Arena Produksi Budaya

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 12

ARENA PRODUKSI BUDAYA

Pengantar
Dalam penelitian ini fokus penelitian yang bisa diamati adalah kelompok orang-orang yang
berpengaruh pada perubahan desain batik, khususnya gaya keratonan Yogyakarta. Penelitian ini
merupakan sebuah proses yang berkesinambungan sejak awal hingga akhir, hingga bisa
dimunculkan model atau pola yang bisa dirumuskan. Melalui proses induktif yang bisa berupa
ucapanucapan, perilaku subyek penelitian maupun situasi lapangan penelitian, diharapkan
terumuskan konsep maupun teori.
Saya membuat analisis berdasar temuan-temuan penelitian tentang habitus sebagai keseluruhan
pengetahuan yang berhubungan dengan lingkungan di mana batik lahir dan berkembang. Diamati
pula posisi para agen di medan pertarungan pasar . Apa saja jenis-jenis kapital ekonomi, budaya
dan simbolik yang dimiliki, dicari dan diperjuangkan untuk meneguhkan posisi dalam arena.
Bagaimana bentukbentuk praksis, strategi dan relasi-relasi dalam arena produksi budaya dan
arena kekuasaan, juga trayektori para agen dalam arena produksi budaya., hingga terbaca
polanya. Untuk memahami arena produksi budaya secara keseluruhan, saya merasa perlu untuk
mengamati struktur arena.
Untuk itu saya menggunakan kerangka pemikiran Pierre Bordieu dalam Outline of a Theory of
Practice (1977), Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste (1984) dan The Field of
Cultural Production (1993). Juga karena saat ini orientasi budaya tak hanya bersifat regional atau
nasional, tetapi meluas ke global dengan serangkaian nilai dan norma baru, dan di saat lokalitaslokalitas saling berupaya untuk meredefinisi diri, menentukan bentuk-bentuk kebudayaan baru dan
untuk melihat bagaimana identitas kebudayaan mereposisi diri, saya menggunakan kerangka
pemikiran Arjun Appadurai dalam Modernity at Large (2000) dan Disjuncture and Difference in
the Global Cultural Economy di dalam The Anthropology of Globalization (2002)
Saya merasa perlu untuk memperjelas landasan pemikiran Bordieu dan Appadurai yang akan
berguna saat membuat analisis tentang struktur arena, di mana letak posisi-posisi yang diduduki
oleh para produsen yaitu para penggarap batik, juga yang diduduki oleh kekuatan-kekuatan yang
menentukan otorisasi dan legitimasi, yaitu pengakuan yang membuat produk budaya itu sah
menjadi suatu produk budaya. Dengan landasan pemikiran tersebut saya membuat analisis posisiposisi di dalam arena kekuasaan yang lebih luas. Secara menyeluruh mencoba untuk melihat
kesatuan kondisi sosial yang meliputi produksi, sirkulasi dan konsumsi batik keratonan sebagai
suatu dagangan simbolik.)
1) Kerangka Pemikiran
1.1) Pierre Bourdieu
Dalam upaya mencari relasi antara struktur obyektif yaitu kebudayaan1 dan agen yaitu individu,
Pierre Bourdieu memproposisikan sebuah teori bagi analisis dialektik kehidupan praksis 2). Dua alat
1

Kumpulan pengetahuan yang membangun relasi-relasi sosial obyektif---yang terinternalisasi


dandisosialisasikan sejak dini----, seperti kemampuan bahasa atau ekonomi yang bisa membentuk
(menstruktur) praksis dan representasinya yaitu pengetahuan primer, baik praktis maupun tasit (yang
tak terucapkan) dari dunia sehari-hari yang kita kenal (lihat Bourdieu, 1977:3)

2 Saya menggunakan kata praksis dan bukan praktik (yang bisa bermakna tindakan saja) sebagaiterjemahan
dari pratique, karena konsep praksis bila dikaitkan dengan konsep habitus, kapital dan
ranah (field)mengandung keberagaman dimensi yang tidak linier, selalu dinamis dan fluktuatif
tergantung dari kepentingan dan kekuasaan pelaku.
Richard Nice, penterjemah yang dianggap paling kompeten oleh Bourdieu (lihat Harker et al, 1990:

konseptual yang digunakan oleh Bourdieu adalah habitus dan arena yang ditopang oleh konsep
tentang kekuatan simbolik, strategi dan perjuangan untuk mencapai kekuasaan simbolik dan
material melalui beragam kapital yaitu ekonomi, budaya dan simbolik. Formula yang menurut
Bourdieu non-linier menggantikan relasi yang sederhana antara individu dan struktur dengan
relasi-relasi yang dikonstruksikan antara habitus dan arena hingga tercapai: (Habitus X Kapital) +
Arena = Praksis (Bourdieu, 1984: 101).
Habitus
Akar kata habitus merujuk pada praksis, sistem dan aturan yang diambil oleh habit, kebiasaan
yang berawal dari rumah tangga sebagai habitus primer yang dimodifikasi dan dibangun oleh
pergerakan individual melalui pendidikan, pekerjaan dan lingkungan sosial lainnya menjadi habitus
sekunder atau tertier. Hal tersebut membentuk cara untuk memahami dan menghadapi dunia yang
dimiliki oleh seseorang melalui pengalaman hidupnya, menyangkut posisi sosial seseorang, dan
yang paling penting adalah merujuk pada lingkungan tempat kita tumbuh.(Bourdieu, 1984:466)
Secara harfiah, habitus adalah kata Latin yang merujuk pada habitual, kebiasaan atau kondisikondisi tipikal, penampilan, terutama tampilan tubuh. Bagi Bourdieu, habitus adalah sistem skema
generatif yang diperoleh dan secara obyektif disesuaikan pada kondisi-kondisi partikular tempat ia
berada: The habitus is a system of durable, transposable dispositions which functions as the
generative basis of structured, objectively unified practices (Bourdieu 1977: 72). Habitus adalah

