0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
212 tayangan8 halaman

Konsep Korpus

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1/ 8

Untuk versi lain tulisan ini

Untuk versi lain tulisan ini, dengan judul "Korpus dalam sastra Jawa", lihat Edi Sedyawati (ed.) Sastra Jawa ; suatu tinjauan umum, pp. 413-423. (Jakarta: Pusat Bahasa & Balai Pustaka, 2001). Karena beberapa perubahan dan perbaikan, maka pengarang menganggap "edisi maya" yang sedang anda baca sebagai versi yang paling andal dan lengkap. Oleh karenanya, para pembaca dipersilakan merujuk pada versi maya saja dalam acuan/sitasi ilmiah.

KONSEP KORPUS
DAN PENGKAJIAN TEKS JAWA
Tim Behrend, University of Auckland

TEKSTUALITAS
Sastra Jawa pada zaman pra-cetak, khususnya dalam kurun waktu tahun 1500-1900an, bersifat dinamis, plastis, labil, berubah-ubah baik secara tekstual maupun naratif. Naratif-naratif yang membentuk khazanah kesusasteraan Jawa pada era tersebut diturunkan dari generasi ke generasi, dan diedarkan dari tempat ke tempat, dalam wujud lahiriah kata-kata yang digoreskan/dituliskan oleh tangan orang pada lembaranlembaran daun, kertas, dan bahan alas lainnya. Namun sebagian besar dari naratif atau ceritera tersebut, bukanlah benda-benda linguistik yang tetap atau konkret. Ternyata bahwa yang bersifat kukuh dan tetap dalam sastra Jawa adalah semacam kanon atau gudang kepustakaan konsepsual, terdiri atas sejumlah ide naratif pokok yang terus menerus digubah ulang, dialih-alih, dan disadur sesuai selera dan kepentingan tempat baru, masa baru, dan pemrakarsa baru. Semua ini menyangkut masalah tekstualitas. Yang dimaksudkan dengan istilah tersebut ialah segala hal ihwal yang berkenaan dengan proses-proses produksi, distribusi, penggunaan, beserta fungsi pada alam teks, pernaskahan, karang mengarang, dan salin menyalin. Adapun tekstualitas Jawa dimaksud, berbeda secara mendasar dengan tradisi Klasik dan Al-Kitab di Eropa ataupun tradisi Qur'an dan kesusasteraan dunia Islam. Dalam alam tekstualitas non-Indonesia tersebut, keutuhan dan otoritas sebuah teks dapat dikatakan hadir secara mutlak dalam tekstur dan topologi perkataannya, hal mana terungkap dalam ilmu filologi, kritik teks, dan tahqiq an-nushush,. Seorang penyalin yang dipercayakan tugas menurunkan sebuah karya, harus tunduk kepada otoritas penuh teks yang ditanganinya. Ia hanya dapat menunaikan tugasnya dengan mempertahankan dan melestarikan permukaan teks semata-mata, aksara demi aksara, kata demi kata. Dalam tradisi bertekstualitas otoriter dimaksud, si penyalin ibarat seperangkat mesin fotokopi atau scanner komputer: pekerjaannya mengcapture dan mereplikasikan teks asli melulu mimindainya secara sempurna. Proses penurunan/penindaan tidak boleh menimbulkan unsur atau ciri individualitas, personalitas, atau historisitas dalam teks. Ciri-ciri tersebut boleh saja muncul, tetapi bukan pada serat-serat permukaan teks (perkataan), melainkan dalam pengejawantahan kodikologis dan paleografisnya, yakni dalam kekhasan benda naskah. Untuk jelasnya: naskah itu dapat kita sifati sebagai tempat maujud bertukar-tukar yang turun temurun mewadahi teks mutlak yang mujarad dan tak berubahubah. Sekalipun abstraksi, teks mujarad itu secara langsung tetap saja terkait dengan serentetan simbol (coretan, aksara, kata), sebagaimana ditata dan disusun semula oleh sang pengarang. Susunan rentetan simbol dalam bentuk maujud apa saja, harus menyerupai dengan persis rentetan simbol dalam perwujudan asli itu. Penyeleweng-an apapun dari bentuk asli, dengan sendirinya sudah merupakan cacad, kekhilafan, kekeliruan ialah korupsi. Kenyataan ini tidak berarti bahwa sebuah teks tidak memiliki makna abstrak di balik permukaan verbalnya; namun makna itu terikat seeratnya pada pola susunan kata-kata teks, dan hanya terakses melalui gapura tunggal perkataan itu saja. Atau dengan meminjam peristilahan filsafat Arab, dht sebuah teks/karya hanya termanifestasikan melalui tajall susunan kata-kata tertentu. Karena variasi dalam tradisi tekstual otoriter itu tidak lain dari penyelewengan, dan karena tangan manusia tidak sanggup membuat replikasi sempurna (kecuali dalam kondisi yang amat terbatas dan terkontrol), secara praktis sebuah salinan mustahillah persis sama dengan eksemplar langsung, apalagi teks induk aslinya. Oleh karenanya, setiap naskah, banyak atau sedikit, merupakan upaya yang gagal. Telah berabad lamanya dikembangkan peralatan serta ilmu untuk memperbaiki kegagalan itu melalui pengidentifikasian kekhilafan dan penghapusannya dari teks turunan. Proses demikian dianggap mujarab untuk memulihkan wujud teks asli (atau teks "murni") yang telah hilang oleh tumpukan "korupsi". Ilmu itulah ilmu filologi. Kata "filologi" dapat kita jarwakan secara bebas, menurut etimologi bahasa Yunani, sebagai "kesetiaan/cinta pada perkataan [yang benar]".

Tekstualitas Jawa

file:///D|/tempprintsscans/tim%20behrend/Untuk%20versi%20lain%20tulisan%20ini.htm (1 of 8) [27/07/2004 5:52:58 p.m.]

