Blue Carbon

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 11

1. Apa itu Blue Carbon ?

Blue carbon merupakan istilah untuk karbon yang berasal dari laut, sebuah tren
baru yang berfokus pada laut dan wilayah pesisir. Blue carbon mengacu pada karbon
yang tersimpan di ekosistem pesisir. Ekosistem pesisir kaya akan tanaman, seperti hutan
mangrove, padang lamun dan rawa payau intertidal, yang mampu menyerap sejumlah
besar karbon di atmosfer dan menyimpannya dalam sedimen dan tanah. Hutan mangrove
adalah penyerap karbon terbesar di ekosistem pesisir. Kemampuan tiga ekosistem
penyangga tersebut untuk pembentukan biomassa dan sedimen melalui mekanisme
fotosintesis yang membutuhkan karbondioksida (CO2).

2. Sejarah dipelajarinya Blue Carbon !


Selama abad ke-20 wilayah pesisir telah berubah dengan meningkatnya populasi,
ekonomi dan urbanisasi. Efek dari kehancuran karbon pesisir ekosistem seperti
mangrove, lamun dan rawa rawa pasang surut mempengaruhi kualitas dan kuantitas
beberapa layanan ekosistem laut. Oleh karena itu IOC-UNESCO bersama-sama dengan
Conservation International (CI) dan Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN)
telah menetapkan internasional Biru Carbon Initiative sebagai instrumen untuk
memajukan ilmiah, manajemen dan kebijakan tindakan dan untuk mengembangkan
pengelolaan dan konservasi alat untuk ekosistem pesisir laut. Dalam kerangka inisiatif ini
bertujuan untuk mengembangkan komprehensif dan konsisten peta global ekosistem
karbon biru, untuk membangun kapasitas lokal. Proyek ini dibangun di atas pengalaman
IOC-UNESCO dalam mengkoordinasikan dan menegakkan laut.
Pada tahun 2009, Pemerintah Indonesia melalui Kementrian Kelautan dan
Perikanan telah berinisiatif memulai kajian karbon biru melalui Pilot Project Blue
Carbon di Teluk Banten dan dilanjutkan dengan Demonstration Site Blue Carbon Project
di Kepulauan Derawan, Kalimantan Timur dari tahun 2012 sampai sekarang. Hingga saat
ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan telah mengembangkan program kegiatan kajian
ilmiah karbon biru di beberapa lokasi lainnya di tanah air, antara lain : Tanjung LesungBanten, Pesisir Timur Sumatra, Nusa Penida-Bali dan Teluk Tomini-Sulawesi Utara.
Konservasi dan rehabilitasi ekosistem mangrove sangat perlu dilakukan untuk
menjaga kelangsungan penyerapan dan penyimpanan karbon biru. Untuk kedepannya
penelitian mengenai blue carbon sangat penting dilakukan mengingat efek dari perubahan
iklim makin mengkhawatirkan.
Karbon Biru pertama kali di luncurkan di Indonesia pada acara Forum Menteri
Lingkungan Hidup Sedunia di Nusa Dua, Bali pada 24 Februari 2010. Pada kesempatan
tersebut, Menteri Kelautan dan Perikanan, Dr. Fadel Muhammad dan Direktur Eksekutif
United Nations Environment Programme (UNEP) Dr. Achim Steiner bersama-sama
program Karbon Biru yang merujuk pada kemampuan ekosistem laut dan pesisir dalam
menjaga keseimbangan penyerapan karbon dioksida (CO2) dan potensi pengurangan
emisi gas rumah kaca. Konsep ini membuktikan peranan ekosistem laut dan pesisir yang
didominasi oleh vegetasi laut seperti hutan mangrove, padang lamun, rawa payau dalam
mendeposisi karbon. Disamping itu, ekosistem pesisir dan laut ini diyakini mampu

