Modul Elektronika Analog
Modul Elektronika Analog
Komponen Pasif
I.1 Resistor
1
Gambar 1.2 Contoh Resistor
Resistansi dibaca dari warna gelang yang paling depan ke arah gelang toleransi
berwarna coklat, merah, emas atau perak. Biasanya warna gelang toleransi ini berada
pada badan resistor yang paling pojok atau juga dengan lebar yang lebih menonjol,
sedangkan warna gelang yang pertama agak sedikit ke dalam. Dengan demikian pemakai
sudah langsung mengetahui berapa toleransi dari resistor tersebut. Kalau anda telah bisa
menentukan mana gelang yang pertama selanjutnya adalah membaca nilai
resistansinya.
Jumlah gelang yang melingkar pada resistor umumnya sesuai dengan besar
toleransinya. Biasanya resistor dengan toleransi 5%, 10% atau 20% memiliki 3 gelang
(tidak termasuk gelang toleransi). Tetapi resistor dengan toleransi 1% atau 2% (toleransi
kecil) memiliki 4 gelang (tidak termasuk gelang toleransi). Gelang pertama dan
seterusnya berturut-turut menunjukkan besar nilai satuan, dan gelang terakhir adalah
faktor pengalinya.
Misalnya resistor dengan gelang kuning, violet, merah dan emas. Gelang
berwarna emas adalah gelang toleransi. Dengan demikian urutan warna gelang resitor ini
adalah, gelang pertama berwarna kuning, gelang kedua berwana violet dan gelang ke tiga
berwarna merah. Gelang ke empat tentu saja yang berwarna emas dan ini adalah gelang
toleransi. Dari tabel-1 diketahui jika gelang toleransi berwarna emas, berarti resitor ini
memiliki toleransi 5%. Nilai resistansisnya dihitung sesuai dengan urutan warnanya.
Pertama yang dilakukan adalah menentukan nilai satuan dari resistor ini. Karena resitor
ini resistor 5% (yang biasanya memiliki tiga gelang selain gelang toleransi), maka nilai
satuannya ditentukan oleh gelang pertama dan gelang kedua. Masih dari tabel-1 diketahui
gelang kuning nilainya = 4 dan gelang violet nilainya = 7. Jadi gelang pertama dan kedua
atau kuning dan violet berurutan, nilai satuannya adalah 47. Gelang ketiga adalah faktor
pengali, dan jika warna gelangnya merah berarti faktor pengalinya adalah 100. Sehingga
2
dengan ini diketahui nilai resistansi resistor tersebut adalah nilai satuan x faktor pengali
atau 47 x 100 = 4.7K Ohm dan toleransinya adalah 5%.
Spesifikasi lain yang perlu diperhatikan dalam memilih resitor pada suatu
rancangan selain besar resistansi adalah besar watt-nya. Karena resistor bekerja dengan
dialiri arus listrik, maka akan terjadi disipasi daya berupa panas sebesar W=I2R watt.
Semakin besar ukuran fisik suatu resistor bisa menunjukkan semakin besar kemampuan
disipasi daya resistor tersebut.
Umumnya di pasar tersedia ukuran 1/8, 1/4, 1, 2, 5, 10 dan 20 watt. Resistor yang
memiliki disipasi daya 5, 10 dan 20 watt umumnya berbentuk kubik memanjang persegi
empat berwarna putih, namun ada juga yang berbentuk silinder. Tetapi biasanya untuk
resistor ukuran jumbo ini nilai resistansi dicetak langsung dibadannya, misalnya
100W5W.
I.2 Kapasitor
3
Gambar I.3 prinsip dasar kapasitor
1.2.2 Kapasitansi
Q = CV …………….(1)
Berikut adalah tabel contoh konstanta (k) dari beberapa bahan dielektrik yang
disederhanakan.
4
Udara vakum k=1
Aluminium oksida k=8
Keramik k = 100 - 1000
Gelas k=8
Polyethylene k=3
Untuk rangkain elektronik praktis, satuan farads adalah sangat besar sekali.
Umumnya kapasitor yang ada di pasar memiliki satuan uF (10-6 F), nF (10-9 F) dan pF
(10-12 F). Konversi satuan penting diketahui untuk memudahkan membaca besaran
sebuah kapasitor. Misalnya 0.047uF dapat juga dibaca sebagai 47nF, atau contoh lain
0.1nF sama dengan 100pF.
Kapasitor terdiri dari beberapa tipe, tergantung dari bahan dielektriknya. Untuk lebih
sederhana dapat dibagi menjadi 3 bagian, yaitu kapasitor electrostatic, electrolytic dan
electrochemical.
Mylar, MKM, MKT adalah beberapa contoh sebutan merek dagang untuk
kapasitor dengan bahan-bahan dielektrik film. Umumnya kapasitor kelompok ini adalah
non-polar.
5
I.2.3.2 Kapasitor Electrolytic
6
dielektrik. Lapisan metal-oksida ini sangat tipis, sehingga dengan demikian dapat dibuat
kapasitor yang kapasitansinya cukup besar.
Karena alasan ekonomis dan praktis, umumnya bahan metal yang banyak
digunakan adalah aluminium dan tantalum. Bahan yang paling banyak dan murah adalah
Aluminium. Untuk mendapatkan permukaan yang luas, bahan plat Aluminium ini
biasanya digulung radial. Sehingga dengan cara itu dapat diperoleh kapasitor yang
kapasitansinya besar. Sebagai contoh 100uF, 470uF, 4700uF dan lain-lain, yang sering
juga disebut kapasitor elco.
Bahan electrolyte pada kapasitor Tantalum ada yang cair tetapi ada juga yang
padat. Disebut electrolyte padat, tetapi sebenarnya bukan larutan electrolit yang menjadi
elektroda negatif-nya, melainkan bahan lain yaitu manganese-dioksida. Dengan demikian
kapasitor jenis ini bisa memiliki kapasitansi yang besar namun menjadi lebih ramping
dan mungil. Selain itu karena seluruhnya padat, maka waktu kerjanya (lifetime) menjadi
lebih tahan lama. Kapasitor tipe ini juga memiliki arus bocor yang sangat kecil Jadi
dapat dipahami mengapa kapasitor Tantalum menjadi relatif mahal.
7
Pada kapasitor yang berukuran besar, nilai kapasitansi umumnya ditulis dengan
angka yang jelas. Lengkap dengan nilai tegangan maksimum dan polaritasnya. Misalnya
pada kapasitor elco dengan jelas tertulis kapasitansinya sebesar 22uF/25v.
Kapasitor yang ukuran fisiknya mungil dan kecil biasanya hanya bertuliskan 2
(dua) atau 3 (tiga) angka saja. Jika hanya ada dua angka satuannya adalah pF (pico
farads). Sebagai contoh, kapasitor yang bertuliskan dua angka 47, maka kapasitansi
kapasitor tersebut adalah 47 pF.
Jika ada 3 digit, angka pertama dan kedua menunjukkan nilai nominal, sedangkan
angka ke-3 adalah faktor pengali. Faktor pengali sesuai dengan angka nominalnya,
berturut-turut 1 = 10, 2 = 100, 3 = 1.000, 4 = 10.000 dan seterusnya. Misalnya pada
kapasitor keramik tertulis 104, maka kapasitansinya adalah 10 x 10.000 = 100.000pF
atau = 100nF. Contoh lain misalnya tertulis 222, artinya kapasitansi kapasitor tersebut
adalah 22 x 100 = 2200 pF = 2.2 nF.
Selain dari kapasitansi ada beberapa karakteristik penting lainnya yang perlu
diperhatikan. Biasanya spesifikasi karakteristik ini disajikan oleh pabrik pembuat didalam
datasheet. Berikut ini adalah beberapa spesifikasi penting tersebut.
8
Kapasitor masih memenuhi spesifikasinya jika bekerja pada suhu yang sesuai.
Pabrikan pembuat kapasitor umumnya membuat kapasitor yang mengacu pada standar
popular. Ada 4 standar popular yang biasanya tertera di badan kapasitor seperti C0G
(ultra stable), X7R (stable) serta Z5U dan Y5V (general purpose). Secara lengkap kode-
kode tersebut disajikan pada table berikut.