51), dalam pengantar Outline of a Theory of Practice (1977), terjemahan dari Esquisse dune theorie
de la pratique (1972) menghindari terjemahan harafiah untuk bisa menangkap esensi argumentasi
Bourdieu, utamanya konsep-konsep pratique (practical logic) dan kapital simbolik (lihat
Nice,1977:vii)
Richard Jenkins dalam Pierre Bourdieu, Key Sociologist (1996) melihat fokus Bourdieu adalah
dunia sosial pratique dengan keberagaman rubrik antara lain interaksi sosial, keseharian dan
perilaku sosial hingga lebih tepat bila disebut sebagai practical logic (lihat Jenkins,1996:69-70)
Haryatmoko dalam Landasan Teoritis Gerakan Sosial Menurut Pierre Bourdieu, (BASIS , 2003:
52) membahas konsep habitus Bourdieu sebagai kerangka penafsiran individu untuk memahami
realitas dan memiliki dimensi prakseologis (arah orientasi sosial) yang mampu mengatasi dikotomi:
individu - masyarakat, agen - struktur sosial, kebebasan - determinisme. Bourdieu melihat habitus
sebagai sumber penggerak tindakan, pemikiran dan representasi melalui logika praksis yaitu
strategi pelaku-pelaku sosial dalam lingkup sosial yang tidak setara, konfliktual dan berdimensi
jamak (lihat Haryatmoko, 2003: 8-11).
Bachtiar Alam dalam Antropologi dan Civil Society: Pendekatan Teori Kebudayaan, Antropologi
Indonesia (XXIII, 1999) melihat konsep praksis Bourdieu dibedakan dari konsep tindakan Weber
yang diwarisi oleh pendekatan interpretif Geertz (1973). Dalam sosiologi Weber, konsep tindakan
dilihat sebagai cerminan ide-ide yang merupakan kumpulan pengetahuan yang diwariskan atau
dilestarikan dalam kebudayaan si pelaku, hingga tindakan dipengaruhi oleh kekuatan yang berada di
luar diri pelaku. Sedang konsep praksis menekankan hubungan timbal-balik antara pelaku dan
struktur obyektif atau kebudayaan (Bourdieu, 1977:83) yang senantiasa bersifat cair, dinamis dan
sementara karena bergantung pada praksis para pelakunya yang berada pada konteks sosial tertentu,
suatu bentuk konstruksi sosial yang berkaitan dengan kepentingan maupun kekuasaan pelaku (lihat
Alam, 1999:7)

sebuah sistem disposisi3) yang durable juga transposableyaitu memiliki kemampuan untuk
bertahan lama juga berubah-ubah atau berpindahpindah.
Habitus menghasilkan dan dihasilkan oleh kehidupan sosial: di satu pihak, ia merupakan struktur
yang menstruktur (structuring structures), struktur yang menstruktur kehidupan sosial, di lain pihak
ia merupakan struktur yang terstruktur (structured structures), distrukturisasi oleh dunia sosial
(Bourdieu, 1977:72) Disposisi-disposisi, yaitu kompetensi dan kecenderungan- kecenderungan
yang direpresentasikan oleh habitus disebut durable , berlangsung lama karena telah menyatu
dengan tubuh sepanjang usia agen, hingga tak lagi disadari. Habitus juga transposable dalam
artian mampu menggerakkan beragam dan berlipat-ganda kegiatan maupun persepsi dalam arenaarena ( yang bisa berbeda dari tempatnya semula diperoleh) dan merupakan structured
structures atau struktur-struktur yang terstruktur yang merangkum kondisi-kondisi sosial obyektif
yang terekam olehnya. Disposisi habitus adalah structuring structures berkat kemampuannya
untuk membangun praksis yang disesuaikan dengan situasi-situasi tertentu (Bourdieu, 1977:72-78)
Habitus sebagai sense pratique, sebuah kesadaran praksis yang merupakan serangkaian
disposisi yang mampu menggerakkan persepsi dan tindakan adalah buah dari suatu proses
inculcation---- pembatinan atau perekaman yang membekas dalam benak akibat anjuran berulangulang dan terus menerus---- yang berlangsung lama, berawal dari sejak kanak-kanak melalui
lingkungan keluarga juga melalui lingkungan pendidikan maupun institusi non-formal tumbuh
menjadi suatu yang dianggap alamiah dan dengan sendirinya dianggap wajar (Bourdieu, 1990 : 5354 ; 1993: 5). Perekaman atau pembatinan kondisi-kondisi sosial obyektif oleh habitus
membuahkan kemiripan habitus antar agen yang berasal dari kelas sosial yang sama dan dengan
demikian Bourdieu, berdasar penelitian empiriknya dalam Distinction (1984) mampu berbicara
secara statistik mengenai habitus kelas yang membangun preferensi-preferensi yang senada
dalam cakupan kegiatan kebudayaan yang luas.
Dalam Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste yang didasari pada dua penelitian di
tahun 1963 dan 1967-8, dengan sampel 1217 orang di Paris, Lille dan sebuah kota kecil provinsial,
kuesioner) diawali dengan pertanyaan tentang usia, gender dan okupasi ----di sini ditekankan be
as precise as possible--- yang bertujuan untuk mengungkapkan preferensi responden terhadap
area-area kultural seperti pilihan perlengkapan rumah tangga, genre film, acara makan malam,
musik dan lukisan apa yang digemari. Juga pewawancara diminta untuk mengisi checklist, daftar
isian secara pribadi bagaimana tampilan fisik dan cara berbicara subyek pengamatan, hingga bisa
dibangun suatu gambaran tentang taste, selera dari responden, sebuah potret yang bila digabung
dengan yang lainnya dan digolong-golongkan dalam sub-grup berdasarkan okupasi, bisa
digunakan untuk membangun sebuah skema tentang pilihan gaya hidup dan relasinya dengan
posisi kelas.
Disposisi-disposisi yang membentuk habitus dalam waktu yang cukup lama itu hanya bisa
dimaknai dalam artian berfungsi dan sah keberadaannya di dalam sebuah field of forces , arena
pertarungan yang bisa disebut sebagai arena kekuatan-kekuatan yang dinamis tempat beragam
potensi dimungkinkan hadir di dalamnya. Itulah sebabnya beberapa tindakan bisa memiliki makna
dan nilai yang berbeda bila berada dalam arena yang berbeda, dalam konfigurasi berbeda atau
dalam sektor yang berseberangan dalam arena yang sama (Bordieu, 1984:94)
3 Pilihan kata disposisi (disposition) mampu mengekspresikan konsep habitus ----yang didefinisikansebagai suatu
sistem disposisi---- sebagai hasil dari tindakan yang terorganisasi, berarti dekat dengan
pengertian struktur; juga menandakan a way of being, a habitual state, bentuk keberadaan dan
kebiasaan (tubuh), dan khususnya merupakan predisposisi, kecenderungan (yang mengarah) dan
alamiah (lihat Bourdieu, 1977: 214)