Untuk versi lain tulisan ini

Lain lagi halnya tekstualitas Jawa. Sebelum pengadaan teknik percetakan dengan fon aksara Jawa rekaan tukang Belanda serta persepsi Eropaan tentang keakuratan tekstual yang menyertai/menyusulinya jatidiri sebuah teks tidaklah dianggap hadir dalam (ataupun melengket pada) permukaan orto-leksikografis dan kammiyat-kayfiyyat perkataan tertentu, melainkan pada suatu inti atau benih pra-tekstual. Teks hakiki tersebut berpotensi diwujudkan dalam beragam macam bentuk kesastraan (maupun bentuk lain). Huruf, kata, tembang, alur cerita, dan gaya naratif adalah unsur-unsur insidental yang timbul berkenaan dengan pewujudannya, hingga setiap kali benih sebuah teks mujarad tertanam dalam ladang naskah baru, wujudnya wajar-wajar saja berlainan dengan perwujudan yang mendahului atau menyusulinya. Pergerakan dinamis dan keragaman bentuk pada lapisan permukaan sebuah karya tidaklah mengganggu keutuhan teks mujaradnya. Hal ini karena keterkaitan antara teks mujarad dan teks maujud pada lembaran naskah tidak menggantungi serba-serbi lahiriah perkataan dan susunannya. Untuk melukiskan secara lebih terang hubungan antara si benih pra-verbal (teks mujarad) dan teks nyata (maujud) dalam diskusi ini, saya akan menggunakan beberapa istilah pemerjelas dari perbendaharaan kata filsafat Islam, khususnya yang dipakai oleh Nru 'l-Dn al-Rnr dalam karyanya terkenal Hujjatu'l Siddq li Daf ci 'lZindq. Untuk "benih pra-verbal", yaitu kebulatan dan keutuhan teks sejati, saya menamainya teks ma'rd (), yaitu "wujud teks yang mengandung segala potensi", sedangkan "teks nyata" saya sebutkan teks 'arad (), "perwujudan nyata salah satu potensi yang ada pada teks ma'rd". Setiap aksara, kata, gatra, pada, adegan, episode, tokoh, warna, nuansa, dan ide yang terwujud dalam sebuah teks 'arad telah hadir secara isti'dad dalam teks ma'rdnya. Keterangan dan penggunaan istilah ini hanya dimaksudkan sebagai alat deskriptif saja untuk mempermudah pemahaman akan kaidah tekstualitas Jawa dan tidak menandai adanya segi ontologi terkandung di dalamnya.
Adapun kalau tekstualitas klasik Eropa kita bandingkan dengan tekstualitas Jawa pra-cetak, maka boleh dikatakan bahwa "teks ma'rd" dalam tradisi Eropa kurang lebih identik dengan "teks 'arad": ia hanya memiliki satu bentuk potensial, dan ketidaktepatan hakiki kegiatan penyalinan niscaya menimbulkan ketidakpasan yang signifikan dalam setiap salinan. Ketidakpasan tersebut akan semakin menjadi-jadi melalui setiap generasi penurunan yang memperselisihkan teks naskah tertentu dari teks asli. Tetapi sebaliknya, di Jawa teks ma'rd berpotensi melahirkan berbagai teks 'arad, dan konsep ketidaktepatan atau ketidakpasan dalam menurunkan sebuah teks tidak menjadi soal yang penting, biarpun berselisih jauh dengan babon aslinya. Para "pekarya teks" di Jawa (pengarang, penyalin) perlu menyentuhi, menggumuli, menyelami, dan menghayati alam teks ma'rd yang hendak dikaryainya. Dalam arti tertentu, menggumuli teks ma'rd berarti pula membauri semua pekarya tekstual pendahulu yang pernah mencurahkan budi dan tenaganya sewaktu mengangkat teks itu sebelumnya. Terlepas dari pertimbangan mekanis, mengkaryakan teks adalah berupaya rohani yang sejalan dan sejajar dengan upaya batiniah lain seperti bersembah-yang, bertafakur, bersemadi. Si pekarya menerima sawab atau berkat sepantasnya, baik yang bersumber pada kekuatan inheren teks sendiri, baik yang berasal dari sumbangan spirituil/magis pekarya sebelumnya, baik yang berasal dari kegiatan berkarya pribadinya. Sawab yang diperoleh si pekarya sebagai perorangan membawa juga manfaat bagi sang pemrakarsa (sesepuh, guru, ulama, bupati, raja) atau orang lain yang berkepentingan atau tertunjuk dalam niat pekarya (misalnya anak beranak, sesama warga desa, ayam laga yang mau diperadukan). <1> Menggumuli teks ma'rd oleh pekarya tekstual, mengakibatkan terciptanya lafal teks 'arad berbentuk baru. Perbedaan bentuk manifestasi baru itu boleh sangat mendasar, atau boleh juga hanya insidental saja, berupa misalnya variasi ejaan, pembolakbalikan urutan kata, pemakaian sinonim dasanama, atau gejala kecil-kecilan lain. Tetapi bagaimanapun, menggumuli teks ma'rd itu mempunyai beberapa dampak yang jelas, yaitu (1) memperlebar cakrawala potensi-potensi yang ada pada teks ma'rd itu; (2) memperbaharui kekuatan spirituil teksnya; dan (3) sekaligus mendatangkan sawab daripadanya bagi pihak pengarang atau penyalin.
1 Niat pengarang atau penyalin terkadang dinyatakan secara eksplisit di dalam teks, tetapi seringkali tidak disebut-sebut.

Walaupun pengertian ini, setahu saya, tidak pernah dibahas atau diuraikan secara terang-terangan oleh pengarang (maupun peneliti) sastra Jawa, namun di mana-mana ada bisikan dan sasmita yang cukup jelas tentang konsep sawab dan juga mengenai adanya hubungan "sepergaulan" antara si penyadur baru dengan sang penggubah pendahulunya. Misalnya dalam ungkapan di bawah, cuplikan bait pembuka sebuah Serat Jatiswara asal Gresik yang disalin sekitar awal abad ke-18: wwang tki milya angawi, carita anyar winarna, [ . . .], apuranen 2 Lihat naskah Berlin Staatsbibliothek, ing sang kawi, dning wang paksa utama, angiket carita reko, amindha ayun wikana, dadya ngapus carita, milya Schoemann II.18, ff 1r. ngiket cariteku <2>, maka dengan jelas, si pengarang menyatakan bahwa dia ikut serta dalam proses lama yang dipelopori oleh seorang (atau sejumlah) kawi lain. Dia tidak merasa sedang berkarya sendiri, melainkan ikut berkarya bersama pendahulu-nya yang pernah menggumuli teks ma'rd yang sama. Adanya konsep kekerabatan antara semua pengarang Jawa juga tertunjuk dalam cerita yang terdapat dalam beberapa teks, yang menceritakan tentang se-buah Pulo Kahyangan, tempat bersemayamnya semua bujangga besar dari masa kejayaan sastra Jawa. <3>
3 Lihat misalnya Serat Jatiswara, naskah Schoemann II.18, f.109v-110r : egar manahe sang wau brangti, aningali jurang megat dalan, wana apadhang senene, pan sumengka tumurun, jurang ajro sela ngungkuli, ciptanira pan sirna, lampahe den seru, mangkin angungang talunan, wana padhang babadan anar kaaksi, andulu desa praja // jatiswara lampahe lumaris, duk andulu

file:///D|/tempprintsscans/tim%20behrend/Untuk%20versi%20lain%20tulisan%20ini.htm (2 of 8) [27/07/2004 5:52:58 p.m.]

Untuk versi lain tulisan ini

Kembali pada masalah tekstualitas Jawa, dan khususnya masalah pem-buatan sebuah naskah 'B' sebagai hasil penurunan dari sebuah naskah 'A', metafora yang cocok untuk menggambarkan proses transmisi teks bukanlah penyalin selaku perangkat keras foto-replikasi ala tradisi klasik Eropa, melainkan sang pekarya tekstual laksana seorang dalang yang menghidupkan lakon tertentu (teks ma'rd) dengan sabetan, antawacana, dan iringin gamelan serba baru (teks 'arad), tetapi senantiasa setia pada pakem. Perbedaannya, ki dalang mewujudkan sebuah lakon wayang berdasarkan proses dan tradisi lisan sebagai pertunjukan yang dihadiri dan ditontoni khalayak ramai di tempat terbuka, sedangkan dinamika penciptaan dan penyalinan kesastraan tercapai dalam suasana khusyuk skriptorium, tanpa pemirsa atau hadirin lain, dan melalui perantaraan fisik sebuah teks 'arad lain yang konkret dan nyata, ialah teks eksemplar. Atau metafora lain, seorang penyalin dalam tradisi Klasik boleh diibaratkan dengan budak yang terbelenggu oleh teks induknya, sehingga harus tunduk dan taat sepenuhnya kepadanya, sedangkan penyalin dalam tradisi Jawa mirip se-orang duta plenipotentiary yang berkuasa penuh bertindak atas dan demi teks yang diwakilinya.

ing pulo kayang-an, aimbang imbang gununge, umahe para empuh, saurute ing arga sari, mapan sakeh molana, pan empu puniku, angawi sakehing tembang, sira empu wastane sawiji-wiji, ingkang angawi prawa.