Toleransi
Koefisien Faktor Pengali
Koefisien
Suhu Koefisien Suhu
Suhu
PPM PPM
Simbol Simbol Pengali Simbol
per Co per Co
C 0.0 0 -1 G +/-30
B 0.3 1 -10 H +/-60
A 0.9 2 -100 J +/-120
M 1.0 3 -1000 K +/-250
P 1.5 4 -10000 L +/-500
9
+/-
8 +150 F
7.5%
+/-
9 +200 P
10.0%
+/-
R
15.0%
+/-
S
22.0%
+22% /
T
-33%
+22% /
U
-56%
+22% /
V
-82%
I2.7 Toleransi
10
model kapasitor :
C = Capacitance
ESR = Equivalent Series Resistance
L = Inductance
IR = Insulation Resistance
Jika tidak diberi beban, semestinya kapasitor dapat menyimpan muatan selama-
lamanya. Namun dari model di atas, diketahui ada resitansi dielektrik IR(Insulation
Resistance) yang paralel terhadap kapasitor. Insulation resistance (IR) ini sangat besar
(MOhm). Konsekuensinya tentu saja arus bocor (DCL) sangat kecil (uA). Untuk
mendapatkan kapasitansi yang besar diperlukan permukaan elektroda yang luas, tetapi ini
akan menyebabkan resistansi dielektrik makin kecil. Karena besar IR selalu berbanding
terbalik dengan kapasitansi (C), karakteristik resistansi dielektrik ini biasa juga disajikan
dengan besaran RC (IR x C) yang satuannya ohm-farads atau megaohm-micro farads.
11
Dari penjelasan di atas dapat dihitung besar total impedansi (Z total) kapasitor adalah :
12
Karakteristik respons frekuensi sangat perlu diperhitungkan terutama jika kapasitor
bekerja pada frekuensi tinggi. Untuk perhitungan- perhitungan respons frekuensi dikenal
juga satuan faktor qualitas Q (quality factor) yang tak lain sama dengan 1/DF.
I.3 Induktor
Masih ingat aturan tangan kanan pada pelajaran fisika ? Ini cara yang efektif
untuk mengetahui arah medan listrik terhadap arus listrik. Jika seutas kawat tembaga
diberi aliran listrik, maka di sekeliling kawat tembaga akan terbentuk medan listrik.
Dengan aturan tangan kanan dapat diketahui arah medan listrik terhadap arah arus listrik.
Caranya sederhana yaitu dengan mengacungkan jari jempol tangan kanan sedangkan
keempat jari lain menggenggam. Arah jempol adalah arah arus dan arah ke empat jari
lain adalah arah medan listrik yang mengitarinya.
13
Tentu masih ingat juga percobaan dua utas kawat tembaga paralel yang keduanya
diberi arus listrik. Jika arah arusnya berlawanan, kedua kawat tembaga tersebut saling
menjauh. Tetapi jika arah arusnya sama ternyata keduanya berdekatan saling tarik-
menarik. Hal ini terjadi karena adanya induksi medan listrik. Dikenal medan listrik
dengan simbol B dan satuannya Tesla (T). Besar akumulasi medan listrik B pada suatu
luas area A tertentu difenisikan sebagai besar magnetic flux. Simbol yang biasa
digunakan untuk menunjukkan besar magnetic flux ini adalah F dan satuannya Weber
(Wb = T.m2). Secara matematis besarnya adalah :
medan flux...(1)
Lalu bagaimana jika kawat tembaga itu dililitkan membentuk koil atau kumparan.
Jika kumparan tersebut dialiri listrik maka tiap lilitan akan saling menginduksi satu
dengan yang lainnya. Medan listrik yang terbentuk akan segaris dan saling menguatkan.
Komponen yang seperti inilah yang dikenal dengan induktor selenoid.
Dari buku fisika dan teori medan yang menjelimet, dibuktikan bahwa induktor
adalah komponen yang dapat menyimpan energi magnetik. Energi ini direpresentasikan
dengan adanya tegangan emf (electromotive force) jika induktor dialiri listrik. Secara
matematis tegangan emf ditulis :
Jika dibandingkan dengan rumus hukum Ohm V=RI, maka kelihatan ada
kesamaan rumus. Jika R disebut resistansi dari resistor dan V adalah besar tegangan jepit
jika resistor dialiri listrik sebesar I. Maka L adalah induktansi dari induktor dan E adalah
tegangan yang timbul jika induktor dilairi listrik. Tegangan emf di sini adalah respon
14
terhadap perubahan arus fungsi dari waktu terlihat dari rumus di/dt. Sedangkan bilangan
negatif sesuai dengan hukum Lenz yang mengatakan efek induksi cenderung melawan
perubahan yang menyebabkannya. Hubungan antara emf dan arus inilah yang disebut
dengan induktansi, dan satuan yang digunakan adalah (H) Henry.
Arus listrik yang melewati kabel, jalur-jalur pcb dalam suatu rangkain berpotensi untuk
menghasilkan medan induksi. Ini yang sering menjadi pertimbangan dalam mendesain
pcb supaya bebas dari efek induktansi terutama jika multilayer. Tegangan emf akan
menjadi penting saat perubahan arusnya fluktuatif. Efek emf menjadi signifikan pada
sebuah induktor, karena perubahan arus yang melewati tiap lilitan akan saling
menginduksi. Ini yang dimaksud dengan self-induced. Secara matematis induktansi pada
suatu induktor dengan jumlah lilitan sebanyak N adalah akumulasi flux magnet untuk tiap
arus yang melewatinya :
Fungsi utama dari induktor di dalam suatu rangkaian adalah untuk melawan
fluktuasi arus yang melewatinya. Aplikasinya pada rangkaian dc salah satunya adalah
untuk menghasilkan tegangan dc yang konstan terhadap fluktuasi beban arus. Pada
aplikasi rangkaian ac, salah satu gunanya adalah bisa untuk meredam perubahan fluktuasi
arus yang tidak dinginkan. Akan lebih banyak lagi fungsi dari induktor yang bisa
diaplikasikan pada rangkaian filter, tuner dan sebagainya.
15
Dari pemahaman fisika, elektron yang bergerak akan menimbulkan medan elektrik di
sekitarnya. Berbagai bentuk kumparan, persegi empat, setegah lingkaran ataupun
lingkaran penuh, jika dialiri listrik akan menghasilkan medan listrik yang berbeda.
Penampang induktor biasanya berbentuk lingkaran, sehingga diketahui besar medan
listrik di titik tengah lingkaran adalah :
Jika dikembangkan, n adalah jumlah lilitan N relatif terhadap panjang induktor l. Secara
matematis ditulis :
Lilitan per-meter……….(5)
Lalu i adalah besar arus melewati induktor tersebut. Ada simbol m yang dinamakan
permeability dan mo yang disebut permeability udara vakum. Besar permeability m
tergantung dari bahan inti (core) dari induktor. Untuk induktor tanpa inti (air winding) m
= 1.
Jika rumus-rumus di atas di subsitusikan maka rumus induktansi (rumus 3) dapat ditulis
menjadi :
16
Induktor selenoida dengan inti (core) :
L : induktansi dalam H (Henry)
m : permeability inti (core)
mo : permeability udara vakum
mo = 4p x 10-7
N : jumlah lilitan induktor
A : luas penampang induktor (m2)
l : panjang induktor (m)
Inilah rumus untuk menghitung nilai induktansi dari sebuah induktor. Tentu saja
rumus ini bisa dibolak-balik untuk menghitung jumlah lilitan induktor jika nilai
induktansinya sudah ditentukan.
1.3.2 Toroid
Ada satu jenis induktor yang kenal dengan nama toroid. Jika biasanya induktor
berbentuk silinder memanjang, maka toroid berbentuk lingkaran. Biasanya selalu
menggunakan inti besi (core) yang juga berbentuk lingkaran seperti kue donat.
17
Jika jari-jari toroid adalah r, yaitu jari-jari lingkar luar dikurang jari-jari lingkar dalam.
Maka panjang induktor efektif adalah kira-kira :
Besi lunak banyak digunakan sebagai inti (core) dari induktor yang disebut ferit.
Ada bermacam-macam bahan ferit yang disebut ferromagnetik. Bahan dasarnya adalah
bubuk besi oksida yang disebut juga iron powder. Ada juga ferit yang dicampur dengan
bahan bubuk lain seperti nickle, manganase, zinc (seng) dan mangnesium. Melalui proses
yang dinamakan kalsinasi yaitu dengan pemanasan tinggi dan tekanan tinggi, bubuk
campuran tersebut dibuat menjadi komposisi yang padat. Proses pembuatannya sama
seperti membuat keramik. Oleh sebab itu ferit ini sebenarnya adalah keramik.
Ferit yang sering dijumpai ada yang memiliki m = 1 sampai m = 15.000. Dapat
dipahami penggunaan ferit dimaksudkan untuk mendapatkan nilai induktansi yang lebih
18
besar relatif terhadap jumlah lilitan yang lebih sedikit serta dimensi induktor yang lebih
kecil.