Habitus terdiri dari selain pengetahuan individual juga bagaimana ia memahami dunianya,
menyumbang pada realita dunianya. Singkatnya, habitus adalah mindset seseorang yang
disesuaikan dengan kondisi-kondisi tertentu yang dihadapinya. Pengetahuan individual memiliki
kekuatan konstitutif (membangun yang esensial) dan bukan sekedar refleksi dari dunia nyata.
Karenanya habitus tak pernah fixed atau statis, baik menurut waktu bagi individual maupun dari
satu generasi ke generasi berikutnya. Bila posisi dalam arena berubah, begitu pula disposisi yang
membentuk habitus. (Bourdieu, 1984: 467).
Kapital
Bourdieu mengumpamakan kehidupan bagaikan sebuah game, permainan yang menggunakan
kapital sebagai duit modalnya. Seorang agen atau pemain bisa memiliki dua kapital atau modal,
bisa juga hanya satu atau tidak sama sekali. Jalin-menjalin yang kompleks antara dua kekuatan
modal ---- yang bisa berfluktuasi, berlebihan atau berubah arah ----- bisa menentukan kesempatan
hidup agen tersebut. Bila Marxisme klasik melihat kapital dari segi ekonomis semata, Bourdieu
memperluas konsepnya untuk memasukkan unsur kebudayaan. Dalam skemanya, kapital ekonomi
memang masih menjadi kekuatan sosial sentral yang mampu mendorong perbedaan kelas; namun
modal kapital budaya juga memiliki peran besar dalam permainan hidup (Bourdieu,1977:178)
Bagi Bourdieu, definisi kapital bisa memiliki cakupan yang luas, dari yang material dan memiliki
nilai simbolik, hingga yang tak tersentuh namun secara budaya dianggap memiliki atribut-atribut
signifikan seperti prestise, status dan otoritas, dianggap sebagai kapital simbolik, sedang kapital
budaya didefinisikan sebagai pola-pola yang dilandasi selera dan konsumsi budaya. Karenanya,
capital merupakan relasi atau hubungan sosial dalam satu sistem pertukaran, dan ini berlaku untuk
semua benda, material maupun simbolik, tanpa perbedaan, yang merepresentasikan diri sebagai
sesuatu yang langka dan layak untuk dicari, dikejar dalam satu bentuk formasi sosial tertentu,
antara lain kehormatan dan distingsi (Bourdieu, 1977:178).
Sebagai energi sosial yang membuahkan hasil dalam arena produksi budaya, tempat produksi dan
reproduksi, kapital simbolik merujuk pada tingkat akumulasi prestise, kesucian (consecration) dan
kehormatan (honour) yang didasari oleh dialektika antara pengetahuan (connaissance) dan
pengakuan (reconnaissance) sedang kapital budaya menyangkut segala bentuk pengetahuan
tentang kebudayaan, kompetensi atau disposisi ( Bourdieu, 1990: 22,111 ). Dalam Distinction
(1984), tempat Bourdieu mengelaborasi konsep kapitalnya, kapital budaya dijabarkan sebagai
sebuah bentuk pengetahuan, sebuah kode yang diinternalisasi atau perolehan kognitif yang
melengkapi agen sosial dengan rasa empati, apresiasi atau kompetensi menguraikan (dalam artian
memahami) relasi-relasi budaya berikut artefak- artefak budaya. Kapasitas untuk melihat (voir)
adalah satu bentuk fungsi dari pengetahuan (savoir), konsep kata-kata yang mampu menamai apa
yang terlihat, yaitu persepsi. (Bourdieu, 1984:2)
Untuk memasuki arena dan mampu bermain dalam pertarungan kekuatan di dalamnya, seseorang
harus memiliki habitus yang mengarahkannya untuk bisa berjaga-jaga atau beradaptasi sebelum ia
memasuki arena tersebut dan bukan yang lainnya. Ia harus memiliki paling tidak pengetahuan
minimum dan ketrampilan juga talent , talenta untuk bisa diterima sebagai seorang pemain yang
memiliki legitimasi. Berarti ia harus berupaya menggunakan seluruh pengetahuan, ketrampilan dan
talentanya dengan cara yang semenguntungkan mungkin. Untuk berhasil, ia harus
menginvestasikan seluruh kapital yang dimilikinya agar bisa memperoleh manfaat yang paling
besar atau keuntungan dari upayanya berpartisipasi dalam arena (Bourdieu, 1977:179-183).
Kapital karenanya harus berada di dalam arena untuk memaknainya.
Arena

