Antraknosa 1
Antraknosa 1
Antraknosa 1
Pewarisan Ketahanan Cabai (Capsicum annuum L.) terhadap Antraknosa yang Disebabkan oleh
Colletotrichum acutatum
ABSTRACT
Anthracnose is one of the most destructive disease of pepper in Indonesia. Colletotrichum gloeosporioides and
C. acutatum have been reported to be predominant species in pepper fields of Asian countries including Indonesia.
Inheritance of resistance to anthracnose caused by C. acutatum was studied in Capsicum annuum populations derived
from a cross between resistant line ‘C-15’ and susceptible line ‘C-2’. Twenty green pepper fruits from each plant were
inoculated with PYK 04 isolate. This experiment showed that there was no maternal effect based on t-test of F1 and F1R.
Segregation of resistance and susceptibility in the F2 fitted a normal distrubution, indicated that resistance was
controlled by polygenic genes. Eight effective factors were responsible for anthracnose resistance. The degree of
dominance was partially recessive. Gene effects for resistance to anthracnose were additive and dominance. Additive
variance was larger than dominance variance. Broad-sense heritability values were high but narrow-sense heritability
values were medium. Selection for resistance to C. acutatum on pepper breeding programme should be conducted on
later generation.
1
Staf Pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura, Faperta IPB
Jl. Meranti, Kampus IPB Darmaga, Bogor 16680. Telp 0251-7128921 e-mail: [email protected] (* Penulis untuk korespondensi)
2
Staf Pengajar Departemen Proteksi Tanaman, Faperta IPB
Untuk mengendalikan penyakit antraknosa, petani Bahan tanaman yang digunakan adalah C-15
umumnya menggunakan fungisida kontak dan fungisida (penggaluran dari 0209-4 asal AVRDC) sebagai tetua
sistemik secara intensif. Penggunaan pestisida secara tahan dan C-2 (penggaluran dari PSPT C-11 asal Dept.
berlebihan tidak hanya menyebabkan peningkatan biaya AGH IPB) sebagai tetua rentan. Isolat yang digunakan
produksi, tetapi juga mengakibatkan resiko kesehatan adalah biakan murni C. acutatum PYK 04 koleksi
petani dan konsumen, serta kerusakan lingkungan. Oleh Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian IPB
karena itu penggunaan varietas yang resisten merupakan yang berasal dari daerah Payakumbuh, Sumatera Barat.
cara yang tepat untuk mengatasi masalah penyakit Materi kegenetikaan yang dibentuk adalah set
antraknosa. populasi atau generasi hasil persilangan antara tetua
Meskipun hasilnya masih bervariasi, hingga saat tahan (P1) dan tetua rentan (P2), mencakup turunan
ini beberapa penelitian tentang gen pengendali pertama (F1), turunan pertama resiprokal (F1R), turunan
ketahanan terhadap antraknosa telah dilakukan. Cheema kedua (F2), silang balik ke tetua tahan (BCP1), silang
et al. (1984) menyatakan bahwa ketahanan terhadap balik ke tetua rentan (BCP2). Set populasi tersebut
antraknosa bersifat aditif dan resesif. Di lain pihak ditanam sebanyak masing-masing 10 tanaman P1, P2,
menurut Park, Kim dan Lee (1990), ketahanan terhadap dan F1, masing-masing 20 tanaman BCP1 dan BCP2,
antraknosa dikendalikan oleh gen dominan. Telah serta 200 tanaman F2. Dua puluh buah cabai yang sudah
dilaporkan juga gen ketahanan terhadap antraknosa tua tetapi masih hijau dari masing-masing tanaman
bersifat dominan parsial dan poligenik (Cheema et al., diinokulasi dengan inokulum C. acutatum untuk
1984; Park et al., 1990; Wusani, 2004). mengetahui ada tidaknya efek maternal, aksi gen
Gen-gen pengendali sifat ketahanan tersebut dapat pengendali, jumlah gen pengendali, nilai duga
ditemukan pada berbagai spesies cabai seperti C. heritabilitas arti sempit dan heritabilitas arti luas. Total
chinense, C. baccatum (C. tovarii), C. frutescence, dan buah yang diinokulasi adalah 5400 buah.
