0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
1K tayangan19 halaman

Laporan Bet

Tinjauan pustaka ini membahas tentang daerah antarmuka, adsorpsi, luas permukaan, dan isoterm adsorpsi. Daerah antarmuka adalah daerah batas antara dua fasa yang berbeda, dimana sifat molekul berbeda dari fasa murni. Adsorpsi adalah proses penyerapan partikel cairan atau gas oleh padatan untuk membentuk lapisan tipis. Luas permukaan mempengaruhi jumlah zat yang dapat teradsorpsi, sedang

Diunggah oleh

Akmal J. Pratama
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Kami menangani hak cipta konten dengan serius. Jika Anda merasa konten ini milik Anda, ajukan klaim di sini.
Format Tersedia
Unduh sebagai PDF, TXT atau baca online di Scribd
0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
1K tayangan19 halaman

Laporan Bet

Tinjauan pustaka ini membahas tentang daerah antarmuka, adsorpsi, luas permukaan, dan isoterm adsorpsi. Daerah antarmuka adalah daerah batas antara dua fasa yang berbeda, dimana sifat molekul berbeda dari fasa murni. Adsorpsi adalah proses penyerapan partikel cairan atau gas oleh padatan untuk membentuk lapisan tipis. Luas permukaan mempengaruhi jumlah zat yang dapat teradsorpsi, sedang

Diunggah oleh

Akmal J. Pratama
Hak Cipta
© © All Rights Reserved
Kami menangani hak cipta konten dengan serius. Jika Anda merasa konten ini milik Anda, ajukan klaim di sini.
Format Tersedia
Unduh sebagai PDF, TXT atau baca online di Scribd
Anda di halaman 1/ 19

TINJAUAN PUSTAKA

A. Daerah Antarmuka
Pada pembahasan termodinamika terdahulu, setiap fasa dari suatu sistem termodinamika
dianggap sangat homogen, dengan sifat sifat intensif yang dianggap tetap. Tetapi jika efek
permukaan diperhitungkan, maka terlihat bahwa sifat sifat molekul atau atom pada permukaan
tidak sama jika dibandingkan dengan molekul atau atom pada fasa ruah. Daerah tiga dimensi
yang membatasi dua fasa yang berbeda disebut sebagai daerah antar muka (interphase /
interface / interfacial region). Bila salah satu fasa yang terlibat adalah fasa gas (udara), maka
daerah antar muka dapat disebut permukaan (surface region).

Gambar 1 Ilustrasi sistem dua fasa dengan dan tanpa daerah antar muka

dan merupakan fasa ruah. Daerah antar muka adalah daerah terarsir antara kedua fasa
ruah, dengan ketebalan kurang lebih 3 molekul. Efek permukaan / daerah antar muka sangat
berpengaruh untuk sistem sistem seperti koloid (dimana perbandingan permukaan terhadap
volume tinggi) atau sistem gas padat (dimana sejumlah gas dapat teradsorpsi pada padatan).
Pengetahuan tentang efek permukaan sangat penting dalam dunia industri dan biologi. Banyak
reaksi kimia yang berlangsung dengan bantuan katalis heterogen, yang berfungsi sebagai
permukaan tempat terjadinya reaksi.

B. Adsorpsi

Gambar 2 Proses Adsorpsi pada Komponen

Adsorpsi adalah suatu proses penyerapan partikel suatu fluida (cairan maupun gas) oleh suatu
padatan hingga terbentuk suatu film (lapisan tipis) pada daerah antar fasa. Pada peristiwa
adsorpsi, komponen akan berada di daerah antar muka, tetapi tidak masuk ke dalam fasa ruah.
Komponen yang terserap disebut adsorbat (adsorbate), sedangkan daerah tempat terjadinya
penyerapan disebut adsorben (adsorbent / substrate). Secara umum Adsorpsi didefinisikan
sebagai suatu proses penggumpalan substansi terlarut (soluble) yang ada dalam larutan, oleh
permukaan zat atau benda penyerap, dimana terjadi suatu ikatan kimia fisika antara substansi
dengan penyerapnya.
Berdasarkan sifatnya, adsorpsi dapat digolongkan menjadi adsorpsi fisik dan kimia.

