Bab Ii

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 22

6

BAB II
TINJAUAN UMUM

2.1 Nanoteknologi
Kata nano berasal dari kata Yunani nanos, yang berarti kerdil. Secara
ilmiah, nano berarti satu per miliar unit. Satu nanometer (nm) adalah skala panjang
yang setara dengan salah per milar meter. Dengan demikian, bahan bahan naono
adalah bahan-bahan yang memiliki dimensi skala mini. Menurut ISO TS 27687,
nanomaterials didefinisikan sebagai bahan-bahan yang memiliki karakteristik skala
10
-9
nm. Untuk menempatkan ini dalam perspektif, ukuran rasio antara nanopartikel
diameter 1 nm dan bola sepak setara dengan ukuran rasio antara bola sepak dan bumi
(Tsuzuki, 2013).
Nanoteknologi meliputi mulai dari penggabungan atom atau ion menjadi molekul
untuk membentuk struktur dalam orde nanometer yang berguna untuk menghasilkan
barang-barang dalam kehidupan sehari-hari. Tentu saja nanoteknologi melakukan
proses-proses seperti reaksi kimia untuk membentuk zat cair atau padat seperti
keramik, polimer, dan logam yang diatur (dimanipulasi) sedemikian rupa sehingga
menghasilkan sifat-sifat kimia atau fisika yang baru. Bahkan lebih jauh lagi
nanoteknologi mengkombinasikan semua zat padat seperti keramik , logam, dan
polimer untuk membentuk material baru yang tak ada di alam. Material baru ini
menjadi material campuran dua atau tiga bahan dan dinamakan komposit. Bila
7

struktur dari bahan-bahan campuran tadi dalam orde nanometer terbentuklah
nanokomposit (Poli, 2006).
Beberapa contoh gejala maupun objek alam yang berada pada ukuran
nanometer diantaranya adalah protein sintesis [Gambar (a)], partikel virus [Gambar
(b)], partikel titanium oksida [gambar (c)], dan carbon nanotube [ gambar (d)]

Gambar 2.1 Berbagai gejala dan objek alam yang memiliki ukuran dalam orde
nanometer protein sintesis [1,2], (b) partikel virus dalam formasi
icosahedral, (c) partikel platinum [tanda panah] yang berada pada
lapisan titanium oksida, (d) carbon nanotube dengan dinding
tunggal (Dwandaru, 2012).

Ide penyusunan ulang atom-atom individual dalam skala nano ini sebenarnya
sudah ada sejak beberapa dekade. Pada tahun 1959, si jenius Richard Feynman,
pemenang nobel fisika tahun 1965 yang dikenal sebagai father of nanotechnology,
menyatakan bahwa atom-atom tidak dapat kita manipulasi sesuai dengan kemauan
kita. Hanya saja kita masih belum berhasi melakukannya karena kita terlalu besar dan
atom-atom itu terlalu kecil untuk bisa kita utak-atik susunannya. Yang penting adalah
meletakkan masing-masing atom pada tempat yang tepat sehingga terjadi interaksi
8

antar atom sesuai dengan keinginan kita. Sama saat kita bermain lego. Makin kecil
blok-blok lego, makin banyak variasi yang kita buat (Surya, 2004).
2.1.1 Aplikasi Nanoteknologi
Nanoteknologi merupakan teknologi yang bertujuan mengendalikan molekul atau
atom individu untuk menciptakan bahan dan peralatan yang beribu kali lebih kecil
disbanding kondisi teknologi sebelumnya. Satu nanometer adalah 10
-9
meter, sebagai
perbandingan dari jarak karbon C60 adalah sekitar 12-15 nm, dan DNA double-helix
mempunyai diameter sekitar 2 nm. Kita dapat membayangkan bakteri mycoplasma,
ukuran lebarnya sekitar 200 nm, mikrokristal sekitar 2 - 500 nm. Hingga saat ini,
pembuatan struktur nano seperti nanorod, nanobelt, nanotube, dan nanowire dengan
menggunakan jenis material dan berbagai teknik sudah banyak dilakukan peneliti.
Hasil penelitiannnya menunjukan karakteristik unik yang berbeda-beda dengan
keeunggulannya (Muchlin, 2013).
2.2 Nanofiber
Salah satu bidang nanoteknologi yang sedang banyak dikembangkan adalah
pembuatan nanofiber. Secara umum, nanofiber didefinisikan sebagai sesuatu material
yang mempunyai diameter kurang dari 1 mikron. Nanofiber dari suatu bahan polimer
dibuat dan diteliti oleh banyak peneliti umumnya karena memiliki sifat serta
karakteristik seperti luas permukaannya yang tinggi, ukuran pori yang kecil dan
kemungkinannya untuk dibentuk struktur tiga dimensi sehingga berpotensi
diaplikasikan untuk industri- industri berteknologi tinggi seperti, aerospace,
9