Sampai di sini kita sudah dapat menghitung nilai induktansi suatu induktor.
Misalnya induktor dengan jumlah lilitan 20, berdiameter 1 cm dengan panjang 2 cm serta
mengunakan inti ferit dengan m = 3000. Dapat diketahui nilai induktansinya adalah :
L » 5.9 mH
19
Selain ferit yang berbentuk silinder ada juga ferit yang berbentuk toroida.
Umumnya dipasar tersedia berbagai macam jenis dan ukuran toroida. Jika datanya
lengkap, maka kita dapat menghitung nilai induktansi dengan menggunakan rumus-
rumus yang ada. Karena perlu diketahui nilai permeability bahan ferit, diameter lingkar
luar, diameter lingkar dalam serta luas penampang toroida. Tetapi biasanya pabrikan
hanya membuat daftar indeks induktansi (inductance index) AL. Indeks ini dihitung
berdasarkan dimensi dan permeability ferit. Dengan data ini dapat dihitung jumlah lilitan
yang diperlukan untuk mendapatkan nilai induktansi tertentu. Seperti contoh tabel AL
berikut ini yang satuannya mH/100 lilitan.
Tabel AL
Rumus untuk menghitung jumlah lilitan yang diperlukan untuk mendapatkan nilai
induktansi yang diinginkan adalah :
20
Indeks AL ………. (9)
Misalnya digunakan ferit toroida T50-1, maka dari table diketahui nilai AL = 100.
Maka untuk mendapatkan induktor sebesar 4mH diperlukan lilitan sebanyak :
N » 20 lilitan
Rumus ini sebenarnya diperoleh dari rumus dasar perhitungan induktansi dimana
induktansi L berbanding lurus dengan kuadrat jumlah lilitan N2. Indeks AL umumnya
sudah baku dibuat oleh pabrikan sesuai dengan dimensi dan permeability bahan feritnya.
Permeability bahan bisa juga diketahui dengan kode warna tertentu. Misalnya
abu-abu, hitam, merah, biru atau kuning. Sebenarnya lapisan ini bukan hanya sekedar
warna yang membedakan permeability, tetapi berfungsi juga sebagai pelapis atau
isolator. Biasanya pabrikan menjelaskan berapa nilai tegangan kerja untuk toroida
tersebut.
Contoh bahan ferit toroida di atas umumnya memiliki premeability yang kecil.
Karena bahan ferit yang demikian terbuat hanya dari bubuk besi (iron power). Banyak
juga ferit toroid dibuat dengan nilai permeability m yang besar. Bahan ferit tipe ini
terbuat dari campuran bubuk besi dengan bubuk logam lain. Misalnya ferit toroida FT50-
77 memiliki indeks AL = 1100.
Untuk membuat induktor biasanya tidak diperlukan kawat tembaga yang sangat
panjang. Paling yang diperlukan hanya puluhan sentimeter saja, sehingga efek resistansi
bahan kawat tembaga dapat diabaikan. Ada banyak kawat tembaga yang bisa digunakan.
Untuk pemakaian yang profesional di pasar dapat dijumpai kawat tembaga dengan
standar AWG (American Wire Gauge). Standar ini tergantung dari diameter kawat,
resistansi dan sebagainya. Misalnya kawat tembaga AWG32 berdiameter kira-kira
0.3mm, AWG22 berdiameter 0.7mm ataupun AWG20 yang berdiameter kira-kira
0.8mm. Biasanya yang digunakan adalah kawat tembaga tunggal dan memiliki isolasi.
21
Bab II
Catu Daya
Perangkat elektronika mestinya dicatu oleh suplai arus searah DC (direct current)
yang stabil agar dapat dengan baik. Baterai atau accu adalah sumber catu daya DC yang
paling baik. Namun untuk aplikasi yang membutuhkan catu daya lebih besar, sumber dari
baterai tidak cukup. Sumber catu daya yang besar adalah sumber bolak-balik AC
(alternating current) dari pembangkit tenaga listrik. Untuk itu diperlukan suatu perangkat
catu daya yang dapat mengubah arus AC menjadi DC. Pada tulisan kali ini disajikan
prinsip rangkaian catu daya (power supply) linier mulai dari rangkaian penyearah yang
paling sederhana sampai pada catu daya yang ter-regulasi.
Prinsip penyearah (rectifier) yang paling sederhana ditunjukkan pada gambar II.1
berikut ini. Transformator diperlukan untuk menurunkan tegangan AC dari jala-jala
listrik pada kumparan primernya menjadi tegangan AC yang lebih kecil pada kumparan
sekundernya.
Pada rangkaian ini, dioda berperan untuk hanya meneruskan tegangan positif ke
beban RL. Ini yang disebut dengan penyearah setengah gelombang (half wave). Untuk
22
mendapatkan penyearah gelombang penuh (full wave) diperlukan transformator dengan
center tap (CT) seperti pada gambar II.2.
Tegangan positif phasa yang pertama diteruskan oleh D1 sedangkan phasa yang
berikutnya dilewatkan melalui D2 ke beban R1 dengan CT transformator sebagai
common ground.. Dengan demikian beban R1 mendapat suplai tegangan gelombang
penuh seperti gambar di atas. Untuk beberapa aplikasi seperti misalnya untuk men-catu
motor dc yang kecil atau lampu pijar dc, bentuk tegangan seperti ini sudah cukup
memadai. Walaupun terlihat di sini tegangan ripple dari kedua rangkaian di atas masih
sangat besar.
23
arus untuk beban R1 dicatu oleh tegangan kapasitor. Sebenarnya garis b-c bukanlah garis
lurus tetapi eksponensial sesuai dengan sifat pengosongan kapasitor.
Kemiringan kurva b-c tergantung dari besar arus I yang mengalir ke beban R. Jika
arus I = 0 (tidak ada beban) maka kurva b-c akan membentuk garis horizontal. Namun
jika beban arus semakin besar, kemiringan kurva b-c akan semakin tajam. Tegangan yang
keluar akan berbentuk gigi gergaji dengan tegangan ripple yang besarnya adalah :
Rangkaian penyearah yang baik adalah rangkaian yang memiliki tegangan ripple paling
kecil. VL adalah tegangan discharge atau pengosongan kapasitor C, sehingga dapat ditulis
:
24
sehingga jika ini disubsitusi ke rumus (4) dapat diperoleh persamaan yang lebih
sederhana :
VM/R tidak lain adalah beban I, sehingga dengan ini terlihat hubungan antara beban arus I
dan nilai kapasitor C terhadap tegangan ripple Vr. Perhitungan ini efektif untuk
mendapatkan nilai tengangan ripple yang diinginkan.
Rumus ini mengatakan, jika arus beban I semakin besar, maka tegangan ripple
akan semakin besar. Sebaliknya jika kapasitansi C semakin besar, tegangan ripple akan
semakin kecil. Untuk penyederhanaan biasanya dianggap T=Tp, yaitu periode satu
gelombang sinus dari jala-jala listrik yang frekuensinya 50Hz atau 60Hz. Jika frekuensi
jala-jala listrik 50Hz, maka T = Tp = 1/f = 1/50 = 0.02 det. Ini berlaku untuk penyearah
setengah gelombang. Untuk penyearah gelombang penuh, tentu saja fekuensi
gelombangnya dua kali lipat, sehingga T = 1/2 Tp = 0.01 det.
Sebagai contoh, anda mendisain rangkaian penyearah gelombang penuh dari catu jala-
jala listrik 220V/50Hz untuk mensuplai beban sebesar 0.5 A. Berapa nilai kapasitor yang
25
diperlukan sehingga rangkaian ini memiliki tegangan ripple yang tidak lebih dari 0.75
Vpp. Jika rumus (7) dibolak-balik maka diperoleh.
Untuk kapasitor yang sebesar ini banyak tersedia tipe elco yang memiliki
polaritas dan tegangan kerja maksimum tertentu. Tegangan kerja kapasitor yang
digunakan harus lebih besar dari tegangan keluaran catu daya. Anda barangkalai sekarang
paham mengapa rangkaian audio yang anda buat mendengung, coba periksa kembali
rangkaian penyearah catu daya yang anda buat, apakah tegangan ripple ini cukup
mengganggu. Jika dipasaran tidak tersedia kapasitor yang demikian besar, tentu bisa
dengan memparalel dua atau tiga buah kapasitor.