Adsorpsi Fisika
Adsorpsi fisika adalah proses interaksi antara adsorben dengan adsorbat yang disebabkan

oleh gaya Van Der Waals. Adsorpsi fisika terjadi jika daya tarik menarik antara zat terlarut
dengan adsorben lebih besar dari daya tarik menarik antara zat terlarut dengan pelarutnya.
Kerena gaya tarik menarik yang lemah tersebut maka zat yang terlarut akan diadsorpsi pada
permukaan adsorben. Adsorpsi fisika biasanya terjadi pada temperatur rendah sehingga
keseimbangan antara permukaan solid dengan molekul fluida biasanya cepat tercapai dan
bersifat reversibel.

Adsorpsi Kimia
Adsorpsi kimia adalah reaksi yang terjadi antara zat padat dengan zat terlarut yang

teradsorpsi. Adsorpsi ini bersifat spesifik dan melibatkan gaya dan kalor yang sama dengan
panas reaksi kimia. Menurut Langmuir, molekul teradsorpsi ditahan pada permukaan oleh ikatan
2

valensi yang tipenya sama dengan yang terjadi antara atom-atom dalam molekul. Ikatan kimia
tersebut menyebabkan pada permukaan adsorbent akan terbentuk suatu lapisan film.
Tabel 1 Perbedaan adsorpsi fisik dan kimia

Adsorpsi Fisik

Adsorpsi Kimia

Molekul terikat pada adsorben oleh Molekul terikat pada adsorben oleh
gaya van der Waals

ikatan kimia

Mempunyai entalpi reaksi 4 sampai Mempunyai entalpi reaksi 40 sampai


40 kJ/mol

800 kJ/mol

Dapat membentuk lapisan multilayer

Membentuk lapisan monolayer

Adsorpsi hanya terjadi pada suhu di


bawah titik didih adsorbat

Jumlah

adsorpsi

pada

permukaan

merupakan fungsi adsorbat

Tidak

melibatkan

energi

Adsorpsi dapat terjadi pada suhu tinggi

Jumlah

adsorpsi

pada

permukaan

merupakan karakteristik adsorben dan


adsorbat

aktifasi

tertentu
Bersifat tidak spesifik

Melibatkan energi aktifasi tertentu

Bersifat sangat spesifik

Adsorpsi memiliki kecepatan. Kecepatan adsorpsi adalah banyaknya zat yang teradsorpsi per
satuan waktu. Kecepatan adsorpsi mempengaruhi kinetika adsorpsi. Kinetika adsorpsi adalah laju
penyerapan suatu fluida oleh adsorben dalam jangka waktu tertentu. Banyak sedikitnya zat yang
teradsorpsi di pengaruhi oleh:

Macam adsorben

Macam zat yang diadsorpsi (adsorbate)

Luas permukaan adsorben


3

Konsentrasi zat yang diadsorpsi (adsorbate)

Temperatur

C. Luas Permukaan

Gambar 3 Luas Permukaan pada Sampel

Luas permukaan merupakan luasan yang ditempati satu molekul adsorbat/zat terlarut yang
merupakan fungsi langsung dari luas permukaan sampel. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa luas permukaan merupakan jumlah pori disetiap satuan luas dari sample dan luas
permukaan spesifiknya merupakan luas permukaan per gram. Luas permukaan dperngaruhi oleh
ukuran partikel/pori, bentuk pori dan susunan pori dalam partikel (Martin dkk, 1993).
Pengukuran luas permukaan zat padat dengan alat Surface Area Analyser merupakan metode
adsorpsi gas. Adsorpsi yang terjadi termasuk jenis adsorpsi fisik dan merupakan jenis adsorpsi
system gas padat. Adsorpsi gas dengan zat padat berlangsung pada temperatur nitrogen cair (196oC) (Nurwijayadi, 1998). Zat yang menyerap disebut adsorben dan zat yang terserap disebut
adsorbat.
Proses adsorpsi dipengaruhi oleh lima faktor yaitu (Jankwoska dkk, 1991) :

