Muhammad Abduh
Muhammad Abduh
Muhammad Abduh
Disusun oleh:
Nama
Maya Guita Mawar
Ayu Chusni Mustanna
Diah Linda Cahyani
Ranie Marcellia
NIM
15.0305.0155
15.0305.0156
15.0305.0158
15.0305.0159
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................3
A.
Latar Belakang.......................................................................................................3
B.
Rumusan Masalah..................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................5
A.
B.
Pemikiran Muhammad Abduh dan pandangannya tentang kitab tafsir dan penafsiran para
ulama sebelumnya..........................................................................................................7
C.
Pemikiran dan pandangan Muhammad Abduh tentang kedudukan akal dalam Islam dan
E.
Kesimpulan......................................................................................................21
B.
Saran................................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................23
BAB I PENDAHULUAN
A; Latar Belakang
Pembaharuan di dunia Islam memiliki beberapa tokoh yang mendukung,
diantaranya adalah Ibnu Taimiyah, Muhammad Ibn Abdul Wahhab, Jamaluddin alAfghani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridho. Kata pembaharuan dalam bahasa
Arab dikenal dengan istilah tajdid. Tajdid adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk
memperbaharui kehidupan keagamaan, baik berbentuk pemikiran maupun gerakan,
sebagai reaksi atau tanggapan terhadap tantangan internal maupun eksternal yang
menyangkut keyakinan dan urusan sosial umat Islam. Terdapat dua pembaharuan yang
sering digunakan dalam konteks gerakan Islam yaitu: kecenderungan salafi dan
reformis.1
Kecenderungan gerakan salafi lebih mengutamakan upaya pemurnian akidah
Islam dari bahaya tahyul dan khurafat (pemurnian ibadah dari bahaya bidah). Gerakan
ini tidak melihat kebutuhan untuk mereinterprestasi Islam agar sesuai dengan
kehidupan modern dalam buku studi kemuhammdiyahan menurut (ibid., hlm. 432).
Gerakan reformis ini cenderung memandang masyarakat muslim gagal menangkap
spirit kemajuan dan perkembangan dalam seluruh aspek kehidupan yang telah dicapai
eropa. Para reformis justru mengkritik kebutaan dunia muslim dalam melihat cara-cara
barat memperoleh kemajuan, mereka berusaha memperbaiki martabat kebesaran
muslim, dan Arab melalui peremajaan pemikiran dan praktek Islam dalam buku
sejarah Islam kemuhammadiyahan
1993:42).
Makalah ini akan membahas tentang salah satu tokoh pembaharuan gerakan
Islam yaitu Muhammad Abduh. Pembaharuan yang dikemukaan oleh Muhammad
Abduh meliputi bidang pendidikan, bidang hukum, dan bidang Wakaf.
B; Rumusan Masalah
1;
2;
3;
BAB II PEMBAHASAN
A; Biografi Muhammad Abduh
Muhammad Abduh lahir di desa Mahallat Nashr di Kabupaten al-Buhairah,
Mesir pada 1848 M. Ayahnya bernama Abduh Ibn Hasan Khair Allah. Nama
lengkapnya Muhammad Abduh Ibn Hasan Khair Allah. Abduh berasal dari keluarga
petani yang sederhana, taat dan cinta ilmu. Dalam waktu dua tahun beliau telah
mampu menghafal seluruh isi Al-Quran. Pendidikan selanjutnya ia tempuh di Thanta.
Namun beliau tidak puas karena metode pengajaran di Thanta mengutamakan hafalan
tanpa pengertian, sama halnya dengan metode pengajaran yang umum diterpkan di
dunia Islam ketika itu, kemudian beliau memutuskan untuk kembali ke kampungnya.
Berbicara tentang pendidikan Muhammad Abduh, beliau mengawali
pendidikan pertama kali dengan belajar ilmu tajwid al-quran selama dua tahun di
Masjid al-Ahmadi. Setelah itu di tahun 1864, beliau kembali lagi ke desanya untuk
bercocok tani
perhatian dalam bidang sastra bahasa, bukan melalui pengajaran tata bahasa melainkan
melalui kehalusan rasa dan kemampuan mempraktekkannya.