II.3 REGULATOR
Rangkaian penyearah sudah cukup bagus jika tegangan ripple-nya kecil, namun
ada masalah stabilitas. Jika tegangan PLN naik/turun, maka tegangan outputnya juga
akan naik/turun. Seperti rangkaian penyearah di atas, jika arus semakin besar ternyata
tegangan dc keluarnya juga ikut turun. Untuk beberapa aplikasi perubahan tegangan ini
cukup mengganggu, sehingga diperlukan komponen aktif yang dapat meregulasi
tegangan keluaran ini menjadi stabil.
Rangkaian regulator yang paling sederhana ditunjukkan pada gambar II.6 Pada
rangkaian ini, zener bekerja pada daerah breakdown, sehingga menghasilkan tegangan
output yang sama dengan tegangan zener atau Vout = Vz. Namun rangkaian ini hanya
bermanfaat jika arus beban tidak lebih dari 50mA.
26
Gambar II.6 Regulator zener
Prinsip rangkaian catu daya yang seperti ini disebut shunt regulator, salah satu ciri
khasnya adalah komponen regulator yang paralel dengan beban. Ciri lain dari shunt
regulator adalah, rentan terhadap short-circuit. Perhatikan jika Vout terhubung singkat
(short-circuit) maka arusnya tetap I = Vin/R1. Disamping regulator shunt, ada juga yang
disebut dengan regulator seri. Prinsip utama regulator seri seperti rangkaian pada gambar
7 berikut ini. Pada rangkaian ini tegangan keluarannya adalah :
VBE adalah tegangan base-emitor dari transistor Q1 yang besarnya antara 0.2 - 0.7
volt tergantung dari jenis transistor yang digunakan. Dengan mengabaikan arus IB yang
mengalir pada base transistor, dapat dihitung besar tahanan R2 yang diperlukan adalah :
Iz adalah arus minimum yang diperlukan oleh dioda zener untuk mencapai
tegangan breakdown zener tersebut. Besar arus ini dapat diketahui dari datasheet yang
besarnya lebih kurang 20 mA.
27
Gambar II.7 Regulator zener follower
Jika diperlukan catu arus yang lebih besar, tentu perhitungan arus base IB pada
rangkaian di atas tidak bisa diabaikan lagi. Dimana seperti yang diketahui, besar arus IC
akan berbanding lurus terhadap arus IB atau dirumskan dengan IC = bIB. Untuk keperluan
itu, transistor Q1 yang dipakai bisa diganti dengan tansistor darlington yang biasanya
memiliki nilai b yang cukup besar. Dengan transistor darlington, arus base yang kecil
bisa menghasilkan arus IC yang lebih besar.
Teknik regulasi yang lebih baik lagi adalah dengan menggunakan Op-Amp untuk
men-drive transistor Q, seperti pada rangkaian gambar II.8. Dioda zener disini tidak
langsung memberi umpan ke transistor Q, melainkan sebagai tegangan referensi bagi Op-
Amp IC1. Umpan balik pada pin negatif Op-amp adalah cuplikan dari tegangan keluar
regulator, yaitu :
Jika tegangan keluar Vout menaik, maka tegangan Vin(-) juga akan menaik sampai
tegangan ini sama dengan tegangan referensi Vz. Demikian sebaliknya jika tegangan
keluar Vout menurun, misalnya karena suplai arus ke beban meningkat, Op-amp akan
menjaga kestabilan di titik referensi Vz dengan memberi arus IB ke transistor Q1.
Sehingga pada setiap saat Op-amp menjaga kestabilan :
28
Vin(-) = Vz ......... (11)
Pada rangkaian ini tegangan output dapat diatur dengan mengatur besar R1 dan R2.
Sekarang mestinya tidak perlu susah payah lagi mencari op-amp, transistor dan
komponen lainnya untuk merealisasikan rangkaian regulator seperti di atas. Karena
rangkaian semacam ini sudah dikemas menjadi satu IC regulator tegangan tetap. Saat ini
sudah banyak dikenal komponen seri 78XX sebagai regulator tegangan tetap positif dan
seri 79XX yang merupakan regulator untuk tegangan tetap negatif. Bahkan komponen ini
biasanya sudah dilengkapi dengan pembatas arus (current limiter) dan juga pembatas
suhu (thermal shutdown). Komponen ini hanya tiga pin dan dengan menambah beberapa
komponen saja sudah dapat menjadi rangkaian catu daya yang ter-regulasi dengan baik.
29
Gambar II.9 regulator dengan IC 78XX / 79XX
Misalnya 7805 adalah regulator untuk mendapat tegangan 5 volt, 7812 regulator
tegangan 12 volt dan seterusnya. Sedangkan seri 79XX misalnya adalah 7905 dan 7912
yang berturut-turut adalah regulator tegangan negatif 5 dan 12 volt.
Selain dari regulator tegangan tetap ada juga IC regulator yang tegangannya dapat
diatur. Prinsipnya sama dengan regulator OP-amp yang dikemas dalam satu IC misalnya
LM317 untuk regulator variable positif dan LM337 untuk regulator variable negatif.
Bedanya resistor R1 dan R2 ada di luar IC, sehingga tegangan keluaran dapat diatur
melalui resistor eksternal tersebut.
Hanya saja perlu diketahui supaya rangkaian regulator dengan IC tersebut bisa
bekerja, tengangan input harus lebih besar dari tegangan output regulatornya. Biasanya
perbedaan tegangan Vin terhadap Vout yang direkomendasikan ada di dalam datasheet
komponen tersebut. Pemakaian heatshink (aluminium pendingin) dianjurkan jika
komponen ini dipakai untuk men-catu arus yang besar. Di dalam datasheet, komponen
seperti ini maksimum bisa dilewati arus mencapai 1 A.
30
BAB III
Transistor Bipolar
Ada tiga cara yang umum untuk memberi arus bias pada transistor, yaitu
rangkaian CE (Common Emitter), CC (Common Collector) dan CB (Common Base).
Namun saat ini akan lebih detail dijelaskan bias transistor rangkaian CE. Dengan
menganalisa rangkaian CE akan dapat diketahui beberapa parameter penting dan berguna
terutama untuk memilih transistor yang tepat untuk aplikasi tertentu. Tentu untuk aplikasi
pengolahan sinyal frekuensi audio semestinya tidak menggunakan transistor power,
misalnya.
Dari hukum Kirchhoff diketahui bahwa jumlah arus yang masuk kesatu titik akan
sama jumlahnya dengan arus yang keluar. Jika teorema tersebut diaplikasikan pada
transistor, maka hukum itu menjelaskan hubungan :
IE = IC + IB ........(1)
31
Gambar III.1 arus emitor
Persamanaan (1) tersebut mengatakan arus emiter IE adalah jumlah dari arus
kolektor IC dengan arus base IB. Karena arus IB sangat kecil sekali atau disebutkan IB <<
IC, maka dapat di nyatakan :
IE = IC ..........(2)
Alpha (a)
Pada tabel data transistor (databook) sering dijumpai spesikikasiadc (alpha dc) yang tidak
lain adalah :
Karena besar arus kolektor umumnya hampir sama dengan besar arus emiter
maka idealnya besaradc adalah = 1 (satu). Namun umumnya transistor yang ada
memilikiadc kurang lebih antara 0.95 sampai 0.99.
Beta (b)
Beta didefenisikan sebagai besar perbandingan antara arus kolektor dengan arus base.
32
Dengan kata lain,b adalah parameter yang menunjukkan kemampuan penguatan
arus (current gain) dari suatu transistor. Parameter ini ada tertera di databook transistor
dan sangat membantu para perancang rangkaian elektronika dalam merencanakan
rangkaiannya.
Misalnya jika suatu transistor diketahui besarb=250 dan diinginkan arus kolektor
sebesar 10 mA, maka berapakah arus bias base yang diperlukan. Tentu jawabannya
sangat mudah yaitu :
IB = IC/b = 10mA/250 = 40 uA
Arus yang terjadi pada kolektor transistor yang memiliki b = 200 jika diberi arus bias
base sebesar 0.1mA adalah :
IC = b IB = 200 x 0.1mA = 20 mA
Dari rumusan ini lebih terlihat defenisi penguatan arus transistor, yaitu sekali lagi, arus
base yang kecil menjadi arus kolektor yang lebih besar.
33
Ada beberapa notasi yang sering digunakan untuk mununjukkan besar tegangan
pada suatu titik maupun antar titik. Notasi dengan 1 subscript adalah untuk menunjukkan
besar tegangan pada satu titik, misalnya VC = tegangan kolektor, VB = tegangan base dan
VE = tegangan emiter.
Ada juga notasi dengan 2 subscript yang dipakai untuk menunjukkan besar
tegangan antar 2 titik, yang disebut juga dengan tegangan jepit. Diantaranya adalah :
Notasi seperti VBB, VCC, VEE berturut-turut adalah besar sumber tegangan yang masuk ke
titik base, kolektor dan emitor.
