa melakukan komunikasi melalui wahana bahasa di antara
sesama penggunanya tidak dapat berjalan secara efektif dan efisien tanpa kehadiran
deiksis di dalamnya.
Pendapat senada dengan Huang tentang urgensi deiksis dalam penggunaan
bahasa terdapat juga dalam Bohnemeyer (2006). Guna menguat yakinkan orang akan
urgensi tersebut, dia mengajak agar kita menentukan satu objek apa saja di sekitar kita,
dengan mengemukakan bentuk tuturan tulis Meet me here a week from now with a
stick about this big.
Dengan menemukan dan membaca tuturan tertulis itu saja, tanpa memahami
konteks relevan dihasilkannya tuturan tersebut, kita tidak mengetahui siapa yang harus
ditemui, di mana, kapan, serta sebesar apa tongkat yang harus dibawakan menurut
orang yang menghasilkan tuturan itu. Demikian juga halnya dengan I ll be back in an
hour. Tanpa mengetahui kapan tuturan tulis itu dihasilkan (dituliskan), kita tidak dapat
mengetahui kapan akan kembalinya orang yang membuat tuturan tulis tersebut.
Saeed, yang juga melihat peranan urgensif dari pemahaman konteks tutur
dalam memaknai ekspresi lingual, menjelaskan adanya keterikatan ekspresi dengan
konteks. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa unsur lingual yang terikat konteks
seperti itu sifatnya deiktis. Elements of language that are so contextually bound are
called deictic (Saeed, 2000:173).
Dari pejelasan Saeed di atas dapat dikatakan bahwa unsur lingual, seperti me/I,
here, now, this, in an hour, pada dua contoh tuturan tulis terakhir adalah ekspresi
deiksis karena untuk memaknai unsur-unsur lingual tersebut diperlukan bantuan
informasi kontekstual (seperti, siapa yang menghasilkan tuturan, di mana dan kapan
unsur-unsur lingual tersebut dihasilkan).
Berkenaan dengan konteks tutur, faktor terkait dan menentukan di dalamnya,
menurut Gasser (2003), pada pokoknya adalah penutur, pendengar, tempat, dan waktu.
Untuk mengilustrasikan maksud konteks tuturan, Gasser mengambil kalimat bahasa
Inggris I like it sebagai contoh, yang dalam hubungan ini, dia sebut sebagai tuturan
yang berlainan apabila disampaikan pada saat yang berbeda. Hal ini memberi
pengertian bahwa setiap penuturan memiliki konteks sendiri, dan pada setiap konteks
yang berbeda unsur lingual yang sama hadir dengan makna yang berbeda pula.
Singkatnya, makna akan selalu berubah dari konteks tuturan yang satu ke konteks
tuturan yang lain. Pemahaman konteks tuturan, Gasser permudah dengan
membagankan faktor-faktor yang berperan dalam terbentuknya konteks tutur, sebagai
berikut.
Bagan 01: Konteks tutur
Utterance
Form
Speaker
Hearer
Location
Time
Setiap bagian pada bagan 01, berupa kotak, pada bagan di atas adalah gatra
peran (role) dalam konteks (lihat juga Jaszczolt, 2006) yang dapat ditempati oleh siapa
atau apa saja dalam situasi yang berbeda-beda. Misalnya, gatra penutur ditempati oleh
orang tertentu, dan gatra tempat oleh tempat tertentu.
Terkait dengan ihwal deiksis pada kalimat di atas ( I like it ), unsur I acuannya
dapat ditentukan dari konteks tuturan, yang dalam hubungan ini, siapa yang mengisi
kotak gatra peran penutur (speaker). Jika yang mengisi gatra tersebut, misalnya, Mara
(pria), maka dapat ditentukan bahwa acuan unsur I adalah Mara. Acuan unsur I
selanjutnya dapat juga berpindah, misalnya, pada Mawa (wanita), apabila yang
mengisi kotak gatra peran pada bagian di atas adalah wanita dengan nama tersebut.
Bergantinya acuan ekspresi lingual yang sama disebabkan perubahan konteks
terdapat juga pada it. Acuan it dapat berupa benda atau hal yang tidak sama apabila
pengisi gatra peran tempat (location) terdiri dari tempat yang berbeda secara
bergantian. Dukungan peranan konteks dalam penentuan makna ekspresi lingual tidak
terbatas hanya dari satu faktor konteks tuturan tertentu saja, melainkan dapat juga dari
kombinasi dua faktor atau lebih. Untuk penentuan acuan ekspresi lingual it di atas,
misalnya, dapat dilakukan dengan mengetahui faktor konteks berupa penutur dan
tempat sekaligus, yang dalam hubungan ini, siapa yang menjadi penutur serta di mana
penutur mengekspresikan it tersebut.
Dari contoh pemaknaan I dan it, dalam kaitannya dengan konteks tutur, Gasser
memadai penjelasannya dengan memberi pengertian tentang (ekspresi) deiksis.
Ekspresi deiksis, menurutnya, adalah ekspresi yang maknanya diperoleh langsung dari
konteks tuturan. Artinya, makna ekspresi dapat ditentukan setelah mengetahui faktor
relevan yang diacu dalam konteks tutur, yang terdiri dari: penutur, mitra tutur, lokasi,
dan waktu. Adapun istilah deiksis, adalah merupakan bentuk nomina dari deiktis.
Tentang ekspresi deiksis dan istilah deiksis tersebut, Gasser menjelaskan sebagai
berikut.