C. annuum (Sastrosumarjo, 2003). Beberapa peneliti Persiapan inokulum dan inkubasi setelah inokulasi
juga melaporkan bahwa varietas yang sama dapat mengikuti prosedur Yoon (2003). Isolat cendawan C.
menampakkan derajat ketahanan yang berbeda (Cheema acutatum ditumbuhkan pada media PDA. Setelah tujuh
et al., 1984; Park et al., 1990). Di lapangan, varietas hari, media PDA disiram aquades dan konidia diambil
cabai yang dibudidayakan menunjukkan ekspresi yang dari cawan. Kepadatan inokulum diatur mencapai 5.0 x
selalu berubah dan tingkat resistensi parsial yang tidak 105 konidia/ml dengan hemasitometer.
stabil (Park, 2005). Berdasarkan hal tersebut, maka Buah yang akan diinokulasi dicuci menggunakan
studi tentang pewarisan ketahanan cabai terhadap akuades. Inokulasi dilakukan dengan cara menyuntikkan
penyakit antraknosa perlu dilakukan guna menentukan 2 µl suspensi konidia sebanyak dua suntikan pada
strategi program pemuliaan yang efektif dan efisien daerah yang berbeda (untuk buah yang berukuran < 4
untuk memperoleh genotipe cabai berdaya hasil tinggi cm hanya satu suntikan per buah). Buah ditempatkan di
dan tahan penyakit antraknosa. atas kawat dalam bak plastik. Untuk menjaga
Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari kelembaban, bak plastik diisi tisue basah. Bak kemudian
kendali genetik pewarisan sifat ketahanan cabai (C. ditutup dengan plastik hitam dan diinkubasi pada suhu
annuum L.) terhadap antraknosa yang disebabkan oleh 25oC selama lima hari.
C. acutatum. Kejadian penyakit diamati lima hari setelah
inokulasi. Skor dan kriteria ketahanan terhadap penyakit
antraknosa berdasarkan kejadian penyakit diduga
BAHAN DAN METODE menggunakan metode Yoon (2003) yang dimodifikasi
(Tabel 1). Kejadian penyakit (DI) dihitung dengan
Penelitian dilakukan sejak bulan Januari 2006 rumus :
sampai Mei 2007. Pembentukan populasi dan n
penanaman tujuh populasi cabai dilakukan di DI = --- x 100%
Cibeureum, Darmaga Bogor. Kegiatan pemurnian, N
perbanyakan dan pemeliharaan biakan cendawan
dilakukan di laboratorium Klinik Tanaman Departemen Keterangan :
Proteksi Tanaman IPB. Kegiatan skrining ketahanan DI = kejadian penyakit
cabai terhadap C. acutatum dilaksanakan di n = jumlah buah yang terserang, yaitu jika
Laboratorium Pendidikan Pemuliaan Tanaman diameter serangan > 4 mm
Departemen Agronomi dan Hortikultura IPB. N = jumlah buah yang diinokulasi
Tabel 1. Skor dan kriteria ketahanan cabai merah terhadap penyakit antraknosa berdasarkan kejadian penyakit
Kejadian Penyakit
Skor Kriteria
(%)
1 0 ≤ X < 10 Sangat Tahan
2 10 < X < 20 Tahan
3 20 < X < 40 Moderat
4 40 < X < 70 Rentan
5 X > 70 Sangat Rentan
Efek maternal diuji dengan membandingkan nilai dominan (h) dengan metode Joint Scaling Test (Mather
tengah F1 dan F1R dengan uji t menurut Strickberger dan Jink, 1982). Bila aksi gen tidak memenuhi model
(1976) pada taraf 5%. Sebaran frekuensi populasi F2 aditif-dominan, dilakukan pengujian untuk mengetahui
diuji dengan uji kenormalan menggunakan metode ada tidaknya interaksi gen non-alelik menggunakan
Shapiro dan Wilk (1965). Derajat dominansi dihitung model epistatik dengan enam parameter (Mather dan
berdasarkan rumus Petr dan Frey (1966) yaitu hp = (F1 Jink, 1982).
– MP) / (HP – MP); dengan hp = potensi rasio, F1 = Jumlah faktor efektif (effective factor) ketahanan
rata-rata nilai F1, HP = rata-rata nilai tetua tertinggi, MP diduga dengan cara Mather dan Jinks (1982) yaitu: k =
= nilai tengan kedua tetua. Berdasarkan nilai potensi ((P1 - P2)2)/( 4 H), Dengan H = ((VBCP1 + VBCP2)-(VF2 -
rasio, derajat dominansi diklasifikasikan sebagai : hp = VE) ) (Warner 1952), k = jumlah faktor efektif, P1 =
0 : tidak ada dominansi, hp = 1 atau hp = -1 : dominan rata-rata P1, P2 = rata-rata P2, VBCP1 = ragam populasi
atau resesif penuh, 0 < hp < 1 : dominan parsial, -1 < BCP1, VBCP2 = ragam populasi BCP2, VF2 = ragam
hp < 0 : resesif parsial, dan hp > 1 atau hp < -1 : populasi F2, VE = ragam lingkungan.
verdominan.