kapasitor, transistor, sistem drug delivery, fuel cells, teknologi informasi, dan dapat
juga sebagai media filtrasi, serat optik, katalis, sistem penghantaran obat (drug
delivery) dalam dunia farmasi, superhidrofobik dalam pelapisan logam, tissue
scaffolds dalam dunia medis, dan pakaian/tekstil pelindung (protective clothing)
(Maddu et al, 2008).

Gambar 2.2. SEM nanofiber polyacrylonitrile (Rafiq et al., 2009).
Dalam dunia perdagangan serat nano adalah serat yang lebih kecil dari serat
makro, yaitu serat yang mempunyai diameter kurang dari 0,5 mikron atau kurang dari
500 nanometer, sedangkan serat yang telah diproduksi dan diperdagangkan
mempunyai diameter antara 50 sampai 300 nanometer
Pengamatan morfologi dan permukaan serat berskala nano diperlukan ketelitian
yang sangat tinggi. Pengamatan morfologi dapat dilakukan menggunakan AFM
(Atomic Force Microscope). Gambar 2.3 menunjukan beberapa ukuran nanofiber
yang jauh lebih keci dibandingkan dengan rambut manusia. Gambar 2.4 menunjukan
ukuran partikel serbuk sari dibandingkan dengan nanofiber ukuran 350 nm ditemukan
1,0 0,2 GPa. Kekuatan serat sangat dipengaruhi oleh ukuran diameter serat, kadar
10

selulosa, dan kadar lignin. Semakin besar diameter serat, maka semakin rendah nilai
kekuatan tarik (tensile strength) dan modulus elstisitas (modulus of elasticity /MOE),
demikian pula sebaliknya (Muchlian, 2013).

Gambar 2.3 Perbandingan antara rambut manusia dengan jaringan nanofiber
(Muchlian, 2013)

Gambar 2.4 Perbandingan antara serbuk sari dengan nanofiber (muchlian, 2013)
2.2.1 Karbon nanofiber
Karbon nanofiber didefinisikan sebagai filamen linier berbasis sp
2
dengan
diameter 100 nm yang dikarakterisasi dengan fleksibilitas dan aspek rasionya (di atas
100). Material ini berbentuk serat praktis yang baik dan kepentingan ilmiah.
Kombinasi pada daerah yang tinggi, fleksibilitas, dan kekuatan mekanik yang tinggi
11

yang memungkinkan karbon nanofiber ini digunakan dalam kehidupan sehari-hari
dalam pembuatan komposit yang sulit yang dapat diaplikasikan ke kendaraan dan
kedirgantaraan.
2.2.1.1 Perbedaan karbon nanofiber dengan karbon nanotube
Namun, nanofiber ini harus dibedakan dari serat karbon konvensional dan
pertumbuhan uap serat karbon nanofiber /Vapour Grown Carbon Nanofibers
(VGCFs) pada diameter nanofiber. Serat karbon konvensional dan VGCFs memiliki
diameter berukuran micrometer. Selain itu, serat karbon kovensional dan VGCFs
berbeda dari karbon nanotube. Karbon nanofiber dapat tumbuh dengan melalui
karbon di atas partikel logam berukuran nano pada suhu tinggi, sangat mirip
pertumbuhannya dengan kondisi karbon nanotube. Namun perbedaan geometri dari
konsentris karbon nanotube yang mengandung inti berrongga, Karena karbon
nanotube dapat divisualisasikan jika ditumpuk secara teratur dipotong kerucut atau
lapisan planar sepanjang filamen. Sebuah struktrur yang unik menjadikan karbon
nanotube menunjukan perilaku semikonduktor dan mampu digunakan sebagai bahan
katalis pengisi dan memperkuat komposit polimer, dan sel fotokimia (Kim et al.,
2011).