[ ....... ]
from the utterance context, that make reference to one or more of the
roles in the utterance context: the speaker, the hearer, the location, or
the time. The noun form of the word is deixis (Gasser, 2003).
Ahli lain yang memberi pengertian tentang deiksis adalah Huang (2007:132).
Dalam
bukunya
Pragmatics,
dinyatakan
bahwa
deiksis,
secara
langsung,
Terdapat hal implisit dan eksplisit dalam penjelasan dan rumusan deiksis
Huang di atas. Dari keimplisitannya, tidak terlihat adanya tahapan proses deiksis
setelah pengkodean makna ke dalam bentuk gramatika. Setelah penggramatikalan
makna, seyogianya terdapat proses perealisasian bentuk-bentuk gramatikal ke dalam
wujud ekspresi lingual, yang selanjutnya diikuti oleh upaya pemaknaan berdasarkan
pemahaman
konteks
tuturan
(bandingkan
dengan
Levinson,
1983:54).
ciri yang terdapat dalam deiksis para ahli tersebut juga merupakan ciri yang dimiliki
referensi. Oleh karena itu, untuk memperoleh rumusan deiksis atau ciri lain yang dapat
dioperasikan sebagai penjaring ekspresi deiksis dari tuturan, perlu pembedaan lebih
dahulu antara referensi dan deiksis.
ekspresi deiksis adalah makna menurut perspektif penutur yang dapat berubah-ubah
menurut keberadaan penutur dalam konteks yang baru disebutkan.
Untuk mengetahui makna atau acuan kata sapaan paman, misalnya, kita harus
memperhatikan terlebih dahulu terhadap siapa penutur mengacukan kata sapaan
tersebut pada saat dituturkan dalam konteks sosial penutur berada. Jika penutur
mengacukan kata sapaan tersebut terhadap C pada saat tuturan, maka makna atau
acuan kata sapaan paman
diacunya dengan engkau adalah A, maka pada saat tuturan tersebut, acuannya adalah
A, dan apabila pada kesempatan lain penutur menggunakannya terhadap Y, maka pada
saat tuturan tersebut acuannya adalah Y.
Adverbia sekarang, juga dapat berubah-ubah acuannya sesuai maksud penutur
dalam konteks temporalnya. Apabila penutur, misalnya, menuturkan adverbia tersebut
pada tanggal 14 Mei 2010, acuannya pada saat tuturan adalah hari yang sama atau
waktu tertentu pada hari yang sama, dan jika penutur menggunakannya pada dua hari
sesudahnya, acuannya adalah hari yang berbeda, yakni hari Ahad, tanggal 16 Mei
2010. Demikian seterusnya terhadap pemaknaan ekspresi deiksis dari jenis lain.
Pemaknaannya tetap dengan memperhatikan maksud penutur pada saat menuturkan
ekspresi deiksis tersebut dalam konteks penggunaan masing-masing.
Hal lain yang membuat ekspresi deiksis dapat berubah sifat menjadi non-deitis,
dengan mengikut penjelasan Levinson (1983:65-67), adalah, apabila ekspresi tersebut
(1) tidak mengacu secara khusus kepada acuan tertentu, (2) tidak digunakan sebagai
pengacu sesuatu. Atas dasar itu kedua ekspresi yang dikategorikan sebagai ekspresi
deiksis dalam bahasa Inggris, you dan that, misalnya, masing-masing sifatnya nondeiktis, menurut Levinson, pada tuturan You can never tell what sex they are nowadays
dan Oh, I did this and that. Pada tuturan pertama, unsur you tidak mengacu secara
khusus kepada acuan tertentu, berupa mitra tutur tunggal, melainkan kepada semua
orang. Oleh karenanya, you pada tuturan pertama tersebut bersifat non-deiktis. Pada
tuturan kedua, unsur that tidak digunakan sebagai pengacu sesuatu yang berjarak
relatif jauh kepada penutur, melainkan sebagai bagian dari rangkaian idiom this and
that, yang menyatakan volume kerja atau tugas yang telah dilakukan oleh penuturnya.
Oleh karenanya, that pada tuturan kedua, juga, non-deiktis sifatnya.
Berbeda halnya dengan ekspresi you dan that pada kedua tuturan di atas, pada
kedua tuturan What did you say ? dan Thats a beautiful view, masing-masing dari
kedua unsur tersebut bersifat deiktis karena digunakan untuk mengacu secara khusus
kepada sesuatu yang tertentu. You pada tuturan tanya di atas, oleh penuturnya,
diacukan kepada orang kedua tunggal, yang menjadi mitra tutur baginya; sedangkan
that pada tuturan terakhir penuturnya gunakan untuk mengacu yang tentu, yakni,
pemandangan yang lokasinya relatif jauh dari penuturnya berada pada saat tuturan.
Sejauh ini, tentang siapa orang kedua tunggal tertentu yang menjadi acuan you dan
pemandangan tertentu mana yang diacu dengan that belum diketahui secara jelas. Hal
itu disebabkan oleh berbagai kemungkinan acuan berupa orang dan pemandangan yang
dapat diacu dengan masing-masing ekspresi tersebut. You dan that, dalam hubungan
ini, adalah ekspresi yang acuannya dapat berpindah-pindah. Untuk mengetahui dan
dapat menetapkan acuannya diperlukan pemahaman konteks lagi, yakni terhadap
konteks tutur masing-masing. Untuk you termasuklah, di antaranya, siapa orang kedua
tunggal yang dimaksudkan oleh penutur pada saat menuturkan ekspresi pengacu
tersebut; sedangkan untuk that, pemandangan mana yang dimaksudkan oleh penutur
pada saat menuturkannya. Ketergantungan kepada pemahaman konteks tutur untuk
dapat menetapkan acuan yang jelas kedua ekspresi you dan that menguatkan alasan
untuk mengatakan bahwa keduanya adalah ekspresi lingual yang bersifat deiktis pada
masing-masing tuturan terakhir di atas.