Hubungan antara IB dan VBE tentu saja akan berupa kurva dioda. Karena
memang telah diketahui bahwa junction base-emitor tidak lain adalah sebuah dioda. Jika
hukum Ohm diterapkan pada loop base diketahui adalah :
VBE adalah tegangan jepit dioda junction base-emitor. Arus hanya akan mengalir
jika tegangan antara base-emitor lebih besar dari VBE. Sehingga arus IB mulai aktif
mengalir pada saat nilai VBE tertentu.
34
Gambar III.3 Kurva IB -VBE
Sampai disini akan sangat mudah mengetahui arus IB dan arus IC dari rangkaian
berikut ini, jika diketahui besar b = 200. Katakanlah yang digunakan adalah transistor
yang dibuat dari bahan silikon.
&mnbsp;
IB = (VBB - VBE) / RB
= 13 uA
35
IC = bIB = 200 x 13uA = 2.6 mA
Sekarang sudah diketahui konsep arus base dan arus kolektor. Satu hal lain yang
menarik adalah bagaimana hubungan antara arus base IB, arus kolektor IC dan tegangan
kolektor-emiter VCE. Dengan mengunakan rangkaian-01, tegangan VBB dan VCC dapat
diatur untuk memperoleh plot garis-garis kurva kolektor. Pada gambar berikut telah
diplot beberapa kurva kolektor arus IC terhadap VCE dimana arus IB dibuat konstan.
Dari kurva ini terlihat ada beberapa region yang menunjukkan daerah kerja transistor.
Pertama adalah daerah saturasi, lalu daerah cut-off, kemudian daerah aktif dan seterusnya
daerah breakdown.
Daerah kerja transistor yang normal adalah pada daerah aktif, dimana arus IC
konstans terhadap berapapun nilai VCE. Dari kurva ini diperlihatkan bahwa arus IC hanya
tergantung dari besar arus IB. Daerah kerja ini biasa juga disebut daerah linear (linear
region).
36
Jika hukum Kirchhoff mengenai tegangan dan arus diterapkan pada loop kolektor
(rangkaian CE), maka dapat diperoleh hubungan :
Rumus ini mengatakan jumlah dissipasi daya transistor adalah tegangan kolektor-
emitor dikali jumlah arus yang melewatinya. Dissipasi daya ini berupa panas yang
menyebabkan naiknya temperatur transistor. Umumnya untuk transistor power sangat
perlu untuk mengetahui spesifikasi PDmax. Spesifikasi ini menunjukkan temperatur kerja
maksimum yang diperbolehkan agar transistor masih bekerja normal. Sebab jika
transistor bekerja melebihi kapasitas daya PDmax, maka transistor dapat rusak atau
terbakar.
Daerah saturasi adalah mulai dari VCE = 0 volt sampai kira-kira 0.7 volt (transistor
silikon), yaitu akibat dari efek dioda kolektor-base yang mana tegangan VCE belum
mencukupi untuk dapat menyebabkan aliran elektron.
37
Gambar III.6 Rangkaian driver LED
Misalkan pada rangkaian driver LED di atas, transistor yang digunakan adalah
transistor dengan b = 50. Penyalaan LED diatur oleh sebuah gerbang logika (logic gate)
dengan arus output high = 400 uA dan diketahui tegangan forward LED, VLED = 2.4 volt.
Lalu pertanyaannya adalah, berapakah seharusnya resistansi RL yang dipakai.
IC = bIB = 50 x 400 uA = 20 mA
Arus sebesar ini cukup untuk menyalakan LED pada saat transistor cut-off. Tegangan
VCE pada saat cut-off idealnya = 0, dan aproksimasi ini sudah cukup untuk rangkaian
ini.
= (5 - 2.4 - 0)V / 20 mA
= 2.6V / 20 mA
= 130 Ohm
Dari kurva kolektor, terlihat jika tegangan VCE lebih dari 40V, arus IC menanjak naik
dengan cepat. Transistor pada daerah ini disebut berada pada daerah breakdown.
Seharusnya transistor tidak boleh bekerja pada daerah ini, karena akan dapat merusak
transistor tersebut. Untuk berbagai jenis transistor nilai tegangan VCEmax yang
38
diperbolehkan sebelum breakdown bervariasi. VCEmax pada databook transistor selalu
dicantumkan juga.
VCBmax = 60V
VCEOmax = 40V
VEBmax = 6 V
b atau hFE
Pada system analisa rangkaian dikenal juga parameter h, dengan meyebutkan h FE sebagai
bdc untuk mengatakan penguatan arus.
39
Sama seperti pencantuman nilai bdc, di datasheet umumnya dicantumkan nilai hFE
minimum (hFE min ) dan nilai maksimunya (hFE max).
40
BAB IV
Klasifikasi Penguat Audio
Sudah menjadi suatu hal yang lumrah jika seseorang selalu mencari sesuatu yang
lebih baik. Tak terkecuali di bidang rancang bangun penguat amplifier, perancang,
peminat atau insinyur elektronika tak pernah berhenti mencari berbagai macam konsep
yang lebih baik. Ada beberapa jenis penguat audio yang dikategorikan antara lain sebagai
penguat class A, B, AB, C, D, T, G, H dan beberapa tipe lainnya yang belum disebut di
sini. Tulisan berikut membahas secara singkat apa yang menjadi ciri dan konsep dari
sistem power amplifier (PA) tersebut.
IV.2 PA kelas A
Contoh dari penguat class A adalah adalah rangkaian dasar common emiter (CE)
transistor. Penguat tipe kelas A dibuat dengan mengatur arus bias yang sesuai di titik
41
tertentu yang ada pada garis bebannya. Sedemikian rupa sehingga titik Q ini berada tepat
di tengah garis beban kurva VCE-IC dari rangkaian penguat tersebut dan sebut saja titik ini
titik A. Gambar berikut adalah contoh rangkaian common emitor dengan transistor NPN
Q1.
Garis beban pada penguat ini ditentukan oleh resistor Rc dan Re dari rumus VCC =
VCE + IcRc + IeRe. Jika Ie = Ic maka dapat disederhanakan menjadi VCC = VCE + Ic (Rc+Re).
Selanjutnya pembaca dapat menggambar garis beban rangkaian ini dari rumus tersebut.
Sedangkan resistor Ra dan Rb dipasang untuk menentukan arus bias. Pembaca dapat
menentukan sendiri besar resistor-resistor pada rangkaian tersebut dengan pertama
menetapkan berapa besar arus Ib yang memotong titik Q.
42
Gambar IV.2 Garis beban dan titik Q kelas A
Besar arus Ib biasanya tercantum pada datasheet transistor yang digunakan. Besar
penguatan sinyal AC dapat dihitung dengan teori analisa rangkaian sinyal AC. Analisa
rangkaian AC adalah dengan menghubung singkat setiap komponen kapasitor C dan
secara imajiner menyambungkan VCC ke ground. Dengan cara ini rangkaian gambar-
1dapat dirangkai menjadi seperti gambar-3. Resistor Ra dan Rc dihubungkan ke ground
dan semua kapasitor dihubung singkat.
Dengan adanya kapasitor Ce, nilai Re pada analisa sinyal AC menjadi tidak
berarti. Pembaca dapat mencari lebih lanjut literatur yang membahas penguatan transistor
untuk mengetahui bagaimana perhitungan nilai penguatan transistor secara detail.
Penguatan didefenisikan dengan Vout/Vin = rc / re`, dimana rc adalah resistansi Rc paralel
dengan beban RL (pada penguat akhir, RL adalah speaker 8 Ohm) dan re` adalah
resistansi penguatan transitor. Nilai re` dapat dihitung dari rumus re` = hfe/hie yang
datanya juga ada di datasheet transistor. Gambar-4 menunjukkan ilustrasi penguatan
sinyal input serta proyeksinya menjadi sinyal output terhadap garis kurva x-y rumus
penguatan vout = (rc/re) Vin.
43
Gambar IV.4 Kurva penguatan kelas A
Ciri khas dari penguat kelas A, seluruh sinyal keluarannya bekerja pada daerah
aktif. Penguat tipe class A disebut sebagai penguat yang memiliki tingkat fidelitas yang
tinggi. Asalkan sinyal masih bekerja di daerah aktif, bentuk sinyal keluarannya akan
sama persis dengan sinyal input. Namun penguat kelas A ini memiliki efisiensi yang
rendah kira-kira hanya 25% - 50%. Ini tidak lain karena titik Q yang ada pada titik A,
sehingga walaupun tidak ada sinyal input (atau ketika sinyal input = 0 Vac) transistor
tetap bekerja pada daerah aktif dengan arus bias konstan. Transistor selalu aktif (ON)
sehingga sebagian besar dari sumber catu daya terbuang menjadi panas. Karena ini juga
transistor penguat kelas A perlu ditambah dengan pendingin ekstra seperti heatsink yang
lebih besar.