Hampir semua teks Jawa dalam era dimaksud berbentuk puisi dan terdiri atas se-rangkaian puh atau pupuh, masing-masing terbentuk dari sejumlah stanza tembang. Sebuah teks mungkin tersusun dalam katakan saja tiga puluh puh yang mempergunakan delapan macam tembang, sebagian dalam satu atau dua puh saja, sebagian lain dalam beberapa puh. Keplastisan radikal tradisi tertulis Jawa berarti bahwa teks berkerangka metris tadi tidak bakal bertahan lama tanpa mengalami perubahan. Penggarapan ulang teks itu seminimalnya akan menyangkut penyajian kembali arus cerita yang identik, dengan tokoh yang sama, tetapi dengan memakai susunan puh yang sebagian berbeda, sebagian sama. Teks dapat diolah jauh lebih drastis lagi, misalnya dengan penambahan dan/atau pengurangan tokoh dan episode tanpa jalan cerita diubah secara radikal. Boleh jadi juga bahwa seluruh arus cerita, atau tekanan makna (amanat, tujuan sinandi, pesan tersirat), atau detail penokohan diubah; sering pula cuplikan atau saduran besar ataupun kecil dari cerita lain disisipkan ke dalamnya; dan masih ada banyak lagi jenis perubahan yang dapat dipakai dalam pembaharuan sebuah teks. Walaupun kegiatan pokok seorang pe-ng-arang ialah menggumuli teks ma'rd yang bersifat pra-verbal dan mahia itu, namun modalitas praktis dan teknis pergumulan itu tetap berkomponen dasar tekstual dalam bentuk naskah babon dan naskah-naskah lain yang mungkin dirujuknya pada waktu berkarya. Deng-an perkataan lain, pergumulan pekarya dengan teks ma'rd selalu diantarai secara fisik maupun linguistik oleh naskah tertentu yang berisikan lafal teks 'arad tertentu.

FILOLOGI KHAS JAWA


Beranjak dari konsep dan pengertian tersebut, maka suatu filologi yang dirumuskan sesuai kaidah tekstualitas Jawa, akan berbeda jauh dengan filologi klasik. Tujuan filologi klasik ialah menemukan dan menegakkan garis kekuasaan/keturunan yang menjurus kembali pada sebuah "teks asli" dengan jalan menkosolidasikan keanekaan yang bermunculan dalam teks yang tertera pada naskah-naskah yang masih bertahan. Peneliti membidikkan upayanya pada titik awal penciptaan teks, dan setiap variasi yang ditemukannya, perlu diukur, diuraikan dan dimanfaatkan untuk mempertajam fokusnya pada saat big bang penjadian teks. Sebaliknya, filologi Jawa diminta mempertahankan keserbaan yang ditemukan dalam kadar sangat tinggi, dan mempergunakannya untuk memeta-metakan topografi tekstual yang timbul karena pergumulan sejumlah pekarya sepanjang masa dengan sebuah naratif pokok. Karena diilhami pengertian akan sifat tekstualitas Jawa, maka sang filolog berjuang untuk melapangkan, bukan menyempitkan, ajang penyelidikan teks yang dijadikan objek studinya, dan sekaligus mencoba menyoroti lokasi tiap-tiap gejala 'arad yang bersumber pada benih ma'rd yang sama. Maka dari itu, pengkajian tekstual ala Jawa selalu dan semestinya melingkup pula pengkajian sejarah kesusasteraan. Titik temu antara kedua pendekat-an tersebut terletak dalam konsep korpus, yaitu kebulatan lahiriah dari sebuah teks ma'rd yang sempat terwujud dalam bentuk fisik. Pengkajian tekstual mengidentifikasian bagian-bagian, memerinci detail-detail, dan menawarkan kerangka hipotetis garis hubungan yang merangkumkan segala anasir kebulatan itu, sedangkan pengkajian literer/historis menanjakkan detail, suku, dan kerangka itu pada landasan sejarah dan budaya.

Perstilahan Dasar Sekitar Konsep Korpus


Supaya jelas, perlu kita terangkan dahulu beberapa istilah teknis yang berkait-an dengan pengertian filologi Jawa. Keterangan singkat di bawah disediakan sebagai definisi sementara saja, atau sekedar anjuran praktis untuk penggunaan istilah bersangkutan. Perlu diperhatikan, ada banyak variasi dalam pemakaian istilah tersebut oleh para sarjana dan peneliti di bidang studi sastra Nusantara, apalagi di bidang lebih luas seperti studi sastra dan budaya secara umum. Istilah dan definisi yang kami kemuka-kan dimaksudkan untuk memperlancar dan memperjelas diskusi dalam makalah ini, tetapi masih perlu diperhalus lagi untuk berfaedah di bidang studi sastra Nusantara pada umumnya. Perlu kami terangkan pula, bahwa lingkup berlakunya definisi dan diskusi di bawah dibatasi khusus untuk dunia sastra Jawa tertulis pada periode 1500 sampai dengan 1900. Konsep dan istilah paling penting karena mendasari seluruh diskusi lain ialah teks sendiri. Kata nomina asal bahasa Latin itu dipakai dalam beberapa arti yang saling berkaitan. Pada dasarnya, teks diartikan sebagai tanda tertulis. Kalau didefinisikan dengan lebih tepat, teks menunjuk seuntai tanda bermakna (coretan, huruf, aksara, kata) tertulis di atas sebuah alas fisik. Dalam konteks ini pertanyaan tentang makna khusus dari tanda itu, asalnya, isinya, maupun fungsinya tidak penting. Istilahnya semata-mata menunjuk kepada adanya simbol-simbol yang mengandung makna, yang tercantumkan pada alas tulis. Dari syarat "mengandung makna", dapat kita simpulkan pula bahwa konsep teks melingkupi sifat kesengajaan, tujuan, dan maksud: coretan sembarangan bukanlah teks; coretan yang ditata agar membawa makna, itu barulah teks.

file:///D|/tempprintsscans/tim%20behrend/Untuk%20versi%20lain%20tulisan%20ini.htm (3 of 8) [27/07/2004 5:52:58 p.m.]