Abduh lebih banyak menulis dan menerjemahkan kitab-kitab kedalam bahasa
Arab di Beirut. Di kota inilah beliau menyelesaikan Risalah al-Tauhid. Adapaun karya
lainya dari Syaikh Muhammad Abduh adalah Risalah al-Aridat (1837), disusul
kemudian dengan Hasyiah Syarah al-Jalal advert-Diwani Lil Aqaid adh-Adhudhiyah
(1875). Dalam karangannya ini, Abduh yang ketika itu baru berumur 26 tahun telah
menulis dengan mendalam tentang aliran-aliran filsafat, ilmu kalam (teologi), dan
tasawwuf, serta mengkritik pendapat-pendapat yang dianggapnya salah. Selain itu
Muhammad Abduh juga menulis artikel-artikel pembaruan di surat kabar Al-Ahram,
Kairo. Melalui media ini gema tulisan tersebut sampai ke telinga para pengajar di alAzhar yang sebagian di antaranya menimbulkan kontroversi serta pembelaan dari
Syaikh Muhammad al-Mahdi al-Abbasi, di mana ketika beliau menduduki jabatan
Syaikh al-Azhar, Muhammad Abduh dinyatakan lulus dengan mencapai tingkat
tertinggi di al-Azhar, dalam usia 28 tahun (1877 M). Setelah mendapatk gelar Lc,
Muhammad Abduh mengabdikan dirinya dengan mengajar Manthiq (Logika) dan Ilmu
Kalam (Teologi), sedangkan di rumahnya beliau mengajar pula kitab Tahdzib alAkhlaq karangan Ibnu Maskawaih dan Sejarah Peradaban Kerajaan-kerajaan Eropa.
Kemudian setelah beliau diampuni oleh pemerintahan Mesir pada tahun 1889,
ia kembali ke Mesir dan diangkat menjadi hakim. Dua tahun kemudian diangkat
sebagai penasihat pada Mahkamah banding. Lalu pada tahun 1899 ia diangkat
sebagai Mufti Mesir, dan jabatan ini didudukinya sampai ia wafat. Selama akhir masa
inilah Muhammad Abduh mengajarkan kuliah-kuliah tafsirnya di al-Azhar, Kairo, dari
ayat pertama dari surat al-Fatihah sampai firman Allah: wa kaana Allahu bi kulli
syaiin muhiithaa, ayat 125 dari surat an-Nisa.
memperbaiki sesuatu yang telah usang dan rusak dengan sesuatu yang baru.
Muhammad abduh berusaha keras untuk mengambil jalan dan cara yang lebih bijak
untuk menengahi semua opini yang hidup di kalangan masyarakat. Dia tidak langsung
menolak mentah-mentah dan menentang opini yang salah, dan tidak langsung
menerima terhadap opini yang dianggapnya benar. Ia menyaring semuanya dan
mencernanya dengan baik melalui pemikirannya, agar semuanya sesuai dengan
tantangan zaman. Hal inilah yang membedakan dengan pemikir lainnya.
manusia
untuk
mempelajari
dan
mendalaminya
sesuai
dengan
kemampuannya. Dan Allah swt tidak mengkhususkan al-Quran untuk dipahami hanya
oleh orang-orang tertentu saja, akan tetapi diperuntukan bagi setiap individu manusia.
Lebih lanjut Muhammad Abduh menegaskan bahwa Allah swt berfirman: Hai
sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu. Apakah bisa masuk akal, apabila
setiap dari kita tidak memahami firman-Nya ini dan mencukupkan diri dengan
mengambil pemahaman orang lain terhadap firman-Nya tersebut, Allah akan meridhai
kita? Sungguh tidak masuk akal. Oleh karena itu setiap manusia wajib memahami
ayat-ayat
al-Quran
sesuai
dengan
kemampuannya
sendiri,
baik
dia
maani
dan
ilmu
bayan)
dan
dengan
pengetahuan sekitar kosmos dsb. Untuk itu diperlukan berbagai disiplin ilmu, khususnya
ilmu sejarah.
4; Menjelaskan bahwa al-Quran merupakan hidayah dan petunjuk bagi manusia. Dalam hal
ini seorang mufassir harus mengetahui bagaimana keadaan masyarakat (Arab dan nonArab) pada masa kenabian, sewaktu manusia keluar dari alam kegelapan dengan hidayah
al-Quran ke alam terang benderang.
5; Menguraikan secara benar hal-hal yang berhubungan dengan sirah Rasulullah SAW.
Untuk itu seorang mufassir harus mengetahui sirahnya dan para sahabatnya.