12


Gambar 2.5 Perbandingan karbon nanotube, karbon nanofiber, dan karbon fiber
(Kim et al., 2011)

Serat karbon nanofiber adalah serat monomolekular dengan diameter mulai
dari puluhan nanometer hingga beberapa ratus nanometer, kisaran panjang 100 nm-
1000 nm. Karbon fiber dengan dimensi nano sangat prospektif karena memiliki tinggi
dan luas permukaan yang spesifik karena diameternya kecil. Struktur karbon
nanofiber (CNF) berbeda dengan karbon nanotube (CNT) yang terdiri dari lembaran
yang tebal satu atom karbon. Meskipun karbon nanofiber memiliki sifat mekanik dan
listrik tidak sebaik dengan karbon nanotube (Kuzmenko, 2012).
2.3 Nanopartikel
Nanopartikel adalah sebutan untuk partikel logam maupun polimer dalam ukuran
skala nanometer, yakni ukuran antara 1-100 nm. Nanopartikel menjadi sangat
menarik untuk menjadi objek penelitian karena perannya sebagai jembatan antara
material bulk dengan struktur atomik atau molekular. Nanopartikel dengan ukurannya
yang sangat kecil memiliki sifat fisik yang berbeda namun lebih menarik
dibandingkan dengan material bulkynya. Hal ini pula yang menjadikan nanopartikel
13

sangat disukai untuk diaplikasikan pada berbagai bidang teknologi (Song & Yuan,
2011).
2.4 Polimer
Polimer merupakan molekul besar yang terbentuk dari unit-unit berulang
sederhana. Bahan-bahan seperti plastik, serat, film dan sebagainya yang biasanya
dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari mempunyai berat molekul di atas 10.000.
Bahan dengan berat molekul yang besar itu disebut polimer, mempunyai struktur dan
sifat yang rumit disebabkan oleh jumlah atom pembentuk yang lebih besar
dibandingkan senyawa yang berat atomnya rendah. Umumnya polimer dibangun oleh
satuan struktur tersusun secara berulang diikat oleh gaya tarik-menarik yang disebut
ikatan kovalen, dimana ikatan setiap atom dari pasangan menyumbangkan satu
elektron untuk membentuk sepasang elektron, (Surdia T. , 1995).
Klasifikasi senyawa-senyawa polimer didapatkan dengan dua cara, yaitu yang
berasal dari alam (polimer alam) dan di polimer yang sengaja dibuat oleh manusia
(polimer sintetis). Polimer yang sudah ada dialam (polimer alam), seperti (Ratna
dkk., 2010):
1. Amilum dalam beras, jagung dan kentang
2. Selulosa dalam kayu
3. Protein terdapat dalam daging
4. Karet alam diperoleh dari getah atau lateks pohon karet
14

Karet alam merupakan polimer dari senyawa hidrokarbon, yaitu 2-metil-1,3-
butadiena (isoprena). Ada juga polimer yang dibuat dari bahan baku kimia disebut
polimer sintetis seperti polyetena, polipropilena, polyvynil chloride (PVC), dan nylon.
Kebanyakan polimer ini sebagai plastik yang digunakan untuk berbagai keperluan
baik untuk rumah tangga, industri, atau mainan anak-anak.
2.4.1 Polimer PVA (Polivinil Alkohol)
Polivinil alkohol merupakan suatu material yang dibuat melalui proses alkoholisis
dari polivinil asetat (PVAc). Polivinil alkohol memiliki sifat tidak berwarna, padatan
termoplastik yang tidak larut pada sebagian besar pelarut organic dan minyak, tetapi
larut dalam air bila jumlah dari gugus hidroksil dari polimer tersebut cukup tinggi.
Polivinil alkohol memiliki permeabilitas uap air terendah dari semua polimer
komersial tetapi sensitivitas airnya telah membatasi penggunaannya. Wujur dari
polivinil alkoho berupa serbuk berwarna putih dan memiliki densitas 1,200-1,3020
g/cm
3
serta dapat larut dalam air pada suhu 80
0
C (Sheftel, 2000).

