PROPOSAL PENELITIAN
KAJIAN HUJAN LEBAT DI PADANG
DENGAN MEMANFAATKAN CITRA SATELIT HIMAWARI-8
DAN DATA GSMaP
(Studi Kasus 2 Agustus dan 11 November 2015)
SISKA ANGGRAENI
NPT 14.15.0028
PROGRAM SARJANA TERAPAN METEROLOGI
SEKOLAH TINGGI METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA
TANGERANG SELATAN
2015
HALAMAN PERSETUJUAN
1
PROPOSAL SKRIPSI
KAJIAN HUJAN LEBAT DI PADANG
DENGAN MEMANFAATKAN CITRA SATELIT HIMAWARI-8 DAN
DATA GSMaP
(Studi Kasus 2 Agustus dan 11 November 2015)
Diusulkan Oleh
SISKA ANGGRAENI
NPT 14.15.0028
Telah disetujui oleh :
Kepala Program Studi Meteorologi
Pembimbing Utama
Drs. Suyatim, M.Si
Andersen L. Panjaitan, M.Res
NIP. 19570311 197910 1 001
NIP 19870504 200701 1 005
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL......................................................................................
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................
DAFTAR ISI..................................................................................................
DAFTAR TABEL..........................................................................................
DAFTAR GAMBAR......................................................................................
i
ii
iii
iv
v
BAB 1 PENDAHULUAN.............................................................................
1.1 Latar Belakang..........................................................................................
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................
1.3 Batasan Masalah.......................................................................................
1.4 Tujuan Penelitian.....................................................................................
1.5 Manfaat Penelitian..................................................................................
1
1
4
4
5
BAB 2 LANDASAN TEORI.........................................................................
2.1 Tinjauan Pustaka......................................................................................
2.2 Landasan Teori.........................................................................................
2.2.1 Hujan...............................................................................................
2.2.2 Satelit Himawari-8...........................................................................
2.2.3 Kaitan antara Reflektivitas dan Suhu Kecerahan dengan curah
hujan................................................................................................
2.2.4 Satellite Animation and Interactive Diagnosis (SATAID)............
2.2.5 Global Satellite Mapping of Precipitation (GSMaP).......................
2.2.6 Regresi Linier ..................................................................................
6
6
8
8
8
14
17
17
18
BAB 3 METODE PENELITIAN...................................................................
3.1 Jenis Penelitian.........................................................................................
3.2 Prosedur Penelitian...................................................................................
3.2.1 Lokasi dan waktu penelitian.............................................................
3.2.2 Data..................................................................................................
3.2.3 Alat penelitian..................................................................................
3.2.4 Teknik pengolahan data...................................................................
3.2.5 Analisis data...................................................................................
3.3 Verifikasi dan Validasi.............................................................................
3.4 Diagram Alir Penelitian...........................................................................
3.5 Rencana Kegiatan Penelitian....................................................................
20
20
20
20
21
21
22
23
26
27
28
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................
29
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1
Kanal yang dimiliki oleh Himawari-8..........................................
12
Tabel 2.2
Karakteristik data GSMaP_NRT..................................................
18
Tabel 3.1
Spesifikasi data penelitian............................................................
23
Tabel 3.2
Rencana kegiatan penelitian tahap 1............................................
28
Tabel 3.3
Rencana kegiatan penelitian tahap 2............................................
28
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1
Konsep GPM...............................................................................
Gambar 2.1
Urutan Waktu Mengorbitnya MTSAT dan Himawari-8............. 10
Gambar 2.2
Perkembangan spesifikasi data Satelit Cuaca Himawari-8
dibanding seri sebelumnya......................................................... 10
Gambar 2.3
Resolusi Temporal Himawari-8................................................... 11
Gambar 2.4
Estimasi spektral respon band cahaya tampak............................. 13
Gambar 2.5
Estimasi spektral respon infra merah- dekat (NIR).................... 13
Gambar 2.6
Estimasi respon spektral band inframerah termal....................... 14
Gambar 2.7 Gambar 2.7
Perilaku gelombang pendek jika mengenai awan tinggi dan
awan rendah............................................................................... 15
Gambar 2.8
Klasifikasi awan berdasarkan suhu kecerahan (TBB).................. 15
Gambar 2.9
Histogram Temperatur kecerahan puncak awan (oC) untuk : (a)
semua intensitas hujan (b) hujan ringan (c) hujan sedang (d)
hujan deras............................................................................
16
Gambar 3.1
Peta Administratif Kota Padang................................................. 21
Gambar 3.2
Diagram alir penelitian............................................................... 27
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Curah hujan merupakan parameter cuaca yang penting dalam sistem bumi.
Distribusi global curah hujan merupakan data yang sangat penting untuk
meningkatan kualitas prakiraan cuaca, peringatan dini bencana (cuaca ekstrim),
pemodelan hidrologi, produksi pertanian, dan sebagainya. Untuk mendapatkan
data pengamatan curah hujan yang representatif, baik kualitas maupun kuantitas di
suatu tempat sangatlah sulit. Syahputra (2008) menjelaskan bahwa sifat curah
hujan sulit diukur ini karena memiliki variabilitas dan diskontinuitas spasial
serta temporal yang tinggi menyebabkan pengukuran curah hujan menggunakan
data yang berasal dari stasiun-stasiun hujan sangat terbatas baik yang di daratan
apalagi yang di atas perairan. Vicente (1998) juga menjelaskan keterbatasan
pengamatan curah hujan oleh radar yaitu gelombang radar yang sensitif terhadap
ground clutter ( baik pemukiman maupun pegunungan / perbukitan), masalah
atenuasi, beam overshoot, dan variasi Z-R. Untuk menanggulangi keterbatasan
dan melengkapi pengamatan curah hujan yaitu dengan
menggunakan data
penginderaan jauh (remote sensing) satelit cuaca.
Dalam rangka monitoring presipitasi, sebuah misi Internasional yang
diprakarsai oleh NASA dan JAXA yaitu Global Precipitation Measurements
(GPM) telah mampu menyediakan data pengamatan presipitasi yang akurat .
Dalam rangka mendukung program GPM ini, JAXA sejak mengembangkan
sebuah algoritma yang disebut Global Satellite Mapping of Precipitation
(GSMaP) yang mampu menyediakan data presipitasi dengan format dan kualitas
spasial dan temporal yang lebih baik yang sangat penting untuk operasional
seperti peringatan dini cuaca ekstrem. Data GSMaP dari JAXA ini telah divalidasi
dan kalibrasi dengan data penakar maupun data radar di Jepang dengan hasil yang
cenderung baik dan telah dipakai untuk operasional sejak tahun 2006. Sugiartha
(2013) mengemukakan secara keseluruhan produk GSMaP_MVK memberikan
potensi yang menjanjikan dalam aplikasi untuk memantau kondisi curah hujan
sebelum kejadian banjir di beberapa lokasi penelitian. Syaifulah (2014) telah
melakukan validasi data GSMaP dengan data curah hujan observasi di tiga DAS
di Indonesia dan memperoleh hasil yang lebih baik dimana hasil analisis terhadap
data pengukuran menunjukkan pola yang sesuai dengan nilai pengamatan (aktual)
dibanding data TRMM NASA (3B42RT).