menjadi garda depan penyeimbang bersama hutan tropis untuk mengurangi laju emisi
melalui penyerapan karbon dioksida dari atmosfer. Langkah ini telah membuka
kesempatan yang luas bagi Indonesia untuk mulai melakukan riset ilmiah tentang peran
penting ekosistem laut dan pesisir sebagai pengendali perubahan iklim global. Dalam
penelitian pertama blue carbon yang dilakukan di Abu Dhabi, Semenanjung Arab, peran
UNEP sangat erat kaitannya dengan konsep blue carbon. Berkaitan dengan itu bahwa
Indonesia sebagai negara yang memiliki potensi dalam keberagaman ekosistem pesisir
menjadi sangat diperhatikan. UNEP berperan serta dalam penciptaan ide Blue Carbon
dalam pengembangan Blue Carbon di Indonesia. UNEP serta terlibat dalam peluncuran
Blue Carbon agar bisa dilaksanakan dan dikembangkan di Indonesia. Dalam peluncuran
Blue Carbon oleh UNEP pada Februari 2010 yang lalu dalam sesi khusus UNEP yaitu
11th Spesial Session of UNEP Governing Council di Bali. Pada peluncurannya Indonesia
diwakili oleh Menteri Kelautan dan Perikanan RI, Ir. Fadel Muhamad serta UNEP
Executive Director Mr.Achim Steiner melalui sebuah nota kesepakatan Joint Agreement
antara Indonesia dan UNEP. Fungsi pertama UNEP yaitu berperan dalam melakukan
penelitian pertama tentang hutan mangrove yang terbukti memberikan kontribusi dalam
penyerapan gas emisi rumah kaca. Dimana penelitian ini menjadi landasan penelitian
terkait oleh pihak lain dalam menganalisis penelitian lain yang berkaitan dengan
ekosistem blue carbon di lokasi yang berbeda. Untuk mengetahui potensi penyerapan
karbon tersebut yang lebih akurat, Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian
Kelautan dan Perikanan (Balitbang KKP) dengan United Nations Environment
Programme (UNEP) bekerjasama dalam program karbon biru (blue carbon) sejak 2010
untuk meneliti potensi karbon secara menyeluruh pada ekosistem pesisir dan laut. Hasil
penelitian tersebut nantinya digunakan untuk pengelolaan sumber daya kelautan yang
berkelanjutan termasuk dalam hal adaptasi dan mitigasi perubahan iklim kawasan pesisir.

3. Jelaskan proses Blue Carbob sebagai source dan zink !


Besar kecilnya simpanan karbon dalam suatu vegetasi bergantung pada jumlah
biomassa yang terkandung pada pohon, kesuburan tanah dan daya serap vegetasi tersebut.
Tumbuhan menyerap karbon dari udara dan mengkonversinya menjadi senyawa organik
melalui proses fotosintesis. Hasil fotosintesis digunakan untuk pertumbuhan secara
vertikal dan horizontal. Semakin besarnya diameter pohon disebabkan oleh penyimpanan
biomassa hasil konversi karbon yang semakin bertambah besar seiring dengan semakin
banyaknya karbon yang diserap pohon tersebut. Secara umum hutan dengan net growth
(pohon-pohon yang sedang berada dalam fase pertumbuhan) mampu menyerap lebih
banyak karbon, sedangkan hutan dewasa dengan pertumbuhan yang kecil menahan dan
menyimpan persediaan karbon tetapi tidak dapat menyerap karbon secara ekstra
(Retnowati, 1998). Saat ini, ekosistem pesisir menyimpan karbon dengan laju setara
dengan sekitar 25% peningkatan tahunan karbon atmosfer yakni sebesar sekitar 2.000
Tera (10) Gram Karbon per tahun. Sayangnya, dalam dua puluh tahun ke depan
sebagian besar ekosistem penyerap karbon biru (blue carbon sinks) diperkirakan akan
musnah sehingga kemampuan tahunan untuk mengikat karbon akan menurun. Untuk
mempertahankan situasi saat ini, butuh pengurangan emisi sebesar 4-8% sebelum tahun
2030 atau 10% sebelum tahun 2050.
Selain itu, laju penyimpanan dan ukuran karbon yang tersimpan pada ekosistem
pesisir akan meningkat terus dari waktu ke waktu. Hal ini disebabkan karena volume
sedimen dimana hutan bakau, rawa-payau dan padang lamun tumbuh sehat, akan
bertambah sebagai akibat meningkatnya permukaan laut.
Karbon dapat tersimpan di sedimen sampai kedalaman beberapa meter, namun
hanya kedalaman 1 meter pertama saja yang dianggap dapat menjadi pembanding untuk
beberapa jenis habitat sekaligus diakui bahwa lapisan 1 meter pertama tersebut lebih
berisiko melepas CO2 setelah ekosistem dikonversi untuk kepentingan lain. Diketahui
ekosistem pesisir mampu menyimpan karbon sebesar 0.22 1 Gt C per tahunnya
(Borges, 2011). Perairan pesisir mewakili sekitar 8 % dari perairan laut secara global
menghasilkan 25% produktivitas primer lautan yang membutuhkan karbon dioksida
dalam fotosintesisnya (Ribas-Ribas et al. 2011). Bouilon dan Connolly (2009)
menyatakan bahwa perairan pesisir daerah tropis merupakan bagian penting dalam siklus

