Blue Carbon
Blue Carbon
Blue Carbon
Blue carbon merupakan istilah untuk karbon yang berasal dari laut, sebuah tren
baru yang berfokus pada laut dan wilayah pesisir. Blue carbon mengacu pada karbon
yang tersimpan di ekosistem pesisir. Ekosistem pesisir kaya akan tanaman, seperti hutan
mangrove, padang lamun dan rawa payau intertidal, yang mampu menyerap sejumlah
besar karbon di atmosfer dan menyimpannya dalam sedimen dan tanah. Hutan mangrove
adalah penyerap karbon terbesar di ekosistem pesisir. Kemampuan tiga ekosistem
penyangga tersebut untuk pembentukan biomassa dan sedimen melalui mekanisme
fotosintesis yang membutuhkan karbondioksida (CO2).
menjadi garda depan penyeimbang bersama hutan tropis untuk mengurangi laju emisi
melalui penyerapan karbon dioksida dari atmosfer. Langkah ini telah membuka
kesempatan yang luas bagi Indonesia untuk mulai melakukan riset ilmiah tentang peran
penting ekosistem laut dan pesisir sebagai pengendali perubahan iklim global. Dalam
penelitian pertama blue carbon yang dilakukan di Abu Dhabi, Semenanjung Arab, peran
UNEP sangat erat kaitannya dengan konsep blue carbon. Berkaitan dengan itu bahwa
Indonesia sebagai negara yang memiliki potensi dalam keberagaman ekosistem pesisir
menjadi sangat diperhatikan. UNEP berperan serta dalam penciptaan ide Blue Carbon
dalam pengembangan Blue Carbon di Indonesia. UNEP serta terlibat dalam peluncuran
Blue Carbon agar bisa dilaksanakan dan dikembangkan di Indonesia. Dalam peluncuran
Blue Carbon oleh UNEP pada Februari 2010 yang lalu dalam sesi khusus UNEP yaitu
11th Spesial Session of UNEP Governing Council di Bali. Pada peluncurannya Indonesia
diwakili oleh Menteri Kelautan dan Perikanan RI, Ir. Fadel Muhamad serta UNEP
Executive Director Mr.Achim Steiner melalui sebuah nota kesepakatan Joint Agreement
antara Indonesia dan UNEP. Fungsi pertama UNEP yaitu berperan dalam melakukan
penelitian pertama tentang hutan mangrove yang terbukti memberikan kontribusi dalam
penyerapan gas emisi rumah kaca. Dimana penelitian ini menjadi landasan penelitian
terkait oleh pihak lain dalam menganalisis penelitian lain yang berkaitan dengan
ekosistem blue carbon di lokasi yang berbeda. Untuk mengetahui potensi penyerapan
karbon tersebut yang lebih akurat, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian
Kelautan dan Perikanan (Balitbang KKP) dengan United Nations Environment
Programme (UNEP) bekerjasama dalam program karbon biru (blue carbon) sejak 2010
untuk meneliti potensi karbon secara menyeluruh pada ekosistem pesisir dan laut. Hasil
penelitian tersebut nantinya digunakan untuk pengelolaan sumber daya kelautan yang
berkelanjutan termasuk dalam hal adaptasi dan mitigasi perubahan iklim kawasan pesisir.
karbon global karena tingginya produktivitas yang terjadi baik dari sungai maupun
ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang.
Sebagian besar biomassa pada vegetasi mangrove merupakan karbon dan nilai
karbon yang terkandung dalam vegetasi mangrove merupakan potensi dari mangrove
dalam menyimpan karbon. Salah satu cara untuk mengetahui nilai karbon tersimpan yang
dimiliki oleh vegetasi mangrove adalah dengan cara mengestimasi (Twilley et al., 1992).
Berdasarkan permasalahan diatas, maka yang menjadi fokus dari studi ini adalah
mengestimasi berapa banyak potensi carbon dioksida (CO2) yang bisa diserap oleh hutan
mangrove untuk mengurangi akibat dari perubahan iklim. Hal ini dikarenakan ekosistem
mangrove sangat efektif dan efisien dalam mengurangi konsentrasi karbondiokisda (CO2)
diatmosfer, dikarenakan mangrove dapat menyerap CO2 melalui proses fotosintesis
dengan cara difusi lewat stomata kemudian menyimpan karbon dalam bentuk biomassa
(Windardi, 2014).