Agen-agen tidak bergerak dalam kehampaan, namun dalam situasi-situasi sosial nyata yang ditata
dan dikuasai oleh relasi-relasi sosial obyektif 7). Untuk menjelaskannya, Bourdieu mengembangkan
konsep arena (Perancis: champ; Inggris: field). Konsep arena merupakan metafora yang digunakan
oleh Bourdieu untuk menggambarkan field of forces, arena kekuatan-kekuatan yang dinamis
tempat beragam potensi dimungkinkan hadir di dalamnya 4). Strategi dan trayektori5) adalah dua
konsep utama yang digunakan Bourdieu dalam teorinya tentang arena. Strategi bisa difahami
sebagai praksis dengan orientasi spesifik tertentu. Sebagai produk dari habitus, strategi merupakan
disposisi yang berada di bawah kesadaran dan bergantung pada posisi yang ditempati oleh agen
dalam arena, juga bergantung pada permasalahan apa yang mendasari konfrontasi. Itulah yang
membangun bentuk pertarungan dan orientasi arah penyelesaiannya. Sedang trayektori bisa
dilihat sebagai sesuatu yang merupakan hasil dari pergulatan dan perjuangan untuk mencapai
kapital simbolik dalam arena pertarungan, dan bisa diamati melalui jaringan relasi ekonomi, budaya
dan sosial (Bourdieu, 1984: 109-110).
Trayektori digunakan Bourdieu saat membicarakan posisi para parvenus (orang-orang kaya baru)
dan orang-orang dclass (yang tersingkirkan dari lingkungannya terdahulu). Orang-orang ini
berasal dari origin sosial yang berbeda dari kelompok di arena tempat mereka kini berada. Para
parvenus dan dclass dipastikan tiba melalui rute atau trayektori yang berbeda dari yang lain.
(Bourdieu, 1984: 109-110). Setiap arena, baik budaya, politik, ekonomi dan lainnya merupakan
arena yang relatif otonom namun homologus (memiliki kesamaan struktur). Struktur arena untuk
setiap saat tertentu ditentukan oleh relasi-relasi antara posisi-posisi para agen yang berada di
dalam arena, karenanya arena adalah sebuah konsep yang dinamis, setiap perubahan dalam
posisi agen akan membuahkan perubahan struktur arena (Bourdieu, 1993:44).
Habitus, Kapital, Arena dan Praksis
Praksis digambarkan oleh Bourdieu sebagai the dialectic of the internalization of externality and
the externalization of internality6)yaitu sebuah dialektika internalisasi dari eksternalitas dan
eksternalisasi dari internalitas. Sederhananya, suatu bentuk inkorporasi sekaligus obyektifikasi
(Bourdieu, 1977:72) Dalam analisis sosial tentang selera, habitus adalah upaya Bourdieu untuk
4 Istilah arena lebih tepat dari lapangan karena juga merupakan sebuah arena pertarungan merebutkekuasaan di
antara kekuatan-kekuatan tersebut. Pertarungan tersebut dilihat sebagai bisa
mentransformasi atau mempertahankan arena kekuatan. Posisi ditentukan oleh alokasi atas kapital
tertentu bagi aktor yang berada di dalam arena tersebut. Posisi-posisi yang dicapai dapat berinteraksi
dengan habitus untuk membentuk beragam postur (prises de position) yang memiliki efek independen
pada position taking di dalam arena tersebut. Dinamika arena didasari pada pertarungan perebutan
posisi dalam arena. (lihat Bourdieu, 1984: 244-246)

5 Bourdieu memperkenalkan istilah trajectory----jalur melengkung dari sebuah proyektil----- saatmembicarakan posisi
para parvenus, orang-orang kaya baru dan para dclass, yang tersingkirkan
dari lingkungannya terdahulu. (lihat Bourdieu, 1984: 109-110)

6 Bourdieu mengutip Jean-Paul Sartre dalam Being and Nothingness tentang kematian dankebangkitan
kemerdekaan (death and resurrection of freedom) yang memunculkan eksternalisasi
dari internalitas dan internalisasi dari eksternalitas. Wacana dialektika tersebut menunjukkan
bandul yang terus bergerak antara di dalam diri (in-itself) dan untuk diri (for-itself), antara
materialitas dan praksis (lihat Bourdieu, 1977: 75-76)

mengakui adanya kondisi-kondisi sosial untuk terbentuknya selera, namun juga masih menyisakan
ruang untuk agen manusia. Meskipun dalam logika praksis yang dilahirkan habitus dan
membentuk selera dideterminasi oleh perangkat kondisi material tertentu, namun praksis individual
merupakan strategi dalam situasi-situasi yang hasilnya belumlah pasti, karena dihadapkan oleh
strategi dari individu-individu lainnya. Karenanya, meski habitus bisa menjadi sebuah kerangka
tindakan, ia tidaklah statis dan dapat dibentuk oleh interaksi dari strategi-strategi yang diambil oleh
berbagai kelompok sosial. (Bourdieu, 1977: 81-83).
Dalam perspektif Bourdieu, potensi interplay, saling jalin-menjalin hubungan timbal-balik antara
agen, si pelaku dan struktur objektif atau kebudayaan sangat dinamis dan tidak sederhana.
Peranan habitus sebagai kognisi yang memandu seseorang untuk melakukan sesuatu tidaklah
linier, bergantung pada kapital yang dimiliki atau dikejar dan arena tempat dia berada atau yang
dituju.
1.2) Arjun Appadurai
Kini pada masyarakat yang berubah, nilai-nilai apa yang menjadi referensi? Bila orientasi kini tak
hanya bersifat regional atau nasional, tetapi meluas ke global dengan serangkaian nilai dan norma
baru, bagaimana pengaruhnya pada produk budaya lokal? Di saat lokalitas-lokalitas saling
berupaya untuk meredefinisi dan menentukan bentuk-bentuk kebudayaan baru, bagaimana
mereka mereposisi diri ?
Dalam Modernity at Large (2000), tentang modernitas yang mengembara711) Arjun Appadurai
sadar akan betapa sulitnya menangkap dan menggambarkan modernitas. Modernitas baginya
adalah dualitas yang menyatakan keberadaan sekaligus hasrat bagi penerapannya yang universal.
Inti dari Modernity at Large (2000) adalah rupture, robeknya pemaknaan umum ( tenor) tentang
hubungan antar sosial pada tiga dasawarsa terakhir abad ke 20. Ada dua hal utama penyebab
yang saling berjalin yaitu media dan migrasi dan keduanya menyatu dalam work of imagination,
karya imajinasi sebagai cirri pembentuk subyektivitas modern. Media elektronik mampu
mentransformasi arena mediasi massa, dengan kemampuannya untuk menawarkan sumbersumber baru dan disiplin baru yang bisa mengkonstruksikan citra diri dan dunia dalam imajinasi.
Selain itu, mediasi unsur penentu lainnya adalah migrasi atau gerak. Dalam sejarah manusia,
bukanlah hal baru terjadinya migrasi besar-besaran secara sukarela maupun secara paksa, namun
bila dipadankan dengan derasnya arus citra-citra8) yang digerakkan oleh media massa dan
sensasi-sensasinya, maka dunia dipenuhi oleh ketidak-stabilan dalam produksi subyektivitas
modern, maka kita melihat hadirnya citra-citra yang bergerak bertemu dengan pemirsa yang telah