karakteristik fisik dan kimiawi adsorben (luas permukaan dan ukuran pori)

karakteristik fisik dan kimiawi adsorbat (ukuran molekul dan polaritas molekul)

konsentrasi adsorbat dalam larutan

karakteristik larutan (pH dan temperatur)

lama adsorpsi

Porositas dalam suatu material, dapat diklasifikasikan dalam dua jenis yatu porositas terbuka
merupakan pori yang terhubung antara satu permukaan dengan permukaan yang lain dan
porositas tertutup merupakan pori yang terisolasi dari bagian luar.
4

1. Macam-macam Porositas Geologi


1. Porositas primer : sistem porositas utama atau porositas asli dalam sebuah batuan atau tanah
endapan.
2. Porositas sekunder :sistem porositas terpisah dalam sebuah batuan dan seringkali
meningkatkan keseluruhan porositas batuan.
3. Porositas pecahan: porositas ini dihubungkan jaringan yang pecah. Pecahan ini dapat
menciptakan porositas sekunder dalam batuan.
4. Porositas Vuggy : porositas sekunder yang dihasilkan oleh makrofosil yang telah menjadi
batuan karbonat yang memiliki lubang-lubang yang besar.
5. Porositas Efektif : juga disebut porositas terbuka adalah perbandingan antara volume total
dimana fluida yang mengalir menempati (terjebak dalam) volume ini secara efektif. Porositas
ini sangat penting untuk aliran air bawah tanah (groundwater) dan minyak.
6. Porositas ganda : terjadi karena adanya dua reservoir yang saling tumpang tindih dan
berinteraksi satu sama lain. Contohnya pada lapisan batu yang terpecah.
7. Makropori : pori yang memiliki diameter lebih dari 50 nm. Aliran yang melalui makropori
dinamakan difusi bulk.
8. Mesopori : pori dengan diameter lebih dari 2 nm dan kurang dari 50 nm. Aliran melalui
mesopori disebut difusi Knudsen.
9. Mikropori : pori dengan diameter kurang dari 2 nm. Aliran melalui mikropori disebut difusi
aktif Pengukuran Porositas.
Sifat-sifat yang perlu diamati dari suatu material berpori
1. Massa jenis
Massa jenis didefenisikan sebagai ukuran dari massa tiap satuan volume. Semakin besar
massa jenis suatu objek, maka semakin besar pula massa tiap satuan volumenya.
2. Porositas
Porositas merupakan perbandingan antara volume pori total dengan volume total sampel.
Volume pori dapat diketahui dengan metode saturasi air. Pada metode ini sampel ditimbang
terlebih dahulu. Berat ini disebut berat kering (Wd). Sampel kemudian direndam di dalam air
hingga seluruh pori dalam sampel terisi air. Sampel kemudian ditimbang kembali. Berat sampel
pada saat basah ini disebut berat basah (Ww). Porositas dapat dihitung dengan persamaan
berikut:
5