Lebih dalam lagi ekosistem mangrove merubah CO 2 hasil respirasi biota lain
menjadi materi organik dalam proses fotosintesis dan hasilnya menghilangkan CO 2 yang
berasal dari atmosfir (Duarte et al., 2005). Penyerapan CO2 oleh mangrove sangat
berhubungan erat dengan biomassa dari mangrove baik itu biomasa di atas tanah (above
ground biomass) seperti batang, cabang, ranting, daun, bunga dan buah atau biomasa
dibawah tanah (below ground biomass) seperti akar dan tanah. Bagian terbesar dari hutan
mangrove yang dapat menyimpan karbon adalah tanah. Sejauh ini karbon pada ekosistem
mangrove, lamun dan rawa payau intertidal tersimpan paling banyak di dalam tanah (soil)
dimana bisa mencapai 50 sampai 90 % dari total kandungan karbon. Mangrove memiliki
biomasa permukaan yang terbesar karena mangrove bisa tumbuh mencapai 40m di
beberapa lokasi (WWF, 2012). Secara global mangrove bisa menyimpan 20 Pg C dan 7080 % tersimpan di dalam tanah sebagai bahan organik (Murdiyarso et al., 2014). Potensi
penyerapan karbon oleh hutan mangrove berbeda-beda. Sebagai perbandingan global
ekosistem karbon biru diestimasi bisa menyerap 42 billion t CO2eq (Siikamaki et al.,
2012). Peran mangrove dalam kaitannya dengan blue carbon lebih ditekankan sebagai
upaya mangrove memanfaatkan CO2 untuk proses fotosintesis dan menyimpannya dalam
stok biomass dan sedimen sebagai upaya mitigasi perubahan iklim.Jumlah penyimpanan
karbon yang tinggi ini menunjukkan bahwa ekosistem mengrove dan laut dapat
memainkan peranan penting dalam mitigasi perubahan iklim, katanya dalam sambutan
laut termasuk plankton dan ekosistem-ekosistem penyerap karbon biru (blue carbon
sink).
Habitat pesisir terbukti dapat mengembalikan areal ekosistem karbon biru yang
telah hilang terutama dari aspek ekologi. Pemulihan tersebut dapat mengembalikan jasajasa penting seperti kemampuan untuk meningkatkan kadar oksigen terlarut dalam
perairan pesisir, membantu memulihkan stok ikan global serta melindungi pesisir dari
badai bencana cuaca ekstrim. Saat bersamaan, habitat pesisir pun dapat menghentikan
penyusutan dan degradasi penyerap karbon alami penting sehingga berkontribusi
terhadap emisi karbondioksida dan mitigasi perubahan iklim dalam jangka panjang.
Pencegahan degradasi ekosistem penyerap karbon hijau dan biru dapat memberi dampak
positif berupa pengurangan 1-2 kali volum emisi seluruh transportasi global serta
memberi manfaat tambahan bagi keanekaragaman hayati, ketahanan pangan, mata
pencaharian, obyek wisata, penelitian ilmiah dan sumber daya mineral. Dengan kata lain,
pencegahan kehilangan penyerap karbon biru di lingkungan laut akan memberi kontribusi
nyata dalam mengurangi dampak perubahan iklim dibandingkan dengan pencegahan
penebangan hutan tropis. Perlindungan tersebut antara lain mencakup penetapan
pengaturan: reklamasi pantai, penebangan hutan bakau, penggunaan pupuk, pembuangan
limbah organik, penebangan hutan di darat, perikanan serta penetapan garis pesisir.
Peningkatan ketahanan (resilience) masyarakat pesisir maupun komunitas biota
ekosistem pesisir dan laut jelas menjadi salah satu faktor kunci dalam mempertahankan
peran lingkungan laut sebagai sumber ketahanan pangan dan mata pencaharian.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP)
melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan (Balitbang KP)
untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan serta kepedulian masyarakat umum
mengenai pentingnya ekosistem Karbon Biru ini dalam mitigasi perubahan iklim.
Antara lain diantaranya (1) Menterjemahkan buku Blue Carbon yang di terbitkan
bersama oleh UNEP, FAO dan UNESCO kedalam Bahasa Indonesia, (2) Mengadakan
pertemuan / Forum Stakeholders Blue Carbon Indonesia, (3) Melakukan inisiasi program
kegiatan penelitian ilmiah mengenai potensi dan peranan ekosistem Mangrove dan
Padang Lamun sebagai mitigasi perubahan iklim, serta (4) Mendirikan Kelompok
Penelitian khusus Karbon Biru dan menjadi anggota International Scientific - Policy
Working Group on Blue Carbon. Walaupun memberikan banyak keuntungan dan layanan,
ekosistem karbon biru pesisir merupakan salah satu ekosistem yang paling terancam di
Bumi, dengan sekitar 340.000 hingga 980.000 hektar ekosistem ini dihancurkan setiap
tahunnya (Murray et al., 2011). Diperkirakan sampai dengan 67% dan sedikitnya 35%
dan 29% dari seluruh cakupan global hutan bakau, rawa pasang surut, dan padang lamun,
secara berurutan, telah hilang. Jika hal ini berlanjut terus dengan laju yang tetap, maka
30-40% rawa pasang surut dan padang lamun dan hampir semua bakau yang tidak
dilindungi akan hilang dalam 100 tahun ke depan (Pendleton et al., 2012). Saat
terdegradasi atau hilang, ekosistem ini akan menjadi sumber gas karbon dioksida rumah
kaca yang besar. Karena Lamun di Indonesia seluas 3 juta ha ke dua terluas di dunia
maka karbon biru di perairan Indonesia sangat penting selain sebagai upaya mitigasi
perubahan iklim juga menjaga fungsi ekologis pesisir untuk keberadaan biodiversitas
ekosistem perairan laut dan perikanan. Ekosistem mangrove dan lamun yang dimiliki
Indonesia memiliki kemampuan potensial dalam mengurangi gas CO 2 di atmosfer yang
berukuran besar di pesisir dan padang lamun yang uas perlu dipertahankan.
METEOROLOGI LAUT
Oleh :
Nama
NIM
: 2015 64 021
Tugas
: Blue Carbon
UNIVERSITAS PATTIMURA