Gambar 2.6 Polivinil alkohol (Liang et al., 2009)
Secara komersial, polivinil alkohol adalah plastik yang paling penting dalam
pembuatan film yang dapat larut dalam air. Hal ini ditandai dengan kemampuannya
15

dalam pembentukan film dan pengemulsi. Polivinil alkohol memiliki kekuatan tarik
yang tinggi, fleksibilitas yang baik, dan sifat penghalang oksigen yang baik serta
polivinil alkohol dapat digunakan untuk pembuatan nanofiber dengan metode
elektrospinning. Bahan ini dapat larut dalam air , bahan ini juga relatif tidak toksik,
memiliki sifat isolator, dan memiliki biokompabilitas yang baik (Ogur, 2005).
Karakteristik Polivinil alkohol
Densitas : 1,19-1,31 g/cm
3
Titik leleh : 180-240
0
C
Titik didih : 228
0
C
Suhu penguraian : 180
0
C
Polivinil alkohol juga diaplikasikan sebagai bahan sekali pakai. Salah satu
pemanfaatan sebagai bahan sekali pakai adalah aplikasi polivinil alkohol pada
kantong kotoran hewan yang akan terurai setelah dibuang. Selain itu, polivinil
alkohol juga dapat diaplikasikan pada bola golf, sehingga pegolf tidak perlu mencari
bolanya setelah dipukul karena bola tersebut akan terurai di alam. Polivinil alkohol
dalam industry pangan digunakan sebagai bahan pelapis karena sifatnya kedap uap
air. Polivinil alkohol mampu menjaga komponen aktif dan bahan lainnya yang
terkandung di dalam bahan dari kontak dengan oksigen (Ogur, 2005).
2.5 Tembaga
Tembaga adalah suatu unsure kimia dalam tabel periodic yang memiliki lambang
Cu dan nomor atom 29. Lambangnya berasal dari bahasa latin Cuprum. Tembaga
16

merupakan konduktor panas dan listrik yang baik. Selain itu unsure ini memiliki
korosi sangat cepat sekali. Tembaga murni sifatnya halus dan lunak, dengan
permukaan berwarna jingga kemerahan. Tembaga dicampurkan timah untuk
membuat perunggu.
Logam ini aloinya telah digunakan selama empat hari. Di era Roma, tembaga
umumnya ditambang di Siprus yang juga asal dari nama logam ini (cyprum, logam
Siprus), nantinya disingkat jadi cuprum. Ikatan dari logam ini biasanya dinamai
dengan tembaga (II).
Ion Tembaga (II) dapat terlarut ke dalam air, dimana fungsi mereka dalam
konsentrasi tinggi adalah sebagai agen anti bakteri, fungisida dan bahan tambahan
kayu. Dalam konsentrasi tinggi maka tembaga akan bersifat racun, tapi dalam jumlah
sedikit tembaga merupakannutrien yang penting bagi kehidupan manusia dan tanaman
tingkat rendah. Di dalam tubuh, tembaga biasanya ditemukan di bagian hati, otak, usus,
jantung, dan ginjal.
Tembaga memiliki elektron tunggal di luar kulit 3d yang terisi Ini agak kurang
umum dgn goloangan alkali kecuali stokiometri formal dalam tingkat oksidasi +1.
Kulit d yang terisi jauh kurang efektifdari pada kulti gas mulia dalam melindungi
elektron s dari muatan inti, sehingga potensial pengion pertama Cu lebih tinggi
daripada golongan alkali. Karena elektron-elektron pada kulit d juga juga dilibatkan
pada ikatan logam, panas penyubliman dan titik leleh tembaga juga jauh lebih tinggi
dari pada alkali. Tembaga mudah larut dalam asam nitrat dan dalam asam sulfat
dengan adanya oksigen. Ia juga larut dalam larutan KCN atau amonia dengan adanya
17