7 at large bermakna bebas; berada di mana-mana secara acak;tanpa tujuan tertentu (Oxford , 2000)
8 Saya menterjemahkan images sebagai citra-citra untuk membedakannya dari gambar karenasifatnya yang virtual
dan mengandung sensasi yang menggugah imajinasi. Dalam istilah Appadurai:
Imagination has become a collective social fact, and this in turn, is the basis of the plurality of
imagined worlds,imajinasi telah menjadi fakta sosial kolektif dan inilah dasar dari pluralitas duniadunia
imajinasi (lihat Appadurai, 2000:5)

terdeteritorialisasi9) Hal ini membentuk ruang-ruang yang terdiaspora 10), fenomena-fenomena


yang menantang teori-teori yang masih bergantung pada menonjolnya nation-state, negara
sebagai penentu utama dalam perubahan sosial. (Appadurai, 2000:2-4).
Mediasi secara elektronik dan migrasi massal menandai dunia masa kini bukan saja secara teknis
sebagai kekuatan-kekuatan baru tapi juga mampu mendorong, bahkan memaksa daya imajinasi.
Ciri dari mobilitas events dan para pemirsanya yang bermigrasi membentuk inti hubungan antara
globalisasi dan modernitas. Manusia-manusia dalam dunia kontemporer kini bergerak berpindah
tak hanya dari desa ke kota, dalam ikatan batas (boundaries) nasional tapi juga antar nasional atau
trans-nasional.(Appadurai, 2000:4)
Appadurai mendeskripsikan pergerakan global manusia tersebut sebagai bagian dari global
ethnoscape yaitu suatu lansekap terdiri dari manusia-manusia yang membentuk dunia-dunia kita
berada yang bergerak : kaum turis, imigran, pengungsi, yang terasingkan (exiles), buruh pekerja,
juga kelompok maupun manusia- manusia yang bergerak yang membentuk wajah baru dunia
(Appadurai, 2002: 50-56). Dengan memberikan tekanan pada dimensi kebudayaan maka
kebudayaan tidak hanya dilihat sebagai properti milik individu atau kelompok dan menjadikannya
lebih sebagai alat yang berguna untuk membicarakan diferensiasi terutama pada identitas
kelompok yang begitu beragam. Dalam hal ini tekanan adalah pada bentuk keberbedaan
kebudayaan yang selain mengekspresikan juga menjadi dasar identitas kelompok ( Appadurai,
2000:12-13).
Modernitas dengan demikian dipostulasikan oleh Appadurai sebagai suatu dinamika sistem
kebudayaan global yang digerakkan oleh relasi-relasi di dalam beragam arus gerak manusia yang
membangun konstelasi kejadian-kejadian partikular dan bentuk-bentuk sosial yang contextdependent, bergantung pada konteks secara radikal (Appadurai, 2002: 60). Bila pada di masa
lampau kemampuan untuk membingkai kembali kehidupan sosial dihadirkan lewat mitologi dalam
berbagai bentuk yang imajinatif dan bentuk-bentuk ekpresinya menjadi basis dari sebuah dialog
yang kompleks antara imajinasi dan ritual, Appadurai mencatat ada tiga hal yang membedakan
dunia pasca-elektronik tempat imajinasi memegan peran yang signifikan: Pertama, imajinasi tak
lagi berada di ruang-ruang ekspresif yang khusus seperti seni, mitologi dan ritual, tapi telah
menjadi bagian dari kerja mental seharihari dan memasuki logika kehidupan sehari-hari, tempat ia
tersimpan. Fakta ini lebih dipertegas dengan kontekstualisasi gerak dan media. Kini menjadi
semakin mungkin untuk membayangkan hidup dan bekerja di luar tempat kita dilahirkan. Lebih
nyata lagi mereka yang terseret masuk ke dalam setting , tatanan baru yaitu kamp- kamp
pengungsi, tempat para pengungsi harus bergerak dan menyeret serta imajinasi mereka agar bisa
9 Lihat juga Dari Bounded System ke Borderless Society: Krisis Metode Antropologi dalamMemahami Masyarakat
Masa Kini, Irwan Abdullah (1999) tentang bagaimana kebudayaan agraris
mulai dipertanyakan oleh kekuatan di luar dirinya, akibat: a) tekanan mekanisme pasar yang
memperluas jaringan sosial, interaksi dan orientasi, b) integrasi pasar yang mengikat penduduk pada
tatanan yang lebih luas hingga batas-batas etnis lokal mengabur dan c) ekspansi pasar yang membuat
orientasi tak hanya lokal atau nasional tapi meluas ke global dengan serangkaian nilai dan norma baru
yang kesemuanya menghasilkan deteritorialisasi budaya (lihatAbdullah, 1999: 11-18)

10 Bagaimana buruh migran Turki di Jerman menonton film-film Turki di pemukiman di Jerman,imigran Korea di
Philadelphia menonton Olimpiade 1988 dipancarkan dari Seoul, dan pengemudi
taksi Pakistani di Chicago mendengarkan kaset ceramah agama hasil rekaman masjid-masjid di
Pakistan menunjukkan citra-citra yang bergerak bertumbukan dengan pemirsa yang
terdeteritorialisasi (lihat Appadurai, 2000:4)