IV.3 PA kelas B
Panas yang berlebih menjadi masalah tersendiri pada penguat kelas A. Maka
dibuatlah penguat kelas B dengan titik Q yang digeser ke titik B (pada gambar-5). Titik B
adalah satu titik pada garis beban dimana titik ini berpotongan dengan garis arus Ib = 0.
Karena letak titik yang demikian, maka transistor hanya bekerja aktif pada satu bagian
44
phase gelombang saja. Oleh sebab itu penguat kelas B selalu dibuat dengan 2 buah
transistor Q1 (NPN) dan Q2 (PNP).
Karena kedua transistor ini bekerja bergantian, maka penguat kelas B sering
dinamakan sebagai penguat Push-Pull. Rangkaian dasar PA kelas B adalah seperti pada
gambar-6. Jika sinyalnya berupa gelombang sinus, maka transistor Q1 aktif pada 50 %
siklus pertama (phase positif 0o-180o) dan selanjutnya giliran transistor Q2 aktif pada
siklus 50 % berikutnya (phase negatif 180o – 360o). Penguat kelas B lebih efisien
dibanding dengan kelas A, sebab jika tidak ada sinyal input ( v in = 0 volt) maka arus bias
Ib juga = 0 dan praktis membuat kedua trasistor dalam keadaan OFF.
45
Gambar IV.6 Rangkaian dasar penguat kelas B
Efisiensi penguat kelas B kira-kira sebesar 75%. Namun bukan berarti masalah
sudah selesai, sebab transistor memiliki ke-tidak ideal-an. Pada kenyataanya ada
tegangan jepit Vbe kira-kira sebesar 0.7 volt yang menyebabkan transistor masih dalam
keadaan OFF walaupun arus Ib telah lebih besar beberapa mA dari 0. Ini yang
menyebabkan masalah cross-over pada saat transisi dari transistor Q1 menjadi transistor
Q2 yang bergantian menjadi aktif. Gambar-7 menunjukkan masalah cross-over ini yang
penyebabnya adalah adanya dead zone transistor Q1 dan Q2 pada saat transisi. Pada
penguat akhir, salah satu cara mengatasi masalah cross-over adalah dengan menambah
filter cross-over (filter pasif L dan C) pada masukan speaker.
46
Gambar IV.7 Kurva penguatan kelas B
IV.4 PA Kelas AB
Cara lain untuk mengatasi cross-over adalah dengan menggeser sedikit titik Q
pada garis beban dari titik B ke titik AB (gambar-5). Ini tujuannya tidak lain adalah agar
pada saat transisi sinyal dari phase positif ke phase negatif dan sebaliknya, terjadi overlap
diantara transistor Q1 dan Q2. Pada saat itu, transistor Q1 masih aktif sementara
transistor Q2 mulai aktif dan demikian juga pada phase sebaliknya. Penguat kelas AB
merupakan kompromi antara efesiensi (sekitar 50% - 75%) dengan mempertahankan
fidelitas sinyal keluaran.
47
Ada beberapa teknik yang sering dipakai untuk menggeser titik Q sedikit di atas
daerah cut-off. Salah satu contohnya adalah seperti gambar-9 berikut ini. Resistor R 2 di
sini berfungsi untuk memberi tegangan jepit antara base transistor Q1 dan Q2. Pembaca
dapat menentukan berapa nilai R2 ini untuk memberikan arus bias tertentu bagi kedua
transistor. Tegangan jepit pada R2 dihitung dari pembagi tegangan R1, R2 dan R3 dengan
rumus VR2 = (2VCC) R2/(R1+R2+R3). Lalu tentukan arus base dan lihat relasinya dengan
arus Ic dan Ie sehingga dapat dihitung relasiny dengan tegangan jepit R2 dari rumus VR2
= 2x0.7 + Ie(Re1 + Re2). Penguat kelas AB ternyata punya masalah dengan teknik ini,
sebab akan terjadi peng-gemukan sinyal pada kedua transistornya aktif ketika saat
transisi. Masalah ini disebut dengan gumming.
Untuk menghindari masalah gumming ini, ternyata sang insinyur (yang mungkin
saja bukan seorang insinyur) tidak kehilangan akal. Maka dibuatlah teknik yang hanya
mengaktifkan salah satu transistor saja pada saat transisi. Caranya adalah dengan
membuat salah satu transistornya bekerja pada kelas AB dan satu lainnya bekerja pada
kelas B. Teknik ini bisa dengan memberi bias konstan pada salah satu transistornya yang
bekerja pada kelas AB (biasanya selalu yang PNP). Caranya dengan menganjal base
transistor tersebut menggunakan deretan dioda atau susunan satu transistor aktif. Maka
48
kadang penguat seperti ini disebut juga dengan penguat kelas AB plus B atau bisa saja
diklaim sebagai kelas AB saja atau kelas B karena dasarnya adalah PA kelas B.
Penyebutan ini tergantung dari bagaimana produk amplifier anda mau diiklankan. Karena
penguat kelas AB terlanjur memiliki konotasi lebih baik dari kelas A dan B. Namun yang
penting adalah dengan teknik-teknik ini tujuan untuk mendapatkan efisiensi dan fidelitas
yang lebih baik dapat terpenuhi
IV.5 PA kelas C
Kalau penguat kelas B perlu 2 transistor untuk bekerja dengan baik, maka ada
penguat yang disebut kelas C yang hanya perlu 1 transistor. Ada beberapa aplikasi yang
memang hanya memerlukan 1 phase positif saja. Contohnya adalah pendeteksi dan
penguat frekuensi pilot, rangkaian penguat tuner RF dan sebagainya. Transistor penguat
kelas C bekerja aktif hanya pada phase positif saja, bahkan jika perlu cukup sempit hanya
pada puncak-puncaknya saja dikuatkan. Sisa sinyalnya bisa direplika oleh rangkaian
resonansi L dan C. Tipikal dari rangkaian penguat kelas C adalah seperti pada rangkaian
berikut ini.
Rangkaian ini juga tidak perlu dibuatkan bias, karena transistor memang sengaja
dibuat bekerja pada daerah saturasi. Rangkaian L C pada rangkaian tersebut akan ber-
resonansi dan ikut berperan penting dalam me-replika kembali sinyal input menjadi
49
sinyal output dengan frekuensi yang sama. Rangkaian ini jika diberi umpanbalik dapat
menjadi rangkaian osilator RF yang sering digunakan pada pemancar. Penguat kelas C
memiliki efisiensi yang tinggi bahkan sampai 100%, namun tingkat fidelitasnya memang
lebih rendah. Tetapi sebenarnya fidelitas yang tinggi bukan menjadi tujuan dari penguat
jenis ini.
IV.6 PA kelas D
Penguat kelas D menggunakan teknik PWM (pulse width modulation), dimana
lebar dari pulsa ini proporsioal terhadap amplituda sinyal input. Pada tingkat akhir, sinyal
PWM men-drive transistor switching ON dan OFF sesuai dengan lebar pulsanya.
Transistor switching yang digunakan biasanya adalah transistor jenis FET. Konsep
penguat kelas D ditunjukkan pada gambar-11. Teknik sampling pada sistem penguat
kelas D memerlukan sebuah generator gelombang segitiga dan komparator untuk
menghasilkan sinyal PWM yang proporsional terhadap amplituda sinyal input. Pola
sinyal PWM hasil dari teknik sampling ini seperti digambarkan pada gambar-12. Paling
akhir diperlukan filter untuk meningkatkan fidelitas.
50
Gambar IV.12 Ilustrasi modulasi PWM penguat kelas D
IV.7 PA kelas E
Penguat kelas E pertama kali dipublikasikan oleh pasangan ayah dan anak Nathan
D dan Alan D Sokal tahun 1972. Dengan struktur yang mirip seperti penguat kelas C,
penguat kelas E memerlukan rangkaian resonansi L/C dengan transistor yang hanya
bekerja kurang dari setengah duty cycle. Bedanya, transistor kelas C bekerja di daerah
aktif (linier). Sedangkan pada penguat kelas E, transistor bekerja sebagai switching
transistor seperti pada penguat kelas D. Biasanya transistor yang digunakan adalah
transistor jenis FET. Karena menggunakan transistor jenis FET (MOSFET/CMOS),
penguat ini menjadi efisien dan cocok untuk aplikasi yang memerlukan drive arus yang
besar namun dengan arus input yang sangat kecil. Bahkan dengan level arus dan tegangan
logik pun sudah bisa membuat transitor switching tersebut bekerja. Karena dikenal
efisien dan dapat dibuat dalam satu chip IC serta dengan disipasi panas yang relatif kecil,
penguat kelas E banyak diaplikasikan pada peralatan transmisi mobile semisal telepon
genggam. Di sini antena adalah bagian dari rangkaian resonansinya.