Jika dielaborasi, hal yang menjadi ciri deiksis dari penjelasan di atas adalah: (1)
deiksis adalah fenomena pengacuan bersifat lingual, (2) dalam deiksis terdapat
ekspresi pengacu (referring expression) terhadap acuan yang dimaksud, yang disebut
ekspresi deiksis, (3) acuan ekspresi deiksis dapat berpindah-pindah, (4) perpindahan
acuan ekspresi deiksis disebabkan oleh perubahan konteks sosio-personal maupun
spasio-temporal, dan lingual penuturnya.
Dari keempat ciri deiksis di atas penulis dapat mengambil satu kesimpulan
berupa rumusan deiksis yang dapat dijadikan sebagai kriteria dasar dalam melihat
deiktis-tidaknya ekspresi lingual. Rumusannya, deiksis adalah fenomena pengacuan
(Calcagno, 2003) dipandang sebagai jenis deiksis utama (main kinds of deixis). Ketiga
jenis deiksis itu, masing-masing, adalah deiksis tempat (spacial deixis), deiksis waktu
(temporal deixis), dan deiksis persona (personal deixis). Dalam perkembangan
selanjutnya, Levinson (1983:85-94) memperkenalkan dua lagi jenis deiksis, yang
masing-masing berupa deiksis sosial (social deixis) dan deiksis wacana (teks)
(discourse (text) deixis) (Imai, 2003:6).
Di Indonesia, sejauh pengamatan penulis, hingga periode tahun sembilan
puluhan, liputan kajian deiksis masih berada pada seputar tiga jenis deiksis, berupa
deiksis orang (personal deixis), deiksis tempat (spatial deixis), dan deiksis waktu
(temporal deixis). Kenyataan itu terindikasi pada dua hasil penelitian tentang deiksis
yang masing-masing dilakukan oleh Purwo (1984) dan Rahyono (1992). Pada hasil
penelitian Purwo, yang termuat dalam disertasinya Deiksis Dalam Bahasa Indonesia,
dan Rahyono dalam tesisnya Makna Invarian Ekspresi Deiktis Dalam Bahasa Jawa,
bahasan yang dilakukan pada pokoknya masih berada pada seputar tiga jenis deiksis
pertama yang tersebut di atas.
Antara Purwo dengan Levinson, yang menunjukkan bahwa yang pertama
tampil kurang lebih setahun kemudian setelah yang kedua, dapat memberi tafsiran,
seyogianya dalam disertasi Purwo tersebut terliput juga hasil kajian tentang dua jenis
deiksis terakhir (deiksis sosial dan deiksis wacana) yang termuat dalam Levinson
(1983). Namun, tidak terdapatnya Levinson (1983) dalam rujukan pustaka Purwo
(1984) menguatkan alasan untuk mengatakan bahwa dua jenis deiksis terakhir belum
dikenal, atau informasinya tidak selengkap untuk tiga jenis deiksis pertama di masa
Purwo (1984).
Adapun yang menyusul kemudian, Rahyono (1992) dalam penelitian tesisya,
tampak belum seutuhnya menambahkan kedua jenis deiksis terakhir yang disebutkan
ke dalam liputan kajiannya, sekalipun dalam daftar kepustakaan tesisya tersebut
tercantum Levinson (1983). Dalam hubungan ini, menurut hemat penulis, tidak
terintegrasikannya kedua jenis deiksis terakhir sebagai liputan pengkajian dalam
Rahyono (1992) tidak lagi disebabkan oleh tidak ada atau minimnya informasi tentang
keduanya, tetapi oleh pengambilan sikap yang termotivasi oleh disertasi Purwo (1984)
-- untuk menerapkannya dalam penulisan semantik bahasa Jawa (Rahyono, 1992:2).
Dua jenis deiksis tambahan Levinson yang disebutkan dapat dikatakan
penerapannya tergolong relatif masih baru dalam literatur kajian linguistik Indonesia.
Hal itu dapat dilihat setelah tahun dua ribuan, seperti pada yang dilakukan oleh
Harahap dalam penelitian tesisnya yang berjudul Analisis Deiksis dalam Bahasa
Jerman, di bawah bimbingan Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D. dan Prof. Dr. Robert
Sibarani, M.S.. Pada tesisnya tersebut, Harahap telah memasukkan deiksis sosial dan
deiksis wacana sebagai bagian integral dari liputan penelitiannya.
Hingga sekarang ini pengintegrasian kedua jenis deiksis tersebut ke dalam
kajian deiksis secara menyeluruh bersama ketiga jenis deiksis yang disebut
sebelumnya, atau dengan menetapkan salah satu di antaranya sebagai objek kajian
belum pernah dilakukan dalam wujud penelitian disertasi. Dalam penelitian ini penulis
menyertakan semua dari kelima jenis deiksis yang disebutkan di atas sebagai objek
penelitian dalam bahasa Mandailing. Penulis tidak membatasinya hanya pada tiga jenis
deiksis liputan, yang oleh Buhler dipandang sebagai main kinds of deictics atau
sebagai basic categories of deixis (Huang, 2007:136), yakni deiksis persona, deiksis
tempat, dan deiksis waktu, tetapi terliput juga di dalamnya deiksis sosial dan deiksis
wacana.