oksigen seperti dicirikan pada potensialnya. Kebanyakan senyawa Cu(I) cukup
mudah teroksidasi menjadi Cu(II), namun oksidasi selanjutnya menjadi Cu(III) sulit.
Terdapat kimiawi larutan Cu(II) yang dikenal baik, dan sejumlah besar garam
berbagai anion didapatkan, banyak diantaranya larut dalam air, menambah
perbendaharaan kompleks. Sebelum dibahas mengenai kimiawi tembaga (II) ,
tepatlah untuk mencatat akibat sterokimia dari konfigurasi d
9
dari Cu
2+
. Hal ini
menyebabkan Cu
2+
cenderung mengalami distorsi bila diletakkan dalamlingkungan
simetris kubus. AkibatnyaCu
2+
hampir selalu ditemukan dalam lingkungan yang
memungkinkan distorsi dari simetri yang biasa ini (Cotton dan Wilkinson, 1989).
2.5.1 Tembaga Asetat
Tembaga (II) asetat, atau kupriasetat adalah senyawa kimia dengan
rumus Cu(CH3COO)
2
, atau disingkat Cu(OAc)
2
dimana AcO- adalah ion asetat
(CH3CO2-). Secara komersial senyawa ini biasanya tersedia dalam bentuk hidratnya,
yang mengandung dua molekul air. Cu(OAc)
2
berwujud padatan kristal berwarna
hijau gelap, sedangkan hidratnya Cu(OAc)
2
.2H2O berwarna hijau-kebiruan. Sejak
dahulu kala, beberapa senyawa tembaga asetat digunakan sebagai fungisida dan zat
warna hijau. Sekarang Cu(OAc)
2
digunakan dalam sintesis anorganik dan sebagai
katalis maupun agen oksidator pada sintesis organik. Senyawa ini memiliki warna
nyala biru-hijau. Dulunya senyawa ini disintesis di tempat pembuatan anggur,
mengingat asam asetat merupakan salah satu produk samping fermentasi. Namun
metode ini menghasilkan produk yang tidak begitu murni. Tembaga (II) asetat dengan
18

kemurnian tinggi dapat disintesis di laboratorium melalui serangkaian reaksi (3
tahap). persamaan totalnya adalah sebagai berikut:
CuSO
4
+ 2NH
3
+ 2CH
3
COOH Cu(OAc)
2
(H
2
O)
2
+ (NH
4
)
2
SO
4

Reaksi ini menghasilkan tembaga(II) asetat dalam bentuk hidrat. Untuk
mendehidrasinya, hasil reaksi dipanaskan dalam suhu 100 C di vakum.
Cu(OAc)
2
.2H
2
O Cu(OAc)
2
+ 2 H
2
O
(kirchner & fernando, 1980).
Tembaga(II) asetat lebih banyak digunakan sebagai katalis atau agen pengoksidasi
dalam sintesis-sintesis organik. Contohnya Cu(OAc)
2
digunakan untuk memasangkan
dua alkuna terminal (alkuna yang memiliki ikatan rangkap 3 pada atom C ujung)
untuk membentuk 1,3-diuna
2Cu (OAc)
2
+ 2 RCCH 2 CuOAc + RCC-CCR + 2 HOAc
Reaksi tersebut berjalan melalui zat antara tembaga(I) asetilida (Cu
2
C
2
), yang
kemudian teroksidasi menjadi tembaga (II) asetat menghasilkan radikal asetilida
(Vogel & Srogl, 2005).

2.6 Sintesis Karbon nanofiber
Ada metode yang berbeda dari sintesis karbon nanofiber (CNF). Yang paling
umum adalah perlakuan termal serat polimer dan pengendapan uap secara kimia
(CVD). Metode sintesis karbon nanofiber (CNF) ini hanya digunakan dalam skala
19

laboratorium. Salah satu metode yang paling menjanjikan dalam pembuatan karbon
nanofiber (CNF) adalah elektrospinning, metode elektrospinning ini mampu
memperoleh nanofiber terus-menerus dalam skala yang besar dan mudah penyesuaian
seperti, diameter serat dari nanometer ke micrometer, orientasi serat, dan distribusi
komponen yang berbeda dalam struktur (Kim et al., 2011).
2.6.1 Teknik Elektrospinning
Elektrospinning menggunakan sumber elektrik untuk membentuk suatu garis-garis
halus (fiber) dalam ukuran nano atau mikro dari suatu cairan. Proses ini sangat
menarik untuk membuat biomaterial polimer menjadi nanofiber. Teknik ini juga
digunakan untuk mengontrol tingkat ketebalan dan komposisi nanofiber serta
porositasnya dengan suatu cara yang relatif sederhana. Dalam proses elektrospinning,
rentang ukuran serat ini berkisar antara 50 nm-1000 nm, sedangkan untuk ukuran
yang lebih besar dapat diperoleh dengan cara menghubungkan suatu tegangan dengan
larutan polimer (Ding, 2008).
Pembuatan nanofiber dapat dilakukan dengan cara memilih system pelarut yang
sesuai
Tabel 2.1 Pelarut polimer yang bisa digunakan untuk nanofiber
POLIMER PELARUT
Nilon 6 dan nilon 66 Asam Formiat
Polyacrylonitrile Dimethyl formaldehyde
PET Trifluoroaceticacid/Dimethyl chloride
PVA Air
20