51
IV.8 PA kelas T
Penguat kelas T bisa jadi disebut sebagai penguat digital. Tripath Technology
membuat desain digital amplifier dengan metode yang mereka namakan Digital Power
Processing (DPP). Mungkin terinspirasi dari PA kelas D, rangkaian akhirnya
menggunakan konsep modulasi PWM dengan switching transistor serta filter. Pada
penguat kelas D, proses dibelakangnnya adalah proses analog. Sedangkan pada penguat
kelas T, proses sebelumnya adalah manipulasi bit-bit digital. Di dalamnya ada audio
prosesor dengan proses umpanbalik yang juga digital untuk koreksi timing delay dan
phase.
IV.9 PA kelas G
Kelas G tergolong penguat analog yang tujuannya untuk memperbaiki efesiensi
dari penguat kelas B/AB. Pada kelas B/AB, tegangan supply hanya ada satu pasang yang
sering dinotasikan sebagai +VCC dan –VEE misalnya +12V dan –12V (atau ditulis dengan
+/-12volt). Pada penguat kelas G, tegangan supply-nya dibuat bertingkat. Terutama untuk
aplikasi yang membutuhkan power dengan tegangan yang tinggi, agar efisien tegangan
supplynya ada 2 atau 3 pasang yang berbeda. Misalnya ada tegangan supply +/-70 volt,
+/-50 volt dan +/-20 volt. Konsep ranagkaian PA kelas G seperti pada gambar-13.
Sebagai contoh, untuk alunan suara yang lembut dan rendah, yang aktif adalah pasangan
tegangan supply +/-20 volt. Kemudian jika diperlukan untuk men-drive suara yang keras,
tegangan supply dapat di-switch ke pasangan tegangan supply maksimum +/-70 volt.
52
Gambar IV.13 Konsep penguat kelas G dengan tegangan supply yang bertingkat
IV.10 PA kelas H
Konsep penguat kelas H sama dengan penguat kelas G dengan tegangan supply
yang dapat berubah sesuai kebutuhan. Hanya saja pada penguat kelas H, tinggi rendahnya
tegangan supply di-desain agar lebih linier tidak terbatas hanya ada 2 atau 3 tahap saja.
Tegangan supply mengikuti tegangan output dan lebih tinggi hanya beberapa volt.
Penguat kelas H ini cukup kompleks, namun akan menjadi sangat efisien.
53
Bab V
Operational Amplifier
Karakteristik Op-Amp
Kalau perlu mendesain sinyal level meter, histeresis pengatur suhu, osilator,
pembangkit sinyal, penguat audio, penguat mic, filter aktif semisal tapis nada bass,
mixer, konverter sinyal, integrator, differensiator, komparator dan sederet aplikasi
lainnya, selalu pilihan yang mudah adalah dengan membolak-balik data komponen yang
bernama op-amp. Komponen elektronika analog dalam kemasan IC (integrated circuits)
ini memang adalah komponen serbaguna dan dipakai pada banyak aplikasi hingga
sekarang. Hanya dengan menambah beberapa resitor dan potensiometer, dalam sekejap
(atau dua kejap) sebuah pre-amp audio kelas B sudah dapat jadi dirangkai di atas sebuah
proto-board.
54
Pada rangkaian yang demikian, persamaan pada titik Vout adalah Vout = A(v1-v2)
dengan A adalah nilai penguatan dari penguat diferensial ini. Titik input v1 dikatakan
sebagai input non-iverting, sebab tegangan vout satu phase dengan v1. Sedangkan
sebaliknya titik v2 dikatakan input inverting sebab berlawanan phasa dengan tengangan
vout.
55
Simbol op-amp adalah seperti pada gambar-2(b) dengan 2 input, non-inverting (+)
dan input inverting (-). Umumnya op-amp bekerja dengan dual supply (+Vcc dan –Vee)
namun banyak juga op-amp dibuat dengan single supply (Vcc – ground). Simbol
rangkaian di dalam op-amp pada gambar-2(b) adalah parameter umum dari sebuah op-
amp. Rin adalah resitansi input yang nilai idealnya infinit (tak terhingga). R out adalah
resistansi output dan besar resistansi idealnya 0 (nol). Sedangkan AOL adalah nilai
penguatan open loop dan nilai idealnya tak terhingga.
Saat ini banyak terdapat tipe-tipe op-amp dengan karakterisktik yang spesifik.
Op-amp standard type 741 dalam kemasan IC DIP 8 pin sudah dibuat sejak tahun 1960-
an. Untuk tipe yang sama, tiap pabrikan mengeluarkan seri IC dengan insial atau nama
yang berbeda. Misalnya dikenal MC1741 dari motorola, LM741 buatan National
Semiconductor, SN741 dari Texas Instrument dan lain sebagainya. Tergantung dari
teknologi pembuatan dan desain IC-nya, karakteristik satu op-amp dapat berbeda dengan
op-amp lain. Tabel-1 menunjukkan beberapa parameter op-amp yang penting beserta
nilai idealnya dan juga contoh real dari parameter LM714.
56
menjadi tidak stabil. Input diferensial yang amat kecil saja sudah dapat membuat
outputnya menjadi saturasi. Pada bab berikutnya akan dibahas bagaimana umpan balik
bisa membuat sistem penguatan op-amp menjadi stabil.
57
penguatan tegangan ini (common mode) sekecil-kecilnya. CMRR didefenisikan dengan
rumus CMRR = ADM/ACM yang dinyatakan dengan satuan dB. Contohnya op-amp dengan
CMRR = 90 dB, ini artinya penguatan ADM (differential mode) adalah kira-kira 30.000
kali dibandingkan penguatan ACM (commom mode). Kalau CMRR-nya 30 dB, maka
artinya perbandingannya kira-kira hanya 30 kali. Kalau diaplikasikan secara real,
misalkan tegangan input v1 = 5.05 volt dan tegangan v2 = 5 volt, maka dalam hal ini
tegangan diferensialnya (differential mode) = 0.05 volt dan tegangan persamaan-nya
(common mode) adalah 5 volt. Pembaca dapat mengerti dengan CMRR yang makin besar
maka op-amp diharapkan akan dapat menekan penguatan sinyal yang tidak diinginkan
(common mode) sekecil-kecilnya. Jika kedua pin input dihubung singkat dan diberi
tegangan, maka output op-amp mestinya nol. Dengan kata lain, op-amp dengan CMRR
yang semakin besar akan semakin baik.
58
Bab VI
Osilator Relaksasi
Rangkaian VI.1 berikut adalah rangkaian osilator dengan satu komparator. Mari
kita analisa rangkaian ini bagian perbagian. Bagian pertama adalah rangkaian umpanbalik
(feedback) positif yang terdiri dari resistor R1 dan R2. Kedua resistor ini tidak lain
merupakan pembagi tegangan yang meng-umpanbalik-kan sebagian porsi dari tegangan
output komparator. Tengangan umpanbalik ini diumpankan kembali pada masukan
referensi positif komparator LM393. Kita sebut saja titik masukan ini titik referensi
positif atau dengan notasi +vref. Karena tegangan output komparator op-amp bisa
mecapai titik tertinggi (+Vsat) dan bisa juga ada pada titik terendah (-Vsat), maka
tegangan titik referensi ini juga akan berubah-ubah.
Jika tegangan keluaran op-amp ada pada titik tertinggi (+Vsat) maka tengangan
referensi op-amp pada saat ini adalah +vref = +BVsat. B diketahui adalah porsi tegangan
umpanbalik yaitu B = (R1/R2+R1). Kita sebut tegangan ini titik UTP (upper trip point).
Sebaliknya jika tegangan keluaran komparator ada pada titik terendah (-Vsat), maka
tegangan referensi positif pada saat ini adalah +vref = -BVsat dan kita namakan tegangan
tersebut titik LTP (lower trip point). Ini dikenal dengan histeresis.