(1)
Distribusi ukuran pori (pore size distribution) juga merupakan parameter penting di dalam
kajian karakterisasi katalis. Sifat-sifat pori dalam katalis pada kenyataannya sangat
mengendalikan fenomena perpindahan dan berhubungan sekali dengan selektifitas di dalam
reaksi katalitik. Sifat-sifat pori seperti volume pori dan distribusi ukuran pori selanjutnya
menjadi parameter penting terutama untuk katalis yang bersifat selektif terhadap bentuk dan
ukuran pori (shape selective catalysis). Metode penyerapan gas biasanya digunakan untuk
mengkarakterisasi material berpori yang berukuran mesopori (diameter 2-50 nm) dan mikropori
(diameter <2 nm). Persoalan mengenai tahanan difusi pori, dan deaktifasi katalis dapat dipelajari
dari bentuk dan ukuran porinya.
D. Isoterm Adsorpsi
Percobaan adsorpsi yang paling umum adalah menentukan hubungan jumlah gas teradsorpsi
(pada adsorben) dan tekanan gas. Pengukuran ini dilakukan pada suhu tetap, dan hasil
pengukuran digambarkan dalam grafik dan disebut isoterm adsorpsi.
Pada adsorpsi isotermis terdapat hubungan antara jumlah zat yang terserap per unit massa
adsorben dengan tekanan adsorbatnya. Adsorpsi isotermis dapat dihitung dengan mengukur
tekanan adsorbat pada saat awal sebelum terjadi kesetimbangan dan pada saat terjadinya
kesetimbangan.
Adsorpsi isotermal merupakan hubungan antara jumlah molekul, volume dan massa gas yang
teradsorp dengan tekanan yang terukur pada temperatur tertentu. Berdasarkan IUPAC adsorpsi
isotermis dapat dikelompokkan menjadi enam tipe seperti terlihat pada gambar 2.7 di bawah ini
(Sontheimer et.al, 1988)(mulyati, 2006).

Gambar 4 Klasifikasi adsorpsi isotermis

Tipe I
Jenis ini memiliki ciri khas kenaikan yang curam pada tekanan yang relatif rendah dan

garis kestabilan yang tegas. Kenaikan yang curam mengindikasikan adanya mikropori
(diameter < 2 nm) pada adsorben yang digunakan dan garis kestabilan mengindikasikan
tanda luas permukaan eksternal adsorben relatif kecil. Tipe ini disebut juga Langmuir
isoterm menggambarkan adsorpsi satu lapis (monolayer) dan biasanya diperoleh dari
adsorben karbon aktif dan zeolit molecular sieve.

Tipe II
Adsorpsi isotermal jenis ini digunakan untuk adsorpsi fisika gas dengan padatan tak

berpori dan padatan dengan diameter pori besar dari 50 nm (makropori). Grafik iosterm
tipe ini dapat terjadi jika ketebalan lapisan adsorbat meningkat dengan cepat seiring
dengan peningkatan tekanan relatif. Pada saat tekanan uap jenuh dicapai, adsorbat
mengalami perubahan fase dari gas menjadi cair atau padat. Garis linier pada grafik
menunjukkan keadaan transisi dari adsorpsi monolayer menjadi multilayer. Karbon aktif
dengan porositas mikro dan meso biasanya menghasilkan adsorpsi isotermal tipe ini.
Titik B mengindikasikan tekanan relatif saat pelapisan monolayer selesai.

Tipe III
Tipe ini berbeda dengan adsorpsi isoterm tipe II dimana grafik merupakan garis

cembung. Adsorpsi ini merupakan karakteristik dari interaksi adsorbat dan adsorben yang
lemah dan biasanya digunakan untuk jenis adsorben tak berpori dan makropori. Interaksi
yang lemah antara adsorbat dan adsorben membuat naiknya kurve sedikit untuk tekanan
relatif yang rendah. Tetapi ketika molekul mulai diadsorpsi pada sisi adsorpsi utama
interaksi adsorbatadsorbat semakin kuat yang kemudian mendorong proses adsorpsi,
mempercepat kurva yang naik pada tekanan relatif yang lebih tinggi.