Untuk versi lain tulisan ini

Orang yang mengangkat alat dan bahan guna membuat teks kita namai penyalin, atau si carik. Penggunaan kata teks tidak terbatas pada "seuntai tanda tertulis yang mengandung makna" saja misalnya dalam ungkapan "teks pada halaman itu" atau "teks yang terpahat pada batu tulis". Kata tersebut juga dipakai untuk menandai suatu kesatuan terstruktur, berisikan ekspresi naratif atau perawian, yang terdiri atas untaian kata (dan terkadang simbol lain) yang (1) diciptakan pada tempat dan waktu tertentu untuk tujuan tertentu, dan (2) tercatat pada tempat dan waktu tertentu untuk tujuan tertentu. Kesatuan ini sering meny-andang nama atau judul tersendiri yang mencerminkan isi-nya, misalnya "Sumpah Pemuda" atau "Salah Asuhan" ataupun "Konsep korpus dan pengkajian teks Jawa". Yang menciptakan teks, ialah penggubah atau pengarang, di sini saya sebutkan bujangga, sedangkan pencatat atau penyalin teks dalam konteks lebih luas ini tetap saya panggil carik. Pekerjaan seorang bujangga ialah menciptakan atau menggubah teks; tugas sang carik, menurunkannya. Dalam wacana filologis sebaiknya kata menulis/penulis/penulisan dihindarkan, atau hanya dipakai dalam konteks yang tidak meragukan, sebab maknanya mencakupi kedua-dua proses, penggubahan dan penurunan. Boleh jadi bahwa dalam kasus tertentu si bujangga dan si carik identik, yaitu satu orang yang mengarang dan sekaligus menuliskannya pada lembaran naskah. Tindak karang sendiri, sekalian saja boleh menyangkut tindak salin. Tetapi untuk kepenting-an artikel ini, ada gunanya kita pisahkan dulu kedua proses tersebut dan membayangkan penggubahan sebagai upaya budi/akal dan penyalinan sebagai upaya tangan. Penyalinan, selaku kegiatan badani, selalu menghasilkan benda fisik, yakni naskah; sedangkan penggubahan, selaku kegiatan budi, menghasilkan sesuatu yang maujud dalam alam pikiran, sebuah konstruksi mujarad yang umumnya dinamakan karya. Sebuah naskah boleh memuat teks sebuah karya, atau berbagai karya, atau sebagian karya. Sebuah karya boleh genap/selesai atau tanggung, tergantung tujuan bujangga dan hasil pengkaryaannya. Sebagaimana diketahui umum, bahan alas naskah terpopuler di Jawa pada masa pra-cetak adalah daun palem (lontar, nipah), lembaran olahan dari kulit kayu (dluwang, dluwang Ponorogo, kertas gendong), dan kertas impor, umumnya asal Eropa. Alat tulis tergantung medium alas, yaitu alat tajam penggores dan zat penghitam untuk bahan daun, dan sejenis kalam dan mangsi untuk bahan dluwang dan kertas. Penyalinan dilakukan dengan berbagai jenis tulisan, termasuk aksara Jawa dalam beragam gaya kedaerahan (termasuk aksara buda/gunung); huruf Arab Jawa dengan tanda baca (pegon) dan tanpa (gundil); Bali; dan Sasak Jejawan. Dalam konvensi moderen, kita terbiasa menghubungkan sebuah judul dengan setiap karya sebagai tanda pengenal untuk identitas teks. Judul karya statis, tidak berubah walaupun dicetak ulang, diedarkan dalam edisi baru, ataupun berganti penerbit. Bahkah karya yang tidak berjudul kita juduli "untitled". Tetapi dalam tradisi Jawa pra-cetak, pembubuhan judul pada sebuah teks atau naskah tidaklah penting. Acuan deskriptif yang menyiratkan isi, atau penyebutan nama seorang tokoh yang menonjol dalam teks, sering terdapat pada bagian awal teks, tetapi bentuknya atau bunyinya boleh saja bersantun-salin bentuk dari naskah ke naskah, sehingga kurang tepat kalau disamakan dengan konsep judul tetap. Tidak jarang beberapa sebutan deskriptif demikian dipakai untuk karya yang sama; sebaliknya nama yang sama terdapat dalam teks beberapa karya yang berbeda-beda. Karena umumnya tidak memiliki nama, dan bahkan nama deskriptif sebuah karya tidak biasa tertulis pada sampul/punggung naskah atau pada "halaman judul" atau tempat lain yang menonjol di dalam naskah, maka kita tidak perlu menghabiskan banyak jerih payah untuk masalah peri-judul dalam pengkajian filologis teks Jawa pra-cetak. Keinginan untuk mencap setiap karya dengan judul tertentu adalah minat (bahkan sebuah obsesi) asing untuk sastra Jawa: tradisi Jawa sendiri tidak peduli judul, dan bahkan kata judul sendiri adalah kata serapan dari bahasa Arab tanpa padanan yang tepat dalam bahasa Jawa kecuali kata-kata umum untuk "nama". Perlu disebutkan bahwa sosiologi produksi tekstual di Jawa biasanya melibatkan figur lain di samping bujangga dan carik dalam proses penggubahan teks maupun penyalin-an naskah, yakni seorang pemrakarsa atau patron, yang dalam bahasa Jawa ditunjukkan dengan istilah kang ayasa. Orang yang memrakarsai komposisi teks tidak mesti sama dengan pemrakarsa naskah-naskah yang memuatnya. Ricklefs dalam karangan tentang sejarah Kartasura. <4> baru-baru ini menyampaikan bahan-bahan penting meng-enai peran kang ayasa dalam hal pensponsoran, pembentukan, penggubahan, dan penurunan teks. Masalah ini juga dulu terangkat dalam diskusi tentang kepengarangan karya-karya yang diatribusikan kepada seorang raja, seperti Pakubuwana IV dan Mangkunagara IV. Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk memajukan pemahaman kita akan peranan pensponsoran oleh kang ayasa dalam proses sosial dan teknis penggubahan dan penurunan teks Jawa. Sebelum kejayaan teknologi percetakan mekanis, semua karya sastra diedarkan secara kirografis, yaitu diturun tangan. Dalam model skematis proses pengedaran, teks sebuah karya disalin dari naskah asli menjadi naskah turunan generasi pertama. Turunan generasi pertama dapat dikerjakan dalam jumlah banyak atau sedikit, puluh-an atau hanya satu. Masing-masing turunan itu kemudian dapat dijadikan induk turunan generasi kedua, dan seterusnya. Setiap carik peserta dalam proses penggandaan berkian-kian ini, dengan leluasa dan sesuai daya kreativitas dan ciptarasa sendiri, boleh saja mengubah, menata, dan memainmainkan kata-kata teks selagi dipindahkannya, kata demi kata, dari naskah induk ke dalam naskah turunan. <5> Dia mungkin akan menyisipkan atau menghilangkan sejumlah bait, menambahkan atau meng-urangi detail pada bagian deskriptif, mengganti nama tokoh, atau mengubah hal-hal lain. Tambah-an lagi, ia niscaya akan membuat kekeliruan, sebagian mekanis (salah salin), sebagian semantis dikarenakan kurang mengerti perkataan pada eksemplar. Ada pula tantangan fisik, misalnya lempir lontar yang hilang, atau halamanhalaman bolong karena infestasi serangga. Dengan demikian, setiap naskah putra demikian istilahnya merupakan variasi teks yang termuat pada sang induk, naskah eksemplar.
4 Lihat terutama, M.C. Ricklefs, The seen and unseen worlds in Java. History, literature, and Islam in the Court of Pakubuwana II, 17261749. Honolulu, University of Hawaii Press in association with Allen & Unwin and the Asian Studies Association of Australia,1998.

5 Pernah diajukan (atau di-singgung) teori

oleh sementara sarjana sastra Jawa, bahwa penurunan naskah tertentu mungkin dikerjakan oleh tim carik, seorang yang membacakan/menembangkan teks dari naskah induk, se-orang lagi yang menuliskannya sesuai pen-dengarannya. Namun bukti akan proses aural tersebut belum ada, sedangkan bukti-bukti pengukuh teori penurunan teks sebagai kegiatan matatangan melulu cukup banyak.