Dari kedua jenis deiksis
deiksis wacana, pengintegrasian deiksis sosial dalam kerangka penelitian ini sifatnya
tampak amat relevan. Aspek sosial bahasa Mandailing dengan keunikannya, terutama
yang menyangkut sistem sapaan,
melalui deiksis tersebut. Di samping penggunaan kata ganti persona sebagai kata
sapaan pada umumnya, dalam bahasa Mandailing, ditemukan juga jenis kata sapaan
lain yang dapat menunjukkan sekaligus relasi sosial atau pertalian kekerabatan yang
terdapat antara penutur dengan sesama orang yang disapa. Penggunaan kata sapaan
demikian dapat terlaksana sedemikian rupa, sehingga peserta yang terlibat dalam
komunikasi pertuturan mengetahui posisi masing-masing dalam konstalasi sistem
sosial yang berlaku.
Selain itu, dengan memahami penggunaan kata sapaan tertentu, masing-masing
peserta yang terlibat dalam pertuturan akan dapat menjadikannya sebagai dasar untuk
bersikap tertentu pula terhadap sesama peserta tutur yang lain. Implikasi penggunaan
kata sapaan semacam itu pada kenyataannya tidak terhenti dan terbatas hanya pada
saat komunikasi percakapan, melainkan berlanjut sampai kepada kegiatan atau upacara
lain yang bernuansa sosial. Bagi masyarakat penutur bahasa Mandailing unsur bahasa
yang demikian adalah termasuk sesuatu yang syarat ideologi, karena kata sapaan
mengandung nilai atau pengetahuan tertentu yang dapat dipedomani dalam kehidupan
sosial, baik di luar maupun dalam lingkup keluarga (lihat juga Poynton, 1985:17;
Kress, 1985:82-84). Dengan demikian, jenis deiksis liputan serta urutannya dalam
penelitian ini dapat diperjelas melalui bagan 02. Penelitian ini berada pada tataran kata
atau frasa dengan fokus perhatian, bagaimana masing-masing digunakan.
DEIKSIS
DEIKSIS
PERSONA
DEIKSIS
TEMPAT
DEIKSIS
WAKTU
DEIKSIS
SOSIAL
DEIKSIS
WACANA
berasal dari satu sumber yang sama. Hal demikian penulis lakukan mengingat bahwa
kumulasi ilmu atau teori tentang deiksis, yang dapat diperoleh, bukan merupakan
sumbangan kiprah ilmiah seorang ahli atau peneliti. Kerangka teori dari masingmasing jenis deiksis pada sub-bagian 2.9 dan definisi deiksis pada 2.7 beserta ciri-ciri
deiksis dari para ahli yang dimuat di bawahnya saling terkait dan berinteraksi dalam
penelitian ini. Tentang ekspresi lingual mana yang dapat digolongkan ke dalam
kategori masing-masing jenis deiksis penentuannya dapat juga dilakukan, antara lain,
melalui pemahaman penjelasan ahli relevan untuk itu.
Sebelum sampai ke bagian teori masing-masing jenis deiksis ada baiknya
penulis kemukakan lebih dahulu pendapat Kearns (2000:272-273) yang menyebutkan
bahwa ekspresi deiksis adalah ekspresi-ekspresi yang penentuan acuannya dilakukan
melalui pemahaman konteks tuturnya secara sistematis.
Demikianlah yang terjadi dalam penentuan acuan terhadap ekspresi lingual, seperti: I,
here, this, yesterday. Untuk menentukan dengan tepat acuan masing-masing dari
keempat ekspresi tersebut diperlukan penautan terhadap titik taut yang relevan.
Ekspresi I, misalnya, titik tautnya adalah penutur. Dengan demikian, acuan I adalah
siapa orang yang menuturkannya pada saat tuturan. Dengan here dan this, titik taut
keduanya adalah tempat penutur berada pada saat tuturan; karena itu, acuan kedua
ekspresi lingual tersebut masing-masing adalah tempat dan objek yang dekat kepada
penutur pada saat menuturkannya. Yesterday, bertitik taut kepada hari penutur
menuturkan ekspresi tersebut. Oleh karena itu, acuannya adalah hari terdekat sebelum
hari terdapatnya saat tuturan.
Terdapatnya kesesuaian antara maksud rumusan Kearns dengan cara yang
ditempuh dalam menetapkan acuan masing-masing contoh ekspresi lingual di atas
dapat menjadi dasar untuk mengatakan bahwa I, here, this, dan yesterday adalah
ekspresi deiksis. Dalam hubungan ini, untuk memaknai atau menetapkan acuan
keempat ekspresi lingual tersebut dengan benar terdapat ketergantungan terhadap
pemahaman konteks tuturnya secara sistematis (dengan berupaya mengetahui siapa
penutur, tempat dan waktu ekspresi lingual relevan dituturkan).
Ketergantungan pemahaman konteks tutur dalam memaknai unsur lingual,
seperti yang dilakukan terhadap keempat contoh ekspresi lingual di atas, berlaku juga
terhadap ekspresi lain yang tergolong ke dalam kelas masing-masing dari keempat
ekspresi lingual tersebut, yang terdiri dari pronomina persona, adverbia tempat,
demonstrativa, dan adverbia waktu. Oleh karena itu, ekspresi-ekspresi lingual yang
tergolong ke dalam masing-masing kelas tersebut, menurut Kearns, potensial sebagai
ekspresi deiksis. Selain itu, menurut Huang (2007:169), yang juga potensial sebagai
ekspresi deiksis adalah bentuk sapaan berupa istilah kekerabatan, nama jabatan dan
kepangkatan.