Tipe IV
Tipe ini hampir sama dengan tipe II pada rentang tekanan relatif rendah sampai

menengah. Dan pada rentang tekanan tertentu garis desorpsi tidak berhimpit dengan garis
adsorpsi. Hal ini disebut dengan fenomena histerisis. Terdapat beberapa kemungkinan
yang menjadi penyebab terjadinya fenomena histerisis, salah satunya adalah perbedaan
sudut kontak molekul gas pada pori saat adsorpsi dengan saat desorpsi. Selain itu
mungkin terbentuk fasa metastabil dan tertutupnya pori. Namun penyebab umum adalah
perbedaan meniskus molekul gas yang telah teradsorb pada suatu pori.

Tipe V
Tipe ini hampir sama dengan tipe III. Perbedaannya adalah pada tipe V adsorpsi

mencapai setimbang setelah tercapai tekanan jenuh sedangkan pada tipe III tidak
demikian. Selain itu pada tipe V terdapat histerisis yang menunjukkan adsorpsi terjadi
pada permukaan yang berpori (padatan makropori atau mesopori). Tipe ini terdapat pada
adsorpsi air terhadap karbon.

Tipe VI
Tipe ini timbul pada permukaan padatan tak berpori dan sangat homogen.

Karakteristik utama pada kurve tipe ini adalah kurve yang berbelok dan membentuk
beberapa step. Hal tersebut menunjukkan bahwa adsorpsi terjadi pada lapisan tunggal
yang formasinya merupakan fungsi dari sistem adsorbatadsorben dan temperatur. Bentuk
dari tipe ini mungkin dikarenakan pembentukan menyeluruh lapisan monomolekul
sebelum pembentukan lapisan berikutnya. Sebagaian besar adsorben yang digunakan
dalam eksperimen menunjukkan adsorpsi isotermis yang tidak selalu mengikuti pola

keenam tipe tersebut diatas. Hal ini terjadi khususnya untuk adsorben yang memiliki pori
dalam jumlah relatif sangat banyak dan dengan perbedaan luas yang besar.
Saat ini banyak model teori dan empiris telah dikembangkan untuk menerapkan berbagai
adsorpsi isotermis. Melalui adsorpsi isotermis dapat ditentukan kapasitas dan laju adsorpsi
dari suatu adsorben terhadap adsorbat yang digunakan. Seperti model grafik di bawah ini

Gambar 5 Model Adsorpsi Isoterm

1.

Isoterm Adsorpsi Langmuir


Pada tahun 1918, Langmuir menurunkan teori isoterm adsorpsi dengan menggunakan

model sederhana berupa padatan yang mengadsorpsi gas pada permukaannya. Pendekatan
Langmuir meliputi lima asumsi mutlak, yaitu
9

a. Gas yang teradsorpsi berkelakuan ideal dalam fasa uap


b. Gas yang teradsorpsi dibatasi sampai lapisan monolayer
c. Permukaan adsorbat homogen, artinya afinitas setiap kedudukan ikatan untuk
molekul gas sama
d. Tidak ada antaraksi lateral antar molekul adsorbat
e. Molekul gas yang teradsorpsi terlokalisasi, artinya mereka tidak bergerak pada
permukaan

lapisan adsorbat monolayer

adsorben

Gambar 6 Pendekatan isoterm adsorpsi Langmuir

Pada kesetimbangan, laju adsorpsi dan desorpsi gas adalah sama. Bila menyatakan
fraksi yang ditempati oleh adsorbat dan P menyatakan tekanan gas yang teradsorpsi, maka

k1 k 2 P(1 ) .....................................

(2)

dengan k1 dan k2 masing masing merupakan tetapan laju adsorpsi dan desorpsi. Jika
didefinisikan a = k1 / k2, maka

P
............................................
(a P)

(3)

Pada adsorpsi monolayer, jumlah gas yang teradsorpsi pada tekanan P (y) dan jumlah gas
yang diperlukan untuk membentuk lapisan monolayer dihubungkan dengan melalui
persamaan

y
ym

...................................................

(4)

ym P
...............................................
aP

(5)

10

Teori isoterm adsorpsi Langmuir berlaku untuk adsorpsi kimia, dimana reaksi yang terjadi
adalah spesifik dan umumnya membentuk lapisan monolayer.
2.