Status dan wibawa naskah putra yang berupa turunan dari induk kramat, biasanya tidak ternilai kramat lagi, atau tidak sekramat babon; juga ada contoh-contoh naskah putra yang sengaja dijadikan istimewa/pusaka atas dasar induk yang biasa. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa inti dan identitas naskah katakanlah wibawa naskah bukanlah sesuatu yang mujarad yang berpindah secara otomatis antara induk dengan putra, melainkan merupakan gejala fisik yang berkaitan dengan kebendaan naskah sendiri.

file:///D|/tempprintsscans/tim%20behrend/Untuk%20versi%20lain%20tulisan%20ini.htm (4 of 8) [27/07/2004 5:52:58 p.m.]

Untuk versi lain tulisan ini

Lain lagi keadaan hal wibawa teks. Menurut kaidah sastra Jawa pra-cetak, otoritas kedua "belah" teks dalam proses penurunan, teks induk dan teks putra, umumnya dianggap setaraf, dengan catatan bahwa setiap naskah, mulai dari otograf sang bujangga sendiri sampai turunan generasi kesekian, banyak atau sedikit, kecilan sampai raksasaan, akan dibelangi kekhilaf-an salah tulis dan lain-lain. Tetapi keadaan ini sangat wajar. Sebagaimana dinyatakan dalam bait-bait pembuka dalam mayoritas naskah Jawa, si carik menganggap dirinya "bodoh", cendurung "keliru" dalam hitung-an dhang-dhing, dan kurang meng-uasai bahasa "kawi". Oleh karena itu dia minta ampun kepada para bujangga pendahulu dan memberi peringatan kepada pembaca yang akan datang, agar jangan tersandung karena kebodohan yang menurun. Tetapi kebodohan atau keteledoran si carik tidak merongrong otoritas atau menggerogoti identitas teks. Karena semua naskah seketurunan mempunyai otoritas tekstual yang kurang lebih sama, maka tidak konsekuen kalau salah satu dari berbagai teks yang ada dibakukan sebagai teks yang lebih "betul" atau "tepat" untuk karya bersangkutan. Bahkan teks yang terdapat pada naskah cikal bakal, babon dari semua turunan (teks "asli"), tidak memiliki kedudukan yang membawahi yang lain dalam hal otoritas varian teks. Kalau ada sesuatu yang boleh dijuluki teks karya tertentu, teks itu ialah jumlah bulat semua teks naskah yang ada, lengkap atau fragmen, diketahui atau tidak. Teks karya bukan objek empiris tertentu yang tertulis di dalam sebuah naskah tertentu, melainkan "pola tertata dari semua varian [karya] tertentu", <6> termasuk pula segala varian yang mungkin atau potensial, sesuai ketentuan tradisi.

6 Erhard Gttgemans. "Fundamentals of a

grammar of oral literature", dalam H. Jason & D. Segal (eds.), Patterns in oral literature. Den Haag, 1977. Hlm. 79.

Prinsip Ketidakpastian
Boleh diumpamakan, ada semacam prinsip ketidakpastian tekstual ala Heisenberg, yang berlaku apabila kita mencoba meneliti sebuah karya secara terinci: semakin kecil skala struktur tekstual yang diamati si filolog dan semakin tepatnya ia berusaha mengukur dan menakarnya, justru semakin merosotnya makna hasil observasinya untuk pemahaman karya bersangkutan sebagai satu kebulatan. Atau analogi lain dari bidang fisika, khususnya dualisme kuantum: sebuah karya bak memiliki sifat "gelombang" dan sekaligus sifat "partikel". Gejala tekstual pada tingkat kata dan stanza ini-itu, seperti halnya mengukur posisi eksak bagi setiap "biji" elektron dalam sebutir atom uranium, berguna dalam memperjelas dinamika partikel-partikel teks, sedangkan membiarkan kata-kata teks mengabur dalam "awan kuantum" akan membantu menerangi dinamika sebuah karya pada skala besar serta interaksinya dengan karya-karya lain. Marilah kita kembali sekarang pada masalah kepengarangan. Sebagaimana dinyatakan di atas, para bujangga Jawa sangat lazim menggubah karya baru atas dasar teks karya lama; teks baru bertumpukan teks naskah lama yang ada pada tangannya. Penyaduran ulang dan adaptasi dimaksud, adalah cara yang pantas dan halal bagi seorang bujangga untuk menciptakan karya baru. Tidak ada kesan penyontek atau plagiator bagi Yasadipura karena berulang kali meng-angkat materi yang sudah pernah atau bahkan sering dikaryakan bujangga lain sebelumnya. Teks yang sudah bereksistensi sebagai karya nyata menjadi milik bersama, dan kaum pekerja teks sangat boleh, bahkan wajib, memelihara-nya bersama secara terus menerus dengan jalan memperbaharuinya dan mendandaninya turun temurun. Selama periode empat ratusan tahun masa sastra Jawa pra-cetak, jumlah karya yang merupakan gubahan ulang atas teks terdahulu jauh lebih banyak daripada karya yang diciptakan sebagai naratif ex nihilo. Proses penciptaan karya baru berakarkan karya terdahulu dapat mengakibatkan terjadinya rumpun karya seperinduk, sebuah famili teks bercabang-cabang yang memiliki silsilah tersendiri dengan garis keturunan lurus ataupun berliku-liku. Lingkaran kerabat tekstual tersebut, ialah jumlah total teks seketurunan yang diperanakcucukan oleh teks purba yang sama, itulah yang saya sebutkan korpus. Dengan demikian hubungan korpus-karya bagaikan hubungan karya-naskah: entiti mujarad yang mengilhami benda-benda nyata. Karya-karya yang membentuk sebuah korpus menyajikan isi/cerita yang lebih kurang sama, mengerahkan sekotak tokoh yang kurang lebih sama, dan memainkannya supaya melakukan hal, dan mengalami peristiwa, yang sejalan bin sejajar. Tidak jarang juga terjadilah sebuah karya yang mengintegrasikan unsur dan teks dari dua karya induk atau lebih, sehingga karya baru itu berkerabat dengan dua korpus. karya majemuk, demikian namanya, mempunyai nilai penting dalam mengkaji korpus-korpus yang dianggotainya, dan menyinari secara khusus dinamika penggubahan dan penurunan teks Jawa pada umumnya. <7> Filolog yang meneliti sekelompok teks seperinduk terbiasa menggunakan istilah resensi atau redaksi dalam arti yang mirip-mirip penggunaan "karya" di atas, dan apa yang saya sebutkan korpus, serupa dengan apa yang umumnya diistilahkan "karya". Istilah redaksi, resensi, dan versi memang bagus karena menandai hubungan dan ikatan antar-karya di dalam sebuah korpus organik, sedangkan kata karya dapat menunjukkan sebuah teks tanpa kerabat tekstual yang diketahui (korpus berkarya/berversi tunggal), dan juga sebuah teks yang mempunyai berbagai hubungan dengan teks-teks lain.