Informasi dari Kearns dan Huang, pada 2.9, tentang unsur lingual yang
potensial sebagai ekspresi deiksis memberi kejelasan kepada penulis dalam
menetapkan unsur lingual mana sajakah yang menjadi objek pemerian pada setiap
jenis deiksis dalam laporan penelitian ini. Objek pemerian pada deiksis persona adalah
ekspresi lingual yang tergolong ke dalam pronomina persona, seperti: I, you, we,
he/she dengan bentuk perubahannya dalam bahasa Inggris. Pada deiksis tempat, yang
menjadi objek pemerian adalah adverbia tempat dan demonstrativa. Dalam
demonstrativanya, baik yang bersifat pronominal, adjektival, dan yang adverbial. Pada
deiksis waktu, objek yang diperikan adalah adverbia waktu. Pada deiksis sosial, objek
pemeriannya berada pada seputar bentuk-bentuk sapaan; sedangkan pada deiksis
wacana diperikan tentang adverbia tempat dan waktu, serta demonstrativa.
dalam peristiwa tuturan. Konsep pemikiran ini memberikan pengertian bahwa orang
digramatikalkan secara berbeda menurut peranan yang dimilikinya pada saat bertutur.
Boleh jadi yang satu terhadap yang lainnya berperan sebagai penutur (speaker), mitra
tutur (addressee), atau sebagai yang lain (other). Peranan setiap orang yang terlibat
dalam pertuturan dapat berganti. Menurut Levinson (1983:68, 2000b), hal itu
disebabkan oleh adanya pergantian giliran berbicara bagi yang lain. Pergantian
semacam itu akan dengan sendirinya menjadi sebab terhadap berpindahnya origo
ground zero (istilah Buhler (1934) dalam Levinson, 2006b) untuk pusat konteks
pengacuan berupa
kedua adalah orang yang terlibat dalam peristiwa tutur (masing-masing sebagai
penutur dan mitra tutur), sedangkan persona ketiga tidak terlibat di dalamnya (lihat
juga Yule, 1996:10; LaPolla, 2006).
pembedaan persona atas tiga dalam sistem pronomina persona seperti yang sudah
terpola di atas terlihat tidak menjadi bagian dalam pembicaraan Levinson. Namun,
dinyatakannya bahwa sistem pembagian pronomina persona dalam setiap bahasa tidak
tertutup kemungkinan pengembangannya atas dasar dimensi tertentu, berupa jumlah,
jender, dan sebagainya.
Terkait masih dengan ihwal pronomina persona, Levinson menambahkan
bahwa dalam sejumlah bahasa terdapat kemungkinan adanya dua jenis pronomina
persona pertama jamak. Yang pertama bersifat inklusif, dan yang kedua eksklusif.
Keinklusifan (we-inclusive-of-addressee) terjadi apabila penutur menyertakan orang
kedua (mitra tutur) terliput dalam pronomina persona pertama jamak yang
dituturkannya, sedangkan keeksklusifan (we-exclusive-of-addressee) terjadi apabila
penutur tidak mengikut sertakan orang kedua dalam liputan pronomina persona
pertama jamak yang dituturkannya.
Yang lain dan tidak kurang pentingnya dalam pengkajian pronomina persona
adalah kemungkinan terdapatnya perubahan bentuk dalam hal di luar hubungan peran
peserta (participant role), seperti untuk kasus akusatif, posesif, maupun klitisasi.
Levinson (1983), sejahuh ini, terlihat tidak membicarakannya, tetapi untuk yang
disebutkan terakhir (klitisasi) kita diingatkan akan kemungkinan itu dalam LaPolla
(2006).
Pengetahuan sebatas dapat mengidentifikasi bentuk-bentuk lingual yang dapat
diklasifikasikan ke dalam kelas pronomina persona (personal pronouns) dapat
dikatakan belum memadai. Lazimnya setiap bahasa memiliki pronomina persona
dalam jumlah tertentu, dan jumlah tersebut tidak tunggal sebab belum ada bahasa
ditemukan dengan kepemilikan pronomina persona dengan jumlah hanya satu saja. Hal
lanjut yang penting diketahui dari sejumlah pronomina persona dalam setiap bahasa
adalah, bagaimana masing-masing pronomina persona dalam bahasa yang sama dapat
berbeda atau dibedakan dari yang lainnya. Setidaknya, pertanyaan ini menyiratkan
akan pentingnya kriteria tertentu yang dapat dijadikan dasar dalam membedakan setiap
pronomina persona yang terdapat dalam bahasa yang sama.
Alternatif yang dikemukakan oleh Gasser (2003) terkait dengan keharusan
adanya kriteria dasar dalam membedakan masing-masing pronomina persona, walau
tidak sepenuhnya, dapat dijadikan sebagai bagian dari kerangka teoretis dalam
pengkajian terhadap pronomina persona bahasa Mandailing yang penulis lakukan.
Dalam penerapan alternatif yang dikemukakannya ke dalam bahasa Inggris, Gasser
bertolak dengan berpedoman kepada lima dimensi yang diperlukan dalam
membedakan pronomina persona, yaitu: dimensi (1) persona (person), (2) semantik
(semantics), (3) jumlah (number), (4) formalitas (formality) dan (5) jender (gender).