Gambar 1. 1 Konsep GPM
Sumber : NASA.gov/GPM
Satelit cuaca dengan orbit geostasioner yang digunakan operasional
BMKG saat ini adalah Satelit Satelit Himawari-8. Satelit ini merupakan satelit
MTSAT generasi baru yang diluncurkan oleh JMA pada musim panas 2014 dan
mulai beroperasi pada 02.00 UTC 7 Juli 2015 menggantikan MTSAT 2. Satelit ini
dilengkapi dengan Advanced Himawari Imagers (AHIs) yang memiliki 16 band
pada kanal IR Visible ( 3 Visible, 3 Near IR, dan 10 IR). Kelebihan Satelit
Himawari-8 dibanding generasi pendahulunya adalah memiliki peningkatan
jumlah kanal yang signifikan yaitu 16 band pada kanal IR-NIR-Visible, resolusi
spasial mencapai 0,5 2 km, dan resolusi temporal yang tinggi yaitu 10 menit
untuk liputan seluruh belahan bumi dan 2,5 menit untuk liputan khusus wilayah
Jepang. Semakin banyaknya kanal dan semakin tingginya resolusi temporal
maupun spasial pada data Satelit Himawari-8 ini sangat diperlukan dan
diharapkan akan memberikan peluang meningkatkan akurasi prediksi cuaca di
wilayah tropis seperti Indonesia yang memiliki dinamika perubahan cuaca yang
cepat.
Letak Kota Padang yang berada di sekitar ekuator, serta letak geografis
nya yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia di sebelah Barat dan
adanya jajaran Bukit Barisan di sebelah Timur, sangat mempengaruhi proses
pembentukan cuaca. Secara klimatologis, Sumatera Barat memiliki pola curah
hujan ekuatorial dengan puncak hujan bulan Maret dan November dan sepanjang
tahun masuk kriteria bulan hujan.
Hujan lebat sering terjadi di Sumatera Barat terutama pada puncak bulanbulan hujan. Banjir dan tanah longsor merupakan salah satu bencana yang cukup
sering terjadi di Sumatera Barat. Hal ini dapat dilihat dari data BNPB yang
mencatat ada 13 kejadian banjir baik disertai tanah longsor maupun tidak di
Sumatera Barat selama bulan Januari-Agustus 2015. Tiga di antaranya terjadi di
Kota Padang. Pada umumnya bencana banjir dan tanah longsor ini, didahului
oleh curah hujan dengan intensitas lebat dan durasi lama. Hujan lebat ini
mengakibatkan banjir yang merendam pemukiman dan tanah longsor di wilayah
Karang Putih, Indarung Padang (Tempo, 12 November 2015).
Pada beberapa kejadian hujan lebat yang disertai banjir dan tanah longsor,
data pengukuran curah hujan di jaringan stasiun BMKG terkadang kurang
mewakili fenomena cuaca ekstrim yang mana salah satu kriterianya adalah curah
hujan > 20mm/jam atau
50
mm/hari. Khususnya apabila hujan lebat terjadi
di kawasan bukit barisan yag merupakan hulu dari beberapa sungai yang melintasi
kota Padang, yang tentu akan meningkatkan potensi terjadi banjir dan atau tanah
longsor. Pengukuran curah
hujan pada pos hujan kerjasama memiliki
keterbatasan yaitu setiap 24 jam. Kondisi geografis Sumatera Barat dengan bukit
barisan yang membentang dari Utara- Tenggara rata-rata 10 km dari garis pantai
juga merupakan penghalang bagi radar dalam meng-cover wilayah di balik bukit
barisan.
Informasi pengamatan curah hujan secara real time ini sangat penting bagi
prakirawan dalam rangka pembuatan prakiraan dan analisis cuaca, maupun
peringatan dini cuaca ekstrim untuk mengurangi dampak yang merugikan
masyarakat. Oleh sebab itu penulis tertarik untuk memanfaatkan citra satelit
Himawari-8 yang memiliki resolusi spektral, spasial , temporal yang tinggi dan
produk curah hujan GSMaP untuk memantau curah hujan dan intensitas curah
hujan pada kondisi cuaca ekstrim. Masih jarangnya penelitian di Indonesia yang
menggunakan produk terbaru satelit Himawari-8 dan GSMaP ini menjadikannya
suatu kajian yang menarik.
1.2 Rumusan Masalah
Dalam penelitian ini, makalah yang akan dikaji antara lain:
a. Bagaimana karakteristik masing- masing kanal Himawari-8 dalam menjelaskan
fenomena hujan lebat tanggal 2 Agustus dan 11 November 2015.
b. Bagaimana hubungan suhu kecerahan puncak awan (TBB) pada kanal IR dan
reflektansi pada kanal visible dengan curah hujan GSMaP dan observasi.
c. Bagaimana akurasi dari persamaan empiris yang diperoleh dalam mendeteksi
cuaca ekstrim (hujan lebat).
1.3 Batasan Masalah
Batasan masalah dalam penelitian ini adalah :
a. Wilayah kajian adalah adalah Kota Padang.
b. Fenomena yang dikaji adalah cuaca ekstrim berupa hujan lebat pada tanggal 2
Agustus dan 11 November 2015. Fenomena tersebut dipilih karena pada saat
tersebut, curah hujan mencapai > 100 mm/hari, satelit Himawari-8 sudah
beroperasi, dan tercatat sebagai bencana dalam database BNPB.
c. Yang akan dikaji adalah karakteristik kanal-kanal dalam Himawari-8
berdasarkan analisis citra satelit secara spasial dan temporal yang akan
disandingkan dengan data hujan GSMaP dan observasi.
1.4 Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah :
a. Mengetahui karakteristik masing-masing kanal himawari-8 dalam fenomena
hujan lebat tanggal 2 Agustus dan 11 November 2015 dan menentukan kanal
yang paling tepat.
b. Menentukan hubungan persamaan empiris dari kanal yang terpilih (T BB pada
kanal IR maupun reflektansi pada kanal visible) dengan data curah hujan
GSMaP dan observasi.
c. Mengetahui akurasi persamaan empiris yang diperoleh.
1.5 Manfaat
Penelitian ini diharap dapat bermanfaat untuk menambah pemahaman
prakirawan dalam memanfaatkan citra satelit Himawari-8 dan data GSMaP dalam
proses analisis dan pembuatan prakiraan cuaca , serta dapat digunakan sebagai
bahan pertimbangan dan alternatif dalam pembuatan informasi / peringatan dini
cuaca ekstrim yang lebih akurat untuk mengurangi dampak yang merugikan.
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Tinjauan Pustaka
Penelitian tentang pemanfaatan citra satelit dan data pengukuran curah
hujan berbasis satelit untuk memprakirakan dan menganalisis hujan lebat telah
dilakukan sebelumnya.
Parwati, dkk (2009) dalam jurnal mereka yang berjudul penentuan
Hubungan Antara Suhu Kecerahan Data MTSAT Dengan Curah Hujan Data
QMORPH, menganalisis korelasi antara suhu kecerahan awan (MTSAT-IR)
dengan curah hujan (QMORPHS) pada 621 pixel (wilayah DAS Bengawan Solo)
dalam 240 titik waktu pengamatan (1-10 Februari 2009). Hasil dari penelitian ini
yaitu diperoleh korelasi yang cukup signifikan antara suhu kecerahan awan dari
data MTSAT dan curah hujan dari data QMORPH , dimana semakin turun suhu
kecerahan awan maka semakin tinggi curah hujan yang dihasilkan kecuali untuk
awan cirus.
Aryasta, P, dkk (2012), dalam jurnal mereka yang berjudul Characteristic
of Rainfall Pattern Before Flood Occur in Indonesia Based on Rainfall Data
From GSMaP, melakukan penyelidikan terhadap karakteristik pola curah hujan
yang terjadi sebelum banjir terjadi dengan mengolah data curah hujan per-jam dari
GSMaP _MVK di setiap lokasi banjir besar yang terjadi di Indonesia dari tahun
2006 - 2010. Data banjir besar dikumpulkan dari Dartmouth Flood Observatory
(2006 - 2010) dan Kementerian Pekerjaan Umum Republik Indonesia (2006 2010). Berdasarkan hasil pengolahan data, secara umum Indonesia memiliki dua
karakteristik pola hujan sebelum banjir terjadi yaitu curah hujan periode jangka
pendek dan curah hujan periode jangka panjang. Berdasarkan hasil kompilasi dan
klasifikasi dari 69 kejadian banjir besar lokasi di Indonesia, dari dua pola curah
hujan sebelum banjir terjadi diperoleh 42 lokasi atau 60,87% masuk ke dalam
kategori curah hujan periode jangka pendek, 27 lokasi atau 39,13% kategori curah
hujan periode jangka panjang.