7 Serat Centhini Kadipaten saduran tahun

1814 di Surakarta (inilah Centhini yang umumnya disebut the Centhini) adalah contoh paling terkenal dan paling berlebihan daripada karya majemuk. Telah tergabung di dalamnya aneka ragam jenis dan judul teks lain, termasuk berbagai primbon, pakem wayang, suluk, piwulang, kawruh kalang, jampi-jampian, babad, jangka, sastra wadi, dasanama, fikih, Ambiya, katuranggan, Jatiswara, Cabolek, Pathak, Musawaratan Para Wali, dan lain-lain.

Kita terkadang menetapkan dan menggelari teks tertentu sebagai, misalnya, "de Centhini", atau "the Serat Yusup", atau "Serat Jaka Slewah", seolah-olah teks itu bersifat tunggal, termaktub, jelas, tak goyah. Untuk menekankan prinsip kebhinneka-tunggal-ikaan tekstual yang mendasari identitas karya-karya sastra Jawa, sebaiknya judul ber-the-the-an hanya dipakai untuk menyebutkan kebulatan korpus, sedangkan karya/resensi atau teks naskah selalu terindikasikan dengan predikat deskriptif, misalnya, sebutan Centhini Suryanagaran untuk versi gubahan Pangeran Suryanagara, Centhini Kadipaten untuk gubahan para bujangga di Kadipaten Pakubuwana V, Canthini Edinburgh untuk teks Centhini/Canthini/Candhini dalam lontar PL 77 di Perpustakaan Universitas Edinburgh, dan seterusnya. Istilah sebuah Serat Centhini juga membawa makna yang diinginkan, yaitu bahwa judul dimaksud meliputi sejumlah karya, dan bukan satu saja.

file:///D|/tempprintsscans/tim%20behrend/Untuk%20versi%20lain%20tulisan%20ini.htm (5 of 8) [27/07/2004 5:52:58 p.m.]

Untuk versi lain tulisan ini

Dari segi sejarah kesusastraan, resensi dapat dipandang sebagai tingkatan diskrit dalam perkembangan tekstual sebuah korpus. Penyelidikan komparatif antara teks berbagai resensi suatu korpus sering memungkinkan, terkadang bahkan mengharuskan, penarikan kesimpulan bahwa ada resensi-resensi lain yang tidak terwakili oleh naskah yang diketahui. Resensi terduga itu seringkali memainkan peranan penting dalam usaha mengerti kerangka silsilah korpus bersangkutan. Semua resensi, terwakili atau terduga, mempunyai identitas formal, yaitu struktur metris yang khas. Walaupun dalam keadaan luar biasa dua resensi dapat berstruktur identik khususnya dalam karya monometris, yang nota bene cukup langka namun secara umum, keidentikan struktur metris praktis berarti keidentikan resensi sedangkan perbedaan struktur metris berarti perbedaan resensi.

Dinamika Perkembangan Korpus


Konsep korpus menegaskan bahwa setiap resensi merupakan hasil tindak karang sengaja oleh seorang bujangga. Sebuah karya tidak berangsur-angsur berkembang dan secara evolusioner menjadi sekerabat resensi oleh dampak perubahan kecarikan yang makin lama makin banyak. Pekerjaan si carik hanya menimbulkan variasi di dalam batasan terhad sebuah resensi. Resensi baru timbul, dan hanya dengan seketika, karena perubahan kuantum yang sekonyong-konyong dan sekaligus mengubah karakteristik (metris) sebuah teks, dan dengan demikian bentuk, arus, dan struktur korpus-nya. <8> Kebulatan sebuah korpus bukan saja ternyata karena semua bagiannya merupakan jadian tekstual seperinduk, tetapi juga karena daya pengikat naratifnya: setiap resensi dihuni oleh tokoh yang sama, yang bergerak dalam seting yang sama (atau mirip), dan melakukan hal yang sama/mirip. <9> Maka dari segi narasi, kita dapat mendefinisikan kembali korpus sebagai serangkaian pengisahan atau pengawian ulang sebuah ceritera, yang saling memiliki ikatan tekstual. Resensi-resensi yang membentuk sebuah korpus, berhubungan satu sama lain menurut garis-garis keturunan yang menyerupai susur galur sebuah silsilah. Ada garis yang pendek yang cepat buntu tanpa membibitkan resensi turunan lagi, dan ada pula yang sangat subur dan menurunkan beragam anak-cucu-cicit tekstual. Garis keturunan bisa menjadi sangat kusut, karena para bujangga tidak jarang mempergunakan lebih dari satu resensi dari teks yang sama, dan jelas memperbanding-bandingkannya dalam penggubahan versinya sendiri. Bahkan ada kesan bahwa garis dalam sejarah penyaduran, penyuburan, dan pembibitan resensiresensi seketurunan jaranglah "murni". Kecampur-adukan tekstual yang diakibatkan oleh kegiatan komparatif itu amat sulit terurai lagi oleh filolog.
8 Definisi "resensi" ini berbeda secara

mendasar dengan arti istilah resensi dalam filologi klasik, yang mengartikan resensi sebagai tahap-an tertentu dalam usaha pemulihan teks asli atau teks murni.

9 Karya dengan tokoh yang diangkat dari teks lain, tetapi diletakkan dalam seting yang berbeda dan dibuat melakukan hal yang lain, juga ada. Tetapi teks yang digubah atas prinsip itu merupakan induk tekstual korpus baru. Dengan demikian, untuk mengambil satu contoh, ada sejumlah korpus yang bertokohkan Menak Amir Hamzah, masingmasing dengan resensi-resensi tersendiri. Makalah ini bukanlah tempat untuk menguraikan lebih jauh gejala ini.