Yang dimaksud dimensi di sini oleh Gaser adalah a kind of scale along which concepts
can vary. Kelanjutan jabarannya, setiap konsep yang berbeda pada dimensi tertentu
memiliki satu nilai (value) terhadap dimensi itu. Dari dimensi persona bahasa Inggris,
misalnya, terdapat konsep yang berbeda antara yang disebut sebagai orang pertama,
orang kedua, dan orang ketiga. Dengan perbedaan konsep itu diperoleh dasar dalam
membedakan antara I dan we sebagai pronomina persona orang pertama (first person),
you dan you guys sebagai pronomina persona orang kedua (second person), dan she,
he, it, serta they sebagai pronomina persona orang ketiga (third person). Dalam bahasa
Inggris, menurut Gasser, hanya ketiga nilai itu saja yang diperlukan sebagai dasar
untuk membedakan setiap anggota kelas pronomina dari dimensi personanya.
Selanjutnya dinyatakan bahwa persona bukan satu-satunya dimensi konseptual
dalam mempersepsi perbedaan yang terdapat dalam pronomina persona karena
dimensi semantik (semantic dimension) terdapat juga di dalamnya. Alasannya, karena
unsur lingual dengan konsep yang berbeda pada dimensi persona diwujudkan dalam
bentuk lingual yang berbeda pula. Sama halnya dengan kata, dari dimensi
semantiknya, dia memiliki bentuk dan makna, atau dapat juga disebut sebagai
perwujudan bentuk dan makna. Dari bentuk, misalnya, terdapat dan dapat dibedakan
antara I dan you, sedangkan dari segi maknanya masing-masing sebagai penutur dan
mitra tutur. Dari dimensi semantik jugalah diperoleh jumlah (number) dalam
membedakan I dan we, masing-masing sebagai pronomina persona tunggal (singular)
yang mengacu kepada satu orang dan pronomina persona jamak (plural) yang
acuannya terhadap lebih dari satu orang.
Tentang jumlah dalam pronomina persona pada setiap bahasa, termasuk bahasa
Inggris, Gasser selanjutnya menjelaskan bahwa ditemukan hanya ada empat
kemungkinan, yaitu: tunggal (singular), dua (dual), tiga (trial), dan kegandaan yang
belum tentu jumlahnya (plural). Dengan menjadikan persona dan jumlah sebagai dasar
pembeda pronomina persona bahasa Inggris baru dapat hasil pengklasifikasian seperti
terlihat pada bagan 03 berikut.
1 st Person
2 nd Person
3 rd Person
Singular
Plural
I
you
she, he, it
we
you, you guys
they
Pronomina persona orang ketiga tunggal she, he, dan it masih terdapat dalam
kelompok yang sama yang justru masih memerlukan pembedaan lanjut; sedangkan
untuk pronomina persona orang ketiga jamak tidak lagi diperlukan pembedaan karena
pronomina personanya dalam kelompok itu hanya satu, yaitu they.
Yang rada kompleks dari gambaran yang terlihat dari gambaran sementara
pronomina persona pada bagan 03 adalah perihal pronomina persona orang keduanya.
Dalam situasi berbicara dan menulis yang relatif formal yang digunakan adalah you,
baik untuk yang jumlah orangnya tunggal maupun dalam jumlah jamak. Namun, pada
dialek tertentu bahasa Inggris dapat juga ditemukan you guys sebagai pronomina
persona orang kedua jamak. Itu sebabnya Gasser menempatkan you dan you guys
dalam satu kelompok yang sama.
Apa yang masih dapat dibaca dari bagan 03 di atas adalah bahwa masih
diperlukan dimensi lain selain persona dan jumlah sebagai dasar untuk membedakan
sesama anggota kelas pronomina persona pada dua kelompok, yaitu, yang terdapat
pada kelompok pronomina persona orang kedua jamak dan pada kelompok pronomina
persona orang ketiga tunggal. Pada kelompok pronomina persona orang kedua jamak
masih terdapat dua pronomina persona yang harus dibedakan, dan ditambah tiga lagi
pada kelompok pronomina persona orang ketiga tunggal.
Menyangkut ihwal pembedaan pronomina persona jamak you dan you guys
terlihat bahwa formalitas, yang juga sebagai sub-dimensi semantik, dapat berperan
sebagai dasar dalam membedakan kedua pronomina persona tersebut. Dalam
hubungan ini formalitas sebagai dimensi hanya memiliki dua nilai. Yang pertama
formal, dan yang kedua adalah informal. Pada situasi yang relatif formal, seperti
berbicara di arena khalayak publik atau berbicara kepada atasan, yang muncul dalam
penggunaan adalah you, sedangkan you guys pada situasi yang informal.
Keperluan akan dimensi lain masih dirasa perlu dalam menyelesaikan ihwal
pembedaan kelompok pronomina persona orang ketiga tunggal pada bagan 03.
Pemilihan dimensi jender sebagai dasar pembeda sesama anggota kelas pronomina
persona orang ketiga pada bagan 03 di atas, menurut Gasser, adalah tepat karena
dimensi jender dengan muatan konsep wanita (feminine), pria (masculine), dan netral
(neuter) telah memadai dalam membedakan ketiga pronomina persona tersebut.
Singular
Plural
we
1 st Person
2 nd Person
you
Fem.
Masc.
Neut.
she
he
it
Formal
Informal
you
you guys
3 rd Person
they
Namun, menurut Levinson (1983:64), di luar kelaziman itu penitiktautan dapat juga
terjadi kepada partisipan selain penutur.