karbon global karena tingginya produktivitas yang terjadi baik dari sungai maupun
ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang.
Sebagian besar biomassa pada vegetasi mangrove merupakan karbon dan nilai
karbon yang terkandung dalam vegetasi mangrove merupakan potensi dari mangrove
dalam menyimpan karbon. Salah satu cara untuk mengetahui nilai karbon tersimpan yang
dimiliki oleh vegetasi mangrove adalah dengan cara mengestimasi (Twilley et al., 1992).
Berdasarkan permasalahan diatas, maka yang menjadi fokus dari studi ini adalah
mengestimasi berapa banyak potensi carbon dioksida (CO2) yang bisa diserap oleh hutan
mangrove untuk mengurangi akibat dari perubahan iklim. Hal ini dikarenakan ekosistem
mangrove sangat efektif dan efisien dalam mengurangi konsentrasi karbondiokisda (CO2)
diatmosfer, dikarenakan mangrove dapat menyerap CO2 melalui proses fotosintesis
dengan cara difusi lewat stomata kemudian menyimpan karbon dalam bentuk biomassa
(Windardi, 2014).
Lebih dalam lagi ekosistem mangrove merubah CO 2 hasil respirasi biota lain
menjadi materi organik dalam proses fotosintesis dan hasilnya menghilangkan CO 2 yang
berasal dari atmosfir (Duarte et al., 2005). Penyerapan CO2 oleh mangrove sangat
berhubungan erat dengan biomassa dari mangrove baik itu biomasa di atas tanah (above
ground biomass) seperti batang, cabang, ranting, daun, bunga dan buah atau biomasa
dibawah tanah (below ground biomass) seperti akar dan tanah. Bagian terbesar dari hutan
mangrove yang dapat menyimpan karbon adalah tanah. Sejauh ini karbon pada ekosistem
mangrove, lamun dan rawa payau intertidal tersimpan paling banyak di dalam tanah (soil)
dimana bisa mencapai 50 sampai 90 % dari total kandungan karbon. Mangrove memiliki
biomasa permukaan yang terbesar karena mangrove bisa tumbuh mencapai 40m di
beberapa lokasi (WWF, 2012). Secara global mangrove bisa menyimpan 20 Pg C dan 7080 % tersimpan di dalam tanah sebagai bahan organik (Murdiyarso et al., 2014). Potensi
penyerapan karbon oleh hutan mangrove berbeda-beda. Sebagai perbandingan global
ekosistem karbon biru diestimasi bisa menyerap 42 billion t CO2eq (Siikamaki et al.,
2012). Peran mangrove dalam kaitannya dengan blue carbon lebih ditekankan sebagai
upaya mangrove memanfaatkan CO2 untuk proses fotosintesis dan menyimpannya dalam
stok biomass dan sedimen sebagai upaya mitigasi perubahan iklim.Jumlah penyimpanan
karbon yang tinggi ini menunjukkan bahwa ekosistem mengrove dan laut dapat
memainkan peranan penting dalam mitigasi perubahan iklim, katanya dalam sambutan