Sagita (2013) dalam jurnalnya yang berjudul Analisis Hujan ekstrim di
Manado 16 Februari 2013 menggunakan citra MTSAT dan
TRMM,
membandingkan suhu puncak awan dari piksel citrasatelit dengan suhu puncak
awan dari analisis SATAID dandi perangkat lunak GMSLPWdan data curah hujan
TRMM. Menghasilkan kesimpulan bahwa semakin tinggi nilai pixel, maka
semakin rendah nilai suhu puncak awan.
Setiawati, dkk
(2013) dalam jurnalnya yang berjudul Verification Of
Hourly GSMaP Rainfall Estimates During The Flood Events in Kumamoto
Perfecture, Japan, melakukan verifikasi dua jenis data GSMap yaitu
GSMap_MVK dan GSMap_NRT
terhadap
data penakar curah hujan, dan
mengidentifikasi pola curah hujan yang menyebabkan banjir. Verifikasi dari data
curah hujan per-jam menunjukkan bahwa GSMaP_MVK cukup baik untuk
mendeteksi kejadian banjir, sedangkan GSMaP_NRT kurang
baik dalam
mendeteksi curah hujan sebelum kejadian banjir terutama dalam hal distribusi
spasial. Tetapi data ini tetap dapat digunakan untuk analisis darurat ketika data
observasi tidak tersedia. Terdapat dua pola curah hujan sebelum kejadian banjir,
yang disebut periode jangka panjang dan periode jangka pendek. Dalam periode
jangka panjang , banjir terjadi ketika curah hujan mencapao 406 mm - 608 mm
dalam seminggu. Dalam periode jangka pendek, banjir terjadi ketika curah hujan
mencapa 199 mm 435 mm dalam lima jam.
Sugiartha (2013) dalam tesisnya yang berjudul Monitoring Kejadian
Banjir Di Indonesia Menggunakan Data Gsmap dan Penakar Hujan,
mengevaluasi variasi intensitas dan pola yang mendahului kejadian banjir di
Medan, Pekanbaru, Indragiri Hulu, Samarinda dan Manado selama kurun waktu
2003 - 2010 menggunakan data GSMap_MVK dengan resolusi 0,1o dan data
penakar hujan sebagai pembanding. Penelitian ini juga memverikasi akurasi
GSMaP_MVK dalam mendeteksi kondisi hujan/tidak hujan sehubungan dengan
data curah hujan untuk kejadian banjir di luar lokasi penelitian menggunakan
verifikasi statistik kontinyu dan kategori. Perbandingan data secara visual dari dua
data observasi telah dibuat dalam bentuk runut waktu dan diagram hambur
berdasarkan metode analisis dari titik ke titik. Perbandingan grafik antara
GSMaP_MVK dengan data curah hujan menunjukkan adanya perbedaan dalam
memantau jumlah curah hujan dan intensitas. GSMaP_MVK menunjukkan
estimasi lebih kecil dibandingkan dengan penakar hujan untuk sebagian besar
lokasi kecuali Samarinda menunjukkan hasil estimasi lebih besar. Pola curah
hujan dengan interval singkat adalah yang paling sering terjadi sebelum kejadian
banjir untuk seluruh lokasi yang mengindikasikan bahwa lokasi tersebut lebih
rentan terhadap banjir bandang dan banjir luapan sungai. Secara keseluruhan
produk GSMaP_MVK memberikan potensi yang menjanjikan untuk aplikasi
pemantauan kondisi curah hujan sebelum kejadian banjir.
Syaifullah (2014) dalam jurnalnya yang berjudul Validasi Data TRMM
terhadap Data Curah Hujan Aktual di Tiga DAS di Indonesia, melakukan validasi
data GSMaP_NRT dan data TRMM 3B42 terhadap curah hujan aktual di tiga
DAS yaitu DAS Citarum Jawa Barat, DAS Sutami - Brantas Jawa Timur dan
DAS Larona Sulawesi Selatan. Dari analisis dua jenis tipe data tersebut,
menunjukkan
bahwa
GSMap_NRT
lebih
mendekati
data
pengamatan
dibandingkan dengan TRMM 3B42. Secara umum nilai curah hujan
GSMaP_NRT mempunyai pola yang mengikuti curah hujan pengamatan (aktual)
meskipun nilainya cenderung di bawah perkiraan.
2.2 Landasan Teori
2.2.1
Hujan
Endapan didefinisikan sebagai bentuk air cair atau padat (es) yang jatuh ke
permukaan bumi. Hujan adalah bentuk endapan yang sering dijumpai, dan di
Indonesia yang dimaksud dengan endapan adalah curah hujan.
Jumlah curah hujan 1 mm menunjukkan tinggi air hujan yang menutupi
permukaan bumi sebesar 1 mm, jika air tersebut tidak meresap ke dalam tanah
atau menguap ke atmosfer (Tjasyono, 2004).
Menurut BMKG (2003), Intensitas hujan di bagi menjadi :
a. Hujan sangat ringan dengan intensitas kurang dari 1 mm per jam atau kurang
dari 5 mm per 24 jam.
b. Hujan ringan dengan intensitas antara 1 5 mm per jam atau 5 20 mm per 24
jam.
c. Hujan sedang dengan intensitas antara 5 10 mm per jam atau 20 50 mm per
24 jam.
d. Hujan lebat dengan intensitas antara 10 20 mm per jam atau 50 -100 mm per
24 jam.
e. Hujan sangat lebat dengan intensitas lebih besar dari 20 mm per jam atau lebih
besar daripada 100 mm per 24 jam.
Tjasyono (2004) menjelaskan ada tiga jenis hujan yang sering terjadi di
Indonesia , yaitu :
a. Hujan Konvektif
Akibat radiasi matahari, udara permukaan akan memuai dan naik ke atas,
kemudian akan mengembun. Gerakan vertikal udara lembab yang mengalami
pendinginan dengan cepat akan menghasilkan hujan deras. Awan cumulunimbus
yang terjadi, pada umumnya mencakup daerah yang nisbi kecil sehingga hujan
deras berlangsung dalam waktu yang tidak lama.
b. Hujan Orografik
Jika gerakan udara melalui pegunungan atau bukit yang tinggi, maka udara akan
dipaksa naik. Setelah terjadi kondensasi, tumbuh awan pada lereng di atas angin
dan hujannya disebut hujan orografik, sedangkan pada lereng dibawah angin,
udara yang turun akan mengalami pemanasan dan bersifat kering daerah ini
disebut bayangan hujan.
c. Hujan Konvergensi
Konvergensi merupakan pertemuan massa udara pada satu titik yang
menyebabkan massa udara tersebut terangkat naik ke atas. Kenaikan udara di
daerah konvergensi dapat menyebabkan pertumbuhan awan dan hujan.
2.2.2
Satelit Himawari-8
Satelit meteorologi sudah banyak yang dikembangkan oleh negara- negara
maju untuk mempelajari parameter atmosfer seperti presipitasi, salah satunya
satelit dengan orbit Geostasioner. Data dari satelit Geostasioner ini memiliki
kelebihan yaitu dapat meng-cover daerah yang luas termasuk lautan, selain itu
dapat mengamati dalam jangka waktu yang panjang secara kontinu dengan data
mendekati real time . Informasi yang dapat diperoleh dari satelit cuaca antara
lain data radiasi infra merah thermal awan dan reflektansi. Data digital dari satelit
cuaca dikirim ke stasiun penerima di bumi sehingga data - data tersebut dapat
diinterpretasikan untuk mengetahui densitas awan, distribusi awan, kecepatan
pergerakan awan, suhu awan, kecepatan angin, albedo awan kelembaban udara
10
dan
sebagainya. Data tersebut kemudian
digunakan untuk prakiraan cuaca,
prediksi badai, dan juga prediksi curah hujan baik secara kuantitatif maupun
kualitatif.