Dalam kajian deiksis tempat, penutur sendiri adalah pusat deiksis (deictic
centre). Artinya, sesuatu yang menyangkut konsep tempat didasarkan pada perspektif
dengan menjadikan penutur sebagai pusat orientasi (egocentric way (Levinson,
tinggalnya, seolah-olah sang penutur masih berada di tempat itu secara fisikis
(physically). Demikian juga halnya penutur dalam menuturkan Ill come later, seolaholah sang penutur telah hadir lebih dahulu di lokasi lain (lokasi mitra tutur) sebelum
dia benar-benar berada di lokasi yang akan dia tuju. Kenyataan seperti terdapat pada
kedua contoh tersebut menguatkan Yule untuk mengingatkan bahwa dalam kajian
tentang deiksis tempat kemungkinan lokasi menurut perspektif penutur dapat juga
terjadi secara psikologis di samping secara fisikis.
Dari penjelasan Levinson di atas, menjadikan saat tuturan sebagai pusat deiksis
waktu mengimplikasikan bahwa saat tuturan juga merupakan titik taut dalam
menginformasikan waktu suatu peristiwa atau kejadian. Setiap ekspresi lingual yang
mengungkapkan konsep waktu deiktis sifatnya apabila waktu peristiwa yang diacu
oleh ekspresi tersebut ditautkan dengan lokasi waktu saat dituturkannya ekspresi
tersebut. Ekspresi lingual, seperti: tadi, sekarang, nanti, kemarin, besok, hari ini,
adalah ekspresi waktu yang tidak menginformasikan lokasinya dalam garis waktu
sebelum ditautkan dengan lokasi waktu saat masing-masing ekspresi tersebut
dituturkan. Hal demikian menguatkan pengertian bahwa ekspresi lingual yang
digunakan untuk menyatakan waktu, baru memiliki makna temporal yang jelas apabila
ditautkan kepada satu titik pengacuan. Titik pengacuan yang dimaksud adalah saat
tuturan itu sendiri, yang posisi temporalnya setiap saat dapat berpindah. Apabila saat
tuturan itu berpindah, muatan semantis ekspresi waktu akan ikut berubah. Ekspresi
waktu yang lokasi acuannya dalam garis waktu dapat berubah disebabkan
berpindahnya saat tuturan, oleh Lyons (1977:682-683), disebut ekspresi yang bersifat
deiktis atau dinamis.
Menjadikan saat tuturan sebagai pusat deiksis waktu mengimplikasikan bahwa
lokasi waktu suatu peristiwa berada sesudah, bersamaan, atau sebelum saat tuturan.
Kejelasan di mana lokasi saat tuturan akan memberi kejelasan lokasi waktu setiap
peristiwa dalam garis waktu. Lokasi waktu dengan muatan peristiwa yang terjadi
sesudah, bersamaan, dan yang menyusul setelah saat tuturan membuat kita mengenal
adanya pembagian waktu yang digramatikalkan dalam sistem kala, yang pada
pokoknya terdiri dari pengacuan waktu lampau (past), waktu kini (present), dan waktu
mendatang (future). Dengan demikian, bentuk-bentuk gramatikal yang mencirikan
pembedaan lokasi waktu acuan dalam sistem kala juga bersifat deiktis (lihat juga
Hoed, 1992:38-39). Kebalikannya, oleh Lyons, disebut bersifat non-deiktis atau statis
apabila saat tuturan tidak berperan dalam menentukan lokasi acuan ekspresi waktu
tersebut dalam garis waktu. Hal seperti itu terjadi apabila pengungkapan waktu
dilakukan berdasarkan penggunaan jam, siklus waktu karena planet bumi yang
berotasi, seperti: pukul sembilan pagi, tahun 2005, 14 Desember 2009, Senin,
November, 17 Ramadan 2009 (cf. Levinson, 1983: 73).
Waktu, sebagaimana Fillmore (Huang, 2007:144) nyatakan, memiliki dimensi
tunggal (one-dimensional) dan bersifat searah (unidirectional). Antara peristiwa
dengan waktu, jika dikaitkan dengan gerak, secara metaforis dapat dijelaskan sebagai
berikut: (i) waktu dipandang sebagai sesuatu yang diam, dan dunia (penutur (Yule,
1996:14)) bergerak melaluinya dari waktu yang lalu ke waktu yang akan datang, (ii)
dunia dipandang sebagai sesuatu yang diam, dan waktu bergerak melalui dunia.
Penggambaran dunia yang bergerak pada (i) menempatkan waktu berada di depan,
sehingga
memungkinkan
terbentuknya
frasa-frasa
adverbia
temporal
yang
Sebagai contoh dalam bahasa Indonesia, dari penjelasannya, adverbia Rabu ini
(this Wednesday) tidak untuk digunakan pada hari dituturkannya adverbia tersebut
karena hari yang sama masih dapat diacu dengan mendahulukan penggunaan hari ini
(today).
pronouns), bentuk sapaan (forms of address), bentuk terikat (bound forms), dan dalam
bentuk pilihan kata (the choice of vocabulary). Pronomina persona dapat dikategorikan
ke dalam deiksis sosial Huang dasarkan pada kenyataan bahwa pronomina persona
potensial untuk menunjukkan berbagai aspek deiksis sosial, seperti penanda rasa
hormat, atau pun penanda hubungan kekerabatan. Ke dalam bentuk sapaan terliput, di
antaranya, nama akhir seseorang, istilah kekerabatan, nama jabatan, dan kepangkatan.
Bentuk-bentuk terikat yang dimaksudkannya meliputi, berupa afiks, klitika, dan
partikel. Pada pilihan kata, yang dimaksudkannya adalah terdapatnya upaya
penggantian unsur lingual tertentu dengan kata pilihan lain yang menginformasikan
aspek deiksis sosial.