Polystyrene DMF/Toluene
Nylon-6-co-polyamide Asam Formiat
Polybenzimidazole Dimethyl acetamide
Polyramide Asam Sulfat
Polyimides Fenol
(Huang, 2006)
2.6.1.1 Prinsip Elektrospinning
Prinsip kerjanya ialah larutan polimer atau lelehan polimer disiapkan pada
tabung semprot (syringe) dengan kecepatan penyemprotan yang dapat diatur oleh
pompa secara konstan (metering pump). Polimer dilewatkan melalui lubang spinneret
(Pancaran) dan selanjutnya ditarik menggunakan energi elektrostatik dengan
tegangan listrik arus searah (direct current / DC) yang berkekuatan sekitar 30
KVA dan seratnya ditampung pada Collector screen (Peter et al., 2004).
Struktur dan bentuk serat nano yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh
parameter bahan, proses, dan kondisi ambient, seperti tegangan listrik yang
digunakan, jarak antara pancaran dan collector, konsentrasi larutan polimer,
sifat konduksi dan faktor penguapan dan pelarutnya. Selain itu, yang juga dapat
berpengaruh ialah diameter lubang pancaran, suasana gas disekitar serat, sifat
konduktivitas collector (Raghavendra et al., 2005).
2.6.1.2 Parameter Elektrospinning
Parameter yang paling penting yang mempengaruhi proses elektrospining dapat
dibagi menjadi tiga kategori utama yaitu 1) karakteristik larutan (termasuk viskositas
21

larutan atau konsentrasi, kerapatan muatan larutan, tegangan permukaan, berat
molekul polimer, momen dipol, dan konstanta dielektrik), 2) kontrol variabel
(tegangan, jarak dari ujung spinneret ke kolektor, laju alir, kolektor dan desain ujung
jarum), 3) faktor lingkungan (suhu, kelembaban, kecepatan udara). Cara terbaik untuk
mendapatkan keseragaman, serat yang halus dengan mencoba men-spin dengan
variasi parameter sampai tercapai kesempurnaan. Pengaruh parameter pada
elektrospining terhadap ukuran serat dan morfologi dijelaskan di bawah ini ( Doshi,
1995).

2.6.1.3 Karakteristik Larutan
Karakteristik konsentrasi larutan polimer berbanding lurus dengan viskositas
larutan, yang memiliki pengaruh terbesar pada ukuran dan morfologi dari serat
electrospun. Pada pengalaman sebelumya elektrospinning polimer menunjukkan
bahwa konsentrasi rendah mengarah pada cacatnya pembentukan nanofiber seperti
manik-manik dan tetesan karena viskositas yang terlalu rendah untuk membuat serat
tipis yang kuat. Akibatnya, seratnya tidak cukup membentang ke kolektor, melainkan
disemprotkan ke atasnya. Hal ini juga dimungkinkan beberapa pelarut sampai ke
kolektor dan menyebabkan serat basah sehingga membentuk persimpangan dan
bulatan. Peningkatan viskositas larutan secara signifikan mengurangi cacat ini,
menghasilkan serat yang lebih seragam. Namun, larutan terlalu kental proses
elektrospin tidak mungkin bisa dilakukan karena terjadi penyumbatan di ujung jarum
22