JMA
(Badan
Meteorologi
Jepang)
telah
mengoperasikan
GMS
(Geostasioner Meteorologi Satellite) dan MTSAT (Multifungsi Transportasi
Satellite) di sekitar 140 BT untuk meng-cover daerah Asia Timur dan Pasifik
Barat sejak tahun 1978, dan sebagai kontribusi dalam salah satu program WMO
yaitu World Weather Watch
(WWW). Untuk menggantikan MTSAT, JMA
mengoperasikan satelit generasi baru yaitu Himawari-8 (pada tahun 2015) dan
Himawari-9 ( tahun 2016).
Gambar 2. 1 Urutan Waktu Mengorbitnya MTSAT dan Himawari-8
(Sumber : JMA, 2014)
Satelit Himawari-8 merupakan MTSAT generasi baru yang diluncurkan
oleh
JMA pada musim panas 2014 dan mulai beroperasi pada 7 Juli 2015.
Himawari-8 ini menggantikan MTSAT-2 yang telah beroperasi sejak tahun 2010.
Satelit Himawari-8 ini memliki kelebihan dibanding MSAT-2 . Pertama, resolusi
spektralnya bertambah dari yang sebelumnya pada Satelit GMS (Himawari-1
hingga 5) hanya 4 band atau pada Satelit MTSAT (Himawari 6 dan 7) hanya 5
band, pada Himawari 8 dan 9 menjadi 16 band yang terdiri dari 3 band pada kanal
visibel, 3 band pada kanal infra merah-dekat atau near infrared (NIR) dan 10
band pada kanal termal atau Infrared (IR). Kedua, resolusi spasial atau ukuran
pikselnya juga berubah yaitu pada seri satelit sebelumnya resolusi spasialnya
1Km pada band visibel dan 4Km pada band IR, meningkat menjadi 0.5 Km dan
1Km pada band visibel, 2Km pada data band IR serta dan 2Km pada band NIR.
Perkembangan lainnya pada Himawari 8 adalah resolusi temporal, dimana pada
11
seri-seri sebelumnya adalah tiap satu jam sekali sedangkan pada Satelit Himawari8 menjadi tiap 10 menit sekali untuk pengamatan cakupan penuh (global) dan 2.5
menit sekali untuk pengamatan khusus (lokal) seperti pemantauan badai dan
wilayah Jepang. Secara ringkas, kelebihan Satelit Himawari-8 dibandingkan
MTSAT dapat dilihat pada gambar berikut.
Gambar 2. 2 Perkembangan spesifikasi data Satelit Cuaca Himawari 8
dibanding seri sebelumnya (Sumber : JMA, 2014)
Gambar 2. 3 Resolusi Temporal Himawari-8 (Sumber: JMA, 2014)
Satelit Himawari-8 dilengkapi dengan Advanced Himawari Imagers
(AHIs) yang memiliki 16 band pada kanal IR Visible ( 3 band di kanal Visibel,
3 band di kanal NIR, dan 10 band di kanal IR). Secara rinci, dapat dilihat pada
tabel 2.1.
Tabel 2. 1 Kanal yang dimiliki oleh Himawari-8
(Sumber : JMA, 2014)
Band
Wavelength
[m]
Spatial
Resolution
Tujuan utama
Resolution at SSP
Pengukuran dan
(Sub Satellite Point) penggunaan data
12
0.46 m
1 Km
300 @ 100 %
albedo
Daytime aerosol over land,
coastal water mapping
0.51 m
1Km
300 @ 100 %
albedo
Green band to produce
color composite imagery
VS
0.64 m
0.5Km
300 @ 100 %
albedo
Daytime vegetation/burn
scar and aerosols over
water, winds
N1
0.86 m
1Km
300 @ 100 %
albedo
Daytime cirrus cloud
N2
1.6 m
2Km
300 @ 100 %
albedo
Daytime cloud-top phase
and particle size, snow
N3
2.3 m
2Km
300 @ 100 %
albedo
Daytime land/cloud
properties, particle size,
vegetation, snow
I4
3.9 m
2Km
0.16 @ 300 K
Surface and cloud, fog at
night, fire, winds
WV
6.2 m
2Km
0.40 @ 240 K
High-level atmospheric
water vapor, winds, rainfall
W2
7.0 m
2Km
0.10 @ 300 K
Mid-level atmospheric
water vapor, winds, rainfall
10
W3
7.3 m
2Km
0.32 @ 240 K
Lower-level water vapor,
winds and SO2
11
MI
8.6 m
2Km
0.10 @ 300 K
Total water for stability,
cloud phase, dust, SO2,
rainfall
12
O3
9.6 m
2Km
0.10 @ 300 K
Total ozone, turbulence,
winds
13
IR
10.4 m
2Km
0.10 @ 300 K
Surface and cloud
14
L2
11.2 m
2Km
0.10 @ 300 K
Imagery, SST, clouds,
rainfall
15
I2
12.3 m
2Km
0.10 @ 300 K
Total water, ash, SST
16
CO
13.3 m
2Km
0.30 @ 300 K
Air temperature, cloud
heights and amounts
V1
V2
Visible
Near
Infrared
Infrared
Data satelit Himawari-8 dapat dibuat komposit citra berwarna alami dari
band biru (0.46m), hijau: (0.51m) dan merah (0.64m), yang merupakan hal
baru dan belum ada pada hingga satelit Himawari versi sebelumnya.
JMA pada Juni 2012 sudah membuat estimasi Fungsi Respon spektral
(Spectral Respon Function / SRF) untuk tiap band sensor AHI pada satelit
Himawari 8 dan 9 sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2.7 2.9. Band cahaya
tampak memiliki respon pada nilai tengah panjang gelombang tiap band-nya yang
cukup baik, khususnya pada band 2 di daerah hijau, kemudian pada band 3 di
daerah merah, sedangkan pada band 1 masih kurang baik untuk daerah biru. Pada
13
band inframerah dekat (NIR) untuk band 4, 5 dan 6 sama sekali tidak memiliki
respon untuk suhu kecerahan (temperature brightness / TBB), akan tetapi band ini
nanti akan bisa untuk dipergunakan untuk pemantauan global vegetasi, klorofi l
laut atau kalau pada misi satelit ini adalah untuk mendukung klasifikasi awan
dalam gabungannya dengan band cahaya tampak dan inframerah dan/atau
pemantauan daratan pada malam hari. Band inframerah termal memiliki respon
bervariasi terhadap suhu, dimana data dari 10 band termal ini dapat dipergunakan
untuk mendeteksi suhu permukaan awan, uap air, daratan dan laut sehingga
diharapkan dapat meningkatkan akurasi khususnya dalam klasifikasi awan untuk
memetakan awan hujan.
