Modul 6 - Corporate Social Responsbility
Modul 6 - Corporate Social Responsbility
Modul 6 - Corporate Social Responsbility
Etika Bisnis
& Profesi
Corporate Social Responsbility
Fakultas:
Program Studi:
Akuntansi
Tatap Muka
06
Kode MK:
Disusun Oleh:
84083
Pendahuluan
Semenjak keruntuhan rezim diktatoriat Orde Baru, masyarakat semakin berani untuk
beraspirasi dan mengekspresikan tuntutannya terhadap perkembangan dunia bisnis
Indonesia. Masyarakat telah semakin kritis dan mampu melakukan kontrol sosial terhadap
dunia usaha. Hal ini menuntut para pelaku bisnis untuk menjalankan usahanya dengan
semakin bertanggungjawab. Pelaku bisnis tidak hanya dituntut untuk memperoleh
keuntungan dari lapangan usahanya, melainkan mereka juga diminta untuk memberikan
kontribusi positif terhadap lingkungan sosialnya.
Perubahan pada tingkat kesadaran masyarakat memunculkan kesadararan baru tentang
pentingnya melaksanakan apa yang kita kenal sebagai Corporate Social Responsibility
(CSR). Pemahaman itu memberikan pedoman bahwa korporasi bukan lagi sebagai entitas
yang hanya mementingkan dirinya sendiri saja sehingga ter-alienasi atau mengasingkan diri
dari lingkungan masyarakat di tempat mereka bekerja, melainkan sebuah entitas usaha
yang wajib melakukan adaptasi kultural dengan lingkungan sosialnya.
CSR adalah basis teori tentang perlunya sebuah perusahaan membangun hubungan
harmonis dengan masyarakat tempatan. Secara teoretik, CSR dapat didefinisikan sebagai
tanggung jawab moral suatu perusahaan terhadap para strategic stakeholdersnya, terutama
komunitas atau masyarakat disekitar wilayah kerja dan operasinya. CSR memandang
perusahaan sebagai agen moral. Dengan atau tanpa aturan hukum, sebuah perusahaan
harus menjunjung tinggi moralitas. Parameter keberhasilan suatu perusahaan dalam sudut
pandang CSR adalah pengedepankan prinsip moral dan etis, yakni menggapai suatu hasil
terbaik, tanpa merugikan kelompok masyarakat lainnya. Salah satu prinsip moral yang
sering digunakan adalah goldenrules, yang mengajarkan agar seseorang atau suatu pihak
memperlakukan orang lain sama seperti apa yang mereka ingin diperlakukan. Dengan
begitu, perusahaan yang bekerja dengan mengedepankan prinsip moral dan etis akan
memberikan manfaat terbesar bagi masyarakat.
Hingga dekade 1980-90 an, wacana CSR terus berkembang. Munculnya KTT Bumi di Rio
pada 1992 menegaskan konsep sustainibility development (pembangunan berkelanjutan)
sebagai hal yang mesti diperhatikan, tak hanya oleh negara, tapi terlebih oleh kalangan
korporasi yang kekuatan kapitalnya makin menggurita. Tekanan KTT Rio, terasa bermakna
sewaktu James Collins dan Jerry Porras meluncurkan Built To Last; Succesful Habits of
Visionary Companies di tahun 1994. Lewat riset yang dilakukan, mereka menunjukkan
bahwa perusahaan-perusahaan yang terus hidup bukanlah perusahaan yang hanya
mencetak keuntungan semata.
Sebagaimana hasil Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro
Brazilia 1992, menyepakati perubahan paradigma pembangunan, dari pertumbuhan
ekonomi (economic growth) menjadi pembangunan yang berkelanjutan (sustainable
development). Dalam perspektif perusahaan, di mana keberlanjutan dimaksud merupakan
suatu program sebagai dampak dari usaha-usaha yang telah dirintis, berdasarkan konsep
kemitraan dan rekanan dari masing-masing stakeholder.
Ada lima elemen sehingga konsep keberlanjutan menjadi penting, di antaranya adalah:
1. Ketersediaan dana,
2. Misi lingkungan,
3. Tanggung jawab sosial,
4. Terimplementasi dalam kebijakan (masyarakat, korporat, dan pemerintah),
5. Mempunyai nilai keuntungan/manfaat.
Pertemuan Yohannesburg tahun 2002 yang dihadiri para pemimpin dunia memunculkan
konsep social responsibility, yang mengiringi dua konsep sebelumnya yaitu economic dan
environment sustainability. Ketiga konsep ini menjadi dasar bagi perusahaan dalam
melaksanakan tanggung jawab sosialnya (Corporate Social Responsibility). Pertemuan
penting UN Global Compact di Jenewa, Swiss, Kamis, 7 Juli 2007 yang dibuka Sekjen PBB
mendapat perhatian media dari berbagai penjuru dunia. Pertemuan itu bertujuan meminta
perusahaan untuk menunjukkan tanggung jawab dan perilaku bisnis yang sehat yang
dikenal dengan corporate social responsibility.