59
Gambar VI.1 rangkaian osilator relaksasi dengan op-amp
Bagian lain dari rangkaian gambar-1 adalah rangkaian umpanbalik negatif yang
terdiri dari resistor R dan kapasitor C. Sama halnya seperti rangkain umpanbalik positif,
tegangan referensi negatif pada bagian ini juga akan berubah-ubah tergantung dari
tegangan keluaran pada saat itu. Kita sebut saja titik referensi komparator ini -vref.
Bedanya, pada rangkaian umpanbalik negatif ada komponen C yang sangat berperan
dalam pembentukan osilasi. Tegangan -vref akan berbentuk eksponensial sesuai dengan
sifat pengisian kapasitor. Dari keadaan kapasitor C yang kosong, tegangan akan menaik
secara ekponensial. Namun pada rangkaian ini tegangan -vref tidak akan dapat mencapai
tegangan tertinggi +Vsat. Karena ketika tegangan -vref sudah mencapai titik UTP maka
keluaran komparator op-amp akan relaks menjadi -Vsat.
Demikian juga sebaliknya ketika tegangan keluaran op-amp relaks pada titik
saturasi terendah -Vsat, kapasitor C kembali kosong secara eksponensial. Tentu saja
pengosongan kapasitor C tidak akan sampai menyebabkan tegangan -vref mencapai
-Vsat. Ingat jika tegangan keluaran op-amp pada titik saturasi terendah (-Vsat), tegangan
referensi positif berubah menjadi titik LTP, sehingga ketika -vref < LTP tegangan
60
keluaran op-amp kembali relaks ke titik saturasi tertinggi (+Vsat). Demikian seterusnya
sehingga terbentuk osilasi pada keluaran komparator.
Demikian prinsip kerja osilator ini dan dinamakan osilator relaksasi sebab
tegangan keluarannya relaks pada titik saturasi tertinggi dan terendah. Berapa frekuensi
osilator yang dapat dibuat, bisa dihitung dari kecepatan pengisian dan pengosongan
kapasitor C melalui resistasi R. Pada gambar diagram waktu gambar-2, hendak
ditentukan berapa perioda T dari osilator. Karena T = 2t maka dihitung saja berapa nilai t.
Pada contoh ini t = t2-t1.
61
Dengan mengaplikasikan persamaan matematika eksponensial dari persamaan di atas
akan diperoleh :
t = t2-t1 = RC ln [( 1+B)/(1-B)]
dan
T = 2t = 2RC ln [( 1+B)/(1-B)]
Tentu frekuensi osilator dapat dihitung dengan f = 1/T. Sebagai contoh pada rangkaian
gambar 1, jika dihitung maka akan didapat T = 589 us atau f = 1.7 kHz.
62
Bab VII
Wien-bridge oscillator
Pembangkit gelombang sinus merupakan instrumen utama yang perlu ada dalam
tiap bengkel disain elektronika. Misalnya diperlukan untuk pengujian rangkaian audio
HiFi yang memerlukan sinyal sinusoidal sebagai input. Pada tulisan ini akan dibahas
fenomena osilator, bagaimana cara sinyal ini dibangkitkan dan realisasi rangkaiannya.
Ada banyak tipe-tipe osilator yang dikenal sesuai dengan nama penemunya antara lain
Amstrong, Colpitts, Hartley dan lain sebagainya. Namun pada tulisan kali ini akan di
kemukan osilator Wien-bridge yang dapat direalisasikan dengan satu op-amp dan
beberapa komponen pasif.
Fenomena osilasi tercipta karena ada ketidak-stabilan pada sistem penguat dengan
umpanbalik. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada gambar berikut, yaitu sistem penguat A
dengan umpan balik B. Biasanya sistem umpanbalik dibuat untuk mencapai suatu
keadaan stabil pada keluarannya dengan mengatur porsi penguatan umpanbalik dengan
nilai tertentu. Namun ada suatu keadaan dimana sistem menjadi tidak stabil. Secara
matematis sistem ini dimodelkan dengan rumus 1.
63
Rumus 1 model sistem penguat
Pada rumus 1, sistem menjadi tidak stabil jika 1+AB = 0 atau AB= -1. Sehingga
Vout/Vin pada rumus tersebut nilainya menjadi infinite. Keadaan ini dikenal dengan
sebutan kriteria Barkhausen. AB = -1 dapat juga ditulis dengan :
AB = 1 (F - 180o)
Inilah syarat terjadinya osilasi, jika dan hanya jika penguatan sistem keseluruhan
= 1 dan phasa sinyal tergeser (phase shift) sebesar 180o. Seperti yang sudah diketahui
pada rangkain filter pasif, satu tingkat (single pole) rangkaian RL atau RC dapat
menggeser phasa sinyal sebesar 90o. Setidak-tidaknya diperlukan rangkaian penggeser
phase 2 tingkat agar phasa sinyal tergeser 180o. Sebenarnya rangkaian LC adalah
pengeser phase 2 tingkat, namun untuk aplikasi frekuensi rendah (< 1 MHz) akan
diperlukan nilai induktansi L yang relatif besar dengan ukuran fisik yang besar juga.
Sehingga pada kali dihindari pemakaian induktor L tetapi menggunakan rangkaian
penggeser phasa RC 2 tingkat.
Inilah rangkaian RC yang akan digunakan sebagai rangkaian umpanbalik pada sistem
pembangkit gelombang sinus yang hendak dibuat.
64
VII.2 Rangkaian osilator Wien-bridge dengan satu op-amp
Osilator dinamakan demikian karena penemunya Max Wien lahir tahun 1866 di
Kaliningrad Rusia dan tinggal di Jerman adalah orang pertama yang mencetuskan ide
penggeser phasa 2 tingkat. Secara utuh bentuk rangkaian tersebut ada pada gambar VI.3
berikut. Rangkain ini merupakan analogi dari sistem umpanbalik seperti model gambar-1.
Tentu anda sekarang dapat menunjukkan dimana penguat A dan yang mana umpanbalik
dengan penguatan B.
Dari teori diketahui penguatan A adalah penguatan op-amp yang dibentuk oleh
rangkaian resistor Rf dan Rg yang dirangkai ke input negatif op-amp. Rumus
penguatannya adalah :
65
Pada rangkain gambar VII.3 diketahui Rf = 2Rg, sehingga dengan demikian besar
pengguat A = 3. Dengan hasil ini, untuk memenuhi syarat terjadinya osilasi dimana AB =
1 maka B penguatannya harus 1/3. Karena keterbatasan ruang, pembaca dapat
menganalisa sendiri rangkaian penggeser phasa pada gambar-2 dengan pesyaratan osilasi
yaitu Vout/Vin = 1/3. Pembaca akan menemukan bahwa rangkaian penggeser phasa
tersebut akan mencapai nilai maksimum pada satu frekuensi tertentu. Nilai maksimun ini
akan tercapai jika wC = R dan diketahui w = 2pf. Selanjutnya jika diuraikan dapat
diketahui besar frekuensi ini adalah :
Ini yang dikenal dengan sebutab frekuensi resonansi (resonant frequency). Dengan
demikian osilator wien yang dibuat akan menghasilkan gelombang sinus dengan
frekuensi resonansi tersebut.
66
Gambar VII.4 jembatan Wien
Tentu sekarang anda sudah dapat melihat ada jembatannya bukan. Ya, rangkaian yang
berbentuk seperti dioda bridge itulah jembatannya, jembatan Wien.
Dengan menggunakan rumus 3, rangkaian gambar VII.3 (atau gambar VII.4) akan
menghasilkan gelombang sinusoidal dengan frekuensi 1.59 kHz. Tetapi kalau anda
berkesempatan mencoba rangkaian ini dan mengukur hasilnya dengan osiloskop atau
frekuesi counter, ternyata frekuensi resonansinya adalah 1.65 kHz. Hal ini memang
diketahui karena adanya distorsi pada rangkaian penggeser phasa yang non-linier. Untuk
mengkompensasi distorsi tersebut, dapat digunakan rangkaian umpanbalik nonlinear.
Misalnya dengan mengganti resistor Rg dengan lampu dc 6volt 1 watt, tentu besar
resistor Rf juga harus disesuaikan agar tetap nilainya lebih kurang 2Rg. Besar arus yang
melewati lampu tidak akan menyalakannya, tetapi cukup untuk memanaskan filamennya.
Besar resistansi lampu akan berubah-ubah karena pasan sesuai dengan besar arus yang
melewatinya. Ini yang membuat penguatan op-amp mejadi tidak liner. Pada rangkaian
pembangkit sinyal sinus jembatan Wien yang lebih profesional biasanya kompensasi ini
dibuat dengan menambahkan rangkaian AGC (automatic gain controller).
67
68