Heritabilitas arti luas, dihitung berdasarkan rumus HASIL DAN PEMBAHASAN
Allard (1960) yaitu h2bs = (VF2 - (VF1 + VP1 + VP2)/3)/(
VF2). Dengan h2bs = heritabilitas arti luas, VP1 = ragam Berdasarkan pengamatan kejadian penyakit, P1
populasi P1, VP2 = ragam populasi P2, VF1 =ragam adalah tetua yang memiliki kriteria tahan hingga sangat
populasi F1, VF2 = ragam populasi F2. Heritabilitas arti tahan, P2 adalah tetua yang memiliki kriteria rentan
sempit, dihitung berdasarkan rumus Warner (1952) hingga sangat rentan, populasi F1 dan F1R
yaitu h2ns = (2VF2 - (VBCP1 + VBCP2))/( VF2). Dengan memperlihatkan sifat rentan hingga tahan, populasi
h2ns = heritabilitas arti sempit, VBCP1 = ragam populasi BCP1 mengarah pada tahan, populasi BCP2 mengarah
BCP1, VBCP2 = ragam populasi BCP2, VF2 = ragam pada rentan dan F2 memiliki kriteria sangat rentan
populasi F2. Nilai duga heritabilitas dianggap rendah hingga sangat tahan (Tabel 2). Pada Tabel 2 terlihat pula
jika h2 < 0.2, sedang jika 0.2 ≤ h2 ≤ 0.5 dan tinggi jika bahwa kedua tetua memiliki perbedaan genetik yang
h2 > 0.5 jauh, populasi P1 memiliki ketahanan yang tinggi dan
Kelayakan model aditif dan dominan diduga populasi P2 memiliki ketahanan yang rendah, sedangkan
dengan tiga parameter genetik yaitu nilai tengah (m), populasi F1 mengarah kepada tetua rentan. Dengan
jumlah pengaruh gen aditif (d) dan jumlah pengaruh gen demikian gen pengendali ketahanannya adalah resesif.
Tabel 2. Jumlah tanaman pada setiap populasi berdasarkan skor ketahanan terhadap antraknosa
Jumlah Tanaman
Skor Kriteria
P1 P2 F1 F1R BCP1 BCP2 F2
1 Sangat Tahan 4 0 0 0 2 0 9
2 Tahan 6 0 2 2 7 1 25
3 Moderat 0 0 5 9 9 3 74
4 Rentan 0 8 7 3 2 12 77
5 Sangat Rentan 0 2 0 0 0 4 16
Rata-rata 1.60 4.20 3.36 3.08 2.55 3.90 3.30
σ2 0.27 0.18 0.55 0.38 0.68 0.59 0.84
σ 0.52 0.42 0.74 0.62 0.83 0.77 0.82
KK (%) 32 10 22 20 32 20 28
Uji t yang dilakukan dengan membandingkan rata- bahwa ketahanan terhadap antraknosa dikendalikan oleh
rata kejadian penyakit F1 dan F1R memberikan hasil delapan gen (Tabel 4).