Gambar 2. 4 Estimasi spektral respon band cahaya tampak
( sumber : JMA 2012)
Gambar 2. 5 Estimasi spectral respon infra merah- dekat (NIR)
( sumber : JMA 2012)
14
Gambar 2. 6 Estimasi respon spektral band inframerah termal
( sumber : JMA 2012)
2.2.3
Hubungan reflektansi dan suhu kecerahan ( temperature brightness)
dengan curah hujan
Albedo berasal dari bahasa latin yaitu albus yang berarti putih yaitu
perbandingan antara radiasi gelombang pendek yang dipantulkan dengan sinar
datang dari semua spektrum panjang gelombang. Formula albedo dapat ditulis
sebagai
=
Rs
Rs
(1)
keteranga : = albedo
Rs = adalah radiasi gelombang pendek yang dipantulkan
Rs = adalah radiasi gelombang pendek yang datang
Albedo menunjukkan sifat kehitaman badan objek. Albedo mempunyai
kisaran nilai 0 - 1. Bila suatu objek mempunyai nilai albedo = 0 maka objek
tersebut mengabsorbsi seluruh radiasi gelombang pendek yang datang dan albedo
= 1 maka objek tersebut memantulkan seluruh radiasi gelombang pendek yang
datang. Namun, tidak ada satu pun benda di alam semesta yang memiliki albedo
bernilai 0 atau 1, yang ada hanya mendekati 0 dan 1. Semakin mendekati nilai nol
maka kenampakan suatu objek semakin gelap dan semakin mendekati nilai satu
maka kenampakan suatu objek semakin cerah. Gambar 2.7 menunjukan sifat
gelombang pendek jika mengenai awan-awan tinggi cenderung meneruskannya
15
dan jika mengenai awan-awan rendah cenderung memantulkanya. Awan-awan
penghasil hujan mempunyai tingkat ketebalan awan yang tinggi karena
mengandung banyak uap air sehingga nilai albedonya besar. Sebaliknya, awan
yang tidak potensial hujan mempunyai ketebalan rendah dan mengandung lebih
sedikit uap air sehingga nilai albedonya kecil. Awan dengan albedo kecil biasanya
adalah awan cirrus dan stratus, sedangkan albedo besar biasanya dijumpai pada
awan cumulus.
Gambar 2. 7 Perilaku gelombang pendek jika mengenai awan tinggi (a) dan
awan rendah (b) ( Sumber : earthobservatory, NASA 2010)
Klasikasi
jenis
awan
berdasarkan
pengamatan
suhu
kecerahan
(temperature brightness / TBB) kanal IR, ditunjukkan Gambar 2.8. Berdasarkan
Gambar 2.8 diketahui bahwa salah satu indikasi adanya awan Cumulonimbus
adalah suhu kecerahan yamg semakin rendah, yang biasanya menghasilkan curah
hujan tinggi yang memicu curah hujan ekstrim dan banjir.
Gambar 2. 8 Klasifikasi awan berdasarkan suhu kecerahan (TBB)
( sumber : JMA, 2002)
16
Estimasi curah hujan dapat dilakukan berdasarkan suhu kecerahan (T BB)
dimana pembentukan hujan terjadi pada awan-awan yang mempunyai suhu
kecerahan rendah (Handoko, dkk. 1994). Rata-rata suhu kecerahan (TBB)
pembentuk hujan antara 195K hingga 260K (Grifith, dkk dalam Tahir 2009).
Semakin rendah suhu kecerahan (TBB)
maka semakin tinggi curah hujan.
Hubungan antara curah hujan dari radar dengan suhu kecerahan (T BB) pada TOA
(top of the atmosphere) dari kanal inframerah satelit GOES-8 diplotkan dalam
persamaan eksponensial (Vicente, dkk. 1998). Lebih lanjut Hanna, dkk (2007)
merumuskan karakteristik suhu kecerahan (TBB) pada berbagai kejadian hujan
yang ditunjukkan dalam gambar 2.9. Distribusi suhu kecerahan tidak seragam
ketika terjadi perbedaan intensitas hujan. Gambar 2.9 menunjukkan :
a. Besarnya TBB untuk semua intensitas hujan adalah berkisar antara -80o C
sampai 10o C. Terdapat dua golongan jumlah suhu kecerahan, pertama adalah
-80o C sampai -30o C dan kedua adalah -30o C sampai 10o C.
b. Besarnya TBB untuk hujan intensitas ringan memiliki distribusi bimodal
dengan puncak dominan sekitar -45 C dan puncak sekunder sekitar -14 C.
c. Besarnya TBB untuk hujan intensitas sedang sekitar - 47 C .
d. Besarnya TBB untuk hujan intensitas lebat sekitar -50 C.
Gambar 2. 9 Histogram TBB (oC) untuk : (a) semua intensitas hujan (b) hujan
ringan (c) hujan sedang (d) hujan deras (sumber: Hanna, dkk. 2007)
2.2.4
Satellite Animation and Interactive Diagnosis (SATAID )
17
Dalam usaha pencegahan bencana alam yang berkaitan dengan
meteorologi, seperti siklon tropis dan hujan lebat, peran satelit meteorologi dalam
memprakirakan cuaca tidak diragukan lagi. Namun, untuk lebih mengefektifkan
penggunaan satelit meteorologi, adalah pentinguntuk menganalisa citra dan
mengambil informasi darinya. Saat ini tidak ada cara lain selain menganalisa citra
satelit secara subyektif melalui mata penglihatan manusia, sedangkan analisisyang
berkualitas membutuhkan penguasaan interpretasi citra secara baik.
Saat ini, perkembangan komputer dapat mempermudah tampilan citra
satelit ke layar komputer. Meteorological Satellite Center JMA telah
mengembangkan suatu sistem Computer Aided Learning (MSC-CAL) untuk
menampilkan citra satelit sebagai sarana pembelajaran dan pelatihan dalam rangka
meningkatkan kemampuan analisa citra. Sistem inilah yang kemudian disebut
SATAID (Satellite Animation and Interactive Diagnosis). Selain program dasar,
terdapat satu program dari SATAID yaitu program GMSLPD yang didesain
dengan fungsi-fungsi yang berguna untuk keperluan analisis.
SATAID digunakan untuk menampilkan citra satelit dan meng-overlay
data prediksi cuaca numerik NWP (Numerical Weather Prediction). Data NWP
terpisah dari data citra satelit, didapatkan juga dari JMA dalam satu paket dengan
data citra satelit. Dengan menggunakan SATAID, pengguna dapat menampilkan
dan melakukan overlay antara citra satelit dan data NWP. Dimungkinkan juga
overlay berbagai macam data yang didapatkan antara lain dari data pengamatan
sinoptik, kapal, suhu, radar, pencatat profil angin, dan sebagainya, dengan syarat
data-data tersebut telah memiliki format yang sama sebagaimana yang diminta
oleh aplikasi SATAID.
Aplikasi ini juga dapat menampilkan grafik baik penampang melintang,
maupun grafik berdasar waktu (time series). Aplikasi SATAID diperoleh di
website JMA: http://mscweb.kishou.go.jp/ VRL/.
2.2.5
Global Satellite Mapping of Precipitation (GSMaP)
Data curah hujan sangat penting dalam manajemen hal-hal yang berkaitan
dengan hidrologi. Pengukuran curah hujan berbasis satelit yang mampu
menyediakan data secara teratur dan luas merupakan cara yang efektif dalam
mengumpulkan data secara global.
18
Sebagai prototype Global Precipitaion Masurement (GPM), JAXA
menyediakan data GSMaP dengan mengkombinasikai data dari berbagai satelit.
JAXA telah megembangkan sistem pengolahan data near rea -time dan
menyebarkan lewat situs internet. Algoritmanya dikembangkan berdasarkan
proyek Global Satellite Mapping of Precipitation (GSMaP) sehingga dikenal
dengan GSMap near real time (GSMaP_NRT). Proyek ini telah diterapkan sejak
tahun 2008. Resolusi horizontal GSMaP_NRT adalah 0,1 o, sedangkan resolusi
spasialnya adalah satu jam. Dataset yang disediakan secara near real time ( sekitar
empat sampai lima jam setelah observasi) secara file transfer protocol (ftp) dengan
alamat situs ftp://hokushai.eorc.jaxa.jp dengan terlebih dulu melakukan registrasi.
Data GSMaP ini telah digunakan untuk berbagai keperluan di bidang
meteorologi, manajemen banjir, manajemen kekeringan ( di Thailand pada kasus
kekeringan tahun 2015), manajemen tanah longsor, manajemen sumber daya air,
pertanian, asuransi pertanian ( di Myanmar) dan lain sebagainya.