(pelarut menguap lebih cepat). Diameter serat elektrospun juga dipengaruhi oleh
konsentrasi polimer. Viskositas yang terlalu tinggi dari larutan menghasilkan serat
yang lebih tebal. Larutan yang konduktivitas atau kerapatan muatannya lebih tinggi
umumnya membantu untuk menghasilkan serat yang lebih seragam sehingga cacat
lebih sedikit. Konduktivitas dapat ditingkatkan dengan penambahan volatil garam
(tidak akan tinggal dalam produk akhir), alkohol , atau surfaktan ( Lin et al., 2004).
2.6.1.4 Kontrol Variabel
Tegangan yang diberikan memiliki dampak yang signifikan terhadap struktur serat
halus. Pertama dan yang paling penting dari semua, medan listrik harus cukup kuat
untuk mengatasi tegangan permukaan untuk menginduksi spining. Di sisi lain,
spining pada tegangan rendah memungkinkan untuk menghasilkan serat berbentuk
manik bebas. Tegangan yang lebih tinggi menyebabkan pancaran dari permukaan
cairan dalam ujung (tanpa kerucut Taylor sedang terbentuk) menghasilkan manik-
manik ( Matthews et al., 2002).
Peningkatan lebih lanjut dalam medan listrik bahkan dapat dibagi menjadi
beberapa pancaran. Laju aliran yang lebih rendah memungkinkan mendapatkan serat
seragam dengan diameter yang lebih kecil, sementara laju aliran yang terlalu tinggi
menghasilkan serat manik-manik karena ketidakmampuan pelarut menguap sebelum
mencapai kolektor. Jarak antara ujung dan kolektor (jarak antara dua elektroda) harus
cukup untuk membiarkan serat mengering sebelum mencapai tujuan akhir yaitu
mencapai kolektor. Jarak juga mempengaruhi bentuk dan diameter serat yang
23

diperoleh. Jarak paling cocok harus ditemukan dengan eksperimen untuk setiap
pengaturan elektrospinning. Desain dari ujung jarum dan kolektor juga memainkan
peran penting dalam elektrospinning. Keanekaragaman saat ini memungkinkan
mendapatkan serat dengan struktur benar-benar unik. Misalnya, koaksial spinning
dengan dua-kapiler spinneret memungkinkan untuk menghasilkan serat berongga.
Spinneret dengan multiple tips dapat menghasilkan serat dengan rasio bobot berbagai
polimer dengan control distribusi. Kolektor logam dengan permukaan yang konduktif
umumnya membantu untuk membentuk serat dengan struktur yang seragam tanpa
menyusut atau pembengkakan. kolektor non-konduktif dapat menyebabkan tolakan
antara serat yang dihasilkan dengan rendahnya kerapatan pengemasan ( Dalton et al.,
2005).
2.6.1.5 Faktor Lingkungan
Beberapa penyelidikan sebelumnya menunjukkan bahwa diameter serat
berbanding terbalik dengan suhu. Hal ini dapat dijelaskan oleh hubungan antara suhu
dan viskositas dari suatu larutan. Meningkatkan kelembaban menghasilkan
penampilan melingkar pori-pori kecil di permukaan serat (Casper et al., 2004).
2.6.2 Karbonisasi Nanofiber
Karbonisasi adalah perubahan prekursor organik menjadi bahan yang
mengandung karbon. Prekursor dipanaskan dalam lingkungan inert. Suhu dapat
bervariasi tergantung sifat prekursor tertentu, terkadang mencapai 1.300
0
C. Sebagai
hasilnya, setelah proses yang mencakup reaksi material organik berubah menjadi
24

residu karbon yang berharga, sementara senyawa volatil keluar dari sistem.
Kandungan residu karbon ini berbeda tergantung sifat prekursor dan suhu pirolisis,
tetapi biasanya dalam kisaran 90-99 wt %. Aspek penting dari karbonisasi adalah
hasil karbon, yang merupakan rasio antara berat material karbon setelah dan sebelum
karbonisasi. Hasil ini dipengaruhi oleh tingkat suhu ruangan, suasana karbonisasi dan
tekanan. Biasanya menghasilkan karbon tidak melebihi 60 %. Untuk menghindari
gangguan dan pecahnya jaringan karbon difusi senyawa volatil harus lambat. Durasi
karbonisasi tergantung pada struktur yang diinginkan produk, jenis prekursor, dan
ketebalan bahan. Pada akhir karbonisasi karbon amorf diperoleh. Difraksi sinar-X
menunjukan bahwa urutan panjang kristal dan deviasi kerapatan jarak antar atom,
atom karbon dari kristal grafit yang baik lebih dari 5% di kedua bidang basal dan
antara bidang-bidang yang lain. Untuk mendapatkan sebuah struktur karbonisasi
karbon seharusnya dilakukan pada tekanan tinggi atau dengan menggunakan katalis
(Kuzmenko, 2012).
2.7 Karakterisasi Karbon Nanofiber
2.7.1 SEM
Mikroskop elektron adalah alat deteksi yang menggunakan sinar elektron
berenergi tinggi untuk melihat objek pada skala yang sangat kecil. Scanning electrone
microscope (SEM) memberikan penjelasan yang detail dari permukaan, memberikan
informasi mengenai ukuran dan bentuk yang homogen atau tidak dari magnetik
nanopartikel. Pemercepat elektron (electron gun) menghasilkan pancaran elektron
monokromatis. Lensa pemfokus pertama menghasilkan pancaran dan batas arus, pada
25