Dalam filologi klasik, yang berpedoman pada asumpsi jalan penurunan yang linear, searah, dan tertutup, maka konflasi dan pinjaman bahan teks dikatai sebagai kontaminasi, pencemaran, penodaan. Tetapi proses-proses penganekaan itu justru merupakan tindakan sah dalam tradisi Jawa. Asal usul tekstual spesifik dengan gampang menjadi kabur di tengah-tengah gudang kiat kepengarang-an yang begitu kaya. Dan sebenarnya kekayaan kiat itu juga membuat usaha menentukan asal usul teks secara eksak, relatif tidak penting. Oleh karenanya, ketidakpastian mendasar adalah ciri inheren dalam rekonstruksi garis ke-turunan yang dipostulasikan. Setiap penemuan naskah baru yang berisikan teks sekorpus dapat mengharuskan perombakan kerangka hipotetis hubungan antar-karya dalam korpus bersangkutan. Di dalam sebuah korpus, berkenaan dengan setiap tindak karang diskrit yang menelurkan resensi baru, bahan literer lama diperbaharui, disetempatkan, dan dijadikan milik maupun hiasan kesastraan pemrakarsa (kang ayasa) baru. Cara-cara pokok proses pembaharuan itu telah diuraikan di atas. Mengkalkulasikan dan mengukur pola-pola perubahan dalam matra metris, naratif, dan linguistik sebuah korpus adalah jalan memahami tata hubungan antar-resensi, dan merasionalisasikan rangka sekelompok teks sebelum mempergunakannya untuk tujuan kesarjanaan lain. Cara terlekas seorang bujangga membangun saduran baru ialah mengganti-ganti tembang lama. Urutan pupuh itu suatu ciri khas, dan hampir semua resensi dapat dikenali berdasarkan pola sidik metrisnya. Oleh karena itu, alat paling penting untuk pemetak-metakan teks-teks seperinduk ke dalam kelompok resensi ialah daftar pupuh, termasuk jenis tembang, urutan pupuh, jumlah bait per pupuh, dan cuplikan bait pertama setiap pupuhnya. Berdasarkan informasi yang bersahaja tetapi amat berguna ini, peneliti kerap dapat menentukan pengelompokan kasar resensi, walau penyempurnaan pengelompokan dan hipotesis mengenai hubungan antar-resensi serta sejarah perkembangan korpus bakal membutuhkan penelitian yang amat mendetail, seksama, telaten, dan memayah-mayahkan. Dalam banyak kasus, seorang bujangga menggubah versi barunya dengan menganjak langsung satuan naratif, ialah episode, sebagaimana terdapat dalam eksemplar. Episode itu dimanipulasikan sebagai blok besar, sehingga tata susun dan urutan episode-episode sangat berguna dalam pemetaan mekanika perubahan dalam sebuah korpus. Umumnya, makin mirip urutan dan isi episode-episode dalam dua resensi, makin erat hubungan antara kedua resensi itu dalam garis keturunan korpus. Struktur metris dan struktur naratif dalam teks Jawa tidak banyak berkorelasi langsung. Dengan perkataan lain, batasan satuan naratif, yaitu titik awal dan akhir sebuah episode, jarang berbetulan dengan batasan satuan formal metris, ialah puh. Secara grafika pula, tidak ada indikasi bahwa sebuah episode dianggap sebagai suatu bagian nyata di dalam kebulatan karya seutuhnya yaitu episode tidak ditandai sebagai seksi naratif dengan tanda-tanda kodikologis atau grafis, seperti kepala bab atau penempatan teks pada halaman baru. Namun demikian, berdasarkan cara episode praktis dipergunakan oleh bujangga sebagai blok struktural dalam pembangunan teks, maka sang-at jelaslah bahwa episode itu (terlepas dari detail isi dan konstruksi internnya) betul-betul merupakan satuan yang hadir secara nyata dalam angan-angan cipta sang bujangga.

file:///D|/tempprintsscans/tim%20behrend/Untuk%20versi%20lain%20tulisan%20ini.htm (6 of 8) [27/07/2004 5:52:58 p.m.]

Untuk versi lain tulisan ini

Selain mengubah dan menata pola urutan episode dan struktur naratif secara keseluruhan, bujangga juga mengubah episode dari dalam, dengan jalan memperluas, mempersingkat, atau mengubah-ubah adegan, yaitu blok-blok kecil pembentuk struktur interen episode. Pada tingkatan paling rendah, setiap stanza (pada) atau rangkaian pendek stanza ternyata membentuk satu elemen cerita, ialah kalimat dan anak kalimat naratif. Memperbandingkan naratif pada tingkatan ini, bait perbait, akan menyoroti titik-titik tempat salah satu resensi telah menambahkan detail kecil, biasanya terungkap dalam satu dua stanza, atau serentetan larik, yang tak hadir dalam resensi terdahulu, dan hanya terdapat dalam resensi-resensi penerus garis keturunan yang berakar padanya. Bilamana sejumlah sisipan senada ditemukan dalam dua resensi, maka dapat di-simpulkan bahwa kedua resensi bersangkutan diturunkan melalui garis yang sama. Dalam peristilahan filologi, baitbait tambahan itu menjadi semacam "varian berarti". Memperbandingkan bait antara dua resensi yang berbeda sangat gampang kalau jajaran teksnya kebetulan setembang/semetrum dalam masing-masing resensi. Perbandingan teks sejajar dapat dilakukan pula sekalipun berlainan tembang, walaupun pekerjaan tersebut merupakan tantangan lebih besar bagi peneliti. Di dalam naskah-naskah seresensi pun, teks sering menunjuk berbagai jenis variasi. Ejaan, susunan perkataan, pemenggalan gatra, semuanya sangat longgar. Penambahan dan peniadaan bait sangat wajar juga, bagaikan riak pada permukaan air saat hujan gerimis. Ada pula kemungkinan bahwa anak adegan, adegan, atau bahkan episode penuh, dapat dimasukkan dalam teks tanpa meng-ubah struktur metris, dengan cara menyisipkannya di tengah-tengah puh yang telah ada.

PEDOMAN METODOLOGI KORPUSAN


Konsep korpus, dan pengertian proses komposisi dan transisi yang diterangi olehnya, mempunyai dampak dan sumbangan praktis terhadap metodologi pendekatan naskah dan penguraian teks oleh para filolog dan sarjana lain. Karena penyaduran ulang adalah kiat kepengarangan prinsip dalam tradisi sastra Jawa, maka memahami identitas dan makna sebuah karya berarti memahami lokasi karya tersebut dalam jaringan hubungan teks-teks sekorpus. Mencoba mengeksplikasikan sebuah karya/resensi lepas dari jejaringan korpusnya sama gunanya deng-an mendasari uraian sebuah karya pada satu naskah, tanpa membuka-buka puluhan naskah lain yang diketahui berisi teks sekarya. Hasil pengkajian demikian boleh saja ada manfaatnya, tetapi pengertian dan kejelasan yang ditawarkan olehnya sangat terbatas. Disini bukanlah tempat untuk membahas panjang lebar metodologi penelitian korpusan. Tetapi secara ringkas, protokol-protokol berikut merupakan pedoman alur penelitian yang sebaiknya ditempuh oleh peneliti yang berwawasan korpus. 1. Memilih teks atau naskah menarik yang bakal asyik diteliti. 2. Mencari informasi dalam katalogus koleksi naskah dan buku referensi lain untuk menyusun daftar naskah dan karya cetak yang mungkin memuat teks yang ada kaitan dengan teks sasaran. Pelacakan informasi jangan dibatasi pada judul-judul yang sama. Penelitian harus seluas mungkin supaya melingkupi segala teks yang meliputi pokok yang mirip, mempunyai tokoh utama yang namanya mirip, atau terdapat kemiripan-kemiripan lain. Pencarian data ini harus teliti, terinci, dan betul-betul menyeluruh, karena hasilnya nanti akan dijadikan pondasi manfaat dan makna ilmiah analisis yang didasarkan padanya. Bahkan kalau tujuan penelitian terfokus pada satu resensi saja misalnya Serat Rama Cirebonan hasilnya nanti sangat lemah dan terbatas kegunaannya kalau keseluruhan alam korpus Rama belum jelas. Bagi peneliti yang mau mengkhususkan penelitiannya pada satu resensi atau bahkan satu naskah, suatu pekerjaan yang sangat bermanfaat, sebaik-nya memilih teks dari korpus yang telah dipetakan oleh orang lain. 3. Bersamaan waktu dengan penyusunan daftar tersebut, perlu diadakan serentak pelacakan bibliografis untuk mengemukakan tulisantulisan sekonder yang menyebut atau ada kaitan dengan teks dan topik dimaksud. Dalam hal ini, mau tidak mau, tidak dapat dielakkan bahwa kebolehan membaca laporan penelitian dalam bahasa asing, terutama bahasa Belanda dan Inggeris, sangatlah perlu. 4. Mengadakan survei preliminer semua naskah dan teks yang terakses dalam bentuk asli, mikroform, faksimil, atau cetakan. 5. Menyusun catatan mendetail tentang struktur metris (termasuk cuplikan gatra/pada pertama setiap pupuh) dan keterangan pada bagian mukadimah dan kolofon yang menyangkut masalah penggubahan teks dan penyalinan naskah. Bila akses langsung tidak ada pada tahap ini, carilah sumber-sumber referensi yang me-nyediakan keterangan filologis yang terinci, termasuk katalog Brandes, Poerba-tjaraka, Behrend, Behrend & Pudjiastuti, Pratelan, dan catatan Soegiarto (Leiden), Poerbatjaraka (PNRI), dan staf peneliti Pigeaud (FSUI, MSB). <10> 6. Catatan tentang setiap naskah yang diduga mungkin berkaitan dengan teks sasaran harus dikumpulkan. Kalau peneliti tidak bisa melakukannya secara langsung dan sendiri, ia harus memesan mikrofilm, mengadakan perjalanan penelitian ke arsip, perpustakaan, dan museum yang menyimpan naskah bersangkutan, atau minta bantuan kolega di lain-lain tempat. Langkah ini wajib hukumnya.
10 Catatan Soegiarto, Poerbatjaraka, dan staf Pigeaud, sebagian ada di Fakultas Sastra UI, dan semuanya ada di Perpustakaan Nasional RI.