bertahan di situ. Semuanya menjadi diaspora-diaspora11) harapan, teror dan keputusasaan( Appadurai, 2000: 6)
Diaspora-diaspora baru yang memiliki kemampuan untuk menggerakkan ingatan memori, harapan
dan hasrat menjadi mitografi, dengan membangun imajinasi ke dalam kehidupan orang
kebanyakan, dan inilah yang membedakannya dari disiplin mite 12) dan ritual didalam pengertian
yang klasik Mitografi memiliki kemampuan menggerakkan habitus menjadi improvisasi gerak cepat
bagi banyak orang dengan melahirkan imaji-imaji, naskah-naskah, model-model dan narasinarasi
baru melalui mediasi massa, bukan sekedar lawan dari kenyataan sehari-hari. (Appadurai, 2000:6)
Kedua, ada perbedaan antara imajinasi dan fantasi. Bila ide tentang fantasi berkonotasi terpisah
dari proyek dan aksi tindakan, maka imajinasi memiliki unsur proyektif, sebagai prelude awal dari
sesuatu ekspresi, estetik maupun tidak. Dan bila imajinasi tersebut kolektif bentuknya, ia bisa
menjadi penggerak tindakan. Ada kecenderungan kini pelahapan 13) media massa di seluruh dunia
untuk memprovokasi resistensi, ironi dan selektivitas kemudian menumbuhkan agency,
pembentukan aktor, dari para teroris yang membentuk diri mereka (modeling) untuk bersikap
seperti Rambo, hingga budaya T- shirt14) , musik rap dan seterusnya, kesemuanya menunjukkan
bagaimana imaji-imaji yang berasal dari media begitu cepat masuk ke dalam repertoar lokal untuk
diolah dan muncul dalam bentuk resistensi, ironi, atau malah menjadi bentuk humor. Bisa dikatakan
bahwa di mana ada pelahapan maka di situ ada penikmatan, dan di mana ada penikmatan, di situ
ada agency, pembentukan aktor. ( Appadurai, 2000: 7).
Perbedaan ketiga adalah imaginasi dalam bentuknya yang kolektif bisa menjadi panggung bagi
tindakan, bukan tempat pelarian. Imaginasi adalah milik dari kelompok-kelompok masyarakat. Di
sini peran dari media massa amat penting, karena ,melalui pembacaan kolektif, kritik dan
penikmatannya, terbangunlah sebuah community of sentiment , komunitas yang berimajinasi
tentang sesuatu dan kemudian merasakannya bersama yang disebut Appadurai sebagai moving
from shared imagination to collective action, bergerak dari imaginasi bersama menjadi kegiatan
bersama atau kolektif. Solidaritas yang terbentuk tersebut seringkali sifatnya transnasional bahkan
pasca-nasional, beroperasi melampaui batas-batas negara (Appadurai, 2000:8)
Antropologi adalah sebuah arsip dari aktualitas hidup, lived actualities. Sebagai sebuah arsip, ia
mengingatkan orang bahwa dalam setiap similaritas (persamaan) tersimpan lebih dari satu
11 Diaspora semula bermakna penyebaran orang-orang Yahudi ke tanah-tanah kaum gentile, nonYahudi. Istilah ini
digunakan Appadurai karena mengandung unsur keputus-asaan sekaligus harapan

12 Mite (dari muthos, bahasa Yunani untuk cerita) adalah penuturan (narasi) fiktif yang menyangkutperorangan atau
kejadian tentang dunia alam atau sejarah dari satu kebudayaan tertentu. Mite juga
merupakan perwujudan identitas kelompok ( The Dictionary of Anthropology, 2000, Thomas
Barfield,ed)

13Istilah ini saya anggap lebih tepat untuk terjemahan kata consumption yang digunakan Appaduraidari pada sekedar
konsumsi

14Seperti budaya kaos oblong bertulisan provokatif Dagadu di Yogya dan Joger di Bali

deferens (keberbedaan), dan similaritas maupun diferens saling menutupi satu sama lain. Karena
itu globalisasi bukanlah sebuah homogenisasi budaya (Appadurai, 2000:11). Ada dimensi budaya
dari globalisasi. Sengaja memilih bentuk adjektif, yaitu kata kebudayaan dari pada kata benda
budaya yang berimplikasi sebagai obyek, benda atau substansi, menjadi bagian dari biologisme,
termasuk juga ras, seperti pengertian antropologis di masa lampau yang justru ingin dihindari.
Budaya yang terasosiasi dengan substansi lebih menyembunyikan dari pada menampakkan,
sementara kata sifat kebudayaan mampu menampakkan wilayah di mana terjadi perbedaanperbedaan, kontras-kontras dan perbandingan. Karenanya sisi adjektif dari kebudayaan
membuatnya menjadi context-sensitive , peka terhadap konteks dan contrast centered,
menekankan kontras (Appadurai, 2000: 13).
Dalam relasinya dengan identitas kelompok, kebudayaan menjadi penanda perbedaan-perbedaan
yang telah dimobilisasi untuk mengartikulasikan batasan (boundary) dari perbedaan tersebut.
Menjawab tantangan boundary maintenance, pelanggengan batasan, kebudayaan adalah identitas
kelompok yang dibentuk antara lain oleh perbedaan-perbedaan. Kebudayaan tak hanya
menekankan pada kepemilikan atas atribut-atribut tertentu seperti material, linguistik atau teritorial,
namun juga kesadaran akan atribut tersebut dan naturalisasinya menjadi penting bagi identitas
kelompok (Appadurai, 2000: 13-14).
Masalah interaksi global adalah tegangan tarik- menarik antara homogenisasi dan heterogenisasi
budaya. Globalisasi sebenarnya juga historikal, tidak merata dan juga melokalisasi proses,
karenanya bukanlah berimplikasi homogenisasi juga Amerikanisasi, karena masyarakat yang
berbeda mengapropriasi15) material modernitas secara berbeda-beda pula. Bila genealogi dari
bentuk-bentuk budaya adalah tentang bagaimana bentuk sirkulasi mereka antar daerah, maka
sejarah bentuk-bentuk tersebut adalah bagaimana domestikasinya berlangsung menjadi local
practice , praktik lokal.(Appadurai, 2000: 17) Dengan memberikan tekanan pada dimensionalitas
kebudayaan dan bukannya subtansialitasnya saja, hal tersebut memungkinkan pemikiran
kebudayaan tidak sebagai properti milik individu atau kelompok dan menjadikannya lebih sebagai
alat yang berguna untuk membicarakan diferensiasi terutama pada identitas kelompok yang begitu
beragam. Bentuk-bentuk diferens budaya selain mengekspresikan juga menjadi dasar mobilisasi
identitas kelompok (Appadurai, 2000:14).
2) Analisis Arena Produksi Budaya Batik Keratonan Yogyakarta
Untuk memahami arena produksi budaya, saya merasa perlu untuk mengamati struktur arena, di
mana letak posisi-posisi yang diduduki oleh para produsen yaitu para penggarap batik, juga yang
diduduki oleh kekuatan-kekuatan yang menentukan konsekrasi 16) dan legitimasi yang membuat
produk budaya itu sah menjadi suatu produk budaya, juga analisis posisi-posisi di dalam arena
kekuasaan yang lebih luas. Secara menyeluruh merupakan kesatuan kondisi sosial yang meliputi
produksi, sirkulasi dan konsumsi dagangan simbolik.
Dengan demikian perlu dibahas dahulu bagaimana para agen membangun kekuatan dengan
membentuk distingsi dan kaitannya dengan selera kelas. Juga siapa saja yang memiliki otoritas
untuk legitimasi produk budaya dan apa yang dimaksud dengan pasar dagangan simbolik.
Dalam analisis ini diupayakan agar terangkum tiga realita sosial: (1) keberadaan posisi arena
budaya dalam arena kekuasaan: bagaimana relasi-relasi kekuasaan yang dominan, dalam kata
lain elit penguasa (2) struktur arena budaya, yaitu struktur posisi-posisi yang diduduki para agen
yang saling memperebutkan legitimasi dalam arena dan bagaimana karakteristik agen-agen
15Mengambil dan menggunakan sebagai milik sendiri (Oxford Dictionary of Current English, 2000)
16 Apa-apa yang disucikan, dimuliakan atau diunggulkan (Webster Dictionary,2000)