Dengan pandangannya ini, Muhammad Abduh telah menjadikan tafsirnya, alManar, sebuah tafsir yang bercorak adabi ijtima'i (budaya kemasyarakatan), yaitu
yang menitikberatkan penjelasan petunjuk-petunjuk ayat-ayat Al-Qur'an yang
berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, dimana hampir dari setiap ayat-ayat
al-Quran yang ditafsirkan oleh Muhammad Abduh mengandung usaha-usaha untuk
menanggulangi penyakit-penyakit atau masalah-masalah mereka berdasarkan ayatayat Al-Qur'an. Atau dengan kata lain beliau berusaha merangkaikan pengertbeliaun
ayat-ayat Al-Qur'an dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan
kemajuan peradaban manusia. Disamping itu, beliau sangat memperhatikan segi-segi
ketelitian redaksinya, dengan penyusunan kandungan ayat-ayatnya dalam suatu
redaksi yang indah.
Corak ini merupakan corak baru yang tidak ada sebelumnya. Sehingga dalam
penafsirannya Muhammad Abduh tidak banyak mempergunakan referensi ulama9
ulama sebelumnya, karena menurutnya hal ini merupakan jalan strategis untuk
menjadikan Al-Quran sebagai petunjuk (hudan)bagi manusia tersebut. Menurutnya
juga bahwa karya tafsir sebelumnya cendrung menjaga jarak dengan realitas sosial
masyarakat dan berteduh di balik paparan perbedaan ulama ketika menafsirkan ayat
Al-Quran, karena penafsirannya hanya mengarahkan perhatian kepada pengertian
mufradhatnyaatau kedudukan kalimatnya dari segi irab dan penjelasan lain
menyangkut segi teknis kebahasaan yang dikandung oleh redaksi ayat-ayat al-Quran.
Oleh karena itu, kitab-kitab tafsir tersebut menurutnya tak lebih hanya sekedar latihan
praktis dalam bidang bahasa.
10
menyadari bahwa ada ajaran-ajaran agama yang sukar di fahami oleh akal namun tidak
bertentangan dengan akal, sebagaimana ia menyadari juga keterbatasan akal dan
kebutuhan manusia akan bimbingan Nabi SAW khususnya dalam banyak persoalan
metafisika atau dalam beberapa masalah ibadah[20]. Oleh karena itu antara naqli
wahyu (naqli) dan akal (aqli) menurutnya tidak mungkin bertentangan. Adapun apabila
terdapat pertentangan antara wahyu dan akal maka diambil apa yang benar menurut
akal, sehingga tampak dihadapannya dua jalan: tunduk kepada kebenaran wahyu
dengan mengakui ketidakmampuan dalam memahaminya dan menyerahkan perkara
tersebut kepada Allah SWT, atau menawilkan wahyu dengan memperhatikan kaedahkaedah bahasa sehingga ada persesuian antara maknanya dengan apa yang telah
ditetapkan oleh akal.
Akhirnya Muhammad Abduh berkesimpulan bahwa dasar-dasar Islam
mencakupi hal-hal sebagai berikut:
1; Memandang akal sebagai wasilah (wahana) untuk sampai kepada iman yang benar.
2; Mendahulukan akal atas wahyu atau zhahir asy-syari ketika ada pertentangan,
3; Bertadabur (mengambil pelajaran) atas sunnatullah
penciptaan.
4; Memelihara dakwah dari rongrongan fitnah.
5; Bersikap bijak terhadap sesuatu yang menyalahi atau tidak sama dalam akidah.
6; Menggabungkan antara maslahat dunia dan akhirat.
7; Taat kepada sultah (pemimpin) agama atau pemerintahan Islam, selama dia
12
2;
3;
13
4;
sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau
kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka
bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan
tanganmu.
Sesungguhnya
Allah
Maha
Pema'af
lagi
Maha
Pengampun". Muhammad Abduh memandang bahwa tayamum itu
dibolehkan bagi orang yang sedang dalam musafir dengan tanpa ada syarat
ketiadaan air atau ketidakmampuan ia menggunakan air, juga bagi orang yang
berhadas besar dan kecil dengan syarat ketiadaan air. Pandangan ini
bertentangan dengan pendapat ulama-ulama madzhab lain yang hanya
membolehkan tayamum bagi orang yang ada dalam keadaan tidak
mendapatkan air atau tidak mampu menggunakan air karena halangan tertentu
seperti sakit.
Menggunakan pendekatan simbolistik dalam memahami beberapa ayat AlQur'an.