celah lensa berfungsi untuk mengurangi pembelokan sudut. Lensa pemfokus kedua
membentuk pelemahan (pancaran sinar koheren), celah lensa dikendalikan untuk
mengurangi pembelokan sudut dari pancaran lensa pertama. Pancaran yang
dilewatkan lensa kedua dan mengalami proses scan oleh koil penyearah untuk
membentuk gambar dan diteruskan ke lensa akhir untuk difokuskan ke sampel.
Interaksi pancaran elektron dengan sampel dan elektron yang dipantulkan diterima
oleh detektor. Detektor akan menghitung elektron-elektron yang diterima dan
menampilkan intensitasnya ( Affandi, 2006).
2.7.2 TEM
Transmission electrone microscope (TEM) adalah sebuah mikroskop elektron
yang cara kerjanya mirip dengan cara kerja proyektor slide, di mana elektron
ditembuskan ke dalam obyek pengamatan dan pengamat mengamati hasil
tembusannya pada layar. Mikroskop transmisi elektron saat ini telah mengalami
peningkatan kinerja hingga mampu menghasilkan resolusi hingga 0,1 nm (atau
1 angstrom) atau sama dengan pembesaran sampai satu juta kali. Meskipun banyak
bidang-bidang ilmu pengetahuan yang berkembang pesat dengan bantuan mikroskop
transmisi elektron ini. Adanya persyaratan bahwa "obyek pengamatan harus setipis
mungkin" ini kembali membuat sebagian peneliti tidak terpuaskan, terutama yang
memiliki obyek yang tidak dapat dengan serta merta dipertipis. Karena itu
pengembangan metode baru mikroskop elektron terus dilakukan (Nickel, 2000).

26

2.7.3 XRD
Penentuan struktur kristal di gunakan XRD (X-ray Diffraction) untuk menentukan
kisi kristal pada sampel. Struktur kristal terdiri dari bagian yang simetri sepanjang
bidang, sumbu atau pusat perpotongan dengan bidang pada sumbu simetri di
definisikan sebagai nilai resiprok dari perpotongan, hkl, yang dikenal sebagai indeks
miller. Sinar-X ditembakan pada material sehingga terjadi interaksi dengan elektron
dalam atom. Ketika foton sinar-X bertumbukan dengan elektron, beberapa foton hasil
tumbukan akan mengalami pembelokan dari arah datang awal. Jika panjang
gelombang hamburan sinar -X tidak berubah (foton sinar-X tidak kehilangan banyak
energi) dinamakan hamburan elastik (hamburan Thompson) dan terjadi transfer
momentun dalam proses hamburan. Sinar-X ini yang digunakan untuk pengukuran
sebagai hamburan sinar-X yang membawa informasi distribusi elektron dalam
material. Gelombang yang terdifraksikan dari atom-atom berbeda dapat saling
mengganggu dan distribusi intensitas resultannya termodulasi kuat oleh interaksi ini.
Syarat terjadinya difraksi harus memenuhi hukum Bragg yaitu : 2d sin = n . Jika
atom-atom tersusun periodik dalam kristal, gelombang terdifraksi akan terdiri dari
interferensi maksimun tajam (peak) yang simetri, peak yang terjadi berhubungan
dengan jarak antar atom (Affandi, 2006).



27

Anda mungkin juga menyukai