tersebut (3) habitus para produsen baik yang merupakan disposisi-disposisi yang terstruktur
(structured) maupun menstruktur (structuring) yang menggerakkan praksis.
2.1) Distingsi17) dan Selera Kelas
Habitus menghasilkan sebuah sistem klasifikasi yang memungkinkannya untuk mengidentifikasi
pilihan-pilihan gaya hidup yang spesifik dan hubungannya dengan posisi kelas, dan kemampuan
ini membuatnya memiliki kapasitas untuk membeda-bedakan dan mengapresiasi praktik-praktik
dan produk yang disebut taste atau selera yang sesungguhnya merepresentasikan dunia sosial,
tempat ruang gaya hidup terbentuk. Selera adalah suatu disposisi yang mampu membedakan
sekaligus mengapresiasi, dengan kata lain suatu bentuk kemampuan untuk menentukan dan
memberi tanda batas keberbedaan melalui sebuah proses distingsi. Selera merupakan
kemampuan praktis untuk meraba atau naluri tentang apa yang akan terjadi, yang akan menimpa
individu yang menduduki suatu posisi tertentu dalam ruang sosial.
Selera berfungsi sebagai semacam orientasi sosial, a sense of ones place, yang menunjukkan di
mana seharusnya seseorang berada. Karena itu agen-agen sosial selain menjadi produsen
tindakan-tindakan yang bisa diklasifikasi, mereka juga memproduksi klasifikasi yang mereka sendiri
juga terklasifikasi di dalamnya18). Bila arena produksi budaya adalah field of forces, arena
kekuatan-kekuatan yang dinamis di mana beragam potensi dimungkinkan hadir di dalamnya dan
pertarungan tersebut dilihat sebagai bisa mentransformasi atau mempertahankan arena kekuatan,
maka taste atau selera berada di jantung pertarungan simbolik tersebut yang berdasar pada life
style, gaya hidup para agen Hal tersebut diperjelas Bourdieu dalam Distinction,1984, Bab III:
Class Tastes and Lifestyles yang menyatakan bahwa the new bourgeoisie19), para borjuis baru
adalah inisiator perubahan etika ekonomi baru demi kelangsungan hidupnya. Logika baru ekonomi
telah membuang jauh etika asketisme seperti abstinence, puasa menghindari keduniawian dengan
berhemat, menabung dengan penuh perhitungan, dan sebaliknya justru merangkul moralitas
hedonistik dari konsumsi yang didasari oleh credit, spending and enjoyment, hutang, belanja dan
Penikmatan Juru bicara untuk gaya hidup semacam itu adalah para penjaja benda-benda dan jasa
simbolik seperti para jurnalis, dunia penerbitan dan sinema, dunia fesyen dan iklan, dunia desain
dan pengembangan properti. Melalui anjuran-anjuran yang terus menerus mengiklankan gaya
hidup sebagai model atau panutan, para penentu selera baru memunculkan moralitas seni
pengkonsumsian, pembelanjaan dan penikmatan.Mereka inilah the new cultural intermediaries,
para perantara kebudayaan baru, para produser dan penjaja dagangan budaya karena melalui
merekalah batasbatas area kebudayaan yang semula tertutup bisa diakses dan menjadi milik
public (Bourdieu, 1993:75).
3.2) Otoritas dan Legitimasi
Kekhususan ekonomi arena budaya didasari oleh satu bentuk khusus belief, kepercayaan
menyangkut apa saja yang bisa disebut sebagai karya budaya, misalnya karya sastra atau karya
17 Saya memilih penggunaan kata distingsi sebagai terjemahan dari distinction yang bermakna lebihdari sekedar
keberbedaan atau yang menonjol karena ada unsur keunggulan yang hanya bisa
dimiliki oleh mereka yang memenangkan suatu pertarungan

18 Lihat juga Distinction,Bourdieu, 1984: 466-467


19Bourgeoisie (Perancis), bourgeois (Inggris) adalah mereka yang berasal dari kelas menengah dalammasyarakat
atau yang mengambil tampilan kelas menengah (Oxford Dictionary of Current English,
2000)