Isoterm Adsorpsi BET (Brunaeur-Emmet-Teller)


Teori isoterm adsorpsi BET merupakan hasil kerja dari S. Brunauer, P.H. Emmet, dan E.

Teller. Teori ini menganggap bahwa adsorpsi juga dapat terjadi di atas lapisan adsorbat
monolayer. Sehingga, isoterm adsorpsi BET dapat diaplikasikan untuk adsorpsi multilayer.
Keseluruhan proses adsorpsi dapat digambarkan sebagai
a. Penempelan molekul pada permukaan padatan (adsorben) membentuk lapisan
monolayer
b. Penempelan molekul pada lapisan monolayer membentuk lapisan multilayer
lapisan adsorbat multilayer

adsorben

Gambar 7 Pendekatan isoterm adsorpsi BET

Pada pendekatan ini, perbandingan kekuatan ikatan pada permukaan adsorben dan pada
lapisan adsorbat monolayer didefinisikan sebagai konstanta c. Lapisan adsorbat akan
terbentuk sampai tekanan uapnya mendekati tekanan uap dari gas yang teradsorpsi. Pada
tahap ini, permukaan dapat dikatakan basah (wet). Bila V menyatakan volume gas
teradsorpsi, Vm menyatakan volume gas yang diperlukan untuk membentuk lapisan
monolayer, dan x adalah P/P*, maka isoterm adsorpsi BET dapat dinyatakan sebagai
V
cx

Vm (1 x)(1 x cx )

......................................

(6)

Kesetimbangan antara fasa gas dan senyawa yang teradsorpsi dapat dibandingkan
dengan kesetimbangan antara fasa gas dan cairan dari suatu senyawa. Dengan
menggunakan analogi persamaan Clausius Clapeyron, maka

11

H ads
d ln P

dT
RT 2

.............................................

(7)

dimana Hads adalah entalpi adsorpsi. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa tekanan
kesetimbangan dari gas teradsorpsi bergantung pada permukaan dan entalpi adsorpsi.
Metode

BET

adalah

model

interpretasi

adsorpsi

yang

dikembangkan

oleh

Brunauer,Emmet, Teller (disingkat BET) pada tahun 1938 untuk pengukuran luas suatu
permukaan yang diukur secara spesifik. Metode ini menganggap bahwa molekul padatan
yang paling atas berada pada kesetimbangan dinamis. Ini berarti jika permukaan hanya
dilapisi oleh satu molekul saja, maka molekul-molekul gas ini berada dalam kesetimbangan
dalam fase uap padatan. Jika terdapat dua atau lebih lapisan, maka lapisan teratas berada
pada kesetimbangan dalam fase uap padatan. Bentuk isoterm tergantung pada macam gas
adsorbat,, sifat adsorben dan sturktur pori. Gejala yang diamati pada adsorpsi isoterm
berupa adsorpsi lapisan molekul tunggal, adsorpsi lapisan molekul ganda dan kondensasi
dalam kapiler.

[ ](8)

dengan :
W

= Berat gas total yang terserap pada tekanan relati P/Po (g gas/g adsorben)

Wm = Berat gas nitrogen yang membentuk lapisan monolayer pada permukaan zat
padat (g gas/g adsorben)
P = Tekanan adsorbat dalam keadaan setimbang
Po = Tekanan uap jenuh adsorbat pada keadaan setimbang
P/Po = Tekanan relatif
C = Tetapan BET
dengan slope

12

s=

..................................................................................(9)

i=

.................(10)

dan intersep

serta

Wm =

.........................(11)

Sehingga Luas permukaan,S,dapat diketahui dari metode BET sebagai berikut :

x 10-20m2.(12)
dengan :
S = Luas permukaan
N = bilangan Avogadro (6,02 x 1023 partikel/mol)
M = Berat molekul dari gas teradsorp (g/mol)
Wm = Berat teradsorpsi monolayer
= Luas rata-rata molekul yang teradsorp
3.