pembukaan acara International Blue Carbon Symposium (IBCS) di Manado Convention


Center pada Kamis (15/5), di Manado Sulawesi Utara. Sharif mengutip satu hasil analisa
global bahwa padang lamun (seagrass)terutama pada sedimennya berpotensi menyimpan
830 ton karbon ekuivalen per meter kubik per tahun.
Penyerapan (sink) / pelepasan (source) CO2 oleh laut yang dikontrol oleh proses
kimia, fisika, dan biologi. Lautan berfungsi sebagai reservoir karbon didasarkan pada
kemampuannya menyerap dan melepas CO2 ke atmosfer. Sebagian besar berupa proyek
penelitian untuk menyelidiki metodologi penghitungan pelepasan karbon oleh mangrove
dan berbagai ekosistem pesisir lainnya termasuk kapasitas mereka untuk menyerap
karbon. Apabila kondisi ini berlangsung selama 10 tahun, dapat mengakibatkan jumlah
pelepasan karbon dari sedimen mencapai 50 kali lebih besar daripada laju penyerapannya
Secara global, perkiraan awal pelepasan karbon akibat penebangan hutan bakau dan
perubahan tata guna lahan diperkirakan berkisar antara 20 juta hingga 120 juta ton karbon
per tahun - mewakili 10% pelepasan karbon yang berasal dari penebangan hutan secara
global, meskipun jumlah ini hanya berasal dari 0.7% wilayah hutan tropis. Jika mangrove
yang rusak atau terdegradasi, karbon yang tersimpan dapat dilepaskan kembali ke
lingkungan, menjadi sumber karbon. Menurut hasil penelitian, sebagian besar emisi, atau
sekitar 53% berasal dari hilangnya hutan mangrove, lalu disusul oleh musnahnya padang
lamun mengakibatkan hilangnya 33 % karbon dan terakhir adalah hutan rawa sekitar
13%. Sang penyerap karbon biru adalah ekosistem mangrove, rawa payau dan padang
lamun (sea grass). Karbon yang diserap dan disimpan oleh organisme lingkungan laut ini
tersimpan dalam bentuk sedimen. Bahkan, karbon tersebut dapat tertimbun tidak hanya
selama puluhan tahun atau ratusan tahun (seperti halnya karbon di ekosistem hutan),
tetapi selama ribuan tahun. Habitat pesisir yang ditumbuhi vegetasi hutan mangrove,
rawa payau dan padang lamun ini memiliki banyak kemiripan dengan hutan hujan tropis
yakni sebagai biodiversity hot spots atau pusat-pusat keragaman hayati sekaligus
penyedia fungsi ekosistem yang sangat penting termasuk penyerap karbon berkapasitas
tinggi. Hanya sebagian karbon yang tersimpan secara permanen di lingkungan laut karena
sebagian besar karbon mengikuti siklus daur dan hanya terlepas setelah puluhan tahun.
Fakta mengenai warna-warna karbon, sumber-sumber pembakaran yang
menghasilkan karbon hitam, dan penjelasan bahwa 45% karbon hijau tersimpan pada
ekosistem-ekosistem alam di darat sedangkan sisanya sebanyak 55% terserap oleh biota

laut termasuk plankton dan ekosistem-ekosistem penyerap karbon biru (blue carbon
sink).

4. Apakah Blue Carbon mempengaruhi iklim dunia dan iklim Indonesia ?


Ya, blue carbon mempengaruhi iklim dunia tidak terkecuali Indonesia. Perubahan
iklim jelas bukan isu global yang terjadi baru-baru ini. Cuaca tak tentu dan bergesernya
siklus iklim hanyalah segelintir kecil ciri fisik yang terlihat. Perubahan iklim yang terjadi
saat ini dapat dibuktikan antara lain meningkatnya suhu global sekitar 0.8C selama abad
terakhir berturut turut suhu lebih tinggi dari dekade sebelumnya. Konsentrasi gas
karbon dioksida meningkat 40% dibandingkan era pra industri. Naiknya muka air laut
global sebesar 20 cm yang dimulai sejak awal abad yang lalu dan terus mengalami
percepatan, yang diikuti dengan perubahan curah hujan dan terjadinya beberapa iklim
ektrim di berbagai belahan dunia (DNPI, 2014). Tinggi gas CO 2 di atmosfer merupakan
salah satu penyebab perubahan iklim. Hal ini sebenarnya dapat dihindari karena bumi
memiliki penyimpan karbon alami antara lain melalui hutan hutan di daratan yang
melalui mekanisme fotosintesis akan tersimpan dalam biomassa dan sedimen yang
dikenal dengan karbon hijau. Namun perubahan iklim terjadi hampir 95% diakibatkan
oleh manusia terutama dengan adanya alih fungsi lahan seperti penggundulan hutan dan
pemakaian bahan bakar fosil (DNPI, 2014). Karbon hijau merupakan representasi dari
keberadaan ekosistem alami yang mampu menyerap, mengikat dan menyimpan karbon
melalui proses fotosintesis, dalam hal ini adalah ekosistem hutan di darata. Konsep yang
sama diterapkan pada ekosistem pesisir dan laut yang dikenal dengan karbon biru. Baik
karbon biru maupun karbon hijau yang mampu menyerap dan menyimpan CO 2 dalam
jangka waktu tertentu (beberapa dekade atau abad) pada suatu sistem tandon
(reservoir/pool) baik secara alami maupun buatan yang disebut sebagai penyimpan
karbon (Trumper et al., 2009).
Karbon Biru adalah karbon yang diserap ekositem pantai dan laut dan mencakup
lebih dari 55% karbon hijau sedunia! Ekosistem pesisir mempunyai peran kunci dan
efektif bagi masyarakat, sebagai solusi adaptasi alami terhadap dampak perubahan iklim
seperti cuaca ekstrim, banjir, kontaminasi air bersih dan kerusakan lainnya. Diketahui
bahwa bumi hampir 70% berupa lautan yang mampu menyerap, mengikat dan
menyimpan karbon melalui mekanisme fotosintesis dengan carbon pool yang sangat luas
dibandingkan dengan daratan. Sehingga karbon biru berpotensi lebih besar menyimpan
karbon dibangdingkan dnegan karbon hijau di daratan yang luas.