yang tidak berbeda nyata (Tabel 3). Hal ini
menunjukkan bahwa pewarisan ketahanan cabai Tabel 4. Pendugaan parameter genetik ketahanan
terhadap C. acutatum tidak dipengaruhi efek maternal terhadap antraknosa yang disebabkan oleh
dan merupakan indikasi bahwa sifat ketahanan C. acutatum pada cabai berdasarkan skor
dikendalikan oleh gen-gen yang berada di dalam inti ketahanan
(nuclear genes). Hasil uji kehomogenan ragam peubah
tersebut menggunakan uji F menunjukkan tidak berbeda Komponen Nilai
nyata, sehingga pada analisis selanjutnya data F1 dan Komponen Ragam
F1R dapat digabungkan sebagai data F1 (Tabel 3). Ragam lingkungan (σ2E) 0.39
Ragam fenotipe (σ2P) 0.84
Tabel 3. Nilai rata-rata dan galat baku kejadian Ragam genetik (σ2G) 0.45
penyakit F1 dan F1R, hasil uji beda nilai tengah Ragam aditif (σ2A) 0.41
dan kehomogenan ragam Heritabilitas arti luas (h2bs) 0.54
Heritabilitas arti sempit (h2ns) 0.49
Populasi Skor Ketahanan Kemajuan seleksi (Gs) 0.75
F1 3.36 ± 0.74 Aksi gen
F1R 3.08 ± 0.62 Nilai tengah (m) 2.90 ± 0.32
Prob > |t| 0.279 tn Aditif [d] -1.30 ± 0.32
Prob > |F| 0.502 tn Dominan [h] 0.46 ± 0.74
Keterangan : tn = tidak berbeda nyata Derajat dominansi -0.35
Jumlah faktor efektif 8.26
Hasil uji normalitas menunjukkan sebaran
frekuensi pisahan F2 normal (P > 0.1, R = 0.995). Hal Nilai potensi ratio untuk mengukur derajat
ini menunjukkan bahwa ketahanan terhadap penyakit dominansi diperoleh – 0.35 (Tabel 4) yang
antraknosa yang disebabkan oleh C. acutatum menunjukkan bahwa ketahanan dikendalikan oleh gen
dikendalikan oleh banyak gen. Perhitungan pendugaan resesif parsial. Secara skematis posisi relatif F1
jumlah faktor efektif yang dilakukan menunjukkan terhadap kedua tetuanya disajikan pada Gambar 1.
P1 (Tahan) MP F1 P2 (Rentan)
Gambar 1. Skema posisi relatif nilai tengah F1 terhadap kedua tetua dan rata-ratanya (MP) berdasarkan skor ketahanan
terhadap antraknosa
Untuk mengetahui aksi gen yang mengendalikan dalam menentukan ketahanan adalah tinggi, yaitu
ketahanan terhadap antraknosa yang disebabkan oleh C. 91.01% (Tabel 4). Ini sesuai dengan uji skala gabungan
acutatum dilakukan uji skala gabungan (Mather dan yang menunjukkan bahwa ragam genetik lebih
Jinks, 1982; Chahal dan Gosal, 2003). Hasil analisis ditentukan oleh aksi gen aditif. Ragam aditif memiliki
menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Dengan sifat dapat difiksasi melalui seleksi. Chahal dan Gosal
demikian aksi gen pengendali ketahanan terhadap (2003) menyatakan bahwa seleksi peubah dengan ragam
antraknosa adalah aditif [d] dan dominan [h]. Ragam aditif tinggi dilakukan pada generasi lanjut. Oleh
aditif (-1.30) lebih besar dibandingkan ragam dominan karena itu, seleksi ketahanan terhadap C. acutatum
(0.46), hal ini menunjukkan bahwa ragam genetik lebih dapat dilakukan pada generasi lanjut, misalkan
ditentukan oleh aksi gen aditif. Nilai negatif menggunakan metode bulk atau single seed descent
menunjukkan bahwa nilai tengah tetua tahan (P1) lebih (SSD).
kecil daripada nilai tengah tetua rentan (P2) (Tabel 4). Penelitian ini melengkapi informasi tentang
Nilai duga heritabilitas arti luas (h2bs) termasuk kendali genetik ketahanan terhadap penyakit antraknosa
dalam kategori tinggi, yaitu 0.54. Ini menunjukkan pada cabai, khususnya antraknosa yang disebabkan oleh
ragam gejala yang muncul terutama dikendalikan oleh C. acutatum. Laporan tentang kendali genetik ketahanan
faktor genetik. Nilai duga heritabilitas arti sempit (h2ns) cabai terhadap penyakit antraknosa masih bervariasi.
termasuk sedang, yaitu 0.49. Proporsi ragam aditif Cheema (1984) menyatakan bahwa ketahanan terhadap
antraknosa adalah bersifat aditif dan resesif. Amilin et kemajuan genetik ketahanan terhadap penyakit
al., (1995) menyatakan bahwa sifat ketahanan terhadap antraknosa pada persilangan cabai rawit dan cabai
penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. merah. Zuriat 6 (2) : 74-79.
gloesporioides pada persilangan interspesifik antara C.
annuum dengan C. frustescens dikendalikan oleh satu AVRDC. 2004. Evaluation of phenotypic and
gen dengan aksi gen resesif. Hal yang sama dilaporkan molecular criteria for the identification of
oleh Pakdeevaraporn et al. (2005), bahwa persilangan Colletotrichum species causing pepper anthracnose
interspesifik antara C. annuum dengan C. chinense in Taiwan. p.92-93. in AVRDC Report 2003.