Isoterm Adsorpsi Freundlich


Adsorpsi zat terlarut (dari suatu larutan) pada padatan adsorben merupakan hal yang

penting. Aplikasi penggunaan prinsip ini antara lain penghilangan warna larutan
(decolorizing) dengan menggunakan batu apung dan proses pemisahan dengan menggunakan
teknik kromatografi.
Pendekatan isoterm adsorpsi yang cukup memuaskan dijelaskan oleh H. Freundlich.
Menurut Freundlich, jika y adalah berat zat terlarut per gram adsorben dan c adalah
konsentrasi zat terlarut dalam larutan, maka
13

y = k c1/n ...........................................................................(13)
1
log y log k log c ...................................................................(14)
n
dimana k dan n adalah konstanta empiris. Jika persamaan (13) diaplikasikan untuk gas, maka
y adalah jumlah gas yang teradsorpsi dan c digantikan dengan tekanan gas. Plot log y
terhadap log c atau log P menghasilkan kurva linier. Dengan menggunakan kurva tersebut,
maka nilai k dan n dapat ditentukan.

Gambar 8 Plot isoterm Freundlich untuk adsorpsi H2 pada tungsten (suhu 400oC)

14

PERHITUNGAN DATA BET

Rumus :

Dimana,

= Luas Permukaan

Wm = Berat gas teradsorpsi monolayer


N

= Bilangan Avogadro (

Acs = Cross Section


M

= Berat molekul gas terdasorp ( g/mol)

Perhitungan :
1. CuO
Diketahui : Cross Section
Gas Analisis
Berat molekul
slope
Intercept
Luas Permukaan teori
Ditanya

: Luas Permukaan hitung

Jawab

= 16,2 2
= Nitrogen
= 28,013 g / mol
= 3227,097
= -74,86
= 1,1 m2/g

15

2. MgF2
Diketahui : Cross Section
Gas Analisis
Berat molekul
slope
Intercept
Luas Permukaan teori
Ditanya

: Luas Permukaan hitung

Jawab

= 16,2 2
= Nitrogen
= 28,013 g / mol
= 110,203
= 0,7619
= 31,38 m2/g

16

3. CuO / MgF2
Diketahui : Cross Section
Gas Analisis
Berat molekul
slope
Intercept
Luas Permukaan teori
Ditanya

: Luas Permukaan hitung

Jawab

= 16,2 2
= Nitrogen
= 28,013 g / mol
= 273,829
= - 0,6304
= 12,75 m2/g

17

4. CuxMgyFz
Diketahui : Cross Section
Gas Analisis
Berat molekul
slope
Intercept
Luas Permukaan teori
Ditanya

: Luas Permukaan hitung

Jawab

= 16,2 2
= Nitrogen
= 28,013 g / mol
= 116,194
= 0,2888
= 29,90 m2/g

18

DAFTAR PUSTAKA
Gregg, S.J. and Sing, K.S.W., 1982. Adsorpsi, Surface and Porosity, 2 ed, Academic Press,
London.
Jankwoska, H., Swiatkowski, A., and Choma, J., 1991. Activated Carbon, Ellis Howood Limited,
England.
Martin. A. Swarbrik, J., dab Cammarata, A, 1993. Farmasi Fisik Dasar-Dasar Farmasi Fisik
dalam Ilmu Farmasi,Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta.
Nurwijayadi, 1998. Petunjuk Praktikum Metalurgi Bahan Bakar Nuklir Pengukuran Luas
Muka, Pusat Pendidikan dan Latihan Badan Tenaga Atom Nasional, Yogyakarta.
Vooys, F.de, 1983. The Pore Zise Distribution of Activated Carbon In Activated Carbon a
Fascinating Material, Norit N. V, Netherland.

19

Anda mungkin juga menyukai