Tabel 2. 2 Karakteristik data GSMap_NRT
Sumber : EORC,JAXA (2015)
Parameter
Produk
Res.Spasial
Res. Temporal
Alamat unduh
GSMap _NRT
JAXA
0.1o Lat/Lon
1 jam
http://sharaku.eorc.jaxa.jp/GSMaP/index.ht
m
Kubota (2007) telah melakukan validasi dan kalibrasi
data GSMaP
dengan data penakar hujan maupun data radar di Jepang dengan hasil validasi
yang cenderung cukup baik. Syaifulah (2014) telah melakukan validasi data
GSMaP ini di tiga DAS di Indonesia dan memperoleh hasil yang lebih baik
dimana hasil analisis terhadap data pengukuran menunjukkan pola yang sesuai
dengan nilai pengamatan (aktual) dibanding data TRMM 3B42RT.
2.2.6Regresi linier
Analisis regresi adalah sebuah teknik statistika untuk membuat model dan
menyelidiki hubungan ketergantungan antara satu variabel respon (dependen)
dengan satu atau lebih variabel independen. Analisis regresi linier berganda
menghasilkan persamaan linier yang dapat digunakan untuk menduga atau
memprediksi nilai satu variabel respon berdasarkan beberapa variabel penjelas
19
(independen). Metode ini untuk membuat model sederhana estimasi curah hujan ,
dalam kaitannya dengan suhu puncak (TBB), dan reflektansi. Model regresi linier
berganda (Usman dan Akbar, 2000) dituliskan sebagai berikut :
Y = bo + b1 X1 + b2X2 + e
Keterangan :
Y
= predictant/dependent (curah hujan)
X1
= prediktor 1/ independent
X2
= prediktor 2 /independent
bo
= Konstanta
b1, b2, = Koefisien regresi
e
= Faktor galat ( error term )
(2)
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Pada penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian berupa studi
kasus tentang kejadian hujan lebat yang terjadi di wilayah Kota Padang, Sumatera
Barat. Pemilihan jenis penelitian berupa studi kasus ini dilakukan sebagai langkah
awal untuk memahami kemampuan satelit Himawari
dalam mengkaji cuaca
ekstrim salah satunya hujan lebat melalui analisis tiap band dalam kanal satelit
Himawari-8 kemudian membandingkan dengan data pengukuran curah hujan
berbasis satelit yaitu GSMaP dan data curah hujan observasi untuk mengetahui
persamaan empiris serta validasinya.
3.2 Prosedur Penelitian
1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian fenomena hujan lebat ini meliputi wilayah Provinsi
Sumatera Barat 98 10' BT - 102 10' BT dan 3 50' LS - 1 20' LU , khususnya
Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat (0570LS1002111BT). Menurut PP
No. 17 Tahun 1980, luas Kota Padang adalah 694,96 km 2 atau setara dengan 1,65
% dari luas Propinsi Sumatera Barat. Secara Geografis, sebelah Barat Kota
Padang berbatasan langsung dengan samudera Hindia, dan Bukit Barisan
membentang Timur - Selatan. Waktu penelitian ini hari terjadi cuaca ekstrem
berupa hujan lebat yang mengakibatkan banjir dan tanah longsor yaitu tanggal 2
Agustus 2015 dan 11 November 2015 dimana curah hujan mencapai kriteria
cuaca ekstrim. Tercatat curah hujan pada kejadian tersebut >100 mm/hari.
Pola curah hujan di Sumatera Barat
adalah tipe equatorial, yang
wilayahnya memiliki distribusi hujan bulanan bimodial dengan dua puncak
musim hujan maksimum (Maret dan November), dan hampir sepanjang tahun
masuk dalam kriteria musim hujan. Berdasarkan pengelompokan pola distribusi
curah hujan rata- rata bulanan di seluruh wilayah Indonesia oleh BMKG (2010)
wilayah kota Padang, merupakan wilayah Non Zona Musim ( Non ZOM) yaitu
20
21
wilayah yang tidak mempunyai batas yang jelas secara klimatologis antara
periode musim hujan dan musim kemarau.
Gambar 3. 1 Peta Administratif Kota Padang
(sumber : Pengolahan Peta di Quantum GIS)
2
Data
Beberapa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a
Data citra satelit Himawari-8, kanal IR dan VIS ,yang terdiri dari 16 band,
tanggal 11 November 2015 2014 ,per 10 menit, yang diperoleh dari Sub
Bidang Citra Satelit BMKG.
Data curah hujan harian dari pos-pos hujan dalam Kota Padang ( 7 pos
c
d
hujan) pada saat kejadian bencana banjir &tanah longsor.
Data curah hujan AWS di sekitar kota Padang.
Data curah hujan GSMAP/jam.
3
Alat Penelitian
Dalam penelitian ini, pengolahan data dilakukan menggunakan perangkat
lunak SATAID yang dibuat oleh Meteorological Satellite Center JMA dengan
program yang digunakan adalah GMSLPD, yang akan digunakan untuk
menganalisis citra satelit Himawari-8 , 16 band di kanal IR , NIR dan Visible.
Pada penelitian juga digunakan perangkat lunak Quantum GIS (QGIS) yang
merupakan perangkat Sistem Informasi Geografis (SIG) yang berbasis open
source dengan lisensi di bawah General Public License. QGIS dapat di di unduh
secara gratis di http://www.qgis.org/en/site/forusers/download.html . QGIS
22
digunakan untuk mengolah data observasi curah hujan dari stasiun-stasiun
pengamatan dan jaringan pos hujan dalam kota menjadi peta distribusi curah
hujan harian.
Untuk mengolah data GSMaP, digunakan aplikasi GrADS (Grid Analysis
and Display System), sebuah tools interaktif yang sangat mudah untuk mengakses,
memanipulasi, dan visualisasi data ilmu kebumian. Dokumentasi tentang tools ini
ada di Grads documentation di situs http://iges.org/grads.
Perangkat lunak Ms. Excel digunakan untuk mengolah data time series TBB
dari kanal IR maupun reflektansi dari kanal VIS, dan menyajikannya dalam
bentuk grafik. Dan perangkat lunak Minitab 14 digunakan untuk analisis statistik.
4
Teknik Pengolahan Data
Data diolah dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Pengolahan Data Observasi
Data observasi digunakan untuk memilih waktu kejadian hujan lebat di Kota
Padang. Kejadian hujan dipilih dengan melihat data akumulasi curah hujan
harian dari delapan pos hujan dalam kota > 50 mm/hari serta tercatat sebagai
bencana dalam database BNPB (http://dibi.bnpb.go.id/data-bencana/). Selain
itu, data dari portal media online juga digunakan sebagai data pelengkap.
Data curah hujan ini kemudian diolah menggunakan pernagkat lunak QGIS
sehingga diperoleh sebaran spasial curah hujan.
b. Pengolahan data GSMaP_NRT
Pada penelitian ini, data GSMaP_NRT diperoleh di alamat situs
ftp://hokushai.eorc.jaxa.jp. Untuk mengolah data tersebut digunakan aplikasi
GrADS (Grid Analysis and Display System), sebuah tools interaktif yang
sangat mudah untuk mengakses, memanipulasi, dan visualisasi data ilmu
kebumian (earth science). Dokumentasi tentang tools ini ada di Grads
documentation di situs http://iges.org/grads. Untuk memproses file tersebut
dengan GrADS diperlukan file kontrol yang berbeda disesuaikan dengan
format filenya. Berikut adalah contoh file kontrol GSMap_NRT :
dsetd:/data/global/TRMM/Jaxa/%y4/%m2/%d2
/gsmap_nrt.%y4%m2%d2.%h200.dat
title GSMaP_NRT 0.1deg Hourly
option Yrev Little_endian Template
undef -999.0
xdef 3600 LINEAR 0.05 0.1
23
ydef 1200 LINEAR -59.95 0.1
zdef 1 LEVELS 1013
tdef 8000 LINEAR 00Z1jan2009 1hr
vars 1
precip 0 99 hourly averaged rain rate
[mm/hr]
endvars
c. Pengolahan Data Citra satelit Himawari-8
pada penelitian ini data citra satelit Himawari tanggal 2 Agustus dan 11
November 2015 untuk regiona Sumatera sebanyak 16 bands diolah
menggunakan perangkat lunak SATAID .