seni sekaligus nilai estetika maupun nilai sosialnya. Dalam dunia kepercayaan tersebut orang
harus memperhitungkan tak hanya produksi material namun juga produksi simbolik karya, yaitu
produksi dari nilai karya tersebut, dan itu berarti pula, produksi kepercayaan tentang nilai karya
tersebut. Dan hal tersebut termasuk pengakuan tentang fungsi dari para mediator, perantara
seperti para kritikus, pedagang budaya dan seterusnya sebagai produsen makna dan nilai karya.
Alih-alih sebagai contoh dari kreativitas atau kemampuan individual, setiap karya adalah ekspresi
dari arena secara keseluruhan20.
Arena produksi budaya terstruktur sebagai oposisi antara arena produksi seni terbatas (seni
adiluhung, musik klasik, sastra serius) dan arena produksi dalam skala besar ( budaya masal
atau popular). Dalam arena produksi terbatas, taruhan kompetisi antar agen sebagian besar
sifatnya simbolik yang menyangkut prestise, konsekrasi juga selebritas artistik (artistic celebrity).
Keuntungan ekonomis biasanya tak diakui, paling tidak oleh sang seniman, hingga hirarki otoritas
didasarkan pada bentuk keuntungan simbolik lainnya, yaitu suatu profit of disinterestedness,
keuntungan diperoleh dari (seakan-akan) tanpa pamrih, atau keuntungan dengan menyatakan diri
sendiri ( bisa juga agar terlihat) sebagai orang yang tidak mengejar keuntungan. Satu-satunya
kapital yang berguna dan efektif adalah kapital yang sah yang disebut prestise atau otoritas,
yang bisa dikembalikan menjadi kapital simbolik (Bourdieu, 1993:15).
3.3) Pasar Dagangan Simbolik)
Karya-karya yang diproduksi dalam ranah produksi terbatas disebut murni, abstrak dan esoterik)
karena karya-karya tersebut mensyaratkan bagi penerimanya untuk memiliki disposisi (kompetensi)
estetik tertentu dalam hubungannya dengan prinsip-prinsip produksinya. Lebih jelasnya, dalam
istilah Bourdieu: karya seni hanya punya arti dan menimbulkan minat bagi mereka yang memiliki
kompetensi budaya, penguasaan akan kode-kodenya, tempat karya tersebut
terekam dan tercatat. (Bourdieu, 1984:2)
Karya-karya tersebut juga membutuhkan pendekatan-pendekatan khusus, karena strukturnya yang
kompleks, dan terus menerus menyiratkan referensi tacit (tak terucapkan) pada sejarah strukturstruktur sebelumnya, dan hanya bisa diakses oleh mereka yang memiliki penguasaan teoritis
maupun praktis dari kode-kode yang khusus yang telah diperhalus, juga kode dari kode-kode
tersebut (Bourdieu, 1993:120)
PERAN AGEN PERUBAHAN dalam ARENA PRODUKSI BATIK
KERATONAN YOGYAKARTA
1) Dinamika Arena
Untuk bisa membuat analisis dan pemetaan arena, saya mencoba melihat realita yang
membentuknya yaitu: bagaimana posisi-posisi dalam arena produksi budaya -----yaitu produksi
batik keratonan Yogyakarta---- dan relasinya dengan kekuasaan yang dominan, dalam kata lain
kelas penguasa. Perlu juga dibaca bagaimana struktur arena budaya tersebut: bagaimana
hubungan antar para agen yang saling memperebutkan legitimasi dalam arena juga bagaimana
bentuk dan asalmuasal21) habitus para agen dengan segala karakter disposisi mereka dan
20 Distinction, A Social Critique of The Judgement of Taste (1984) adalah satu bentuk sanggahanBourdieu terhadap
teori tentang selera dari filsuf Immanuel Kant, Critique of Judgment (1790) yang
dianggap sebagai awal dari teori tentang selera (khususnya tentang keindahan) yang menekankan
pada kenikmatan yang refleksif, tak ada hubungannya dengan dunia obyektif dan karenanya bebas
nilai, dan universal. Distinction --- yang seringkali juga disebut anti-Kantian--- adalah jawaban ilmiah
Bourdieu dengan mengamati struktur kelas-kelas sosial, mencari basis sistem-sistem klasifikasi

21 Bourdieu menggunakan istilah genesis untuk asal muasal habitus (Bourdieu, 1993:14)

bagaimana trayektori mereka yang menempati berbagai tipe posisi di dalam arena produksi
budaya.
Hubungan-hubungan yang terus menerus dipelihara oleh para produsen dagangan simbolik
dengan produsen lainnya, amat tergantung pada posisi apa yang diduduki dalam arena produksi
juga sirkulasi dari dagangan simbolik. Hanya dengan menyadari di mana posisi masing-masinglah
para produsen dagangan simbolik itu bisa membuat pertimbangan dan strategi yaitu: bagaimana
bisa mendobraknya. Dalam arena produksi batik gaya keratonan Yogyakarta, bagaimana peran
aristokrasi dan keraton pada saat ini ? Apakah telah terjadi erosi dominasi dan legitimasi ? Siapa
saja yang saat ini memiliki kekuatan atau otoritas untuk memberikan konsekrasi yaitu menentukan
apa-apa yang diunggulkan atau pantas untuk dihormati dan apa-apa yang dianggap sah dan
karena itu legitimate , memiliki legitimasi ?
Bila kemampuan habitus untuk membeda-bedakan dan mengapresiasi praktik-praktik dan produk
yang disebut selera sesungguhnya merepresentasikan dunia sosial, tempat ruang gaya hidup
terbentuk, bagaimana bentuk-bentuk habitus para agen yang menempati berbagai tipe posisi di
dalam arena produksi budaya ? Akhirnya, bila struktur obyektif pun selalu bergerak dan aktif, dan
arena produksi budaya pun menuntut para agen untuk bergerak aktif pula, bagaimana strategi
mereka dan peta kekuatan masing-masing saat ini? Untuk mendapatkan jawabannya, perlu dilihat
struktur arena hingga terbaca dinamika arena, kemampuan agen dan kontekstualisasi selera saat
ini.
2) Struktur Arena
Temuan penelitian menunjukkan bahwa dalam arena produksi batik keratonan Yogyakarta,
pertaruhan terletak pada akumulasi berbagai kapital baik kapital ekonomi, kapital budaya juga
kapital simbolik sebagai sarana memperoleh keuntungan yang akan menjamin dominasi, untuk
merepresentasikan diri, karenanya kapital harus dijaga agar selalu menjadi sesuatu yang langka
dan layak untuk dicari, dikejar dalam satu bentuk formasi sosial tertentu, antara lain sebagai bentuk
kehormatan dan distingsi (keberbedaan dan keunggulan). Batik keratonan Yogyakarta, sebagai
hasil produksi budaya yang terbatas dan spesifik itu, dalam kenyataannya dikuasai dan ditentukan
besaran volume kapital simbolik, budaya maupun ekonomi yang dimiliki, juga terdapat oposisi
dalam kepemilikan kapital: mereka yang mapan dan belum, pemain lama dan baru, distingsi dan
peniruan, produk lama dan mutakhir dan seterusnya yang bisa digunakan untuk membaca posisi
masing-masing.
Dari hasil temuan etnografis saya membuat analisis bentuk-bentuk habitus para agen yang
menempati berbagai tipe posisi di dalam arena produksi budaya. Dalam struktur obyektif yang
selalu bergerak dan aktif, maka arena produksi budaya pun menuntut para agen untuk bergerak
aktif pula, dan dalam upaya masing-masing untuk selalu mampu bertahan, terbaca bagaimana
bentuk-bentuk strategi mereka. Bisa dibaca bagaimana mempertahankan kapital ekonomi, kapital
budaya juga kapital simbolik yang dimiliki, apa saja yang dikejar dan dicari dan bagaimana jaringan
hubungan-hubungan yang merupakan sumber daya yang berguna dalam penentuan dan
reproduksi kedudukan-kedudukan sosial.
59 Lihat

hal.157-158

Anda mungkin juga menyukai