Sesungguhnya substansi keberadaan CSR adalah dalam rangka memperkuat keberlanjutan
perusahaan itu sendiri dengan jalan membangun kerjasama antar stakeholder yang
difasilitasi perusahaan tersebut dengan menyusun program-program pengembangan
masyarakat sekitarnya. Atau dalam pengertian kemampuan perusahaan untuk dapat
beradaptasi dengan lingkungannya, komunitas dan stakeholder yang terkait dengannya,
2016
baik lokal, nasional, maupun global. Karenanya pengembangan CSR ke depan seyogianya
mengacu pada konsep pembangunan yang berkelanjutan.
Prinsip keberlanjutan mengedepankan pertumbuhan, khususnya bagi masyarakat miskin
dalam
mengelola
lingkungannya
dan
kemampuan
institusinya
dalam
mengelola
2016
Pada bulan September 2004, ISO (International Organization for Standardization) sebagai
induk organisasi standarisasi internasional, berinisiatif mengundang berbagai pihak untuk
membentuk tim (working group) yang membidani lahirnya panduan dan standarisasi untuk
tanggung jawab sosial yang diberi nama ISO 26000: Guidance Standard on Social
Responsibility.
Pengaturan untuk kegiatan ISO dalam tanggungjawab sosial terletak pada pemahaman
umum bahwa SR adalah sangat penting untuk kelanjutan suatu organisasi. Pemahaman
tersebut tercermin pada dua sidang, yaitu Rio Earth Summit on the Environment tahun
1992 dan World Summit on Sustainable Development (WSSD) tahun 2002 yang
diselenggarakan di Afrika Selatan.
Pembentukan ISO 26000 ini diawali ketika pada tahun 2001 badan ISO meminta ISO on
Consumer Policy atau COPOLCO merundingkan penyusunan standar Corporate Social
Responsibility. Selanjutnya badan ISO tersebut mengadopsi laporan COPOLCO mengenai
pembentukan Strategic Advisory Group on Social Responsibility pada tahun 2002. Pada
bulan Juni 2004 diadakan pre-conference dan conference bagi negaranegara berkembang,
selanjutnya di tahun 2004 bulan Oktober, New York Item Proposal atau NWIP diedarkan
kepada seluruh negara anggota, kemudian dilakukan voting pada bulan Januari 2005,
dimana 29 negara menyatakan setuju, sedangkan 4 negara tidak. Dalam hal ini terjadi
perkembangan dalam penyusunan tersebut, dari CSR atau Corporate Social Responsibility
menjadi SR atau Social Responsibility saja. Perubahan ini, menurut komite bayangan dari
Indonesia, disebabkan karena pedoman ISO 26000 diperuntukan bukan hanya bagi
korporasi tetapi bagi semua bentuk organisasi, baik swasta maupun publik.
ISO 26000 menyediakan standar pedoman yang bersifat sukarela mengenai tanggung
tanggung jawab sosial suatu institusi yang mencakup semua sektor badan publik ataupun
badan privat baik di negara berkembang maupun negara maju. Dengan Iso 26000 ini akan
2016
memberikan tambahan nilai terhadap aktivitas tanggung jawab sosial yang berkembang
saat ini dengan cara:
1. Mengembangkan suatu konsensus terhadap pengertian tanggung jawab sosial dan
isunya;
2. Menyediakan pedoman tentang penterjemahan prinsip-prinsip menjadi kegiatankegiatan yang efektif; dan
3. Memilah praktek-praktek terbaik yang sudah berkembang dan disebarluaskan untuk
kebaikan komunitas atau masyarakat internasional.
Apabila hendak menganut pemahaman yang digunakan oleh para ahli yang menggodok
ISO
secara konsisten
mengembangkan tanggung jawab sosial maka masalah SR akan mencakup 7 isu pokok
yaitu:
1. Pengembangan Masyarakat
2. Konsumen
3. Praktek Kegiatan Institusi yang Sehat
4. Lingkungan
5. Ketenagakerjaan
6. Hak asasi manusia
7. Organizational Governance (tata kelola organisasi)
ISO 26000 menerjemahkan tanggung jawab sosial sebagai tanggung jawab suatu
organisasi atas dampak dari keputusan dan aktivitasnya terhadap masyarakat dan
lingkungan, melalui perilaku yang transparan dan etis, yang:
1. Konsisten dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat;
2. Memperhatikan kepentingan dari para stakeholder;
3. Sesuai hukum yang berlaku dan konsisten dengan norma-norma internasional;
4. Terintegrasi di seluruh aktivitas organisasi, dalam pengertian ini meliputi baik kegiatan,
produk maupun jasa.