7. Melakukan pengklasifikasian sementara ke dalam kelompok resensi bagi semua teks yang diketahui struktur metrisnya. Perbedaan jenis tembang dalam satu pupuh saja sudah cukup untuk membedakan antara dua resensi. Keterangan mukadimah/kolofon dapat membantu menentukan tarikh dan tempat lahirnya masing-masing resensi; demikian pula ilmu pendamping filologi, termasuk paleografi dan kodikologi. Dalam pada ini, setiap resensi boleh diidentifikasikan dengan kode tertentu, misalnya Resensi A, B, C. Naskah-naskah memuat teks resensi A boleh dijuluki naskah A1, A2, A3, dan seterusnya. Bujangga disebut Bujangga A, B, C kalau identitas lebih jelas tidak diketahui; demikian pula carik dapat disebut Carik A1, Carik B3, dst. <11> 8. Membaca cepat-cepat teks yang representatif untuk masing-masing resensi sampai dapat menentukan struktur naratifnya secara kasar. Biasanya pemeriksaan sepintas akan memungkinkan penggambaran skematis atas identitas dan urutan episode dalam tiap resensi .
11 Kebiasaan dan alat filologi klasik, menurut saya, tidak memadai dalam hal ini. Itulah sebabnya saya mengusulkan strategi ini, yang sedikit menyimpang dari kebiasaan filologi non-korpusan.

file:///D|/tempprintsscans/tim%20behrend/Untuk%20versi%20lain%20tulisan%20ini.htm (7 of 8) [27/07/2004 5:52:58 p.m.]

Untuk versi lain tulisan ini

9. Membuat tabel-tabel ala kadarnya untuk membandingkan struktur-struktur metris dan naratif untuk semua resensi korpus. Setiap korpus, dan setiap rangkaian data, harus kita biarkan untuk "berbicara sendiri" dalam menentukan langkah-langkah konkrit mana yang harus dilalui demi penentuan dan pembuatan tabeltabel tersebut. Tabel "idaman" akan menyejajarkan setiap larik dalam setiap teks yang menganggotai korpusnya, namun selain impossible itu, biasanya tidak perlu. 10. Berdasarkan tabel-tabel tersebut, peneliti akan sanggup mengetahui keidentikan, kemiripan, dan perbedaan metris dan naratif yang penting, dan dengan demikian dapat membuat gambaran hubungan antar-resensi. Yang sangat penting dalam memperkirakan garis hubungan dan keturunan ialah hadir-tidaknya episode bulat, perbandingan titik pergantian pupuh dan pola penggunaan tembang, dan kecocok-an bait-bait dalam pupuh yang mengandung episode yang sama, tetapi berlainan tembang antara sejumlah resensi. 11. Kemiripan dan perbedaan signifikan dalam perkataan, pemakaian nama pokok dan nama julukan tokoh-tokoh, fakta-fakta insidentil, dan hal-hal kecil lainnya, kemudian dapat dimanfaatkan untuk penyempurnaan model. 12. Bilamana resensi tertentu tersadur berdasarkan pengintegrasian teks dari dua korpus (atau lebih) yang berbeda misalnya penyisipan tokoh dan episode dari korpus Jatiswara dalam sebuah Centhini asal Pasisir pada akhir abad ke-18; atau pemerpaduan elemen Centhini dan Selarasa dalam gubahan ulang Jatiswara di kraton Hamengkubuwana V pada tahun 1840-an maka langkah-langkah 1-10 di atas sebaiknya diulang untuk naskah-naskah korpus penyilang untuk mengetahui apa yang mendorong bujangga memilih mencangkokkan teks "asing" ke dalam badan korpus yang lain. Melalui proses ini akan berangsur-angsur timbul gambaran dinamika sebuah korpus. Sebagian resensi akan diketahui dengan tepat mengenai tempat, waktu, dan bahkan mungkin bujangga penciptanya. Sebagian lain resensi termasuk resensi terduga yang tidak ditemukan dalam rekor pernaskahan, tetapi diusulkan untuk menjelaskan terjadinya perbedaan/kesamaan teks dalam naskah yang ada hanya dapat diperkirakirakan saja keterangan lokasi dan masa asalnya, berdasarkan penalaran filologis dan perbandingan analogis dengan korpus-korpus lain. Dengan berkian banyaknya korpus yang berhasil dideskripsikan dan dikritis serinci-rincinya oleh kerja-sama pasukan sarjana multinasional, maka sedikit demi sedikit dasar pengertian kita mengenai dinamika transmisi dan ciri-ciri pusat produksi literer kesetempatan akan menjadi lebih jelas dan kokoh.

KESIMPULAN
Tradisi teks Jawa sangat labil. Hampir setiap karya yang pernah digubah, setiap naskah yang pernah disalin, mempunyai peranan dan dampak nyata tersendiri. Tambahan lagi, banyak atau bahkan mayoritas karya dan naskah itu kini telah hilang. Dengan demikian, filologi Jawa tidak mungkin menghasilkan lebih dari serangkaian perkiraan dan aproksimasi sementara berdasarkan perbandingan dan kalkulasi atas gejalagejala tekstual dalam semua naskah yang dikenal, dan ekstrapolasinya ke dalam model-model kekorpusan. Setiap naskah baru yang ditemukan dan dimasukkan dalam kalkulasi tersebut kemungkinan akan mempengaruhi ekstrapolasi data dan mengakibatkan perubahan dalam tata susun model. Mungkin dalam dasawarsa-dasawarsa mendatang usaha filologis akan dapat melukiskan dengan lebih jelas karakteristik-karakteristik kesastraan sesuai daerah dan masa terpenting, sejarah tren-tren literer dan penyebarannya, pengaruh pribadi bujangga, kraton, dan nilai budaya sepanjang masa. Tetapi hasil tersebut hanya akan diraih dengan dikerahkan lebih banyak sarjana yang berminat tinggi, dan dengan mempergunakan metode-metode kritis yang semakin canggih.

file:///D|/tempprintsscans/tim%20behrend/Untuk%20versi%20lain%20tulisan%20ini.htm (8 of 8) [27/07/2004 5:52:58 p.m.]

Anda mungkin juga menyukai