Habitat pesisir terbukti dapat mengembalikan areal ekosistem karbon biru yang
telah hilang terutama dari aspek ekologi. Pemulihan tersebut dapat mengembalikan jasajasa penting seperti kemampuan untuk meningkatkan kadar oksigen terlarut dalam
perairan pesisir, membantu memulihkan stok ikan global serta melindungi pesisir dari
badai bencana cuaca ekstrim. Saat bersamaan, habitat pesisir pun dapat menghentikan
penyusutan dan degradasi penyerap karbon alami penting sehingga berkontribusi
terhadap emisi karbondioksida dan mitigasi perubahan iklim dalam jangka panjang.
Pencegahan degradasi ekosistem penyerap karbon hijau dan biru dapat memberi dampak
positif berupa pengurangan 1-2 kali volum emisi seluruh transportasi global serta
memberi manfaat tambahan bagi keanekaragaman hayati, ketahanan pangan, mata
pencaharian, obyek wisata, penelitian ilmiah dan sumber daya mineral. Dengan kata lain,
pencegahan kehilangan penyerap karbon biru di lingkungan laut akan memberi kontribusi
nyata dalam mengurangi dampak perubahan iklim dibandingkan dengan pencegahan
penebangan hutan tropis. Perlindungan tersebut antara lain mencakup penetapan
pengaturan: reklamasi pantai, penebangan hutan bakau, penggunaan pupuk, pembuangan
limbah organik, penebangan hutan di darat, perikanan serta penetapan garis pesisir.
Peningkatan ketahanan (resilience) masyarakat pesisir maupun komunitas biota
ekosistem pesisir dan laut jelas menjadi salah satu faktor kunci dalam mempertahankan
peran lingkungan laut sebagai sumber ketahanan pangan dan mata pencaharian.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP)
melalui Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan (Balitbang KP)
untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan serta kepedulian masyarakat umum
mengenai pentingnya ekosistem Karbon Biru ini dalam mitigasi perubahan iklim.
Antara lain diantaranya (1) Menterjemahkan buku Blue Carbon yang di terbitkan
bersama oleh UNEP, FAO dan UNESCO kedalam Bahasa Indonesia, (2) Mengadakan
pertemuan / Forum Stakeholders Blue Carbon Indonesia, (3) Melakukan inisiasi program
kegiatan penelitian ilmiah mengenai potensi dan peranan ekosistem Mangrove dan
Padang Lamun sebagai mitigasi perubahan iklim, serta (4) Mendirikan Kelompok
Penelitian khusus Karbon Biru dan menjadi anggota International Scientific - Policy
Working Group on Blue Carbon. Walaupun memberikan banyak keuntungan dan layanan,
ekosistem karbon biru pesisir merupakan salah satu ekosistem yang paling terancam di

Bumi, dengan sekitar 340.000 hingga 980.000 hektar ekosistem ini dihancurkan setiap
tahunnya (Murray et al., 2011). Diperkirakan sampai dengan 67% dan sedikitnya 35%
dan 29% dari seluruh cakupan global hutan bakau, rawa pasang surut, dan padang lamun,
secara berurutan, telah hilang. Jika hal ini berlanjut terus dengan laju yang tetap, maka
30-40% rawa pasang surut dan padang lamun dan hampir semua bakau yang tidak
dilindungi akan hilang dalam 100 tahun ke depan (Pendleton et al., 2012). Saat
terdegradasi atau hilang, ekosistem ini akan menjadi sumber gas karbon dioksida rumah
kaca yang besar. Karena Lamun di Indonesia seluas 3 juta ha ke dua terluas di dunia
maka karbon biru di perairan Indonesia sangat penting selain sebagai upaya mitigasi
perubahan iklim juga menjaga fungsi ekologis pesisir untuk keberadaan biodiversitas
ekosistem perairan laut dan perikanan. Ekosistem mangrove dan lamun yang dimiliki
Indonesia memiliki kemampuan potensial dalam mengurangi gas CO 2 di atmosfer yang
berukuran besar di pesisir dan padang lamun yang uas perlu dipertahankan.

METEOROLOGI LAUT

Oleh :
Nama

: Arom Sianly Imapuly

NIM

: 2015 64 021

Tugas

: Blue Carbon

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN


JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
PROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS PATTIMURA

Anda mungkin juga menyukai