(PBC 932) mengindikasikan ketahanan terhadap AVRDC, Shanhua, Taiwan.
antraknosa dikendalikan oleh satu gen resesif. Di lain
pihak, Park et al. (1990) menyatakan bahwa gen Chahal, G.S., S.S Gosal. 2003. Principles and
ketahanan terhadap antraknosa yang disebabkan oleh C. Procedures of Plant Breeding: Biotechnological
gloesporioides bersifat dominan parsial dan poligenik; and Conventional Approaches. Narosa Publishing
menurut Wusani (2004) menyatakan bahwa ketahanan House. New Delhi. 604 p.
terhadap antraknosa dikendalikan oleh gen dominan;
Sanjaya, Herison dan Suryotomo (2001) menyatakan Cheema, D.S., D. P. Singh, R. D. Rawal, A. A. Desh
bahwa pewarisan ketahanan terhadap antraknosa (C. Pande. 1984. Inheritance of anthracnose
gloesporioides) pada persilangan C. annuum dan C. resistance in chilies. Capsicum Newsletter 3:44.
chinense bersifat aditif dan poligenik, yang melibatkan
sekitar tujuh gen dalam pengendalian karakter Direktorat Jendral Bina Produksi Hortikultura. 2005.
ketahanan tersebut. Luas panen, produksi dan produktivitas sayuran di
Indonesia tahun 1999-2002. http://www.
hortikultura.go.id/horti/page/statistik/Lppsayuran.a
KESIMPULAN sp. [1 Februari 2006].
Ketahanan terhadap penyakit antraknosa yang Duriat, A.S. 1996. Cabai merah: komoditas prospek dan
disebabkan oleh C. acutatum dikendalikan oleh banyak andalan. p.1-3. Dalam: A.S. Duriat. A. Widjaja,
gen dan tidak ada efek maternal. Jumlah faktor efektif W. Hadisoeganda, T.A. Soetiarso, L.
(gen pengendali) ketahanan adalah paling sedikit Prabaningrum (eds). Teknologi Produksi Cabai
delapan gen. Gen pengendali ketahanan adalah resesif. Merah. Balai Penelitian Tanaman Sayuran.
Derajat dominansi dikategorikan sebagai resesif parsial. Lembang.
Aksi gen pengendali ketahanan terhadap antraknosa
adalah aditif dan dominan, ragam aditif lebih besar Falconer, D. S. 1981. Introduction to Quantitative
dibandingkan ragam dominan. Nilai heritabilitas arti Genetics. 2nd. Longman, London and New York.
luas tergolong tinggi sedangkan heritabilitas arti sempit 340 p.
tergolong sedang, sehingga seleksi untuk perakitan
cabai unggul tahan C. acutatum disarankan dilakukan Fehr, W. R. 1987. Principle of Cultivar Development:
pada generasi lanjut. Theory and Technique. Vol. I. MacMillan
Pub.Co. New York. 536 p.
UCAPAN TERIMA KASIH Kim, K.D., B.J. Oh, J. Yang. 1999. Differential
interaction of a Colletotrichum gloeosporioides
Ucapan terima kasih disampaikan kepada : (1) Tim isolate with green and red pepper fruits.
Program Penelitian Fundamental yang dibiayai oleh Phytoparasitica 27(2): 1 – 10.
Direktorat Pendidikan Tinggi, Depdiknas dengan
kontrak No. 317/SP3/PP/DP2M/II/2006 a.n Sriani Kusandriani, Y., H. Permadi. 1996. Pemuliaan tanaman
Sujiprihati, (2) Tim Program Penelitian Kerjasama cabai. p. 28-35. Dalam: A.S. Duriat, A. Widjaja,
Faperta-AVRDC 2006. W. Hadisoeganda, T.A. Soetiarso, L.
Prabaningrum (eds). Teknologi Produksi Cabai
Merah. Balai Penelitian Tanaman Sayuran.
DAFTAR PUSTAKA Lembang.
Allard, R. W. 1960. Principles of Plant Breeding. J Lande, R. 1981. The minimum number of genes
Wiley & Sons. New York. 485 p. contributing to quantitative variation between and
within populations. Genetics 99:541-553.
Amilin, A., R. Setiamihardja, A. Baihaki, M.H.
Karmana. 1995. Pewarisan, heritabilitas dan
Mather, K., J. L. Jink. 1982. Biometrical Genetics: Semangun, H. 2000. Penyakit-penyakit Tanaman
The Study of Continuous Variation. 3rd. Chapman Hortikultura di Indonesia. 4th ed. Gadjah Mada
and Hall. London. 396 p. University Press. Yogyakarta. 850 hal.