Terkait dengan penanda hormat melalui penggunaan pronomina persona,
Huang mengemukakan tipe pembedaan antara bentuk biasa dan bentuk hormat untuk
persona kedua tunggal (dari Brown & Gilman, 1960). Dalam bahasa-bahasa di Eropah
pembedaan dengan cara tersebut dikenal dengan sebutan tipe pembedaan T/V. Masingmasing huruf merupakan perepresentasian dari pronomina persona bahasa Prancis tu
dan vous. Bentuk tu adalah pronomina persona biasa untuk persona kedua tunggal,
sedangkan vous merupakan pronomina persona tidak biasa yang digunakan untuk
persona kedua tunggal yang dihormati. Pemilihan satu di antara kedua bentuk
pronomina persona tersebut, secara tidak langsung, merupakan penggambaran tentang
pandangan penutur terhadap hubungannya dengan orang yang menjadi mitra tutur.
Dalam tiga bahasa asing lain, misalnya, pembedaan dengan tipe T/V tersebut dapat
je
Spanyol
tu
Usted
-------------------------------------Bagan 05: Tipe pembedaan T/V
bagian-bagian wacana yang sama. Bagian yang diacu ada kalanya berada sebelum saat
pengacuan dilakukan, seperti tergambar pada tuturan, (a) sebagaimana disebutkan
sebelumnya, dan boleh jadi bagian yang diacu itu terdapat setelah saat pengacuan,
sebagaimana yang diisyaratkan melalui tuturan (b) pada bab berikut, atau (c) Anda
pasti belum pernah mendengar cerita ini. Penggunaan adverbia sebelumnya pada
tuturan (a) mengisyaratkan adanya bagian wacana yang lebih dahulu dihasilkan
sebelum saat pengacuan, sedangkan adverbia berikut pada (b) dan demonstrativa ini
pada (c) mengisyaratkan adanya bagian wacana yang akan hadir setelah saat
pengacuan (Levinson, dalam Laurence R. Horn & Gregory Ward (ed.), 2006:118).
Levinson selanjutnya menambahkan, oleh karena wacana berada dalam rentang
waktu, istilah-istilah deiksis waktu pun (seperti sebelumnya, berikut) lazim digunakan
untuk menunjukkan hubungan antara bagian wacana yang diacu dengan lokasi
temporal saat tuturan atau bagian kalimat yang lagi dituturkan. Tidak terkecuali
dengan istilah-istilah deiksis tempat, seperti terdapat pada tuturan dalam artikel ini
atau pada dua alinea di bawah, ada kalanya juga digunakan. Dinyatakannya, lebih
lanjut, bahwa hal penting pada pengacuan terhadap bagian-bagian wacana yang
membuatnya berciri deiktis adalah diperlukannya pemahaman konteks untuk
mengetahui acuan (berupa bagian wacana) yang dimaksud. Dalam hubungan ini,
presisi hasil interpretasi pengacuan terhadap bagian-bagian wacana dapat diperoleh
hanya dengan mengetahui lokasi di mana pusat pengacuan berada. Pusat pengacuan itu
lokasinya dinyatakan berada pada bagian yang lagi dituturkan atau dituliskan yang
digunakan untuk mengacu bagian tertentu dari wacana yang sama. Diketahuinya di
mana pusat pengacuan akan memberi penjelasan posisi bagian-bagian wacana yang
dimaksudkan.
Pemahaman lanjut tentang deiksis wacana diperoleh dari rumusan Huang
(2007:172) yang menyebutkan bahwa pengacuan ada juga kemungkinannya terhadap
bagian wacana yang sedang dituturkan. Dengan informasi tambahan dari Huang
tersebut dikenal adanya tiga bagian wacana dalam kaitannya dengan pusat pengacuan.
Yang pertama dan yang kedua, seperti yang diperoleh dari pendapat Levinson di atas,
adalah adanya bagian wacana sebelum dan sesudah saat pengacuan, sedangkan yang
ketiga adalah bagian wacana yang padanya terdapat saat pengacuan. Kejelasan tentang
adanya ketiga bagian wacana tersebut dapat ditemukan pada rumusan Huang tentang
deiksis wacana, sebagai berikut.
Discourse deixis is concerned with the use of the linguistic expression
within some utterance to point to the current, preceding or following
utterances in the same spoken or written discourse (Huang, 2007:172).
Sehubungan dengan adanya bagian wacana pada posisi sebelum saat
pengacuan, sejumlah ahli, seperti Levinson (1983:87, 2006b), Cruse (2004:337),
Huang (2007:175), menunjukkan bahwa terdapat unsur lingual tertentu yang dapat
menginformasikan adanya bagian wacana tersebut. Unsur lingual tertentu semacam itu
Cruse spesifikasi sebagai adverbia dalam kalimat, sedangkan letaknya, menurut
Huang, berada pada posisi awal suatu tuturan. Di antaranya, dalam bahasa Inggris,
adalah therefore, furthermore, anyway, but. Adverbia pertama (therefore) dan kedua
(furhermore), misalnya, masing-masing dapat dimaknai dengan karena itu dan
selanjutnya, yang menunjukkan adanya hubungan antara tuturan terdapatnya masingmasing dari kedua adverbia tersebut dengan bagian wacana yang dihasilkan sebelum
saat penuturannya. Tentang status daripada unsur lingual seperti itu tidak satupun di
antara ketiga ahli di atas yang menyebutnya secara tegas sebagai ekspresi deiksis,
melainkan sebagai penanda wacana (Levinson, 2006b), atau unsur deiksis wacana
(Cruse, 2004:337).