Tabel 3. 1 Spesifikasi data penelitian
produk
resolusi
temporal
1 jam
10 menit
24 jam
GSMaP
AWS
penakar
hujan obs
Citra
10 menit
Himawari8
resolusi spasial
Tanggal
0,1o
single point
single point
2 Agustus & 11 Nov 2015
2 Agustus & 11 Nov 2015
2 Agustus & 11 Nov 2015
0.5km dan 2km 2 Agustus & 11 Nov 2015
pada kanal visibel,
2km pada kanal IR
2 km pada kanal
NIR
Analisis Data
Data dianalisis melalui langkah-langkah sebagai berikut:
a Analisis data curah hujan
Untuk mengetahui kejadian hujan lebat, maka dilakukan analisis data
curah hujan pada jaringan pos hujan Sumatera Barat dan dicocokkan dengan
kriteria dalam Peraturan Kepala BMKG nomor : KEP.009 tahun 2010 tentang
Prosedur Standar Operasional Peringatan Dini, Pelaporan, dan Diseminasi
Informasi Cuaca Ekstrim: Hujan Lebat adalah hujan dengan intensitas paling
rendah 50 mm/24 jam dan/atau 20 mm/jam. Kemudian dipilih waktu dimana
jumlah curah hujan lebat terjadi setelah satelit Himawari-8 beroperasi serta
kejadian hujan lebat tersebut tercatat sebagai bencana dalam database BNPB.
b
Analisis Citra Satelit Himawari-8
Analisis data citra satelit dilakukan pada semua band di kanal VIS,
NIR, dan IR. Kanal infra red (IR-1) memiliki panjang gelombang 10.3 11.3
24
m yang diaplikasikan untuk awan, pergerakan awan, pergerakan angin, dan
badai. Karena berdasarkan pada radiasi suhu yang dipancarkan dari bumi,
dapat berakibat kekeliruan dalam penentuan puncak awan. Sebagai contoh, Ci
seringkali terdiri dari lapisan tipis awan sehingga cenderung diinterpretasikan
sebagai Cm jika menggunakan citra IR saja. Kelebihan kanal IR ini adalah
dapat digunakan baik pada waktu siang maupun malam hari.
Penggunaan kanal visibel untuk mendeteksi keberadaan awan
Cumulunimbus pada siang hari. Suhu yang dingin tidak selalu menunjukkan
puncak awan konvektif tetapi juga dapat ditunjukkan oleh awan awan tinggi
seperti Cirrus yang terdiri dari kristal- kristal es. Kanal visibel yang
menggunakan cahaya matahari sebagai pulsa menjadikan albedo sebagai
metode untuk mengetahui jenis awan. Albedo adalah perbandingan antara
jumlah sinar yang dipantulkan dengan yang diterima oleh permukaan. Benda
yang warnanya semakin putih dan padat akan semakin banyak memantulkan
sinar tampak. Wirjohamidjojo (2010) menyebutkan bahwa awan awan tipis
mempunyai nilai albedo sekitar 30 %. Awan awan tebal seperti Cirrostratus,
Altocumulus, Cumulus dan Stratocumulus memiliki nilai albedo 50 sampai
70 % dan awan Cumulonimbus memiliki albedo >70%. Dengan demikian,
semakin putih awannya, maka mengindikasikan semakin padat awan yang
ada dan dapat diidentifikasi sebagai Cumulunimbus.
Analisis tiap kanal dilakukan dengan cara meregister citra satelit
himawari-8 untuk region sumatera ke dalam perangkat lunak SATAID
GMSLPD, menetukan lokasi titik pengamatan dan mengidentifikasi tiap
kanal secara :
1.
Spasial
dilakukan dengan membandingkan kontur TBB mau pun
reflektansi citra pada masing-masing band pada kanal IR dan Visible
2.
dengan curah hujan pada GSMaP.
Time series dilakukan dengan cara membandingkan grafik time series T BB
pada masing-masing band di
kanal IR atau reflektansi pada kanal
Visible dengan curah hujan AWS yang memiliki resolusi temporal yang
sama. Vincente (2001) dalam penelitiannya mengungkapkan hubungan
antara suhu kecerahan dari kanal IR dengan intensitas curah hujan,
Semakin tinggi suhu kecerahan maka semakin tinggi curah hujan.
25
Hubungan antara curah hujan dari radar dengan suhu kecerahan pada
TOA (top of the atmosphere) dari kanal inframerah satelit GOES-8
diplotkan dalam persamaan eksponensial (Vicente,dkk , 2001).
Distribusi suhu kecerahan awan tidak seragam ketika terjadi perbedaan
intensitas hujan menunjukkan :
a) Besarnya suhu kecerahan untuk semua intensitas hujan adalah
berkisar antara -80o C sampai 10o C. Terdapat dua golongan
jumlah suhu kecerahan, pertama adalah -80 o C sampai -30o C
dan kedua adalah -30o C sampai 10o C.
b) besarnya suhu kecerahan untuk hujan intensitas ringan memiliki
distribusi bimodial dengan puncak dominan sekitar -45 C dan
puncak sekunder sekitar -14 C.
c) besarnya suhu kecerahan untuk hujan intensitas sedang sekitar
-47 C .
d) besarnya suhu kecerahan untuk hujan intensitas lebat sekitar
c
-50 C
Analisis Statistik
Analisis regresi adalah sebuah teknik statistika untuk membuat model dan
menyelidiki hubungan ketergantungan antara satu variabel respon dengan satu
atau lebih variabel penjelas . Analisis regresi linier berganda menghasilkan
persamaan linier yang dapat digunakan untuk menduga atau memprediksi nilai
satu variabel repon berdasarkan beberapa variabel penjelas. Metode ini untuk
membuat model sederhana estimasi curah hujan , dalam kaitannya dengan
kanal-kanal pada citra Himawari-8.
3.4 Verifikasi dan Validiasi
Root Mean Square Error (RMSE)
Metode ini digunakan untuk mengetahui besarnya penyimpangan yang
terjadi antara curah hujan estimasi dibandingkan dengan curah hujan observasi.
Perlu diketahui bahwa untuk validasi hasil prakiraan semakin besar nilai RMSE,
maka semakin jauh nilai data estimasi terhadap aktualnya dan semakin kecil nilai
RMSE maka semakin baik estimasinya. Karena tingkat
kesalahan yang dapat
diminimalisir dapat meningkatkan tingkat akurasi prakiraan .
26
RMSE=
1 ( R CiROi )
1
(3)
Keterangan : N = banyaknya data
RCi = curah hujan hasil estimasi ke-i (mm)
ROi = curah hujan observasi ke- i ( mm)
2
Koefisien Korelasi
Nilai koefisien korelasi Pearson (Trihendradi, 2005) digunakan untuk
menentukan besarnya hubungan atau kedekatan antara curah hujan estimasi dan
curah hujan observasi. Kuat tidaknya hubungan antara curah hujan estimasi
dengan curah hujan observasinya dapat diukur dengan suatu nilai yang disebut
dengan koefisien korelasi. Koefisien korelasi dapat diperoleh dengan formula
sebagai berikut:
xi
( y i )
xi
yi
n y 2i ( 2)
x 2i
n
xi y i
n
r =
Keterangan :
r=
koofisien korelasi
x i= data curah hujan hasil estimasi ke-i (mm)
y i= data curah hujan aktual hasil observasi ke-i (mm)
(4)
27
Untuk Validasi hasil prakiraan dengan menggunakan koefisien korelasi,
semakin kuat korelasi maka semakin baik hasil validasi berarti semakin tinggi
tingkat akurasi prakiraan.