Maksud dari prinsip ini adalah bahwa Muhammad Abduh melihat
dan memahami pertanyaan-pertanyaan serta redaksi-redaksi ayat sebagai
kata-kata yang harus difahami secara allegoris.
Sebagai contoh adalah ayat 30 dari surat al-baqarah tentang kisah
penciptaan Adam sebagai khalifah di muka bumi yang artinya: "Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:"Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa
14
d;
e;
f;
g;
h;
15
5;
6;
16
menjelaskan persoalan-persoalan seperti itu, tujuan utama dari persoalanpersoalan seperti itu dapat dicapai.
Contoh
dari
persoalan-persoalan
yang
disinggung
secara mubham tersebut adalah "sapi" yang disebutkan di dalam surat albaqarah ayat 58, dan "anjing" yang menyertai Ashabu Al-Kahfi yang terdapat
di dalam surat al-kahfi ayat 18, dsb.
7;
8;
Sangat kritis dalam menerima hadits-hadits Nabi SAW dan menolak israiliyat
Sikap kritis Muhammad Abduh dalam menerima hadits-hadits Nabi
SAW tersebut adalah karena menurutnya bahwa sanad (rangkaian perawi
yang meriwayatkan teks hadits) itu belum tentu dapat di pertanggung
jawabkan kesahihannya. Maka dari itu banyak hadits yang ditetapkan oleh
ulama sebagai hadits sahih ditolak atau diabaikan olehnya karena dinilainya
tidak sesuai dengan pemikiran logis atau tidak sejalan dengan redaksi ayat AlQur'an; sebaliknya ada hadits yang di tetapkan oleh ulama sebagai hadits
dha'if justru dikukuhkan oleh Muhammad Abduh karena kandungannya
dinilai sejalan dengan pemikiran logis.
Sebagai contoh adalah pengabaian Muhammad Abduh terhadap
hadits riwayat Bukhari dan Muslim yang membahas masalah wahyu pertama
turun ( )dan pengukuhannya terhadap riwayat-riwayat dha'if yang
dinisbatkan kepada Ali bin Abi Thalib yang menyatakan bahwa Al-Fatihah
adalah wahyu pertama.
Sangat kritis terhadap pendapat-pendapat para sahabat
Muhammad Abduh sangat berhati-hati dalam menerima pendapatpendapat para sahabat,apalagi jika pendapat para sahabat itu berbeda satu
dengan yang lain. Tapi dengan kehati-hatiannya tersebut bukan berarti ia
menolak semua pendapat-pendapat para sahabat, karena apabila pendapatpendapat tersebut ada yang dianggapnya sejalan dengan pemikiran logis,
maka ia mengambilnya.
17
Bidang Hukum
Ide pembaharuan Muhaammad Abduh dalam bidang hukum adalah
mengeluarkan fatwa-fatwa keagamaan dengan tidak terikat pada pendapat
ulama-ulama masa lampau atau tidak terikat pada satu madzhab sebab
menjadikan pendapat para imam sebagai sesuatu yang mutlak bertentangan
dengan ajaran Islam. Hukum menurutnya ada dua macam, yang pertama, hukum
yang bersifat absolut yang teksnya terdapat dalam Al-Quran dan perinciannya
terdapat dalam hadist, yang kedua, hukum yang tidak bersifat absolut dan tidak
terikat pada konsensus ulama.
18
3;
Bidang Wakaf
Wakaf merupakan sumber dana yang sangat berarti pada masa itu.
Abduh berhasil memasukkan perbaikan masjid sebagai salah satu sasaran rutin
penggunaan dana wakaf, maka mulailah memperbaiki sarana masjid, pegawai
masjid sampai kepada para imam dan khatib. Yang dilatar belakangi oleh situasi
masjid-masjid di Mesir.
19
penciptaan,
serta
eksistensi
al-Quran
20
B; Saran
21
DAFTAR PUSTAKA
Agus Miswanto dan M Zuhron Arofi, 2015. Sejarah Islam dan Kemuhammadiyahan,
Magelang: P3SI UMM
Muhammad Ammarah, Al-Imam Muhammad Abduh, Op.Cit. hlm. 207.
2012
Muhammad
Abduh
dan
Pemikirannya
Tokoh
Pembaharuan,
https://hikmawansp.wordpress.com/2012/01/03/muhammad-abduh-danpemikirannya-tokoh-pembaharuan/ diunduh: 24 Oktober 2016 pukul 22.20 WIB
22