Prinsip-prinsip dasar tanggung jawab sosial yang menjadi dasar bagi pelaksanaan yang
menjiwai atau menjadi informasi dalam pembuatan keputusan dan kegiatan tanggung jawab
sosial menurut ISO 26000 meliputi:
1. Kepatuhan kepada hukum
2. Menghormati instrumen/badan-badan internasional
3. Menghormati stakeholders dan kepentingannya
4. Akuntabilitas
5. Transparansi
6. Perilaku yang beretika
7. Melakukan tindakan pencegahan
8. Menghormati dasar-dasar hak asasi manusia
2016
Ternyata lingkup dan pengertian tanggung jawab sosial dan lingkungan yang dimaksud
pasal 74 UU PT berbeda dengan lingkup dan pengertian CSR dalam pustaka maupun
definisi resmi yang dikeluarkan oleh lembaga internasional (The World Bank, ISO 26000
dan sebagainya) serta praktek yang telah berjalan di tanah air maupun yang berlaku secara
internasional.
Kritik yang muncul dari kalangan pebisnis bahwa CSR adalah konsep dimana perusahaan,
sesuai kemampuannya, melakukan kegiatan yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat
dan lingkungan hidup. Kegiatan-kegiatan itu adalah diluar kewajiban perusahaan yang
umum dan sudah ditetapkan dalam peraturan perundangan formal, seperti ketertiban
usaha, pajak atas keuntungan dan standar lingkungan hidup. Mereka berpendapat, jika
diatur, selain bertentangan dengan prinsip kerelaan, CSR juga akan memberi beban baru
kepada dunia usaha.
Dengan demikian CSR dari yang sifatnya sukarela, melalui perjalanan yang cukup panjang
(pro dan kontra) menjadi instrumen yuridis, sebagai perlindungan kepentingan manusia baik
itu kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaaatan (Zweckmassigkeit) dan keadilan
(Gerechtigkeit).
Proses regulasi yang menyangkut kewajiban CSR perlu memenuhi pembuatan peraturan
yang terbuka dan akuntabel. Pertama, harus jelas apa yang diatur. Lalu, harus
dipertimbangkan semua kenyataan di lapangan, termasuk orientasi dan kapasitas birokrasi
dan aparat penegak hukum serta badan-badan yang melakukan penetapan dan penilaian
standar. Yang juga harus diperhitungkan adalah kondisi politik, termasuk kepercayaan pada
pemerintah dan perilaku para aktor politik dalam meletakkan masalah kesejahteraan umum.
Ini artinya harus melalui dialog bersama para pemangku kepentingan, seperti pelaku usaha,
kelompok masyarakat yang akan terkena dampak, dan organisasi pelaksana.
Terlepas dari pro dan kontra yang ada, untuk pertama kalinya di Indonesia, sebuah
penghargaan diberikan kepada para pelaku usaha yang menjalankan tata kelola CSR
2016
sesuai ISO 26000, pada 17 Maret 2016. Inisiatif penghargaan yang disebut sebagai CECT
CSR Awards ini diberikan oleh CECT (Center for Entrepreneurship, Change and Third
Sector) Universitas Trisakti dengan menggunakan Alat Ukur Tata Kelola CSR yang
dikembangkannya.
Apresiasi terhadap penghargaan ini juga disampaikan oleh Wakil Ketua Umum Kadin
Bidang CSR, Dr Suryani Motik. Menurutnya, penghargaan yang baru pertama kali diadakan
ini akan menambah motivasi bagi perusahaan publik untuk melaksanakan tata kelola CSR
yang baik.
Selain itu, PT Antam (Persero) Tbk yang berhasil meraih dua penghargaan di ajang Center
for Entrepreneurship mengatakan, tidak mudah untuk bisa meraih penghargaan tersebut.
Setidaknya, PT Antam (Persero) harus bersaing dengan 68 perusahaan di delapan sektor.
2016
Daftar Pustaka
Daniri. Achmad; Standarisasi Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, Kamar Dagang Dan
Industri Indonesia, 2008.
https://entergizer.wordpress.com/2012/10/09/iso-26000-sebagai-pedoman-baru-tanggungjawab-sosial-perusahaan-csr/, diakses September 2016
http://isoindonesiacenter.com/sekilas-tentang-iso-26000/, diakses September 2016
http://kadin-indonesia.or.id/berita/kadinpusat/2015/03/306558675423/MembangkitkanSemangat-Tata-Kelola-CSR, diakses September 2016
2016
10