3.5 Diagram Alir Penelitian
Alir pada penelitian ini di mulai dengan pemilihan masalah yang akan
dikaji
yaitu hujan lebat di Padang. Kemudian mengumpulkan semua data
penelitian meliputi data observasi curah hujan, data satelit Himawari-8, data
GSMaP. Selanjutnya dilakukan pengolahan dan
analisis dari berbagai data
penelitian yang telah disebutkan dan menarik kesimpulan dari penelitian ini.
Secara umum alir penelitian digambarkan sebagai berikut.
Gambar 3. 1 Diagram alir penelitian
3.6
Rencana Kegiatan Penelitian
28
Kegiatan penelitian akan dilaksanakan dalam 9 (sembilan) bulan dan
dibagi ke dalam 2 (dua) tahap. Tahap pertama yaitu pembuatan Proposal Skripsi
dalam 4 (empat bulan) pada Semester 7 (tujuh) dan tahap kedua yaitu pembuatan
Skripsi dalam 5 (lima) bulan pada Semester 8 (delapan).
Tahap 1 :
Tabel 3. 2 Rencana Kegiatan Penelitian Tahap 1
2015
No
Kegiatan Penelitian
1.
2.
2.
3.
4.
5.
Des
1 2
2016
3
Jan
1 2
Feb
1 2
Maret
1 3 4
Penentuan tema
Penentuan judul
Pengumpula Studi Pustaka
Pengumpulan contoh data
Penyusunan proposal
Presentasi proposal skripsi
Tahap 2 :
Tabel 3. 3 Rencana Kegiatan Penelitian Tahap 2
2016
No
Kegiatan Penelitian
1.
2.
2.
3.
4.
Pengumpulan data
Pengolahan data
Analisis hasil
Penyusunan skripsi
Sidang skripsi
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
DAFTAR PUSTAKA
Aryastana P, dkk. 2012 . Characteristic of Rainfall Pattern Before Flood Occur
in Indonesia Based on Rainfall Data From GSMaP . Ecotrophic: journal of
environmental research, vol.7, no.2, tahun 2012.
Cornelius, Trihendradi. 2005. Langkah Mudah Menguasai Analisis Statistik
Menggunakan SPSS 15. Penerbit Andi. Yogyakarta.
Data dan Informasi Bencana Indonesia. Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (http://dibi.bnpb.go.id/, diakses 2 desember 2015).
Handoko, 1994. Klimatologi Dasar. Pustaka Jaya : Bogor.
Hanna JW, David MS, Antonio RI. 2008. Cloud-Top Temperature for
Precipitating Winter Cloud. Journal Of Applied Meteorology and
Climatology 47: 351359.
Himawari-8/9 and MTSAT-1R/2 imagery channels
(http://www.jma.go.jp, diakses 20 Desember 2015))
and
file
sizes,"
Meteorological Satellite Center. 2002. Analysis and Use of Satellite Imager: 1st
Edition. Japan Meteorological Agency. (http://rammb.cira.colostate.edu,
diakses 29 Januari 2016)
Meteorological Satellite Center. 2008. Sataid Operation Manual. Japan
Meteorological Agency. (http://www.wis-jma.go.jp, diakses 10 Desember
2015).
National Aeronautics and Space Administration. 2010. Cloud and Particles,
(http://earthobservatory.nasa.gov/Features/Clouds/), diakses 31 januari
2016
Peraturan KBMKG 2010, Keputusan No. 009 tentang Prosedur Standar
Operasional Pelaksanaan Peringatan Dini, Pelaporan dan Desiminasi Cuaca
Ekstrim.
Sagita ,Novvria. 2013 . Analisis Citra Satelit MTSAT dan TRMM menggunakan
Software ER MAPPER, SATAID dan PANOPLY saat Kejadian Curah Hujan
Ekstrim di Wilayah Manado, 16 Februari 2013. Jurnal Fisika dan
Aplikasinya Volume 9, Nomor 2, Juni 2013.
Sasmito, Sigit Deni. 2011. Pendugaan Curah Hujan dengan Data Satelit
Geostasioner (MTSAT IR) dan Gelombang Mikro Imager (TRMM) : Studi
Kasus DAS Citarum. Skripsi. Departemen Geofosika dan Meteorologi.
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. IPB
29
Shimizu, Cloud Type Indentication by Meteorological Satellites, Workshop on
Weather Saatellite and Radar Data Interpretation and Analysis, Japan
Meteorological Agency, 2007.
S. Marwati , dkk (2013). Verification Of Hourly GSMaP Rainfall Estimates
During The Flood Events in Kumamoto Perfecture, Japan. Proceeding of
34th Asian Conference on Remote Sensing 2013, ACRS 2013.
Syahputra, M.R.. 2008. Kajian Korelasi Rain-Rates Dan Temperatur Puncak
Awan Dalam Estimasi Curah Hujan Dengan Menggunakan Data Satelit
Geostasioner Dan TRMM (Tropical Rainfall Measuring Mission). Skripsi.
Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB.
Syaifullah, M. 2014. Validasi Data TRMM Terhadap Data Curah Hujan Aktual di
Tiga DAS di Indonesia. Jurnal Meteorologi Dan Geofisika, Vol.15 No.2,
Tahun 2014: 109-118
Suseno Dwi Prabowo Yugo. 2009. Geostationary Satellite Based Rainfall
Estimation for Hazard Studies and Validation: A case study of Java Island,
Indonesia [tesis].Yogyakarta: Double Degree M.Sc. Programme, Gajah
Mada University and ITC.
Suwarsono, Parwati, dkk. 2009. Penentuan Hubungan antara suhu kecerahan
Data MTSAT dengan curah hujan QMORPH. Jurnal Penginderaan Jauh
Vol.6,2009 : 32-42.
Tjasyono, B. H. K. 2004. Klimatologi. Institut Teknologi Bandung : Bandung.
Usman, H. & Akbar, R.P.S. (2000). Pengantar Statistik. Jakarta: Penerbit Bumi
Aksara.
Wardah Tahir, Zaidah Ibrahim, and Suzana Ramli, 2009. Geostationary
Meteorological Satellite-Based Quantitative Rainfall Estimation (GMSRain) For Flood Forecasting. Malaysian Journal of Civil Engineering
21(1) : 1- 16.
Wirohamidjojo, S. 2012. Menaksir Sifat Fisis dan Dinamik Awan Dari Citra
Satelit. Workshop BMKG 11 15 Juni 2012.
30
Sudjana. (1995). Metoda Statistika. Bandung: Penerbit Tarsito.
Hong Y, Kuo-lin H, Soroosh S. 2010. Cloud Patch-Based Rainfall Estimation
Using A Satellite Image Classification Aproach.2 nd Workshop of The
International Precipitation Working Group.
K. Aonashi, J. Awaka, M. Hirose, T. Kozu, T. Kubota, G. Liu, S. Shige, S. Kida, S.
Seto, N. Takahashi, and Y. N. Takayabu, 2009: GSMaP passive, microwave
precipitation retrieval algorithm: Algorithm description and validation. J.
Meteor. Soc. Japan, 87A, 119-136.
GPM Global Rainfall Map Algorithm Development Team . 2004. Algorithm
Theoretical Basis Document (ATBD)Ver 6. JAXA (Japan Aerospace and
Exploration Agency).
Arfianto, Anggi Dwi. 2006. Aplikasi Model Regresi Logistik Untuk Prakiraan
Kejadian Hujan. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
IPB.
Strangeway, Ian. 2007. Precipitation: Theory, Measurement and Distribution.
Cambridge University Press.
31